27
LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT Leukimia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid. Bila tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan sesudah diagnosis. Sebelum tahun 1960 pengobatan LMA terutam bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan pengobatan LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi suportif yang lebih baik seperti antibiotik generasi baru dan transfusi komponen darah untuk mengatasi efek samping pengobatan. (Sudoyo, 2009). Etiologi Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor prediposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa kimia yang banyak digunakan pada insidens penyamakan kulit di negara berkembang, diketahui merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini diketahui dari penelitian tentang tingginya insidensi kasus leukemia, termasuk LMA, pada orang-orang yang selamat bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun

Leukemia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

leukemia

Citation preview

Page 1: Leukemia

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT

Leukimia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan

transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid. Bila

tidak diobati, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa

minggu sampai bulan sesudah diagnosis. Sebelum tahun 1960 pengobatan LMA terutam

bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang

secara cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari penyakitnya.

Kemajuan pengobatan LMA ini dicapai dengan regimen kemoterapi yang lebih baik,

kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi suportif yang

lebih baik seperti antibiotik generasi baru dan transfusi komponen darah untuk mengatasi

efek samping pengobatan. (Sudoyo, 2009). 

Etiologi

       Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui. Meskipun demikian ada

beberapa faktor yang diketahui dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor

prediposisi LMA pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa kimia yang banyak

digunakan pada insidens penyamakan kulit di negara berkembang, diketahui merupakan zat

leukomogenik untuk LMA. Selain itu radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA.

Ini diketahui dari penelitian tentang tingginya insidensi kasus leukemia, termasuk LMA, pada

orang-orang yang selamat bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek

leukomogenik dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun sesudah

pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun sesudah pengeboman. Faktor lain yang

diketahui sebagai predisposisi untuk LMA adalah trisomi kromosom 21 yang dijumpai pada

penyakit herediter sindrom down. Pasien Sindrom Down  dengan trisommi kromosom 21

mempunyai resiko 10 hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA

tipe M7. Selain itu pada beberapa pasien sindrom genetik seperti sindrom bloom dan anemia

Fanconi juga diketahui mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi

normal untuk menderita LMA (Sudoyo, 2009).

Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan dengan kemoterapi

sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang

yang serius dari pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker payudara, kanker ovarium,

dan kanker testis. Jenis terapi yang paling sering memicu timbulnya LMA adalah golongan

alkylating agent dan topoisomerase II inhibitor (Sudoyo, 2009).

Page 2: Leukemia

Patogenesis

       Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses

diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi

akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast di dalam sumsum tulang akan

menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya akan mengakibatkan

sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai dengan

adanya sitopenia (anemia, leukopeni, trombositopeni). Adanya anemia akan menyebabkan

pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat akan sesak nafas, adanya

trombositopenia akan menyebabkan tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan

menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termausk infeksi oportunis dari flora normal

bakteri yang ada di dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya

kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti

kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut

dengan segala akibatnya (Sudoyo, 2009).

Sel ganas pada AML myeloblast tersebut. Dalam hematopoiesis normal, myeloblast

merupakan prekursor belum matang myeloid sel darah putih, sebuah myeloblast yang normal

secara bertahap akan tumbuh menjadi sel darah dewasa putih. Namun, dalam AML, sebuah

myeloblast tunggal akumulasi perubahan genetik yang "membekukan" sel dalam keadaan

imatur dan mencegah diferensiasi.Seperti mutasi saja tidak menyebabkan leukemia, namun

ketika seperti "penangkapan diferensiasi" dikombinasikan dengan mutasi gen lain yang

mengganggu pengendalian proliferasi, hasilnya adalah pertumbuhan tidak terkendali dari

klon belum menghasilkan sel, yang mengarah ke entitas klinis AML.

Sebagian besar keragaman dan heterogenitas AML berasal dari kenyataan bahwa

transformasi leukemia dapat terjadi di sejumlah langkah yang berbeda di sepanjang jalur

diferensiasi. Skema klasifikasi modern untuk AML mengakui bahwa karakteristik dan

perilaku dari sel leukemia (dan leukemia) mungkin tergantung pada tahap di mana

diferensiasi dihentikan (Hoffbrand, 2005).

