59
BAB I LAPORAN KASUS I.1 IDENTITAS PASIEN Nama : An. Armelita Tanggal Lahir : 27 Agustus 2011 Umur : 2 tahun 6 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Asrama Armed XI, Gelangan, Magelang Tengah Agama : Islam Tgl. masuk RS : 16 Maret 2014 pk. 20.10 I.2. SUBJEKTIF ANAMNESIS Keluhan Utama : batuk Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan batuk sejak kemarin malam. Batuk seperti ada dahaknya tetapi sulit keluar. Batuk dirasakan terus menerus. Batuk disertai juga dengan pilek. Setiap batuk pasien juga merasa sesak. saat sesak suara nafas terdengar grok-grok dan ngik- ngik. Saat sesak pasien masih bisa berbicara. Pasien memiliki riwayat sesak sejak kecil. Tapi dalam 1 bulan terakhir baru kali ini mengalami serangan sesak. sesak 1

Lapsus Anak Asma Monica

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Lapsus Anak Asma Monica

BAB I

LAPORAN KASUS

I.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : An. Armelita

Tanggal Lahir : 27 Agustus 2011

Umur : 2 tahun 6 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Asrama Armed XI, Gelangan, Magelang Tengah

Agama : Islam

Tgl. masuk RS : 16 Maret 2014 pk. 20.10

I.2. SUBJEKTIF

ANAMNESIS

Keluhan Utama : batuk

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan batuk sejak kemarin malam. Batuk seperti

ada dahaknya tetapi sulit keluar. Batuk dirasakan terus menerus. Batuk disertai

juga dengan pilek. Setiap batuk pasien juga merasa sesak. saat sesak suara nafas

terdengar grok-grok dan ngik-ngik. Saat sesak pasien masih bisa berbicara.

Pasien memiliki riwayat sesak sejak kecil. Tapi dalam 1 bulan terakhir baru kali

ini mengalami serangan sesak. sesak nafas sering timbul terutama saat pasien

terpapar udara dingin atau saat pasien flu.

Pasien sudah di nebul 4 kali. 2 kali kemarin (pagi dan sore) dan hari ini 2

kali (pagi dan sore) tapi dahak tidak keluar dan pasien tetap batuk dan sesak.

Pasien juga mengeluhkan demam sejak kemarin. Mual tidak ada. Muntah

tidak ada. BAB mencret 3 kali kemarin sudah diberi L-bio hari ini sudah tidak

mencret. BAK lancer. Makan dan minum baik.

1

Page 2: Lapsus Anak Asma Monica

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat sesak sebelumnya (+) terutam saat udara dingin. Riwayat alergi

sebelumnya (-), tidak ada riwayat batuk lama dan demam terus-menerus dan

tidak ada kontak dengan penderita batuk lama, riwayat kejang (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat asma disangkal, riwayat alergi (-), riwayat kejang (-)

Makanan/Gizi

ASI sampai usia 6 bulan, kemudian dilanjutkan dengan tambahan susu

formula. Pasien seminggu belakangan ini sering mengkonsumsi es

nutrisari.

Tumbuh kembang

Tidak ada keterlambatan dalam tumbuh kembang

Imunisasi

Imunisasi lengkap (Hepatitis B, BCG, Polio, DPT, Campak)

Kepribadian

Pasien termasuk anak yang aktif.

Lingkungan Rumah

Lingkungan bersih, tidak terlalu ramai, tidak kotor, rumah memiliki

ventilasi dan pencahayaan cukup, tidak lembab. dan tidak menggunakan

tempat tidur atau bantal terbuat dari kapuk. Tapi pasien sangat suka tidur

dengan boneka.

I.3. OBJEKTIF

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : tampak sakit sedang, tampak sesak

Kesadaran : Compos Mentis/ 15 ; Berat Badan : 12 kg

Vital sign

Nadi : 116 kali/menit

Pernafasan : 36 kali/menit

Suhu : 37.8oC

Kulit : Sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak ada hematom,

suhu raba panas, turgor kulit baik.

2

Page 3: Lapsus Anak Asma Monica

Rambut : Normocephal, warna hitam, distribusi merata, tidak mudah

dicabut dan tidak mudah rontok.

Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, kedudukan bola

mata simetris, pupil bulat isokor, diameter 2 mm, reflek cahaya

positif, edema palpebra tidak ada

Telinga : Bentuk normal, tidak ada sekret

Hidung : Bentuk normal, tidak terdapat deviasi septum. sekret hidung (-),

nafas cuping hidung (-)

Mulut : Mukosa mulut basah, lidah kotor (-), bibir tidak kering, tidak

tampak sianosis

Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil TI – TI tenang

Leher : Simetris, trakea lurus ditengah, kelenjar tiroid tidak teraba

membesar, kelenjar getah bening tidak teraba membesar, JVP

tidak meningkat

Thorak : Bentuk normal (Normochest), simetris, retraksi (+)

Paru

- Inspeksi : Dinding dada simetris, tampak sedikit retraksi

supraklavikula dan interkostal, terlihat adanya

penggunaan otot dada untuk pernafasan secara

aktif

- Palpasi : Fremitus taktil kanan dan kiri simetris

Ekspansi dinding dada kanan = kiri

- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

- Auskultasi : Suara nafas dasar vesikuler pada kedua lapang

paru, terdapat rhonki di pulmo dekstra dan

sinistra, terdapat wheezing di pulmo dekstra dan

sinistra. ekspirasi memanjang

Jantung

- Inspeksi : Iktus Cordis tidak tampak

- Palpasi : Iktus Cordis teraba

- Perkusi : Tidak ada pembesaran jantung

- Auskultasi : Bunyi jantung I > II,reguler, murmur (-), gallop (-)

3

Page 4: Lapsus Anak Asma Monica

Abdomen

- Inspeksi : Datar, tidak tampak benjolan, tidak ada acites,

tidak ada gerakan otot abdomen untuk bernafas

- Auskultasi : Bising usus 4x/menit

- Palpasi : Lunak, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba

pembesaran dan lien tidak teraba pembesaran,

turgor kembali cepat

- Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen

Tidak ada tanda acites

Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), edema (-), capillary refill <2 detik

I.4. DAFTAR MASALAH

Subjektif

1. Sesak nafas

2. Mengi

3. Batuk berdahak

4. Demam

5. Pilek

6. Riwayat diare

7. RPD : sesak, mengi

Objektif

1. Nadi : 116 x/menit

2. Pernafasan : 36 x/menit

3. Thorak : Retraksi (+), penggunaa otot bantu nafas, rhonki dan wheezing di

kedua lapangan paru

I.5. ASSESMEST

Asma Bronkial Derajat Sedang

4

Page 5: Lapsus Anak Asma Monica

I.6. PLANNING

Planning diagnostik

- Darah Lengkap

- Urin Lengkap

- Thorax foto

- Uji provokasi bronkus

Planning terapi

- Infus D5 ¼ NS 1000 cc/24 jam

- 02 2 lpm k/p

- Injeksi Tirdicef 3 x 1/3g

- Inj. Norages 3x100mg

- Fartolin 3x2ml+NaCl 1ml

- Kalmet 3x1/4amp

- Diet TKTP & BSTIK

Jika diare

- Lacto b 2x1

- Orezync 1x1 cth

Planning monitoring

- Keadaan umum

- Tanda vital

- Efek samping obat

Planning Edukasi

- Meningkatkan pemahaman pasien dan keluarga pasien mengenai asma

secara umum dan pola penyakit asma.

- Meningkatkan pengetahuan pasien atau keluarga pasien dalam identifikasi

faktor penyebab gejala asma pada pasien, baik dalam hal kontrol terhadap

alergen debu,makanan, bulu binatang, asap rokok, atau penyebab lainnya.

- Meningkatkan pola hidup sehat, terutama konsumsi makanan yang

mengandung gizi baik. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan imunitas

seseorang yang sudah terkena asma dan menurunkan morbiditas asma.

5

Page 6: Lapsus Anak Asma Monica

Hasil Follow Up

TANGGAL S O A P17 Maret 2014 - Demam (+) tadi

malam- Batuk masih dan

terbangun malam hari karena batuk

- Pilek (+)- Sesak (+)- Nyeri perut (-)- Makan dan minum

baik- BAB dan BAK

normal

- GCS : E4V5M6- Tampak sakit sedang, tampak sesak- Tanda vital :

N : 128 x/mnt RR : 44 x/mnt S : 37.0˚C

- Kepala dan leher : a/i/c/d : -/-/-/- lidah kotor (-) Pembesaran KGB : (-)

- Thorax : simetris, retraksi (-)Jantung : S1>S2, reguler, murmur (-)Paru : sdv (+)/(+), rhonki (+/+), Wheezing (+/+)

