Upload
fitri-amelia-rizki
View
29
Download
16
Embed Size (px)
DESCRIPTION
OO
Citation preview
TESIS
LATIHAN AEROBIK INTENSITAS SEDANG DENGAN
DIET RENDAH KOLESTEROL LEBIH BAIK DALAM
MEMPERBAIKI KOGNITIF DARIPADA INTENSITAS
RINGAN PADA PENDERITA SINDROMA METABOLIK
YULIANA RATMAWATI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
TESIS
LATIHAN AEROBIK INTENSITAS SEDANG DENGAN
DIET RENDAH KOLESTEROL LEBIH BAIK DALAM
MEMPERBAIKI KOGNITIF DARIPADA INTENSITAS
RINGAN PADA PENDERITA SINDROMA METABOLIK
YULIANA RATMAWATI
NIM 1190361035
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAH RAGA
KONSENTRASI FISIOTERAPI
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
ii
LATIHAN AEROBIK INTENSITAS SEDANG DENGAN
DIET RENDAH KOLESTEROL LEBIH BAIK DALAM
MEMPERBAIKI KOGNITIF DARIPADA INTENSITAS
RINGAN PADA PENDERITA SINDROMA METABOLIK
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Fisiologi Olahraga-Fisioterapi
Program Pascasarjana Universitas Udayana
YULIANA RATMAWATI
NIM 1190361035
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAH RAGA
KONSENTRASI FISIOTERAPI
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
iii
LEMBAR PERSETUJUAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 3 Oktober 2013
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr.dr.J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And S. Indra Lesmana, SKM, SSt.Ft, M.Or
NIP. 194402011964091001 NIDN.030 707 6801
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Direktur
Fisiologi Olahraga Program Pascasarjana
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And Prof. Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 194402011964091001 NIP. 195902151985102001
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI
TESIS
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai
Oleh Panitia Penguji pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Pada Tanggal 3 Oktober 2013
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
No. : 1815/UN.14.4/HK/2013
Tanggal : 25 September 2013
Panitia Penguji Usulan Penelitian Tesis adalah :
Ketua : Prof. Dr. Dr. J. Alex Pangkahila,M.Sc.Sp.And
Sekretaris : Syahmirza Indra Lesmana, SKM,SSt.FT, M.Or
Anggota:
1. Dr. Ir. I Ketut Wijaya, M.Erg
2. Sugijanto, Dipl.PT, M.Fis
3. dr. Ida Bagus Ngurah, M.For
v
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS UDAYANA
Kampus Bukit Jimbaran
Telepon (0361) 701812, 701954, 703138, 703139, Fax.(0361)-701907, 702442
Laman: www.Unud.ac.id
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Yuliana Ratmawati
Nim : 1190361035
Program Studi : Magister Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi
Judul Tesis : Latihan Aerobik Intensitas Sedang dengan Diet Rendah
Kolesterol Lebih Baik Dalam Memperbaiki Kognitif Daripada
Intensitas Ringan Pada Penderita Sindroma Metabolik
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini , maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No . 17 tahun 2010 dan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 7 Oktober 2013.
Pembuat pernyataan
(Yuliana Ratmawati)
Nim: 1190361035
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan krunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul Latihan
Aerobik Intensitas Sedang dengan Diet Rendah Kolesterol Lebih Baik Dalam
Memperbaiki Kognitif Daripada Intensitas Ringan Pada Penderita Sindroma
Metabolik dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai derajat
Magister Fisiologi Olahraga (M.Fis) pada Program Studi Fisiologi Olahraga Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Pertama-tama perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut
Suastika, Sp.PD,KEMD, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof.
Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S.(K). dan Ketua Program Studi Pascasarjana Fisiologi
Olahraga Universitas Udayana Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And atas
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pascasarjana
di Universitas Udayana.
Selama penyusunan tesis ini penulis memperoleh banyak bimbingan, dan
bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat menyelesaikannya. Pada kesempatan ini
penulis ingin menghanturkan ucapan terima kasih yang tulus kepada Prof. Dr. dr. J.
Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And, selaku pembimbing I, dan, bapak S. Indra Lesmana,
SKM, SSt.Ft, M.Or selaku pembimbing II, yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan petunjuk, dorongan dan bimbingan serta memberikan ilmunya kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Dr. H.M. Iqbal,Sp.PD sebagai
dokter penanggungjawab PERSADIA di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan
Ibu Widiastuti,S.Kep.Ns ketua pengurus PERSADIA di RS PKU Muhammadiyah
serta para Dosen Program Magister Fisiologi Olahraga, atas segala dorongan,
semangat dan bimbingannya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
para penguji tesis yaitu Dr. Ir. I Ketut Wijaya, M.Erg, Sugijanto, Dipl.PT, M.Fis, dan
dr. Ida Bagus Ngurah, M.For atas saran-saran untuk perbaikan tesis ini.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada para anggota PERSADIA di RS
PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang telah bersedia menjadi subjek penelitian, serta
rekan-rekan teman-teman yang telah ikut membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
Tidak lupa penulis juga sampaikan terima kasih kepada suamiku, Ayah dan Ibunda
vii
tercinta, yang dengan penuh pengertian dan kesabaran selalu mendampingi perjuangan
penulis selama ini serta sebagai penyemangat bagi penulis.
Penulis sadar bahwa isi dari tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga bila
terdapat kesalahan-kesalahan dalam penulisan dan lain-lain, penulis sangat
mengharapkan saran dan masukan sehingga tulisan ini menjadi lebih baik. Sebagai
penutup penulis sampaikan semoga tesis ini bermanfaat bagi dunia kependidikan
terutama bidang fisiologi olahraga.
Denpasar, Juli 2013
Penulis
Yuliana Ratmawati
viii
ABSTRAK
LATIHAN AEROBIK INTENSITAS SEDANG DENGAN DIET RENDAH
KOLESTEROL LEBIH BAIK DALAM MEMPERBAIKI KOGNITIF
DARIPADA INTENSITAS RINGAN PADA PENDERITA
SINDROMA METABOLIK
Sindroma metabolik merupakan sekumpulan faktor resiko penyebab terjadinya
atherosklerosis. Adanya mikroemboli kolesterol dari plak karotis dianggap sebagai
satu mekanisme yang dapat mengganggu kognitif. Latihan aerobik adalah salah satu
intervensi yang dapat memperbaiki fungsi kognitif. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui latihan aerobik intensitas sedang dengan diet kolesterol lebih baik dalam
memperbaiki kognitif daripada intensitas ringan pada penderita sindroma metabolik.
Metode penelitian ini eksperimental dengan rancangan randomized control trial
pre and post test design. Sampel sebanyak 26 penderita sindroma metabolik. Sampel
dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberikan latihan intensitas ringan
sedangkan kelompok kedua diberikan latihan intensitas sedang yang keduanya
ditambah dengan diet rendah kolesterol. Penelitian dilakukan selama dua belas minggu
di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Subyek penelitian dengan rentang usia 45-
55 tahun, indeks masa tubuh dengan rentangan 23-29.
Hasil statistik uji beda sebelum dan sesudah kelompok perlakuan aerobik
intensitas ringan dengan diet rendah kolesterol menggunakan uji paired sampel t-test
didapatkan hasil p= 0,001 (p
ix
ABSTRACT
MODERATE INTENSITY AEROBIC EXERCISE WITH LOW
CHOLESTEROL DIET MORE THAN IMPROVING COGNITIVE
LIGHT INTENSITY ON THE METABOLIC SYNDROME PATIENTS
Metabolic syndrome is a group of risk factors causing atherosclerosis. The
presence of cholesterol microemboli carotid plaque is considered as one of the
mechanisms that can interfere with cognitive. Aerobic exercise is one of the
interventions that can improve cognitive function. The purpose of this study was to
determine the aerobic exercise of moderate intensity with more cholesterol diet
improve cognitive rather than light intensity in patients with metabolic syndrome.
The experimental research method to design randomized control trial of pre and
post test design. Sample of 26 patients with metabolic syndrome. Samples were
divided into two groups. The first group was given exercise intensity light while the
second group was given exercise intensity , both coupled with a low-cholesterol diet.
The study was conducted over twelve weeks in RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Study subjects with an age range of 45-55 years old, with a body mass index 23-29
range.
The results of the different test statistics before and after the treatment with mild
intensity aerobic low cholesterol diet using paired sample t - test test showed p = 0,001
( p < 0,05 ). Different test before and after the treatment of moderate-intensity aerobic
with low cholesterol diet using the Wilcoxon p = 0,001 (p < 0,05). Different test
groups after the treatment of mild and moderate intensity aerobics with low cholesterol
diet using the Mann - Whitney U with p = 0,005 (p < 0.05) there is a significant
difference between the two treatment groups. Moderate aerobic exercise group with
low cholesterol diet improve cognitive 22,1 % more compared to the group treated
with a mild intensity aerobic low-cholesterol diet.
Conclusions in this study were of moderate intensity aerobic treatment group
with low cholesterol diet for improving cognitive rather than light intensity aerobics
with low-cholesterol diet.
