Upload
aryaahendra
View
208
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Appendectomy per laparotomy dengan GA intubasi
Citation preview
LAPORAN KASUS
Tatalaksana Anestesi Pada Tindakan Apendektomi
Laparotomi Dengan General Anestesi – Intubasi
Disusun Oleh:
I Wayan Arya Mahendra Karda
0910710083
Pembimbing:
dr. A. Andyk Asmoro, Sp.An
LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2014
DAFTAR ISI
Judul ............................................................................................................ i
Daftar Isi ...................................................................................................... 1
Bab I Pendahuluan ...................................................................................... 2
Bab II Tinjauan Pustaka .............................................................................. 5
Bab III Laporan Kasus.................................................................................. 18
Bab IV Pembahasan ................................................................................... 23
Bab V Kesimpulan........................................................................................ 27
Daftar Pustaka ............................................................................................. 28
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan membutuhkan
pengobatan operasi segera yang mempunyai insiden puncak pada anak remaja dan dewasa
muda. Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang.
Kejadian ini mungkin disebabkan akibat perubahan pola makan di Negara berkembang yang
banyak mengonsumsi makanan berserat. Di Amerika Serikat, jumlah kasus apendisitis
dilaporkan oleh lebih dari 40.000 rumah sakit tiap tahunnya. Laki-laki memiliki rasio tinggi
terjadi apendisitis, dengan rasio laki-laki:perempuan yaitu 1,4:1, dengan resiko seumur
hidup apendisitis yaitu pada laki-laki 8.6% dan 6.7% pada perempuan (Cole et al, 2011).
Insiden apendisitis di Indonesia jarang diteliti. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) di indonesia, apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen
dan beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidens
apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus
kegawatan abdomen lainya (Depkes 2008).
Apendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka diperlukan tindakan
yang segera maka kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Apendisitis perforata adalah
perjalanan kondisi apendisitis akut yang lama tertangani. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT scan.
Tingkat akurasi diagnosis apendisitis berkisar 76-92%. Pengobatan untuk apendisitis adalah
pembedahan, apendektomi. Sebelum pembedahan, pasien diberikan antibiotik perioperatif
yang spectrum luas untuk menekan insiden infeksi luka postoperasi dan pembentukan
abses intraabdominal (Frogat et al, 2011)
Setiap tindakan pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang tepat,
termasuk dalam tindakan apendektomi kasus apendisitis akut. Kata anesthesia berarti
pembiusan yang merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anesthesia digunakan pertama kali oleh
Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Terdapat beberapa jenis anesthesia, antara lain local / infiltrasi, blok / regional,
umum / general. Anesthesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral
2
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anesthesia
yang ideal terdiri dari: hipnotik (hilang kesadaran), analgesia (hilang rasa sakit), dan
relaksasi otot.
Persiapan prabedah harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya kesalahan
anesthesia. Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi angka
kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan. Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang
sebab-sebab terjadinya kesalahan anesthesia. Dokter spesialis anesthesiaologi melakukan
kunjungan pasien sebelum pasien dibedah untuk memantau kondisi pasien agar pasien
dalam kondisi yang optimal pada waktu menjalani operasi. Berbagai penilaian harus
dilakukanseperti anamnesa yang lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
sehingga kodisi pasien dapat dinilai.
Pada saat operasi, dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat satu hingga dua jam
sebelum induksi anesthesia. Setelah itu, dilakukan induksi anesthesia yaitu membuat pasien
dari sadar menjadi tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan
pembedahan. Sebelum memulai induksi anesthesia sebaiknya disiapkan peralatan dan
obat-obatan yang diperlukan sehingga seandainya terjadi kegawatan dapat diatasi dengan
cepat dan baik. Setelah itu rumatan anesthesia dapat dikerjakan dengan secara intravena
atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
Setelah pembedahan, pemulihan dari anesthesia umum atau dari analgesia regional
secara rutin dikelola di kamar pulih atau unit perawatan pasca anesthesia (RR, Recovery
Room atau PACU, Post Anesthesia Care Unit). Idealnya ketika pasiensadar secara
bertahap, tanpa keluhan. Namun sering ditemukan beberapa hal akibat stres pasca bedah
atau pasca anesthesia yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah,
kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang perdarahan.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis perforata?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis perforata.
3
1.4 Manfaat
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai tatalaksana
anestesi pada appendektomi appendisitis perforata.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Manajemen Anestesi Pre-operatif
2.1.1 Penilaian Preoperatif
Sebelum tindakan operasi dilakukan, penting diperhatikan persiapan preoperasi
salah satunya adalah kunjungan pasien sebelum dibedah sehingga dapat diketahui
kelainan di samping kelainan yang akan dioperasi.
Tujuannya adalah:
1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien
2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu maupun
urtikaria).