- Abdomen : I : cembung A : bising usus (+) normal P : Supel, nyeri tekan epigastrium

(-). H/L tidak teraba, P : timpani

- Ekstremitas : akral hangat, edema (-), capilary refill <2 detik

- Obs. Febris hari ke 3Dd/ ISPA

- Asma serangan derajat sedang

- Planning diagnostik : Darah lengkap Urin Lengkap Rontgen thoraks

- Planning terapi :Suportif

D5 ¼ NS 1000 ml / 24 jam

Kausatif Tirdicef 3x 7500mg

Simtomatik Inj Norages 3x100 Fartolin

3x2ml+NaCl 1mljika mencret

Lacto b 2x1 Orezync1x1cth

6

Page 7: Lapsus Anak Asma Monica

Hasil Laboratorium 17 Maret 2014

Diff Count

Jenis Hasil Referensi Jenis Hasil Referensi

% Lym 32.0 % 17-48 # Lym 1.4 103/mm3 1,2-3,2

% Mid 12.7 % 1-15 # Mid 0,5 103/mm3 0,3-0,8

% Gra 55.3 % 43-76 # Gra 2.4 103/mm3 1,2-6,8

7

Jenis Pemeriksaan Hasil Referensi

WBC 4.3 103/mm3 3,5-10

RBC 4.70 106/mm3 3,80-5,80

HB 10.7 g/dl 11,0-16,5

HCT 29.9 % 35,0-50,0

PLT 195 103/mm3 150-450

PCT 0,19 % 0,100-0,500

MCV 63.7 um3 80-97

MCH 22.7 pg 26,5-33,5

MCHC 35.7 g/dl 31,5-35,5

RDW 12.0 % 10,0-15,0

MPV 10.2 um3 6,5-11,0

PDW 6.8 % 10,0-18,0

Page 8: Lapsus Anak Asma Monica

TANGGAL S O A P17 Maret 2014 - Demam (-)

- Batuk (+)- Sesak (+)- Sudah tidak

terbangun malam karna batuk dan sesak

- Pilek (+)- Makan sedikit

berkurang. Minum baik

- Bab dan bak normal

- GCS : E4V5M6- Tampak sakit sedang, tampak sesak- Tanda vital :

N : 124 x/mnt RR : 36 x/mnt S : 36.0˚C

- Kepala dan leher : a/i/c/d : -/-/-/- lidah kotor (-) Pembesaran KGB : (-)

- Thorax : simetris, retraksi (-)Jantung : S1>S2, reguler, murmur (-)Paru : sdv (+)/(+), rhonki (+/+), Wheezing (+/+)

- Abdomen : I : cembung A : bising usus (+) normal P : Supel, nyeri tekan epigastrium

(-). H/L tidak teraba, P : timpani

- Ekstremitas : akral hangat, edema (-), capilary refill <2 detik

- Obs. Febris hari ke 4Dd/ ISPA

- Asma serangan derajat sedang

- Planning terapi :Suportif

D5 ¼ NS 1000 ml / 24 jam

Kausatif Tirdicef 3x 7500mg

Simtomatik Inj Norages 3x100 Fartolin

3x2ml+NaCl 1ml

Pk. 12.40Inf. di affAntibiotic diganti Cefilla 2x2,5ml

8

Page 9: Lapsus Anak Asma Monica

9

Page 10: Lapsus Anak Asma Monica

TANGGAL S O A P19 Maret 2014 - Demam (-)

- Batuk (+)- Sesak (-)- Sudah tidak

terbangun malam karna batuk dan sesak

- Pilek (+)- Makan sedikit

berkurang. Minum baik

- Muntah 1 kali- Bab dan bak normal

- GCS : E4V5M6- Tampak sakit sedang, tampak sesak- Tanda vital :

N : 120 x/mnt RR : 32 x/mnt S : 36.2˚C

- Kepala dan leher : a/i/c/d : -/-/-/- lidah kotor (-) Pembesaran KGB : (-)

- Thorax : simetris, retraksi (-)Jantung : S1>S2, reguler, murmur (-)Paru : sdv (+)/(+), rhonki (-/-), Wheezing (+/+)

- Abdomen : I : cembung A : bising usus (+) normal P : Supel, nyeri tekan epigastrium