Key words: metabolic syndrome, cognitive function, aerobic exercise
x
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ............................................................................................. i
PRASYARAT GELAR ...................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .................................................................. iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .................................................. v
UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vi
ABSTRAK .......................................................................................................... viii
ABSTRACT ........................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ xiv
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 7
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................. 9
2.1 Gangguan Kognitif Pada Sindroma Metabolik .................................... 9
2.1.1 Definisi Sindroma Metabolik ..................................................... 9
2.1.2 Klasifikasi Sindroma Metabolik ................................................ 10
2.1.3 Etiologi dan Patofisiologi Sindroma Metabolik ........................ 12
2.1.4 Komplikasi Sindroma Metabolik ................................................ 15
2.2 Kognitif ................................................................................................. 17
2.2.1 Struktur Otak .............................................................................. 18
2.2.2 Hubungan Struktur Otak dengan Fungsi Kognitif ..................... 20
2.3 Penurunan Kognitif Pada Sindroma Metabolik .................................... 22
2.4 Latihan Aerobik .................................................................................... 24
xi
2.4.1 Latihan Aerobik Intensitas Ringan .............................................. 27
2.4.2 Latihan Aerobik Intensitas Sedang ............................................. 27
2.4.3 Sumber Energi Pada Pelatihan Fisik ............................................ 29
2.4.4 Kolesterol Sebagai Sumber Energi .............................................. 30
2.4.5 Diet Rendah Kolesterol ............................................................... 31
2.4.6 Adaptasi Latihan Aerobik ........................................................... 33
2.4.7 Manfaat Latihan Aerobik terhadap Fungsi Kognitif
Pada Sindroma Metabolik ........................................................... 36
2.5 Mini Mental State Examination (MMSE) .............................................. 47
BAB III KERANGKA BERFIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS .................... 50
3.1 Kerangka Berfikir ................................................................................... 50
3.2 Konsep Penelitian ................................................................................... 53
3.3 Hipotesis Penelitian ................................................................................ 53
BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................................ 55
4.1 Rancangan Penelitian .............................................................................. 54
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 56
4.3 Penentuan Sumber Data ........................................................................ 56
4.3.1 Penentuan populasi ...................................................................... 56
4.3.2 Penentuan sampel ......................................................................... 57
4.3.3 Kriteria egilitas ............................................................................. 57
4.3.4 Besar sampel ................................................................................. 58
4.3.5 Tehnik pengambilan sampel ......................................................... 59
4.4 Variabel Penelitian .................................................................................. 60
4.4.1 Variabel penelitian ......................................................................... 60
4.4.2 Definisi operasional variabel ........................................................ 60
4.5 Instrumen Penelitian ............................................................................... 63
4.6 Prosedur Penelitian ................................................................................. 62
4.6.1 Cara penelitian ................................................................................ 62
4.6.2 Alur penelitian ............................................................................... 64
4.6.3 Prosedur pengukuran ..................................................................... 66
4.6.4 Prosedur pengumpulan data ........................................................... 67
4.7 Analisis Data ........................................................................................... 68
xii
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 71
5.1 Deskripsi Karakteristik Subyek ............................................................. 71
5.2 Diagnosa Sindroma Metabolik .............................................................. 73
5.3 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas .................................................... 74
5.4 Uji Hipotesis .......................................................................................... 76
5.4.1 Uji Hipotesis I dan II.................................................................... 76
5.4.2 Uji Kompatibilitas ........................................................................ 77
5.4.3 Uji Hipotesis III ........................................................................... 78
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................... 79
6.1 Karakteristik Subyek .............................................................................. 79
6.2 Distribusi Varian dan Hasil MMSE ....................................................... 82
6.3 Efek Pelatihan Aerobik Ringan Dengan Diet Rendah Kolesterol
Terhadap Peningkatan MMSE ................................................................. 82
6.4 Efek Pelatihan Aerobik Sedang Dengan Diet Rendah Kolesterol
Terhadap Peningkatan MMSE ................................................................. 84
6.5 Efektifitas Pelatihan Aerobik Intensitas Ringan Dengan Diet
Rendah Kolesterol Dibandingkan Pelatihan Aerobik Intensitas Sedang
Dengan Diet Rendah Kolesterol Terhadap Peningkatan MMSE ........... 87
6.6 Keterbatasan Penelitian ........................................................................... 90
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 91
7.1 Simpulan .................................................................................................. 91
7.2 Saran ........................................................................................................ 91
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 93
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Kriteria Diagnosis Sindroma Metabolik Menurut WHO, NCEP-ATP III,
IDF dan EGIR .................................................................................................. 12
4.1 Karakteristik IMT Berdasarkan Kriteria WHO 2000 ........................................ 62
5.1 Karakteristik Subyek Penelitian ........................................................................ 72
5.2 Distribusi Kejadian Sindroma Metabolik........................................................... 74
5.3 Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Data MMSE Sebelum dan
Sesudah Pelatihan ........................................................................................... 75
5.4 Hasil Uji Beda Kedua Kelompok Sebelum dan Sesudah Perlakuan................ 76
5.5 Hasil Uji Kompatibilitas Sebelum Perlakuan Kedua Kelompok ..................... 77
5.6 Hasil Uji Beda Antara Kedua Kelompok Setelah Perlakuan............................ 78
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Anatomi Otak ................................................................................................... 19
3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................................ 52
3.2 Konsep Penelitian............................................................................................. 53
4.1 Rancangan Penelitian Pre Test dan Post Test Design ...................................... 55
4.2 Bagan Alur Penelitian ....................................................................................... 65
6.1 Prosentase Peningkatan MMSE Pada Kelompok Intensitas Ringan dan
Intensitas Sedang ................................................................................................ 88
xv
DAFTAR SINGKATAN
SINGKATAN
ACSM : American College of Sport Medicine
APTT : Activated Partial Tromboplastin Time
ATP : Adenosin Tri Phosphate
BDNF : Brain Devitred Neurotrophin Factor
CRP : C-Reactive Protein
EGIR : The European Group for the Study of Insulin Resistance
FFA : Free Fatty Acids
HDL : High Density Lipoprotein
HDL-C : High density lipoprotein cholesterol
IDF : International Diabetes Federation
IGF-I : Insulin-Growth Factor I
LDL : Low Density Lipoprotein
MHR : Maximal Heart Rate
MMSE : Mini Mental State Examination
NCEP ATP III : National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel
III
NGF : Nerve Growth Factor
NO : Nitrit Oxide
OGTT : Oral glucose tolerance test
PAI-I : Plasminogen activator inhibitor
PJK : Penyakit Jantung Koroner
RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar
ROS : Reactive Oxygen Species
SDH : Succinate dehydroginase
SREBP1c : Sterol Regulation Element Binding Protein
VLDL1 : Very Low Density Lippoprotein 1
WHO : World Health Organization
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Data penelitian 100
2 Hasil SPSS . 101
3 Gerakan-gerakan senam DM .. 108
4 Dokumentasi ... 118
5 Surat pernyataan persetujuan mengikuti penelitian . 119
6 Status Mini Mental State Examination (MMSE) 120
7 Daftar Pertanyaan Pemeriksaan .. 121
8 Surat Persetujuan Menjadi Pengukur .. 124
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini tingkat kesejahteraan hidup manusia akan terus bergeser seiring
dengan berubahnya pola hidup manusia di zaman modern. Perubahan tersebut akan
sangat dipengaruhi oleh keadaan demografi, sosial ekonomi, dan sosial budaya.
Penyakit saat ini juga telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan
beralihnya penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular
bergeser ke penyakit yang tidak menular. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) tahun 2007, dimana penyebab kematian tertinggi diantara orang
dewasa adalah penyakit kardiovaskular.
Sindroma metabolik merupakan permasalahan kesehatan dengan morbiditas
dan mortalitas yang terus meningkat (Saunderajen, 2010). Sindroma metabolik ini
merupakan kelainan metabolik kompleks yang dihasilkan dari peningkatan obesitas.
Obesitas, retensi insulin, dislipidemia dan hipertensi merupakan komponen sindroma
metabolik (Kahn et al., 2005). Sindroma metabolik adalah sekelompok kelainan yang
berkaitan erat dengan risiko penyakit jantung koroner (PJK), stroke dan
kardiovaskular.
Prevalensi populasi di dunia terhadap penyakit degeneratif saraf dan
metabolik terus meningkat. Pusat kontrol penyakit dan prediksi pencegahan
melaporkan bahwa lebih dari 29 juta orang di USA akan menderita diabetes millitus
pada tahun 2050. Di US 5-10% pasien diabetes millitus tipe I dengan karakteristik
2
hiperglikemia dan defisiensi insulin, sedangkan diabetes tipe II 90-95%
karakteristiknya hiperinsulinemia, obesitas, hipertensi, hiperkolesterolemia,
hiperlipidemia. Beberapa penelitian dilaporkan bahwa pasien dengan diabetes
millitus beresiko terkena penyakit alzheimer. Faktanya, diklinik Mayo terdaftar 80%
pasien dengan penyakit alzheimer terjadi gangguan toleransi glukosa (Janson et al.,
2004). Data dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) menunjukkan
prevalensi sindroma metabolik sebesar 13,13% (Fattah, 2006 dalam Jafar, 2011).
Pada penelitian Yaffe et al.,(2004) dilaporkan adanya penurunan fungsi
kognitif pada sindroma metabolik. Penelitian Akbaraly et al., (2010) dilaporkan
bahwa penderita sindroma metabolik persisten selama 10 tahun dapat menurunkan
fungsi kognitif dibandingkan dengan penderita sindroma metabolik non persisten.
Pada penelitian Rostam (2006) diperoleh hasil bahwa kejadian penurunan fungsi
kognitif lebih banyak terdapat pada penderita diabetes millitus. Velayudhan et al.,
(2010) juga memberikan kesimpulan bahwa diabetes millitus tidak hanya berisiko
terhadap terjadinya kemunduran kognitif, tetapi juga meningkatkan progresivitas
suatu kemunduran kognitif menjadi demensia. Banyak penelitian telah melaporkan
hubungan antara demensia dengan faktor risiko vaskular seperti intoleransi glukosa,
resistensi insulin, obesitas sentral, kelainan lipid dan hipertensi (Solfrizzi, 2004).
Hipertensi, diabetes dan hiperlipidemia berperan penting dalam patogenesis
gangguan kognitif dan terkait dengan penyakit alzheimer serta demensia. Robinson
et al., (2010) dilaporkan bahwa pasien dengan diabetes millitus meningkatkan risiko
penyakit alzheimer dibandingkan orang sehat. Proses mekanisme biologikal penyakit
diabetes millitus dapat menurunkan kognitif masih pro dan kontra. Gangguan
3
metabolisme protein, retensi insulin, oksidatif stress, intoleran glukosa, aktivasi
inflamasi yang melatar belakangi kedua penyakit tersebut. Hiperkolesterolemia
adalah faktor yang sangat penting berperan pada diabetes millitus dan penurunan
kognitif (Robinson et al., 2010).
Diabetes millitus dan komplikasinya memberikan dampak pada susunan saraf
pusat yang berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif (Gundy, 2003). Beratnya
gangguan fungsi kognitif ditentukan oleh tipe diabetes millitusnya, usia sejak kapan
menderita diabetes millitus, kontrol derajat glukosa, lamanya menderita diabetes
millitus (Brands et al., 2005). Berbeda dengan penelitian Armando (2011) dilaporkan
bahwa usia berpengaruh pada status kognitif sedangkan status pendidikan dan
pengendalian gula tidak berpengaruh terhadap penurunan kognitif.