3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien
4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status praoperasi
(pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)
5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed consent)
kepada pasien.
6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat induksi
(Latief dkk, 2009)
Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi
seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio cordis. Selain itu dapat
mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan. Kunjungan preoperasi pada pasien juga
bisa menghindarkan kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi
history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium, EKG, USG, foto thorax, dan sebagainya. Selanjutnya dokter anestesi harus
menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan
dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent (Latief dkk, 2009).
2.1.1.1 History Taking
History taking dapat dimulai dengan menanyakan riwayat alergi terhadap makanan,
obat-obatan dan suhu. Alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan
intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu
juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya
5
potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi
sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review
sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang
belum terdiagnosis.
2.1.1.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan yang
dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital
(tekanan darah, nadi, laju pernapasan, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru,
dan sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi
regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi
regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi,
tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk
diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk
anestesi harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas wajah yang signifikan.
Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar,
makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae
servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi
trakeal.
Skoring Mallampati:
I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
IV. Hanya terlihat palatum durum
6
Gambar 4.1. Kriteria Mallampati
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping
anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA
diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan
terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan
tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor
yang berkontribusi terhadap komplikasi perioperatif, maka tidak mengherankan apabila
hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna
dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring (Barash et al, 2009).
Tabel 2.1 Klasifikasi ASA
Kelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari.
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.Kelas IV Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun tanpa
operasi.Kelas V Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan operasi
sebagai upaya resusitasi.Kelas VI Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil untuk
tujuan donorE Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I – VI diatas.
2.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur pasien, ada
tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari prosedur bedah yang
direncanakan.
Tabel 2.2 Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan
7
Pemeriksaan rutin IndikasiUrinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi
glukosa darah jika glukosa urine positif)FBC Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua
bedah mayorUreum, Creatinin, Elektrolit Bedah mayorECG Umur > 50 tahunFoto Torak Umur > 60 tahunTes fungsi hati (Liver Function Test)
Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.
Tabel 2.3 Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya:
No Test Indikasi1 Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik lainnya
Penyakit ginjalPasien yang menjalani kemoterapi
2 Ureum, creatinin dan konsentrasi elektrolit
Penyakit ginjalPenyakit metabolik misalnya; diabetes mellitusNutrisi abnormalRiwayat diare, muntahObat-obatan yang merubah keseimbangan elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik, diuretic, antihipertensi, kortikosteroid, hipoglikemik agent.
3 Konsentrasi glukosa darah Diabetes MellitusPenyakit hati yang berat
4 Elektrokardiografi Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru kronikDiabetes Mellitus
5 Chest X-ray Penyakit respirasiPenyakit kardiovaskuler
6 Arterial blood gases Pasien sepsisPenyakit paruPasien dengan kesulitan respirasiPasien obesitasPasien yang akan thorakotomi
7 Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomiPenyakit paru sedang sampai berat seperti COPD, bronchiectasis
8 Skreen koagulasi Penyakit hematologicPenyakit hati yang beratKoagulopatiTerapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral (warfarin) atau heparin
9 Test fungsi hati Penyakit hepatobilierRiwayat penyahgunaan alkoholTumor dengan metastase ke hepar
10 Tes fungsi thyroid Bedah thyroidRiwayat penyakit thyroidCuriga abnormalitas endokrin seperti tumor pituitari
Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari yang 1
minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan (ECG),
sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam keadaan berikut;
8
Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah
Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk hipokalemia, terapi
insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan gagal ginjal, produk darah untuk
koreksi koagulopati.
2.1.1.4 Informed Consent
Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent. Inform
consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada
tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang
cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan resikonya.
2.1.2 Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang
menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anestesi.
Tabel 2.4 Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of Anesthesiologist, 2011)
Usia pasien Intake oral Lama puasa (jam)
∑ puasa yg diberikan
< 6 bln Clear fluidBreast milkFormula milk
234
20 cc/kg
6 bln – 5 thn
Clear fluidFormula milkSolid
246
10 cc/kg
>5 thn Clear fluidSolid
26
10 cc/kg
Adult, op. pagi
Clear fuid Solid
2Puasa mulai jam 12 mlm
Adult, op. siang
Clear fluidSolid
2Puasa mulai jam 8 pagi
2.1.3 Terapi Cairan
Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,
kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake
oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin,
sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible water losses yang terus menerus dari kulit
dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:
9
Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal (Morgan, 2006)
Berat Badan Jumlah
10kg pertama 4 mL/kg/jam
10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam
Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami defisit
cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan
maintenance dengan waktu puasa.
2.1.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi
No.