(-). H/L tidak teraba, P : timpani

- Ekstremitas : akral hangat, edema (-), capilary refill <2 detik

- Obs. Febris hari ke 4Dd/ ISPA

- Asma serangan derajat sedang

- Planning terapi : Fartolin

3x2ml+NaCl 1ml Cefilla 2x2,5ml

Pasien boleh pulang Cefilla 2x2,5ml Puyer

- Salbutamol- MP

Ambroxol syrup

10

Page 11: Lapsus Anak Asma Monica

11

Page 12: Lapsus Anak Asma Monica

BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Asma merupakan suatu kelainan pada saluran napas yang diakibatkan oleh

proses inflamasi kronis yang melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi

kronis tersebut berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang

menyebabkan episode mengi (wheezing), apneu, sesak nafas dan batuk-batuk

terutama pada malam hari atau awal pagi. Episode ini berhubungan dengan luas

obstruksi saluran pernafasan yang bersifat reversibel baik secara spontan ataupun

dengan terapi.3

Global Institute for Asthma (GINA) mendefinisikan asma adalah

gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan

seperti, sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi kronik tersebut menyebabkan

episode mengi (wheezing) berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk,

khususnya pada malam hari atau dini hari.3

Definisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK)

Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2004 menyebutkan

bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik

sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari

(nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi

lain pada pasien dan/atau keluarganya.5

Definisi asma yang saat ini umumnya disetujui oleh para ahli yaitu asma

adalah penyakit paru dengan karakteristik :

1. Obstruksi saluran napas yang reversible (tetapi tidak lengkap pada beberapa

pasien) baik secara spontan maupun dengan pengobatan

2. Inflamasi saluran nafas kronik

3. Peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan

12

Page 13: Lapsus Anak Asma Monica

B. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO(3,4,6)

Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Faktor genetik

a. Hiperreaktivitas jalan napas

Berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas yang melibatkan sel-sel

inflamasi.

b. Atopi/ alergi bronkus

Adanya riwayat atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma

persisten dan beratnya asma. Beberapa laporan menunjukan bahwa

sensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada

tahun pertama kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma

c. Jenis kelamin

Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens

asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali

lipat anak perempuan.

d. Ras/ etnik

Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalens

asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi

daripada kulit putih.

2. Faktor lingkungan

a. Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,

alternaria/jamur)

b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)

c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,

makanan laut, susu sapi, telur)

d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker

dan sebagainya)

e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)

f. Ekspresi emosi berlebih

g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

i. Exercise induced asthma

13

Page 14: Lapsus Anak Asma Monica

j. Perubahan cuaca

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: 3,4,7

Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang

berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta

pajanan asap rokok, infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu

binatang, alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal

aeroalergen seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara,

alergen di tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis,

tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan

gastroesofageal refluks).

C. EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS) tahun

2003, prevalensi  serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000

anak (jumlah anak 4,2  juta) dan pada dewasa dengan usia diatas 18 tahun, 38 per

1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah anak laki-laki yang mengalami asma 1,5

sampai 2 kali lebih sering dibandingkan perempuan, tetapi setelah pubertas

prevalensi asma pada laki-laki sama dengan perempuan. World Health

Association (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat

asma. Sedangkan  berdasarkan laporan National Center for Health Statistics

(NCHS) tahun 2000 terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100  ribu

populasi.2

Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan

angka kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat

nasional Amerika Serikat pada tahun 1998, terdapat 8,65 juta anak-anak

dilaporkan menderita asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode serangan

asma dalam waktu 12 bulan. Asma pada anak-anak di Amerika Serikat dianggap

sebagai penyebab tersering adanya kunjungan ke Instalasi Gawat Darurat

(867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1 juta

14

Pada pasien ini kemungkinan fakto pencetusnya adalah faktor lingkungan yang diketahui berupa cuaca dingin. Dan adanya infeksi pada saluran pernafasan.

Page 15: Lapsus Anak Asma Monica

kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan kematian, namun dilaporkan

164 kematian anak akibat asma pada tahun 1998.7

D. PATOGENESIS3,7,8

Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan

ditandai oleh serangan batuk, wheezing (mengi) dan dispnea pada individu dengan

jalan nafas yang hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak

semua orang dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula

pada semua usia tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama

kehidupan. Beberapa orang dengan gejala asma yang bermula dalam 2 dekade

pertama kehidupan, lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang

diperantarai oleh Immunoglobulin E (IgE) dan memiliki penyakit atopi terkait

lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik.

