17
Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP Hak cipta dan penggunaan kembali: Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli. Copyright and reuse: This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.

Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah ...kc.umn.ac.id/1020/8/LAMPIRAN.pdfMN : “Mungkin cara berpakaian. Soalnya pada awalnya itu, saya selalu Soalnya pada awalnya

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP 

 

 

 

 

 

Hak cipta dan penggunaan kembali:

Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.

Copyright and reuse:

This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.

TRANSKRIP WAWANCARA

Transkrip wawancara dengan Markus F. N. Niron, tangaal 5 Juni 2014 (angkatan 2013, Desain Grafis)

D : “Sudah berapa lama merantau?”

MN : “Sudah sekitar satu tahun.”

D : “Sejak kapan merantau?”

MN : “Sejak tahun lalu, 2013.”

D : “Ini merantau yang pertama kali atau sebelumnya sudah pernah merantau keluar dari NTT?”

MN : “Kalo keluar dari NTT, ini yang pertama kali.”

D : “Ketika sampai di tempat rantau, sampai Serpong, hal apa yang pertama kali dilakukan? Mungkin kumpul-kumpul dengan teman lama, dengan keluarga, cari kos atau yang lain?”

MN : “Saya cari kos, dibantu om. Kebetulan om sudah lama tinggal di sini (Serpong). Abis dapat kos, saya langsung daftar kuliah. Kalau kumpul-kumpul tidak, karena di sini saya belum punya teman waktu itu.”

D : “Kebiasaan atau tradisi seperti makanan, pakaian, atau mungkin ritual yang masih sering dijalankan di sini?”

MN : “Mungkin cara berpakaian. Soalnya pada awalnya itu, saya selalu berpakaian formal, ke kampus atau gereja pakai kemeja atau baju yang berkerak. Abis itu ya, mulai terbiasa pakai kaos ke kampus, ke gereja juga begitu, kadang pakai kaos.”

D : “Seberapa sering menggunakan bahasa daerah?”

MN : “Hampir tiap hari. Tapi itu kalo lagi kumpul-kumpul dengan sesama NTT. Tapi kalo di kampus, tidak.

D : “Sebelumnya sudah pernah ke sini (Serpong)?”

MN : “Belum.”

D : “Berarti awalnya belum begitu kenal atau tahu tentang Serpong?”

MN : “Iya, belum.”

D : “Cara lu cari tahu tentang Serpong atau tentang UMN, untuk kenal lebih jauh atau tahu lebih banyak tentang Serpong atau UMN, caranya bagaimana?”

MN : “Pertama saya tanya keluarga. Kebetulan keluarga tinggal disekitar sini. Kedua, saya tanya teman yang sudah lebih kenal daerah ini. Jadi kalo ada kesempatan atau waktu kosong, saya minta untuk diajak jalan-jalan. Kalo

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014

tentang UMN, pertama saya cari tahu lewat website-nya UMN. Pas (ketika) sudah jadi mahasiswa UMN, dan mulai kenal senior-senior dari NTT, saya mulai cari tahu lewat mereka saja.”

D : “Hal-hal apa dari lingkungan baru ini yang bikin lu senang?” misalnya, akses internetnya mudah, banyak buku referensi, banyak tempat hiburan, dan lain-lain…

MN : “Fasilitasnya lengkap. Internet, buku referensi untuk kuliah gampang didapat, lab komputer juga ada.”

D : “Bagaimana atau kenapa sampai lu bisa bilang itu hal yang menyenangkan?”

MN : “Karena kalo di NTT, di tempat asal, fasilitas tidak selengkap ini. Kalaupun ada pasti susah untuk dapat. Kalau dapat juga pasti dengan harga yang mahal.”

D : “Pada masa itu, pada awal perkuliahan lebih banyak berinteraksi atau berkomunikasi dengan siapa saja? Mungkin dengan teman lama, teman baru atau keluarga…”

MN : “Dengan keluarga, dulu kan belum punya teman. Punya teman tapi perantau juga. Jadi lebih banyak bergaul dengan sesama perantau.”

D : “Kalo dengan sesama perantau, biasanya apa saja yang diomongin?”

MN : “Biasanya ajak ketemuan, kumpul-kumpul.”

D : “Kalau sudah kumpul, apa yang dilakukan atau diomongin?”

