Upload
trinhthuan
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP
Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama : James Luhulima
Profesi : Redaktur Pelaksana Harian Kompas Cetak
Hari, Tanggal : Kamis, 5 Juni 2014
Jam Wawancara : 14.00 – 14.45
Tempat Wawancara : Redaksi Kompas Cetak, Jakarta
T: Bagaimana cara Kompas membahas suatu peristiwa?
J: Setiap pagi kita ada rapat pagi, jam sembilan, ada pemimpin redaksi—
termasuk wakilnya—ada redaktur pelaksana, lalu ada editor, ada wartawan
senior. Kita ngobrol-ngobrol, aja. Ada apa sih hari ini? Oh, peristiwanya ada ini,
ada ini, ada ini. Ok, kalau yang ini bisa dikembangin di sini, ini menarik di sini.
Lalu, sore, kan, kita kumpul lagi jam empat sore. Itu rapat budgeting, tuh, yang
jadi halaman satu mana, yang jadi headline mana. Kumpul lagi, kira-kira
komposisinya kayak yang pagi, tapi editor seniornya nggak ada, yang ada hanya
editor sama managing editor—redaktur pelaksana. Kita cek lagi. Beritanya jadi
gini, gini, gini. Loh, kok, gitu, kan, kita carinya ini, gitu. Ya, di situlah kita
berdebat. Ya, begitu dia dapet ini jadi headline, yang ini jadi ini. Jadi, kita selalu
lihat berita seperi itu. Tapi karena kita perusahaan pers, dan di era teknologi
seperti sekarang, kan, dari mana-mana berita itu bisa masuk, kan. Jadi, biasanya
begitu kita lihat, wah, kok kayaknya ini menarik, ya? Nah, di rapat pagi kita udah
punya frame juga. Kira-kira bahan ini mau kita bawa ke mana, nih, ntar tinggal si
editornya setuju apa nggak. Atau, editor lain kasih masukan, sebaiknya jangan
dibahas dari situ aja, kayaknya angle yang ini lebih menarik, angle itu udah
pernah, jadi kayak-kayak gitu. Itu perdebatannya hidup sekali, ya.
Konstruksi Media..., Jessica Aprillia, FIKOM UMN, 2014
T: Setelah melalui pembahasan dengan editor-editor lain, frame apa yang ingin
diangkat dalam kasus penyadapan ini?
Sebenarnya, gini, ya, kalo dari Kompas, penyadapan ini, kan, bukan hal yang
baru, dari dulu ada, alatnya, aja, yang beda. Tapi, kan, caranya dari dulu udah
ada. Bahkan, ada orang dilobi nanya-nanya, itu, kan, bagian dari itu semua.
Kedutaan asing di sini juga, kan, pasti ada intelnya di dalem. Nah, waktu itu
sikap Kompas adalah amaze, aja, kok itu bisa terjadi? Jadi, kita lebih
menyalahkan, kok, itu bisa terjadi? Tapi kita juga nggak mau menghukum terlalu
keras yang menyadap, karena itu sebenarnya pekerjaan biasa, kok. Kita tahu sejak
kita masih wartawan baru, setiap kedutaan, kan, ada intelnya. Lewat makan
siang, ke pasar, cari-cari orang, dia laporin ke negaranya, ya, kan, dan itu bukan
hal yang tabu. Nah, kan, cuma sekarang berbeda. Dengan kemajuan teknologi,
internet bisa disadap, handphone bisa disadap, bahkan telepon juga bisa disadap.
Nah, sekarang, kalau kita anggap informasinya penting, ya, kita, dong, yang
harus menyembunyikan informasinya. Kalau kita masukin lewat saluran terbuka,
ya, bodoh, aja, lagi. Ya, kan, di internet, juga udah ada disclaimer-nya. Cuma
memang di satu sisi, kita memang ada perasaan nasionalisme, kita nggak bisa
menerimalah, kok bisa terbuka begini? Itu kan sama, aja, dia menghina negara
kita. Nah, cuma terhadap negara kita, kok kita ini bego banget, gitu, loh. Jadi, kita
sebenarnya mendudukkan persoalan pada tempatnya bahwa sampai disadap kita
kesel banget, tapi kita juga kesel, kok bisa disadap. Jadi, kita lebih melihat
masalah ini di tengah. Kalau kita lihat tajuk rencana, kayaknya sikap Kompas
jelas di situ. Ya, memang, penyadapan itu suatu tindakan yang tidak dibenarkan,
tapi yang lebih bodoh lagi, kok bisa sampe disadap? Ya, kita membingkainya
begitu kalau di Kompas, ya, secara umum.