Sindroma metabolik berkontribusi terhadap respon inflamasi baik dengan
mekanisme aterosklerosis atau inflamasi atau keduanya yang berkontribusi dalam
penurunan kognitif (Gundy, 2003). Mikroemboli kolesterol dari plak karotis
dianggap sebagai satu mekanisme yang menimbulkan infark yang dapat mengganggu
fungsi kognitif. Aterosklerosis sebagai akibat dari peningkatan efek neuro
inflamatorik. Peningkatan neuro inflamatorik yang dilepas oleh jaringan adiposa
menekan integritas otak dan berkontribusi terhadap fungsi kognitif (Fergenbaum et
al., 2009 dalam Saunderajen, 2010). Studi sebelumnya telah ditemukan bahwa serum
dan plasma Brain Devitred Neurotrophin Factor (BDNF) yang lebih rendah pada
individu dengan diabetes millitus tipe 2 dibandingkan dengan individu non diabetes,
hal tersebut menimbulkan pertanyaan semakin tingginya tingkat gangguan kognitif
pada diabetes sebagian disebabkan oleh tingkat BDNF yang rendah (Karczewska,
4
2011). Penelitian yang serupa pada individu non diabetes yang lebih rendah tingkat
serum BDNF telah dikaitkan dengan resistensi insulin dan tubuh tinggi lemak (Swift,
2012).
Melihat dari masalah diatas fisioterapi sebagai salah satu tenaga kesehatan
yang bergerak dalam kapasitas fisik dan kemampuan fungsional serta meningkatkan
derajat kesehatan salah satunya dengan memberikan latihan olahraga. Olahraga
selain sangat bermanfaat dalam memelihara kesegaran atau kebugaran jasmani, juga
dapat meningkatkan neuro kognitif oleh kontrol kognitif pada otak manusia
(Kurniawati, 2010). Olahraga dapat meningkatkan berbagai aspek kognitif, efeknya
tergantung pada jenis dan intensitas olahraganya. Olahraga dalam jangka panjang
dapat mempengaruhi kognisi, melalui kombinasi efek peningkatan suplai darah dan
pelepasan nerve growth factors. Salah satu bentuk latihan yang dapat diberikan
fisioterapi adalah pelatihan aerobik. Pada penelitian latihan aerobik lebih
berhubungan dengan metabolisme kolesterol dibanding latihan anaerobik (Mitchell
& Gibbona, 1998). Menurut Giada et al., (1991) hanya latihan aerobik yang
berpotensi berefek anti aterogenik atau aterosklerotik. Peningkatan aktivitas fisik
memiliki efek fisiologis yang jelas bermanfaat bagi orang dengan intoleransi glukosa
(Baker et al., 2010). Aktivitas fisik memiliki efek terapi potensial pada regulasi
glukosa dan kesehatan kardiovaskular yang keduanya dapat mengancam integritas
kognitif (Craft, 2007; Helzner et al., 2009). Pada penelitian Baker et al., (2010)
dilaporkan bahwa latihan aerobik dapat meningkatkan fungsi kognitif, kebugaran
kardiorespirasi dan sensitivitas insulin. Adapun energi yang dibutuhkan otak dalam
menjalankan fungsi kognitif didapatkan dari hasil pembakaran glukosa darah, selain
5
itu juga substrat lain berupa keton dan asam laktat yang bisa digunakan sebagai
sumber energi (Shah, 2012). Latihan aerobik selain berefek aterogenik,
meningkatkan suplai darah dan pelepasan nerve growth factors juga dapat
meningkatkan ukuran hipocampus anterior yang dikaitkan dengan peningkatan
serum BDNF yang mengarah pada perbaikan memori (Erickson, 2010).
Dewasa ini latihan arobik yang banyak dipilih oleh masyarakat untuk
meningkatkan kebugarannya adalah senam aerobik. Senam aerobik adalah
merupakan latihan fisik di mana di dalam latihan tersebut menggerakkan seluruh otot
terutama otot besar dengan gerakan yang terus menerus, berirama maju dan
berkelanjutan. Senam aerobik dipilih karena mudah, menyenangkan dan bervariasi
yang memungkinkan seseorang untuk melakukannya secara teratur dalam kurun
waktu yang lama. Intensitas latihan aerobik harus mencapai target zone sebesar 60-
90% dari frekuensi denyut jantung maksimal atau Maximal Heart Rate (MHR).
Intensitas latihan ringan apabila mencapai 60-69% dari MHR, intensitas sedang
mencapai 70-79% MHR. Dalam hal ini intensitas latihan dapat ditingkatkan dengan
menambah beban latihan seperti meloncat-loncat atau dengan mempercepat gerakan
senam (Pollock dan Wilmore, 1990). Latihan aerobik baik intensitas ringan maupun
intensitas sedang memberikan efek terhadap perubahan jenis serabut otot, suplai
kapiler, kadar myoglobin, fungsi mitokondria dan enzim oksidatif. Adapun yang
membedakan antara intensitas ringan dan sedang adalah kecukupan oksigen pada
saat latihan. Kecukupan oksigen dibatasi oleh transport oksigen ke otot rangka oleh
sistem kardiovaskular dan respirasi. Pada intensitas ringan karena sistem
kardiovaskular masih mampu memenuhi kebutuhan oksigen untuk kontraksi otot
6
sehingga sumber energi utama untuk kontraksi adalah lemak. Sedangkan pada
intensitas sedang sumber energi utama untuk kontraksi otot adalah karbohidrat dan
lemak secara seimbang (McArdlle et al., 1986;Wilmore & Costill, 1994). Latihan
aerobik intensitas tinggi tidak dilakukan karena dapat mengaktivasi fibrinolisis darah
dan koagulasi secara simultan sebagai akibat pemendekan terjadinya APTT
(Activated Partial Tromboplastin Time) (Wang, 2005).
Latihan aerobik tidak akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang
diharapkan tanpa menerapkan diet. Berbagai macam prinsip diet yang dapat
diterapkan antara lain diet yang seimbang artinya dalam jumlah yang cukup tidak
kurang dan tidak berlebihan. Dalam hal ini bisa dilakukan salah satunya diet rendah
kolesterol. Latihan aerobik disertai diet makanan memperbaiki profil lipid salah
satunya kolesterol (Guo et al., 2011).
Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin meneliti dan mengetahui lebih dalam
lagi tentang latihan aerobik intensitas ringan dan sedang dengan diet rendah
kolesterol lebih dapat dalam memperbaiki kognitif pada penderita sindroma
metabolik dan memaparkannya dalam bentuk tesis dengan judul latihan aerobik
intensitas sedang dengan diet rendah kolesterol lebih baik dalam memperbaiki
kognitif daripada intensitas ringan pada penderita sindroma metabolik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah penelitian
adalah sebagai berikut :
1. Apakah latihan aerobik intensitas ringan dengan diet rendah kolesterol dapat
memperbaiki kognitif pada penderita sindroma metabolik?
7
2. Apakah latihan aerobik intensitas sedang dengan diet rendah kolesterol dapat
memperbaiki kognitif pada penderita sindroma metabolik?
3. Apakah latihan aerobik intensitas sedang dengan diet rendah kolesterol lebih
baik dalam memperbaiki kognitif daripada intensitas ringan pada penderita
sindroma metabolik?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini :
1.3.1 Tujuan umum :
Untuk mengetahui latihan aerobik intensitas sedang dan intensitas ringan
dengan diet rendah kolesterol dapat memperbaiki kognitif pada penderita
sindroma metabolik
1.3.2 Tujuan khusus :
1. Untuk mengetahui latihan aerobik intensitas ringan dengan diet rendah
kolesterol dapat memperbaiki kognitif pada penderita sindroma metabolik
2. Untuk mengetahui latihan aerobik intensitas sedang dengan diet rendah
kolesterol dapat memperbaiki kognitif pada penderita sindroma metabolik
3. Untuk mengetahui latihan aerobik intensitas sedang dengan diet rendah
kolesterol lebih baik dalam memperbaiki kognitif daripada intensitas ringan
pada penderita sindroma metabolik.
8
1.4 Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini maka akan didapatkan berbagai macam manfaat, antara
lain :
1. Bagi Akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta
digunakan sebagai referensi dalam penelitian berikutnya yang lebih
mendalam.
2. Bagi Praktisi
Memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya
kedokteran dan fisioterapi, dengan adanya data-data yang menunjukkan
program latihan aerobik intensitas sedang dengan diet rendah kolesterol lebih
baik dalam memperbaiki kognitif daripada intensitas ringan pada penderita
sindroma metabolik
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Kognitif pada Sindroma Metabolik
2.1.1 Definisi sindroma metabolik
Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko, antara lain :
obesitas sentral, hipertrigliseridemia, rendahnya High density lipoprotein cholesterol
(HDL-C), hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia yang mengacu pada timbulnya
risiko penyakit kardiovaskular (Gatto et al., 2008).
Berbagai organisasi memberikan definisi yang berbeda, namun seluruh
kelompok setuju bahwa obesitas, resistensi insulin, dislipidemia, dan hipertensi
merupakan komponen utama sindroma metabolik. Meskipun, sindroma metabolik
mempunyai definisi yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama dengan
mengenali secara dini gejala gangguan metabolik sebelum terkena komplikasi
(Grundy, 2004).
Definisi yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) dan the
National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III)
mengidentifikasi komponen sindroma metabolik sebagai berikut :
1) Obesitas abdominal, salah satu bentuk obesitas yang memiliki hubungan
paling kuat dengan sindroma metabolik
2) Dislipidemia aterogenik diidentifikasi melalui peningkatan trigliserid dan
penurunan HDL
10
3) Peningkatan tekanan darah sangat berkaitan dengan obesitas dan biasanya
timbul pada orang yang mengalami retensi insulin
4) Retensi insulin; status proinflamatori ditandai dengan peningkatan C-
Reactive Protein (CRP) akibat kelebihan jaringan adipose akan
menghasilkan sitokin yang menimbulkan reaksi inflamasi; status
protrombotik ditandai dengan peningkatan plasminogen activator inhibitor
(PAI)-I plasma dan fibrinogen (Soegih R dan Kunkun, 2009).
2.1.2 Klasifikasi sindroma metabolik
Kelompok pakar telah mengembangkan definisi dan kriteria sindroma
metabolik. Definisi dan kriteria yang paling banyak digunakan adalah yang dibuat
oleh WHO, the European Group for the Study of Insulin Resistance (EGIR), NCEP
ATP III dan International Diabetes Federation (IDF). Keempat definisi tersebut
memiliki komponen utama yang sama dengan penentuan kriteria yang berbeda
(Soegih R dan Kunkun, 2009).
Adapun kriteria dikatakan menderita sindroma metabolik adalah menurut
NCEP-ATP III yaitu apabila memenuhi 3 dari 5 kriteria, antara lain: lingkar perut
pria > 102 cm atau wanita > 88 cm; hipertrigliseridemia (kadar serum trigliserida >
150 mg/dL), kadar HDL-C < 40 mg/dL untuk pria, dan < 50 mg/dL untuk wanita;
tekanan darah > 130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah puasa > 110 mg/dL.
