60
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Listrik merupakan salah satu kebutuhan vital bagi pembangunan nasional di berbagai sektor, antara lain bagi kehidupan rumah tangga, kegiatan usaha, pemerintahan, dan sektor-sektor lainnya. Namun demikian Indonesia dihadapkan pada kenyataan atas permasalahan mendasar terhadap kapasitas pasokan listrik yang tidak mampu mengimbangi peningkatan konsumsi listrik masyarakat dan dunia usaha. Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun. Penggunaan tenaga listrik di Indonesia selama 20 tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup pesat, yaitu sebesar 14.5 % per tahun. Pemerintah pun telah meningkatkan penyediaan tenaga listrik dalam negeri dengan membangun pembangkit -pembangkit tenaga listrik baru. Namun, percepatan penyediaan tenaga listrik tersebut lebih rendah dibanding peningkatan kebutuhan akan tenaga listrik (Sitorus, 2005). Pemakaian batubara domestik di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua), pertama pemakai Batubara yang digunakan sebagai bahan baku seperti, pembuatan briket batubara, pengolahan logam, pencairan batubara (coal liquefaction), penggasan batubara (coal gasifaction) dan peningkatan mutu batubara (coal upgrading). Kedua, pemakai batubara yang digunakan sebagai bahan bakar seperti, sektor

List Rik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Listrik

Citation preview

Page 1: List Rik

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Listrik merupakan salah satu kebutuhan vital bagi pembangunan nasional di

berbagai sektor, antara lain bagi kehidupan rumah tangga, kegiatan usaha,

pemerintahan, dan sektor-sektor lainnya. Namun demikian Indonesia dihadapkan

pada kenyataan atas permasalahan mendasar terhadap kapasitas pasokan listrik

yang tidak mampu mengimbangi peningkatan konsumsi listrik masyarakat dan

dunia usaha.

Pembangunan di Indonesia yang berkembang pesat dewasa ini

mengakibatkan kebutuhan tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun.

Penggunaan tenaga listrik di Indonesia selama 20 tahun terakhir mengalami

peningkatan yang cukup pesat, yaitu sebesar 14.5 % per tahun. Pemerintah pun

telah meningkatkan penyediaan tenaga listrik dalam negeri dengan membangun

pembangkit -pembangkit tenaga listrik baru. Namun, percepatan penyediaan tenaga

listrik tersebut lebih rendah dibanding peningkatan kebutuhan akan tenaga listrik

(Sitorus, 2005).

Pemakaian batubara domestik di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua), pertama

pemakai Batubara yang digunakan sebagai bahan baku seperti, pembuatan briket

batubara, pengolahan logam, pencairan batubara (coal liquefaction), penggasan

batubara (coal gasifaction) dan peningkatan mutu batubara (coal upgrading).

Kedua, pemakai batubara yang digunakan sebagai bahan bakar seperti, sektor

Page 2: List Rik

2

pembangkit listrik, sektor industri, sektor usaha kecil, dan rumah tangga.

Kebutuhan batubara Indonesia 83% dialokasikan untuk Pembangkit Listrik Tenaga

Uap (PLTU) dan sisanya sebesar 17% non pembangkit.

Penggunaan batubara sebagai bahan bakar PLTU meningkat dari waktu ke

waktu, pada tahun 2005 proporsinya sebesar 63% dan meningkat menjadi 83% pada

tahun 2010. Pemerintah akan terus meningkatkan peran batubara dalam pemenuhan

energi nasional. Pemanfaatan batubara terus meningkat dari waktu ke waktu dari

41 juta ton pada tahun 2005 menjadi 67 ton pada tahun 2010. Proporsi batubara

dalam bauran energi nasional pada tahun 2005 sebesar 19% dan pada tahun 2010

sebesar 23%. Proporsi ini ditargetkan terus meningkat hingga mencapaii 33% pada

tahun 2025 (ESDM, 2011).

Sumber daya batubara Indonesia saat ini mencapai 104,94 milyar ton dan

cadangan sebesar 21,13 milyar ton. Dengan potensi yang sedemikian besar

tantangan kedepan yang adalah mengupayakan perimbangan strategis antara peran

penting batubara sebagai energi primer yang ekonomis bagi kegiatan produksi di

Indonesia.

Sejak krisis moneter tahun 1998, pemerintah belum menambah

pembangunan pembangkit listrik karena memerlukan investasi besar dan waktu

yang panjang, di lain pihak kebutuhan listrik terus meningkat rata-rata 7 persen

pertahun. Pasca krisis dan stabilnya ekonomi Indonesia, pada tahun 2006 Presiden

mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 tentang penugasan kepada

PT PLN (Persero) untuk melakukan pembangunan pembangkit listrik berbahan

bakar batubara yang dikenal dengan Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit

Page 3: List Rik

3

Listrik 10.000 Megawatt Tahap 1 (Setkab, 2011).

PLTU Nii Tanasa merupakan salah satu dari proyek PLTU 10.000 MW

tahap I yang pertama di luar Jawa yang direncanakan oleh pemerintah sejak tahun

2006. PLTU ini mulai beroperasi sejak april 2011 dan menghasilkan 2x10 MW

yang berlokasi di Desa Nii Tanasa, Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten

Konawe. Operasional PLTU yang terletak di Nii Tanasa secara signifikan dapat

mengurangi penggunaan bahan bakar minyak sehingga dapat menekan biaya pokok

produksi.

Peningkatan konsumsi batubara dengan dibangunnya PLTU - PLTU

berbahan bakar batubara akan mempengaruhi kualitas udara serta dapat

mengakibatkan terjadinya pencemaran udara jika pengelolaannya tidak dilakukan

dengan baik . Pencemaran udara pada dasarnya berbentuk partikel (debu, aerosol,

timah hitam) dan gas (CO, NOX, SOX, H2S, Hidrokarbon). Udara yang tercemar

dengan partikel dan gas ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang berbeda

tingkatan dan jenisnya, tergantung dari macam, ukuran, dan komposisi kimiawinya.

Gangguan tersebut terutama terjadi pada fungsi faal dari organ tubuh seperti paru-

paru dan pembuluh darah, atau menyebabkan iritasi pada mata dan kulit. Menurut

Shecter, M. Kim & M. Golan, L, dampak pencemaran udara terhadap kesehatan

dan kesejahteraan manusia karakteristiknya, yaitu defisiensi oksigen dalam darah,

iritasi mata, iritasi dan gangguan sistem pernapasan, kanker, gangguan sistem saraf,

gangguan reproduksi dan genetika (Huboyo & Budiharjo, 2008).

Penggunaan batu bara sebagai bahan bakar akan berdampak pada

peningkatan kandungan SO2 yang dilepaskan ke atmosfer. Jenis gas SO2 ini dalam

Page 4: List Rik

4

lingkungan akan berbahaya bila memiliki konsentrasi di atas ambang batas. Dalam

atmosfer, sebagian SO2 akan berubah menjadi SO3 melalui proses photochemical

dan proses katalis. Pengaruh SO2 terhadap manusia diantaranya dapat mengggangu

kesehatan manusia terutama dalam saluran pernafasan, mempengaruhi proses

pertumbuhan tanaman dan fungsi organ tubuh hewan, memperceoat kerusakan fisik

pada material dan struktur tertentu seperti korosi, juga dapat menimbulkan

pengurangan visibilitas dan hujan asam (Soenarmo, 1999).

Pelepasan SO2 oleh cerobong asap ke udara akan mengakibatkan penurunan

kualitas udara. Menurut Keputusan Menteri lingkungan Hidup No.

Kep-13/MENLH/3/1995 tentang baku mutu sumber emisi tidak bergerak, dimana

ditetapkan untuk emisi SO2 dari PLTU adalah 1500 µg/m3. Tinggi konsentrasi SO2

di udara akan berdampak terhadap penerima khususnya manusia, hewan,

tumbuhan, dan material di sekitar lingkungan yang tercemar. Sehingga perlu adanya

studi mengenai penyebaran polutan, dan penggunaan model matematika merupakan

bentuk usaha yang dilakukan. Dengan melakukan pemodelan polutan, arah dan

konsentrasi dapat disimulasikan sehingga dapat diperkirakan besarnya konsentrasi

sebagai fungsi ruang dan waktu.

Berdasarkan konsep dari mekanika fluida, semua bahan hanya terdiri dari

dua keadaan saja, yaitu fluida dan zat padat (White, 1994). Dengan menggunakan

definisi dari fluida, terdapat dua macam fluida, yaitu zat cair dan gas. Sehingga

dengan memandang dari konsep mekanika fluida, emisi gas SO2 dari cerobong

merupakan sebuah fluida bergerak. Terdapat sebuah model dinamika yang

melibatkan aliran fluida yaitu Computational Fluent Dynamic (CFD) atau Model

Page 5: List Rik

5

Fluent.

Fluent merupakan alat yang sangat berguna dengan kemampuan yang tinggi

untuk menganilisis permasalahan yang berkaitan dengan aliran fluida (Duffin,

Braden and Adam, C., 2006). Selama ini Fluent banyak digunakan untuk

mensimulasikan aliran fluida khususnya dalam dunia teknik karena diakui

kemampuannya (zevenhoven, 2000). Model CFD dapat memberikan hasil dengan

detail dan akurasi yang tinggi dalam memprediksikan kondisi angin dan turbulensi

untuk menghitung transport udara, penyebaran kimia, biliogis dan bahan nuklir

(Camelli, 2004).

Saat ini CFD banyak diterima secara luas dalam dunia engineering dengan

kemampuannya menyelesaikan permasalahan dispersi kimia dengan mengangkat

isu geometri dan teori-teori físika dalam model (Corrier, 2005). Dengan

memanfaatkan kemampuan Fluent dalam mensimulasikan aliran fluida, dalam

penelitian ini akan dicobakan suatu simulasi penyebaran gas SO2 dengan

menggunakan model Fluent sehingga dengan adanya suatu studi pemodelan

pencemaran udara ini maka kualitas udara pada suatu area dapat diprediksikan dan

dampak yang ditimbulkan oleh sumber emisi dapat ditanggulangi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang maka masalah

yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pola penyebaran gas SO2 dengan menggunakan model Fluent

yang diemisikan dari cerobong PLTU Nii Tanasa pada berbagai kelas

stabilitas udara.

Page 6: List Rik

6

2. Bagaimana konsentrasi SO2 di suatu wilayah tertentu yang diemisikan dari

cerobong PLTU Nii Tanasa pada berbagai kelas stabilitas udara.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, maka penelitian ini

dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Mensimulasikan pola penyebaran gas SO2 dengan menggunakan model

Fluent yang diemisikan dari cerobong PLTU Nii Tanasa pada berbagai kelas

stabilitas udara.

2. Menentukan konsentrasi polutan SO2 di suatu wilayah tertentu yang

diemisikan dari cerobong PLTU Nii Tanasa pada berbagai kelas stabilitas

udara.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:

1. Memberikan gambaran kepada pihak terkait mengenai pola dispersi polutan

SO2, sehingga dapat diterapkan dalam rangka penyempurnaan upaya

pengelolaan kualitas udara di Kota Kendari

2. Memberikan gambaran tentang konsentrasi SO2 terhadap masyarakat yang

bermukim di sekitar lokasi PLTU.

3. Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.