Spesifik sitogenetika kelainan dapat ditemukan pada banyak pasien dengan AML,

jenis kelainan kromosom sering memiliki makna prognostik. Para translokasi kromosom

yang abnormal menyandikan protein fusi, biasanya faktor transkripsi yang mengubah sifat

dapat menyebabkan "penangkapan diferensiasi." Sebagai contoh, pada leukemia

promyelocytic akut, t (15; 17) translokasi menghasilkan protein fusi PML-RARα yang

Page 3: Leukemia

mengikat ke reseptor unsur asam retinoat dalam beberapa promotor myeloid-gen spesifik dan

menghambat diferensiasi myeloid. Klinis tanda dan gejala hasil AML dari kenyataan bahwa,

sebagai klon leukemia sel tumbuh, ia cenderung untuk menggantikan atau mengganggu

perkembangan sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Hal ini menyebabkan neutropenia,

anemia, dan trombositopenia (Hoffbrand, 2005).

Gejala klinis

       Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak selalu dijumpai

leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang 15%

pasien  mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% mengalami netropenia.

Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di darah tepi akan ditemukan

pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel

leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada

orang yang diduga menderita LMA (Sudoyo, 2009).

       Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang

disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana telah disebutkan di atas.

Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering dijumpai di

ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan retina. Perdarahan yang lebih

berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini pling sering

dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan

daerah peri rektl, sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien

LMA dengan demam (Sudoyo, 2009).

       Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3), sering

terjadi leukositosis, yaitu gumpalan leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena

maupun arteri. Gejala leukositosis sangat bervariasi, tergantung lokasi sumbatannya. Gejala

yang sering dijumpai adalah gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus

(Sudoyo, 2009).

    Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ

yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu

berupa benjolan yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di

jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di

Page 4: Leukemia

dalam tulang akan meninbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan.

Pembengkakkan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke dalam

gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah

menings dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan serebro

spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal (Sudoyo, 2009).

Diagnosis

       Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik, morfologi sel

dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu

berkembang 2 (dua) teknik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisis sitogenik.

Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan ahli hematologi

Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri

dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7). Klasifikasi ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB

(French American British). Klasifikasi FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar

LMA. Pengecatan sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SSB)

dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan hasil

positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4, dan M6 (Sudoyo, 2009).

      Pertama, tes darah dilakukan untuk menghitung jumlah setiap jenis sel darah yang

berbeda dan melihat apakah mereka berada dalam batas normal. Dalam AML, tingkat sel

darah merah mungkin rendah, menyebabkan anemia, tingkat-tingkat platelet mungkin rendah,

menyebabkan perdarahan dan memar, dan tingkat sel darah putih mungkin rendah,

menyebabkan infeksi (Bakta, 2006).

Biopsi sumsum tulang atau aspirasi (penyedotan) dari sumsum tulang mungkin

dilakukan jika hasil tes darah abnormal. Selama biopsi sumsum tulang, jarum berongga

dimasukkan ke tulang pinggul untuk mengeluarkan sejumlah kecil dari sumsum dan tulang

untuk pengujian di bawah mikroskop. Pada aspirasi sumsum tulang, sampel kecil dari

sumsum tulang ditarik melalui cairan injeksi (Bakta, 2006).

Pungsi lumbal, atau tekan tulang belakang, dapat dilakukan untuk melihat apakah

penyakit ini telah menyebar ke dalam cairan cerebrospinal, yang mengelilingi sistem saraf

pusat atau sistem saraf pusat (SSP) - otak dan sumsum tulang belakang. Tes diagnostik

mungkin termasuk flow cytometry penting lainnya (dimana sel-sel melewati sinar laser untuk

analisa), imunohistokimia (menggunakan antibodi untuk membedakan antara jenis sel

Page 5: Leukemia

kanker), Sitogenetika (untuk menentukan perubahan dalam kromosom dalam sel), dan studi

genetika molekuler (tes DNA dan RNA dari sel-sel kanker) (Bakta, 2006).

      Penyakit Leukemia dapat dipastikan dengan beberapa pemeriksaan, diantaranya adalah ;

Biopsy, Pemeriksaan darah {complete blood count (CBC)}, CT or CAT scan, magnetic

resonance imaging (MRI), X-ray, Ultrasound, Spinal tap/lumbar puncture (Bakta, 2006).

Kelainan hematologis

Ø  Anemia dengan jumlah eritrosit yang menurun sekitar 1-3 x 106/mm3.

Ø  Leukositosis dengan jumlah leukosit antara 50-100 x 103 /mm3. Leukosit yang ada dalam

darah tepi terbanyak adalah myeloblas.

Ø  Trombosit jumlah menurun. Mieloblas yang tampak kadang-kadang mengandung “badan

auer” suatu kelainan yang pathogonomis untuk LMA.