MN : “Biasanya kumpul untuk main futsal. Kalau lagi nongkrong biasanya bahas macam-macam. Omong tentang bola, teman-teman SMA, teman kuliah…”

D : “Sering komunikasi dengan teman lama yang tinggal di tempat lain?”

MN : “Dulu sering. Sekitar semester-semester awal sering telpon atau SMS dengan mereka?

D : “Omong apa saja dengan mereka?”

MN : “Tanya kabar, omong seputar perkuliahan, sharing pengalaman…”

D : “Hal-hal apa yang bikin lu merasa tidak cocok dengan lingkungan baru? Seperti bikin lu jengkel, frustasi…”

MN : “Cara bergaul. Orang sini cenderung individual, sendiri-sendiri. Kalo berteman juga lebih suka pilih-pilih teman. Terus, kalo main gila (bercanda) begitu, suka keterlaluan, suka anggap remeh, sindir….”

D : “Terus respon dari lu bagaimana untuk tetap bertahan dari hal-hal tersebut?”

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014

MN : “Saya lebih banyak diam, coba untuk mengerti. Kadang saya paksa saja ikut ketawa, atau balas sindiran. Tapi kalau sudah terlalu saya langsung pergi ke tempat lain.”

D : “Ketika lu hadapi hal-hal seperti itu yang bikin lu frustasi, lu lebih pilih bergaul atau komunikasi dengan siapa?”

MN : “Kalo di kampus mau tidak mau saya harus tetap bergaul dengan mereka. Supaya nanti saya bisa tanya-tanya tentang kuliah.”

D : “Omong apa saja dengan mereka?”

MN : “Paling hanya tugas kuliah dengan jadwal kuliah, itu saja.”

D : “Sekarang sudah bisa menerima atau menyesuiakan diri dengan hal-hal baru tersebut atau belum?”

MN : “Sudah.”

D : “Seberapa besar? Sudah bisa terima semuanya atau masih sebagian, dan masih membatasi diri dulu untuk yang sebagiannya lagi.”

MN : “Belum, belum semua, saya masih membatasi diri.”

D : “Sekarang lebih memilih untuk bertahan, berusaha untuk beradaptasi?”

MN : “Tetap bertahan, dan terus jalani saja.”

D : “Latar belakang sekolah?”

MN : “Dari TK sampai SMA sekolah Katolik.”

D : “Anak keberapa dari berapa bersaudara?”

MN : “Anak pertama dari empat bersaudara.”

D : “Pekerjaan orangtua?”

MN : “Bapak wiraswasta, Mama PNS.”

D : “Katanya anak sini suka anggap remeh, contohnya seperti apa?”

MN : “Saya tidak diperhitungkan, seperti kalo lagi kerja tugas mereka pasti anggap, aah dia pasti cuma bisa buat segini tidak mungkin bagus. Kadang-kadang karena saya dari timur, jadi mereka anggap anak dari kampung, masih tertinggal.”

D : “Masih bergaul dengan mereka?”

MN : “Masih, setiap hari. Sebagian besar hanya di kampus saja, kalo di luar kampus hanya dengan teman-teman nongkrong tertentu (asal jabodetabek).”

D : “Budaya atau kebiasaan yang masih lu pertahankan?”

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014

MN : “Misalnya ke gereja, pakaian harus lebih rapi, cara menghargai orang yang lebih tua.”

Transkrip wawancara dengan Willybrodus Reynaldi Lako, tanggal 5 Juni 2014 (angkatan 2013, Desain Grafis)

D : “Sudah berapa lama merantau?”

WL : “Satu tahun.”

D : “Sejak kapan merantau?”

WL : “Sejak Juli, 2013.”

D : “Sudah pernah merantau sebelumnya atau ini yang pertama kali?”

WL : “Ini yang pertama kali.”

D : “Ketika sampai di sini, di tempat rantau, hal apa yang pertama kali dilakukan? Kumpul-kumpul dengan teman lama kah, atau dengan keluarga, cari kos atau yang lain?”

WL : “Pertama saya datang, saya tinggal dengan keluarga, karena saya belum tahu tentang daerah sini jadi orangtua di kampong suruh tinggal dengan keluarga di sini. Terus, cari info tentang kampus.”

