Upload
balhum
View
25
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tutorial
Citation preview
SKENARIO A BLOK 23
Mrs. A, a 60 year old Woman, came to Moh. Hoesin Hospital with chief complain of
weakness. She also had palpitation, cephalgia, and epigastric pain. She has also
complain her knee and she always taken NSAID since 4 years ago. The defecation
sometimes blood occult.
Physical examination:
Weight: 45 kg, height: 155 cm
General appearance: pale, fatique
Vital sign: HR: 110x/minute, RR: 28 x/minute, Temp: 36,6 0C, BP: 100/70 mmHg
Head: cheilitis positive, tongue: papil atrophy
No lymphadenopathy
Abdomen: epigastric pain (+), liver and spleen non palpable
Extremities: koilonychia negative
Laboratory:
Hb 6 g/dL, Ht 20 vol%, RBC 2.500.000/mm3 WBC 7.000/mm3, trombosit 460.000/ mm3,
RDW 20%, MCV: 62 fl, MCH n: 23 pg
Blood smear: anisocytosis, hypochrome microcyter, poikilocytosis
Faeces:blood occult (+)
Additional examination:
Serum iron is 12 mikrog/dL
Total iron-binding capacity is 480 mikrog/dL
Ferritin is 9ng/ml
A.Klarifikasi Istilah1. Cephalgia: nyeri kepala
2. Palpitasi: perasaan berdebar-debar atau denyut jantung tidak teratur yang sifatnya
subjektif.
3. Epigastric pain: nyeri pada regio ulu hati.
4. NSAID: suatu kelompok obat anti inflamasi non steroid yang berfungsi sebagai anti
inflamasi analgetik dan antipiretik.
1
5. Blood occult: darah yang terdapat dalam jumlah sedikit yang tidak bisa dilihat
dengan mata telanjang dan hanya bisa dideteksi dengan tes laboratorium dari
suspected material seperti feses.
6. Cheilitis: peradangan pada permukaan bibir dengan ciri-ciri bibir kering dan pecah-
pecah, dan penglupasan.
7. Papil atrophy: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilat karena papil lidah
menghilang.
8. Koilonychia: kuku yang terlalu tipis, rapuh, bergaris-garis vertikal dan sisi-sisnya
melengkung seperti sendok.
9. RDW: (Red Dystribution Width, yaitu koefisien variasi dari volume eritrosit yang
menentukan variasi dari ukuran sel darah merah.
10. MCV: (Mean Corpuscular Volume), ukuran dari volume RBC rata-rata yang
dilaporkan sebagai bagian dari hitung darah lengkap standar
11. MCH: (Mean Corpuscular Hemoglobin), ukuran dari massa hemoglobin yang
terkandung di dalam sel darah merah, berkurang pada anemia mikrositik dan
meningkat pada anemia makrositik.
12. Anisocytosis: kondisi di mana eritrosit pasien memiliki ukuran yang berbeda-beda
13. Hypochrome microcyter: eritrosit yang kecil secara abnormal dengan diameter 5
mikrometer atau kurang dan penurunan abnormal kandungan hemoglobin dalam
eritrosit.
14. Poikilocytosis: adanya poikilosit dalam darah yaitu, eritrosit dengan bentuk yang
abnormal, misalnya akantosit.
B.Identifikasi Masalah1. Mrs. A, a 60 year old Woman, came to Moh. Hoesin Hospital with chief complain of
weakness. She also had palpitation, cephalgia, and Epigastric pain.
2. She has also complain her knee and she always taken NSAID since 4 years ago.
3. Physical examinaton:
Weight: 45 kg, height: 155 cm
General appearance: pale, fatique
Vital sign: HR: 110x/minute, RR: 28 x/minute, Temp: 36,6 0C, BP: 100/70 mmHg
Head: cheilitis positive, tongue: papil atrophy
No lymphadenopathy
2
Abdomen: epigastric pain (+), liver and spleen non palpable
Extremities: koilonychia negative
4. Laboratory:
Hb 6 g/dL, Ht 20 vol%, RBC 2.500.000/mm3 WBC 7.000/mm3, trombosit 460.000/
mm3, RDW 20%, MCV: 62 fl, MCH n: 23 pg
Blood smear: anisocytosis, hypochrome microcyter, poikilocytosis
Faeces:blood occult (+)
5. Additional examination:
Serum iron is 12 mikrog/dL
Total iron-binding capacity is 480 mikrog/dL
Ferritin is 9ng/ml
C.Analisis Masalah1. Mrs. A, a 60 year old Woman, came to Moh. Hoesin Hospital with chief complain
of weakness. She also had palpitation, cephalgia, and Epigastric pain.
a. Bagaimana mekanisme eritropoiesis?
Pembentukan sel darah
(Hemopoesis/Hematopoiesis) Hemopoesis
atau hematopoiesis ialah proses
pembentukan darah. Tempat hemopoesis
pada manusia berpindah-pindah sesuai
dengan umur :
a. Janin : umur 0-2 bulan (kantung
kuning telur) umur 2-7 bulan (hati, limpa)
umur 5 9 bulan (sumsum tulang)
b. Bayi : Sumsum tulang
c. Dewasa. : vertebra, tulang iga, sternum, tulang tengkorak, sacrum dan
pelvis, ujung proksimal femur.
Pada orang dewasa dalam keadaan fisiologik semua hemopoesis terjadi
pada sumsum tulang. Untuk kelangsungan hemopoesis diperlukan : 1. Sel induk
hemopoetik (hematopoietic stem cell) Sel induk hemopoetik ialah sel-sel yang
3
akan berkembang menjadi sel-sel darah, termasuk eritrosit, lekosit, trombosit, dan
juga beberapa sel dalam sumsum tulang seperti fibroblast. Sel induk yang paling
primitif sebagai pluripotent (totipotent) stem cell
Eritropoietin bersama-sama dengan stem cell factor, interleukin-3,
interleukin-11, granulocyte-macrophage colony stimulating factor dan
trombopoietin akan mempercepat proses maturasi stem cell eritroid menjadi
eritrosit (Hoffman,2005). Secara umum proses pematangan eritosit dijabarkan
sebagai berikut :
1. Stem cell : eritrosit berasal dari sel induk pluripoten yang dapat
memperbaharui diri dan berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit, monosit dan
megakariosit (bakal platelet). EPOberperan pada proses apoptosis yaitu
menurunkan laju kematian sel progenitor eritroid dalam sumsum tulang. SCF, IL-
1, IL-3, IL-6, dan IL-11 memberikan rangsang yang menyebabkan diferensiasi sel
induk pluripoten menjadi sel induk mieloid dan CFU granulosit, eritroid, monosit,
dan megakariosit (GEMM). Kemudian CFU-GEMM berkembang menjadi CFU
yang spesifik untuk granulosit, eritroid, monosit, megakariosit, makrofag, dan
eosinofil.
2. BFU-E : burst-forming unit eritroid, merupakan prekursor imatur eritroid
yang lebih fleksibel dalam ekspresi genetiknya menjadi eritrosit dewasa maupun
fetus. Sensitivitas terhadap eritropoeitin masih relatif rendah.
3. CFU-E : colony-forming unit eritroid, merupakan prekursor eritroid yang
lebih matur dan lebih terfiksasi pada salah satu jenis eritrosit (bergantung pada
subunit hemoglobinnya. EPOterutama merangsang colony forming unit eritroid
(CFU-E) untuk berproliferasi menjadi normoblas, retikulosit, dan eritrosit matur.
Target primer EPOdalam sumsum tulang adalah CFU-E.
Lalu dilanjutkan dengan proses yang lebih lanjut seperti dibawah ini.
4
Siklus Eritropoesis
1. Rubiblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritroblast, merupakan sel termuda
dalam sel eritrosit. Sel iniberinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin
yang halus. Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron. Dalam keadaan
normal jumlah rubriblast dalam sumsum tulang adalah kurang dari 1 % dari
seluruh jumlah sel berinti.
2. Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Ukuran
lebih kecil dari rubriblast. Jumlahnya dalam keadaan normal 1-4 % dari seluruh
sel berinti.
3. Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik. Inti
sel ini mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur, di
beberapa tempat tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini sudah tidak terdapat
lagi anak inti, inti sel lebih kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya
lebih banyak, mengandung warna biru karena asam ribonukleat (ribonucleic acid-
RNA) dan merah karena hemoglobin. Jumlah sel ini dalam sumsum tulang orang
dewasa normal adalah 10-20 %.
4. Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik. Inti sel
ini kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal. Sitoplasma telah
mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah walaupun
masih ada sisa-sisa warna biru dari RNA. Jumlahnya dalah keadaan normal
adalah 5-10%.
5. Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan penglepasan
inti sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA.
Sebagian proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam
darah tepi. Setelah dilepaskan dari sumsum tulang sel normal akan beredar
sebagai retikulositselama 1-2 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5
–2,5% retikulosit.
5
6. Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkaf dengan ukuran
diameter 7-8 mikron dan tebal 1,5- 2,5mikron. Bagian tengah sel ini lebih tipis
daripada bagian tepi. Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna
kemerah-merahan karena mengandung hemoglobin. Umur eritrosit adalah sekitar
120 hari dan akan dihancurkan bila mencapai umurnya oleh limpa.
Faktor Pembentukan Eritropoesis
Ada 3 faktor yang mempengaruhi eritropoiesis:
1. Eritropoietin
Penurunan penyaluran ke ginjal merangsang ginjal darah untuk mengeluarkan
hormon eritropoietin ke dalamdarah, dan hormon ini kemudian merangsang
eritropoiesis di sumsum tulang. Eritropoietin bekerja pada turunan sel-sel bakal
yang belum berdiferensiasi yang telah berkomitmen untuk menjaadi sel darah
merah, yaitu merangsang proliferasi dan pematangan mereka.
2. Kemampuan respon sumsum tulang (anemia, perdarahan)
3. Intergritas proses pematangan eritrosit
b. Bagaimana hubungan dari usia, jenis kelamin dengan keluhan pada kasus?
Pada usia yang semakin tua, jumlah eritrosit dan leukosit semakin menurun
karena produktivitas sumsum tulang belakang juga semakin rendah. Jumlah
eritrosit dan leukosit juga dapat menurun karena adanya radikal bebas yang
menyerang sel sehingga jumlahnya tidak seimbang antara jumlah sel yang
terdapat dalam sirkulasi dengan jumlah sel yang disintesis
Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria,
yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria
meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai
usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai
meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini
mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil
serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III
bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi. Pada laki-laki dan
wanita postmenopause kadar feritin kurang dari 300ng/ml, pada wanita
premonoupase kurang dari 200 ng/ml.
6
c. Apa penyebab dan mekanisme dari kelemahan?
Kelelahan dalam kasus anemia disebabkan oleh
karena kurangnya suplai darah yang mengandung nutrisi
dan dan oksigen sebagai metabolisme sel di otot
pembentuk ATP atau energi akibat keadaan kurangnya
pengangkutan oksigen. Mekanisme yang terjadi yaitu
diawali defisiensi besi proses eritropoesis kekurangan
penyediaan besi cadangan besi kosong/pembentukan Hb
berkurang kemampuan pengikatan oksigen untuk
kebutuhan sel menurun terjadi metabolisme anaerob
penimbunan asam laktat kelelahan
Kelemahan ini dikarenakan di otot juga terdapat
myoglobin sebanyak 10%, akibatnya otot kekurangan
suplai nutrisi dan oksigen untuk metabolisme serta sumber energi ATP. Maka
terjadilah kelelahan.
d. Apa penyebab dan mekanisme dari palpitasi?
