Upload
chindy-purbo
View
47
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ok
Citation preview
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN
DM TIPE II & KOMA HIPOGLIKEMIA
OLEH :
NADIA OKTIFFANY PUTRI
K3LN / 2011
115070201131017
JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
DM TIPE II
1. DEFINISI
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan
menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang
tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum
dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang
merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan gangguan fungsi insulin.
Diabetes melitus tipe 2 – yang dahulu disebut diabetes melitus tidak tergantung
insulin (non-insulin-dependent diabetes melitus/NIDDM) atau diabetes onset
dewasa – merupakan kelainan metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa darah
yang tinggi dalam konteks resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif (Kumar,
2005). Penyakit diabetes melitus jenis ini merupakan kebalikan dari diabetes melitus
tipe 1, yang mana terdapat defisiensi insulin mutlak akibat rusaknya sel islet di
pankreas(Shoback, 2011).
Diabetes melitus tipe 2, yang disebabkan oleh resistensi insulin, sehingga
penggunaan insulin oleh tubuh menjadi tidak efektif.
Diabetes tipe 2 terjadi karena penurunan produksi insulin dalam tubuh sehingga
fungsinya tidak maksimal atau tubuh mulai menjadi kurang peka terhadap insulin.
Reaksi ini dikenal dengan istilah resistansi terhadap insulin. Jenis ini biasanya
menyerang orang-orang berusia di atas 40 tahun. Tetapi usia pengidapnya akhir-
akhir ini bertambah muda. Diabetes tipe 2 juga lebih sering dialami oleh etnis Asia
dibanding etnis lain.
Diabetes Mellitus (DM) Tipe II merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas
sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam
rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka
diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) (Corwin, 2001).
2. KLASIFIKASI DM
a. Diabetes Tipe 1, DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel b pankreas
(reaksi autoimun). Bila kerusakan sel beta telah mencapai 80--90% maka gejala DM
mulai muncul. Perusakan sel beta ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada
dewasa. Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai antibodi yang
menunjukkan adanya proses autoimun, dan sebagian kecil tidak terjadi proses
autoimun. Kondisi ini digolongkan sebagai tipe 1 idiopatik. Sebagian besar (75%)
kasus terjadi sebelum usia 30 tahun, tetapi usia tidak termasuk kriteria untuk
klasifikasi.
b. Diabetes Tipe 2, DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal
sebagai non insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi
penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan
disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang
cukup untuk mengkompensasi insulin resistan. Kedua hal ini menyebabkan
terjadinya defisiensi insulin relatif. Gejala minimal dan kegemukan sering
berhubungan dengan kondisi ini,yang umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Kadar
insulin bisa normal, rendah, maupun tinggi, sehingga penderita tidak tergantung
pada pemberian insulin.
c. DM Dalam Kehamilan, DM dan kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM)
adalah kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistan (ibu
hamil gagal mempertahankan euglycemia). Faktor risiko GDM: riwayat keluarga DM,
kegemukan, dan glikosuria. GDM ini meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya
hipoglikemia, ikterus, polisitemia, dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu
GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan
makrosomia. Frekuensi GDM kira-kira 3--5% dan para ibu tersebut meningkat
risikonya untuk menjadi DM di masa mendatang.
d. Diabetes Tipe Lain, Subkelas DM di mana individu mengalami hiperglikemia
akibat kelainan spesifik (kelainan genetik fungsi sel beta), endokrinopati (penyakit
Cushing’s , akromegali), penggunaan obat yang mengganggu fungsi sel beta
(dilantin), penggunaan obat yang mengganggu kerja insulin (b-adrenergik), dan
infeksi/sindroma genetik (Down’s, Klinefelter’s).
3. ETIOLOGI & FAKTOR RISIKO
Menurut Smeltzer & Bare (2002) DM tipe II disebabkan kegagalan relatif sel β dan
resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat
produksi glikosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini
sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat
dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada
rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β
pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.
DM tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya
dibandingkan dengan DM tipe 1. Penderita DM tipe 2 mencapai 90-95% dari
keseluruhan populasi penderita DM. Umumnya berusia diatas 45 tahun. Faktor
genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan DM tipe 2,
antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.
Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II (Smeltzer & Bare,
2002) antara lain:
a. Kelainan genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes,
karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan insulin dengan
baik.
b. Usia
Umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan fisiologi yang secara
drastis, DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada mereka
yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak peka terhadap insulin.
c. Gaya hidup stress
Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang manis-manis
untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak. Seretonin ini mempunyai efek
penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak
berbahaya bagj mereka yang beresiko mengidap penyakit DM tipe II.
d. Pola makan yang salah
Pada penderita DM tipe II terjadi obesitas (gemuk berlebihan) yang
dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin). Obesitas bukan
karena makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi lebih disebabkan jumlah
konsumsi yang terlalu banyak, sehingga cadangan gula darah yang disimpan
didalam tubuh sangat berlebihan. Sekitar 80% pasien DM tipe II adalah mereka
yang tergolong gemuk.
4. PATOFISIOLOGI
Terlampir
5. MANIFESTASI KLINIS
Seseorang yang menderita DM tipe II biasanya mengalami peningkatan frekuensi
buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus (polidipsi), cepat lelah, kehilangan
tenaga, dan merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan dan tidak ada
penyebabnya, mudah sakit berkepanjangan, biasanya terjadi pada usia di atas 30
tahun, tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak-anak dan
remaja. Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai keletihan
akibat kerja, jika glukosa darah sudah tumpah kesaluran urin dan urin tersebut tidak
disiram, maka dikerubuti oleh semut yang merupakan tanda adanya gula (Smeltzer &
Bare, 2002). Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
2. A1C
3. Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida)
4. Kreatinin serum
5. Albuminuria
6. Keton, sedimen dan protein dalam urin
7. Elektrokardiogram
8. Foto sinar-x dada
Diagnosis diabetes melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis diabetes melitus tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Guna penentuan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan glukosa darah yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah
plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler
tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik
yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler.
Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan
klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Kedua, dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien
serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis diabetes melitus.
Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan
spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki
keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau diabetes melitus,
maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil
yang diperoleh.
TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7.8-11.0 mmol/L).
GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5.6 – 6.9 mmol/L).
Gejala diabetes melitus ditambah gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/l) atau
glukosa darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/l) atau glukosa darah 2 jam
sesudah beban glukosa (GD 2 jam PP) ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/l) dengan tes
toleransi glukosa oral (TTGO).
TTGO: beban glukosa = 75 gr glukosa anhidrous (gula) dicairkan dalam air TTGO
tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin. Kriteria tersebut harus dikonfirmasi
pada hari berikutnya.
Kategori yang berhubungan dengan nilai GDP:
1. GDP < 110 mg (6,1 mmol/l) = normal
2. GDP ≥ 110 mg (6,1 mmol/l) dan < 126 mg/dl (7,0 mmol/l) = Glukosa Puasa
Terganggu (Impaired Fasting Glucose/IFG)
3. GDP ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/l) = DM
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes mellitus :
1) Diet
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan
diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diabetes diarahkan untuk
mencapai tujuan berikut :
Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan mineral)
Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
Memenuhi kebutuhan energi
Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara
yang aman dan praktis
Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat
Perencanaan makan pada penderita diabetes mellitus terdiri dari :
Perencanaan makan unsur karbohidrat: Tujuan diet ini adalah meningkatkan
konsumsi karbohidrat kompleks khususnya yang berserat tinggi seperti : roti
gandung utuh, nasi beras tumbuk, sereal dan pasta/ mie yang berasal dari
gandum. Disamping itu, penggunaan sukrosa dengan jumlah yang sedang
kini lebih banyak diterima sepanjang pasien masih dapat mempertahankan
kadar glukosa serta lemak (mencakup kolesterol dan trigliserida) yang
adekuat dan mampu mengendalikan berat badannya.
Perencanaan makan unsur protein: Rencana makan dapat mencakup
penggunaan beberapa makanan sumber protein nabati untuk membantu
mengurangi asupan kolesterol serta lemak jenuh.
Perencanaan makan unsur lemak: Perencanaan makan yang mempunyai
kandungan lemak dalam diet diabetes mencakup penurunan persentase total
kalorinya yang berasal dari sumber lemak hingga kurang 30 % total kalori dan
pembatasan jumlah lemak jenuh hingga 10 % total kalori. Selain itu juga
pembatasan asupan kolesterol hingga kurang dari 300 mg/ hari sangat
dianjurkan.
Perencanaan makan unsur serat: Tipe diet ini berperan dalam penurunan
kadar total kolesterol dan LDL (Low Density Lipoprotein) kolesterol dalam
darah. Peningkatan kandungan serat dalam diet dapat pula memperbaiki
kadar glukosa darah sehingga kebutuhan insulin dari luar dapat dikurangi
2) Latihan
Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat
menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko kardiovaskuler.
Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan
pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi
darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga. Latihan dengan cara
melawan tahanan (resistance training) dapat meningkatkan lean body mass dan
dengan demikian menambah laju metabolisme istirahat (resting metabolic rate).