Asma merupakan suatu bentuk reaksi hipersensitivitas tipe 1, alergen

masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE yang

terdiri dari 3 fase, yaitu:

1. Fase Sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE

sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel

mast dan basofil.

2. Fase Aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan

antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan

granul yang menimbulkan reaksi.

3. Fase Efektor yaitu waktu terjadinya respons yang kompleks sebagai efek

mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil.

15

Pasien adalah anak berjenis kelamin perempuan yang memiliki prevalensi serangan asma lebih rendah daripada anak laki-laki.

Page 16: Lapsus Anak Asma Monica

Gambar 1. Patofisiologi Asma

Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T

oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang

melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II

pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik berperan

sebagai Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel

dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk

jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran

respiratori.

Pajanan pada dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel

B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang

dilepas diikat oleh Fce-R pada sel mast dan basofil. Pajanan kedua dengan

alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast,

memacu pelepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan

basofil. Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos,

meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan

anafilaksis.

Teori terbaru mengenai patogenesis asma adalah hubungan antara suatu

proses inflamasi dengan proses remodeling sel epitel yang rusak akibat proses

16

Page 17: Lapsus Anak Asma Monica

inflamasi. Semakin lama suatu proses inflamasi terjadi, maka semakin besar pula

proses remodeling terjadi. Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian

proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur

saluran respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan

maturasi struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang

berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue

Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan

profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan proliferasi serta

diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang

penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi

faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi

sel-sel otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas

mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf.

Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada

dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat asma.

Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.

Gambar 2. Patogenesis Asma (Teori remodelling)

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet

dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama pada proses

17

Page 18: Lapsus Anak Asma Monica

inflamasi kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma,

memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat

menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan

hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik,

terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau

yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid.

Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari

obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas

bronkus.Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag

alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal

menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan

oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan

memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi

yang terjadi.

E. PATOFISIOLOGI ASMA4,7,8

E.1 Obstruksi saluran respiratori

Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat

disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos

bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi

seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan

oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan

asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang

ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari

otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas.

Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret

yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari

mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.

Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh

penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon

trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran

nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk

18

Page 19: Lapsus Anak Asma Monica

mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan

hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat

mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya

compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot

diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga

kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja

otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas.

Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

E.2. Hiperaktivitas saluran respiratori

Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang

menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun

dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi

sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai

tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot

polos tersebut.

Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada

pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan

penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik

asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic

19

Page 20: Lapsus Anak Asma Monica

Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.

Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki

pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan

metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel

lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya.

E.3 Otot polos saluran respiratori

Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.

Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian

elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan

kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan

pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur

filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi

hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.

Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui

hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas

mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai

pada tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan

saluran nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang

timbul sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan

timbulnya edema adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis.

Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan

protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk

berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin.

Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung

ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas.

E.4 Hipersekresi mukus

Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada

saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan

karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran

nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab

20

Page 21: Lapsus Anak Asma Monica

ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak

mengalami perbaikan dengan bronkodilator(9).

Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa

peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan

dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja

tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal dari

mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi

yang mengalami lisis(9).

Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu

mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan

mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel

Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena

adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik.

Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh

mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase,

kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease(9).

F. DIAGNOSIS3,4,7

Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan

gejala batuk dan/ atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam

atau dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat

asma dan/ atau atopi pada pasien atau keluarga.

Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan

bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi

lebih definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal

paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow

meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan

histamine, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau

dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna

untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.

21

Page 22: Lapsus Anak Asma Monica

1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%

2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi

bronkodilator.

3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

F.1 Anamnesis

Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan

gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan

batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala

yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala

yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya

tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit

mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis

dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.

F.2 Pemeriksaan Fisik

Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya.

Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai

adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam

batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing

terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut

nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi,

seperti dermatitis atopi dapat ditemukan.

Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi

kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lendir, udem dinding

bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas

mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi

basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang sesak

22

Pada pasien didapatkan hasil anamnesis berupa gejaa batuk progresif serta adanya sesak nafas dan sudah mengganggu aktivitasnya sehingga masuk ke RS, serta terdapat mengi saat sesak.

Page 23: Lapsus Anak Asma Monica

dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol seperti fase ekspirasi lebih

panjang dibandingkan fse inspirasi dan dapat ditemukan suara nafas wheezing.

