Upload
eka-fitri-cahyani
View
50
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN TT KELOMPOK 3TYPHOID
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah blok gastrointestinal system
disusun oleh :1. Khona’ah Toyyibah 115070200111043
2. Meti Verdiyan Yunisa 115070200111045
3. Indira Rahmadewi 115070200111047
4. Hesti Purwaningsih 115070200111049
5. Amildya Dwi Arisanti 115070200111051
6. Reny Rudi Asista 115070200111053
7. Hartono 115070200111055
8. Eka Fitri Cahyani 115070201111001
9. Ade Rumondang M H 115070201111003
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALJURUSAN KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG2014
1. Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia.
Demam tifoid adalah penyakit demam sistemik akut generalisata yang
disebabkan oleh Salmonella typhi, biasanya menyebar melalui ingesti
makanan dan air yang terkontaminasi, ditandai dengan bakteremia
berkepanjangan serta invasi oleh patogen dan multifikasinya dalam
sel-sel fagosit mononuklear pada hati, limpa, kelenjar getah bening,
dan plak Peyeri di ileum. (Sudoyo, dkk. 2009).
Demam tifoid adalah infeksi Salmonella typhi yang mengenai
folikel limfoid ilenum yang disertai dengn menggigil, demam, sakit
kepalam batuk, lemah, distensi abdomen, Ruam molulopupular, dan
spelenomegali. Bila tidak diobati maka akan terjadi perforasi usus
pada pasien. Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat
akut, yang ditandai dengan bakteremia, perubahan pada sistem
retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses, dan
ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002)
2. Klasifikasi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk
batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan
mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat
hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es,
sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60 0C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari
tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia
lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap
formaldehid.
b. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae
atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu
protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan
terhadap panas dan alkohol.
c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang
dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut
aglutinin.
3. Epidemiologi
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enteric serovar typhi (S typhi). Salmonella enteric serovar
paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut
demamparatifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam
demam enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam
enterik adalah demam tifoid. Demam tifoid juga masih menjadi topik
yang sering diperbincangkan.
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA
dan Eropa dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan
yang baik yang sampai saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar
negara berkembang. Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan
menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun
2000. Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi
per tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan
kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus
per 100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin,
dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang
termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di
bagian dunia lainnya.
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan
merupakan reservoir untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat
bertahan hidup selama berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut
dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi
atau tiram yang dibekukan.1 Pada daerah endemik, infeksi paling
banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan.
Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan secara
oral. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang
terkontaminasi oleh feses. Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak
dijumpai pada populasi yang berusia 3-19 tahun. Selain itu, demam
tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya
anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya
sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk
makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.
4. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi,
basil gram negatif, berflagel (bergerak dengan bulu getar), anaerob,
dan tidak menghasilkan spora. Bakteri tersebut memasuki tubuh
manusia melalui saluran pencernaan dan manusia merupakan sumber
utama infeksi yang mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit
saat sedang sakit atau dalam pemulihan. Kuman ini dapat hidup
dengan baik sekali pada tubuh manusia maupun pada suhu yang
lebih rendah sedikit, namun mati pada suhu 70°C maupun oleh
antiseptik .
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat
motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan
strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan
asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme
salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob
fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun
dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1
jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat
hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari
dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah,
bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.
(Ashkenazi et al, 2002)
Salmonella typhi memiliki tiga macam antigen yaitu, antigen O
(somatik) merupakan polisakarida yang sifatnya spesifik untuk grup
Salmonella dan berada pada permukaan organisme dan juga
merupakan somatik antigen yang tidak menyebar, H (flagela) terdapat
pada flagella dan bersifat termolabil dan antigen Vi berupa bahan
termolabil yang diduga sebagai pelapis tipis dinding seli kuman dan
melindungi antigen O terhadap fagositosis (Mansjoer et, al
2008). Salmonella typhi biasanya ditularkan oleh unggas yang
terkontaminasi, daging merah, telur, dan susu yang tidak
dipasteurisasi. Juga ditularkan melalui kontak dengan hewan
peliharaan yang terinfeksi seperti kura-kura, reptil (Marlane 2008).