D : “Lu punya kebiasaan atau tradisi yang masih lu jalankan di sini? Seperti makanan, pakaian, cara bicara…”

WL : “Logat saya. Saya belum bisa kasih hilang logat. Pakaian sudah pasti, saya masih terbiasa dengan berpakaian yang formal atau yang rapi begitu. Kebiasaan lainnya itu, cara komunikasi atau cara hormat dengan dosen. Kalau di sini cara mereka bergaul atau bercanda dengan dosen kadang-kadang menurut kita di sana sudah berlebihan.”

D : “Seberapa sering menggunakan bahasa daerah waktu itu?”

WL : “Dulu karena masih tinggal dengan keluarga jadi setiap hari pakai bahasa daerah. Kalo di kampus, kalo dengan sesama perantau yang dari timur biasa pakai bahasa daerah juga.

D : “Sebelumnya sudah pernah kesini? Atau minimal tahu lah tentang UMN atau serpong?”

WL : “Belum pernah ke sini sebelumnya.”

D : “Berarti belum kenal sama sekali tentang UMN atau Serpong?”

WL : “Belum.”

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014

D : “Cara lu cari tahu tentang kampus atau tentang Serpong, supaya lu bisa tahu atau kenal lebih banyak tentang kampus atau Serpong, itu caranya bagaimana?”

WL : “Saya tanya-tanya keluarga, kadang tanya orang sekitar kayak tetangga…”

D : “Hal-hal baru apa yang bikin lu senang selama tinggal di sini? Seperti internetan gampang, buku bacaan banyak, tempat hiburan banyak…”

WL : “Yang bikin saya senang itu karena banyak tempat hiburan untuk jalan-jalan, makanannya lebih bervariasi, internetnya mudah diakses…”

D : “Bagaimana atau kenapa sampai lu anggap itu sesuatu yang menyenangkan?”

WL : “Karena di tempat saya belum ada yang seperti ini. Walaupun ada, itu pasti jarang dan mahal. Misalnya, mau ke mall saya harus lewat ratusan kilometer baru sampai.”

D : “Pada saat itu, saat awal kuliah, lebih sering berinterkasi dengan siapa saja? Dengan keluarga, teman kuliah, atau yang lain…”

WL : “Dengan keluarga.”

D : “Keluarga yang di sini atau di kampung?”

WL : “Dengan keluarga yang di kampung biasanya telpon atau sms. Kalau dengan keluarga di sini jarang soalnya semuanya kerja, jadi cuma ketemu pagi dan malam saja.”

D : “Kalau dengan keluarga di kampung omong apa saja?”

WL : “Tanya kabar, terus bahas tentang kuliah.”

D : “Jarang bergaul dengan atau komunikasi dengan orang asli sini?”

WL : “Jarang sekali. Soalnya saya rasa susah sekali kayak canggung begitu bergaul dengan mereka? Komunikasi paling di kelas saja, tapi itupun saya lebih banyak diam karena tidak terbiasa dengan cara bergaul mereka.”

D : “Kalau dengan teman sesama perantau bagaimana?”

WL : “Sama saja. Karena dulu belum kenal siapa-siapa, jadi abis kuliah langsung pulang rumah.”

D : “Hal-hal baru apa dari lingkungan baru ini yang bikin lu frustasi, jengkel, pokoknya yang tidak sesuai dengan lu?”

WL : “Yang pasti logat. Karena saya punya logat masih terlalu kental jadi saya masih malu, canggung untuk omong dengan mereka. Terus cara bercandanya orang sini kadang berlebihan, dan suka anggap remeh orang.”

D : “Ketika lu berhadapan dengan orang-orang seperti itu apa yang lu buat?”

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014

WL : “Saya coba mendekatkan diri, bercanda, biar mengurangi rasa canggung.”

D : “Itu yang bikin lu tidak punya teman saat itu?”

WL : “Iya. Itu salah satunya. Terus karena tempat tinggal saya jauh dari kampus, sehingga sulit cari info tentang kuliah. Makanya sering terlambat ke kampus, jarang dapat info tentang workshop kampus. Jadi kegiatan saya monoton, hanya dari rumah - kampus, kampus – rumah. Mau Tanya tentang tugas kuliah susah karena belum punya teman.”

D : “Jadi saat itu cuma komunikasi dengan keluarga?”

WL : “Iya.”

D : “Apa yang lu lakukan ketika berhadapan dengan situasi itu pada saat itu?”