F.3 Pemeriksaan Penunjang

Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah

analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada

AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2

(hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru

bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya

penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal.

Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eosinofil total dapat

membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eosinofil total

umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan

pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi

positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan.

Pada pemerikasaan radiologi dapat menunjukan gambaran hiperaerasi,

diameter aneto-posterior bertambah, costae mendatar, sela antar costae yang

melebar dan diafragma tertekan ke bawah.

F.4 Klasifikasi Derajat Penyakit Asma

23

Pada pasien ini, dari pemeriksaan fisik didapatkan tampak sesak, retraksi ICS, ronkhi, wheezing saat ekspirasi dan ekspirasi memanjang, penggunaan otot bantu nafas.

Page 24: Lapsus Anak Asma Monica

F.5 Derajat Serangan Asma

24

Page 25: Lapsus Anak Asma Monica

Pada pasien ini, dari gejala dan tanda merupakan asma derajat sedang episode jarang.

F.5 ALUR DIAGNOSIS ASMA

25

Page 26: Lapsus Anak Asma Monica

Batuk dan/mengi

Tidak

Berhasil

26

Riwayat Penyakit

Pemeriksaan fisik

Tidak jelas asma:

Timbul pada masa neonates Gagal tumbuh Infeksi kronik Muntah/tersedak Kelainan fokal paru Kelainan system kardiovaskular

Jika ada fasilitas, periksa dengan peak flow meter atau spirometer

Pertimbangkan pemeriksaan:

Rontgen thorax dan sinus Uji fungsi paru Uji respons terhadap

bronkodilator Uji provokasi bronkus Uji imunologik Pemeriksaan motilitas Pemeriksaan refluks

gastroesofagus

Patut diduga asma:

Episodik Nokturnal Pasca aktivitas berat Riwayat atopi pasien/keluarga

Berikan Bronkodilator

Diagnosis kerja: Asma

Tentukan derajat dan pencetusnya

Berikan obat asma: bila tidak berhasil nilai ulang diagnosis

dan ketaatan berobat

Page 27: Lapsus Anak Asma Monica

G. DIAGNOSIS BANDING (Mengi)

(a) Bronkiolitis

(b) Wheezing yang berkaitan dengan batuk dan pilek

(c) Pneumonia

(d) Benda asing

H. TATALAKSANA ASMA 3,9,10

Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin

tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi

genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah:

1. Mengupayakan aktivitas normal dimana pasien dapat menjalani

aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk bermain dan berolah

raga.

2. Mencegah eksaserbasi akut sehingga pasien sedikit mungkin absensi di

sekolah.

27

Page 28: Lapsus Anak Asma Monica

3. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, dalam hal ini gejala

tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)

4. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

yang dapat dinilai dari uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada

variasi diurnal yang mencolok pada PEF.

5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga

hari, dan tidak ada serangan.

6. Mencegah efek samping obat, terutama yang mempengaruhi tumbuh

kembang anak.

7. Mencegah kematian karena asma

Pada dasarnya terapi asma dapat dinagi menjadi dua kelompok besar yaitu

terapi non-medikamentosa dan terapi medikamentosa.

H.1 Terapi Non-Medikamentosa

Terapi non-medikamentosa pada pasien asma terutama ke arah edukasi

kepada pasien dan atau keluarga pasien. Terapi non-medikamentosa sangat

penting dan perlu mendapat perhatian yang cukup demi menurunkan insidensi dan

morbiditas asma.

Edukasi pasien asma dapat meliputi:

1) Meningkatkan pemahaman pasien dan keluarga pasien mengenai asma

secara umum dan pola penyakit asma.

2) Meningkatkan pengetahuan pasien atau keluarga pasien dalam identifikasi

faktor penyebab gejala asma pada pasien, baik dalam hal kontrol terhadap

alergen debu, bulu binatang, asap rokok, atau penyebab lainnya.

3) Meningkatkan pola hidup sehat, terutama konsumsi makanan yang

mengandung gizi baik. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan imunitas

seseorang yang sudah terkena asma dan menurunkan morbiditas asma.

28

Page 29: Lapsus Anak Asma Monica

H.2 Tatalaksana Medikamentosa

Terapi medikamentosa meliputi terapi saat terjadinya serangan

maupun terapi untuk jangka panjang.