Palpitasi merupakan kesadaran pasien terhadap detak jantungnya sendiri.
Dalam kondisi normal, seseorang tidak akan menyadari detak jantungnya.
Umumnya pasien mendeskripsikan perasaan berdebar atau jantung seakan
berhenti. Gejala ini dapat disebabkan oleh perubahan ritme jantung atau
peningkatan kekuatan kontraksi otot jantung.
Pada kasus, palpitasi merupakan gejala yang dirasakan pasien saat jantung
mengalami takikardia. Takikardia tersebut sendiri disebabkan oleh mekanisme
kompensasi jantung terhadap kurangnya pasokan oksigen ke jaringan sehingga
jantung berusaha meningkatkan curahnya.
Mekanisme kompensasi jantung sendiri saat ini masih diteliti dan belum
konklusif, namun sangat mungkin melibatkan hypoxia-inducible factor (HIF) 1
dan 2 yang diekspresikan secra berlebihan pada kondisi hipoksia. HIF-1 dan HIF-
2 dapat menyebabkan peningkatan kadar eritropoietin (EPO) darah. Dalam jangka
waktu yang lama, keadaan hipoksia dapat menginduksi remodelling jantung.
7
Gambar: kaskade molekuler dalam hipoksia jaringan kronik
e. Apa penyebab dan mekanisme dari cephalgia?
Jaringan otak tidak memiliki nosiseptor sehingga sebenarnya tidak sensitif
terhadap rangsangan nyeri. Meskipun demikian, nosiseptor ada pada regio-regio
berikut: arteri-arteri ekstrakranial, arteri meningeal media, vena-vena besar, sinus
venosus, nervi kraniales dan spinales, otot-otot kepala dan leher, meninges, falx
cerebri, beberapa bagian batang otak, serta mata, telinga, gigi, dan mulut.
Nyeri kepala paling sering diakibatkan oleh traksi atau iritasi meninges dan
pembuluh darah otak. Nosiseptor juga dapat distimulasi oleh spasme dan dilatasi
pembuluh darah, inflamasi meninges, dan regangan otot.
Pada kasus anemia, tingkat hemoglobin menurun sehingga kemampuan
distribusi oksigen ke jaringan tubuh juga menurun. Untuk mengompensasi
penurunan pasokan oksigen ini, jantung akan berkontraksi lebih cepat sehingga
aliran darah lebih cepat. Meskipun mekanisme kompensasi tersebut mampu
memenuhi kebutuhan oksigen jaringan, hal ini juga berarti lebih banyak darah
yang mengalir di pembuluh darah dalam suatu periode waktu tertentu, atau dapat
dikatakan debit darah meningkat. Dampak peningkatan debit darah tersebut
adalah dilatasi arteri dan kapiler untuk dapat menerima aliran darah yang
meningkat. Dilatasi pembuluh darah akan merangsang nosiseptor sekitar. Selain
8
itu, dilatasi pembuluh darah otak juga dapat merupakan respons kompensasi
primer dari pembuluh darah tersebut sendiri.
f. Apa penyebab dan mekanisme dari nyeri epigastrik?
Faktor risiko (usia tua, perempuan, penggunaan NSAID jangka
panjang) Mengganggu permeabilitas mukosa lambung iritasi dinding
mukosa lambung nyeri epigastrik
2.She has also complain her knee and she always taken NSAID since 4 years ago.
a. Bagaimana hubungan dari keluhan pada lutut dan mengkonsumsi NSAID
dengan keluhan utama berupa kelemahan?
Patogenesis NSAID dalam menyebabkan luka dan perdarahan lambung
Anemia Hb < N pembawa O2 dari paru ke jaringan tubuh kurang
kelemahan (weakness) kompensasi jantung berupa memompa darah lebih kuat
aritmia, murmur jantung, pembesaran jantung, dan gagal jantung
9
b. Apa indikasi, kontraindikasi, farmakokinetik, dan farmakodinamik dari
NSAID?
NSAID dapat digunakan untuk mengobati penyakit seperti rheumatoid
arthritis dan osteoarthritis. NSAID memiliki efek samping seperti gangguan
pencernaan (nyeri abdomen, displasia, mual, muntah, perdarahan saluran cerna),
pusing, edema, asma, gangguan hati dan tidak boleh digunakan pada wanita hamil
dan menyusui, anak-anak, penderita dengan gangguan ginjal berat, penderita yang
hipersensitif terhadap NSAID, serta penderita dengan tukak lambung.
Farmakokinetik dari NSAID yaitu sebagian besar obat dapat diserap baik.
NSAID seperti aspirin cepat diserap dari lambung dan usus halus bagian atas
menghasilkan kadar salisilat plasma puncak dalam 1-2 jam. Aspirin diserap
secara utuh dan cepat dihidrolisis menjadi asam asetat dan salisilat oleh esterase
di jaringan dan darah. Salisilat terikat secara non-linier ke albumin.
Farmakodinamik dari NSAID yaitu obat bekerja dengan menghambat siklo-
oksigenase (COX) seperti pada obat aspirin, di mana aspirin megnhambat secara
ireversibel COX trombosit sehingga efek anti-trombosit aspirin menetap 8-10
hari.
3. Physical examination:
Weight: 45 kg, height: 155 cm
General appearance: pale, fatique
Vital sign: HR: 110x/minute, RR: 28 x/minute, Temp: 36,6 0C, BP: 100/70 mmHg
Head: cheilitis positive, tongue: papil atrophy
No lymphadenopathy
Abdomen: epigastric pain (+), liver and spleen non palpable
Extremities: koilonychia negative
a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan fisik
umum di atas ?
Weight : 45 kg BMI: 18,739 BMI masih normal
10
Height : 155cm
General appearance:
pale, fatigue
Normal: tidak ada pucat
ataupun kelemahan
Anemia ditandai oleh
penurunan eritrosit dan
hemoglobin sehingga terjadi
pucat.
Penurunan pengangkutan
oksigen mengakibatkan
penurunan sel metabolisme,
sehingga energi juga ikut
menurun dan terjadi
kelemahan.
HR: 110x/minute Normal: 60-100x/menit
Takikardi
Pada kasus ini, Hb pada
Mrs. A turun, sehingga
pengikatan oksigen ke
plasma darah berkurang,
jadi tubuh
mengkompensasikannya
dengan taikardi dan
tachypnea.
RR: 28 x/minute Normal: 16-20x/menit
Tachypnea
Temp: 36,6 0C, Normal 36,5-37,5 =
Borderline bawah
BP: 100/70 mmHg 120/80 Agak menurun terjadi
karena kehilangan darah
oleh karena terjadinya
perdarahan saluran cerna.
11
Laki-Laki Perempuan
Kurus <17 kg/m2 <18 kg/m2
Normal 17-23 kg/m2 18-25 kg/m2
Gemuk 23-27 kg/m2 25-27 kg/m2
Obesitas >27 kg/m2 >27 kg/m2
Tabel BMI menurut Depkes 2003
b. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan kepala
hingga perut?
12
13
Cheilitis (+) Peradangan
pada
mukosa
bibir
Defisiensi Fe→aktivitas enzim
yang mengandung besi pada
epitel menurun→fungsi dalam
melindungi mukosa terhadap
infeksi rendah→mudah terjadi
peradangan pada mukosa bibir
Papil atrophy Pengecilan
papil
Anemia Suplai darah ke papil
↓ papil atrophy
No
Lymphadenopathy
Normal Tidak menandakan adanya
infeksi, radang ataupun
keganasan. Juga menepis
diagnosis banding adanya
filariasis limphatic.
Epigastric pain Karena terjadi tukak lambung
atau perdarahan di lambung GIT
bleeding akibat konsumsi NSAID
jangka panjang.
Liver and spleen non
palpable
Normal Karena pada skenario, anemia
disebabkan oleh defisiensi besi
bukan, anemia hemolisis. Sel
darah merah tidak mengalami
pemecahan secara berlebihan
sehingga kerja hati dan limpa
tidak bertambah berat.
Hepatomegali terjadi pada anemia
hemolitik, akibat dari kerja hati
yang lebih keras dalam
merombak eritrosit karena
hemolisis yang tidak
wajar.Sedangkan splenomegali
juga terjadi pada anemia
hemolitik, dimana eritrosit yang
rapuh melewati kapiler yang
sempit dalam limpa, sehingga
pecah dan menyumbat kapiler
limpa sehingga terjadi
pembesaran limpa. Tidak adanya
hepatomegali dan splenomegali
menunjukkan bahwa pasien
dalam kasus tidak mengalami
anemia jenis hemolitik.
c. Apa makna klinis dari hasil pemeriksaan yang normal?
Tidak ada lymphadenopathy
Tidak menandakan adanya infeksi, radang ataupun keganasan. Juga
menepis diagnosis banding adanya filariasis limphatic.
Tidak terabanya hati dan lien
Sel darah merah tidak mengalami pemecahan secara berlebihan sehingga
kerja hati dan limpa tidak bertambah berat. Hepatomegali terjadi pada anemia
hemolitik, akibat dari kerja hati yang lebih keras dalam merombak eritrosit karena
hemolisis yang tidak wajar.Sedangkan splenomegali juga terjadi pada anemia
hemolitik, dimana eritrosit yang rapuh melewati kapiler yang sempit dalam limpa,
sehingga pecah dan menyumbat kapiler limpa sehingga terjadi pembesaran
limpaBukanmerupakansuatu anemia hemolitik
Koilonychias
Koilonychias merupakan indikator khas anemia hemolitik yang bias ada
atau tidak. Secara patologis, pembengkokan/ perlunakan kuku terjadi akibat
gangguan laju pertumbuhan kuku di proximal kuku (matriks / nail root).Laju
pertumbuhan kuku ini biasa disebabkan karena defek genetic atau penurunan
asupan nutrisi dan oksigen untuk proliferasi keratin. Sirkulasi darah ke kuku
berasal dari arteri digitalis yang berjalan di lateral jari.
Kekerasan kuku dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu perlekatan dan
orientasi protein keratin, rendahnya kandungan air pada lempeng kuku, kadar
14
sulfur protein matriks, hubungan interselular. Kandungan asam amino pembentuk
keratin yang paling tinggi adalah sistein, asam glutamat, arginin dan leusin.
Sistein adalah protein jenis iron-sulfide protein, atau protein yang terdiri
dari sulfide dan ion besi.Sistein berfungsi sebagai pemberi kekuatan dan
kekakuan pada jembatan disulfide dalam keratin.
4. Laboratory:
Hb 6 g/dL, Ht 20 vol%, RBC 2.500.000/mm3 WBC 7.000/mm3, trombosit 460.000/
mm3, RDW 20%, MCV: 62 fl, MCH n: 23 pg
Blood smear: anisocytosis, hypochrome microcyter, poikilocytosis
Faeces: blood occult (+)
a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan
laboratorium?
Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi Mekanisme
Hb 6 g/dL 12-16 gr/dL Rendah Pemakaian NSAID GIT
bleeding perdarahan
kronik RBC, Hb, Ht.