Page 7: List Rik

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Komposisi Atmosfer

Secara alami atmosfer terdiri dari berbagai gas, jumlahnya ada yang tetap

dari waktu ke waktu dan ada yang berfluktuasi, karena adanya masukan yang berasal

dari berbagai aktivitas makhluk hidup di permukaan bumi. Fungsi atmosfer adalah

untuk mencegah pemanasan dan pendinginan permukaan bumi yang berlebihan dan

menyediakan gas-gas tertentu bagi organisme. Atmosfer sendiri merupakan suatu

medium yang sangat dinamik, ditandai dengan kemampuan-kemampuan sebagai:

penyebaran (dispersion), pengenceran (dilutions), difusi (antar molekul gas atau

partikel/aerosol) dan transformasi fisikkimia dalam proses dan mekanisme kinetik

atmosferik.

Pergerakan dan dinamika serta kimia atmosferik, merupakan faktor-faktor

yang sangat menentukan keberadaan pencemar udara setelah diemisikan dari

sumbernya. Schnitzhofer et.al. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi

udara dengan menggunakan PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass

Spectrometer). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencampuran polutan terjadi

sampai di atas 100 m AGL (above ground level). Pada ground level meningkat

karena kesetimbangan radiasi, kemudian polutan meningkat karena inversi dan

pengenceran.

Dalam atmosfer dari permukaan bumi hingga ketinggian 80 – 90 km

berbagai gas berada secara tetap dalam bentuk campuran, kecuali pada saat

Page 8: List Rik

8

perubahan kecil selama periode yang pendek dan pada wilayah di luar batas

ketinggian tersebut. Sementara itu kadar gas di atmosfer yang bersifat tidak tetap,

selengkapnya ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Gas-gas Tidak Tetap dalam Atmosfer Gas Persentase Volume

Air (H2O) Karbon dioksida (CO2) Ozon (O3) Sulfur dioksida (SO2) Nitrogen dioksida (NO2)

0 – 7 0,01 – 0,1 (rata-rata = 0,032) 0 – 0,1 (pada ketinggian 20 – 50 km) 0 – 0,0001 0 – 0,00002

Sumber: Anon (1971) Ada empat macam gas terbanyak di udara yakni: nitrogen (78,08%),

oksigen (20,94%), argon (0,90%) dan karbondioksida (0,03%). Di samping

keempat gas tersebut, udara mengandung gas-gas lain dalam jumlah yang sangat

kecil, di antaranya ada yang merupakan pencemar udara yaitu: NH3, SO2, CO dan

H2S, selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Susunan Gas di Atmosfer Pada Suhu dan Tekanan Udara Baku

Jenis Gas Simbol Volume (%) A

Kandungan (μg/Nm3) B C

Nitrogen N2 78,80 9,75 x 108 Oksigen O2 20,94 2,99 x 108 Argon Ar 0,93 1,60 x 107 Karbon dioksida CO2 0,03 5,90 x 105 Neon Ne 1,60 x 107 Helium He 920 Kripton Kr 4.100 Hidrogen H 26-90 Ozon O3 10-15 Metana CH4 1.080 Oksida nitrogen NOx 0-6 Sulfur dioksida SO2 2-50 Ammonia NH3 0-15 Karbon monoksida CO 130 Hidrogen Sulfur H2S 3-30 Sumber: A dan B : Barry and Chorly (1968); Gordon et al (1998), di troposfer sampai ketinggian 25 km. C : Bowen (1979), sampai ketinggian 100 m. Suhu baku adalah 25oC, tekanan udara baku adalah 1 atmosfer

Page 9: List Rik

9

B. Pencemar Udara

Pencemaran merupakan hasil sampingan dari industrialisasi penghasil barang

yang dapat berupa padat, cair, maupun gas. Zat pencemar yang berbentuk padat

dapat dibuang langsung ke dalam tanah atau ke dalam sungai dan laut, tetapi zat

pencemar berupa gas, partikel halus, dan panas terdispersi ke dalam atmosfer

Menurut Soenarmo (1999) pencemaran udara didefinisikan sebagai berikut :

“Pencemaran udara adalah adanya atau masuknya salah satu/lebih zat

pencemar di udara dalam jumlah dan waktu tertentu, yang dapat menimbulkan

gangguan pada manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya.”

Berdasarkan definisi di atas, semua partikel pada, cair, gas yang terdapat di

atmosfer dengan tingkat konsentrasi yang dapat menimbulkan efek

kerusakan/gangguan dianggap sebagai polutan.

Pencemar udara adalah substansi di atmosfer yang pada kondisi tertentu

akan membahayakan manusia, hewan, tanaman atau kehidupan mikroba atau bahan

bangunan (Oke, 1978). Pencemar udara dapat dikelompokkan berdasar caranya

menjadi polutan, yaitu polutan primer dan polutan sekunder, dapat juga berdasarkan

jumlah yang dihasilkan yaitu pencemar mayor dan pencemar minor, berdasarkan

bentuk fisik yaitu gas, cair dan padat (partikel). Pencemar udara dihasilkan oleh

alam dan juga terutama oleh kegiatan manusia (man-made pollution). Pencemar

udara yang disebabkan oleh kegiatan manusia terutama merupakan hasil dari

kegiatan transportasi, industri dan urbanisasi.

Pencemaran udara dapat diartikan juga sebagai adanya satu atau lebih

pencemar yang masuk ke dalam udara atmosfer yang terbuka, yang dapat berbentuk

Page 10: List Rik

10

sebagai debu, uap, gas, kabut, bau, asap, atau embun yang dicirikan bentuk

jumlahnya, sifatnya dan lamanya. Pencemaran udara dibataskan sebagai

menurunnya kualitas udara sehingga akibatnya akan mempengaruhi kesehatan

manusia yang menghirupnya. Salah satu faktor penyebab meningkatnya

pencemaran udara adalah semakin meningkatnya populasi penduduk di suatu

tempat, terutama di Kota-kota Besar. Kegiatan transportasi, industri dan aktivitas

penduduk menjadi sumber pencemaran udara. Miller (1979) membagi bahan

pencemar udara menjadi: karbon oksida (CO, CO2), sulfur oksida (SO2, SO3),

nitrogen oksida (N2O, NO, NO2), hidrokarbon (CH4, C4H10, C6H6), fotokimia

oksidan (O3, PAN dan aldehida), partikel (asap, debu, jelaga, asbestos, logam,

minyak dan garam), senyawa inorganik (asbestos, HF, H2S, NH3, H2SO4, H2NO3),

senyawa inorganik lain (pestisida, herbisida, alkohol, asam-asam dan zat kimia

lainnya), zat radioaktif, panas, dan kebisingan. Pengaruh yang sangat penting

adanya pencemaran udara pada manusia adalah dalam aspek: kesehatan,

kenyamanan, keselamatan, estetika dan perekonomian.

Pencemaran udara dapat digolongkan ke dalam tiga kategori; pergesekan

permukaan, penguapan, dan pembakaran. Pergesekan permukaan adalah penyebab

utama pencemaran partikel padat di udara dan ukurannya dapat bemacam-macam,

misalnya: penggergajian, dan pengeboran. Kemudian penguapan merupakan

perubahan fase cair menjadi gas. Polusi udara banyak disebabkan zat-zat yang mudah

menguap, seperti pelarut cat dan perekat. Sementara itu pembakaran merupakan

reaksi kimia yang berjalan cepat dan membebaskan energi cahaya atau panas.

Bahan bakar yang umum digunakan ialah kayu, batubara, kokas, minyak, semuanya

Page 11: List Rik

11

mengandung karbon, sehingga dalam proses pembakaran dihasilkan senyawa

karbon dioksida dan air, disamping arang dan jelaga.

Kriteria dampak pencemaran udara, mengacu pada Peraturan Pemerintah

No. 27 Tahun 2012 dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak

Lingkungan No. KEP-056/Tahun 1994 sebagai berikut: (1) jumlah manusia yang

terkena dampak, (2) luas wilayah persebaran dampak, (3) lamanya dampak

berlangsung, (4) intensitas dampak, (5) banyaknya komponen lingkungan lain yang

terkena dampak, (6) sifat kumulatif dampak, dan (7) berbalik (reversible) atau tidak

berbalik (irreversible) dampak.

Menurut PP 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara,

sumber penyebab terjadinya pencemaran udara (oleh kegiatan manusia), dapat

dikelompokkan menjadi:

1. Sumber bergerak, yaitu yang berasal dari kegiatan transportasi/kendaraan

bermotor,

2. Sumber bergerak spesifik, yaitu yang berasal dari kereta api, pesawat

terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya,

3. Sumber tidak bergerak, yaitu yang berasal dari sumber emisi yang tetap

pada suatu tempat, misalnya cerobong asap dari suatu pabrik, dan

4. Sumber tidak bergerak spesifik, yaitu yang berasal dari kebakaran

hutan/lahan dan pembakaran sampah.

Sumber pencemaran udara dapat digolongkan menjadi sumber area, sumber

titik dan sumber garis.

Page 12: List Rik

12

1. Sumber titik, merupakan sumber yang mengemisikan gas buang dari titik

cerobong, misalnya berasal dari cerobong sebuah industri dan PLTU.

2. Sumber garis, merupakan integrasi dari sumber-sumber bergerak yang

mengemisikan gas buang sehingga dapat dianggap menjadi sumber garis

NOx, partikel, SOx.

3. Sumber area, yang sebenarnya merupakan integrasi dari banyak sumber titik

dan sumber garis, contoh beberapa industri yang sejenis, daerah

penimbunan sampah.

Pencemar udara di lingkungan dapat diklasifkasikan menjadi 2 (dua)

kelompok berdasar asal mulanya dan kelanjutan perkembangannya di udara yaitu:

Sumber pencemar primer dan sumber pencemar sekunder (KLH, 2009).

1. Pencemar primer adalah semua pencemar yang berada di udara yang dalam

bentuk hampir tidak berubah, sama seperti saat ia dibebaskan dari

sumbernya semula sebagai hasil dari suatu proses tertentu. Pencemar primer

pada umumnya berasal dari sumber-sumber yangdiakibatkan oleh aktivitas

manusia, seperti dari industri maupun emisi kendaraan bermotor seperti CO,

SO2, NOx, H2S, NH3, bertindak sebagai precursor untuk terbentuknya zat

pencemar sekunder.

2. Pencemar sekunder adalah semua pencemar di udara yang sudah berubah

karena hasil reaksi tertentu antara dua atau lebih kontaminan/polutan

primer dengan kontaminan/polutan lain yang ada dalam udara. Dalam KLH

(2009) dijelaskan bahwa zat-zat yang menyebabkan terjadinya pencemaran

udara bentuk fisiknya berupa gas maupun partikel.

Page 13: List Rik

13

Bentuk gas dapat berupa:

1. Senyawa karbon (hidrokarbon/HC, CO, dan CO2),

2. Senyawa sulfur (SOx), senyawa nitrogen (NOx), dan

3. Senyawa halogen.

Bentuk partikel dapat berupa:

1. Aerosol, yaitu istilah umum yang menyatakan adanya partikel yang

terhambur dan melayang di udara.

2. Fog atau kabut, adalah aerosol yang berupa butiran-butiran air yang

berada di udara.

3. Smoke atau asap, adalah aerosol yang berupa campuran antara butir

padatan dan cairan yang terhambur melayang di udara.

4. Dust atau debu, adalah aerosol yang berupa butiran padat yang terhambur

dan melayang di udara karena adanya hembusan angin.

5. Mist, mirip kabut tetapi berupa butiran-butiran cairan (bukan air) yang

terhambur dan melayang di udara.

6. Fume, mirip dengan asap tetapi penyebabnya adalah aerosol yang berasal

dari kondensasi uap panas (khususnya uap logam).