Semua efek ini sangat bermanfaat pada diabetes karena dapat menurunkan berat
badan, mengurangi rasa stress dan mempertahankan kesegaran tubuh. Latihan
juga akan mengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar HDL kolesterol
dan menurunkan kadar kolesterol total serta trigliserida. Semua manfaat ini
sangat penting bagi penyandang diabetes mengingat adanya peningkatan risiko
untuk terkena penyakit kardiovaskuler pada diabetes.
Meskipun demikian, penderita diabetes dengan kadar glukosa darah lebih dari
250 mg/ dl (14 mmol/ L) dan menunjukkan adanya keton dalam urin tidak boleh
melakukan latihan sebelum pemeriksaan keton urin menjadi negative dan kadar
glukosa darah telah mendekati normal. Latihan dengan kadar glukosa darah yang
tinggi akan meningkatkan sekresi glukagon, growth hormone dan katekolamin.
Peningkatan hormone ini membuat hati melepas lebih banyak glukosa sehingga
terjadi kenaikan kadar glukosa darah.
Pedoman umum latihan pada diabetes :
Gunakan alas kaki yang tepat, dan bila perlu alat pelindung kaki lainnya
Hindari latihan dalam udara yang sangat panas atau dingin
Periksa kaki setiap hari sesudah melakukan latihan
Hindari latihan pada saat pengendalian metabolik buruk
Pemantauan Kadar Glukosa Darah
Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri (SMBG;
Self-monitoring of blood glucose), penderita diabetes kini dapat mengatur
terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini
memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemiadan
berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal yang kemungkinan aka
mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang.
4) Terapi
Obat hipoglikemik oral (OHO) seperti sulfonylurea, biguanid, inhibitor alfa
glukosidase dan insulin sensitizing agen
Pada diabetes tipe II, insulin mungkin diperlukan sebagai terapi jangka
panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat
hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya. Disamping itu, sebagian
pasien diabetes tipe II yang biasanya mengendalikan kadar glukosa darah
dengan diet atau dengan obat oral kadang membutuhkan insulin secara
temporer selama mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan atau
beberapa kejadian stress lainnya. Penyuntikan insulin sering dilakukan dua
kali per hari (atau bahkan lebih sering lagi) untuk mengendalikan kenaikan
kadar glukosa darah sesudah makan dan pada malam hari. Karena dosis
insulin yang diperlukan masing-masing pasien ditentukan oleh kadar glukosa
darah yang akurat sangat penting.
5) Pendidikan Kesehatan
Diabetes mellitus merupakan sakit kronis yang memerlukan perilaku penanganan
mandiri yang khusus seumur hidup. Pasien bukan hanya belajar keterampilan
untuk merawat diri sendiri guna menghindari penurunan atau kenaikan kadar
glukosa darah yang mendadak, tetapi juga harus memiliki perilaku preventif dalam
gaya hidup untuk menghindari komplikasi jangka panjang yang dapat ditimbulkan
dari penyakit diabetes mellitus.
Apabila terjadi luka maka Penatalaksanaan adalah :
1) Debridemen
Debridemen merupakan eksisi pada kulit yang terdapat luka dengan jaringan
yang telah rusak. Hal tersebut dikerjakan dengan tujuan untuk mempercepat
proses penyembuhan luka dan mempercepat pembentukan jaringan baru
pada luka. Pembedahan debridemen diindikasikan untuk klien dengan ulkus
yang sangat luas dan dalam yang disertai dengan adanya jaringan mati pada
luka, serta pada klien yang mempunyai risiko terjadinya syock septicemia.
Pembedahan debridemen dilakukan tergantung dari luas dan kedalaman
ulkus serta dengan mempertimbangkan kemungkinan banyaknya kehilangan
darah saat pembedahan. Dokter bedah dapat melakukan debridemen diruang
tindakan ataupun diruang operasi.
2) Grafting
Grafting merupakan pencakokan atau penanaman jaringan kulit kepada jaringan
kulit lain dengan tujuan untuk menumbuhkan jaringan kulit yang baru sehingga
luka dapat menutup secara signifikan.
3) Terapi Pengobatan
Agen antibakterial topikal sering diindikasikan untuk mengontrol pertumbuhan
bakteri pada luka dengan nekrosis yang sangat luka atau pada keadaan daya
immunitas jaringan luka yang terganggu. Untuk menghindari infeksi pada
jaringan luka, penggunaan antibiotic profilaksis biasanya dihindari karena
bahaya dari perkembangan strain bacterial yang resisten.