Berdasarkan kriteria IDF seseorang dikatakan mengalami sindroma metabolik bila
mengalami; obesitas sentral (lingkar pinggang 94 cm untuk pria dan 80 cm
untuk wanita), ditambah dua faktor-faktor berikut : peningkatan trigliserid> 150
mg/dL (1,7 mmol/L) atau sedang memperoleh pengobatan kadar lipid yang
9
11
abnormal, penurunan kadar HDL kolesterol < 40 mg/dL (0,9 mmol/L) pada pria dan
< 50 mg/dL (1,1 mmol/L pada wanita) atau sedang memperoleh pengobatan kadar
lipid yang abnormal, peningkatan tekanan darah sistolik 130 atau diastolik 85
mmHg atau sedang dalam pengobatan hipertensi, peningkatan kadar glukosa puasa
plasma 100 mg/dL (5,6 mmol/L) atau telah didiagnosa menderita diabetes tipe 2.
Jika > 100 mg/dL atau 5,6 mmol/L, sangat dianjurkan untuk dilakukan oral glucose
tolerance test (OGTT) (Soegih R dan Kunkun, 2009). Berdasarkan kriteria EGIR
sindroma metabolik jika 2 dari 4 kriteria terpenuhi, antara lain: rasio lingkar
pinggang-panggul > 94 cm untuk pria dan 80 cm untuk wanita, trigliserida > 2,0
mmol/L, kolesterol HDL baik pria maupun wanita < 1,0 mol/L, tekanan darah
140/90 mmHg, Glukosa darah puasa 6,1 mmol/L (Soegih R dan Kunkun, 2009).
Tabel 2.1
Kriteria Diagnosis Sindroma Metabolik Menurut WHO, NCEP-ATP III, IDF
dan EGIR
WHO ATP III IDF EGIR
Minimal 2 dari 4 3 dari 5 2 dari 4 2 dari 4
Rasio
lingkar pinggang
Pria
Wanita
> 90 cm
> 85 cm
> 94 cm 80 cm
Lingkar
pinggang
Pria Wanita
>102 cm
>88 cm
94 cm 80 cm
Trigliserida
150 mg/dL >150mg/Dl >150mg/dL >2,0mmol/L
Kolesterol HDL
Pria
Wanita
< 35 mg/dl
< 39 mg/dl
< 40 mg/dl
< 50 mg/dl
< 40 mg/dl
< 50 mg/dl < 1,0 mol/l
Tekanan
darah >140/90mmHg >130/85mmHg 130/85mmHg 140/90mmHg
Glukosa >110mg/dl >100mg/dl 6,1 mmol
(sumber : Soegih R dan Kunkun, 2009)
12
2.1.3 Etiologi dan patofisiologi sindroma metabolik
Etiologi sindroma metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Mekanisme
yang dipercaya sebagai penyebab terjadinya sindroma metabolik saat ini bersumber
pada resistensi insulin dan obesitas sentral atau viseral. Lemak viseral lebih aktif dari
lemak perifer. Penumpukan sel lemak akan meningkatkan asam lemak bebas dari
hasil lipolisis, yang akan menurunkan sensitifitas terhadap insulin. Peningkatan asam
lemak bebas di hati akan meningkatkan glukoneogenesis, meningkatkan produksi
glukosa dan menurunkan ekstraksi insulin sehingga terjadi hiperinsulinemia (Jafar N,
2011).
Retensi insulin merupakan gambaran klinik sindroma metabolik. Retensi
insulin berkorelasi dengan timbunan lemak viseral yang dapat ditentukan dengan
mengukur lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hati, otot, skeletal dan jaringan
adiposa digunakan sebagai jaringan responsif utama, namun vaskular juga
dipertimbangkan sebagai organ responsif insulin. Pada keadaan sindroma metabolik,
resistensi insulin terkait dengan berbagai macam gangguan yang melibatkan
trigliserida dan metabolisme glukosa, kenaikan tekanan darah dan inflamasi vaskular
(Suastika et al., 2003). Sindroma metabolik adalah gangguan fungsi sel dan
hipersekresi insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin. Hal ini memicu
terjadinya komplikasi makrovaskular, selain itu kerusakan berat pada sel
menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin, sehingga menimbulkan
hiperglikemia. Hal ini lebih menyebabkan komplikasi mikrovaskular (Anggraeni,
2007).
13
Sindroma metabolik diduga disebabkan salah satunya hipertensi akibat
peningkatan reabsorbsi sodium dan air, sehingga terjadi ekspansi volume intra
vaskular yang berhubungan dengan hiperinsulin (Defronzo et al., 1976).
Hiperinsulinemia juga meningkatkan aktifitas chanel Na-K, ATP-ase, sehingga
terjadi peningkatan Na dan calsium intrasel yang menyebabkan peningkatan
kontraksi otot polos pembuluh darah (Williams & Pickup, 2004). Disfungsi endotel
dan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron juga sangat berperan pada
terjadinya hipertensi pada sindroma metabolik (Jafar N, 2011).
Dislipidemia pada sindroma metabolik sering ditemui pada resistensi insulin,
meskipun kadar gula terkontrol. Ciri spesifik dislipidemia pada resistensi insulin
adalah peningkatan trigliserida (TG), penurunan High Density Lipoprotein (HDL),
peningkatan Low Density Lipoprotein (LDL) meskipun kadang normal. Dislipidemia
berhubungan dengan hiperinsulinemia. Pada resistensi insulin terjadi lipolisis,
sehingga terjadi peningkatan asam lemak bebas dalam plasma yang selanjutnya akan
meningkatkan uptake asam lemak bebas kedalam hati. Disamping itu terjadi
peningkatan sintesis trigliserid karena hiperinsulinemia merangsang ekspresi Sterol
Regulation Element Binding Protein (SREBP1c), protein ini berfungsi sebagai
transkripsi yang mengaktifasi gen yang terlibat lipogenesis di hati. Protein kolesterol
ester transferase dan hepatic lipase juga meningkat yang mengakibatkan
peningkatan Very Low Density Lippoprotein 1 (VLDL1) yang kemudian menjadi
small dense LDL. Peningkatan kadar VLDL ini menyebabkan peningkatan
katabolisme HDL menjadi rendah. Beberapa mekanisme diatas menerangkan
rendahnya HDL, tingginya trigliserid dan small dense LDL pada diabetes millitus
14
tipe II. Pola dislipidemia ini sering disebut diabetic dyslipidemia atau tipe B yang
berhubungan erat dengan penyakit kardiovaskular pada populasi umum. Berdasarkan
epidemiologi, rendahnya HDL dan tingginya trigliserid berhubungan erat dengan
kejadian penyakit jantung koroner dibanding dengan total kolesterol dan LDL pada
sindroma metabolik (Adiels et al., 2006). Sebagai lipoprotein yang bersifat protektif,
disamping berfungsi untuk membawa lemak ke hepar, HDL terbukti dapat
menghambat sel busa dan pada saatnya akan menghambat progresifitas
aterosklerosis. Dengan rendahnya HDL efek protektif tersebut menjadi jauh
berkurang (Olsson et al., 2005).
2.1.4 Komplikasi sindroma metabolik
Komplikasi sindroma metabolik meliputi penyakit jantung koroner, gagal
jantung, gagal ginjal, stroke dan komplikasi lain meliputi peningkatan terjadinya
risiko tromboembolisme vena dan penurunan kognitif (Jafar N, 2011).
Komponen utama terjadinya sindroma metabolik adalah obesitas. Obesitas
akan menyebabkan peningkatan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) baik
disirkulasi maupun di sel adiposa apabila diikuti dengan meningkatnya metabolisme
lemak. Akibat peningkatan ROS didalam sel adiposa dapat menimbulkan
ketidakseimbangan reaksi reduksi oksidasi, sehingga terjadi penurunan enzim
antioksidan didalam sirkulasi. Keadaan tersebut yang disebut dengan stres oksidatif.
Meningkatnya stress oksidatif dapat menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan
merupakan timbulnya patofisiologi sindroma metabolik, hipertensi dan aterosklerosis
(Fukurawa et al., 2004 dalam Jafar 2011).
15
Pada penderita sindroma metabolik akan terjadi peningkatan stres oksidatif
akibat adanya hiperglikemia. Peningkatan stres oksidatif dianggap sebagai salah satu
penyebab terjadinya disfungsi endotel angiopati diabetik. Selain itu, peningkatan
stres oksidatif dapat menghambat pengambilan glukosa di sel otot dan sel lemak
serta dapat menurunkan sekresi insulin. Aterosklerosis pada penderita sindroma
metabolik terjadi akibat adanya pengaruh secara langsung dari peningkatan stres
oksidatif terhadap dinding pembuluh yang berperan penting pada patofisiologi
diabetes millitus tipe II (Ceriello, 2004).
Aterosklerosis pada sindroma metabolik terjadi akibat adanya proses
inflamasi kronis pada lapisan sel endotel pembuluh darah yang didahului oleh
disfungsi endotel. Pada penderita sindroma metabolik penumpukan monosit dan
platelet lebih mudah terjadi, sehingga sindroma metabolik juga dikenal dengan ciri-
ciri peningkatan proses inflamasi (Gundy, 2003). Proses inflamasi aterosklerosis ini
bertambah cepat dan luas, sehingga plak aterosklerosis lebih mudah ruptur dan plak
aterosklerosis sangat tergantung pada tingginya proses inflamasi yang terjadi.
Semakin tinggi proses inflamasi maka semakin besar kemungkinan pecahnya plak
aterosklerosis (Nakamura et al., 2004). Penemuan terkini juga menunjukkan bahwa
sindroma metabolik ditandai pula dengan berkurangnya fungsi trombolisis dan
peningkatan koagulasi, akibat peningkatan PAI-1 dan fibrinogen (Standl, 2005).
Apabila plak aterosklerosis pecah dan kemudian merangsang pembentukan trombus,
tidak mudah mengalami lisis. Peningkatan inflamasi dan trombogenik ini dapat
menerangkan tingginya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit
kardiovaskular pada penderita sindroma metabolik.