Jenis Obat Dosis (Dewasa)
1 Sedatif: Diazepam Difenhidramin Promethazin Midazolam
5-10 mg1 mg/kgBB1 mg/kgBB0,1-0,2 mg/kgBB
2 Analgetik Opiat Petidin Morfin Fentanil Analgetik non opiat
1-2 mg/kgBB0,1-0,2 mg/kgBB1-2 µg/kgBBDisesuaikan
3 Antikholinergik: Sulfas atropine 0,1 mg/kgBB
4 Antiemetik: Ondansetron Metoklopramid
4-8 mg (iv) dewasa10 mg (iv) dewasa
5 Profilaksis aspirasi Cimetidin Ranitidine Antasid
Dosis disesuaikan
10
Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan intramuskuler, diberikan
30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan intravena diberikan 5-10 menit sebelum
induksi anestesia. Komposisi dan dosis obat premedikasi yang akan diberikan kepada
pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang dijumpai pada pasien
(Miller et al, 2009).
2.1.5 Persiapan Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat
dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
i. Kartu catatan medic anestesia
j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
Tabel 2.7 Komponen STATICS
S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
2.2 Pemilihan Teknik Anestesi
Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan keamanan
dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini adalah:
11
1. Usia pasien
Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada pasien dewasa
untuk tindakan singkat dan hanya dipermukaan dapat dilakukan teknik anestesi lokal
atau umum.
2. Status fisik pasien
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui apakah pasien
pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi. Apakah ada komplikasi anestesi
dan paska pembedahan yang dialami saat itu. Pertanyaan mengenai riwayat
penyakit terutama diarahkan pada ada tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi,
kebiasaan merokok, meminum alkohol, dan obat-obatan. Harus menjadi suatu
perhatian saat pasien memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati
atau dicurigai adanya penyakit neuromuskular, antara lain poliomielitis dan miastenia
gravis. Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah untuk pasien dengan neuropati
diabetes karena mungkin dapat memperburuk gejala yang telah ada.
b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari penggunaan
anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal atau regional.
c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan jiwa
sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul gangguan
sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional, spinal, atau
anestesi umum endotrakeal.
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi umum
endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian juga dengan
pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan kebutuhan
dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot
pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah plastik, dan lain-lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat menentukan
pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik anestesi tertentu bila
belum ada pengalaman dan keterampilan.
6. Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan dipertimbangkan
bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak membahayakan keberhasilan
operasi.
12
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah pilihan utama
pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.
8. Pendidikan
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama karena
sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau perawat. Oleh
sebab itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila dengan anestesi spinal
atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup (Latief dkk, 2009).
2.3 General Anesthesia
General anesthesia atau anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri
secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).
Komponen anestesi ideal (trias anestesi) terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi.
Trias anestesi ini dapat dicapai dengan menggunakan obat yang berbeda secara
terpisah. Sekarang anestesi umum tidak hanya mempunyai ketiga komponen tersebut
namun lebih luas, hypnosis (hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit),
arefleksia (hilangnya reflek-reflek motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien),
relaksasi otot (memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi trakeal),
amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalan prosedur)
Perjalanan anestesi umum terdiri dari enam bagian yang berbeda yang meliputi:
premedikasi, induksi, pemeliharaan, pengembalian, pemulihan dan masa pasca operasi.
Obat yang dipakai pada masing – masing bagian berinteraksi dengan obat yang dipakai
pada bagian lain dan interaksi obat ini merupakan hal yang penting. Anestesi umum
bukan hanya masalah farmakologi melainkan juga merupakan suatu keseimbangan
antara kerja obat dan rangsangan pembedahan (Soenarto, 2012).
Pada tahap premedikasi ada dua tujuan jelas dalam penggunaan obat premedikasi
yang pertama, adalah mencegah efek parasimpatometik anastesi, dan yang kedua
berhubungan dengan kebutuhan untuk menghilangkan sedasi aktif atau untuk
menimbulkan amnesia. Tahap Induksi adalah bagian kedua anestesi, tujuan dari tahap
ini bukan untuk menganestesi tetapi hanya untuk memulai agar proses anestesi cepat
dan nyaman. Masa pemeliharaan merupakan tahap ketiga, masa pemeliharaan adalah
masa sesudah induksi dan ketika prosedur pembedahan atau prosedur lain
dilaksanakan. Sesudah masa pemeliharaan dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu
masa pengembalian. Pada bagian pemulihan ini biasanya sangat cepat, tetapi sangat
penting dan berbahaya. Masa pengembalian ini merupakan bagian pertama pemulihan
dan dikerjakan dibawah pengawasan langsung dokter ahli anestesi dan biasanya
13
dilakukan didalam ruang operasi dan tahap terakhir dari anestesia umum adalah masa
pasca operasi.
2.3.1 Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III
dibagi menjadi 4 plana), yaitu :
Stadium I (analgesi):
Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut Stadium analgesia,
tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah, biasanya operasi-operasi kecil sudah
bisa dilakukan. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.