7. Plume adalah asap yang keluar dari cerobong asap suatu industri.

8. Haze adalah setiap bentuk aerosol yang mengganggu pandangan di udara.

9. Smog adalah bentuk campuran antara smoke dan fog.

10. Smaze, hanya dipakai di Amerika untuk campuran antara smoke dan haze.

Ada beberapa jenis gas polutan primer yang terdapat di atmosfer, antara lain

adalah karbon, sulfur, dan nitrogen. Emisi dari ketiga jenis gas ini ke atmosfer dan

Page 14: List Rik

14

distribusi penyebarannya telah banyak dipelajari oleh para ahli. Sulfur dioksida

(SO2) merupakan gas yang akan disimulasikan dalam penelitian ini.

Kondisi yang menyatakan udara dalam keadaan layak atau tidak bagi

kelangsungan mahluk hidup dan benda lainnya disebut dengan kualitas udara.

Standarisasi penetapan kelayakan kondisi atmosfer disebut dengan standar baku

mutu. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep13/MENLH/3/1995

tentang baku mutu sumber emisi tidak bergerak, dimana dalam hal ini di tinjau baku

mutu emisi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap ditetapkan sebagai berikut:

Tabel 3. Baku Mutu Emisi Polutan SO2 yang Bersumber dari PLTU Batubara

Parameter Batas Maksimum (µg/m3)

1 . Total Partikel 300 2 . Sulfur Dioksida 1500 3 . Nitrogen Oksida 1700 4 . Opasitas 40 %

Pengaruh pencemaran udara terhadap manusia tergantung pada pencemar

yang ada di udara. Pada tabel 4 dimuat beberapa jenis pencemar udara dan

pengaruhnya terhadap manusia.

Tabel 4 . Beberapa Jenis Pencemar Udara dan Pengaruhnya Terhadap Manusia

Jenis pencemar udara Pengaruh terhadap manusia

Karbon monoksida (CO) Menurunkan kemampuan darah membawa oksigen, melemahkan berpikir, penyakit jantung, pusing, kelelahan, sakit kepala dan kematian

Sulfur dioksida (SO2) Memperberat penyakit saluran pernafasan, melemahkan pernafasan dan iritasi mata

Nitrogen oksida (NOx) Memperberat penyakit jantung dan pernafasan, dan iritasi paru-paru

Hidrokarbon Mempengaruhi sistem pernafasan, beberapa jenis dapat menyebabkan kanker

Page 15: List Rik

15

Oksigen fotokimia (O3) Memperberat penyakit jantung dan pernafasan, iritasi mata, iritasi kerongkongan dan saluran pernafasan

Debu Penyakit kanker, memperberat penyakit jantung dan pernafasan, batuk, iritasi kerongkongan dan dada tak enak

Amonia (NH3) Iritasi saluran pernafasan Hidrogen sulfida (H2S) Mabuk (pusing), iritasi mata dan kerongkongan dan

racun pada kadar tinggi Logam dan senyawa logam Menyebabkan penyakit pernafasan, kanker,

kerusakan syaraf dan kematian Sumber: Hartogensis (1977); Fardiaz (1992); Nukman (1998); Holper dan Noonan (2000) 1. Sulfur Dioksida (SO2)

Polusi oleh sulfur dioksida terutama disebabkan oleh dua komponen gas

yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3)

dimana keduanya disebut SOx. Sulfur dioksida mempunyai karakteristrik bau

yang sangat tajam dan tidak terbakar di udara, sedangkan sulfur trioksida

merupakan komponen yang tidak reaktif.

Masalah yang ditimbulkan oleh polutan yang dibuat manusia adalah

dalam hasil distribusinya yang tidak merata sehingga terkonsentrasi pada

daerah tertentu, bukan dari jumlah keseluruhannya. Transportasi merupakan

sumber utama polutan sulfur dioksida, tetapi pembakaran bahan bakar pada

sumbernya merupakan sumber utama polutan sulfur dioksida ini.

Adanya polusi oleh sulfur dioksida pada awalnya diketahui dari

perusakan secara ekstensif pada tanaman. Salah satu efek utamanya pada

tumbuhan hijau adalah klorosis (kehilangan klorofil dan plasmolisis

(kerusakan sel daun). Efek tersebut dapat berlangsung dengan cepat padan

konsentrasi sulfur dioksida tinggi dan dapat berlangsung lambat pada

Page 16: List Rik

16

konsentrasi rendah. Pada hewan dampak kerusakan/gangguan yang terjadi oleh

sulfur dioksida memiliki pengaruh yang sama seperti pada manusia. Polusi

sulfur dioksida dapat menyebabkan kerusakan gangguan pernapasan. Dan pada

konsentrasi tinggi, senyawa ini dapat menyebabkan iritasi pada mata hidung

dan tenggorokan. Konsentrasi yang berpengaruh terhadap manusia dapat

dilihat seperti dalam tabel berikut:

Tabel 5. Pengaruh Konsentrasi Sulfur Dioksida Terhadap Kesehatan Manusia Konsentrasi

(ppm) Pengaruh

3 - 5 Jumlah terkecil yang dapat dideteksi dari baunya 8 – 12 Jumlah terkecil yang bisa mengakibatkan iritasi

tenggorokan 20 Jumlah terkecil yang segera menimbulkan iritasi mata 20 Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan batuk 20 Maksimum yang diperbolehkan untuk kontak dalam

waktu lama

50 – 100 Maksimum yang diperbolehkan untuk kontak dalam waktu singkat (30 menit)

400 - 500 Berbahaya meskipun kontak secara singkat Sumber : KLH, 2009

2. Sumber Pencemar Udara

Pencemaran udara terjadi akibat dilepaskannya zat pencemar dari

berbagai sumber ke udara. Sumber-sumber pencemar udara dapat bersifat alami

maupun antropogenik (aktivitas manusia). Peraturan Pemeritah (PP) mengenai

pengelolaan udara yang saat ini berlaku di Indonesia yaitu PP No. 41/1999

mendefinisikan sumber pencemar sebagai setiap usaha dan/atau kegiatan yang

mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak

berfungsi sebagaimana mestinya. PP ini kemudian menggolongkan sumber

pencemar atas lima kelompok, yaitu: (1) sumber bergerak, sumber emisi yang

Page 17: List Rik

17

bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan

bermotor; (2) sumber bergerak spesifik, serupa dengan sumber bergerak namun

berasal dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya;

(3) sumber tidak bergerak, sumber emisi yang tetap pada suatu tempat; (4)

sumber tidak bergerak spesifik, serupa dengan sumber tidak bergerak namun

berasal dari kebakaran hutan dan pembakaran sampah; dan (5) sumber

gangguan, sumber pencemar yang menggunakan media udara atau padat untuk

penyebarannya. Sumber ini terdiri dari kebisingan, getaran, dan kebauan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan sumber pencemar

atas sumber tidak bergerak, sumber bergerak dan sumber dalam ruangan. Di

kotakota Besar di Indonesia, sumber bergerak telah mendominasi emisi

pencemar udara. Di Jakarta misalnya, kendaraan bermotor telah

menyumbangkan 70 % dari pencemar PM10 dan NOx Tahun 1998. Faktor yang

mempengaruhi tingginya pencemaran udara dari kendaraan bermotor adalah

pesatnya pertambahan jumlah kendaraan bermotor, rendahnya kualitas bahan

bakar minyak dan masih digunakannya jenis bahan bakar minyak mengandung

Pb, penggunaan teknologi lama (sistem pembakaran) pada sebagian besar

kendaraan bermotor di Indonesia dan minimnya budaya perawatan kendaraan

secara teratur.

Sumber pencemar udara dari sumber tidak bergerak terdiri dari industri,

rumah tangga, dan kebakaran hutan. Sektor industri merupakan penyumbang

pencemaran udara setelah kendaraan bermotor, melalui penggunaan bahan

bakar fosil untuk pembangkit tenaga. Penggunaan bahan bakar fosil dan kayu

Page 18: List Rik

18

di rumah tangga ikut menyumbang pencemaran udara dari sumber tidak

bergerak meskipun tidak sebesar kontribusi pencemaran industri. Kemudian

asap pekat dari kebakaran hutan menjadi bahan pencemar udara. Hasil dari

proses pembakaran, di dalam asap terkandung campuran gas-gas dan partikel-

partikel yang mengancam kesehatan manusia dan menambah jumlah gas rumah

kaca di atmosfer.

Produksi energi, pengangkutan, konversi serta rumah tangga, industri

dan penggunaan kendaraan bermotor, merupakan penyumbang antropogenik

utama kepada polusi udara. Bahan-bahan pencemar utama yang penting adalah

timbal, partikel halus, karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx),

hidrokarbon, sulfur dioksida (SO2), dan karbon diokida (CO2). Menurut

Novontny dan Chlesters (1981) sumber polusi udara global adalah:

a. Emisi dari kota dan industri: pembangkit energi, industri dan domestik;

b. Emisi dari pertanian dan hutan: erosi tanah oleh angin, slash burning dari

kebakaran hutan, komponen pupuk dan pestisida yang terbawa erosi angin,

dekomposisi limbah pertanian dan peternakan;

c. Emisi yang terjadi secara alami dalam skala global: tiupan debu dari

daerah kering dan gurun, kebakaran hutan, semak dan rumput, letusan

gunung berapi, emisi hidrokarbon dari hutan dan aktivitas budidaya hutan,

percikan air laut, serta evaporasi dari tubuh air.

3. Penyebaran Pencemar Udara

Penyebaran pencemar udara berhubungan dengan keadaan atmosfer,

sedangkan keadaan atmosfer tergantung pada perubahan sistem cuaca, sirkulasi

Page 19: List Rik

19

angin regional dan turbulensi, dan efek mikrometeorologi. Parameter-

parameter penting yang diperlukan dalam menetapkan potensi penyebaran

pencemar udara ialah: ketinggian bercampur, tinggi pembalikan, kecepatan

angin tahunan, potensi tinggi pencemar udara yang dapat mempengaruhi suatu

area, dan kejadian harian. Adapun efek mikrometeorologi tergantung pada

insolasi solar, topografi, kekasapan permukaan, albedo permukaan, lahan yang

digunakan dan radiasi panjang gelombang (Mikkelsen, 2003).

Penyebaran pencemar udara, terutama dari industri ditentukan oleh

tinggi cerobong (stack). Semakin tinggi stack yang digunakan, semakin jauh

jarak sebaran polutan yang diemisikan. Good Engineering Practice (GEP)

mengusulkan secara ekstrim, bahwa tinggi stack harus 305 meter (Leonard,

1997). Sebaran polutan dari kegiatan industri dengan ketinggian cerobong di

atas lima puluh meter diduga dapat memberikan dampak sebaran polutan

sampai dengan jarak yang cukup jauh dari lokasi sumber. Untuk industri dengan

daya yang besar, tinggi cerobong asap harus di atas 200 meter (Forsdyke, 1970).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan

Penyebaran polutan di atmosfer dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Menurut Stull (2000), penyebaran polutan di atmosfer melibatkan tiga

mekanisme utama yaitu gerakan udara secara global, fluktuasi kecepatan

turbulensi yang akan menyebarkan polutan ke seluruh arah dan difusi massa

akibat perbedaan konsentrasi. Sementara itu penyebaran polutan dari suatu

sumber emisi selain dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi juga oleh

karakteristik meteorologi dan tofografi setempat (Oke, 1978).