Ht 20 vol% 37 – 43 % Rendah Pemakaian NSAID GIT
bleeding perdarahan
kronik RBC, Hb, Ht.
RBC 2.500.000/mm3 4,2 – 5,4
jt/mm3
Rendah Pemakaian NSAID GIT
bleeding perdarahan
kronik RBC, Hb, Ht.
WBC 7.000/mm3 4000-10.000/
mm3
Normal
Trombosit
460.000/mm3
150.000-
500.000
sel/mm3
Normal
RDW 20% 10-15% Tinggi,
manifestasi
hematologi
paling awal
dari
kekurangan
Anisositosis RDW
meningkat
15
zat besi
Blod smear:
- Anisocytosis:
Ukuran diameter
eritrosit yang
terdapat di dalam
suatu sediaan apus
berbeda-beda
(bervariasi)
- Diameter < 7 mikron
(mikrositer), disertai
dengan warna pucat
(hipokromia)
- Poikilocytosis:
Bermacam-macam
variasi bentuk
eritrosit
Bentuk cakram
bikonkaf.
Ukuran 6,2 –
8,2 Nm
(normosit).
Warna merah.
Abnormal Defisiensi besi
terganggunya komponen
eritrosit anisositosis dan
poikilositosis
MCV 62 fl 82-92 fl Menurun,
mikrositik
Defisiensi besi heme
sedikit ukuran eritrosit
kecil
MCH 23 pg 27-31 pg Menurun,
hipokrom
Defisiensi besi heme
sedikit warna eritrosit
pucat (hipokrom)
Faeces: blood occult
(+)
Blood occult (-) Abnormal Pemakaian NSAID GIT
bleeding blood occult
16
b. Bagaimana gambaran mikroskopik dari blood smear?
1. Poikilositosis
Disebut poikilositosis apabila pada suatu sediaan apus
ditemukan bermacam-macam variasi bentuk eritrosit. Didapatkan pada
thalassemia dan anemia berat
17
Gambar (1) Target cell ; (2) Ovalositosis (?) ; (3) Akantosit (berduri) ;
(4) Stomatosit ; (5) Keratosit (helmet cell) ; (6) Spherositosis (bola)
2. Anisositosis
Eritrosit dengan ukuran tidak sama besar pada GDT (ukuran mikrosit dan
makrosit)
3. Hipokrom mikrositer
Mikrositer : Ukuran lebih kecil dari eritrosit normal
Hipokrom : Eritrosit terlihat pucat disebabkan oleh
- Konsentrasi Hb : Kegagalan pembentukan heme pada anemia
defisiensi Fe, anemia sideroblastik
- Kegagalan pembentukan globin : Pada thalassemia
18
c. Bagaimana cara menentukan MCV, MCH, MCHC, dan RDW?
MCV (Mean Corpuscular Volume)
MCV mengindikasikan ukuran eritrosit : mikrositik (ukuran kecil), normositik
(ukuran normal), dan makrositik (ukuran besar). Nilai MCV diperoleh dengan
mengalikan hematokrit 10 kali lalu membaginya dengan hitung eritrosit
nilai normal: 82-92 femtoliter (fL)
MCV: nilai hematokrit(%) x 10 fL
jumlah RBC (jt/L)
MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin)
MCH mengindikasikan bobot hemoglobin di dalam eritrosit tanpa memperhatikan
ukurannya. MCH diperoleh dengan mengalikan kadar Hb 10 kali, lalu
membaginya dengan hitung eritrosit.
nilai normal: 27-31 pikogram (pg)
MCH: kadar hemoglobin (g/dL) x 10 pg
jumlah RBC (jt/L)
MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration)
MCHC mengindikasikan konsentrasi hemoglobin per unit volume eritrosit.
Penurunan nilai MCHC dijumpai pada anemia hipokromik, defisiensi zat besi
serta talasemia. Nilai MCHC dihitung dari nilai MCH dan MCV atau dari
hemoglobin dan hematokrit.
nilai normal: 31-36 g/dL
MCHC: kadar hemoglobin (g/dL) x 100 g/dL
nilai hematokrit(%)
RDW (Red Cell Distribution Width)
19
RDW adalah perbedaan ukuran (luas) dari eritrosit. RDW adalah pengukuran luas
kurva distribusi ukuran pada histogram. Nilai RDW dapat diketahui dari hasil
pemeriksaan darah lengkap (full blood count, FBC) dengan hematology analyzer.
Nilai RDW berguna untuk memperkirakan terjadinya anemia dini, sebelum nilai
MCV berubah dan sebelum terjadi tanda dan gejala.
Peningkatan nilai RDW dapat dijumpai pada : anemia defisiensi (zat besi, asam
folat, vit B12), anemia hemolitik, anemia sel sabit.
nilai normal: 11,6-14,6 %
RDW: SD (fL) x 100%
MCV (fL
5. Additional examination:
Serum iron is 12 mikrog/dL
Total iron-binding capacity is 480 mikrog/dL
Ferritin is 9ng/ml
a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan penunjang?
b. Bagaimana metabolisme besi dalam tubuh?
20
Dikasus Nilai Normal keterangan
Serum iron 12 µg/dL 60-90 µg/dL Menurun (akibat menurunnya
besi)
TIBC 480 µg/dL 250-420 µg/dL Meningkat (kompensasi untuk
mengikat besi lebih banyak)
Ferritin 9 ng/ml 30-300 ng/mL Menurun( akibat menurunnya
cadangan besi)
c. Mengapa TIBC meningkat sedangkan serum besi dan ferritin menurun?
Kadar besi serum mewakilkan jumlah besi terikat transferrin yang ada di
serum. TIBC (Total Iron-Binding Capacity) adalah pengukuran tak langsung
terhadap jumlah transferrin. Ferritin adalah protein intrasel yang dapat
menyimpan dan melepaskan besi yang tersimpan di dalamnya. Nilai saturasi
transferrin dapat ditentukan dengan mengikuti rumus berikut:
Saturasi transferrin=Fe serum
TIBC× 100 %
Kadar TIBC yang meningkat pada kasus anemia defisiensi besi merupakan
mekanisme kompensasi terhadap menurunnya ketersediaan besi serum. TIBC
21
meningkat untuk memaksimalkan distribusi besi ke sumsum tulang. Ferritin
menurun juga akibat kompensasi defisiensi besi yaitu untuk meminimalkan
penyimpanan besi intrasel sehingga lebih banyak besi yang bersirkulasi di serum.
d. Berapa saturasi transferrin pada kasus?
Nilai saturasi transferin dapat dihitung dengan rumus berikut :
Saturasi transferin=Besi serumTIBC
x100
Pada Kasus :
Saturasi transferin= 12 µ g/dL480 µg /dL
x100=2.5 %
Nilai rujukan saturasi transferin berdasarkan usia :
Dewasa : 20 – 50%
Anak-anak : > 16 %
Interpretasi :
Saturasi transferin tinggi kelebihan besi ( anemia megaloblastik, anemia
sideroblastik, dan keadaan overload besi )
Saturasi transferin rendah kekurangan besi kronis , infeksi kronis, keganasan
ekstensif, inflamasi jaringan, uremia, dan sindroma nephrotik.
6. Aspek klinis
a. Bagaimana cara penegakan diagnosis dan apa saja pemeriksaan penunjang
yang perlu dilakukan pada kasus?
Terdapat tiga tahap diagnosis anemia defisiensi besi, yaitu :
1. Penentuan adanya anemia
22
Anemia secara klinis dapat memberikan beberapa gambaran, yang disebut
sebagai sindroma anemia yakni badan lemah, letih, leu, cepat lelah, mata
berkunang-kunang, telinga sering berdenging. Namun, biasanya, gejala
simptomatis ini ditemukan apabila kadar Hb < 7 g/dl.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan anemis pada konjutiva dan jaringan bawah
kuku.
Berdasarkan kadar hemoglobin, kriteria anemia menurut WHO :
Kelompok Kriteria anemia ( Hb)
Laki-laki dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita dewasa hamil < 11 g/dl
2. Penentuan defisiensi besi sebagai penyebab anemia
Manifestasi klinis yang khas untuk anemia defisiensi besi adalah ;
Atrofi papil lidah ; permukaan lidah licin, mengkilap karena papil lidah hilang
Stomatitis angularis ; radang pada sudut mulut
Disfagia akibat kerusakan epitel hipofaring
Koilonichya ; kuku sendok ( spoon nail ), kuku rapuh, bergaris-garis vertical
dan menjadi cekung sehingga mirip sendok
Atrofi mukosa gaster
Pica ; keinginan untuk memakan makanan yang tidak lazim seperti tanah liat,
es, lem dll
Secara laboratorium, untuk menegakan diagnosis defisiensi besi yaitu :
Anemia hipokrom mikrositik pada apusan darah tepi , atau MCV < 80 fl, dan
MCHC < 31 % dengan salah satu dari criteria berikut :
2 dari 3 parameter berikut :
Besi serum < 50 mg/dl
TIBC > 350 mg/dl
23
Saturasi transferin < 15 %
Feritin serum < 20 mg/l
Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s Stain)
menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negative, atau
Pemberian Sulfus Ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setara)
selama 4 minggu dapat meningkatkan kadar Hb > 2 gr.dl
3. Penentuan penyebab dasar timbulnya anemia defisiensi besi
Gejala klinis tergantung pada penyeakit dasar yang menyertai. Pada anemia
yang disebabkan oleh penyakit cacing tambang, ditemukan dyspepsia, parotis
membengkak, dan kulit telapak tangan kuning seperti jerami. Apada anemia
akibat perdarahan kronik akibat kanker kolon akan ditemukan keluhan BAB .
Apabila dicurigai penyakit cacing tambang, dilakukan pemeriksaan feses
untuk mencari telur cacing. Pada kecurigaan perdarahn sementara tidak
ditemukan perdarahan nyata, maka dapat dilakukan tes darah samar ( occult
blood test ) pada feses, dapat juga dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau
bawah jika ada indikasi.
b. Apa saja Differential Diagnosis dan apa Working Diagnosis pada kasus ?
24
Gejala dan tanda IDA ACD Thalassemia major
Anemia sideroblastik
Weakness + + + +Cheilitis + - - -Atrofi papil + - - -Anisositosis + + + +/-Hipokrom mikrositer
+ + (tahap lanjut)
+ +
Poikilositosis + + + +/-Fecal blood occult + - - -MCV menurun + +/- +/- +/-MCH menurun + +/- + +/-Besi serum menurun + + - (normal) - (meningkat)TIBC meningkat + - (menurun) - (normal) - (normal)Ferritin menurun + - (normal
atau meningkat
- (normal) - (meningkat)
Saturasi transferrin 2,5%
+ - (menurun, tetapi jarang <5%
- - (meningkat)
Working Diagnosis pada kasus adalah Anemia Defisiensi Besi.
25
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron
store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang
(Bakta, 2006).
c. Bagaimana epidemiologi pada kasus?
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering
dijumpai, terutama di negara berkembang berhubungan dengan tingkat sosial
ekonomi masyarakat. Di Indonesia, anemia defisiensi besi terjadi pada 16-50%
laki-laki dan 25-84% perempuan; 46-92% ibu hamil dan 55,5% balita.
d. Apa faktor resiko pada kasus?