Stadium II (eksitasi):
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler, pupil
melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.
Stadium III (pembedahan):
Plana 1: Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama kuat dgn
pernafasan abdominal, pergerakan bola mata terhenti, kadang-kadang letaknya
eksentrik, pupil mengecil lagi dan refleks cahaya (+), lakrimasi akan
meningkat, refleks farings dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
Plana 2: Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun dan
frekuensi pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan torakal, bola mata
terfiksir ditengah, pupil mulai midriasis dengan refleks cahaya menurun dan
refleks kornea menghilang. Reflek kornea dan laring hilang.
Plana 3: Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan daripada torakal
karena paralisis otot interkostal yang makin bertambah sehingga pada akhir
plana 3 terjadi paralisis total otot interkostal, juga mulai terjadi paralisis otot-
otot diafragma, pupil melebar dan refleks cahaya akan menghilang pada akhir
plana 3 ini, lakrimasi refleks faring & peritoneal menghilang, tonus otot-otot makin
menurun.
Plana 4: Kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal. Pernafasan
tidak adekuat, irreguler, ‘jerky’ karena paralisis otot diafragma yg makin
nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma, tonus otot makin menurun
dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan refleks cahaya (-), refleks sfingter ani
menghilang.
Stadium IV (paralisis medulla oblongata):
14
Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada
stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya
terjadi kematian. Kelumpuhan pernafasan pada stadium ini tidak dapat diatasi
dengan pernafasan buatan (Soenarto, 2012).
Komplikasi general anestesi meliputi durante operasi dan pasca operasi.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada durante operasi dapat meliputi obstruksi
respirasi, batuk, depresi respirasi, hipotensi, hipertensi, aritmia, hiccup (cegukan),
gigi patah, mual muntah, menggigil.
2.4 Intubasi
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan. Tiga
hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu memudahkan atau mengurangi
trauma pada waktu intubasi trakea adalah :
Penderita tidak sadar/tidur (pada penderita sadar teknis lebih sulit).
Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala).
Relaksasi otot yang baik.
Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal penting yang harus
diperhatikan untuk memastikan keamanan proses intubasi yang disebut SALT, yaitu:
Suction. Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring pasien terdapat
benda asing yang menyulitkan visualisasi dari pita suara. Disamping itu, aspirasi dari
paru juga harus dihindari.
Airway. Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah jatuhnya lidah ke
bagian belakang faring.
Laryngoscope. Merupakan alat yang paling penting untuk membantu penempatan pipa
endotracheal.
Tube. Pipa Endotrakeal memiliki berbagai macam ukuran. Umumnya pada orang
dewasa menggunakan ukuran 7 atau 8.9
Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk:
Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta bunyi udara inspirasi
paru kanan dan kiri harus terdengar sama keras dengan memakai stetoskop. Bila pipa
masuk terlalu dalam seringkali pipa masuk ke bronkus kanan sehingga bunyi nafas
hanya terdengar pada satu paru. Pipa harus ditarik sedikit, lalu periksa kembali dengan
stetoskop.
15
Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran dapat diketahui dengan
mendengar bunyi di mulut pada saat paru di inflasi/ditiup).
Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar pipa tidak bergerak
(malposisi).
2.5 Monitoring
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
- Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
- Heart rate, nadi, dan kualitasnya
- Warna membran mukosa, dan capillary refill time
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
2.6 Manajemen Anestesi Post-Operasi
2.6.1 Recovery dari General Operasi
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa tiap 5 menit
selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse oximetry harus dimonitor terus
menerus pada pasien yang masih berada dalam proses recovery dari general anestesi,
paling tidak sampai pasien mulai sadar. Fungsi neuromuskuler juga harus dinilai
misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian nyeri (skala
deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan output cairan
termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.
Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus mendapatkan
oksigen 30-40% karena bisa terjadi transient hipoksemia pada pasien yang sehat
sekalipun. Resiko hipoksemia meningkat pada pasien-pasien yang menjalani operasi di
daerah upper abdominal atau toraks, sehingga harus terus dimonitor dengan pulse
oxymeter dan mungkin memerlukan oksigenasi dalam waktu yang lebih lama.
Keputusan rasional untuk meneruskan suplementasi oksigen ketika mengeluarkan
pasien dari Post Anesthesia Care Unit (PACU) bisa dibuat berdasarkan SpO2 dengan
udara ruangan. Pasien dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk.
2.6.2 Kriteria Discharge dari PACU
Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan kriteria
discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan
16
menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke
ruangan biasa.