Page 20: List Rik

20

Faktor meteorologi yang berpengaruh langsung terhadap penyebaran

polutan adalah angin (meliputi arah dan kecepatan) serta stabilitas atmosfer.

Huang et.al. (2005) membuat simulasi CFD (Computational Fluid Dynamic)

dengan radiasi dan analisis konduksi yang diangkat keluar untuk menganalisis

dispersi polutan dengan kondisi non istermal di Kota Kawasaki Jepang. Hasil

simulasi menunjukkan bahwa kecepatan angin rata-rata di atas bangunan sekitar

2 m/s secara signifikan besarnya menurun karena efek bloking bangunan.

Penyebaran polutan searah dengan arah angin. Sementara itu Mayhoub, Essa

dan Aly (2003) membangun bentuk analisis dispersi polutan untuk kondisi

atmosfer yang berbeda. Hubungan antara jarak peluruhan (downwind dan

crosswind) sebanding dengan tinggi inversi. Kecepatan angin dan koefisien

difusi berbeda untuk stabilitas atmosfer yang berbeda (stabil dan netral).

Variabel lain yang bertalian dengan meteorologi terdiri dari unsur-unsur

radiasi matahari, suhu dan tekanan udara, curah hujan, kelembapan, dan

evaporasi. Arah angin akan menentukan arah penyebaran polutan, sedangkan

pola penyebaran polutan tergantung pada lokasi sumber pencemar, kondisi

meteorologi serta topografi daerah.

a. Stabilitas Atmosfer

Stabilitas atmosfer menurut Stull (2000) terbagi dua, ada yang

statis dan ada yang dinamis. Stabilitas dinamis ditentukan oleh faktor

buoyancy (daya apung udara akibat pemanasan oleh radiasi matahari) dan

wind shears (gesekan yang terjadi antara dua lapisan atmosfer dengan arah

angin berbeda), sedangkan stabilitas statis hanya mempertimbangkan

Page 21: List Rik

21

faktor buoyancy.

Karakteristik yang dapat menunjukkan stabilitas atmosfer adalah

gradien suhu potensial (dθ/dZ). Suhu potensial (θ) adalah suhu yang akan

dimiliki suatu paket udara kering jika bergerak secara adiabatik dari

tekanan tertentu (p) menuju permukaan atau tekanan standar po. Umumnya

po digunakan 1000 mb (Wark dan Warner, 1981).

휃 = 푇/

(1)

dengan Rd adalah konstanta gas universal untuk udara kering dan nilai

eksponen untuk udara kering adalah 0,286 (Stull, 2000).

Secara umum stabilitas statis terdiri dari tiga kondisi kestabilan

yaitu stabil, tidak stabil dan netral. Gambar 1 menunjukkan stabilitas

atmosfer ditinjau dari laju penurunan suhu paket udara dan lingkungan serta

gradien suhu potensial. Pada gambar tersebut Environmental Lapse Rate

(ELR) adalah laju penurunan suhu lingkungan, sedangkan Г adalah laju

penurunan suhu paket udara.

Kondisi tidak stabil adalah kondisi ketika laju penurunan suhu

paket udara lebih kecil dibandingkan laju penurunan suhu udara

lingkungannya, sehingga pada ketinggian yang sama, suhu paket udara

lebih tinggi dibanding lingkungannya. Paket udara ini akan cenderung

mengembang secara vertikal, pergerakan secara horisontal akan

bergantung arah anginnya. Hal ini terjadi biasanya pada siang hari dengan

radiasi matahari tinggi. Berkaitan dengan suhu potensial, pada kondisi

stabil gradien suhu potensial terhadap ketinggian negatif.

Page 22: List Rik

22

Sumber: Oke (1978)

Gambar 1. Stabilitas Atmosfer Ditinjau dari Laju Penurunan Suhu

Kondisi netral ditunjukkan oleh laju penurunan suhu paket udara

yang sama dengan laju penurunan suhu udara lingkungannya, sehingga

suhu keduanya akan sama pada ketinggian yang sama. Menurut Stull

(2000), pada kondisi ini jika udara tidak jenuh, maka dT/dZ=-Гd, jika

udara jenuh uap air dT/dZ=-Гs (laju penurunan suhu udara jenuh). Apabila

diekspresikan dengan suhu potensial, maka kondisi netral ditunjukkan oleh

dθ/dZ=0, jika udara tidak jenuh, dan dθ/dZ=Гd-Гs biasa terjadi siang

ataupun malam hari, berangin dan atau berawan.

Kondisi stabil terjadi jika laju penurunan suhu paket udara lebih

besar dibandingkan dengan laju penurunan suhu udara lingkungannya.

Pada ketinggian yang sama suhu paket udara lebih rendah dibanding suhu

lingkungannya, sehingga tidak akan dapat berkembang vertikal. Hal ini

menyebabkan suatu paket udara cenderung stabil ditempatnya.

Atmosfer dikatakan dalam kondisi inversi jika terjadi kenaikan

suhu terhadap ketinggian. Menurut Schnelle dan Dey (2000), inversi suhu

dapat terjadi akibat beberapa hal, yaitu: (1) berubahnya keseimbangan

radiasi gelombang pendek dan panjang (inversi radiasi) seperti yang

Page 23: List Rik

23

terjadi secara alami di permukaan bumi pada malam hingga dini hari, (2)

karena evaporasi, sehingga terjadi pendinginan permukaan bumi

(evaporation inversion) terutama pada siang hari saat langit cerah tanpa

awan, (3) adanya udara hangat bergerak di atas permukaan yang lebih

dingin (advection inversion), sehingga dapat membentuk kabut, dan (4)

adanya subsidensi udara dingin (udara dingin lebih berat sehingga

cenderung turun), sehingga udara yang lebih hangat naik, seperti yang

terjadi di sekitar lereng atau lembah pegunungan.

Perbedaan kondisi stabilitas atmosfer dari waktu ke waktu

menyebabkan terjadinya perbedaan dalam tipe kepulan yang dikeluarkan

suatu cerobong asap. Ada 3 tipe kepulan asap berdasarkan kondisi

stabilitas atmosfer, yaitu tipe kepulan looping pada kondisi atmosfer tidak

stabil, tipe kepulan fanning pada kondisi stabil, dan tipe kepulan coning

pada kondisi netral. Selain itu, terdapat pola peralihan, yakni tipe kepulan

fumigation yang dikaitkan dengan inversi radiatif yang pada umumnya

menghilang menjelang siang, tipe kepulan lofting tidak terjadi

pencampuran ke arah bawah, namun penyebaran ke arah atas dan tipe

kepulan trapping yang terjadi jika inversi paras atau secara fisis menjerat

gas buang dalam lapisan udara permukaan (Wahono, 2003).

Page 24: List Rik

24

Gambar 2. Tipe-tipe Kepulan Asap Cerobong

b. Turbulensi

Di atas permukaan, ketika udara bergerak akan mengalami gesekan

maupun geseran sehingga akan menimbulkan olakan (eddy), sehingga

terjadi turbulensi yang melibatkan pergerakan molekul-molekul antar

lapisan udara dikenal pula sebagai konveksi mekanik (forced convection).

Di atas ketinggian planetary boundary layer, pengaruh gesekan diabaikan.

Pada Gambar 3 divisualisasikan sketsa aliran turbulen di atas permukaan

yang halus. Pada lapisan udara yang paling dekat dengan permukaan,

terdapat lapisan tipis yang disebut laminar boundary layer (Oke, 1978),

yang merupakan lapisan dengan gerakan laminier (gerakan paralel terhadap

permukaan bumi, tidak ada komponen yang saling menyilang) dan tidak

Page 25: List Rik

25

ada konveksi, transfer non-radiasi berjalan secara molekular. Sementara

itu difusivitas molekular udara sangat kecil, sehingga kadang kala lapisan

ini menjadi penghalang yang penting antara permukaan dengan atmosfer.

Ketebalannya akan bergantung pada kekasapan permukaan dan kecepatan

angin. Jika kecepatan angin tinggi, lapisannya akan menjadi sangat tipis

bahkan akan menghilang sementara. Di atas lapisan laminier aliran udara

menjadi tidak stabil dan terdiri dari olakan (eddy) yang acak, disebut

lapisan turbulen, dengan ketebalan sekitar 50 meter di atas permukaan.

Pada lapisan ini perpindahan turbulen (konveksi) lebih efektif daripada

difusi molekular.

Menurut Schenelle dan Dey (2000), Richardson Number (Ri) dapat

digunakan sebagai indikator turbulensi indeks kestabilan atmosfer.

Parameter stabilitas dalam hal ini adalah s yang diekspresikan dalam

persamaan berikut:

푠 = ∆∆

(2)

dan 푅 =∆∆ (3)

Page 26: List Rik

26

Sumber: McIntosh dan Thom (1973)

Gambar 3. Sketsa Aliran Turbulen di Atas Permukaan yang Halus

Tabel 6. Kondisi Stabilitas Berdasar Richardson Number (Ri)

Stabilitas Ri Keterangan Stabil > 0,25 tidak ada vertical mixing, angin lemah, inversi

kuat, turbulensi mekanik diperkecil, penyebaran kepulan asap dapat diabaikan

Stabil 0 < Ri < 0,25 turbulensi mekanik ditekan oleh stratifikasi yang stabil

Netral 0 turbulensi mekanik

Tidak stabil -0,03 < Ri < 0 turbulensi mekanik dan konveksi Tidak stabil < -0,04 konveksi mendominasi, angin lemah, gerak

vertikal kuat, asap menyebar dengan cepat secara vertikal dan horisontal

Sumber: Schenelle dan Dey (2000)

c. Sirkulasi Angin Lokal

Kecepatan angin secara horisontal dipengaruhi oleh gradien tekanan

di permukaan serta kondisi kekasapan permukaan (surface roughness).

Semakin besar beda tekanan akan semakin tinggi kecepatan angin, tetapi

semakin kasap permukaan maka angin horisontal akan diperlambat. Angin

Page 27: List Rik

27

mempengaruhi penyebaran, pengenceran dan perpindahan polutan (Oke,

1978). Ketika angin bertiup, polutan mengalami penyebaran searah angin

dan jika terjadi turbulensi maka penyebaran dapat terjadi searah dan

melintas arah angin (crosswind). Kecepatan angin berimplikasi pada proses

pengenceran, semakin besar kecepatan angin maka konsentrasi semakin

mengecil. Angin dapat membawa materi polutan melintasi batas kota dan

negara sampai ratusan kilometer. Faktor iklim dan cuaca sangat menentukan

dalam penyebaran polutan di suatu wilayah. Faktor meteorologi mempunyai

peran yang sangat utama dalam menentukan kualitas udara di suatu daerah,

baik kualitas udara perkotaan, pedesaan maupun alami.

Pola angin pada jenis permukaan berbeda akan menentukan pola

dispersi yang terjadi berbeda. Pada Gambar 4.a tampak terjadi perbedaan

arah dispersi di permukaan dan lapisan di atasnya. Menurut Klipp dan

Mahrt (2003) ketika lapisan pembatas terdapat di atas dua jenis permukaan

yang berbeda, maka kesetimbangan dengan permukaan di bawahnya akan

terganggu, dan terbentuk lapisan yang disebut Internal Boundary Layer

(IBL). Pada Gambar 4.b menggambarkan pola dispersi pada permukaan

yang lebih homogen yaitu daratan (perkotaan), pola dispersi akan

menyesuaikan dengan pola angin yang terjadi.