16
Gagal jantung pada penderita sindroma metabolik terjadi akibat adanya
hipertropi pada jantung. Pada pembuluh darah terjadi kelainan aterosklerosis arteri
karotis, carotid stiffness dan aortic stiffness (Mule et al., 2006). Penyakit jantung
koroner yang menyebabkan disfungsi miokard juga memperbanyak prevalensi gagal
jantung pada penderita sindroma metabolik. Proses inflamasi dan HDL yang rendah
pada penderita sindroma metabolik, proses remodeling jaringan jantung sangat
mudah terjadi, terutama setelah oklusi arteri koroner. Keberadaan tersebut bersama-
sama memperberat dan mempercepat timbulnya gagal jantung pada sindroma
metabolik. Gagal jantung pada sindroma metabolik diperberat oleh adanya gangguan
ginjal karena nefropati DM maupun hipertensi.
2.2 Kognitif
Kognitif adalah suatu proses berpikir yaitu kemampuan individu untuk
menghubungkan, menilai dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa.
Proses kognitif sehubungan dengan tingkat intelegensi yang mencirikan seseorang
dengan berbagai minat terutama ditujukan kepada ide-ide dan belajar. Kognitif
merupakan proses berpikir yang terjadi pada susunan saraf pada waktu manusia
berpikir. Intelegensif merupakan kemampuan untuk memecahkan suatu masalah,
kognitif lebih berhubungan dengan aktivitas berpikirnya intelegensi dan kecerdasan
berhubungan dengan kualitas berpikirnya. Kognitif sebagai suatu proses manipulasi
informasi (internal dan eksternal) di dalam otak. Menurut Stedman (2002) kognitif
adalah mental yang berhubungan dengan pengetahuan, mencakup persepsi, menalar,
mengenali, memahami, menilai dan membayangkan. Pengertian yang lebih sesuai
dengan behaviour, neurology dan neuropsikologi, kognitif adalah suatu proses
17
dimana semua masukan sensoris (taktil, visual dan auditorik) akan diubah, diolah,
disimpan dan selanjutnya digunakan untuk hubungan antarneuron yang sempurna
sehingga individu mampu melakukan penalaran terhadap masukan sensoris tersebut
(Saunderajen, 2010).
Kognisi adalah konsep yang komplek yang melibatkan sekurang-kurangnya
aspek memori, perhatian, fungsi eksekutif, persepsi, bahasa dan fungsi psikomotor.
Didalam aspek tersebut jauh lebih komplek, antara lain; memori meliputi proses
encoding, penyimpanan, pengambilan informasi serta dapat diinformasikan kembali
menjadi memori jangka pendek dan memori jangka panjang. Perhatian atau attention
secara selektif, terfokus, terbagi atau terus menerus dan persepsi meliputi beberapa
tingkatan proses untuk mengenal objek yang didapatkan dari rangsangan indera yang
berlainan (visual, auditori, perabaan, penciuman). Fungsi eksekutif melibatkan
penalaran, perencanaan, evaluasi, strategi berpikir dan lain-lain. Aspek bahasa adalah
mengenai ekspresi verbal, perbendaharaan kata, kefasihan dan pemahaman bahasa.
Fungsi psikomotor adalah berhubungan dengan pemprograman dan eksekusi motorik
(Wiyoto, 2002).
2.2.1 Struktur otak
Salah satu yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah dalam
fungsi luhur. Otak manusia jauh berbeda dengan otak binatang, karena adanya
korteks asosiasi yang menduduki daerah antar berbagai korteks perseptif primer.
Otak manusia bukan terdiri dari gumpalan protein yang utuh, tetapi terdiri dari
berbagai bagian yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Otak manusia
terdiri dari batang otak, dua belahan otak besar (hemisfer kanan dan kiri) dan otak
18
kecil (cerebellum). Masing-masing bagian atau struktur terbagi dalam bagian- bagian
yang lebih rinci dan mempunyai fungsi yang khusus. Proses mental manusia
merupakan sistem fungsional yang kompleks dan tidak dapat dilokalisasi secara
sempit menurut bagian otak terbatas, tetapi berlangsung melalui partisipasi semua
struktur otak dan setiap strukturnya mempunyai peranan tertentu sendiri untuk
organisasi sistem fungsional tersebut. Didalam fungsi luhur yang termasuk
didalamnya fungsi kognitif diatur oleh bagian-bagian otak yang menghasilkan dan
memelihara perilaku yang normal (Chusid, 1983).
Gambar 2.1 Anatomi Otak
(Sumber : anonim, 2010)
19
Otak terbagi dalam bagian-bagian yang disebut lobus dan mempunyai fungsi
fungsi tertentu. Fungsi panca indera seperti pusat penglihatan terletak di 31 lobus
oksipitalis (dibelakang otak), pusat pendengaran di lobus temporalis (pelipis otak),
pusat perabaan di lobus post sentral (atas otak), pusat penghidu di bagian lobus
temporalis, pusat pergerakan berada di lobus presentral (atas otak) (Chusid, 1983).
Pusat-pusat panca indera tersebut dinamakan pusat sensoris dan masing-masing pusat
sensoris mempunyai asosiasi untuk memahami rangsangan sensoris yang masuk.
Kemampuan kognitif juga berada di berbagai lobus secara khusus seperti
perhatian atau konsentrasi berada di lobus frontalis (di bagian dahi) terutama bagian
otak sisi kanan, pusat berbahasa di lobus frontalis dan temporalis terutama di bagian
otak sisi kiri, pusat visuospasial (persepsi dan orientasi) di lobus parietal (di bagian
atas otak) terutama bagian otak sisi kanan, pusat daya ingat di lobus temporalis (di
bagian pelipis otak), untuk daya ingat visual atau apa yang dilihat di belahan otak sisi
kanan. Lobus yang paling besar dan paling akhir berkembang adalah lobus frontalis
yang berada di daerah dahi, lobus ini merupakan pusat integrasi dari semua fungsi
lobus yang ada. Bersama dengan lobus yang ada di depannya, lobus pre frontal dan
struktur lain dalam kemampuan memori kerja (working memory) dan kemampuan
seseorang dalam pengorganisasian, perencanaan dan pelaksanaan (executive
function) (Chusid, 1983).
2.2.2 Hubungan struktur otak dengan fungsi kognitif
Bagian - bagian otak tersebut berhubungan dengan struktur yang berada
didalam otak yang disebut limbic system dan berpengaruh terhadap kemampuan
emosional. Kedua belahan hemisfer kanan dan kiri disekat oleh korpus kalosum dan
20
komisura hippocampus yang merupakan jembatan yang menghubungkan kedua
belahan otak tersebut. Struktur ini merupakan sarana kerjasama antar kedua hemisfer
dengan cara peralihan, pergeseran dan integrasi antara kedua belahan otak tersebut.
Struktur ini mempunyai peranan penting bagi keberhasilan peningkatan sumber daya
otak, dengan fungsinya menyalurkan stimulus dari belahan otak kanan ke kiri
maupun sebaliknya (Chusid, 1983).
Otak bekerja untuk bereaksi terhadap stimulus yang datang dari bagian luar
dan lain dari otak bekerja untuk membantu fungsinya. Lobus frontal adalah daerah
pusat utama untuk bertindak berpikir dan mengingat fungsi sebagai pikiran. Area
motor adalah pusat untuk memesan setiap otot rangka untuk bergerak, adapun setiap
sensasi memiliki area khusus seperti area sensori, optik dan pendengaran. Daerah
lain dari korteks otak baru memiliki peran yang menghubungkan dengan informasi
dan penyimpanan informasi yang disebut dengan memori.
Di dalam menjalankan fungsi kognitif, otak bekerjasama dengan sistem
limbik. Antara lain mengacu pada hypocampus, circulum dan amigdala yang
merupakan pusat emosi. Semua informasi sensorik dari organ-organ sensori
dikumpulkan di thalamus dan informasi tersebut dikirim ke daerah sensorik korteks.
Informasi ini dimodifikasi dan ditransfer ke lobus frontal dan amigdala. Di lobus
frontal terjadi pengenalan informasi dan di amigdala informasi dianalisis sebagai
emosi dan hasilnya dikirim di hipotalamus (Chusid, 1983).
Di dalam otak semakin rimbunnya hubungan antar sel saraf di otak akan
terjadi peningkatan kecerdasan dan intelektual atau kognitif. Makin banyaknya
asupan program yang terjadi dalam pembelajaran makin banyak percabangan julur-
21
julur yang terjadi dan dapat membuat daya ingat menjadi meningkat. Ingatan terjadi
akibat julur-julur sel dan sinapsis-sinapsisnya. Secara anatomis gangguan proses
pembelajaran akibat adanya gangguan kerjasama antar sel dan banyaknya julur-julur
saraf yang rusak (Setiawan, 2010).
2.3 Penurunan Kognitif Pada Sindroma Metabolik
Peningkatan dan penurunan konsentrasi glukosa pada penderita sindroma
metabolik dapat berpotensi menurunkan fungsi kognitif. Akan tetapi, pada saat
terjadi hiperglikemi akut dapat terkait dengan perbaikan memori, oleh karena
keadaan hiperglikemia mampu memperbaiki memori dimana glukosa bertindak
sebagai substrat yang diperlukan dalam fungsi metabolik untuk asetilkolin dan
neurotransmitter lain yang terlibat dalam fungsi memori dan kognitif lain (Lezak,
1995). Ridker (2003) melaporkan bahwa peningkatan kadar glukosa kronik akan
meningkatkan potensi penurunan fungsi kognitif, dan kontrol glikemia akan terkait
dengan rendahnya performa tes memori dan kognitif. Penurunan performa kognitif
terjadi akibat peningkatan kadar glukosa atau hiperglikemia kronik yang dapat
memicu strepzotocin menyebabkan penurunan sintesis asetilkolin dan pelepasannya
dalam otak sehingga menyebabkan hilangnya neuron kortikal secara signifikan,
neuroglikopenia dipicu oleh transfer glukosa melewati sawar dalam otak. Penurunan
transmisi kolinergik akan berakibat pada gangguan memori (Ridker, 2003).
Pada sindroma metabolik otak tidak dapat menjalankan fungsi kognitif
dengan baik akibat adanya penumpukan kolesterol plak karotis yang dianggap
sebagai salah satu mekanisme yang menimbulkan infark yang dapat mengganggu
fungsi kognitif (Fergenbaum et al., 2009 dalam Saunderajen, 2010). Dengan adanya
22
penumpukan kolesterol tersebut nutrisi ke otak mengalami penurunan. Sindroma
metabolik berkontribusi terhadap respon inflamasi baik dengan mekanisme
aterosklerosis atau inflamasi atau keduanya, di mana keduanya berkontribusi dalam
penurunan kognitif (Gundy, 2003).