Tabel 2.8 Aldrete Score
Objek Kriteria NilaiAktivitas 1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas
2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas3. Tidakmampu menggerakkan ekstremitas
2
1
0Respirasi 1. Mampu nafas dalam dan batuk
2. Sesak atau pernafasan terbatas3. Henti nafas
2
1
0Tekanan Darah 1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah
2. Berubah 20-50% dari pra bedah3. Berubah > 50% dari pra bedah
2
1
0Kesadaran 1. Sadar baik dan orientasi baik
2. Sadar setelah dipanggil3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang
2
1
0Warna Kulit 1. Kemerahan
2. Pucat agak suram3. Sianosis
210
Nilai Total
2.6.3 Kunjungan Post-Operatif
Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 24 – 48 jam setelah operasi dan dicatat
dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari rekam medis,
anamnesis terkait perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan pemeriksaan fisik
serta penunjang, termasuk pemeriksaan kemungkinan komplikasi seperti muntah, nyeri
tenggorokan, kerusakan gigi, cedera saraf, cedera okular, pneumonia, atau perubahan
status mental. Bila diperlukan, harus dilakukan terapi atau konsultasi lebih lanjut. (Dunn,
et al, 2007).
17
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Usia : 62 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jalan Danau Ranau I Gang 2C/05 RT3 RW5, Malang
Pekerjaan : Pensiunan guru Sekolah Dasar
No. Register : 1401150634
Berat Badan : 70 kg
Tinggi Badan : 170 cm
Tanggal dilakukan Anesthesia : 15 Januari 2014
Lama anesthesia : ±1 jam 20 menit (22.45-00.05)
Diagnosa pra bedah : Appendicitis perforata
Jenis pembedahan : Appendectomy per laparotomi
Jenis anesthesia : General Anesthesia
Anesthesia dengan : Induksi dengan Propofol, Analgesia dengan Fentanyl,
Maintenance dengan Isofluran + O2 + N2O
3.2 Pre-op
Anamnesa Pre-op
A : Alergi Makanan (-), Alergi Obat (-)
M : Riwayat pengobatan sebelumnya (-), obat hipertensi (-)
P : Riwayat Asma (-), Riwayat DM (-), pasien tidak mengetahui
secara pasti riwayat tekanan darahnya dikarenakan jarang
melakukan pemeriksaan, tekanan darah rerata sekitar 130/-
sampai 140/- mmHg, merokok (-), konsumsi alkohol (-), riwayat
trauma dan MRS (-), riwayat operasi (+) operasi pengangkatan tahi
lalat dengan pembiusan lokal 6 tahun yang lalu.
L : Makan/minum terakhir pukul 12.00 15 Januari 2014 (5 jam
SMRS)
E : Pasien mengeluh mual dan muntah sejak 1 hari SMRS. Muntah 4 kali
sehari berisi cairan bening kekuningan ± 100cc. Mual muntah disertai
18
nyeri perut kanan bawah dan demam. Pasien dibawa ke Puskesmas
dan dirujuk ke IGD RSUD Dr. Saiful Anwar Malang.
Pemeriksaan Fisik Pre-op
B1 : Airway paten, napas spontan simetris, RR 22x/mnt, Rh (-), Wh(-), Struma (-),
Stiffness (-), Buka mulut > 3 jari, Mandibulahyoid < 2 cm, Mallampati score II,
pernafasan cuping hidung (-), gigi geligi dbN, oklusi dbN, gerak leher
bebas,nyeri telan (-), massa di leher (-), trakea di tengah, saturasi O2 94%
room air
B2 : Akral hangat, kering, merah, CRT<2 “, nadi 92x/mnt kuat angkat, TD 130/90,
S1S2 tunggal regular, murmur(-), T.ax: 37,7o C
B3 : GCS 456, PBI 3mm/3mm, Reflek Kornea +/+, Reflek Cahaya +/+
B4 : BAK (+), Catheter (+), Produksi Urin 250 ml dalam 3 jam, kuning jernih
B5 : Flat, soefl, Bising Usus (+)Normal, nyeri tekan perut kanan bawah (+)
B6 : Mobilitas (+), CRT< 2 detik, anemis (-),ikterik (-), sianosis (-), edema (-)
Pemeriksaan Laboratorium (15 Januari 2014)
Darah Lengkap
o Hb :15 gr/dl (N : 13,4 - 17,7)
o Eritrosit : 6,06 106/ µl (N : 4,0 – 5,5)
o Leukosit : 13,58 103/µl (N : 4,3 - 10.3)
o Trombosit : 163.000 /µl (N : 142.000 - 424.000)
o Hematokrit : 42,90 % (N : 40,0 - 47,0)
Serum Elektrolit
o Natrium : 133 mmol/l (N : 136 - 145)
o Kalium : 3,30 mmol/l (N : 3,5 - 5,0)
o Chlorida : 105 mmol/l (N : 98 - 106)
Faal Hemostasis
o PPT : 13,4 detik (Kontrol 10,6 detik)
o APTT : 28,7 detik (Kontrol 25,4 detik)
Kesimpulan : PPT dan APTT Dalam Batas Normal
Kimia klinik: Faal Hati
o AST/SGOT : 17 U/L (N : 0-40)
o ALT/SGPT : 18 U/L (N : 0-41)
Metabolisme Karbohidrat : Glukosa darah sewaktu : 114 mg/dL (N : < 200)
Faal Ginjal
19
o Ureum : 25,80 mg/dL (N : 16,6 -48,5)
o Kreatinin : 1,33 mg/dL (N : < 1,2)
Pemeriksaan Electrocardiogram (15 Januari 2014)
Sinus rhythm, HR 117 kali per menit, frontal axis normal, horizontal axis normal.