6. MANIFESTASI KLINIS
Masa Inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya
adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit
tidaklah khas, berupa :
anoreksia
rasa malas
sakit kepala bagian depan
nyeri otot
lidah kotor
gangguan perut (perut kembungdan sakit)
Gambaran klasik demam tifoid (GejalaKhas)
Biasanya jika gejala khas itu yang tampak,diagnosis kerja pun bisa
langsung ditegakkan. Yang termasuk gejala khas Demam tifoid adalah
sebagai berikut :
a. Minggu Pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit
itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain,
seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºc
hingga 40ºc, sakit kepala, pusing, pegal-pegal,anoreksia, mual,
muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut
lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis
kataral, perut kembung dan merasa tak enak,sedangkan diare dan
sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama,diare lebih
sering terjadi. Khaslidah pada penderita adalah kotor ditengah,
tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat
dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan
beradang.Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan
menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja
terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash)
umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen
disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercakros (roseola)
berlangsung 3-5 hari,kemudian hilang dengan sempurna.Roseola
terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa
macula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok,timbul paling
sering pada kulit perut,lengan atas atau dada bagian
bawah,kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat,
purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan
abdomen mengalami distensi.
b. Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari
kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada
minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam
keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan
penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi
perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi
meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relative
nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala
toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita
yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran umumnya
terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat
sedangkan tekanan darah menurun,sedangkan diare menjadi
lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi
perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan
sering berbunyi. Gangguan kesadaran.Mengantuk terus menerus,
mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain.
c. Minggu Ketiga
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di
akhir minggu. Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil
diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan
temperature mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi,
akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin
memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-
tanda khas berupa delirium atau stupor,otot-otot bergerak
terus,inkontinensia alvi dan inkontinensia urin.Meteorisme dan
timpani masih terjadi,juga tekanan abdomen sangat meningkat
diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps.
Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal
maupun umum, maka halini menunjukkan telah terjadinya
perforasi usus sedangkan keringat dingin,gelisah,sukar bernapas
dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya member gambaran
adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan
penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid
pada minggu ketiga.
d. Minggu keempat
Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal
minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau
tromboflebitis vena femoralis.
7. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1)
pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi
dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman
secara molekuler.
1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia,
jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin
didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau
sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan
limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh
beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis
leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas,
spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam
membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan
tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan
kuat diagnosis demam tifoid.
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo
Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita
demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan
leukosit normal (65.9%).
2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila
ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses,
sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan
tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena
hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil;
(2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan
pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.Sedangkan volume sumsum
tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.Bakteri
dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh
antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan
volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi
antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan
untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil
karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada
media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti
melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada
akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel
penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat
sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur
yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.
Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini
terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah
mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur
pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan
memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan
secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak.
Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas
kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh
keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan
antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah,
volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan
spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur
mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa
lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang
lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan
tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam
pelayanan penderita.
3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik
terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen
itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada
demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode
enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid.
Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi
oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut,
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau
lanjut dalam perjalanan penyakit).
3.1 UJI WIDAL
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan
rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah
memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum
penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda
terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang
ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi
aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan
menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube
test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan
digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung
membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan
untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990)
mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing
sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi
positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar
99.2%.Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak
dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan
sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas
sebesar 76-83%.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan
beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium
penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status
gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi;
gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah
endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta
reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan
spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil
membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang
positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita
demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah
digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih
diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum
ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point).
Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan
titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi
dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan
didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-
anak sehat. Penelitian oleh Darmowandowo di RSU
Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal
dengan titer >1/200 pada 89% penderita.
3.2 TES TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit)
dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang
hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya
mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang
menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa penelitian
pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji
Widal.Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas
sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang
ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.
3.3 METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk
melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen
OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase
pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana
didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan
terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak
dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan
reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi
dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif
dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207
kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar
76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi
positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar
91.66%. Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk
(2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6%
dan efisiensi uji sebesar 84%.Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan
salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal.
Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif
yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal
positif.Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan
uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk
mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan
akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil
kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit
demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan
membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat
yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di
tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman.
Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran
lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok
dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu
4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah
penerimaan serum pasien.
3.4 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap
antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d
(Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA
yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S.
typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody
sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%
pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang.
Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji
ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada
satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial
serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004)
terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi
serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan
antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu
pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu
diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan
Brucellosis.
3.5 PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik
dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi
IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung
antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM
anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat
digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas
laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan
kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan
kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk
(2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar
96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada
pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi
pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah
dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin
lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan
gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di
tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak
tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
4. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat
adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S.
typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR)
melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas
PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik
daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5
bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003)
mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan
kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode
PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif
palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara
cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa
menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam
spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif
rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum
memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.
8. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi
penatalaksanaan yang meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan
terapi penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian
antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam
tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal.
Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan
sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, dan
BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan
pnemonia orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu
diperhatikan dan dijaga. Pasien harus tirah baring absolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih selama 14 hari.
Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien.
Diet dan Terapi Penunjang
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
a. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita
tanpa gejala meteorismus, dan diet bubur saring pada
penderita dengan meteorismus. Hal ini dilakukan untuk
menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi
usus. Pembedahan biasanya dilakukan dalam kasus perforasi
usus. Kebanyakan ahli bedah lebih suka sederhana penutupan
perforasi dengan drainase peritoneum. Kecil usus reseksi
diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda. Gizi
penderita juga diperhatikan agar meningkatkan keadaan umum
dan mempercepat proses penyembuhan. Diet dan terapi
penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur
saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan
tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu nasi
dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan
serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu
diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan
umum pasien.
b. Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah
dan diare.
c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala
mual muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan
dapat dihentikan kapan saja penderita sudah tidak mengalami
mual lagi.
Pemberian Antimikroba
Obat – obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan
tatalaksana tifoid adalah:
Pada demam typhoid, obat pilihan yang digunakan adalah
chloramphenicol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat
diberikan secara oral maupun intravena, diberikan sampai
dengan 7 hari bebas panas. Chloramphenicol bekerja dengan
mengikat unit ribosom dari kuman salmonella, menghambat
pertumbuhannya dengan menghambat sintesis protein.
Chloramphenicol memiliki spectrum gram negative dan positif.
Efek samping penggunaan klorampenikol adalah terjadi
agranulositosis. Sementara kerugian penggunaan
klorampenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%),
penggunaan jangka panjang (14 hari), dan seringkali
menyebabkan timbulnya karier.
Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam tofoid sama
dengan kloramfenikol yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata
menurun pada hari ke-5 sampai ke-6. Komplikasi hematologi
seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol.
Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk menurunkan
demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis
50-150 mg/kgBB selama 2 minggu.
Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ) dapat
digunakan secara oral atau intravena pada dewasa pada dosis
160 mg TMP ditambah 800 mg SMZ dua kali tiap hari pada
dewasa.
Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu ceftriaxon dengan dosis 3-
4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam
perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari.
Golongan Flurokuinolon (Norfloksasin, siprofloksasin).
Secara relatif obat – obatan golongan ini tidak mahal, dapat
ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan obat –
obatan lini pertama sebelumnya (klorampenicol, ampicilin,
amoksisilin dan trimethoprim-sulfamethoxazole). Fluroquinolon
memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang baik,
sehingga mampu membunuh S. Thypi yang berada dalam
stadium statis dalam monosit/makrophag dan dapat mencapai
level obat yang lebih tinggi dalam gallblader dibanding dengan
obat yang lain. Obat golongan ini mampu memberikan respon
terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas dan
gejala lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan
fluriquinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian
karier pasca pengobatan.
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan
tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok
septik. Pada wanita hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan pada
trimester ke-3 karena menyebabkan partus prematur, kematian
fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus.
Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester pertama karena
memiliki efek teratogenik. Obat yang dianjurkan adalah
ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon.