8. KOMPLIKASI
Diabetes tipe 2 merupakan penyakit kronik yang berhubungan dengan harapan
hidup sepuluh tahun lebih pendek.[6] Hal ini sebagian disebabkan oleh berbagai
komplikasi yang menyertai penyakit ini seperti: dua sampai empat kali lipat risiko
penyakit kardiovaskular, antara lain penyakit jantung iskemik dan stroke, 20 kali lipat
kemungkinan amputasi tungkai bawah, dan meningkatnya angka perawatan rumah
sakit. Di negara maju, dan mulai diikuti di negara lainnya, diabetes tipe 2 merupakan
penyebab utama kebutaan non-traumatik dan gagal ginjal (Ripsin, 2009). Penyakit ini
juga banyak dihubungkan dengan meningkatnya risiko disfungsi kognitif dan
demensia melalui proses penyakit seperti penyakit Alzheimer dan demensia vaskular
(Pasquier, 2010). Komplikasi lain meliputi: akantosis nigrikans, disfungsi seksual,
dan sering mengalami infeksi.
1) Hipoglikemia
Hipoglikemia (kadar gula darah yang abnormal rendah) terjadi apabila kadar glukosa
darah turun dibawah 50 mg/ dl. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin
atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau
karena aktivitas fisik yang berat. Hipoglikemia dapat terjadi setiap saat pada siang
atau malam hari. Kejadian ini dapat terjadi sebeum makan, khususnya jika makan
yang tertunda atau bila pasien lupa makan camilan.
2) Diabetes Ketoasidosis
Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukup jumlah
insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat,
protein dan lemak. Ada tiga gambaran klinik yang penting pada diabetes
ketoasidosis :
(1) Dehidrasi
(2) Kehilangan elektrolit
(3) Asidosis
Apabila jumlah insulin berkurang, maka jumlah glukosa yang memasuki sel akan
berkurang pula. Selain itu prroduksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali, kedua
faktor tersebut akan mengakibatkan hiperglikemia. Dalam upaya untuk
menghilangkan glukosa dalam tubuh, ginjal akan mensekresikan glukosa bersama-
sama air dan elektrolit (natriun dan kalium). Diuresis osmotik yang ditandai oleh
urinasi yang berlebihan (poliuria) ini akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan
elektrolit.
KOMA HIPOGLIKEMIA
1. DEFINISI
Hipoglikemia adalah kadar glukosa puasa yang lebih rendah dari 70 mg/dl.
Hipoglikemia merupakan salah satu kegawatan diabetic yang mengancam, sebagai
akibat dari menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dl.
Hipoglikemia dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara makanan yang dimakan
dan latihan jasmani serta obat yang digunakan. Pengobatan terbaik hipoglikemia
adalah mencegah terjadinya hipoglikemia.
Hipoglikemia atau penurunan kadar gula darah merupakan keadaan dimana kadar
glukosa darah berada di bawah normal, yang dapat terjadi karena
ketidakseimbangan antara makanan yang dimakan, aktivitas fisik dan obat-obatan
yang digunakan. Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis antara lain
penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan menjadi kabur dan gelap,
berkeringat dingin, detak jantung meningkat dan terkadang sampai hilang kesadaran
(syok hipoglikemia) (Nabyl, 2009).
Hipoglikemia dapat diartikan sebagai kadar glukosa darah di bawahharga normal.
Kadar glukosa plasma kira-kira 10% lebih tinggi biladibanding kadar glukosa darah
keseluruhan karena eritrosit mengandungkadar glukosa yang relatif lebih rendah.
Kadar glukosa arteri lebih tinggidibandingkan dengan vena, sedangkan kadar
glukosa darah kapiler di antarakadar arteri dan vena.
2. KLASIFIKASI
Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut :
Ringan
Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas sehari – hari
yang nyata
Sedang
Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas sehari –
hari yang nyata
Berat
Sering tidak simtomatik, pasien tidak dapat mengatasi sendiri karena adanya
gangguan kognitif :
1. Membutuhkan pihak ketiga tetapi tidak membutuhkan terapi parenteral
2. Membutuhkan terapi parenteral (glukagon intramuskuler atau intravena)
3. Disertai kejang atau koma
American Diabetes Association Workgroup on Hypoglycemia mengklasifikasikan
kejadian hipoglikemia menjadi 5 kategori sebagai berikut :
Severe hypoglycemia
Kejadian hipoglikemia yang membutuhkan bantuan dari orang lain
Documented symptomatic hypoglycemia
Kadar gula darah plasma ≤ 70 mg/dl disertai gejala klinis hipoglikemia
Asymptomatic hypoglycemia
Kadar gula darah plasma ≤ 70 mg/dl tanpa disertai gejala klinis hipoglikemia
Probable symptomatic hypoglycemia
Gejala klinis hipoglikemia tanpa disertai pengukuran kadar gula darah plasma
Relative hypoglycemia
Gejala klinis hipoglikemia dengan pengukuran kadar gula darah plasma ≥
70 mg/dl dan terjadi penurunan kadar gula darah
3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Hipoglikemia bisa disebabkan oleh:
§ Pelepasan insulin yang berlebihan oleh pankreas
§ Dosis insulin atau obat lainnya yang terlalu tinggi, yang diberikan kepada
penderita diabetes untuk menurunkan kadar gula darahnya
§ Kelainan pada kelenjar hipofisa atau kelenjar adrenal
§ Kelainan pada penyimpanan karbohidrat atau pembentukan glukosa di hati.