Pemeriksaan Foto Rontgen Thorax:
AP position, less inspiration, trachea in the middle, soft and bone tissue normal,
hemidiaphragma d/s domeshape, costophrenicus angel d/s sharp,
Cor: site normal, size CTR ± 52 %
Pulmo: normal
Kesimpulan: CXR normal
3.3 Laporan Anestesi Preoperatif
Assessment: ASA 1, emergensi
Diagnosa pra bedah : Appendecitis perforata
Keadaan pra bedah (15 Januari 2014):
TB: 170 cm, BB 70 kg
TD: 130/90 mmHg, nadi 92x/menit, RR 22x/menit, suhu 37,7o C
Hb: 15 gr/dl
Pasien puasa pre-operasi
Jenis pembedahan : Appendectomy per laparotomi
Premedikasi : Ceftriaxone 1 g (i.v)
Ranitidin 50 mg (i.v)
Metoclopramide 10 mg (i.v)
3.3 Durante Operasi
Jenis anesthesia : General Anastesi
Teknik anesthesia : Intubasi oral
Lama anesthesia : 22.45 – 00.05
Lama operasi : 23.00 – 00.00
Premedikasi : 1. Ranitidin 50 mg iv (diberikan 1 jam preoperatif)
2. Metoclopramide 10 mg iv (diberikan 1 jam preoperatif)
3. Ceftriaxone 1 g iv (diberikan 1 jam preoperatif)
Posisi : Supine
Infus : RL 500 ml, 1 line tangan kiri
20
Obat-obatan yang diberikan :
Obat premedikasi sedasi: Inj. Midazolam 2,5 mg (diberikan di kamar operasi)
Obat induksi:
1. Inj. Fentanil 100 μg
2. Inj. Propofol 80 mg titrasi
3. Inj. Rocuronium 50 mg IV
Obat maintenance anesthesia: Isofluran dan O2
Obat analgetik durante operasi:
1. N2O
2. Morfin 2,5 mg IV
Obat analgetik postoperasi: Inj. Ketorolac 30 mg IV, Pemberian Cairan
Cairan masuk:
Pre operatif : RL 1500 cc
Durante operatif : RL 600 cc
Cairan keluar:
Perdarahan : +200 cc
Produksi urin : Preoperatf : 400 cc (dibuang)
Durante operatif : 200 cc
EBV : 4900 cc
ABL : 980 cc
M : 110
O2 : 280
3.4 Postoperatif di RR jam 00.10
Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:
B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit RH(-),Wh(-), saturasi
oksigen 96% dengan O2 nasal canul 4 lpm.
B2 : Akral hangat, kulit merah, nadi 81x/menit, TD 150/80 mmHg, S1S2 tunggal
regular, murmur(-), T.ax: 36,6o C
B3 : GCS 456, PBI 3mm/3mm, Reflek Cahaya +/+, Reflek kornea +/+
B4 : Catheter (+), Produksi Urin 600cc
B5 : Bising Usus (+) Normal, soefl, mual (-), muntah (-)
21
B6 : Mobilitas normal, CRT< 2 detik, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-)
Terapi Pasca Bedah
Infus: D5 ½ NS 1000cc, diikuti infus RL 500cc/24 jam
Antibiotika: Infus Ciprofloxacin 2x400 mg iv.
Obat-obatan: Inj. Ranitidin 2x 50 mg iv, Inj. Ketorolac 3x 30 mg iv, Inj.
Metoclopramide 3x10 mg iv
Bila mual/muntah : Kepala miring, head down, suction k/p. Inj Ondansetron 4mg
iv.
Bila kesakitan: Inj Tramadol 50 mg bolus diikuti 50 mg drip
Minum/makan: bertahap, jika tidak didapatkan mual dan muntah. Bising usus (+).