Rekomendasi Antibiotik sesuai negara dan severitasnya
Negara Severitas First-Line
Antibiotik
Second-Line
Antibiotik
South Asia, East Asia Uncomplicated Cefixime PO Azithromycin PO
Complicated Ceftriaxone IV
or
Cefotaxime IV
Aztreonam IV or
Imipenem IV
Eastern Europe, Middle East,
sub-Saharan Africa, South
America
Uncomplicated Ciprofloxacin
PO or
Ofloxacin PO
Cefixime PO or
Amoxicillin PO or
TMP-SMZ PO
or Azithromycin
PO
Complicated Ciprofloxacin IV
or
Ofloxacin IV
Ceftriaxone IV or
Cefotaxime IV or
Ampicillin IV
or
TMP-SMZ IV
Unknown geographic origin or
Southeast Asia
Uncomplicated Cefixime PO
plus
Ciprofloxacin
PO or
Ofloxacin PO
Azithromycin
PO*
Complicated Ceftriaxone IV Aztreonam IV or
or
Cefotaxime IV,
plus
Ciprofloxacin IV
or
Ofloxacin IV
Imipenem IV,
plus
Ciprofloxacin IV
or
Ofloxacin IV
Kombinasi dari azitromisin dan fluoroquinolones tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan perpanjangan QT dan relatif kontraindikasi.
Kloramfenikol (Chloromycetin)
Mengikat 50S ribosomal subunit-bakteri dan menghambat
pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis protein. Efektif
terhadap bakteri gram negatif dan gram positif. Sejak diperkenalkan
pada 1948, telah terbukti sangat efektif untuk seluruh dunia demam
enterik. Untuk strain sensitif, masih paling banyak digunakan antibiotik
untuk mengobati demam tifoid. Pada tahun 1960, S typh i strain
dengan plasmid-mediated resistensi terhadap kloramfenikol mulai
muncul dan kemudian menjadi tersebar luas di negara-negara
endemik di Amerika dan Asia Tenggara, menyoroti kebutuhan untuk
agen alternatif.
Menghasilkan peningkatan yang cepat dalam kondisi umum
pasien, diikuti oleh penurunan suhu badan sampai yg normal dalam 3-
5 d. Mengurangi preantibiotic era fatalitas kasus tarif dari 10% -15%
menjadi -4% 1%. Cures sekitar 90% pasien. Diperintah PO kecuali
pasien adalah diare atau mengalami mual, dalam kasus tersebut, IV
rute harus digunakan pada awalnya. IM rute harus dihindari karena
dapat menyebabkan darah tidak memuaskan, menunda penurunan
suhu badan sampai yg normal.
Amoksisilin (Trimox, Amoxil, Biomox)
Mengganggu sintesis dinding sel mucopeptides selama
multiplikasi aktif, sehingga aktivitas bakterisidal terhadap bakteri
rentan. Setidaknya seefektif kloramfenikol dalam percepatan
penurunan suhu badan sampai yg normal dan tingkat kambuh. Kereta
pemulihan lebih jarang terjadi dibandingkan dengan agen lain ketika
organisme sepenuhnya rentan. Biasanya diberikan PO dengan dosis
harian 75-100 mg / kg tid selama 14 d.
Trimetoprim dan sulfametoksazol (Bactrim DS, Septra)
Menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis
asam dihydrofolic. Aktivitas antibakteri TMP-SMZ termasuk patogen
saluran kemih biasa, kecuali Pseudomonas aeruginosa. Sama
efektifnya dengan kloramfenikol dalam penurunan suhu badan sampai
yg normal dan tingkat kambuh. Trimetoprim sendiri telah efektif dalam
kelompok kecil pasien.
Ciprofloxacin (Cipro)
Fluorokuinolon dengan aktivitas terhadap pseudomonad,
streptokokus, MRSA, Staphylococcus epidermidis, dan sebagian gram
negatif organisme namun tidak ada aktivitas terhadap anaerob.
Menghambat sintesis DNA bakteri dan, akibatnya, pertumbuhan.
Teruskan pengobatan untuk minimal 2 d (7-14 d khas) setelah tanda
dan gejala hilang. Terbukti sangat efektif untuk tifoid dan demam
paratifoid. Penurunan suhu badan sampai yg normal terjadi pada 3-5
d, dan kereta sembuh dan kambuh jarang terjadi. Kuinolon lain
(misalnya, ofloksasin, norfloksasin, pefloxacin) biasanya efektif. Jika
muntah atau diare hadir, harus diberikan IV. Fluoroquinolones sangat
efektif terhadap strain multiresisten dan memiliki aktivitas antibakteri
intraseluler.