Faktor resiko
Diet rendah besi - Rendah pemasukan dari bahan pemacu penyerapan
besi yakni ‘meat factors’ dan vitamin C.
- Pemasukan tinggi dari bahan penghambat penyerapan
besi seperti tanat, fitat dan serat.
Masa Pertumbuhan
Cepat
- Masa Remaja
- Kehamilan
Meningkatnya volume darah
Pertumbuhan fetal dan placental
Jaringan maternal lainnya
- Kehamilan ganda
Kondisi yang
menyebabkan
kehilangan darah
- Perdarahan saluran cerna, genitalia perempuan,
saluran kemih dan saluran nafas.
- Menstruasi
- Penggunaan obat NSAID jangka panjang karena dapat
menyebabkan perdarahan traktus gastrointestinal
Factor resiko postpartum - Anemia pada trimester ketiga
- Kehilangan darah saat pengantaran
- Kelahiran ganda
26
Tabel Penelitian Faktor Risiko di Amerika Serikat
e. Apa etiologi pada kasus?
Etiologi anemia defisiensi besi:
a. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun.
1. Saluran cernaTukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker
lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid dan infeksi cacing
tambang.
2. Saluran genitalia perempuan: menorrhagia
3. Saluran kemih: hematuria
4. Saluran napas: hemoptoe
b. Faktor nutrisi.
Kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau kualitas besi tidak baik
(makanan banyak serat, rendah vitamin C dan rendah daging).
c. Kebutuhan besi meningkat.
Pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.
d. Gangguan absorbsi besi.
Gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
27
f. Apa patofisiologi pada kasus?
Diawali pasien sering mengkonsumsi obat NSAID dikarenakan nyeri pada lutut
sejak 4 tahun. Efek samping dari NSAID adalah iritasi lambung, kelamaan pada
pasien akan menyebabkan efek yang sama. Selain itu juga kemungkinan tidak
diimbangi dengan obat untuk menghindari iritas lambung serta kemungkinan
menggunakan obat yang tidak sesuai cara pemakaian setelah makan, maka akan
28
Status
anemia
Feritin
serum
ss
tulang
Protopofirin
eritrosit
Saturasi
transferi
n
TIBC Hb
Keseimbang
an besi
negatif
↓ ↓ N N N N
Eritropoesis
def besi
↓ ↓ ↑ ↓ ↑ N
Anemia def
besi
↓ ↓ ↑ ↓ ↑ ↓
mikrositik
hipokromi
k
dapat menyebabkan kemungkinan perdarahan yang menahun dan kehilangan besi
lewat saluran cerna.
Anemia defisiensi besi melalui beberapa fase patologis yaitu:
Deplesi Besi
Diawali dengan berkurangnya besi maka terjadilah deplesi besi. Berbagai proses
patologis yang menyebabkan kurangnya besi memacu tubuh untuk menyesuaikan
diri yaitu dengan meningkatkan absorbsi besi dari usus. Pada tahapan ini tanda
yang ditemui adalah penurunan ferritin serum dan besi dalam sumsum tulang
berkurang. Namun eritropoesis belum terganggu.
Eritropoesis defisiensi besi
Kekurangan besi yang terus berlangsung menyebabkan besi untuk eritropoiesis
berkurang namun namun secara klinis anemia belum terjadi, kondisi ini
dinamakan eritropoiesis defisiensi besi. Tanda-tanda yang ditemui pada fase ini
adalah peningkatan kadar protoporhyrin dalam eritrosit, penurununan saturasi
transferin, dan peningkatan Total iron binding capacity (TIBC).
Anemia defisiensi besi
Jika jumlah besi terus menurun maka eritropoiesis akan terus terganggu dan kadar
hemoglobin mulai menurun sehingga terjadi anemia hipokromik mikrositik.
Kondisi ini sudah bisa dikategorikan sebagai anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi memberikan dampak kesehatan yang cukup banyak
kepada seseorang misalnya gangguan sistem neuromuscular, gangguan kognitif,
gangguan imunitas, dan gangguan terhadap janin.
g. Apa saja manifestasi klinis pada kasus?
1. Gejala Umum
Gejala berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta
telinga mendenging. Pada anemia ini, penurunan kadar Hb terjadi
secara perlahan-lahan. Anemia bersifat simtomatik jika kadar Hb turun di bawah
7 g/dL. Pada pemeriksaan fisik, pasien dijumpai pucat, terutama pada konjungtiva
dan daerah bawah kuku
2. Gejala Khas
Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-
garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok
29
Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil
lidah menghilang
Stomatitis angularis: radang pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak
berwarna pucat keputihan
Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
Pica: keinginan memakan makanan yang tidak lazim, ex: tanah liat, es, lem, dll
3. Gejala Penyakit Dasar
Pada anemia penyakit cacing tambang, dijumpai dyspepsia, parotis membengkak,
dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena
perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan
buang air besar atau gejala lain tergantung lokasi kanker tersebut.
h. Apa SKDI pada kasus?
i. Bagaimana tata laksana (farmakologi dan non farmakologi) dan edukasi
pada kasus?
Terapi Kausal
Terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan cacing
tambang. Tujuan utama dari pengobatan infeksi STH adalah mengeluarkan semua
cacing dewasa dari saluran gastrointestinal. Obat yang banyak digunakan adalan
Mebendazole (dosis tunggal 500 mg) dan albendazole (dosis tunggal 400 mg).
Benzimidazole bekerja menghambat polymerase dari microtubule parasit yang
menyebabkan kematian dari cacing dewasa dalam beberapa hari. Walupun
albendazole Idan mebendazole merupakan broad-spectrum terdapat perbedaan
30
penggunaanya dalam klinik. Kedua obat efektif terhadap ascaris dengan
pemebrian dosisi tunggal. Namun, untuk cacing tambang, mebendazole dosis
tunggal memberikan rate pengobatan rendah dan albendazole lebih efektif.
Sebaliknya albendazole dosis tunggal tidak efektif untuk kasus trichiuriasis. Obat
antihelmentik bensimidazole adalah embriotoksik dan teratogenik pada tikus yang
hamil, sehingga jangan digunakan untuk bayi dan selama kehamilan. Pyrantel
pamoate dan levamisole merupakan pengobatan alternative untuk infeksi Ascaris
dan cacing tambang, walaupun pyrantel pamoate tidak efektif untuk mengobati
trichiuriasis.
Akhir-akhir ini ditemukan resistensi terhadap obat-obat tersebut. Untuk
itu diperlukan cara pengendalian yang baru. Vaksinasi tetap merupakan metode
yang tepat untuk mengendalikan infeksi STH, karena dapat memotong
penyebaran infeksi STH. Vaksin cacing tambang yang mengandung antigen larva
Ancylosoma – secreted protein (ASP)2 efektif pada model hewan (anjing dan
tupai) dan studi epidemiologi menunjukan adanya efek pencegahan. Vaksin
cacing tambang Na ASP-2 saat ini masih dalam tahap pengembangan untuk dapat
digunakan pada manusia.
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh ( iron
replacemen therapy ).
1. Terapi Besi Oral
efektif, lebih aman, dan dari segi ekonomi preparat ini lebih murah. Preparat yang
tersedia berupa
Ferro Sulfat : merupakan preparat pilihan pertama karena paling murah dan
efektif, dengan dosis 3 x 200 mg, diberikan saat perut kosong [sebelum
makan]. Jika hal ini memberikan efek samping misalkan terjadi mual, nyeri
perut, konstipasi maupun diare maka sebaiknya diberikan setelah makan/
bersamaan dengan makan atau menggantikannya dengan preparat besi lain.
Ferro Glukonat: merupakan preparat dengan kandungan besi lebih rendah
daripada ferro sulfat. Harga lebih mahal tetapi efektifitasnya hampir sama.
Ferro Fumarat, Ferro Laktat.
Waktu pemberian besi peroral ini harus cukup lama yaitu untuk
memulihkan cadangan besi tubuh kalau tidak, maka anemia sering kambuh lagi.
Berhasilnya terapi besi peroral ini menyebabkan retikulositosis yang cepat dalam
31
waktu kira-kira satu minggu dan perbaikan kadar hemoglobin yang berarti dalam
waktu 2-4 minggu, dimana akan terjadi perbaikan anemia yang sempurna dalam
waktu 1-3 bulan. Hal ini bukan berarti terapi dihentikan tetapi terapi harus
dilanjutkan sampai 6 bulan untuk mengisi cadangan besi tubuh. Jika pemberian
terapi besi peroral ini responnya kurang baik, perlu dipikirkan kemungkinan –
kemungkinannya sebelum diganti dengan preparat besi parenteral. Beberapa hal
yang menyebabkan kegagalan respon terhadap pemberian preparat besi peroral
antara lain perdarahan yang masih berkelanjutan (kausanya belum teratasi),
ketidak patuhan pasien dalam minum obat (tidak teratur) dosis yang kurang,
malabsorbsi, salah diagnosis atau anemia multifaktorial.
2. Parenteral
Indikasi pemeberiaan besi parenteral : (1) intoleransi terhadap pemberian
besi oral ; (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah ; (3) gagngguan pencernaan
seperti colitis ulseratif yang dpat kambuh jika diberikan besi; (4) penyerapan besi
terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi ; (5) kehilangan darah banyak pada
hereditary hemorrhagic teleangiectasia; (6) kebeutuhan besi yang cepat,
misalnya pada ibu kehamilan trisemester ketiga atau sebelum operasi; (7)
difisiensi besi fungsional relative akibat pemberian eritropoetin pada anemia
gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit krnik.
Ada beberapa contoh preparat besi parenteral: - Besi Sorbitol Sitrat
(Jectofer) Pemberian dilakukan secara intramuscular dalam dan dilakukan
berulang. - Ferri hidroksida-sucrosa (Venofer) Pemberian secara intravena lambat
atau infus. Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan dari pemberian besi
parenteral meliputi nyeri setempat dan warna coklat pada tempat suntikan,
flebitis, sakit kepala, demam, artralgia, nausea, vomitus, nyeri punggung,
flushing, urtikaria, bronkospasme, dan jarang terjadi anafilaksis dan kematian.
c. Pengobatan lain
32
Dosis besi parenteral Kebutuhan besi [ m g]= (15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 100 mg
1. Diet: perbaikan diet sehari-hari yaitu diberikan makanan yang bergizi dengan
tinggi protein dalam hal ini diutamakan protein hewani.
2. Vitamin C: pemberian vitamin C ini sangat diperlukan mengingat vitamin C ini
akan membantu penyerapan besi. Diberikan dengan dosis 3 x 100mg.
3. Transfusi darah: pada anemia defisiensi besi ini jarang memerlukan transfusi
kecuali dengan indikasi tertentu.
Jadi pada kasus ini terapi yang dapat diberikan adalah
- Pemberian Sulfas ferrosus 3x200 mg, 1 hr ante-coenam- Pemberian vitamin C 3x100 mg, 1 hr ante-coenam- Pemberian Sukralfat untuk melindungi lambung- Stop NSAID, ganti dengan analgetik ringan lain seperti Parasetamol- Endoskopi untuk melihat lokasi dan luas lesi mukosa saluran cerna- Jika lesi luas dan massif operasi
j. Bagaimana pencegahan pada kasus?