Resistensi insulin pada sindroma metabolik dapat secara langsung
mengganggu fungsi endotel. Sel endotel tersebut berespon terhadap insulin dan
resistensi insulin dengan vasodilatasi endotel mengganggu respon terhadap
asetilkolin. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi hiperinsulinemia dapat
meningkatkan perlekatan makropag pada endotelium dan menyebabkan
aterosklerosis yang berkonstribusi dalam penurunan kognitif (Saunderajen, 2010).
Penemuan bahwa serum BDNF langsung terkait dengan insulin puasa dan
homeostatik pemeriksaan insulin, semakin tingginya tingkat gangguan kognitif pada
diabetes sebagian disebabkan oleh tingkat BDNF yang rendah (Fujinami et al., 2008
dalam Swift 2012). BDNF adalah protein yang dikodekan oleh gen BDNF. BDNF
adalah neutrophin yang terlibat di saraf, diferensiasi plastisitas kelangsungan hidup
dan terdapat di pusat dan sistem saraf perifer. Rendahnya tingkat BDNF memiliki
keterkaitan dengan pembelajaran atau disfungsi kognitif, depression, kondisi
degeneratif saraf dan kematian. Studi sebelumnya telah ditemukan bahwa serum dan
plasma BDNF tingkat yang lebih rendah pada individu dengan diabetes tipe II
dibandingkan individu dengan non diabetes, menimbulkan pertanyaan semakin
tingginya tingkat gangguan kognitif pada diabetes disebabkan oleh tingkat BDNF
yang rendah. Temuan yang serupa telah dilaporkan bahwa individu di non diabetes
23
yang lebih rendah tingkat serum BDNF telah dikaitkan dengan resistensi insulin dan
tubuh tinggi lemak (Swift, 2012).
2.4 Latihan Aerobik
Latihan aerobik adalah latihan yang menggunakan energi yang berasal dari
pembakaran dengan oksigen. Contoh latihan aerobik adalah lari-lari, jalan, treadmill,
bersepeda, renang dan senam. Efek latihan aerobik adalah kebugaran kardiorespirasi,
karena latihan tersebut mampu meningkatkan pengambilan oksigen, meningkatkan
kapasitas darah untuk mengangkut oksigen dan denyut nadi menjadi lebih rendah
saat istirahat maupun beraktifitas. Manfaat lainnya, aerobik bisa meningkatkan
jumlah kapiler, menurunkan jumlah lemak dalam darah dan meningkatkan enzim
pembakar lemak (Kurniawati, 2010).
Menurut American College of Sport Medicine (ACSM) intensitas latihan
aerobik harus mencapai 60-90% dari MHR. Berdasarkan MHR yang dicapai untuk
latihan aerobik intensitas ringan 60-69% MHR, Intensitas sedang 60-79% MHR, dan
intensitas tinggi 80-89% MHR. Latihan aerobik dengan intensitas yang berbeda,
energi utama yang digunakan juga berbeda pula.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam latihan aerobik yaitu :
a. Tidak berhenti di tengah tengah latihan sedang berlangsung
b. Menggunakan alas kaki yang khusus untuk senam aerobik, yaitu dengan
bantalan lunak di bagian bola kaki dengan penguat di bagian samping tumit
Hal hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan latihan aerobik yaitu :
a. Prinsip-prinsip latihan yang harus diperhatikan, antara lain:
1) Jenis, macam latihan harus diseleksi dan diteliti
24
2) Pelaksanaan gerak harus tepat (harus selalu dikoreksi)
3) Dilakukan dengan sikap permulaan dan sikap akhir yang benar
4) Semua latihan mempunyai disis yang sesuaikan dengan tujuannya
b. Tahap pelaksanaan latihan dengan tingkat kesukaran yang berurutan sebagai
berikut:
1) Setelah menguasai latihan yang lama, kemudian meningkat ke latihan
yang baru
2) Latihan dimulai dari tingkatan yang mudah ke yang sulit
3) Latihan dimulai dari tingkatan yang sederhana ke yang kompleks
4) Latihan dimulai dari tingkatan yang ringan ke yang berat
c. Tahapan senam aerobik
Dalam senam aerobik dibagi dalam fase-fase sebagai berikut :
1. Fase I Latihan Pemanasan (Warming up)
Pada fase latihan pemanasan bertujuan untuk mempersiapkan tubuh
menghadapi latihan yang lebih intensif sehingga terhindar dari cidera saat melakukan
latihan.
a). Adapun gerakan gerakannya meliputi :
1) Gerakan di mulai dari yang mudah
2) Gerakan ringan
3) Gerakan perlahan-lahan
4) Menyeluruh
5) Dengan iringan musik ringan ritme 2/4-4/4 irama tetap
6) Dalam waktu antara 5-10 menit.
25
b). Gerakan pada fase ini meliputi:
1) Pelemasan
2) Pemanasan pada sendi,
3) Peregangan pendek,
4) Stimulan kardiorespirasi.
2. Fase II latihan inti
Fase ini merupakan puncak latihan dimana seluruh organ tubuh bekerja
secara optimal sesuai dengan kemampuan atau mencapai target heart rate. Latihan
ini merupakan latihan lanjutan dari fase I. Latihannya berupa pola gerak dan
langkah-langkah kombinasi dengan gerakan yang terus-menerus. Durasi pada latihan
ini berkisar 15-30 menit, bila berlebihan berisiko menimbulkan cedera (Nala, 2002).
3. Fase III pendinginan (Cooling down)
Pada fase ini bertujuan untuk mencegah penimbunan asam laktat pada otot,
menurunkan kerja jantung dan nadi. Mengusahakan kondisi tubuh kembali ke
keadaan seperti semula. Adapun waktu yang dibutuhkan 5-10 menit. Gerakan-
gerakannya diperlambat dengan intensitas yang paling rendah dan diiringi musik
dengan beat atau 4/4 lambat (Wikipedia, 2008).
Latihan aerobik dapat memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan
apabila frekuensi, intensitas serta durasi yang cukup. Frekuensi adalah latihan per
minggu, intensitas adalah seberapa berat latihan tesebut dilakukan dan durasi adalah
lama latihan dalam setiap latihan (Giam & Teh, 1993).
Dari beberapa penelitian latihan aerobik sebaiknya dilakukan dengan
frekuensi 3-5 perminggu dengan durasi latihan 20-50 menit (Wilmore & Costill,
26
1994). Durasi latihan 15-30 menit sudah dinilai cukup apabila latihan dilakukan terus
menerus, didahului 5 10 menit pemanasan dan diakhiri 5 10 menit pendinginan.
Latihan fisik dilaporkan baru akan memberikan hasil apabila latihan tersebut
dilakukan 4-6 minggu, dan akan hilang pengaruhnya setelah 6 minggu jika
dihentikan (Anonim, 2008).
2.4.1 Latihan aerobik intensitas ringan
Latihan aerobik intensitas ringan mencapai 60-69% dari MHR. Pada senam
aerobik intensitas ringan karena waktu sudah mencukupi sistem kardiovaskular
masih mampu memenuhi kebutuhan otot sehingga sumber energi utama berasal dari
kolesterol. Sedangkan pada senam aerobik intensitas sedang sumber energi yang
dibutuhkan dari karbohidrat dan kolesterol secara seimbang (Mc. Ardle et al., 1986;
Wilmore & Costill, 1994). Latihan aerobik intensitas rendah sampai sedang selama
30 menit akan membakar 250 kalori dan jika dilakukan selama 20 menit atau lebih
maka akan membakar lemak didalam tubuh (Anonim, 2008).
2.4.2 Latihan aerobik intensitas sedang
Latihan aerobik intensitas sedang mencapai 70-79% MHR. Latihan aerobik
pada intensitas sedang akan menurunkan lemak lebih optimal jika dibandingkan
dengan latihan aerobik pada intensitas tinggi. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa
sumber energi yang digunakan pada kedua intensitas berbeda. Pada senam aerobik
intensitas sedang sumber energi yang dibutuhkan berasal dari karbohidrat dan
kolesterol secara seimbang, sedangkan pada intensitas tinggi menggunakan
karbohidrat secara lebih dominan, sehingga enzim-enzim untuk okdidasi lipid kurang
terangsang dan pembakaran lemak tubuh tidak optimal (Anonim, 2008).
27
Karbohidrat, lemak dan protein juga merupakan sumber energi yang
dibutuhkan untuk aktivitas. Tetapi jika energi tersebut tidak digunakan maka akan
disimpan sebagai energi cadangan. Karbohidrat merupakan sumber energi utama
yang akan disimpan dalam bentuk glikogen di hati dan otot. Lemak terdiri dari asam
lemak dan gliserol. Jika lemak tidak digunakan akan disimpan dalam bentuk
trigliserid. Protein terdiri dari unsur-unsur pembentuk protein yang disebut asam
amino. Dalam aktifitas fisik terutama saat melakukan latihan aerobik intensitas
sedang energi yang dibutuhkan berasal dari glikogen. Akan tetapi jika energi tersebut
tidak mencukupi maka akan mengambil dari energi cadangan yang berasal dari
lemak dan protein dengan cara glukoneogenesis atau glikogenesis yaitu mengubah
kembali cadangan glikogen menjadi glukosa. Oksidasi karbohidrat sebagai sumber
energi utama menghasilkan 39 molekul ATP dari satu molekul glikogen. Satu
molekul ATP digunakan untuk mengkonversi glukosa 6-phospate sebelum glikolisis
dimulai. Jika energi tersebut tidak mencukupi selama latihan maka energi dari lemak
akan diproses. Walaupun masih dalam beberapa bentuk kimia dari lemak (trigliserid,
phospholipide dan kolesterol) hanya trigliserid yang dominan digunakan sebagai
sumber energi. Sumber energi trigliserid dipecah menjadi unit-unit terkecil yaitu satu
molekul gliserol dan tiga molekul Free Fatty Acids (FFA) yang disebut dengan
lipolisis dan menggunakan enzim lipase. Melalui peristiwa difusi FFA dan gliserol
akan masuk ke darah dan ditransfer oleh serabut otot. Metabolisme yang terjadi
hampir sama meskipun berbagai macam bentuk FFA. FFA yang masuk ke serabut
otot adalah FFA yang sudah teraktifkan dan sebagai sumber energi karena
mengandung ATP melalui proses katabolisme, dengan menggunakan enzim beta
28
oksidasi. Dalam oksidasi ini karbon pada FFA bergabung menjadi dua unit
carbonacetic. Adanya beta oksidasi akan menjadi delapan molekul acetic acid
masing-masing berkonversi atau bergabung dengan acetyl COA (Willmore & Costill,
1994).