Tidak direkomendasikan untuk digunakan pada anak-anak dan
wanita hamil karena potensi diamati untuk menyebabkan kerusakan
tulang rawan pada hewan berkembang. Namun, arthropathy belum
dilaporkan pada anak-anak setelah penggunaan asam nalidiksat
(sebuah kuinolon sebelumnya dikenal untuk menghasilkan kerusakan
sendi yang sama pada hewan muda) atau pada anak dengan fibrosis
kistik, meskipun dosis tinggi pengobatan.
Sefotaksim (Claforan)
Penangkapan dinding sel bakteri sintesis, yang menghambat
pertumbuhan bakteri. Generasi ketiga sefalosporin dengan spektrum
gram negatif. Lebih rendah efikasi terhadap organisme gram positif.
Sangat baik dalam kegiatan vitro terhadap S typhi dan salmonella lain
dan memiliki khasiat yang dapat diterima pada demam tifoid. Hanya IV
formulasi yang tersedia. Baru-baru munculnya negeri diperoleh
ceftriaxone tahan infeksi Salmonella telah dijelaskan.
Azitromisin (Zithromax)
Dapat diberikan pada infeksi mikroba ringan sampai sedang.
DPemberian PO 10 mg / kg / hari (tidak melebihi 500 mg), tampaknya
efektif untuk mengobati demam tipus tanpa komplikasi pada anak 4-
17 tahun . Konfirmasi hasil ini bisa memberikan alternatif bagi
pengobatan demam tifoid pada anak di negara berkembang, di mana
sumber daya medis yang langka.
Ceftriaxone (Rocephin)
Generasi ketiga sefalosporin dengan spektrum luas gram negatif
aktivitas terhadap organisme gram positif; Bagus aktivitas in vitro
terhadap S typhi dan salmonella lainnya.
Cefoperazone (Cefobid)
Dihentikan di Amerika Serikat. Generasi ketiga sefalosporin dengan
spektrum gram negatif. Lebih rendah efikasi terhadap organisme gram
positif.
Ofloksasin (Floxin)
Suatu asam turunan piridin karboksilat dengan spektrum luas efek
bakterisidal.
Levofloksasin (Levaquin)
Untuk infeksi pseudomonas dan infeksi karena resistan terhadap
organisme gram negatif.
Kortikosteroid
Deksametason dapat mengurangi kemungkinan kematian pada
kasus demam tifoid berat rumit oleh delirium, obtundation, stupor,
koma, atau syok jika bakteri meningitis telah definitif dikesampingkan
oleh penelitian cairan cerebrospinal. Untuk saat ini, percobaan yang
paling sistematis ini telah menjadi studi terkontrol secara acak pada
pasien berusia 3-56 tahun dengan demam tifoid berat yang menerima
terapi kloramfenikol. Penelitian ini membandingkan hasil pada 18
pasien diberikan plasebo dengan hasil pada 20 pasien diberikan
deksametason 3 mg / kg IV selama 30 menit diikuti dengan
deksametason 1 mg/kg setiap 6 jam selama 8 dosis. Tingkat kematian
pada kelompok deksametason adalah 10% dibandingkan 55,6% pada
kelompok plasebo (P = .003)
Meskipun demikian, hal ini masih diperdebatkan. Sebuah
pernyataan 2003, WHO mendukung penggunaan steroid seperti
dijelaskan di atas, tapi review oleh penulis terkemuka dalam New
England Journal of Medicine (2002) dan British Medical Journal (2006)
tidak mengacu pada steroid sama sekali. Sebuah uji coba 1991
dibandingkan pasien yang diobati dengan 12 dosis deksametason 400
mg atau 100 mg sampai kohort retrospektif di antaranya steroid tidak
diberikan. Percobaan ini tidak menemukan perbedaan hasil antara
kelompok-kelompok.
Deksametason (Decadron) Pemberian
Dosis tinggi deksametason mengurangi mortalitas pada pasien
dengan demam tifoid berat tanpa meningkatnya insiden komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Nelwan, RHH.2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Divisi Penyakit
Tropik dan Infeksi: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM-
Jakarta.
Utami, Tania nugrah, S.ked. (2010) . Demam Tifoid.
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2010/03/belibis_a17_dema
m_tifoid.pdf Diakses pada tanggal 25 februari 2014
Marlane, Hurst. 2008. Hurst Review: Pathophysiology Review. McGraw
Hill.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/114/jtptunimus-gdl-sodikinkur-5696-2-
babiik-s.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31283/3/Chapter%20II.pdf