    

   Sumsum tulang hiperseluler karena mengandung mieloblas yang masif, sedang

megakariosit dan pronormoblas dijumpai sangat jarang. Kelainan sumsum tulang ini sudah

akan jelas meskipun myeloblas belum tampak dalam darah tepi. Jadi kadang-kadang

ditemukan kasus dengan pansitopenia perifer akan tetapi sumsum tulang sudah jelas

hiperseluler karena infiltrasi dengan myeloblas. Kadan-kadang ditemukan “Auer body”

dalam mieloblas. Kadang manifestasi pertama sebagai eritroleukemia (ploriferasi eritroblas

dan mieloblas dalam sumsum tulang) yang berlangsung beberapa bulan/tahun sebelum

gambaran mieloblastiknya menjadi jelas benar (Price, 2006).

Diagnosis banding

Leukemia mieloblastik akut harus dibuat diagnosa banding dan semua leukemia akut

dan anemia aplastik. Apabila ditemukan “Auer body” maka diagnosabandin g tidak sulit

ditegakkan, oleh karena kelainan ini patogonomis untuk leukemia mieloblastik akut (Sudoyo,

2009).

Apabila tidak ditemukan Auer body maka harus dikerjakan reaksi peroksidase dimana

pada mieloblas pereksidase akan positif.

Page 6: Leukemia

Anemia aplastik dengan mieloblastik akut yang alekemik di bedakan atas dasar

pemeriksaan sumsum tulang. Secara klinis endokarditis bakterialis mirip leukemia

mieloblastik akaut karena adanya febris, anemi, splenomegali, dan ptechiae. Tentu adanya

riwayat penyakit jantung, splenomegali yang lebih besar dan tidak adanya kelainan pada gusi

dapat membedakan kedua keadaan ini.

Anemia pernisiosa yang disertai splenomegali dan ptechiae dapat menyerupai

leukemia mieloblastik akut. Pada anemia pernisiosa biasanya pasien tidak tampak sakit berat,

terdapat ikterus dan tidak ada kelainan pada gusi.

Komplikasi

Dua macam komplikasi yang sering bersifat fatal yaitu perdarahan serebelar dan

infeksi. Komplikasi yang jarang terjadi adalah keluhan akibat tekanan oleh suatu tumor

leukemia.

Penatalaksanaan

Perbaiki keadaan umum yaitu : anemia diberikan tranfusi darah dengan PCR (Packed red

cell) atau darah lengkap. Trombositopeni yang mengancam diatasi dengan transfusi konsetrat

trombosit. Apa bila ada infeksi diberikan antibiotika yang adekwat. Terapi spesifik seperti

terapi leukemia pada umumnya dimulai dengan tahap induksi dengan : Doxorubicin 40

mg/mm2 berat badan hari 1-5. Dilanjutkan denagan Ara C 100 mg IV, tiap 12 jam hari 1-7.

Untuk pasien usia di atas 50 tahun dosis dikurangi dengan Adriamycin hanya 3 hari dan Ara

C 5 hari. Obat pengganti adriamycin adalah Farmorubicin. Dilakukan evaluasi klinis dan

hematologis. Pemeriksaan sumsum tulang pada akhir mimggu ketiga. Apabila tidak terjadi

remisi atau remisi hanya bersifat parsiil maka terapi harus diganti dengan regimen lain

(Bakta, 2006).

       Apabila terjadi remisi lengkap (klinis dan hematologis) maka dimulai tahap konsolidasi.

Pada tahap ini diberikan doxorubicin 40 mg/mm2 hari 1-2 dan Ara C 1-5. Refimen ini

diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu (Bakta, 2006).

      Apabila keadaan memungkinkan maka diberikan cangkok sumsum tulang pada saat

terjadi remisi lengkap. (Bakta, 2006).

      Terapi standar adalah kemoterapi induksi dengan regimen sitarabin dan daunorubisin

dengan protokol sitarabin 100 mg/m2 diberikan secara infus kontinyu selama 7 hari dan

Page 7: Leukemia

daunorubisin 45-60 mg/m2/hari iv selama 3 hari. Sekitar 30-40% pasien mengalami remisi

komplit dengan terapi sitarabin dan dounorubisin yang diberikan sebagai obat tunggal,

sedangkan bila diberikan sebagai obat kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60%

pasien (Bakta, 2006). 