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan kesehatan
masyarakat tentang kebersihan lingkungan tempat tinggal dan higiene sanitasi
masyarakat yang tingkat pendidikan dan faktor sosial ekonominya yang rendah
yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang pemakaian jamban terutama di
daerah pedesaan, atau daerah yang terpencil. Menganjurkan supaya memakai alas
kaki terutama ketika keluar rumah, membiasakan cuci tangan pakai sabun
sebelum makan. Juga dilakukan penyuluhan gizi yaitu penyuluhan yang ditujukan
kepada masyarakat pedesaan mengenai gizi keluarga, yaitu dengan
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi terutama yang
berasal dari protein hewani,yaitu daging dan penjelasan tentang bahan –bahan
makanan apa saja yang dapat membantu penyerapan zat besi dan yang dapat
menghambat penyerapan besi.
Beberapa makanan yang mengandung besi heme kurang, seperti daging
sapi, ayam, ikan, telur sebagai protein hewani yang mudah diserap. Serta
kurangnya intake besi non heme seperti sereal, gandum, jagung, kentang, ubi
jalar, talas, beras merah, beras putih, kismis, tahu, sayuran, kacang-kacangan,
buah-buahan (kurma, apel, jambu, alpukat, nangka, salak). Selain itu makanan
yang menghambat absorpsi besi seperti polifenol, kalsium dan protein kedelai.
Selain itu dilakukan upaya pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber
perdarahan kronik, yang paling sering terjadi didaerah tropik.
33
k. Apa komplikasi pada kasus?
Gangguan jantung yang pada awalnya hanya berdebar, lama-lama jantung
bisa membesar. Jantung yang membesar lama-lama terganggu fungsinya,
sehingga terjadilah gagal jantung.
Gangguan kehamilan, kemungkinan tinggi terjadi lahir prematur & berat
lahir rendah.
Gangguan pertumbuhan & mudah kena infeksi, bila terjadi pada anak.
Cepat lelah, pucat, lemas, nafas cepat, sakit kepala, pusing atau
pening.Telapak kaki tangan dingin, sering sariawan, detak jantung cepat
dan dada berdebar
l. Bagaimana prognosis pada kasus?
Prognosis pada kasus bisa dubia ad bonam jika menunjukkan respon pengobatan
baik, antara lain retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada
hari ke-10 dan kembali normal setelah hari ke-14, kenaikan Hb 0,15 g/dL per hari
atau 2 g/dL setelah 3-4 minggu sehingga Hb akan kembali normal setelah 4-10
minggu.
D.Merumuskan Keterbatasan Masalah dan Learning Issue
34
E.
Sintesis Masalah
E.1. Eritropoiesis
Siklus Eritropoesis
1. Rubiblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritroblast, merupakan sel termuda dalam sel
eritrosit. Sel iniberinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin yang halus. Ukuran sel
35
No. Learning Issues What I Know What I Don’t
Know
What I Have To
Know
Sumber
1. Eritropoiesis Pengertian
Sel yang
terlibat
Gambaran
umum
Proses Proses
Lecture,
Literatur,
Text Books,
Jurnal
2. Metabolisme
Besi dalam
tubuh
Gambaran
umum
Fungsi
Proses Proses
3. Anemia
Defisiensi Besi
Definisi
Penyebab
Klasifikasi
Patofisiologi
Tatalaksana
Penegakkan
diagnosis
Klasifikasi
Patofisiologi
Tatalaksana
Penegakkan
diagnosis
rubriblast bervariasi 18-25 mikron.Dalam keadaan normal jumlah rubriblast dalam sumsum
tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh jumlah selberinti.
2. Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Ukuran lebih kecil dari
rubriblast. Jumlahnyadalam keadaan normal 1-4 % dari seluruh sel berinti.
3. Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik. Inti sel ini
mengandung kromatin yangkasar dan menebal secara tidak teratur, di beberapa tempat
tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini sudahtidak terdapat lagi anak inti, inti sel lebih
kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak, mengandungwarna biru karena
asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena hemoglobin. Jumlah sel ini
dalamsumsum tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %.
4. Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik. Inti sel ini kecil
padat dengan strukturkromatin yang menggumpal. Sitoplasma telah mengandung lebih
banyak hemoglobin sehingga warnanya merahwalaupun masih ada sisa-sisa warna biru
dari RNA. Jumlahnya dalah keadaan normal adalah 5-10%.
5. Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan penglepasan inti sel,
masih diperlukanbeberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini
berlangsung di dalam sumsum tulang dansebagian lagi dalam darah tepi. Setelah dilepaskan
dari sumsum tulang sel normal akan beredar sebagai retikulositselama 1-2 hari. Dalam darah
normal terdapat 0,5
–2,5% retikulosit.
6. Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkaf dengan ukuran diameter 7-8
mikron dan tebal 1,5- 2,5mikron. Bagian tengah sel ini lebih tipis daripada bagian tepi.
Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarnakemerah-merahan karena mengandung
hemoglobin. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan dihancurkanbila mencapai
umurnya oleh limpa.
Faktor Pembentukan Eritropoesis
Ada 3 faktor yang mempengaruhi eritropoiesis:
1. Eritropoietin
36
Penurunan penyaluran ke ginjal merangsang ginjal darah untuk mengeluarkan hormon
eritropoietin ke dalamdarah, dan hormon ini kemudian merangsang eritropoiesis di sumsum
tulang. Eritropoietin bekerja pada turunan sel-sel bakal yang belum berdiferensiasi yang telah
berkomitmen untuk menjaadi sel darah merah, yaitu merangsang proliferasi dan pematangan
mereka.
2. Kemampuan respon sumsum tulang (anemia, perdarahan)
3. Intergritas proses pematangan eritrosit
E.2. Metabolisme BesiBesi merupakan unsur vital yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan
hemoglobin, dan merupakan komponen penting pada system enzim pernafasan. Pada
metabolisme besi perlu diketahui komposisi dan distribusi besi dalam tubuh, cadangan besi
tubuh, siklus besi, absorbsi besi dan transportasi besi.
A. Bentuk zat besi dalam tubuh.
Terdapat empat bentuk zat besi dalam tubuh yaitu:
a. Zat besi dalam hemoglobin.
b. Zat besi dalam depot (cadangan) sebagai feritin dan hemosiderin
c. Zat besi yang ditranspor dalam transferin.
d. Zat besi parenkhim atau zat besi dalam jaringan seperti mioglobin dan beberapa
enzim antara lain sitokrom, katalase, dan peroksidase.
Tabel Kompartemen zat besi dalam tubuh.
Dari tabel ini kelihatan bahwa sebagian besar zat besi terikat dalam hemoglobin yang
berfungsi khusus, yaitu mengangkut oksigen untuk keperluan metabolisme dalam jaringan-
37
jaringan. Sebagian lain dari zat besi terikat dalam sistem retikuloendotelial (RES) di hepar
dan sumsum tulang sebagai depot besi (cadangan). Sebagian kecil dari zat besi dijumpai
dalam transporting iron binding protein (transferin), sedangkan sebagian kecil sekali didapati
dalam enzim-enzim yang berfungsi sebagai katalisator pada proses
metabolisme dalam tubuh. Fungsi-fungsi tersebut diatas akan terganggu pada penderita
anemia defisiensi besi.
Proses metabolisme zat besi digunakan untuk biosintesa hemoglobin, dimana zat besi
digunakan secara terus- menerus. Sebagian besar zat besi yang bebas dalam tubuh akan
dimanfaatkan kembali (reutilization), dan hanya sebagian kecil sekali yang diekskresikan
melalui air kemih, feses dan keringat.
B. Kebutuhan zat besi.
Kebutuhan zat besi dalam makanan setiap harinya sangat berbeda, hal ini tergantung pada
umur, sex, berat badan dan keadaan individu masing-masing. Kebutuhan zat besi yang
terbesar ialah dalam 2 tahun kehidupan pertama. selanjutnya selama periode pertumbuhan,
kenaikan berat badan pada usia remaja dan sepanjang masa produksi wanita.
Pada masa pertumbuhan diperlukan tambahan sekitar 0,5 -1 mg / hari, sedangkan
wanita pada masa mensturasi memerlukan tambahan zat besi antara 0,5 -1 mg / hari. Pada
wanita hamil kebutuhan zat besi sekitar 3 -5 mg/hari dan tergantung pada tuanya kehamilan.
Pada seorang laki laki normal dewasa kebutuhan besi telah cukup bila dalam makanannya
terdapat 10-20 mg zat besi setiap harinya.
Asupan zat besi yang masuk ke dalam tubuh kita kira-kira 10 – 20 mg setiap harinya,
tapi ternyata hanya 1 – 2 mg atau 10% saja yang di absorbs oleh tubuh. 70% dari zat besi
yang di absorbsi tadi di metabolisme oleh tubuh dengan proses eritropoesis menjadi
hemoglobin, 10 - 20% di simpan dalam bentuk feritin dan sisanya 5 – 15% di gunakan oleh
tubuh untuk proses lain. Besi Fe3+ yang disimpan di dalam ferritin bisa saja di lepaskan
kembali bila ternyata tubuh membutuhkannya.
Feritin merupakan salah satu protein kunci yang mengatur hemostasis besi dan juga
merupakan biomarker klinis yang tersedia secara luas untuk mengevaluasi status besi dan
secara khusus penting untuk mendeteksi defisiensi besi. Kadar feritin pada laki-laki dan
wanita berbeda, pada laki-laki dan wanita postmenopause kadar feritin kurang dari
300ng/ml , pada wanita premonoupase kurang dari 200 ng/ml.
38
Tabel Distribusi normal komponen besi pada pria dan wanita (mg/kg)
Gambar Distribusi
Besi Dalam Tubuh
Dewasa Andrews,
N. C., 1999.
C. Absorbsi besi
Menurut Bakta (2006) proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
1. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-heme. Besi
heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi
non-heme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi
dalam makanan diolah di lambung, karena pengaruh asam lambung maka besi dilepaskan
dari ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke
fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.
2. Fase Mukosal
39
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal.
Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks. Dikenal adanya
mucosal block (mekanisme yang dapat mengatur penyerapan besi melalui mukosa usus)
3. Fase Korporeal
Meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan,
serta penyimpanan besi (storage) oleh tubuh. Besi setelah diserap oleh enterosit (epitel usus),
melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus, kemudian dalam darah diikat oleh
apotransferin menjadi transferin. Transferin akan melepaskan besi pada sel RES melalui
proses pinositosis.
Gambar Absorbsi zat besi. Sumber: Andrews NC,New Engl J Med. 341:1986-1995,
Copyright © 1999 Massachusetts Medical Society.
D. Mekanisme regulasi absorbsi besi
Terdapat 3 mekanisme regulasi absorbsi besi dalam usus:
1. Regulator dietetik : absorbsi besi dipengaruhi oleh jumlah kandungan besi dalam makanan,
jenis besi dalam makanan (besi heme atau non heme), adanya penghambat atau pemacu
absorbsi dalam makanan.
2. Regulator simpanan : Penyerapan besi diatur melalui besarnya cadangan besi dalam tubuh.
3. Regulator eritropoetik : Besar absorbsi besi berhubungan dengan kecepatan eritropoesis.
Mekanisme ini belum diketahui dengan pasti.