WL : “Saya sempat berpikir untuk pindah awalnya. Saya sudah sempat telpon orangtua di kampung untuk minta pindah kembali ke kampung. Tapi akhirnya saya putuskan untuk tetap bertahan, karena mulai kenal teman yang juga perantau dari NTT dan satu jurusan sehingga mudah untuk kerja tugas kuliah. Dan sekarang saya tinggal dengan dia, dekat kampus lagi jadi sekarang sudah lebih santai.”

D : “Berarti sekarang sudah punya teman?”

WL : “Sudah, mulai dari situ saya mulai seperti semangat begitu untuk kuliah, kerja tugas kuliah lebih gampang.”

D : “Kalo dengan teman asli sini, mulai terbiasa dengan mereka punya cara bergaul? Sering komunikasi dengan mereka?”

WL : “Sudah, sudah lebih intens komunikasi dengan mereka.”

D : “Omong apa saja dengan teman baru yang asli sini?”

WL : “Seputar kuliah saja, tentang jadwal atau tugas kuliah.”

D : “Kalau dengan teman sesama perantau yang lain bagaimana?”

WL : “Saya sudah kenal banyak, soalnya sering kumpul-kumpul, main futsal…”

D : “Kalau lagi kumpul omong apa saja?”

WL : “Tentang kampus, sharing pengalaman,…”

D : “Sekarang sudah bisa menyesuaikan diri?”

WL : “Sudah bisa.”

D : “Seberapa besar, sudah bisa menerima semuanya atau masih menyesuaikan diri untuk hal-hal tertentu?”

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014

WL : “Masih membatasi diri.”

D : “Contohnya?”

WL : “Gaya hidup, saya lebih sederhana dengan yang lain. Makanan, saya lebih suka makanan yang cocok dengan saya dan lebih murah.”

D : “Latar belakang sekolah?”

WL : “SD Katolik, SMP Negeri 1, SMA Negeri 1.”

D : “Anak keberapa dari berapa bersaudara?”

WL : “Anak kedua dari empat bersaudara.”

D : “Pekerjaan orangtua?”

WL : “Bapak wiraswasta kalo Mama guru.”

D : “Katanya orang sini suka anggap remeh, contohnya seperti apa?”

WL : “Dalam pergaulan begitu, mereka anggap kita kurang pengetahuan, kolot, tidak mengerti. Jadi kalo kita lagi mau tanya atau omong serius begitu, mereka anggap kita cuma becanda karena soalnya kita dianggap tidak mengerti. Trus kalo di kelas, jadi kurang percaya diri karena mereka anggap kita tidak bisa. Kalo kita mau beri pertanyaan gitu, respon dari mereka kayak mimik wajah mereka (nonverbal) seakan anggap remeh kita.”

D : “Cara lu atasi hal seperti itu?”

WL : “Coba mengerti saja, trus berusaha untuk meyakinkan mereka kalau kita ini tidak kolot, semakin mereka anggap remeh saya semakin terus tanya.”

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014

Transkrip wawancara dengan Paulus A.G. Lepa Boleng, tanggal 5 Juni 2014 (angkatan 2008, Teknik Informatika)

D : “Sudah berapa lama merantau?”

PB : “Merantau itu sudah sekitar 5 tahun.”

D : “Sejak kapan?”

PB : “Sejak tahun 2008.”

D : “Ini yang pertama kali merantau atau sebelumnya sudah pernah merantau?”

PB : “Ini baru pertama kali.”

D : “Ketika sampai di tempat rantau apa yang pertama kali dilakukan? Misalnya kumpul sama teman lama, dengan keluarga, cari kos atau yang lain…”

PB : “Waktu itu karena saya datang kesini sama orang tua jadi langsung cari kos, lalu kenalan dengan teman-teman kos.”

D : “Kebiasaan atau tradisi yang masih sering dilakukan disini? misalnya kebiasaan berpakaian atau makanan…”

PB : “Kalau kebiasaan berpakaian mungkin sudah berubah karena perbedaan model dan segala macam, terus kadang masih suka menggunakan logat Flores, tutur bahasanya juga masih terbawa dengan kebiasaan di sana.”

D : “Seberapa sering menggunakan bahasa daerah?”

PB : “Bahasa daerah itu kalau bertemu dengan teman-teman seasal, selain itu sih lebih menggunakan bahasa atau logat di sini.”