Prognosis

        Dengan terapi agresif, 40 -50 % penderita yang mencapai remisi akan hidup lama (30-

40% angka kesembuhan keseluruhan). Penderit yang mengalami relaps setelah mendapat

kemoterapi atau transplantasi autolog dapat diterapi dengan CST allogenetik sebagai terapi

penyelamatan. Beberapa subtipe morfologi atau genetik LMA mempunyai prognosis lebih

baik (Bakta, 2006).

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT

Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah suatu keganasan pada sel-sel prekursor limfoid,

yakni sel darah yang nantinya akan berdiferensiasi menjadi limfosit T dan limfosit B. LLA

ini banyak terjadi pada anak-anak yakni 75%, sedangkan sisanya terjadi pada orang dewasa.

Lebih dari 80% dari kasus LLA adalah terjadinya keganasan pada sel T, dan sisanya adalah

keganasan pada sel B. Insidennya 1 : 60.000 orang/tahun dan didominasi oleh anak-anak usia

< 15 tahun, dengan insiden tertinggi pada usia 3-5 tahun (Sudoyo, 2009).

Etiologi

Sampai saat ini LLA belum diketahui penyebabnya, alias idiopatik. Akan tetapi para peneliti

telah mengemukakan beberapa teori kemungkinan penyebab LLA ini. Ada dua teori, yaitu

genetik dan lingkungan.

a. Genetik, seperti pada penderita Sindrom Down dan Wiskott Aldrich yang juga

mengalami leukemia.

b. Lingkungan, yakni ada beberapa hal yang mendasari teori ini, diantaranya: (1) radiasi

ionik, seperti pasca pemboman Hiroshima-Nagasaki di Jepang, insiden leukemia

meningkat tajam; (2) bahan kimia, seperti senyawa benzena; (3) kebiasaan merokok;

(4) obat-obat kemoterapi; (5) infeksi virus semisal virus EBV; dan lain-lain (Sudoyo,

2009).

Page 8: Leukemia

Patogenesis dan Patofisiologi

Pada pasien LLA terjadi proliferasi patologis sel-sel limfoid muda di sumsum tulang. Ia akan

mendesak sistem hemopoietik normal lainnya, seperti eritropoietik, trombopoietik dan

granulopoietik, sehingga sumsum tulang didominasi sel blast dan sel-sel leukemia hingga

mereka menyebar (berinfiltrasi) sampai ke darah tepi dan organ tubuh lainnya.

Kelainan sitogenetik yang sering ditemukan, teruatama pada pasien dewasa adalah: t(9;22)/

translokasi kromosom 9 dan 22/ fusi gen BCR-ABL/ kromosom philadelphia (CML); atau

t(4;11)/ translokasi kromosom 4 dan 11/ ALL1-AF4. Jika terjadi translokasi semacam ini

maka ia akan mengaktifkan jalur proliferasi dan pertumbuhan sel secara abnormal sehingga

terjadi leukemia. Kelainan yang lain bisa pada karyotipe hipdiploid dan t(10;14), atau karena

hilangnya atau inaktivnya gen supresor tumor seperti p16 dan p15, Rb dan p53 (Sudoyo,

2009).

Klasifikasi

Berdasarkan sistem French-American-British (FAB), LLA dibagi menjadi 3 tipe:

1. L1, ditandai dengan sel blast yang berukuran kecil, homogen (relatif sama besar), dengan

sitoplasma sel yang sedikit dan nukleoli (anak inti) yang samar/ tidak jelas. L1 ini adalah

LLA yang paling banyak terjadi dibanding jenis LLA lainnya, dan pada umumnya terjadi

pada anak-anak.

2. L2, ditandai dengan sel blast yang berukuran lebih besar, heterogen (tidak seragam),

nukleolinya terlihat jelas dan rasio inti-sitoplasmanya rendah. Biasanya LLA tipe ini

terjadi pada orang dewasa.

3. L3, ditandai dengan sel blast yang besar, sitoplasmanya bervakuol, dan terlihat pekat

(basofilik). Prognosisnya buruk akan tetapi insidennya sedikit (Sudoyo, 2009)

Gambaran Klinis

Pada pasien LLA akan terlihat tanda-tanda anemia seperti pucat, lelah, lesu, kemudian

anoreksia, osteoartritis akibat infiltrasi sel leukemi ke sumsum tulang, demam, infeksi akibat

penurunan daya tahan tubuh akibat aktifitas sel limfosit yang tidak normal, perdarahan kulit,

Page 9: Leukemia

gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna, hingga perdarahan otak. Selain itu ditemukan juga

hepatomegali, splenomegali, limfadenopati, dan massa di mediastinum (Sudoyo, 2009).