E. Transport zat besi.
Transferin
40
Transferin adalah β1 globulin (protein fase akut negatif), merupakan glikoprotein
dengan berat molekul 79570 dalton, terdiri dari polypeptide rantai tunggal dengan 679 asam
amino dalam dua domain homolog. N-terminal dan C-terminal masing-masing mempunyai
satu tempat ikatan dengan Fe3+. Satu molekul transferin mengikat 2 atom besi (Fe3+).
Transferin akan berikatan dengan reseptor transferin, setiap reseptor transferin mengikat 2
molekul transferin.
Transferin terutama disintesis oleh sel parenkim hati, sebagian kecil di otak, ovarium,
dan limfosit T helper. Transferin mempunyai waktu paruh 8-11 hari.
Transferin mempunyai 3 fungsi utama yaitu
1. Solubilisasi Fe3+, mengikat besi dengan afinitas tinggi
2. Mengantar besi ke sel
3. Berinteraksi dengan reseptor membran
Jumlah transferin dinyatakan dalam jumlah besi yang terikat disebut sebagai Total
Iron Binding Capacity (TIBC). Pada orang dewasa normal kadar besi plasma kira-kira 18
µmol/L setara dengan 100 µg/dL. TIBC 56 µmol setara dengan 300 µg/dL. Dengan demikian
hanya sepertiga bagian dari transferin yang berikatan dengan besi, sehingga masih tersedia
cadangan yang cukup banyak untuk berikatan dengan besi apabila terjadi kelebihan besi. Hal
ini penting dalam diagnosis gangguan metabolism besi.
Besi (Fe3+) di dalam plasma yang berikatan dengan apotransferin (Tf), Fe-Tf akan
berikatan dengan reseptor transferin (TfR) pada permukaan sel. Kompleks TfR dan Fe3+ -Tf
bersama DMT 1 di clathin-coated pit, mengalami invaginasi membentuk endosom. Pompa
proton di dalam endosom akan menurunkan pH menjadi asam (5,5) mengakibatkan ikatan
antara Fe3+ dan apotransferin terlepas. Apotransferin tetap berikatan dengan TfR di
permukaan sel, sedangkan Fe3+ yang dilepaskan akan keluar melalui DMT 1 mitokondria
dan disimpan. Besi dengan protoporfirin selanjutnyadipergunakan untuk pembentukan heme.
Besi yang berlebih akan disimpan sebagai feritin dan hemosiderin. Akibat pH ekstrasel 7,4
ikatan antara apotransferin TfR di permukaan sel akan terlepas. Apotransferin akan
dilepaskan keluar dari sel menuju sirkulasi dan berfungsi kembali sebagai pengangkut besi,
sedangkan TfR akan menjadi Truncated Transferin Receptor atau Soluble Transferin
Receptor (sTfR).
41
Gambar Siklus Transferin. Sumber: Andrews, N. C., 1999. Disorders of Iron Metabolism.
N Engl J Med; 26: 1986-95).
Reseptor Transferin
Reseptor Transferin merupakan protein transmembran homodimer terdiri dari 2 molekul
monomer yang identik, terikat pada 2 ikatan sulfide pada residu sitein 89 dan 92, terletak
ekstraseluler. Tiap monomer mempunyai berat molekul 90 kD, terdiri dari 780 residu asam
amino dengan 3 domain, yaitu protease-like domain (A) berikatan dengan aminopeptidase,
apical domain (B), dan helical domain (C). Setiap monomer mengikat 1 molekul transferin
yang telah mengikat 2 atom Fe3+. Setiap reseptor transferin mengikat 2 molekul transferin.
Hampir semua sel tubuh mengekspresikan reseptor transferin.
Soluble Transferin Receptor (sTfR)
Dalam plasma STfR berada dalam bentuk kompleks dengan transferin, memiliki berat
molekul 320 kD. Kadar sTfR serum berkorelasi dengan jumlah reseptor transferin yang
diekspresikan pada permukaan sel. Kadar sTfR tidak di pengaruhi oleh protein fase akut,
kerusakan hati akut, dan keganasan. Kadar sTfR menggambarkan aktivitas eritropoiesis.
sehingga kadar sTfR dapat digunakan monitoring aktivitas eritropoiesis.
F. Erythropoiesis
Sistem eritroid terdiri atas sel darah merah (eritrosit) dan precursor eritroid. Unit
fungsional dari sitem eritroid ini dikenal sebagai eritron yang berfungsi sebagai pembawa
oksigen. Prekursor eritroid dalam sumsum tulang berasal dari sel induk hemopoietik, melalui
42
jalur sel induk myeloid, kemudian menjadi sel induk eritroid, yaitu BFU-E dan selanjutnya
CFU-E. Prekursor eritroid dalam sumsum tulang dikenal sebagai pronormoblast, berkembang
menjadi basophilic selanjutnya polychromatophilic normoblast dan acidophilic (late)
normoblast. Sel ini kemudian kehilangan intinya, masih tertinggal sisa-sisa RNA, yang jika di
cat dengan pengecatan khusus akan tampak, seperti jala sehingga disebut retikulosit.
Retikulosit akan dilepas ke darah tepi, kehilangan sisa RNA sehingga menjadi erotrosit
dewasa. Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis, yang terjadi dalam sumsum tulang.
Eritrosit hidup dan beredar dalam darah tepi (life span) rata-rata selama 120 hari.
Setelah 120 hari eritrosit mengalami proses penuaan (senescence) kemudian dikeluarkan dari
sirkulasi oleh sistem RES. Apabila destruksi terjadi sebelum waktunya (<120 hari) maka
proses ini disebut sebagai hemolisis. Komponen eritrosit terdiri atas membran eritrosit,
system enzim (pyruvat kinase dan G6PD) dan hemoglobin (alat angkut oksigen).
Hb merupakan senyawa biomolekul yang terdiri dari heme (gabungan protoporfirin
dan besi) dan globin (bagian protein yang terdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai beta). Besi
didapat dari transferin. Pada permulaan sel eritrosit berinti terdapat reseptor transferin.
Jumlah eritrosit normal dalam tubuh kita berkisar antara 4-5 juta/µl (pada wanita) atau 5-6
juta/µl (pada pria).
Gambar 4. Eritropoiesis. Adapted from Bron et al. Semin Oncol.2001, and Weiss et al. N
Engl J Med.2005
Gambar diatas menjelaskan bahwa hanya Fe2+ yang terdapat dalam transferin dapat
digunakan dalam eritropoesis, karena sel "eritroblas" dalam sumsum tulang hanya memiliki
"reseptor" untuk feritin. Kelebihan besi yang tidak digunakan disimpan dalam stroma
sumsum tulang sebagai feritin. Besi yang terikat pada β-globulin (feritin) selain berasal dari
43
mukosa usus juga berasal dari limpa, tempat eritrosit yang sudah tua (berumur 120 hari)
dihancurkan sehingga besinya masuk ke dalam jaringan limpa untuk kemudian terikat pada β-
globulin (menjadi transferin) dan kemudian ikut aliran darah ke sumsum tulang untuk
digunakan eritroblas membentuk hemoglobin.
Gangguan dalam pengikatan besi untuk membentuk Hb akan mengakibatkan
terbentuknya eritrosit dengan sitoplasma yang kecil (mikrositer) dan kurang mengandung Hb
di dalamnya (hipokrom). Tidak berhasilnya sitoplasma sel eritrosit berinti mengikat Fe untuk
pembentukan Hb dapat disebabkan oleh karena rendahnya kadar Fe dalam darah (kurang gizi,
gangguan absorbsi Fe, kebutuhan besi yang meningkat) dan rendahnya kadar transferin dalam
darah.
G. Feritin
Feritin adalah salah satu protein yang penting dalam proses metebolisme besi di
dalam tubuh. Sekitar 25% dari jumlah total zat besi dalam tubuh berada dalam bentuk
cadangan zat besi (depot iron), berupa feritin dan hemosiderin. Feritin dan hemosiderin
sebagian besar terdapat dalam limpa, hati, dan sumsum tulang. Feritin adalah protein intra sel
yang larut didalam air, yang merupakan protein fase akut. Hemosiderin merupakan cadangan
besi tubuh berasal dari feritin yang mengalami degradasi sebagian, terdapat terutama di
sumsum tulang, bersifat tidak larut di dalam air.
Pada kondisi normal, feritin menyimpan besi di dalam intraseluler yang nantinya
dapat di lepaskan kembali untuk di gunakan sesuai dengan kebutuhan. Serum feritin adalah
suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan besi pada orang
sehat. Serum feritin <12 ug/l sangat spesifik untuk defisiensi zat besi, yang berarti bila semua
cadangan besi habis, dapat dianggap sebagai diagnostik untuk defisiensi zat besi.
Struktur dan fungsi feritin
Ferritin adalah kompleks protein yang berbentuk globular, mempunyai 24 subunit-
subunit protein yang menyusunnya dengan berat molekul 450kDa, terdapat di semua sel baik
di sel prokayotik maupun di sel eukaryotik. Pada manusia, subunit - subunit pembentuk
feritin ada dua tipe, yaitu Tipe L (Light) Polipeptida dan Tipe H (Heavy) Polipeptida, dimana
masing – masing memiliki berat molekul 19 kD dan 21 kD Tipe L yang disimbolkan dengan
44
FTL berlokasi di kromosom 19 sementara Tipe H yang disimbolkan dengan FTH1 berlokasi
di kromosom 11.
Feritin mengandung sekitar 23% besi. Setiap satu kompleks feritin bisa menyimpan
kira – kira 3000 - 4500 ion Fe3+ di dalamnya. Feritin bisa ditemukan atau disimpan di liver,
limpa, otot skelet dan sumsum tulang. Dalam keadaan normal, hanya sedikit feritin yang
terdapat dalam plasma manusia. Jumlah feritin dalam plasma menggambarkan jumlah besi
yang tersimpan di dalam tubuh kita. Bila dilihat dari stuktur kristalnya, satu monomer feritin
mempunyai lima helix penyusun yaitu blue helix, orange helix, green helix, yellow helix dan
red helix dimana ion Fe berada di tengah kelima helix tersebut.
Besi bebas bersifat toxic untuk sel, karena besi bebas merupakan katalisis
pembentukan radikal bebas dari Reactive Oxygen Species (ROS) melalui reaksi Fenton.
Untuk itu, sel membentuk suatu mekanisme perlindungan diri yaitu dengan cara membuat
ikatan besi dengan feritin. Jadi feritin merupakan protein utama penyimpan besi di dalam sel.
Hubungan feritin dan CRP
Besi berperan penting dalam pembentukan sel-sel darah merah, pengangkutan
elektron, imunitas tubuh serta proses tumbuh kembang terutama motorik dan mental.
Kekurangan zat besi berhubungan dengan kejadian infeksi dan inflamasi, hal ini digambarkan
dengan perubahan kadar feritin serum, zat besi serum, dan saturasi transferin pada saat fase
akut. Beberapa penelitian menunjukkan beberapa penanda proses inflamasi yang dapat
digunakan untuk menggambarkan proses inflamasi yang berkaitan dengan perubahan kadar
zat besi dalam tubuh. Penelitian terbaru menunjukkan penanda protein fase akut yang paling
sering yaitu C-Reaktive Protein.