Arah dan kecepatan angin selalu berubah-ubah sehingga

memerlukan analisis data angin untuk mendapatkan arah dan kecepatan

angin rata-rata di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Analisis ini

dikenal sebagai windrose (Cooper dan Alley, 1994). Data yang diperlukan

Page 28: List Rik

28

untuk analisis ini adalah data kecepatan dan arah angin dari waktu ke

waktu, dibuat tabel frekuensi untuk arah angin dan kisaran kecepatan angin

tertentu.

Ket: (a) Pola dispersi pada permukaan heterogen (b) Pola dispersi pada permukaan homogen

Gambar 4. Pola Dispersi pada Permukaan

Profil kecepatan angin vertikal antara urban, pedesaan atau sub-

urban serta permukaan terbuka ditunjukkan pada Gambar 5.a. Pada

ketinggian yang sama untuk ketiga jenis permukaan menunjukkan

kecepatan angin yang berbeda. Wilayah yang lebih kasap, perubahan

kecepatan angin antar ketinggiannya kecil, karena terjadi olakan yang

mengakibatkan kecepatan angin lebih homogen. Pada Gambar 5.b-e

menunjukkan pengaruh stabilitas terhadap profil kecepatan angin. Pada

kondisi stabil perbedaan kecepatan angin antar ketinggian lebih besar

dibandingkan dengan kondisi netral dan tidak stabil.

Page 29: List Rik

29

Sumber: Oke (1978)

Gambar 5. Profil Kecepatan Angin di Permukaan Kota, Suburban dan Daerah Terbuka (a), Serta Pengaruh Stabilitas (b, c, d, e)

Pada skala vertikal kecepatan angin meningkat terhadap

ketinggian, dan dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan Deacon

dalam Wark dan Warner (1981) sebagai berikut:

= (4)

Dengan: u1, u2 = kecepatan angin pada dua lapisan ketinggian yang berbeda (ms-1)

z1, z2 = ketinggian dua lapisan (m); p = fungsi stabilitas atmosfer

Menurut Geiger, Aron dan Todhunter (1995), variasi angin

terhadap ketinggian maksimum terjadi di atas permukaan yang tidak

beraturan dan minimum di atas daratan yang datar dan permukaan air. Pada

daerah yang penuh bangunan tinggi nilai p sekitar 0,40 kota kecil dan

daerah berhutan p = 0,28 sedangkan untuk daerah terbuka dan datar, danau

dan laut nilai p = 0,16.

Page 30: List Rik

30

Tabel 7. Nilai p untuk Model Profil Angin Sebagai Pengaruh Kekasapan Permukaan

Kelas stabilitas p (kota) p (desa) A 0,15 0,15 B 0,15 0,15 C 0,20 0,20 D 0,25 0,25 E 0,40 0,40 F 0,60 0,60

Sumber: Cooper dan Alley (1994)

Wark dan Warner (1981) mengemukakan bahwa nilai p pada

persamaan 5 dapat dihubungkan dengan nilai n (parameter stabilitas):

푝 = (5)

Pada kondisi netral, persamaan 5 menjadi:

푢 =∗푙푛 (6)

dengan 푢∗ = (7)

Keterangan : u = kecepatan angin pada ketinggian z k = konstanta von Karman (0,4 untuk dekat permukaan

tanah) zo= panjang kekasapan permukaan (bidang yang paling

aktif melakukan pertukaran), makin halus permukaan zo makin kecil diukur dari analisa profil

r = tegangan geser permukaan p = kerapatan atmosfer

u* = kecepatan gesekan (sher velocity) merupakan indikasi turbulensi dan bergantung ketinggian

Tabel 8. Hubungan Antara Parameter N dengan Kondisi Stabilitas Atmosfer

Kondisi stabilitas N Laju penurunan suhu besar 0,20 Laju penurunan suhu kecil atau nol 0,25 Inversi moderat 0,33 Inversi kuat 0,50

Sumber: Suton dalam Wark dan Warner (1981)

Page 31: List Rik

31

Jika ∗ dianggap sebagai suatu konstanta c, maka persamaan 6 menjadi:

푢 = 푐푙표푔 (8)

ketika terjadi inversi, udara dingin cenderung bertahan di permukaan,

sehingga:

= 푐푧 (9)

menurut Geiger, Aron dan Todhunter (1995) secara umum persamaan 9

ditulis menjadi:

= 푐푧 (10)

dengan β adalah fungsi struktur suhu (stabilitas), β = 1 untuk kondisi netral,

β < 1 untuk kondisi stabil dan β > 1 untuk kondisi tidak stabil.

d. Kondisi Topografi

Kondisi topografi suatu wilayah akan mempengaruhi angin dan

suhu udara di atasnya. Perbedaan penerimaan radiasi matahari antara datar

dan berlereng menyebabkan terjadinya pola aliran udara yang mengikuti

perbedaan suhu dan tekanan udara di atasnya.

Pengaruh topografi cukup rumit, sehingga menurut Barry (1968),

perlu mengenali jenis pegunungan dengan kriterianya. Pada dasarnya

perlu dibedakan antara puncak yang terisolasi, yaitu rangkaian

pegunungan yang cukup besar untuk memodifikasi aliran udara ke atas

maupun ke bawah, dan dataran tinggi yang membentuk penghalang utama

untuk gerakan udara dan memiliki iklim sendiri. Puncak yang tinggi

mengalami suhu yang hampir sama dengan udara bebas pada ketinggian

Page 32: List Rik

32

yang sama, sementara dataran tinggi dipanaskan dan didinginkan oleh

proses radiasi. Lembah diantara dataran tinggi memiliki atmosfer

‘tertutup’ yang secara diurnal dimodifikasi oleh pendinginan malam hari,

khususnya di musim dingin dan dinaikkan (suhunya) oleh pemanasan

siang hari.

Wilayah dengan topografi datar, pola anginnya relatif tidak

mengalami gangguan, seperti yang dikemukakan oleh Zhang dan Ghoniem

(1993) bahwa pengaruh topografi datar terhadap dispersi dan lintasan

kepulan sangat kecil. Untuk daerah dengan berpegunungan gerakan udara

(angin) akan mendapatkan hambatan sehingga terjadi gerakan udara ke

atas secara mekanik (forced convective). Topografi juga dapat mengubah

arah dan kecepatan angin dengan cepat karena adanya saluran (chanelling)

melalui lembah, dan city-street canyon, atau pemisahan aliran. Menurut

Bibero dan Young (1974) profil kota yang kasar menjadi tempat

penyerapan energi kinetik dan memperlambat angin.

C. Peranan Atmosfer dalam Pencemaran Udara

Beberapa proses penting yang terjadi di atmosfer dalam permasalahan

pencemaran udara diantarnya adalah proses dispersi, transformasi, transport serta

dilusi. Seluruh proses tersebut dipengaruhi oleh faktor meteorologi seperti cuaca

dan iklim Masing-masing proses tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Page 33: List Rik

33

1. Proses Dispersi

Karakteristik polutan sangat menentukan keberadaan dan perilaku

polutan itu sendiri di atmosfer. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari

kondisi fisis dan dinamis atmosfer. Menurut Stull (2000), proses dispersi

polutan di atmosfer melibatkan tiga mekanisme utama, yaitu gerakan global,

fluktuasi turbulensi dan difusi polutan terhadap lingkungan sekitar akibat

perbedaan konsentrasi. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses

dispersi polutan itu sendiri diantaranya adalah faktor atau aspek meteorologis,

sifat fisis dan sifat kimia zat polutan, kondisi geografi serta topografi sumber

polutan.

Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan

campuran dari satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan,

atau gas yang masuk kemudian terdispersi ke udara dan menyebar ke

lingkungan sekitarnya. Selain itu, kondisi atmosfer sangat berpengaruh

terhadap proses laju difusi atau penyebaran bahan pencemar baik secara

vertikal maupun horizontal (Suharsono 1985).

Pada skala yang lebih mikro, karakteristik permukaan dan kontur

permukaan seperti pepohonan, bukit, pegunungan dan bangunan dapat

menimbulkan turbulensi lebih besar. Sementara dengan angin yang lemah

dan turbulensi lebih kecil dapat memperkecil terjadinya proses percampuran

antara zat pencemar dengan zat-zat lainnya di lingkungan sekitar. Sehingga,

pengenceran akan lebih sulit terjadi dan membuat konsentrasi zat pencemar

tetap tinggi (Oke 1987).

Page 34: List Rik

34

Selain faktor angin, suhu juga turut berpengaruh dalam proses dispersi

polutan. Suhu merupakan energi kinetik rata-rata dari pergerakan molekul-

molekul, sementara panas adalah salah satu bentuk energi yang dikandung

oleh suatu benda (Handoko 1993). Pada lapisan troposfer, laju suhu udara

akan menurun seiring bertambahnya ketinggian atau lapse rate (dt/dz < 0).

Namun hal tersebut tidak selalu berlaku di permukaan, karena pada waktu

tertentu laju suhu akan meningkat terhadap ketinggian atau inversi (dt/dz >

0). Sehingga hal tersebut dapat berpengaruh terhadap efek stabilitas atmosfer

yang berperan dalam pendistribusian polutan secara vertikal.

Pada saat suhu udara parsel cenderung lebih tinggi dari lingkungan,

maka massa udara polutan akan naik dan menyebar, kondisi inilah yang

dinyatakan sebagai stabilitas atmosfer tidak stabil, sehingga tidak

membahayakan makhluk hidup dalam jangka pendek. Sebaliknya, ketika

suhu udara parsel cenderung lebih rendah dari lingkungan maka kondisi

tersebut dinyatakan sebagai stabilitas atmosfer stabil. Pada kondisi ini

massa udara polutan tidak dapat naik namun tetap berada di atmosfer dan

terakumulasi, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi polutan di udara.

Kelembaban udara juga termasuk salah satu unsur cuaca yang

mempengaruhi proses distribusi pencemar udara. Nilai RH yang rendah

akan menyebabkan konsentrasi polutan di atmosfer meningkat. Hal ini

dikarenakan RH menghalangi pemanasan surya terhadap permukaan. Pada

siang hari, suhu udara relatif tinggi dibandingkan malam hari sehingga

memiliki kandungan uap air jauh lebih rendah dibandingkan pada saat

Page 35: List Rik

35

malam hari. Di sisi lain, konsentrasi partikel tersuspensi yang mengalami

peningkatan di udara juga akan berakibat pada berkurangnya jarak pandang

(Oke 1987).

2. Proses Transformasi

Secara fisik dan dinamik, radiasi surya sebagai sumber energi

perpindahan massa udara berpengaruh dalam pendistribusian zat pencemar di

udara. Hal ini terjadi akibat perbedaan pemanasan di permukaan bumi maupun

di perairan yang menimbulkan angin dan turbulensi sehingga secara tidak

langsung berpengaruh terhadap kondisi stabilitas atmosfer dan percampuran

polutan dengan lingkungan sekitar. Selain itu, radiasi juga berpengaruh

terhadap proses kimia di atmosfer dengan interaksi antar molekul yang

bertindak sebagai fotoreseptor.

Selanjutnya selama berada di udara, zat pencemar pasti akan

mengalami perubahan bentuk baik secara fisik maupun kimia yang

dipengaruhi oleh proses difusi molekuler dan turbulensi, kehadiran uap air

serta radiasi matahari. Difusi molekuler adalah proses dimana perjalanan

penyerapan zat ke dalam atmosfer melalui kontak molekul secara lambat.

Sedangkan proses difusi turbulensi adalah proses penyerapan atau peresapan

zat ke dalam atmosfer yang disebabkan oleh adanya proses turbulensi (Oke,

1987).