T: Berarti tetap membingkainya dengan berbagai aspek, ya?
J: Aspeknya berbagai macam. Sebagai bangsa, ya, kita kesel. Katanya kamu
sahabat, kok kamu nyadap? Itu sebagai bangsa pada level itu. Tapi pada level
Konstruksi Media..., Jessica Aprillia, FIKOM UMN, 2014
berikutnya, kita juga bilang pada bangsa, loh, itu, kan, informasi rahasia, kok
kamu sembarangan makenya? Ya, kan, salah juga. Jadi, kita waktu itu sebetulnya
maunya jangan kayak kebakaran jenggot, gitu, loh, biasa-biasa, aja. Marah,
marah, tapi lewat jalur diplomatik. Kalau kamu tahu ini informasi rahasia, maka
perlakukanlah ini sebagai informasi rahasia. Kalau bukan rahasia, ya, udah. Jadi,
ada beberapa level—ya, dari berbagai aspeklah. Jangan kita menimbulkan
kebencian juga pada—katakanlah—Australi(a) atau Amerika—karena itu praktek
yang biasa. Cuma kita sedihnya, eh, kok sama sahabat disadap juga rupanya? Itu
harus kita suarakan. Jadi dari berbagai layer. Tapi kalau kita lihat berita Kompas,
kan, nggak ada yang berusaha membangkitkan kemarahan. Kita tetap cool, gitu,
kita lihat dari berbagai aspek, tapi tetap tenang. Karena yang salah kamu sendiri.
T: Oleh karena itu, berita mengenai penghentian kerja sama di-blow up?
J: Ya, itu kita blow up, tapi di tajuknya… Karena gini, berita itu kan… Kompas
kan amplifier, jadi beritanya nggak bisa kita karang, kan? Bahwa SBY marah,
harus kita beritakan, meskipun nanti di dalam ada pendapat yang sedikit-sedikit
pendapat yang berbeda kita taruh di situ. Tapi di tajuk rencana, kita kawal
biasanya bahwa nggak usah sampai semarah itulah, itu kan kesalahan kamu
sendiri. Ibarat kamu bikin salah, sekarang kamu teriak-teriak, gitu, loh. Jadi, lebih
ke titik itu.
T: Jadi, perspektif yang saya lihat dalam berita ini ada berbagai perspektif, seperti
militer dan nasionalisme. Apakah itu benar?
J: Ya, tapi di masing-masing layer kita berusaha untuk tetap balance. Jadi,
presiden marah kita beritain, tapi kalau ada orang yang bilang, itu salah sendiri,
pun akan dimasukin. Nah, ketika kita melihat dalam berita nggak ada aspek itu,
maka kita masukin di tajuk rencana, karena, kan, kita nggak boleh beropini dalam
berita. Kita opininya di tajuk rencana. Makanya sebetulnya kalau misalnya
Konstruksi Media..., Jessica Aprillia, FIKOM UMN, 2014
mengamati berita, harus juga mengamati tajuk rencananya, karena, kan, berita itu,
kan, ibaratnya kita masak, kan, ya, bumbu yang ada di meja itu yang harus kita
pakai, ketika nggak ada bawang putih, ya, kita cari akal, kita cari apa yang bisa
menggantikan rasa itu. Nah, baru di tajuk rencananya kita kasih bawang putih,
kasarnya begitu.
T: Berdasarkan hasil analisis yang telah saya lakukan, Kompas seakan ingin
membela Pemerintah Indonesia. Apakah itu benar?
J: Ya, bisa, di satu sisi itu, tapi di sisi lain juga itu juga kesalahan kamu.
T: Jadi, kalau, menurut tanggapan Bapak pribadi melihat kasus ini seperti apa?
J: Kalau saya pribadi sama seperti Kompas, ya, karena aku, kan, 30 tahun kerja
sama Kompas, ya, framing-nya sama, gitu, loh. Ok, yang menjadikan Indonesia
tersinggung, kok kalau negara bersahabat, kok dimata-matai? Kan dia bisa nanya
intel Indonesia. Jadi, itu posisi pertamanya, tapi sebagai negara harusnya kita
tahu praktek penyadapan atau praktek penggalian rahasia itu, kan, hal yang biasa.