Protein fase akut memegang peran dalam proses inflamasi yang kompleks.
Konsentrasi protein fase akut akan meningkat secara signifikan selama proses inflamasi akut
misalnya adanya infeksi, tumor, tindakan pembedahan, infark miokard. Peningkatan tersebut
disebabkan oleh peningkatan sintesis di hati namun tidak dapat digunakan untuk menentukan
penyebab inflamasi. Pengukuran protein fase akut dapat digunakan untuk mengamati
progresivitas dari inflamasi serta melihat respon terapi dengan menilai kapan protein fase
akut mulai meningkat dan kapan kadar yang tertinggi tercapai.
Kadar CRP kan meningkat cepat pada infeksi disebut respon fase akut. Peningkatan
CRP berhubungan dengan peningkatan konsentrasi interleukin-6 (IL-6) didalam pasma yang
sebagian besar diproduksi oleh makrofag. Makrofag merupakan sel imun yang berperan
langsung dengan kadar zat besi dalam tubuh manusia. Makrofag membutuhkan zat besi untuk
45
memproduksi highly toxic hydroxyl radical , juga merupakan tempat penyimpanan besi yang
utama pada saat terjadi proses inflamasi. Sitokin, radikal bebas, serta protein fase akut yang
dihasilkan oleh hati akan mempengaruhi homeostasis besi oleh makrofag dengan cara
mengatur ambilan dan keluaran besi sehingga akan memicu peningkatan retensi besi dalam
makrofag pada saat terjadi inflamasi. Besi juga mengatur aktivitas sitokin, proliferasi, dan
aktivitas limfosit sehingga diferensiasi dan aktivasi makrofag akan terpengaruh.
E.3. Anemia Defisiensi BesiAnemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya persediaan
besi untk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) sehngga
pembentukan hemoglobin berkurang.
Epidemiologi
Anemia ini merupakan anemia yang paling sering dijumpai di negara berkembang.
Martoatmojo et al memperkirakan prevalensi ADB di Indonesia adalah 16-50% pada laki-
laki, 25-84%pada perempuan tidak hamil, dan 46-92% pada perempuan hamil. Anemia ini
merupakan bentuk anemia yang paling prevalens, termasuk anemia defisiensi nutrisi.
Pada anak-anak usia 1-2 tahun terjadi anemia bentuk ini hingga 47%.
Kriteria Anemia menurut WHO:
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki dewasa < 14 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl
Di Indonesia memakai kriteria Hb < 10 g/dl sebagai awal dari anemia.
Lebih sering laki-laki karena intensitas terpapar lingkungan lebih sering. Untuk usia,
produktif
Klasifikasi Derajat Defisiensi Besi
Deplesi besi : cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk eritropoiesis belum
terganggu.
46
Eritropoiesis defisiensi besi: cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritopoiesis
terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.
Anemia defisiensi besi: cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi.
Etiologi
Keseimbangan besi negative dapat disebabkan karena:
Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
- Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker
lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang
- Saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia
- Saluran kemih: hematuria
- Saluran napas: hemoptoe
Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
Faktor nutrisi: kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau kualitas besi yang tidak
baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging)
Peningkatan kebutuhan
Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan,
masa menyusui, dan kehamilan
Besi yang dibutuhkan laki-laki dewasa sekitar 5-10 mg/hari, sedangkan pada wanita
mencapai7-20 mg/hari. Pada wanita hamil, kebutuhan dapat meningkat hingga 30
mg/hari.
Patogenesis
Anemia defisiensi besi melalui beberapa fase patologis yaitu:
Deplesi Besi
Deplesi besi merupakan tahapan awal dari ADB. Berbagai proses patologis yang
menyebabkan kurangnya besi memacu tubuh untuk menyesuaikan diri yaitu dengan
meningkatkan absorbsi besi dari usus. Pada tahapan ini tanda yang ditemui adalah
penurunan ferritin serum dan besi dalam sumsum tulang berkurang.
Eritropoesis defisiensi besi
Kekurangan besi yang terus berlangsung menyebabkan besi untuk eritropoiesis
berkurang namun namun secara klinis anemia belum terjadi, kondisi ini dinamakan
eritropoiesis defisiensi besi. Tanda-tanda yang ditemui pada fase ini adalah peningkatan
47
kadar protoporhyrin dalam eritrosit, penurununan saturasi transferin, dan peningkatan
Total iron binding capacity (TIBC).
Anemia defisiensi besi
Jika jumlah besi terus menurun maka eritropoiesis akan terus terganggu dan kadar
hemoglobin mulai menurun sehingga terjadi anemia hipokromik mikrositik. Kondisi ini
sudah bisa dikategorikan sebagai anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi memberikan dampak kesehatan yang cukup banyak kepada
seseorang misalnya gangguan sistem neuromuscular, gangguan kognitif, gangguan
imunitas, dan gangguan terhadap janin.
Pengaruh Defisiensi Besi Selain Anemia
Sistem nuromuskular yang menimbulkan gangguan kapasitas kerja: defisiensi besi
menimbulkan penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom dan gliserofosfat
oksidase, menyebabkan gangguan glikolisis asam laktat menumpuk kelelahan otot
Gangguan terhadap fungsi mental dan kecerdasan: gangguan pada enzim aldehid
oksidase serotonin menumpuk, enzim monoaminooksidase penumpukan
katekolamin dalam otak.
Gangguan imunitas dan ketahanan infeksi
Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis anemia defisiensi besi dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu gejala
langsung anemia (anemic syndrome) dan gejala khas defisiensi besi. Gejala yang termasuk
dalam anemic syndrome terjadi ketika kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 mg/dL berupa
lemah, cepat lelah, mata berkunang-kunang, dan telinga berdenging. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan konjungtiva pasien pucat. Gejala khas yang muncul akibat defisiensi besi
antara lain koilonychia (kuku sendok), atrofi papil lidah, cheilosis (Stomatitis angularis),
disfagia, atrofi mukosa gaster, dan Pica (Keinginan untuk memakan tanah).
Selain gejala-gejala tersebut jika anemia disebabkan oleh penyakit tertentu maka gejala
penyakit yang mendasarinya juga akan muncul misalnya infeksi cacing tambang
menyebabkan gejala dyspepsia atau kanker kolon menyebabkan hematoskezia
Gejala Umum
48
Gejala berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging. Pada anemia ini, penurunan kadar Hb terjadi secara perlahan-lahan. Anemia
bersifat simtomatik jika kadar Hb turun di bawah 7 g/dL. Pada pemeriksaan fisik, pasien
dijumpai pucat, terutama pada konjungtiva dan daerah bawah kuku
Gejala Khas
Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan
menjadi cekung sehingga mirip sendok
Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang
Stomatitis angularis: radang pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna
pucat keputihan
Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
Pica: keinginan memakan makanan yang tidak lazim, ex: tanah liat, es, lem, dll
Gejala Penyakit Dasar
Pada anemia penyakit cacing tambang, dijumpai dyspepsia, parotis membengkak, dan kulit
telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat
kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain tergantung
lokasi kanker tersebut.
Diagnosis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital untuk melihat kondisi umum yang
mungkin menjadi penyebab utama yang mempengaruhi kondisi pasien atau efek
anemia terhadap kondisi umum pasien. Pemeriksaan fisik ditujukan untuk menemukan
berbagai kondisi klinis manifestasi kekurangan besi dan sindroma anemic.
Pemeriksaan laboratorium
Jenis Pemeriksaan Nilai
Hemoglobin Kadar Hb biasanya menurun disbanding nilai normal
berdasarkan jenis kelamin pasien
49
MCV Menurun (anemia mikrositik)
MCH Menurun (anemia hipokrom)
Morfologi Terkadang dapat ditemukan ring cell atau pencil cell
Ferritin
Ferritin mengikat Fe bebas dan berkamulasi dalam sistem
RE
sehingga kadar Ferritin secara tidak langsung
menggambarkan
konsentrasi kadar Fe. Standar kadar normal ferritin pada
tiap
center kesehatan berbeda-beda. Kadar ferritin serum
normal
tidak menyingkirkan kemungkinan defisiensi besi namun
kadar ferritin >100 mg/L memastikan tidak adanya anemia
defisiensi besi
TIBC
Total Iron Binding Capacity biasanya akan meningkat
>350
mg/L (normal: 300-360 mg/L )
Saturasi transferin
Saturasi transferin bisanya menurun <18% (normal: 25-
50%)
Pulasan sel Dapat ditemukan hyperplasia normoblastik ringan sampai
sumsum tulang sedang dengan normoblas kecil. Pulasan besi dapat
menunjukkan butir hemosiderin (cadangan besi) negatif.
Sel-
sel sideroblas yang merupakan sel blas dengan granula
ferritin
biasanya negatif. Kadar sideroblas ini adalah Gold standar
50
untuk menentukan anemia defisiensi besi, namun
pemeriksaan
kadar ferritin lebih sering digunakan.
Diagnosis anemia defisiensi besi meliputi bukti-bukti anemia, bukti defisiensi besi, dan
menentukan penyebabnya. Menentukan adanya anemia dapat dilakukan secara sederhana
dengan pemeriksaan hemoglobin. Untuk pemeriksaan yang lebih seksama bukti anemia dan
bukti defisiensi besi dapat dilakukan kriteria modifikasi Kerlin yaitu:
Anemia hipokrom mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan
MCHC<31% dengan salah satu dari berikut ;
a. Dua dari tiga parameter di bawah ini:
Besi serum <50 mg/dl
TIBC >350 mg/dl
Saturasi transferin <15%
b. Feritin serum <20 mg/l
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia ( Perl’s stain ) menunjukan cadangan
besi (butir0butir hemosiderin ) negative
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setara)
selam 4 minggu disertai keniakn kadar hemoglobin lebih dari 2 g/d
Diagnosis Banding
Diagnosis diferensial utama dari anemia defisiensi besi yang mikrostik hipokromik
adalah thallasaemia, penyakit inflamasi kronik, dan sindroma mielodisplastik. Perbedaan dari
kondisi-kondisi tersebut antara lain:
Parameter Anemia Thallasaemia Inflamasi kronik Sindroma
defisiensi besi mielodisplastik
Klinis Sindroma Sindroma Sindroma anemiaSindroma anemia
anemia, tanda- anemia, jelas/tidak, gejala
51
tanda defisiensi hepatomegali, sistemik lain
besi overload besi
Blood Micro/hypo Normal, Micro/hypo, targetMicro/hypo
Smear micro/hypo Cell
TIBC Meningkat Menurun Normal -
Ferritin Menurun Normal Normal Normal/meningkat
Transferin Menurun Normal Normal/Meningkat -
Anemia defisiensi Anemia akibat Anemia
Besi penyakit kronik Sideroblastik
Derajat anemia Ringan-Berat Ringan Ringan-berat
MCV menurun Menurun/N Menurun/N
MCH Menurun Menurun/N Menurun/N
Besi serum Menurun<30 Menurun < 50 Normal/naik
TIBC Meningkat > 360 Menurun< 300 Normal/ menurun
Saturasi transferin Menurun < 15% Menurun/N 10-20% Meningkat > 20%
Besi sumsum tulang Negatif Posotif Positif dengan ring
sideroblast
Protoporfirin Meningkat Meningkat Normal
Eritrosit
Feritin serum Menurun < 20µg/l Normal 20-200µg/l Meningkat >50µg/l
Elektroforesis Hb N N N
Terapi
52
Terapi Kausal
Terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan cacing tambang. Tujuan
utama dari pengobatan infeksi STH adalah mengeluarkan semua cacing dewasa dari saluran
gastrointestinal. Obat yang banyak digunakan adalan Mebendazole (dosis tunggal 500 mg)
dan albendazole (dosis tunggal 400 mg). Benzimidazole bekerja menghambat polymerase
dari microtubule parasit yang menyebabkan kematian dari cacing dewasa dalam beberapa
hari. Walupun albendazole Idan mebendazole merupakan broad-spectrum terdapat
perbedaan penggunaanya dalam klinik. Kedua obat efektif terhadap ascaris dengan
pemebrian dosisi tunggal. Namun, untuk cacing tambang, mebendazole dosis tunggal
memberikan rate pengobatan rendah dan albendazole lebih efektif. Sebaliknya albendazole
dosis tunggal tidak efektif untuk kasus trichiuriasis. Obat antihelmentik bensimidazole adalah
embriotoksik dan teratogenik pada tikus yang hamil, sehingga jangan digunakan untuk bayi
dan selama kehamilan. Pyrantel pamoate dan levamisole merupakan pengobatan alternative
untuk infeksi Ascaris dan cacing tambang, walaupun pyrantel pamoate tidak efektif untuk
mengobati trichiuriasis.