3. Proses Transport

Proses transport merupakan proses pengangkutan zat pencemar ke

udara secara horizontal sesuai arah angin, dengan jarak jangkau sebagai fungsi

Page 36: List Rik

36

dari kecepatan angin. Angin yang bergerak di suatu wilayah tidak selamanya

bergerak secara teratur dan semua gerakan udara dapat dikatakan turbulen

(Forsdyke 1970). Sehingga dalam hal ini, jika arah angin relatif konstan,

wilayah yang dituju oleh arah angin akan terus-menerus terpapar polutan

tingkat tinggi, sebaliknya jika arah angin berubah-ubah secara konstan,

polutan akan bergerak ke wilayah yang lebih luas dan konsentrasi di wilayah

yang terpapar akan lebih rendah (Godish 1991).

Sementara kecepatan angin akan menentukan sejauh mana polutan

akan bergerak ke suatu wilayah.. Sementara itu, bentuk pergerakan angin yang

terjadi terdiri atas pergerakan laminer dan turbulen. Pergerakan angin laminer

adalah pergerakan yang mulus sepanjang lapisan sejajar, sementara

pergerakan angin turbulen merupakan pergerakan acak dan baur (Geiger

1995).

4. Proses Dilusi

Presipitasi seperti hujan ataupun salju, lapisan kabut, turbulensi, serta

karakteristik permukaan merupakan faktor utama dalam pembersihan

atmosfer sehingga zat pencemar dapat terendapkan Proses pembersihan atau

penghilangan zat pencemar ini terjadi melalui dua mekanisme, yaitu rain out

dan wash out. Rain out terjadi pada saat proses kondensasi dengan partikel

pencemar sebagai butir kondensasi. Sedangkan wash out terjadi pada saat air

hujan dalam perjalananya menuju permukaan bereaksi dengan partikel-

partikel pencemar (Liu dan Liptak 2000).

Page 37: List Rik

37

D. Model Matematis Dispersi Polutan

Pemodelan atmosfer terbagi atas dua pendekatan utama, yaitu

pendekatan secara fisik dan matematis. Pendekatan secara fisik pada akhirnya

akan menghasilkan model fisik yang dapat digunakan dalam mensimulasikan

proses dinamika atmosfer. Sementara pendekatan secara matematis adalah

pendekatan yang selanjutnya dapat menghasilkan pemodelan matematis terhadap

proses dinamika atmosfer (Seinfeld dan Pandis 2006). Di bawah ini terdapat

beberapa pendekatan yang digunakan untuk memprediksi konsentrasi dan

sebarannya dari beberapa tipe model (Benarie 1980) antara lain:

1. Pendekatan fisik:

a) Terowongan Angin (wind tunnel)

b) Saluran Air (Liquid Flume)

c) Tangki (Towing Tank)

2. Pendekatan Matematis

a) Empirik-Deterministik:

1) Kotak-Eularian

2) Statistik-Rollback

b) Semi-Empirik:

1) Gaussian Plume-Kepulan

2) Lintasan-Moving Cell

c) Numerik-Reaktif:

1) Box Jamak-Lagrangian

2) Grid-Eularian-Finite Difference

Page 38: List Rik

38

3) Partikel; partikel dalam sell

d) Polusi global

e) Jarak Pandang

f) Dosage-Exposure

Masing-masing pendekatan tersebut nantinya dapat di aplikasikan dalam

semua pemodelan pendisperisian polutan. Model-model yang kerap digunakan dalam

pendugaan dispersi polutan antara lain, fixed box model, dan Gaussian model.

1. Fixed-Box Model

Model sederhana yang sering digunakan dalam menduga kualitas

udara adalah fixed-box model. Parameter input yang digunakan dalam

model ini adalah sumber emisi dekat lapisan permukaan, laju adveksi masuk

dan keluar dari sisi kotak, input polutan dari bagian atas karena ketinggian

campuran yang meningkat dan proses transformasi kimia. Apabila

campuran polutan sempurna dan seragam dalam batasan wilayah kajian,

model ini dapat menduga konsentrasi volume rata-rata sebagai fungsi

waktu. Prinsip matematis dalam model ini dinyatakan sebagai laju

perubahan massa dalam kotak khayal sebanding dengan jumlah laju massa

ditambahkan semua sumber emisi dalam kotak, perubahan adveksi

horizontal dan perubahan pemasukan dari lapisan atas dalam ketinggian

campuran (Arya 1999):

퐿ℎ ̅ = 퐿푄 + 푢ℎ(푐̅ − 푐̅) + 퐿 (푐̅ − 푐̅) (11)

Page 39: List Rik

39

Jika kondisi laju emisi konstan dan atmosfer tenang, persamaan di atas

menjadi

푐̅ = (12)

dengan:

ce : Konsentrasi polutan (µg/m3)

L : Panjang wilayah kajian (m)

Qɑ : Laju emisi polutan wilayah kajian (gr/m2s)

ū : Kecepatan angin rata-rata pada ketinggian H ( m/s)

h : Ketinggian mixing height (m)

Difusi dari sumber-sumber individu tidak disarankan dalam pemakaian

fixed-box model, sehingga cocok dalam mengestimasi dari segala sumber

polutan. Sesuai dengan perlakuan meteorologi sederhana dalam bentuk

transpor efektif angin dan ketinggian campuran dapat digunakan dalam

memprakirakan proses fotokimia (Arya 1999).

2. Model Dispersi Gaussian

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi dispersi polutan adalah

kecenderungan polutan-polutan tersebut untuk berdifusi. Model Gauss

menerangkan konsentrasi polutan searah dengan arah angin dari sumber.

Beberapa penyelidikan empiris dilakukan untuk menguji validasi model

Gauss dari satu titik sumber. Selanjutnya hasil pendugaan model

dibandingkan dengan data pengukuran di lapang. (Liu dan Liptak 2000)

Berbagai studi validasi model ini diterapkan untuk gas CO, SO2, dan

partikulat menunjukkan pendugaan konsentrasi polutan yang hampir

Page 40: List Rik

40

mendekati dengan nilai hasil pengukuran. Model dispersi Gauss secara

umum dinyatakan dalam perasamaan:

푐̅(푥, 푦, 푧) = 푒푥푝 − − (13)

dengan:

c(x,y,z) : Konsentrasi polutan pada suatu titik (µg/m3)

Q : Laju emisi (g/s)

ū : Kecepatan angin rata-rata pada ketinggian 10 meter

y : Posisi arah y dalam koordinat kartesius (m)

z : Posisi arah z dalam koordinatkartesius (m)

Ketepatan dari pendugaan model Gauss akan menurun dengan nyata

jika terjadi penyimpangan dari kondisi yang digunakan dalam persamaan,

seperti kecepatan angin yang konstan. Model Gauss tidak menghitung reaksi

yang terjadi antara NOx dan HC, maka model ini tidak dapat digunakan untuk

menduga fotokimia oksidan. Pengembangan lebih lanjut dari model Gauss ini

adalah untuk menduga pengaruh pembuangan polutan (gas) dengan konstan

dari sumber garis (line source), yaitu emisi dari kendaraan bermotor di jalan

raya.

Di sisi lain, model Gauss memiliki beberapa kelemahan, karena pada

model ini diberlakukan beberapa asumsi seperti, kekuatan sumber emisi

konstan atau hanya berlaku dalam kondisi Steady-state, arah dan kecepatan

angin serta karakteristik difusi dari kepulan konstan, kemudian berlaku

hukum konservasi massa, sehingga dianggap tidak ada transformasi kimia

dan polutan yang sampai ke permukaan dipantulkan sempurna, serta

Page 41: List Rik

41

kecepatan angin lebih dari 1 m/s.

3. Teori Dasar dan Pendekatan Model Fluent

Pada simulasi penyebaran gas SO2 dengan menggunakan Fluent

digunakan kondisi steady dari persamaan Reynolds Averaging Navier-Stokes

(RANS) yang merupakan perhitungan konservasi massa dan momentum dalam

ruang lingkup pendekatan Eulerian. Dalam simulasi ini juga digunakan model

turbulensi standar k – ε, yang menghitung nilai turbulensi berdasarkan evolusi

dari turbulensi kinetik (k) dan ratio disipasi (ε). Model turbulensi standar k – ε

digunakan dalam simulasi ini dengan mempertimbangkan skala plume dan

tingginya geser angin permukaan, model ini dianggap mempunyai akurasi yang

cukup tinggi dengan tidak menggunakan resources yang besar (kemampuan

komputer) (corrier, 2005; manual fluent, 1996). Untuk menghitung penyebaran

gas SO2 dari cerobong digunakan model transpor kimia dengan mengacu pada

konservasi massa.

a) Persamaan Reynolds-Averaged Navier-Stokes (RANS)

Persamaan konservasi RANS didapat dari subtitusi waktu rata-rata

dan komponen fluktuasi dari persamaan kekekalan massa dan momentum.

Berikut merupakan persamaan konservasi RANS (corrier, 2005; manual

fluent, 1996):

휕휕푥

(휌푢 ) = 0

휌푢 푢 = − + 휏 , − 휌푢′ 푢′

Dengan 휏 , adalah stress tensor. Persamaan dan kalkulasi di atas

Page 42: List Rik

42

memperlihatkan aliran stabil dengan variasi tekanan hidrostatik dan variasi

densitas, dan variasi gravitasi diabaikan. Persamaan di atas merupakan

persamaan pada arah i dan dalam diagram inersia. Persamaan stress tensor

dinyatakan dengan persamaan di bawah ini:

휏 , = 휇휕푢휕푥 +

휕푢휕푥 −

23 훿

휕푢휕푥

μ adalah viskositas molekul. Pendekatan Reynolds averaged pada turbulensi

memerlukan persamaan Reynolds stress, berikut persamaannya:

휌푢′ 푢′ = 휇휕푢휕푥 +

휕푢휕푥 −

23 훿 휌푘 + 휇

휕푢휕푥

Dengan μt adalah viskositas turbulen atau turbulen eddy.

b) Pendekatan Turbulensi : Model Standar k – ε

Selain itu, dalam simulasi ini model Fluent juga menghitung

turbulensi dengan menggunakan model turbulensi standar k- ε , model

turbulensi akan menghitung evolusi dari nilai turbulensi energi kinetik (k)

dan rasio disipasi (ε) dengan persamaan transpor berdasarkan perhitungan

sebagai berikut:

휌퐷푘퐷푡 =

휕휕푥 휇 +

휇휎

휕푘휕푥 + 퐺 + 퐺 − 휌휀

dan

휌퐷휀퐷푡 =

휕휕푥 휇 +

휇휎

휕휀휕푥 + 퐶

휀푘

(퐺 + 퐶 퐺 )− 퐶 휌 − 휌휀푘

Pada persamaan di atas, Gk merupakan energi kinetik turbulen yang

terbentuk dari adanya gradien kecepatan rata-rata. Gb merupakan energi

kinetik turbulen yang terbentuk karena adanya bouyancy.

Page 43: List Rik

43

퐶 = 1.44,퐶 = 1.92,퐶 = 0.09;휎 = 1.0,휎 = 1.3,퐶 = 푡푎푛ℎ푣푢

v merupakan komponen kecepatan aliran searah dengan vektor

gravitasi dan u adalah komponen kecepatan yang berlawanan dengan vektor

gravitasi.

Ketika terbentuknya gradien temperatur dan juga dipengaruhi oleh

gravitasi, maka fluent akan menghitung nilai pembentukan turbulen dari

energi kinetik (Gk) ketika terjadi bouyancy dan kontribusi penyesuaiannya

terhadap produksi dari rasio disipasi (Gb).