D : “Kalau bertemu dengan teman seasal itu sering, setiap hari, atau jarang?”

PB : “Jarang, kalau tahun-tahun terakhir ini karena satu kosan baru sering, karena sering bertemu makanya sering menggunakan logat daerah.”

D : “Sebelumnya sudah pernah ke Serpong?”

PB : “Belum.”

D : “Berarti awalnya belum begitu kenal atau tahu tentang serpong atau UMN?”

PB : “Belum, hanya tahu nama tapi tempatnya di mana, belum.”

D : “Bagaimana cara lu cari informasi tentang serpong atau UMN? Misalnya lewat internet, brosur atau orang lain…”

PB : “Kalau Serpong sih saya biasnya keliling-keliling, biasanya lebih puas. Kalau UMN itu tahu nya sih karena sering ke kampusnya jadi sering berinteraksi dengan orang-orang di sana, kalau lewat internet kurang”

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014

D : “Hal apa dari lingkungan baru yang bikin lu senang? Misalnya, tempat hiburannya banyak, banyak mall, pokoknya hal-hal baru yang lu ketemu yang bikin lu senang…”

PB : “Kalau di sini yang bikin saya senang sih, kemudahan akses ke segala hal misalnya akses internet lebih mudah, terus kalau mau cari tempat nongkrong juga lebih mudah, nongkrongnya juga bisa lebih lama dari pagi bisa sampai pagi lagi, lebih rame aja. Di daerah kan sepi jadi ketika ketemu tempat rame jadi senang. Trus, di sini bisa kenal lebih banyak orang dari berbagai latar belakang.”

D : “Bagaimana atau kenapa sampai lu bisa bilang itu sesuatu yang menyenangkan? Alasannya…”

PB : “Karena saya orangnya lebih suka nongkrong, bergaul, kenal sama orang baru. Kalau soal internet itu, karena saya belajar dan bergerak di bidaing IT, dengan kemudahan akses ke internet jadi segalanya lebih dimudahkan.”

D : “Pada awal sampai sini, awal kuliah, lebih banyak berinteraksi atau komunikasi dengan siapa saja? Teman baru, teman lama, atau keluarga di kampung…”

PB : “Pertama kali saya kesini, saya lebih banyak berinteraksi dengan teman-teman baru. Karena saya lebih suka kenal orang baru, membangun jaringan, seperti itulah.”

D : “Kalau lagi chatting atau ngobrol dengan teman baru biasanya omong tentang apa saja?”

PB : “Kalau dengan teman baru itu tergantung kesamaan interest, misalnya sama-sama anak IT bicaranya tentang teknologi, kalau sesama teman nongkrong biasanya omong tentang tempat nongkrong yang bagus dimana…”

D : “Kalau dengan sesama perantau yang diomongin apa saja?”

PB : “Biasanya tentang pengalaman dulu dengan teman SMA yang lucu, dan juga perkembangan-perkembangan yang terjadi di daerah.”

D : “Punya keluarga di sekitar Jakarta?”

PB : “Kalo yang di Jakarta ada.”

D : “Sering komunikasi dengan keluarga?”

PB : “Jarang.”

D : “Biasanya kalau dengan keluarga yang diomongin apa saja?”

PB : “Biasanya ajak ketemu, jalan bareng.”

D : “Kalau dengan keluarga yang di kampung?”

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014

PB : “Kalau dengan orang tua biasanya bicara tentang keadaan, kabar, seperti itu.”

D : “Kalau tentang kuliah?”

PB : “Kuliah juga.”

D : “Kalau hal-hal yang tidak cocok dengan lu yang bikin lu frustasi atau jengkel?”

PB : “Biasanya sih karena kebiasaan. Ada orang yang karena latar belakangnya dia yang suka bicara keras, jadi kita yang dengerin itu kesannya orang ini kayaknya nyolot, yang kalo di tempat kita itu udah kurang ajar gitu.”

D : “Berarti cara bicara orang itu ya?”

PB : “Ya.”

D : “Itu yang bikin lu merasa tidak cocok?”

PB : “Ya, tidak cocok.”

D : “Kalo berhadapan dengan orang seperti itu atau keadaan seperti itu, yang lu buat apa?”

PB : “Saya tegur. Ya saya kasih pengertian.”

D : “Tapi saat itu masih bergaul dengan mereka?”