2.4.3 Sumber energi dan pelatihan fisik
Energi sangat penting untuk aktifitas fisik selama melakukan latihan. Sumber
energi berasal dari makanan yang kita makan sehari-hari, adapun tujuan makan
selain untuk menghilangkan rasa lapar adalah untuk pertumbuhan dan mengganti sel-
sel yang rusak. Menurut Pate (1984) energi adalah daya untuk melakukan kerja yang
umumnya diukur dengan satuan panas yaitu kilokalori (kkal).
Dalam latihan fisik diperlukan adanya pemakaian sumber energi karbohidrat
dan lemak. Pada kinerja otot yang ringan dan sedang setelah energi awal didapat dari
ATP dan Creatine Phospate, selanjutnya energi diperoleh dari lemak dan karbohidrat
dalam jumlah yang sama besar. Apabila kerja otot lebih lama, lemak menjadi energi
utama dari pada karbohidrat. Cadangan lemak akan dipecah dengan bantuan
hormone noreepinephrine untuk memobilisasi asam lemak bebas yang kemudian
dioksidasi di dalam Siklus Krebs. Akan tetapi pada aktivitas otot yang berat sumber
energi utama tubuh adalah karbohidrat (glycogen). Oleh karena itu cadangan
glycogen hati dan otot haruslah cukup besar apabila kita akan melakukan aktivitas
otot yang berat (Fox, 1993 dalam Sugiharto, 2010).
Kemampuan untuk menjalankan aktivitas fisik yang berat dan lama
berhubungan langsung dengan jumlah cadangan glycogen initial di dalam otot. Pada
diet seimbang, glycogen otot akan mencapai 1,5 gr/100gr otot, yakni akan cukup
29
untuk kerja berat selama 2 jam atau dengan uptake oxygen maximal 75% dan jika
melewati jangka waktu tersebut akan kelelahan. Kadar glycogen otot dapat
diperbesar dengan diet tinggi karbohidrat sehingga mencapai 2,5gr/100gr otot. Hal
ini akan menghasilkan cadangan tenaga yang cukup untuk dipakai dalam aktivitas
berat yang lebih lama (Fox, 1993 dalam Sugiharto, 2010).
Pemberian glukosa atau gula akan sangat berpengaruh hanya pada saat-saat
cadangan glycogen tubuh sudah hampir habis. Jumlah glycogen di hati kira-kira
antara 50 100 gram. Cadangan glycogen di hati akan memberikan kadar glucose
dalam darah yang dapat dipakai sebagai sumber energi bagi otak dan jaringan saraf
lainnya. Jaringan-jaringan tersebut hanya tergantung pada energi dari karbohidrat,
sedangkan cadangan karbohidrat tidak dapat dipunyai oleh jaringan ini (Fox, 1993
dalam Sugiharto, 2010).
2.4.4 Kolesterol sebagai sumber energi
Kolesterol merupakan salah satu senyawa lemak, maka kolesterol merupakan
salah satu sumber energi yang memberikan kalori yang sangat tinggi bagi tubuh.
kolesterol merupakan steroida penting karena merupakan komponen membran tetapi
juga karena merupakan pelopor biosintetik umum untuk steroida lain termasuk
hormon steroida dan garam empedu (Almatseir, 2004) .
Kolesterol dihubungkan dengan metabolisme lipid, dan merupakan sumber
sintesa hormon steroid. Kolesterol diekskresi kedalam empedu sebagai kolesterol
yang tak berubah, kolesterol dipertahankan dalam bentuk larutan didalam empedu
oleh garam-garam empedu dan fosfolipid. Kolesterol yang dilepaskan dari jaringan
diesterifikasi di dalam plasma dengan asam lemak yang berasal dari lesitin oleh
30
lesitin kolesterol asiltransferase dan diangkut sebagai HDL ke hepar. Ester kolesterol
ini bisa diangkut ke lipoprotein lain oleh penukaran dengan trigliserid (Almatseir,
2004).
2.4.5 Diet rendah kolesterol
Kolesterol merupakan sterol utama dalam tubuh manusia. Kolesterol
merupakan komponen struktural membran sel dan lipoprotein plasma, dan juga
merupakan bahan awal pembentukan asam empedu serta hormon steroid. Sterol dan
derivatnya sukar larut dalam larutan berair tetapi larut dalam pelarut organik,
terutama alkohol. Sehingga senyawa ini dimasukkan kedalam golongan lipid.
Ketidaknormalan dalam metabolisme atau pengangkutan kolesterol lewat plasma
rupa-rupanya ada kaitannya dengan perkembangan aterosklerosis. Selain itu batu
empedu yang terjadi tersusun terutama dari kolesterol (Almatseir, 2004).
Kolesterol berasal dari makanan dan sintesis endogen di dalam tubuh. adapun
sumber makanan seperti kuning telur, susu, daging, lemak atau gajih dan sebagainya
terutama dalam keadaan ester. Dalam usus, ester tersebut kemudian dihidrolisis oleh
kolesterol esterase yang berasal dari pankreas dan kolesterol bebas yang terbentuk
diserap oleh mukosa usus dengan kilomikron sebagai alat transport ke sistem limfatik
dan akhirnya ke sirkulasi vena. Kira-kira 70% kolesterol yang diesterifikasi atau
dikombinasikan dengan asam lemak, serta 30% dalam bentuk bebas (Almatseir,
2004).
Pengangkutan kolesterol didalam tubuh karena kolesterol merupakan lemak
maka kolesterol tidak dapat mengapung didalam medium darah. Untuk itu perlu
adanya pengangkut kolesterol dan lemak-lemak lainnya yang disebut dengan
31
lipoprotein. Sebagian besar kolesterol yang terkandung dalam makanan yang kita
makan setelah melalui berbagai proses, masuk ke dalam cairan darah sebagai
lipoprotein (HDL, LDL dan lain-lain), namun ada pula yang keluar dari tubuh
bersama dengan faeces. Dalam proses tersebut jika terjadi kelebihan asupan
kolesterol maka akan terjadi penumpukan kolesterol yang akan menyebabkan
timbulnya plak didalam pembuluh darah yang disebut aterosklerosis (Almatseir,
2004).
Penderita sindroma metabolik yang meliputi obesitas sentral, diabetes
millitus, hipertensi terjadi disebabkan antara lain oleh adanya penumpukan kolesterol
didalam tubuh atau hiperkolesterolemia. Pada penderita obesitas mengalami
penumpukan lemak yang berlebih di dalam tubuh yang disebabkan karena pola
makan yang abnormal yaitu makan yang dalam jumlah banyak dan makan di malam
hari (Sukeksi & herlisa, 2010).
Penyebab utama peningkatan kolesterol dalam darah adalah faktor keturunan
dan asupan lemak yang tinggi. Asupan lemak total berhubungan dengan obesitas,
yang merupakan faktor risiko utama untuk terserang aterosklerosis. Pengaruh lemak
yang paling utama adalah pengaruh komponen asam lemak dan kolesterol terhadap
kolesterol darah, terutama kolesterol LDL (Almatseir, 2004).
Dalam aktifitas fisik tanpa disertai dengan adanya diet makanan tidak
mencapai tujuan yang diharapkan. Pada kondisi sindroma metabolik dengan adanya
peningkatan kadar kolesterol atau dislipidemia maka perlu adanya diet kolesterol.
Adapun untuk program diet kolesterol dengan melihat kadar kolesterol awal. Jika
kolesterol < 300 mg untuk diet dislipidemia tahap I yaitu 10% dari kebutuhan energi
32
total. Sedang untuk kolesterol < 200 mg untuk diet dislipidemia tahap II yaitu < 7 %
dari kebutuhan energi total (Almatseir, 2004).
2.4.6 Adaptasi latihan aerobik
Latihan aerobik yang dilakukan setiap hari, seperti jogging atau renang,
senam akan menimbulkan beberapa perubahan karena adanya stimulus pada otot.
Menurut Sugiharto (2010) beberapa perubahan yang timbul pada otot dan sistem
energi.
a. Perubahan pada jenis serat otot
Latihan aerobik salah satunya seperti senam dan latihan dengan intensitas
rendah sampai sedang lebih banyak menggunakan jenis otot slow twicth, sehingga
pada latihan aerobik terjadi perkembangan pada serat slow twitch (otot merah).
Karena pada latihan dengan intensitas 7%-22% serat otot Slow Twitch menjadi lebih
besar dari pada serat otot fast twicth.
b. Perubahan suplai kapiler
pada latihan aerobik terjadi perubahan supplai kapiler dimana pada setiap
ototnya menjadi lebih banyak 5-10% dan pada latihan dengan durasi yang lama dapat
meningkat sampai dengan 15%. Adapun akibat peningkatan jumlah kapiler tersebut
memungkinkan adanya pertukaran gas, panas, sisa metabolisme dan nutrisi serta otot
semakin besar. Hal tersebut menjaga produksi energi dan kontraksi otot yang
berulang-ulang.
c. Perubahan kadar myoglobin
Pada latihan aerobik sangat banyak dibutuhkan oksigen. Adapaun yang
membawa oksigen dari membran sel ke membran sel ke mitokondria adalah
33
myoglobin, sehingga kadar myoglobin dapat meningkat 75 s/d 85 %, myoglobin ini
banyak terdapat pada serat otot slow twich.
d. Perubahan fungsi mitokondria
Otot untuk melakukan suatu kontraksi ataupun relaksasi memerlukan suatu
energi. Adapun energi yang didapat untuk kontraksi dan relaksasi adalah dari
Adenosin Tri Phosphate (ATP). ATP adalah merupakan senyawa fosfat yang
berenergi tinggi yang menyimpan energi didalam tubuh. Pada latihan aerobik energi
yang didapat adalah dari proses pembentukan kembali ATP melalui fosfolirasi
oksidatif di mitokondria. Adapun produksi ATP tergantung pada jumlah, ukuran dan
efisiensi pada mitokondria. Sehingga pada latihan aerobik jumlah dan ukuran
mitokondria menjadi lebih besar, hal ini disebabkan oleh mitokondria bekerja keras
untuk pembentukan ATP kembali.
e. Perubahan enzim oksidatif
Pada latihan aerobik akan terjadi peningkatan aktivitas enzim oksidatif. Salah
satu enzim yang memegang kunci enzim oksidatif adalah succinate dehydroginase
(SDH). Otot untuk melakukan suatu kontraksi dan relaksasi diperlukan adanya suatu
energi. Energi tersebut didapatkan dari pemecahan makanan secara oksidatif dan
produksi ATP yang bergantung pada aksi enzim mitokondria. Karena untuk
kontraksi dan relaksasi diperlukan banyak energi sehingga untuk memenuhi hal
tersebut maka enzim oksidatif ikut membantu pembentukan energi membuat
perubahan pada enzim oksidatif.