Persamaan untuk menghitung pembentukan energi kinetik turbulen

(Gk) adalah:

퐺 = −휌푢′ 푢′ 휕푢′휕푥

Persamaan untuk menghitung pembentukan turbulen ketika terjadi

buoyancy (Gb) adalah:

퐺 = −푔휕휇휌푃푟

휕휌휕푥

Dengan Prt yaitu angka energi prandtl (0.85)

Sedangkan nilai dari turbulensi energi kinetik (k) dan rasio disipasi

(ε) berhubungan dengan nilai dari kecepatan gesekan yang merupakan

fungsi dari kecepatan terhadap ketinggian. Sehingga nilai ε didapat dari

persamaan berikut:

휀 =휇휌

휕푢휕푧

Page 44: List Rik

44

dan nilai k didapat dari hasil perhitungan viskositas turbulen terhadap teori

mixing length sehingga didapat dari persamaan berikut:

푘 = 푙휀퐶

휕푢휕푧

l merupakan jarak campuran terhadap permukaan tanah.

c) Persamaan Transpor Kimia (Chemical Species Transport)

Pada Fluent digunakan persamaan kekekalan massa untuk

memprediksi fraksi massa mi' dari tiap spesies kimianya (gas SO2) (Manual

of Fluent, 1998). Persamaan kekekalannya adalah sebagai berikut:

휕휕푥

(휌푢 푚 ) = −휕휕푥 퐽 , + 푅 + 푆

dimana Ri' adalah ratio massa pembentukan dan penghilangan dari reaksi

kimia dan Si' adalah rasio pembentukan dari fase dispersi dan penambahan

dari sumber lainnya (ditentukan oleh user). Sedangkan Ji',i merupakan fluks

difusi dari species i’ (dalam penelitian ini adalah gas SO2), karena dalam

penelitian ini tidak terjadi adanya reaksi, maka Ri' ditiadakan dari

persamaan. Persamaan di atas merupakan persamaan kekekalan massa pada

sumbu-x dan identik untuk persamaan kekekalan massa pada sumbu-y dan

sumbu-z.

Pada aliran turbulen persamaan fluks difusi Ji',i adalah:

퐽 , = − 휌퐷 , +휇푆푐

휕푚휕푥

dimana Di',m adalah koefisien difusi, ρ adalah densitas (SO2), dan Sct adalah

angka turbulen Schmidt yang didapat dari persamaan:

Page 45: List Rik

45

푆푐 =휌퐷휇

Dt merupakan koefisien difusi massa efektif dan nilai Sct untuk difusi massa

pada aliran turbulen default-nya adalah 0.7. µt adalah viskositas turbulen,

dengan persamaan:

휇 = 휌퐶푘휀

dimana Cµ adalah konstanta viskositas , Cµ = 0.09

E. Model Fluent atau Computational Fluent Dynamic (CFD)

Computational Fluid Dynamics merupakan pemanfaatan program

komputer untuk membuat suatu prediksi apa yang akan terjadi secara kuantitatif

saat fluida mengalir. Penggunaan CFD prediksi aliran fluida di berbagai sistem

dapat dilakukan dengan biaya yang relatif murah dan waktu yang singkat

dibandingkan dengan metode eksperimen. Selain itu, CFD adalah ilmu yang

mempelajari tentang cara memprediksi aliran fluida, perpindahan panas, reaksi

kimia, dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaan matematika.

Secara istilah CFD bisa berarti suatu teknologi komputasi yang memungkinkan

untuk mempelajari dinamika dari bendabenda atau zat-zat yang mengalir (Tuakia

2008).

CFD atau Fluent merupakan program komputer yang digunakan untuk

memodelkan aliran fluida dan transfer panas. Dalam Fluent terdapat berbagai

macam model persamaan fisika, seperti model solver, model transport panas,

model turbulensi, model Radiasi, model transport kimia, dan model-model fisika

lainnya, sehingga CFD atau model Fluent ini dapat juga dikatakan sebagai

Page 46: List Rik

46

kumpulan dari model-model fisika yang besar dan kompleks dalam satu model.

Secara garis besar, model-model tersebut dapat dikelompokan menjadi model

generator (untuk menghasilkan mesh perhitungan), preprocessors (untuk

menyediakan data untuk menentukan persamaan dan model fisika), solvers (untuk

menyelesaikan persamaan) dan post-processors (untuk menampilkan hasil dan

informasi numerik dari data-data yang didapat dari simulasi). Fluent juga

merupakan model dengan kemampuan yang tinggi dalam mensimulasikan

permasalahan yang berkaitan dengan fluida (Duffin, Braden and Adam, C., 2006).

Dengan menggunakan Fluent, simulasi aliran fluida dapat ditampilkan dalam 2 dan

3 Dimensi. Fluent ditulis dalam bahasa C dan dimungkinkan untuk dijalankan

terpisah-pisah (menggunakan sistem komputer cluster)

Saat ini penggunaan CFD cukup berkembang pesat, mulai dalam

perancangan gas turbin sampai pada dunia medis (modelling blood flow) serta

termasuk dalam menganalisis permasalahan dispersi polutan pada udara ambien.

Pada Gambar 2 dapat terlihat salah satu contoh output kualitatif dari hasil simulasi

CFD mengenai sebaran polutan. Penelitian mengenai aliran udara terkait dispersi

polutan dengan menggunakan CFD ini sudah cukup banyak dilakukan terutama di

daerah perkotaan, halini dilakukan untuk melihat potensi kualitas udara baik

indoor maupun outdoor.

Secara indoor, biasanya penelitian dilakukan di dalam ruangan seperti

tempat parkir, garasi hingga terowongan bawah tanah. Sementara penelitian

outdoor untuk kasus aliran udara biasanya dilakukan di pusat kota atau di sekitar

gedung-gedung bertingkat. Berdasarkan hasil penelitian Yamada (2005)

Page 47: List Rik

47

mengenai penggunaan CFD untuk aliran udara diantara gedung bertingkat

dengan menyebutkan bahwa pemanasan dan pendinginan dinding serta atap oleh

radiasi matahari secara signifikan mempengaruhi aliran udara di sekitar

bangunan di lingkungan perkotaan.

Gambar 6. Simulasi Konsentrasi Polutan Saat Emisi Didefinisikan dalam Domain Model (Sumber: Huber, 2008).

CFD merupakan pendekatan dari persamaan yang asalnya memiliki jumlah

sel tak hingga menjadi jumlah sel hingga. Perhitungan komputasi aljabar untuk

memecahkan persamaan diferensial parsial ini ada beberapa metode, diantaranya:

1. Metode beda hingga (finite difference method)

2. Metode elemen hingga (finite element method)

3. Metode volume hingga (finite volume method)

4. Metode elemen batas (boundary element method)

5. Metode skema resolusi tinggi (high resolution scheme method)

Secara umum, proses perhitungan Computational Fluid Dynamic terdiri

atas tiga bagian utama, yaitu:

1. Pre-processing,

2. Processing,

3. Post-processing.

Page 48: List Rik

48

Pre-processing adalah tahap di mana data diinput mulai dari pendefinisian

domain hingga pendefinisian kondisi batas atau boundary condition. Di tahap ini

juga dilakukan pembentukan grid (meshing) pada setiap domain dan pemilihan

fenomena kimia-fisika yang diinginkan serta menentukan kondisi sifat-sifat fluida.

Tahapan selanjutnya adalah processing atau solving, pada tahap ini

dilakukan proses perhitungan antara data yang diinput dengan persamaan yang

terlibat secara iteratif. Artinya perhitungan dilakukan hingga hasil menuju error

terkecil atau hingga mencapai nilai yang konvergen. Perhitungan dilakukan secara

menyeluruh terhadap volume kontrol dengan proses integrasi persamaan diskrit.

Sementara tahap akhir yaitu post-processing adalah tahap dimana hasil

perhitungan diinterpretasikan ke dalam gambar, grafik bahkan animasi dengan

pola-pola warna tertentu.

1. GAMBIT (Geometry And Mesh Building Intelligent Toolkit)

GAMBIT merupakan salah satu perangkat lunak (software) yang

digunakan sebagai preprocessing dalam komputasi dinamika fluida

(Computational Fluid Dynamics/CFD) yang menguasai 60% pangsa pasar

dunia untuk perangkat lunak tersebut. GAMBIT adalah software yang di

design untuk membantu membuat berbagai macam pemodelan dan

melakukan pendiskritisasian (meshing) pada model dalam suatu analisis

CFD.

Pada saat penerimaan input, GAMBIT menggunakan graphical user

interface (GUI) sehingga memudahkan pengguna dalam pembuatan model

dan proses meshing. Berbagai macam aplikasi pemodelan juga dapat

Page 49: List Rik

49

diakomodasikan oleh GAMBIT. Selain itu software ini juga dapat mengimpor

dari berbagai format atau menggabungkan berbagai format dari software

pemodelan lain, seperti ACIS, STEP, Parasolid, IGES dan lain-lain.

GAMBIT memiliki beberapa kelebihan seperti membuat berbagai

macam pemodelan dan melakukan proses meshing untuk berbagai macam

bentuk, termasuk bentukbentuk yang rumit dan tidak beraturan. Hal ini

disebabkan GAMBIT dapat melakukan meshing dengan berbagai macam

bentuk mesh, yaitu mesh heksahedral, tetrahedral, piramid dan prisma. Di sisi

lain, GAMBIT juga dapat melakukan pengecekan terhadap kualitas mesh

sesuai dengan standar yang diinginkan oleh pengguna Proses akhir dari

pemodelan GAMBIT adalah tahap penentuan jenis kondisi batas atau

boundary condition (Tuakia 2008).

2. Fluent

a) Struktur Program

Fluent merupakan tujuan umum dari kajian komputasi dinamika

fluida dalam memecahkan atau mengatur persamaan untuk konservasi

massa, momentum, energi, dan skalar (Huber 2008). Selain itu, Fluent

adalah salah satu jenis program (CFD) yang menggunakan finite volume

method (metode volume hingga) serta mampu menyediakan fleksibilitas

mesh yang lengkap, sehingga dapat memudahkan pengguna dalam

menyelesaikan kasus aliran fluida dengan mesh (grid) yang tidak

berstruktur sekalipun. Fluent juga memungkinkan pengguna dalam

memperhalus atau memperbesar mesh yang sudah ada. Jenis mesh yang

Page 50: List Rik

50

didukung oleh Fluent adalah tipe 2D triangular-quadrilateral, 3D

tetrahedral-hexahedralpyramid-wedge, dan mesh campuran (hybrid)

(Tuakia 2008).

Gambar 7. Struktur Dasar Program Model Fluent (Sumber: Manual

Fluent 1996)

b) Kemampuan Program

Software Fluent dapat digunakan bersama dengan arsitektur

klien/server, sehingga dapat dijalankan sebagai proses terpisah secara

simultan dan perangkat lunak ini memiliki struktur data yang efisien dan

lebih fleksibel karena ditulis dalam bahasa C. Fluent merupakan solver

dengan kemampuan pemodelan sebagai berikut:

1) Aliran fluida pada 2 D dan 3 D

2) Aliran compressible dan incompressible

3) Analisis pada kondisi steady-state atau transient

4) Aliran inviscid, laminar dan turbulen

5) Aliran Newtonian atau non-Newtonian

Mesh import and adaption

Physical Models

Boundary Conditions

Material Properties

Visualisasi Simulasi

Page 51: List Rik

51

6) Transfer panas konvektif, termasuk konveksi alami dan konveksi

paksa

7) Radiasi transfer panas

8) Model dengan frame inersial (tetap) atau non-inersial (rotasi)

9) Campuran dan reaksi kimia, termasuk reaksi pembakaran dan

super deposisi dan kemampuan Fluent lainnya.