PB : “Kalo dia terima, tetap bergaul. Kalau tidak, ya tidak. Tapi kebanyakan sih masih bergaul.”

D : “Sekarang sudah bisa menyesuaikan diri dengan hal-hal yang baru itu?”

PB : “Ya, sudah.”

D : “Seberapa besar, sudah bisa menerima semua yang baru itu atau masih menyesuaikan atau membatasi diri dengan hal-hal tertentu?”

PB : “Karena saya sudah sekitar 5 tahun, jadi sudah sudah cukup lama hampir sebagian besarnya sudah bisa diterima, sedikit saja yang belum.”

D : “Contohnya apa hal yang belum bisa diterima?”

PB : “Yang belum bisa diterima itu seperti, rasis, yang membedakan dia itu orang ini…”

D : “Sekarang pilih untuk bertahan? Untuk tidak pindah kampus atau tempat tinggal…”

PB : “Ya, tetap bertahan.”

D : “Background sekolahnya?”

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014

PB : “SMP di Seminari, trus pindah ke SMP swasta. Kalau SMA pertama di swasta (SMAK Syuradikara, satu yayasan bersama Seminari), trus pindah lagi ke SMA swasta juga (SMAK St. Klemens).”

D : “Anak keberapa dari berapa bersaudara?”

PB : “Anak pertama dari empat bersaudara”

D : “Pekerjaan orangtua?”

PB : “Orangtua pengusaha, keduanya.”

D : “Kira-kira butuh waktu berapa lama sampai benar-benar bisa beradaptasi?”

PB : “Sekitar semester empat, berarti sekitar dua tahun.”

D : “Saran untuk teman-teman yang mau merantau?”

PB : “Saran saya yang pertama, harus lebih terbuka, tidak terlalu idealis, sering bergaul, harus bisa terima kritik dan saran dari orang lain.”

D : “Menurut lu kenapa kita suka bentuk komunitas-komunitas sendiri, seperti cuma bergaul dengan sesama NTT?”

PB : “Pertama karena kesamaan asal, kedua karena kita kurang percaya kepada orang lain.”

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014

Transkrip wawancara dengan Ignasius L. W. Somalinggi, tanggal 5 Juni

2014 (angkatan 2011, Sinematografi)

D : “Sudah berapa lama merantau?”

IS : “3 tahun.”

D : “Sejak kapan merantau?”

IS : “Sejak 2011.”

D : “Ini yang pertama kali atau sudah pernah merantau sebelumnya?”

IS : “Dulu sebelumnya di Makasar, trus di Mataloko (Flores), trus di sini.”

D : “Pertama kali sampai di Serpong, yang pertama lu buat apa? Misalnya cari kos, atau cari info tentang kampus…”

IS : “Cari kos.”

D : “Kebiasaan atau tradisi seperti logat, yang masih lu bawa sampai sini?”

IS : “Logat mungkin.”

D : “Kalo soal makanan?”

IS : “Kalo makanan biasa saja.”

D : “Seberapa sering menggunakan bahasa daerah?”

IS : “Logat daerah mungkin, tapi kalo soal bahasa daerah saya sendiri kurang mengerti.”

D : “Setiap hari?”

IS : “Iya, kalo ketemu sesama NTT.”

D : “Sudah pernah ke Serpong sebelumnya?”

IS : “Belum.”

D : “Ini yang pertama kali?”

IS : “Ya.”

D : “Kalo tentang UMN sudah pernah tahu sebelumnya?”

IS : “Tahu waktu promosi ke sekolah.”

D : “Hal-hal baru yang lu ketemu di UMN atau Serpong yang cocok dengan lu, atau bikin lu senang, misalnya, internet, tempat hiburan...?”

IS : “Pergaulannya lebih terbuka.”

D : “Kenapa sampai lu anggap itu merupakn sesuatu yang menyenangkan? Alasannya…”

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014

IS : “Mungkin karena teman-teman baru di sini pola pikirannya lebih terbuka, tidak tertutup oleh hal-hal baru, tidak kaget dengan hal-hal baru yang masuk dari luar.”

D : “Waktu itu lu paling sering berkomunikasi dengan siapa?”

IS : “Keluarga.”

D : “Kalo lagi kontak dengan keluarga di kampung, yang biasa diomongin itu apa saja?”