f. Perubahan pada sumber energi
34
Sumber energi yang digunakan pada latihan aerobik lebih banyak dan efisien
menggunakan dari lemak. Sehingga memungkinkan penyimpanan glikogen pada hati
dan otot. Orang yang terlatih lebih tahan beraktifitas dan tidak cepat lelah
dibandingkan dengan orang yang tidak terlatih dikarenakan simpanan glikogen
dalam otot lebih besar dari pada orang yang tidak terlatih. Selain itu pada orang
yang terlatih juga menyimpan lebih banyak trigliserida didalam otot. Pada saat
latihan aerobik lemak dipecah menjadi energi oleh enzim yang berperan dalam beta
oksidasi. Meningkatnya penggunaan lemak sebagai energi dan glikogen otot lebih
banyak tersimpan disebabkan oleh peningkatan reaksi beta oksidasi tersebut
(Wilmore dan Costill, 1994).
g. perubahan pada pembuluh darah
Latihan aerobik bersifat aterogenik hal ini disebabkan oleh adanya elastisitas
pembuluh darah yang bertambah akibat berkurangnya timbunan lemak dan
penambahan kontraksi otot pada dinding pembuluh darah. Elastisitas pembuluh
darah yang meningkat akan memperlancar jalannya darah dan mencegah timbulnya
hipertensi. Kelancaran aliran darah juga dapat mempercepat pembuangan zat-zat
lelah sisa pembakaran sehingga diharapkan pemulihan kelelahan lebih cepat
(Wilmore dan Costill, 1994).
2.4.7 Manfaat latihan aerobik terhadap fungsi kognitif pada penderita
sindroma metabolik
Pada penderita sindroma metabolik terjadi penurunan fungsi kognitif akibat
adanya penumpukan plak karotis pada dinding pembuluh darah yang mana
menyebabkan nutrisi ke otak mengalami penurunan. Dengan adanya latihan fisik
35
dapat meningkatkan nitric oksid yang membantu menjaga dinding pembuluh darah
terbuka lebar. Hal tersebut akan membuat pembuluh darah mensuplai darah
keseluruh tubuh. Tanpa adanya latihan fisik maka akan terjadi penurunan nitric oksid
yang akan menyebabkan perubahan dinding pembuluh darah dan aliran darah
menjadi terbatas sehingga aliran darah ke otak akan terbatas yang kemudian
menyebabkan penurunan fungsi otak (Kurniawati, 2012). Latihan aerobik dengan
intensitas sedang menghasilkan katekolamin dengan jumlah yang sedikit dan Nitrit
Oxide (NO) yang lebih tinggi dari pembuluh sel endotelial. Nitrit Oxide (NO)
mencegah formasi thrombus di bawah aliran yang besar dan melemahkan agonist dan
menyebabkan peningkatan regulasi dari P-selectin dan GPIIb/IIIa komplek dengan
regulasi negatif cGMP dalam trombosit (Wang, 2005).
Latihan fisik mempertajam kekuatan mental dan menambah kapasitas dalam
berpikir, merangsang produksi endorphin dari otak. Endorpin adalah hormon yang
dihasilkan oleh kelenjar pituatari yang dapat memberikan perasaan tenang dan daya
tahan kepada perasaan nyeri, bila dikombinasikan dengan makan yang baik, olah
raga akan mengurangi risiko aterosklerosis, tekanan darah tinggi, diabetes,
osteoporosis obesitas kanker dan penyakit kronis lainnya. Membantu untuk
mengurangi kolesterol LDL dan trigliserid dan kenaikan HDL bila terlalu rendah,
menolong otak untuk berfungsi dengan lebih baik dalam berpikir (Kuntaraf, 1992).
Latihan aerobik dapat meningkatkan aliran darah otak dan perfusi oksigen, yang
dapat menyebabkan peningkatan kinerja kognitif (Kluding, 2011). Temuan bahwa
latihan aerobik saja tidak meningkatkan kinerja memori adalah tidak diprediksi
adanya temuan. Meskipun tidak jelas mengapa olahraga aerobik meningkatkan
36
fungsi kognitif lainnya, tetapi tampaknya menguntungkan kerja memori, temuan ini
agak konsisten dengan studi pencitraan otak latihan aerobik sebelumnya. Penelitian
sebelumnya telah menunjukkan bahwa perubahan otak yang terkait dengan latihan
yang istimewa terjadi dalam daerah hippocampal, trek materi anterior putih dan
cingulate anterior. Meskipun ada tumpang tindih substansial dalam sirkuit otak
untuk melaksanakan proses kognitif yang kompleks, seperti kerja memori. Ada
penelitian pencitraan telah menunjukkan perubahan volume di korteks prefrontal
dorsolateral yang terutama oleh proyeksi materi putih dari corpus callosum dan
dikaitkan dengan kinerja memori. Perhatian ditingkatkan dan memori bekerja untuk
tingkat yang lebih besar daripada latihan aerobik saja konsisten dengan tinjauan
sebelumnya, serta studi mekanistik menunjukkan kekuatan pelatihan yang dapat
meningkatkan fungsi neuro kognitif oleh faktor insulin meningkatkan pertumbuhan
yang telah terlibat sebagai mediator dari hubungan olahraga dan neuro kognitif. Hal
ini juga kemungkinan bahwa gabungan intervensi lebih efektif dalam mengurangi
faktor risiko tekanan darah tinggi dan meningkatkan kebugaran aerobik daripada
pelatihan aerobik saja (Smith, 2010).
Perbaikan dalam fungsi kardiovaskular dapat mengurangi degradasi materi putih
dan iskemia otak kemungkinan bahwa gabungan intervensi dapat mengakibatkan
peningkatan yang lebih besar dalam kesehatan pembuluh darah dan tingkat
peradangan basal meskipun hubungan ini belum bisa diselidiki (Smith, 2010).
Latihan aerobik meningkatkan ukuran hippocampus anterior, yang mengarah ke
perbaikan memori spasial. Latihan meningkatkan volume hippocampus dalam 2%,
yang efektif membalikkan volume terkait berkurangnya usia. Penelitian Erickson
37
(2011) menunjukkan bahwa peningkatan volume hipocampus dikaitkan dengan
tingkat serum BDNF lebih besar, mediator dari neurogenesis dalam gyrus. Volume
hippocampus menurun dikelompok kontrol, tetapi lebih tinggi kebugaran
preintervention parsial, yang menunjukkan kebugaran melindungi terhadap
kehilangan volume. Nukleus dan volume thalamus adalah dipengaruhi oleh
intervensi. Temuan teoritis ini penting menunjukkan bahwa latihan aerobik yang
efektif mengembalikan volume hippocampal di masa dewasa akhir, yang disertai
dengan meningkatkan fungsi memori (Erickson, 2011).
Kegiatan fisik dapat bermanfaat bagi fungsi saraf dengan meningkatkan kadar
BDNF dan mengurangi oksidatif stres. Lebih khusus lagi, olahraga memainkan peran
penting dalam pemeliharaan struktur sinaptik, perpanjangan aksonal dan
neurogenesis di otak orang dewasa (Van Praag et al., 1999 dalam pinilla 2011).
Olahraga sebagai terapi untuk menyeimbangkan efek dari pada pilihan diet dan
untuk meningkatkan BDNF. Secara khusus, telah ditemukan pada tikus yang
diberikan latihan untuk melawan penurunan BDNF hippocampal, plastisitas sinaptik,
dan kognitif karena konsumsi diet tinggi lemak jenuh dan sukrosa (Molteni et
al.,2004 dalam Pinilla 2011). Efek dari penerapan gabungan dari diet sehat dan
olahraga dapat memberikan efek menguntungkan dalam meningkatkan penyembuhan
otak dan plastisitas daripada latihan dan diet yang terpisah. Misalnya, olahraga dan
omega-3 asam lemak mampu meningkatkan efek sehat pada plastisitas sinaptik dan
kognisi (Wu et al., 2008, Pinilla, 2011). Kombinasi pengalaman dan berbagai jenis
nutrisi merupakan atribut umum kita hidup sehari-hari. Sungguh luar biasa bahwa
kemajuan baru dalam biologi molekuler menunjukkan bahwa nutrisi dan pengalaman
38
berbagai mekanisme umum yang tampaknya memiliki efek komplementer pada
fungsi otak. Adapun tantangannya adalah bagaimana untuk mengambil keuntungan
dari kemampuan ini dalam rangka untuk meningkatkan kesehatan otak dan plastisitas
serta untuk melawan sumber gangguan neurologis (Pinilla, 2011).
Penelitian yang dilakukan pada hewan percobaan menunjukkan bahwa sistem
hippocampal memiliki peran utama dalam fungsi kognitif yang tampaknya dimediasi
oleh proyeksi kolinergik dari otak depan basal. Menariknya, insulin signaling protein
yang berhubungan dengan hidup berdampingan dengan kolin asetiltransferase di
terminal terletak di CA1 sel piramidal hippocampal dan temuan ini meningkatkan
kemungkinan bahwa insulin dan sistem kolinergik dari hippocampus berinteraksi
dalam mediasi fungsi kognitif (Brito, 2009). Oleh karena itu relevansi yang
signifikan bahwa studi eksperimental telah menunjukkan bahwa latihan fisik
menyebabkan perubahan neurobiologis dalam sistem otak yang sama terlibat dalam
fungsi kognitif. Latihan fisik meningkatkan tingkat mRNA BDNF dan Nerve Growth
Factor (NGF) atau faktor pertumbuhan saraf, transkrip neuropeptida gen terkait, gen
yang mengkode protein matriks ekstraseluler dan proses biosintesis di hippocampus.
Selain itu, olahraga meningkatkan protein heat shock sort (SHSP) dan protein pra
dan postsynaptic, dan synapsin synaptophysin di hippocampus dan protein tersebut
diketahui berperan dalam plastisitas sinaptik. Selain itu, latihan menghapuskan
blokade selektif dari reseptor BDNF di hippocampus menunjukkan latihan yang
memodulasi sifat sinaptik bawah arahan BDNF. Perubahan neurobiologis yang
diinduksi oleh latihan fisik di hippocampus telah ditunjukkan untuk memfasilitasi
akuisisi tugas memori spasial pada tikus, labirin lengan radial. Selain itu, tikus yang
39
diberikan latihan dalam tugas spasial-memori yang sama menunjukkan