Diagnosis dan Diagnosis Banding

Untuk menegakkan diagnosis LLA, tetap dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan lab yang meliputi: Hitung darah lengkap, sediaan apus darah tepi, kadar

fibrinogen, kimia darah, golongan darah dan HLA (human leukocyte antigen). Bisa juga

dilakukan pemeriksaan foto toraks, punksi lumbal dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang

untuk diagnosis pastinya. Sementara untuk diagnosis banding, LLA perlu dibedakan dengan

limfositosis murni, limfadenopati, hepatosplenomegali akibat infeksi, dan anemia aplastik.

Gambaran Laboratorium

Untuk hitung darah lengkap dan apusan darah tepi, biasanya ditemukan kadar leukosit

meningkat drastis, tetapi bisa juga normal dan bahkan menurun. Hb dan trombosit turun

hingga dibawah normal, dan terdapat sel blast di darah tepi yang bervariasi, mulai dari 0-

100%.

Penampakan llimfoblast pada apusan darah tepi

Untuk aspirasi dan biopsi sumsum tulang, ditemukan gambaran hiperseluler dengan

peningkatan limfoblas. Hasil pemeriksaan sitokimia akan negatif pada pewarnaan Sudan

Black dan Mieloperoksidase (senyawa yang digunakan untuk mewarnai granul, agar dapat

dibedakan antara sel limfoblas dan mieloblas yang strukturnya hampir mirip, akan tetapi sel

limfoblas tidak bergranul sehingga hasilnya negatif). Untuk membedakan apakah

keganasannya terdapat pada sel B atau sel T, bisa dilakukan pemeriksaan dengan senyawa

fosfatase asam (positif pada sel T ganas), atau Periodic Acid Schiff (PAS) (Positif pada sel B

ganas). Selain itu bisa juga dilakukan pemeriksaan imunofenotip dan sitogenetik untuk

membedakan apakah keganasannya terjadi di sel T atau sel B.

Terapi

Untuk penatalaksanaannya, terlebih dahulu perlu diperhatikan beberapa kondisi sebagai

berikut:

a. kondisi metabolik, perlu diperhatikan juga pada pasien LLA ini apabila terjadi

hiperurisemia, hiperfosfatemia atau hipokalsemia sekunder yang sebelumnya harus

Page 10: Leukemia

diterapi dulu dengan hidrasi intravena, alkalinisasi urin atau pemberian alupurionol

untuk mencegah akumulasi asam urat.

b. infeksi, akibat imunosupresi. Perlu diberi pencegahan terhadap agen infeksi

berbahaya seperti virus herpes, pneumoni, dsb.

c. kondisi hematologik, dimana terjadi anemia dan trombositopenia. Perlu juga diberi

tranfusi jika kondisinya memang sangat buruk, kecuali pada pasien yang

hiperleukositosis (leukosit > 100.000/mm3) karena bisa meningkatkan viskositas

darah secara mendadak dan mempresipitasi leukostasis (Sudoyo, 2009).

Terapi utama untuk LLA ada 4:

a. Terapi induksi remisi. Gunanya untuk mengeliminasi/ eradikasi sel-sel leukemia yang

bisa dideteksi secara morfologi di dalam darah dan sumsum tulang, kemudian agar

hematopoiesis kembali normal. Bisa digunakan obat seperti prednison, vinkristin,

daunorubisin dan lain-lain.

b. Terapi konsolidasi atau intensifikasi. Gunanya untuk benar-benar melibas habis sel-

sel leukemia yang tersisa setelah pemberian terapi induksi, agar tidak terjadi relaps.

c. Profilaksis sistem saraf pusat, untuk mencegah relaps.

d. Maintenance/ pemeliharan jangka panjang. Bisa dengan preparat 6-merkaptopurin

tiap hari dan metotreksat setiap minggu selama 2-3 tahun.

Keempat terapi utama di atas menggunakan obat-obat yang bisa disesuaikan dengan

protokol yang digunakan. Ada beberapa protokol pengobatan yang tersedia, seperti

Protokol OPAL, Hyper-CVAD, LALA 87, CALGB, dan lain-lain (Sudoyo, 2009).

Terapi lain yang bisa diberikan adalah terapi suportif, seperti anti infeksi, pemberian nutrisi

yang cukup, dukungan psikologi, dan pemantauan kondisi komponen darah secara rutin.