MulaiPembuatan Geometri

(Part)

Pendefinisian Material Geometri

Penyusunan Struktur Geometri(assembly)

Pengecekan Geometri(satu objek)

Geometri Baik?

Set Kondisi Umum

Set domain, boundary condition dan goals

Input Fluida(jenis & sifat)

Proses Numerik(solver = run)

Meshing & iterasi error

SelesaiPlot Kontur, Grafik dan data dari goals

Pengecekan

ya

tidak

ya

tidak

Gambar 8. Diagram Alir Tahapan dalam Penggunaan CFD

Page 52: List Rik

52

F. Kerangka Pikir Penelitian

PLTU Nii Tanasa mulai beroperasi sejak april 2011 dan menghasilkan 2x10

MW yang berlokasi di Desa Nii Tanasa, Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten

Konawe menggunakan batu bara sebagai sumber bahan baku utama dalam proses

produksi listriknya. Peningkatan konsumsi batubara dengan dibangunnya PLTU

Nii Tanasa berbahan bakar batubara akan berdampak pada peningkatan kandungan

SO2 yang dilepaskan ke atmosfer. Jenis gas SO2 ini dalam lingkungan akan

berbahaya bila memiliki konsentrasi di atas ambang batas.

Polusi oleh sulfur dioksida terutama disebabkan oleh dua komponen gas

yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3) dimana

keduanya disebut SOX. Sulfur dioksida mempunyai karakteristrik bau yang sangat

tajam dan tidak terbakar di udara, sedangkan sulfur trioksida merupakan komponen

yang tidak reaktif. Adanya polusi oleh sulfur dioksida di udara dapat merusakan

secara ekstensif tanaman. Salah satu efek utamanya pada tumbuhan hijau adalah

klorosis (kehilangan klorofil dan plasmolisis (kerusakan sel daun). Efek tersebut

dapat berlangsung dengan cepat padan konsentrasi sulfur dioksida tinggi dan dapat

berlangsung lambat pada konsentrasi rendah. Pada hewan dampak

kerusakan/gangguan yang terjadi oleh sulfur dioksida memiliki pengaruh yang

sama seperti pada manusia. Polusi sulfur dioksida dapat menyebabkan kerusakan

gangguan pernapasan dan pada konsentrasi tinggi, senyawa ini dapat menyebabkan

iritasi pada mata hidung dan tenggorokan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme penyebaran pencemaran

udara, secara garis besar ditentukan oleh karakteristik sumber emisi dan

Page 53: List Rik

53

karakteristik atmosfer lokal. Karakteristik sumber emisi yang dimaksudkan

merupakan karakteristik dari tempat atau lubang pengeluaran zat pencemar yang

didispersikan ke udara. Selain sumber emisi, laju pencemaran atau banyaknya zat

yang didispersikan ke udara juga mempengaruhi proses penyebaran polutan di

udara.

Selain karakteristik sumber emisi, Kondisi stabilitas atmosfer lokal juga

merupakan faktor yang mempengaruhi mekanisme/proses dispersi polutan ke

udara. Perilaku alami seperti arah dan kecepatan angin berpengaruh kemampuan

memindahkan massa udara dalam arah horizontal, baik arah maupun jangkauan dari

polusi tersebut. Profil temperatur terhadap ketinggian digunakan untuk menetapkan

tipe kestabilan dan profil kecepatan angin yang mempengaruhi derajat turbulensi.

Secara alami, atmosfer selalu bergerak dan sulit untuk dimengerti dan

diikuti. Studi pola pergerakan atmosfer pada umumnya dihubungkan dengan

perubahan cuaca dan iklim, dimana karakteristik atmosfer ditentukan oleh

temperatur, temperatur potensial, tekanan, densitas, serta arah dan kecepatan angin

yang dianggap berpengaruh pada setiap tempat dalam atmosfer yang diasumsikan

sebagai fluida kontinyu dengan mengabaikan gerakan diskrit molekul.

Masalah yang ditimbulkan oleh polutan yang bersumber dari aktifitas

manusia adalah dalam hasil distribusinya yang tidak merata sehingga terkonsentrasi

pada daerah tertentu, bukan dari jumlah keseluruhannya. Ada cara atau metode

yang bisa digunakan adalah membuat suatu pemodelan untuk menggambarkan

konsentrasi zat-zat pencemar dengan menggunakan pemodelan matematik yang

memperhitungkan parameter-parameter di atas menggunakan model Fluent. Dari

Page 54: List Rik

54

model fluent dapat diketahui model sebaran, arah dan konsentrasi polutan dari jarak

tertentu kemudian model ini di validasi dengan nilai pengukuran langsung udara

ambien serta membandingkannya dengan Nilai Baku Mutu Lingkungan (BML)

menurut aturan yang berlaku.

Sumber Bahan Bakar Fosil

Proses Produksi Listrik PLTU

Emisi Cerobong Kualitas Udara

Zat Polutan Faktor Penyebaran Polutan

SO2 Angin

Persebaran Konsentrasi Polutan

Stabilitas Atmosfer

Model Sebaran Pencemaran Udara

Pola Sebaran Klasifikasi Kualitas Udara Menurut BML

Mempengaruhi

Model Fluent

Gambar 9. Kerangka Pikir Penelitian

Page 55: List Rik

55

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah Deskriptif Kuantitatif dengan

mendesain suatu bentuk permodelan sebaran polutan SO2 dengan Model Fluent.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, pada bulai Juli sampai dengan

bulan September termasuk untuk persiapan, perijinan dan penyusunan proposal.

Lokasi penelitian dilakukan pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nii

Tanasa yang terletak di Desa Nii Tanasa, Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten

Konawe.

C. Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat sampling udara

(Air Impinger), Termometer, Anemometer, Windvane, Spektrofotometer

sedangkan bahan yang digunakan adalah larutan atau cairan kimia, Software

Gambit versi 2.3 dan software Fluent versi 6.3.

D. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

primer dan data sekunder dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Data Primer, adalah data empirik yang diperoleh di lapangan dengan

melakukan penelitian langsung pada lokasi PLTU Nii Tanasa, yaitu

Page 56: List Rik

56

melakukan pengukuran langsung konsentrasi SO2 dari sampel udara

ambien.

2. Data sekunder, adalah data meteorologi berupa berupa arah dan kecepatan

angin, gradien temperatur dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)

wilayah Kota Kendari. Data dari Divisi Lingkungan PLTU Nii Tanasa

berupa data pemakaian batubara, data kandungan sulfur dalam batubara,

tinggi dan diameter cerobong asap pabrik.

E. Prosedur Penelitian

1. Mengumpulkan data dari Bagian Divisi Lingkungan PLTU Nii Tanasa berupa

data pemakaian batu bara, kadar sulfur batu bara dan data fisik cerobong asap

untuk menentukan debit aliran gas SO2. Mengumpulkan data meteorologi

berupa arah dan kecepatan angin, gradien temperatur di lokasi PLTU dari

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kota Kendari.

2. Melakukan pengukuran langsung di lokasi dengan tahap-tahap sebagai berikut:

a) Melakukan pengambilan sampel udara di sekitar wilayah penyebaran gas

buang cerobong asap yang dilakukan pada saat mesin beroperasi dengan

menggunakan alat (Low Volum Samples) Mini Pump, kemudian sampel

udara diukur dengan menggunakan untuk mendeteksi SO2.

b) Mengukur jarak titik pengambilan sampel udara ambien dengan lokasi

sumber cerobong asap.

c) Mengukur kecepatan angin dan suhu udara di lokasi.

3. Langkah Pengerjaan dengan Model Fluent

Pada Fluent langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan atau

Page 57: List Rik

57

mensimulasikan suatu case adalah sebagai berikut:

a) Pembuatan geometri atau Grid Model ruang dari model yang akan

digunakan pada penelitian ini menggunakan software Gambit yang

merupakan salah satu software pendukung dari Fluent. Geometri yang

digunakan untuk melakukan pemodelan dispersi SO2 berbentuk balok.

b) Pembuatan mesh geometri yang telah dibuat dalam Gambit selanjutnya

dimasukkan sebagai grid dasar model dan penentuan kondisi operasional

model dispersi SO2

c) Penetapan persamaan yang akan digunakan dalam Fluent ditentukan

berdasarkan pemecahan yang terlibat dalam case tersebut. Dalam

penelitian ini, persamaan utama yang digunakan adalah persamaan

turbulensi, chemical species tranport dan transpor panas.

d) Pada Fluent perlu juga ditentukkan inputan berupa data-data

thermophysical (keterangan unsur atau senyawa) yang dimasukkan ke

dalam model. Dalam penelitian ini senyawa yang dijadikan masukan

adalah senyawa SO2.

e) Setelah semua inputan dan syarat batas dari model telah ditentukan,

selanjutnya dilakukan processing dari model ini. Inisialisasi ini

menentukkan titik awal dari perhitungan model.

f) Melakukan proses iterasi model (running model). Proses iterasi pada

Fluent merupakan proses perhitungan model hingga dicapai suatu nilai

yang sesuai.

g) Pengolahan hasil dari simulasi dengan menggunakkan Fluent. Pada Fluent

Page 58: List Rik

58

diberikan banyak pilihan untuk melakukkan postprocessing, dengan

menggunakan contour, vector, path line, grafik, histogram dan beberapa

proses lainnya.

4. Hasil dari keluaran model akan di validasi dengan membandingkan nilai

konsentrasi SO2 dari hasil permodelan terhadap hasil sampling lapangan

dengan hasil pengukuran langsung udara ambien pada lokasi, dan

kesesuaiannya dengan Nilai Ambang Batas (NAB).

F. Pengolahan dan Analisa Data

Data yang telaj dikumpulkan selanjutnya diolah menggunakan software

Gambit dan Fluent untuk menghasilkan model sebaran SO2. Hasil perhitungan

dispersi konsentrasi SO2 tersebut kemudian di plot dalam koordinat x, y dan z

kemudiam dianalisa secara deskriptif kuantitatif dengan melakukan komparasi

antara nilai konsentrasi hasil permodelan dengan hasil pengukuran langsung udara

ambien berdasarkan baku mutu emisi yang ditetapkan oleh pemerintah.

Page 59: List Rik

59

Gambar 10. Diagram Alir Pengolahan dan Analisis Data

Arah dan Kecepatan Angin

Temperatur Lingkungan

- Data Emisi Gas SO2

-Temperatur Gas SO2

Data Fisik Cerobong

Konsentrasi Hasil Sampling

Skenario Stabilitas

Geometri Model(Gambit v2.3)

Model Fluent

Visualisasi Konsentrasi dalam

3D

Validasi

Analisis dan Pembahasan

Page 60: List Rik

60

G. Metoda Verifikasi Hasil Model

Hasil dari keluaran model akan diverifikasi dengan menggunakan perbandingan

terhadap hasil sampling lapangan. Galat nilai konsentrasi hasil model dengan

sampling dihitung berdasarkan rumusan sebagai berikut:

푔푎푙푎푡 =퐶 − 퐶

퐶 100%

Dimana C merupakan nilai konsentrasi hasil dari pemodelan dan pengukuran di

lapangan.