3.5 Postoperative di Ruang 17
17 Januari 2014
B1 : Airway paten, Nafas spontan, RR 19x/menit, RH(-), Wh(-)
B2 : Akral hangat, Nadi 84 x/menit, TD 140/80 mmHg, S1S2 tunggal
regular, murmur(-), T.ax: 36,9o C
B3 : GCS 456, PBI 3mm/3mm, Reflek Cahaya +/+, Reflek Kornea +/+
B4 : Catheter (+), Produksi Urin: 250 cc/5 jam
B5 : Bising Usus (+) Normal, soefl, mual (-), muntah (-)
B6 : Mobilitas normal, CRT< 2 detik, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-)
Monitoring
Awasi tanda-tanda vital seperti tensi, nadi, dan pernafasan setiap 15 menit
ACC pindah ruangan jika Aldrette score >8 & tidak ada nilai 0
Apabila muntah kepala dimiringkan, head down, suction, inj. Ondansetron 4 mg
Bila nyeri diberi Inj Tramadol 50 mg bolus diikuti 50 mg drip
Diberi minum bertahap sampai sadar penuh, bila tidak ada mual dan muntah dan BU
(+)
Bila nadi ≤ 50X/m diberi SA 0.5 mg
Bila tensi sistole ≤ 90 mmHg diberi RL/NS 500 cc/ 30 menit
Cek DL post op
22
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Tn. S umur 62 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Saiful
Anwar Malang pada tanggal 15 Januari 2014 pukul 18.00 dengan keluhan mual muntah
yang disertai nyeri perut kanan bawah. Berdasarkan history taking dengan metode AMPLE
pada kunjungan preoperatif, didapatkan bahwa pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan,
belum makan sejak pukul 12.00 (5 jam sebelum masuk Rumah Sakit). Pemeriksaan fisik
dilakukan untuk mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada anamnesa. Pemeriksaan
yang dilakukan pada pasien in meliputi tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi, laju
pernafasan, serta suhu. Dilakukan juga pemeriksaan airway, jantung dan paru-paru. Tidak
ditemukan kelainan.
B1 – Breathing
Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi yang perlu
diperhatikan. Lain-lain dalam breathing dalam batas normal.
B2 – Blood
Pada blood, dalam batas normal, perfusi baik, tidak didapatkan kelainan anatomis
dan fungsional dari sistem sirkulasi.
B3 – Brain
Dalam batas normal.
B4 – Bladder
BAK dengan menggunakan kateter, produksi urin ditampung berwarna kuning jernih.
B5 – Bowel
Pada bowel, didapatkan bising usus normal.
B6 – Bone
Tulang dan sendi pasien termasuk mobilitas dalam batas normal.
Luas cakupan pemeriksaan penunjang preanestesi telah sesuai dengan keadaan
dan kebutuhan pasien, kondisi co-morbid saat ini, dan prosedur bedah yang direncanakan.
Pada pasien ini didapatkan leukositosis (13.580), mild hiponatremia (133) dan mild
hipokalemia (3,3). Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
pasien dalam kondisi sehat fisik tanpa penyakit sistemik, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari,
sehingga diklasifikasikan dengan ASA-1 emergensi.
23
Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama anestesi,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah menjalani puasa
selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa pada pasien ini telah sesuai
dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American Society of Anesthesiologist yakni
konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi, makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan
makanan tinggi lemak 8 jam preoperasi, dimana pasien tidak mengkonsumsi makanan sejak
pukul 12.00 (11 jam sebelum operasi).
Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari pasien ini (berat badan +70 kg):
Berat Badan Jumlah Perhitungan untuk pasien ini
10kg pertama 4 mL/kg/jam 40 mL/jam
10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam + 20 mL/jam
Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam + 50 mL/jam
Total kebutuhan cairan maintenance pasien ini: 110 mL/jam
Premedikasi pada pasien ini diberikan 1 jam sebelum operasi, dengan obat
premedikasi berupa inj. Metoclopramide 10 mg, inj. Ranitidine 50 mg, dan inj. Ceftriaxone 1
g. Ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV (post operatif nausea vomiting).
Metoclopramide digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar.
Pemilihan metoclopramide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin
pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian bawah,
mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga
efek-efek ini akan meminimalisir terjadinya pnemonia aspirasi. Metoclopramide juga
mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi yang berhubungan dengan spasme otot
polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus, dll). Selain itu metoclopramide juga
berefek memblok receptor Dopamine pada chemoreceptor triggerzone pada sistem saraf
pusat sehingga sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi. Pemilihan
ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat
mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko pnemonia
aspirasi. Ceftriaxone sebagai antibiotik broad spectrum profilaksis.
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi
keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan
atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular
weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik
koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat
menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler (Morgan,
2006).
24
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk
kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut
cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian
dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis
replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan
Ringer laktat. Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi
cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume
besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL
sebanyak 3 hingga 4 kali jumlah volume darah yang hilang (Morgan, 2006).
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan darah
adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual memperkirakan
darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat
menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran
tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut ditimbang sebelum dan sesudah
terendam oleh darah, namun pada operasi pasien ini tidak dilakukan.