Nah, cuma, kalau sahabat, kan, kalau mau tahu data, lebih enak nanya langsung,
lebih baik gitu, kan. Kalau dua orang sahabat, kan, kalau bertemu, lebih baik,
kan, lebih baik bertanya. Jadi, di beritanya ada nasionalisme. Dan, yang kedua,
ada keinginan untuk melihat permasalahan secara proposional, gitu, loh. Memang
secara nasionalisme nggak bisa diterima, tapi kenapa kamu nggak hati-hati dalam
menangani informasi, gitu, loh. Jadi, kita mau coba untuk mem-balance itu.
T: Dalam membingkai suatu masalah, bagaimana Kompas menyajikannya dengan
proposional?
J: Kalau kita pasti framing-nya… dasarnya pasti… kan, kita ―Hati Nurani
Rakyat‖, ya, framing-nya itu cenderung yang membela underdog. Jadi, pers di
Konstruksi Media..., Jessica Aprillia, FIKOM UMN, 2014
manapun begitu, turut membela yang lemah, meskipun tidak menghilangkan hak
yang lebih kuat. Kita selalu dalam proporsi seperti itu. Nah, di dalam Indonesia-
Australi(a), kan, jelas sekali bahwa Australi(a) secara teknologi jauh lebih tinggi
sehingga kita melihatnya antara yang kuat dan yang lemah.
T: Apa pertimbangan Kompas dalam memasukkan informasi dari media asing ke
dalam pemberitaannya?
J: Kita, kan, punya keterbatasan, ya. Kompas sebagai institusi pers, kita, kan,
punya keterbatasan, artinya wartawan kita sebagian besar, kan, ada di dalam
negeri, ya. Lalu, kita punya beberapa di luar negeri, tapi, kan, hanya di beberapa
tempat. Di luar tempat yang kita nggak punya wartawan, ya, kita ambilnya dari
wire. Kita, kan, langganan Reuters, AFP, AP—kantor berita Amerika, kantor
berita Prancis, kantor berita Inggris—kita langganan berita mereka. Jadi, kita
mencari dari mereka bahan-bahan yang kita nggak punya. Nah, karena ketiga
wire ini resmi, dan mereka menjual, dan kita make ini udah puluhan tahun, dan
mereka, kan, beroperasi secara betul, gitu, ya, sehingga beritanya hampir
sebagian besar, kan, nggak ngaco, gitu, loh, sehingga kita pakenya dia sebagai
sumber berita. Dulu, kita pake antara dalam negeri, kita sampe sekarang masih
langganan, karena untuk membantu dia, gitu, ya, jadi pers membeli… tapi kita
jarang pake informasinya sekarang, kecuali ada di satu tempat bener-bener kita
nggak punya, dan dia ada, karena kalau di dalam negeri, kan, hampir sebagian
besar, kita juga punya juga. Tapi kita selalu begitu, jadi dalam menangani berita
dalam negeri, kalau nggak ada wartawan kita, dan kita juga tahu lah milah-
milahinnya. Misalnya… kan, nuansa itu selalu berbeda, ya. Katakanlah, kalau…
kantor berita Amerika dalam kepentingan… Misalnya, gini, sudut pandang itu
kan… kayak Diponogoro. Menurut kita, kan, pahlawan, menurut Belanda, kan,
pemberontak. Nah, kita tahu cara meletakkan posisi sesuai perspektif. Jadi, kita
ganti, kalau misalnya… di wire-nya ditulis ‗ini gerakan militian‘, ya, kita nggak
pake itulah. Atau, di wire dibilang ‗pemberontak‘, kita lihat dulu, ini bener-bener
Konstruksi Media..., Jessica Aprillia, FIKOM UMN, 2014
pemberontak atau nggak—terutama dalam konteks Israel-Palestina, kan, pers-
pers Barat cenderung ngambil posisi Israel sehingga kita mesti melihat
konteksnya.
T: Jadi, ketika media luar menampilkan berita berbeda dengan yang ingin
diangkat Kompas, artinya secara otomatis media tersebut dieliminasi, begitu?