Kemudian ada juga terapi sitostatik seperti radiasi tapi sekarang tidak digunakan lagi. Cara

lain adalah dengan transplantasi sumsum tulang pada pasien yang mempunyai risiko tinggi

untuk relaps, misalkan pasien dengan kromosom Philadelphia, perubahan susunan gen MLL

(salah satu jenis gen yang terlibat dalam pemeliharaan epigenetik memori transkripsi)

hiperleukositosis, dan gagal mencapai remisi komplit dalam waktu 4 minggu (Sudoyo, 2009).

Prognosis

Prognosis LLA untuk pasien dewasa biasanya lebih buruk dari yang berusia lebih muda.

Untuk yang berusia 15-20 tahun prognosisnya baik dan bisa sembuh dengan kemoterapi jika

Page 11: Leukemia

disertai faktor prognostik yang baik. Tapi pada pasien LLA dewasa sebenarnya juga

tergantung dari intensifnya terapi yang diberikan, seperti transplantasi sumsum tulang. Untuk

usia > 60 tahun prognosisnya agak buruk, karena survival ratenya biasanya hanya 10%

setelah remisi komplit (Sudoyo, 2009).

Untuk faktor prognostiknya adalah sebagai berikut:

1. Usia >30 tahun –> buruk.

2. Jumlah leukosit  >30.000/mm3 –> buruk

3. Immunofenotip:

T-cell ALL –> baik;

Mature B-cell ALL, early T-cell ALL –> buruk

4. Sitogenetik:

Kelainan 12 p; t(10;14)(a24;q11) –> baik

normal; hiperdiploid –> sedang

t(9;22), t(4;11), t(1;19), hipodiploid, -7, +8 –> buruk

5. Respon terapi

remisi komplit dalam 4 minggu –> baik

minimal residual disease persisten –> buruk

LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK

Leukemia limfositik kronik adalah suatu keganasan hematologik yang ditandai oleh

proliferasi klonal dan penumpukan limfosit B neoplastik dalam darah, sumsum tulang,

limfonodi, limpa, hati, dan organ lain.

Etiologi

Penyebab LLK belum diketahui. Kemungkinan yang berperan adalah abnormalitas

kromosom, onkogen, dan retrovirus (RNA tumour virus). Penelitian awal menunjukkan

keterlibatan gen bcl-1 dan bcl-2 pada 5-15% pasien, sedangkan gen bcl-3 hanya kadang-

kadang terlibat. Protoonkogen lcr dan c-fgr, yang menkode protein kinase tirosin

diekspresikan pada limfosit yang terkena LLK tetapi tidak pada sel B murni yang normal.

Saat ini pada pasien LLK didapatkan delesi homozigot dan region genom telomerik gen

Page 12: Leukemia

retinoblastoma tipe-1 d13s25. Hal ini menunjukkan bahwa adanya gen suppressor tumor baru

terlibat dalam LLK (Sudoyo, 2009).

Patogenesis

Sel B darah tepi normal adalah subpopulasi limfosit B CD5+ matur (sama dengan sel

B-1a) yang terdapat pada zona mantel limfonodi dan dalam jumlah kecil di darah. Sel B LLK

mengekpresikan immunoglobulin membrane permukaan yang umumnya rendah kadarnya,

kebanyakan IgM, IgD dibandingkan sel B darah tepi normal, dan single light chain (kappa

dan lambda). Juga mengekspresi antigen T CD5, antigen HLA-DR dan antigen B (CD19 dan

CD20) mempunyai reseptor untuk sel darah tikus, dan menghasilkan autoantibodi polireaktif

(Sudoyo, 2009).

Ekpresi gen VH dan VL terbatas pada sel-sel tersebut. Berdasarkan karakteristik

tersebut, LLK kemungkinan merupakan suatu proses bertahap, dimulai dengan ekspansi

poliklonal yang ditimbulkan oleh antigen terhadap limfosit B CD5+ yang dibawah pengaruh

agen mutasi pada akhirnya ditransformasi menjadi proliferasi monoklonal. Limfosit B CD5+

neoplastik mengumpul akibat hambatan apoptosis (kematian sel terprogram) (Sudoyo, 2009).

Meskipun gen bcl-2 jarang mengalami translokasi , tetapi terus menerus diekspresikan

secara berlebihan, yang mengakibatkan bertambah panjangnya kelangsungan hidup sel LLK.

Selain itu sitokin terlibat dalam pengaturan pertumbuhan dan sel-sel tersebut. Pada LLK,

TNF alfa dan IL-10 berperan sebagai growth factor. Dalam perjalanan penyakit, ekspresi

berlebihan CD38, onko gen c-myc, delesi gen RB-1, dan mutasi gen supresor tumor p53 juga

terjadi (Sudoyo, 2009).