Pada pasien ini jumlah darah yang hilang didapatkan dari suction + kassa besar +
kassa kecil dengan perkiraan total 200cc.
Pemberian input cairan preoperatif maupun durante operasi sangat penting dalam
keseimbangan hemodinamik pasien saat operasi berlangsung. Dengan menghitung
Estimated Blood Volume (EBV) = berat badan x average blood volume (70-75 ml/kgBB)= 70
kg x 70 ml/kgBB = 4900 ml, Allowed Blood Loss (ABL) adalah 20-30 % dari Estimated Blood
Volume (EBV) dikarenakan pasien memiliki kadar hemoglobin normal sebelum operasi. ABL
pasien ini = 20% x 4900 ml = 980 ml. Kebutuhan cairan maintenance = 110 cc/jam, maka
dapat diperkirakan jumlah cairan yang masuk tiap jamnya demi mempertahankan
keseimbangan hemodinamik cairan selama operasi berlangsung.
Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang
peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan,
yaitu :
• 6-8 ml/kg untuk bedah besar
• 4-6 ml/kg untuk bedah sedang
• 2-4 ml/kg untuk bedah kecil
Operasi ini termasuk bedah sedang sehingga menggunakan rumus cairan 4 ml/kg.
Sehingga O2 x berat badan pasien adalah 280 cc.
Oleh karena operasi berlangsung selama 1 jam, maka kebutuhan cairan selama
operasi adalah:
Kebutuhan cairan rumatan/maintenance : 110 cc/jam x 1 jam = 110 cc
25
Cairan yang hilang O2 : 280 cc/jam x 1 jam = 280 cc
Jumlah produksi urine durante operasi : = 200 cc
Jumlah darah yang hilang x 3 RL : 200 cc x 3 = 600 cc +
1190 cc
Pada pasien ini diberikan input cairan durante operasi:
RL : 600 cc
Proses monitoring pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pesien
tidak pernah <95%, tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S: 110 - 130, D: 50
- 70), nadi antara 70-90x/menit. RR : 16-20x/menit.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa di PACU(RR
OK sentral) sampai pasien stabil. Monitoring tambahan didapatkan tidak ada mual atau
muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, dan perdarahan dalam batas
normal. Pasien mendapatkan oksigen 4 lpm melalui NC serta dimonitor dengan pulse.
Satu jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi sebelum
dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien ini didapatkan
Aldrete score dengan total 10. Dengan nilai total aldrete score pasien kemudian dipindahkan
ke ruang biasa (Ruang 17) dengan rencana monitoring yang dilakukan sudah benar dan
sesuai kebutuhan pasien.
Evaluasi post operatif dilakukan dalam 24 jam setelah operasi dan telah dicatat
dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini meliputi review dari rekam medis, anamnesa
terkait perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan pemeriksaan fisik post operasi.
Pada kunjungan postoperatif pasien ini dari anamnesa tidak didapatkan keluhan dan pada
pemeriksaan fisik dan penunjang secara keseluruhan dalam batas normal. Terapi PONV
dan management nyeri dilakukan dengan baik.
26
BAB V
KESIMPULAN
Pasien adalah pria usia 62 tahun dengan apendisitis perforata, yang dilakukan
operasi apendektomi per laparotomi pada tanggal 15 Januari 2014. Tindakan anestesi yang
dilakukan adalah general anestesi dengan intubasi. Hal ini dipilih karena keadaan pasien
sesuai dengan indikasi general anestesi.
Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan kelainan
lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya general anestesi.
Selama durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif stabil sampai
operasi selesai.
Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak didapatkan
keluhan. Selama di PACU (Post Anesthesy Care Unit) pasien cukup stabil dengan Aldrete
Score bernilai 10 dan tidak terdapat score 0, sehingga pasien dapat dipindahkan ke ruang
rawat biasa (R.17). Seluruh tatalaksana pasien dilakukan dengan baik.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for Preoperative
Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce Aspiration: Application to
Healthy Patients Undergoing Elective Procedures: An Updated Report by The American
Society of Anesthesiologists Committee on Standards and Practice parameters. USA:
Lippincott Williams & Wilkins
2. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009.
Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Cole MA, Maldonado N. Emergency Medicine Practice: Evidence-Based Management
of Suspected Appendicitis In The Emergency Department Vol.13 Number 10. 2011:1-32
4. Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison, Jean Kwo, dan
Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The Massachusets General
5. Frogat, P. Harmston, C. 2011. Acute Appendicitis. North American Journal of Surgery
29:8.
6. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI
7. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th Edition.
USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
8. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009. Miller’s Anesthesia 7 th
ed. US : Elsevier
9. Soenarto, Ratna F dan Chandra, Susilo. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen
Anestesiologi dan Intensive Care FKUI, Jakarta.
28