Akhir-akhir ini ditemukan resistensi terhadap obat-obat tersebut. Untuk itu diperlukan
cara pengendalian yang baru. Vaksinasi tetap merupakan metode yang tepat untuk
mengendalikan infeksi STH, karena dapat memotong penyebaran infeksi STH. Vaksin cacing
tambang yang mengandung antigen larva Ancylosoma – secreted protein (ASP)2 efektif pada
model hewan (anjing dan tupai) dan studi epidemiologi menunjukan adanya efek pencegahan.
Vaksin cacing tambang Na ASP-2 saat ini masih dalam tahap pengembangan untuk dapat
digunakan pada manusia.
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh ( iron replacemen
therapy ).
1. Terapi Besi Oral
efektif, lebih aman, dan dari segi ekonomi preparat ini lebih murah. Preparat yang tersedia
berupa
Ferro Sulfat : merupakan preparat pilihan pertama karena paling murah dan efektif,
dengan dosis 3 x 200 mg, diberikan saat perut kosong [sebelum makan]. Jika hal ini
memberikan efek samping misalkan terjadi mual, nyeri perut, konstipasi maupun diare
maka sebaiknya diberikan setelah makan/ bersamaan dengan makan atau
menggantikannya dengan preparat besi lain.
53
Ferro Glukonat: merupakan preparat dengan kandungan besi lebih rendah daripada
ferro sulfat. Harga lebih mahal tetapi efektifitasnya hampir sama.
Ferro Fumarat, Ferro Laktat.
Waktu pemberian besi peroral ini harus cukup lama yaitu untuk memulihkan
cadangan besi tubuh kalau tidak, maka anemia sering kambuh lagi. Berhasilnya terapi besi
peroral ini menyebabkan retikulositosis yang cepat dalam waktu kira-kira satu minggu dan
perbaikan kadar hemoglobin yang berarti dalam waktu 2-4 minggu, dimana akan terjadi
perbaikan anemia yang sempurna dalam waktu 1-3 bulan. Hal ini bukan berarti terapi
dihentikan tetapi terapi harus dilanjutkan sampai 6 bulan untuk mengisi cadangan besi tubuh.
Jika pemberian terapi besi peroral ini responnya kurang baik, perlu dipikirkan kemungkinan –
kemungkinannya sebelum diganti dengan preparat besi parenteral. Beberapa hal yang
menyebabkan kegagalan respon terhadap pemberian preparat besi peroral antara lain
perdarahan yang masih berkelanjutan (kausanya belum teratasi), ketidak patuhan pasien
dalam minum obat (tidak teratur) dosis yang kurang, malabsorbsi, salah diagnosis atau
anemia multifaktorial.
2. Parenteral
Indikasi pemeberiaan besi parenteral : (1) intoleransi terhadap pemberian besi oral ;
(2) kepatuhan terhadap obat yang rendah ; (3) gagngguan pencernaan seperti colitis ulseratif
yang dpat kambuh jika diberikan besi; (4) penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada
gastrektomi ; (5) kehilangan darah banyak pada hereditary hemorrhagic teleangiectasia; (6)
kebeutuhan besi yang cepat, misalnya pada ibu kehamilan trisemester ketiga atau sebelum
operasi; (7) difisiensi besi fungsional relative akibat pemberian eritropoetin pada anemia
gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit krnik.
Ada beberapa contoh preparat besi parenteral: - Besi Sorbitol Sitrat (Jectofer)
Pemberian dilakukan secara intramuscular dalam dan dilakukan berulang. - Ferri hidroksida-
sucrosa (Venofer) Pemberian secara intravena lambat atau infus. Beberapa efek samping
yang dapat ditimbulkan dari pemberian besi parenteral meliputi nyeri setempat dan warna
coklat pada tempat suntikan, flebitis, sakit kepala, demam, artralgia, nausea, vomitus, nyeri
punggung, flushing, urtikaria, bronkospasme, dan jarang terjadi anafilaksis dan kematian.
c. Pengobatan lain
54
Dosis besi parenteral Kebutuhan besi [ m g]= (15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 100 mg
1. Diet: perbaikan diet sehari-hari yaitu diberikan makanan yang bergizi dengan tinggi
protein dalam hal ini diutamakan protein hewani.
2. Vitamin C: pemberian vitamin C ini sangat diperlukan mengingat vitamin C ini akan
membantu penyerapan besi. Diberikan dengan dosis 3 x 100mg.
3. Transfusi darah: pada anemia defisiensi besi ini jarang memerlukan transfusi kecuali
dengan indikasi tertentu.
Komplikasi
Gangguan jantung yang pada awalnya hanya berdebar, lama-lama jantung bisa
membesar. Jantung yang membesar lama-lama terganggu fungsinya, sehingga
terjadilah gagal jantung.
Gangguan kehamilan, kemungkinan tinggi terjadi lahir prematur & berat lahir rendah.
Gangguan pertumbuhan & mudah kena infeksi, bila terjadi pada anak.
Cepat lelah, pucat, lemas, nafas cepat, sakit kepala, pusing atau pening.Telapak kaki
tangan dingin, sering sariawan, detak jantung cepat dan dada berdebar
Prognosis
Ketika penyebab merupakan sesuatu yang tidak berat, maka prognosisnya baik, dapat
dilakukan terapi pemberian besi secara berkelanjutan. Jika terapi dihentikan setelah anemia
membaik tetapi cadangan besi belum kembali maka dapat terjadi rekurensi anemia. Untuk
itulah, terapi harus dilakukan paling tidak 12 bulan agar tidak hanya kebutuhan zat besi yang
tercukupi, tetapi juga cadangan besinya terisi. Quo ad vitam: Bonam, Quo ad fungsionam:
Bonam
F. Kerangka Konsep
55
G. KesimpulanMrs. A, 60 tahun menderita anemia defisiensi besi et causa GIT bleeding yang diakibatkan
penggunaan NSAID jangka panjang.
Daftar PustakaSudoyo, Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta : Internal
Publishing.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakti, Edisi 6,
Volume 2. Jakarta: EGC.
56
Paruthi, shalini. 2015.Transferrin Saturation.
http://emedicine.medscape.com/article/2087960-overview#showall (diakses tanggal 22
desember 2015 )
Setiawan, Wawang.2012.Standar Kompetensi Dokter Indonesia.Jakarta : Konsil Kedokteran
Indonesia
Wallace, john L.Prostaglandins, NSAIDs, and Gastric Mucosal Protection: Why Doesn't the
Stomach Digest Itself?.Physiological Reviews Vol. 88 no. 4, 1547-1565.
http://physrev.physiology.org/content/88/4/1547 (Diakses tanggal 22 desember 2015)
Tanto, Chris, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid II. Jakarta : Media
Aesculapius
dr. Phey. 2014. IT : RBC, Anemia. Palembang : FK UNSRI
Diupload oleh Bilqis Biladi. [Online]. Diambil dari :
www.academia.edu/9012400/Memahami_dan_Menjelaskan_ Eritropoesis . Akses pada
22 Desember 2015
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.
Bakta, I Made, dkk. 2012. IPDL Vol. 2. Jakarta: Interna Publishing. Hal. 2592
Greenwold, M.J.; Sawyer, R.H. (2010). "Genomic organization and molecular phylogenies of
the beta (β) keratin multigene family in the chicken (Gallus gallus) and zebra finch
(Taeniopygia guttata): implications for feather evolution". BMC Evolutionary
Biology 10. doi:10.1186/1471-2148-10-148Harper, James L., dkk. 2015. “Iron
Deficiency Anemia Treatment & Management”. http://emedicine.medscape.com
/article/202333-treatment#d8, diunduhpada 22 Desember 2015
Price, Sylvia A. 2013. Patofisiologi. Jakarta: EGC
Soetedjo, A.Y. 2009.MengenalPenyakitMelaluiHasilPemeriksaanLaboratorium. Jogjakarta:
Amara BooksWallace. John L. 2008. “Prostaglandins, NSAIDs, and Gastric Mucosal
Protection: Why Doesn't the Stomach Digest Itself?”
http://physrev.physiology.org/content/88/4/1547.article-info: American Psychology
Association, diunduhpada 22 Desember 2015
Tim FK Universitas Indonesia. 2013. KapitaSelekta. Jakarta: FKUI
WiseGEEK.com. 2014. "What is Keratin?". http://www.wisegeek.org/what-is-keratin.htm,
Diunduhpada 22 Desember 2015.
57
Killip, Sherten, et al. Iron Deficiency Anemia. University of Kentucky, Lexington, Kentucky.
Am Fam Physician. 2007 Mar 1;75(5):671-678. diunduh pada 21 Desember 2015
Theml,H., H. Diem, T. Haferlach. Color Atlas of Hematology: Practical Microscopic and
Clinical Diagnosis, Ed. 2. New York: Thieme. 2004
Metha, A. B.. A. V. Hoffbrand. Haematology at a Glance. Blackwell. 2000
Martini, F. H., J. L. Nath, E. F. Bartholomew. Fundamentals of Anatomy and Physiology, Ed.
9. Singapore: Benjamin Cummings. 2012
Adamson, J. W.. Iron deficiency and other hypoproliverative anemias. dalam Kasper, D. L. et al (Eds.). Harrison’s Principles of Internal Medicine, ed. 16. McGraw-Hill, 2005: 586-592
Camaschella, C.. dalam Longo D. L. (Ed.). Iron-Deficiency Anemia. N Engl J Med, 2015; 372: 1832-43. diunduh pada 22 November 2015WHO. Iron Deficiency Anaemia Assessment, Prevention and Control: A guide for programme managers. WHO, 2001
Fairbanks, V. F., E. Beutler. Iron Deficiency. dalam Beutler, E. et al (Eds.). Williams Hematology, ed. 6. McGraw-Hill, 2000
58