Sekitar 55% pasien LLK mempunyai abnormalitas sitogenik, khususnya trisomi 12,

kelainan kromosom 13 pada lajur q14 (lokasi gen supresor RB-1), 14q+, delesi kromosom 6

dan kromosom 11. Hal ini baik dideteksi melalui fluoresensi in situ, hibridisasi dibandingkan

analisis sitogenik konvensional. Belum jelas makna kelainan tersebut pada tingkat molekuler

(Sudoyo, 2009).

Kelainan kariotipik bertambah pada LLK stadium lanjut dan menunjukkan

abnormalitas yang didapat. Evolusi kariotipik umumnya berhubungan dengan perjalanan

penyakit, terjadi pada 15-40% pasien LLK (Sudoyo, 2009).

Manifestasi klinis

Pada awal diagnosis, kebanyakan pasien LLK tidak menimbulkan gejala,. Pada pasien

dengan gejala, paling sering ditemukan limfadenopati generalisata, penurunan berat badan

Page 13: Leukemia

dan kelelahan. Gejala lain meliputi hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan

latihan/ olahraga. Demam, keringat malam dan infeksi jarang terjadi pada awalnya, tetapi

semakin mencolok sejalan dengan perjalanan penyakitnya. Akibat penumpukan sel B

neoplastik, pasien yang asimptomatik pada saat diagnosis pada akhirnya akan mengalami

limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali (Mehta, 2008).

Hasil pemeriksaan fisis

20-30% pasien tidak menunjukkan kelainan fisik. Kelainan fisik yang dijumpai adalah

limfadenopati. Sekitar 50% pasien mengalami limfadenopati dan/atau hepatosplenomegali.

Pembesaran limfonodi dapat terlokalisir atau merata dan bervariasi dalam ukuran.

Splenomegali dan/atau hepatomegali ditemukan pada 25-50% kasus. Infiltrasi pada kulit,

kelopak mata, jantung, pleura, paru, dan saluran cerna umumnya jarang, dan timbul pada

akhir perjalanan penyakit. Sejalan dengan perjalanan penyakit, limfadenopati massif dapat

menimbulkan obstruksi lumen termasuk ikterus obstruktif, disfagia uropati obstruktif, edema

ekstremitas bawah, dan obtruksi usus parsial. Timbulnya efusi pleura atau asites berhubungan

dengan prognosis yang buruk (Sudoyo, 2009).

Kriteria Diagnosis

Tanda patognomonik LLK adalah peningkatan jumlah leukosit dengan limfositosis

kecil sekitar 95%. Untuk menegakkan diagnosis, sebaiknya dilakuakan pemeriksaan

gambaran darah tepi secara hati-hati dan cermat. Gambaran darah tepi tampak limfositosis

dengan gambaran limfositosis kecil matur dan smudge cell yang dominan; imunofenotip khas

limfosit (CD5+, CD19+, CD20+, CD23+, FMC7-/+, dan CD22-/+); dan infiltrasi limfosit ke

sumsum tulang bervariasi dalam 4 gambaran yaitu interstisial (33%), nodular (10%),

campuran intertisial dan nodular (25%) serta infiltrasi difus (25%). Meskipun telah

didapatkan limfositosis dan infiltrasi limfosit ke sumsum tulang belum berarti pasti LLK.

LLK dapat didiagnosis jikan ditemukan peningkatan absolute limfosit didalam darah

(>5000/uL) dan morfologi dan imunofenotipnya menunjukkan gamabaran khas.

Klasifikasi France-America-British (FAB), membagi tiga tipe morfologi berdasarkan

perbandingan limfosit atipikal didalam darah, yaitu:

1) LLK tipikal terdiri dari 90% limfosit kecil

2) LLK tipe prolimfositik (sel prolimfositik 11-54%)

3) LLK atipikal yang ditandai dengan morfologi sel limfosit yang heterogen tetapi

proporsi prolimfosit kurang dari 10%

Page 14: Leukemia

Kriteria ini tidak selalu menetap. Pada kasus LLK atipikal, gangguan limfoproliferatif

lainnya harus dipertimbangkan dulu sebelum membuat diagnosis LLK atipikal; oleh

karena itu analisis imunofenotip sel B neoplastik, data sitogenetik dan molecular dapat

bermanfaat (Sudoyo, 2009).