J: Nggak, dulu… Kalau sekarang, kan, kita gampang. Ketika dari sumber Barat,
kita nggak dapet nuansa yang kita cari, kan, sekarang kita punya… kita bisa buka
situs koran-koran resmi, kan. Pada zaman ini, sebenarnya beroperasinya lebih
gampang, yang kamu sebut tadi itu mungkin zaman dulu, gitu. Kalau sekarang,
ada wire dateng, kan, terus kita baca, kok begini beritanya, kok
penggambarannya tidak sesuai seperti yang kita tahu, gitu, ya, kita ngecek, kita
buka koran setempat—kan ada di sini yang bisa bahasa Arab juga. Kita buka, kita
baca, bener, nggak, konteksnya kayak gitu? Ternyata bener, misalnya, ya, udah
kita muat sebagaimana adanya, kalau perlu kita juga mengutip koran setempat
itu—lebih enak kalau koran setempatnya itu berbahasa Inggris. Seperti kemarin,
contoh, ya, meliput kudeta di Thailand, sebelum kita mengirim wartawan, kan,
beritanya, dari wire masuk, tapi kita juga punya situs-situs koran bahasa
Inggrisnya Thailand, kan, The Nation Bangkok Post, kita buka, kita lihat, nah,
kita bisa ambil perspektif orang Thailand, dan dari perspektif orang asing, karena,
kan bukan tidak mungkin juga wartawan Thailand, misalnya, menyembunyikan
sebagian fakta demi nasionalisme, kan bisa, aja. Tapi setelah kita melihat berita
dia dan berita wire mirip, ya, udah bener, nih, dua beritanya. Karena zaman
sekarang perkembangan teknologi, ya, jadi kita nggak mengalami hambatan apa-
apa.
T: Jadi, apa yang ingin Kompas tekankan dari peristiwa penyadapan itu kepada
pembaca?
Konstruksi Media..., Jessica Aprillia, FIKOM UMN, 2014
J: Kalau Kompas selalu sikapnya sama, bukan hanya penyadapan, tapi soal-soal
yang lain, kita ingin mendudukkan masalah pada proporsinya. Jadi, apa pun yang
terjadi, kita mau menjelaskan yang sebenarnya terjadi ini loh, dan, kita jelasin
konteksnya supaya orang mendapatkan gambaran yang utuh. Dan, itu memang
sikap dasar kita dari dulu. Jadi, kita selalu mencoba menjelaskan duduk perkara.
Makanya, bukan hanya both side tapi all side—jadi semua pihak yang
berkepentingan.
T: Apa yang menjadi pertimbangan Kompas dalam pemilihan narasumber baik
lokal maupun luar negeri?
J: Ya, kita tahu kapasitasnya, aja, jadi kita, kan, mengukur juga, dia pantes nggak
ngomong ini? Kok dia bisa tahu? Kenapa dia bisa tahu? Ketika dia memang
mendalami masalah itu—expert di situ—ya, udah kita pake. Ya, kita nggak
mungkin mengadu seorang mahasiswa untuk ngomong kata-kata kasar ke SBY,
jadi nggak mungkin kita kutip, karena mereka bukan pada tataran yang sama.
Tapi ketika yang ngomong anggota DPR, salah satu list dari lembaga
pengkajian… jadi, kita mengukur dulu kapasitas orangnya. Kalau memang
mereka bisa disetarakan, ya, kita kutip.
T: Bagaimana dengan pernyataan Wakil Ketua DPR Pramono Anung,
narasumber yang dikutip pada teks berita ―Abbott Balas Surat SBY‖ yang
memiliki pernyataan yang berbeda dengan tema lainnya?
J: Ya, ini, kan, anggota DPR, ya, kan pada level yang sama, artinya kalau dia ini
wakil Ketua DPR berarti dia ada di level yang sama dengan Presiden, kan?
Berarti pendapat dia penting. Nah, kenapa dia minta diusut tuntas? Ini pasti dia
ingin menarik nasionalisme itu ke dalam tataran. Jadi, dia ingin coba
menganggap bahwa masyarakat Indonesia tersinggung, dia sebagai anggota
DPR—dia harus menyuarakan. Ketika dia muncul sebagai anggota DPR, dia kan
lembaga yang setara dengan pemerintah, jadi makanya kita kutip.
Konstruksi Media..., Jessica Aprillia, FIKOM UMN, 2014
Konstruksi Media..., Jessica Aprillia, FIKOM UMN, 2014
Konstruksi Media..., Jessica Aprillia, FIKOM UMN, 2014
Konstruksi Media..., Jessica Aprillia, FIKOM UMN, 2014
Konstruksi Media..., Jessica Aprillia, FIKOM UMN, 2014
Konstruksi Media..., Jessica Aprillia, FIKOM UMN, 2014
Konstruksi Media..., Jessica Aprillia, FIKOM UMN, 2014
Konstruksi Media..., Jessica Aprillia, FIKOM UMN, 2014
Konstruksi Media..., Jessica Aprillia, FIKOM UMN, 2014