IS : “Yang pertama tentang kuliah, trus uang bulanan.”

D : “Kalo dengan teman sesama perantau kalo lagi kumpul, apa saja yang omongin?”

IS : “Paling tentang kampung, trus tentang teman-teman baru.”

D : “Hal-hal baru yang bikin lu tidak senang apa?”

IS : “Kembali lagi ke pergaulannya itu, biasanya teman dekat karena ada maunya, kadang ada yang mau berteman hanya sebatas karena punya kebutuhan saja.”

D : “Respon dari lu untuk menghadapi hal seperi itu?”

IS : “Awalnya, saya langsung ngomong (tegur) dengan dia, lama kelamaan tinggalin saja.”

D : “Ketika lu hadapi masalah seperti itu, lu sering komunikasi dengan siapa?”

IS : “Dengan sesama perantau.”

D : “Dengan keluarga?”

IS : “Kalo keluarga jarang.”

D : “Sekarang sudah bisa menyesuaikan diri dengan hal-hal baru tersebut? Atau masih membatasi diri untuk hal-hal tertentu?”

IS : “65 persen. Masih membatasi hal-hal yang tidak perlu.”

D : “Hal-hal yang tidak perlu misalnya apa?”

IS : “Kayak kehidupan malam, gaya hidup lah.”

D : “Sekarang pilih untuk tetap bertahan? Atau sempat pikir untuk mau pindah mungkin?”

IS : “Tetap bertahan

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014

Transkrip wawancara dengan Leonardo Krista Mahardika, tanggal 13 Juni 2014 (angkatan 2011, Desain Grafis)

D : “Kesan lu tentang orang NTT?”

LM : “Biasa aja. Ya, gue ngerti kalo itu orang daerah. Ya gue membuka diri untuk kenalan, berusaha cari tahu tentang kebudayaan disana.”

D : “Menurut lu kenapa anak-anak perantau, kayak anak NTT, lebih suka berkumpul dan membentuk komunitas sendiri?”

LM : “Kurang beradaptasi, nggak ada yang mau berinteraksi dengan orang dari luar NTT, nggak membuka diri. Atau mungkin dia sudah membuka diri tapi yang dari sininya nggak membuka diri, jadi saling nggak membuka diri. Kan ada juga yang dari NTT mau bergaul tapi yang dari kitanya kayak, ‘apaan sih ini orang’ kayak menghindar.”

D : “Pandangan lu tentang orang NTT yang lu kenal, kayak Gilang (Paulus Boleng) atau Ino (Ignasius Somalinggi)?”

LM : “Mudah bergaul, mudah berinteraksi, mau menerima masukan, diajak senang susah bareng bisa, pengertian.”

D : “Sisi negatifnya dari mereka?”

LM : “Mungkin sumbunya pendek kali ye, jadi gampang kepancing, gampang marah, tempramen.”

Transkrip wawancara dengan Dwinanda Rahardian Nurpriadi, tanggal 13 Juni 2014 (angkatan 2011, Desain Grafis)

D : “Kesan lu tentang orang NTT?”

DN : “Biasa aja sih, trus paling logatnya yang beda, tapi pada intinya biasa aja sih.”

D : “Menurut lu kenapa anak NTT suka berkumpul bentuk komunitas sendiri?”

DN : “Karena budaya dari mereka sendiri. Jadi mereka bertemu dengan suku yang sama, jadi kumpul sendiri. Hanya berdasarkan kesamaan suku.”

D : “Pendapat lu tentang anak NTT yang lu kenal seperti Gilang atau Ino?”

DN : “Baik. Kalo kata orang, yang belum kenal gitu ‘ah, galak nih’, padahal pada dasarnya nggak (jahat). Kalo di deketin gitu, diajak ngobrol, pada dasarnya baik, dan setia kawan juga.”

D : “Sisi negatifnya dari mereka?”

DN : “Dia kukuh dengan keyakinan dia, meskipun dibilang salah juga dia tetap kukuh. Pokoknya yang dalam pola pikirnya aja.”