Stadium

Tabel 1 Stadium LLK menurut RAI

Stadiu

mGejala klinis dan laboratorium

Median

survival

(bulan)

OLimfositosis darah tepi dan sumsum

tulang>150

I Limfositosis + pembesaran limfonodi 101

IILimfositosis splenomegali/

hepatomegali>71

IIILimfositosis + anemia

(Hb<11gram/dl)19

IVLimfositosis dan trombositopenia

(trombosit < 100.000/uL)19

(Sudoyo, 2009)

Tabel 2 Stadium LLK menurut Binet

Stadiu

mGejala klinis dan laboratorium

Median

survival

(bulan)

A Limfositosis darah tepid an sumsum >7

Page 15: Leukemia

tulang + <3 daerah limfoid yang

membesar

B

Limfositosis darah tepid an sumsum

tulang + ≥3 daerah limfoid yang

membesar

<5

C

Stadium B + anemia (Hb < 11g/dl

pada pria dan <10 g/dl pada

perempuan atau trombositopenia

(<100.000/uL)

<2

(Sudoyo, 2009)

 

Diagnosis Banding

Adapun diagnosis banding dari LLK adalah:

a. Leukemia granulositi/mielositik kronik

b. Hairy cell leukemia

Komplikasi

a. Infeksi

b. Hipogamaglobulinemia

c. Transformasi menjadi keganasan limfoid yang agresif

d. Komplikasi akibat penyakit autoimun

e. Keganasan sekunder

Penatalaksanaan

Diagnosis LLK tidak menandakan perlunya pengobatan. Saat ini tidak terdapat terapi

kuratif LLK. Tujuan terapi pada kebanyhakan pasien LLK adalah meredakan gejala dan

memperpanjang kelangsungan hidup. Tetapi pada pasien lebih muda dengan faktor risiko

buruk, pendekatan eksperimental dengan tujuan penyembuhan yang dipilih. Kemoterapi yang

diberikan terlalu dini dapat memperpendek harapan hidup dan bukannya memperpanjang.

Pengobatan diberikan bila terdapat organomegali yang bermasalah; episode hemolitik, dan

Page 16: Leukemia

supresi sumsum tulang. Pasien dalam stadium Binet C akan memerlukan pengobatan, seperti

juga beberapa pasien dalam stadium B.

Kemoterapi

a. Klorambusil

Pengobatan tradisional untuk LLK adalah dengan zat pengalkil oral klorambusil.

Efektif mengurangi beratnya penyakit pada sebagian besar kasus. Dapat timbul

resistensi.

b. Analog purin

Efektif untuk pengobatan LLK dan limfoma. Oabt yang paling efektif tampaknya

fludarabin.

c. Kortikosteroid

Pasien dengan kegagalan sumsum tulang harus diobati sejak awal dengan prednisolon

saja, sampai terdapat pemulihan jumlah trombosit, neutrofil, dan hemoglobin yang

bermakana.

Juga diindikasikan pada anemia hemolitik autoimun atau trombositopenia.

 

Prognosis

 

Faktor Prognosis

 

Risiko

rendah Risiko tinggi

Jenis kelamin Wanita Perempuan

Stadium klinik

Binet A

RAI O, I

Binet B/C

RAI II, III, IV

Morfologi limfosit Tipikal Atipikal

Page 17: Leukemia

Gambaran dari infiltrasi

sumsum tulang

Non difus

>12 bulan

Difus

<12 bulan

Waktu pengandaan limfosit Normal Meningkat

Penanda serum < 20-30% >20-30%

Ekspresi CD38 Tidak ada Delesi 11q23

Abnormalitas gen  

Loss/ mutation

p 53

Mutasi (-)

Status gen IgVH Mutasi  

(Sudoyo, 2009)

Perjalanan penyakit bervariasi. Kondidi penyakit sel B dapat diramal kelangsungan

hidupnya antara lebih dari 10 tahun sampai kurang dari 19 bulan, dan 9 tahun untuk seluruh

populasi pasien LLK. Beberapa pasien dengan LLK mempunyai masa hidup normal dan yang

lain meninggal dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis. Beberapa tahun terakhir kemajuan

penting ndicapai dalam pemahaman biologi, perjalanan alami dan pengobatan.

Page 18: Leukemia

Dapus

Mehta, A, Hoffbrand, V. At a Glance Hematologi. Edisi II. Jakarta: EMS.2008.

Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita selekta: hematologi. Edisi IV. Jakarta: EGC. 2005.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.

Edisi IV. Jakarta: FKUI. 2009

Bakta, I made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006

Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed. 6. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. 2006