29

Page 30: Lapsus Anak Asma Monica

Tujuan tatalaksana saat serangan:

1. Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin

2. Mengurangi hipoksemia

3. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya

4. Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah

kekambuhan.

Terapi medikamentosa pada pasien asma dapat dibagi dalam dua

kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali

(controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau

gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah

tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila

perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat

pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi

masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan

demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah

tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan

yaitu 25 % setiap penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8

minggu.

Obat – obat Pereda (reliever)9

1. Bronkodilator

a. Short-acting β2 agonist

Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma

akut pada anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot

pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot

lurik, hepar, dan pankreas(10).

Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan

perubahan ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot

polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek

lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas

vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast.

30

Page 31: Lapsus Anak Asma Monica

b. Epinefrin/adrenalin9

Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak

ada β2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor

β1, β2, dan α sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit

kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.

Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi

efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek

samping, terutama pada jantung dan sistem saraf pusat.

c. β2 agonis selektif9

Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.

1) Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6

jam.

2) Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6

jam.

3) Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

4) Dosis salbutamol nebulisasi: 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis

maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi

kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum

15 mg/jam).

5) Dosis terbutalin nebulisasi: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30

menit, efek puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5

jam. Pemberian inhalasi (inhaler/ nebulisasi) memiliki onset kerja 1

menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.

Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat

karena pada keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal

obstruksi jalan napas. Efek samping berupa takikardi lebih sering

terjadi.

1) Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit,

dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4

mcg/kgBB/menit.

31

Page 32: Lapsus Anak Asma Monica

2) Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10

menit, dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan

infuse kontinu.

Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala,

agitasi, palpitasi, dan takikardi.

d. Methyl xanthine

Efek bronkodilatasi Methyl xanthine setara dengan β2 agonist

inhalasi, tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas

keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan

kombinasi β2 agonist dan antikolinergik(12). Contoh obat golongan Methyl

xanthine adalah teofilin dan aminofilin.

Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap

reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methyl xanthine cepat

diabsorbsi setelah pemberian oral, rektal, atau parenteral. Pemberian

teofilin (intramuskular) IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri

setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan

memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi

derajat besarnya absorpsi. Methyl xanthine didistribusikan keseluruh

tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya

terutama melalui metabolisme hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.

Dosis aminofilin intravena (IV) inisial bergantung kepada usia :

a. 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam

b. 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam

c. 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam

d. > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi

yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.

32

Page 33: Lapsus Anak Asma Monica

2. Anticholinergics

Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi

dengan nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih

baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.

Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :

untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia di bawah 6 tahun 4 – 10 tetes.

Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut.

Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka

panjang pada anak.

3. Kortikosteroid10

Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:

a. Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan

yang cukup lama.

b. Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan

kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.

c. Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam

untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12

– 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau

triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari

selama 3 – 5 kali sehari.

Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai

bronkodilator. Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin

dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan

basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan

permeabilitas vaskular.

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan

penetrasi ke jaringan paru lebih baik. Dosis metilprednisolon intravena

(IV) yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Selain itu

dapat digunakan Hidrokortison intravena (IV) dengan dosis 4 mg/kgBB

tiap 4 – 6 jam. Dexamethasone bolus intravena (IV) juga dapat digunakan

33

Page 34: Lapsus Anak Asma Monica

dengan dosis 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8

jam.

Obat untuk Nebulisasi

No. Nama Generik Sediaan Dosis Nebulasi

1. β Agonis

Fenoterol

Salbutamol

Terbutalin

Solution 0,1%

Nebule 2,5 mg

Respule 2,5 mg

5-10 tetes

1 nebule

1 respule

2. Antikolinergik

Ipatropium Bromida Solution 0,025% > 6 tahun: 8-20 tetes

< 6 tahun: 4-10 tetes

3. Steroid

Budesonide Respule

Sediaan Steroid untuk Serangan Asma

No. Nama Generik Sediaan Dosis

1. Steroid Oral

Prednisolon

Prednison

Triamsinolon

Tab 4 mg

Tab 5 mg

Tab 4 mg

1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam

1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam

1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam

2. Steroid Injeksi

Metilprednisolon

Hidrokortison

Deksametason

Betametason

Vial 500 mg

Vial 100 mg

Ampul 4 mg

Ampul 4 mg

30 mg/kgBB dalam 30 menit

4 mg/kgBB tiap 6 jam

0,5-1 mg/kgBB tiap 6-8 jam

0,05-0,1 mg/kgBB tiap 6 jam

Obat – obat Pengontrol (controller)10

Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik

glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, teofilin, ,

dan long acting oral β2-agonist.