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014

Catatan Observasi

Tanggal 2 April 2014:

Penulis melakukan observasi di tempat kos-kosan para informan. Tujuannya untuk mengetahui tentang bagaimana tempat, keadaan, bentuk, tempat tinggal mereka tersebut. Dari hasil observasi penulis menemukan bahwa seluruh informan bertempat tinggal di daerah Medang, Serpong dan tinggal dia kos-kosan yang terpisah. Informan Markus Niron dan Willybrodus Lako tinggal di kos-kosan yang terpisah dengan informan lainnya. Tempat tinggal mereka tersebut berbentuk petak, dengan kamar mandi berada dalam setiap kamar. Kedua informan jarang terlihat berinteraksi dengan penghuni kos-kosan lainnya.

Sedangkan untuk informan lainnya yang tinggal terpisah seperti, Paulus Boleng, Ignasius Somalinggi, Leonardo Mahardika dan Dwinanda Nurpiradi tinggal di sebuah kos-kosan yang cukup besar, berlantai dua, fasilitas yang lengkap seperti internet, kamar mandi dalam, pendingin ruangan. Di sini para penghumi kos dari berbagai kalangan, meskipun sebagian besatnya adalah mahasiswa UMN tapi ada juga penghuni kosnya yang sebagai pekerja kantoran dan yang punya keluarga. Karena keadaan kos yang seperti ini terlihat memudahkan para informan untuk sering berinteraksi dengan para penghuni lainnya.

Khusus untuk informan yang berasal dari NTT, tempat kos informan Paulus Boleng dkk selalu menjadi tempat untuk berkumpul sebelum melakukan suatu kegiatan bersama seperti bermain futsal atau hanya sekedar kumpul-kumpul.

Tanggal 25 Mei 2014:

Penulis melakukan observasi di tempat tinggal para informan untuk mengetahui bagaimana karakter dari para informan dan pola komunikasi atau cara berinteraksi diantara para informan dan bagaimana komunikasi yang terjadi antara mahasiswa asal NTT dengan mahasiswa lainnya. Dari hasil observasi peneliti menemukan bahwa informan Markus Niron dan Williybrodus Lako jarang terlihat berinteraksi dengan penghuni kos lainnya kecuali dengan yang sesame NTT. Khusus untuk informan Willybrodus, informan memiliki karakter yang pendiam dan agak tertutup. Sedangkan untuk informan Markus memiliki karakter yang lebih terbuka dan mudah bergaul.

Untuk informan Paulus Boleng dan Ignasius Somalinggi memiliki karakter yang terbuka, mudah bergaul sehingga mereka sering telihat akrab ketika berkomunikasi dengan orang-orang lain baik itu yang sesame NTT maupun yang berlatar belakang berbeda.

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014

Informan Leonardo Mahardika dan Dwinanda Nurpriadi yang meruapakan dari daerah Tangerang dan Jakarta, juga memiliki karakter yang mudah bergaul, terbuka, sehingga mereka sering sekali terlihat akrab ketika berinteraksi dengan ornag-orang baik yang dari NTT maupun yang dari Jabodetabek.

Tanggal 5 Juni 2014:

Informan melakukan wawancara dan observasi di tempat tinggal masing-masing informan. Ketika melakukan wawancara dan observasi terhadap informan Willybrodus, penulis menemukan bahwa karakter informan terlihat agak tertutup atau ketika berinteraksi dengan orang asing informan terlihat pasif dan hanya berkomunikasi seadanya saja. Sedangkan untuk informan Markus, penulis menemukan bahwa dia cukup terbuka, mudah bergaul dan gampanga untuk diajak berinteraksi.

Untuk informan Paulus dan Ignasius, penulis menemukan bahwa kedua informan adalah orang yang sangat terbuka tidak hanya pada orang NTT tapi juga bagi orang dengan latar belakang berbeda. Ini terlihat dari suasana kamar para informan yang selalu ramai karena didatangi teman-temannya yang berbeda latar belakang denganya.

Tangal 13 Juni 2014:

Penulis melakukan observasi dan wawancara kepada informan Leonardo Mahardika dan Dwinanda Nurpriadi untuk mengetahui bagaimana pandangan mereka tentang para mahasiswa asal NTT dan bagaimana pola komunikasi di antara mereka. Dari hasil observasi penulis menemukan bahwa kedua informan sangat terbuka dan memiliki sikap pengertian terhadap orang-orang yang datang dari daerah seperti NTT. Kedua informan terlihat cukup akrab ketika berinteraksi dengan orang-orang yang datang dari daerah.

Hambatan komunikasi..., Desideratus A. Saba, FIKOM UMN, 2014