34

Page 35: Lapsus Anak Asma Monica

1. Inhalasi glukokortikosteroid

Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang

paling efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur.

Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan

dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan

obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi

glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma,

mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah

sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif

bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.

Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,

mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi

terjadinya down regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat

digunakan sampai 400 ug/hari (respire anak). Efek samping berupa

gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan

gangguan pada gigi dan mulut.

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)

Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan

dan mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka

panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan dan Leukotriene

Receptor Antagonist(LTRA). Keuntungan memakai Leukotriene Receptor

Antagonist (LTRA) adalah sebagai berikut :

a. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil

leukotriane;

b. Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap

bronkokonstriktor;

c. Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction

d. Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per

hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;

sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;

35

Page 36: Lapsus Anak Asma Monica

e. Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan

meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan

transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan

terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan

mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.

Ada dua preparat LTRA :

1. Montelukast

Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali

sehari. Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg.

2. Zafirlukast

Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun

dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.

Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai

tingkat keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine.

Efek samping obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan

transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati.

3. Long acting β2 Agonist (LABA)

Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.

Pemberian inhalasi kortikosteroid 400 ug dengan tambahan LABA lebih

baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan

steroid oral, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling.

Kombinasi inhalasi kortikosteroid dan LABA sudah ada dalam 1 paket,

yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide),

budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan

Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan

meningkatkan kepatuhan memakai obat.

4. Teofilin lepas lambat

Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama

kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi

36

Page 37: Lapsus Anak Asma Monica

dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah

daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.

Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala,

stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan

jarang, perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari

10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial

5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

Pada pasien ini diberikan terapi : Infus D5 ¼ NS 1000 cc/24 jam

02 2 lpm k/p

Injeksi Tirdicef 3 x 1/3g

Inj. Norages 3x100mg

Fartolin 3x2ml+NaCl 1ml

Kalmet 3x1/4amp

Diet TKTP & BSTIK

Hindari faktor pencetus

2.7.2 Terapi Suportif

1. Terapi oksigen

Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula

hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,

sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).

2. Campuran Helium dan oksigen

Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit

sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama

dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon intravena (IV), secara

bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan

mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki

oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran

turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai

alveoli.

37

Page 38: Lapsus Anak Asma Monica

3. Terapi cairan

Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang

adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta

efek diuretik teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati karena pada asma berat

terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yang memudahkan

terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak

inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang

diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

I. PREVENSI DAN INTERFENSI DINI 3

1. Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak

memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan,

mengurangi kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu

rumah dan tungau.

2. Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan

3. Menghindari makanan berpotensi alergen

J. KOMPLIKASI 1,3,4

Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan

terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks

membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat

diafragma letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan

kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung

dara dan tampak sulkus Harrison.

Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat

sehingga dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis

berlangsung lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi

bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta

berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila

tidak ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagal

jantung, bahkan kematian.

38

Page 39: Lapsus Anak Asma Monica

K. PROGNOSIS3

Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir

menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang

jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di

pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.

Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis

baik ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan

dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–

10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata

46%, akan tetapi persentase anak yang menderita penyakit yang berat relatif berat

(6 –19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma anak bila diikuti

sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.

39

Page 40: Lapsus Anak Asma Monica

DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan

RI. 2009; h.5-11.

2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,

Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.

edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.

3. Mangunnegoro H, Widjaja A, Kusumio D, et al. ASMA. Pedoman

Diagnonsis dan Penatalaksanaan di Indonesia: Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia. 2004

4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,

Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.

edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2008. h.105-18.

5. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.

Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI. 2009

6. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, et al. Global Initiative For Asthma.

Medical Communications Resources, Inc. 2006

7. Guill M. Asthma update: Epidemiology and Pathophysiology. Pediatric

and Review Article, volume 25. 2004,p 299-304

8. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science

(USA);2003.

9. Setiawati A, Gan S. Obat Adrenergik. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008, h 75-81

10. Suherman S K, Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid,

Analog Sintetik dan Antagonisnya. Gunawan SG, penyunting.

Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008, h.

496-500.

40