Adapun penyebab Hipoglikemia yaitu :
1. Dosis suntikan insulin terlalu banyak.
Saat menyuntikan obat insulin, anda harus tahu dan paham dosis obat yang anda
suntik sesuai dengan kondisi gula darah saat itu. Celakanya, terkadang pasien tidak
dapat memantau kadar gula darahnya sebelum disuntik, sehingga dosis yang
disuntikan tidak sesuai dengan kadar gula darah saat itu. Memang sebaiknya bila
menggunakan insulin suntik, pasien harus memiliki monitor atau alat pemeriksa gula
darah sendiri.
2. Lupa makan atau makan terlalu sedikit.
Penderita diabetes sebaiknya mengkonsumsi obat insulin dengan kerja lambat dua
kali sehari dan obat yang kerja cepat sesaat sebelum makan. Kadar insulin dalam
darah harus seimbang dengan makanan yang dikonsumsi. Jika makanan yang anda
konsumsi kurang maka keseimbangan ini terganggu dan terjadilah hipoglikemia.
3. Aktifitas terlalu berat.
Olah raga atau aktifitas berat lainnya memiliki efek yang mirip dengan insulin. Saat
anda berolah raga, anda akan menggunakan glukosa darah yang banyak sehingga
kadar glukosa darah akan menurun. Maka dari itu, olah raga merupakan cara terbaik
untuk menurunkan kadar glukosa darah tanpa menggunakan insulin.
4. Minum alkohol tanpa disertai makan.
Alkohol menganggu pengeluaran glukosa dari hati sehingga kadar glukosa darah
akan menurun.
5. Menggunakan tipe insulin yang salah pada malam hari.
Pengobatan diabetes yang intensif terkadang mengharuskan anda mengkonsumsi
obat diabetes pada malam hari terutama yang bekerja secara lambat. Jika anda
salah mengkonsumsi obat misalnya anda meminum obat insulin kerja cepat di
malam hari maka saat bangun pagi, anda akan mengalami hipoglikemia.
6. Penebalan di lokasi suntikan.
Dianjurkan bagi mereka yang menggunakan suntikan insulin agar merubah lokasi
suntikan setiap beberapa hari. Menyuntikan obat dalam waktu lama pada lokasi yang
sama akan menyebabkan penebalan jaringan. Penebalan ini akan menyebabkan
penyerapan insulin menjadi lambat.
7. Kesalahan waktu pemberian obat dan makanan.
Tiap tiap obat insulin sebaiknya dikonsumsi menurut waktu yang dianjurkan. Anda
harus mengetahui dan mempelajari dengan baik kapan obat sebaiknya disuntik atau
diminum sehingga kadar glukosa darah menjadi seimbang.
8. Penyakit yang menyebabkan gangguan penyerapan glukosa.
Beberapa penyakit seperti celiac disease dapat menurunkan penyerapan glukosa
oleh usus. Hal ini menyebabkan insulin lebih dulu ada di aliran darah dibandingan
dengan glukosa. Insulin yang kadung beredar ini akan menyebabkan kadar glukosa
darah menurun sebelum glukosa yang baru menggantikannya.
9. Gangguan hormonal.
Orang dengan diabetes terkadang mengalami gangguan hormon glukagon. Hormon
ini berguna untuk meningkatkan kadar gula darah. Tanpa hormon ini maka
pengendalian kadar gula darah menjadi terganggu.
10. Pemakaian aspirin dosis tinggi.
Aspirin dapat menurunkan kadar gula darah bila dikonsumsi melebihi dosis 80 mg.
11. Riwayat hipoglikemia sebelumnya.
Hipoglikemia yang terjadi sebelumnya mempunyai efek yang masih terasa dalam
beberapa waktu. Meskipun saat ini anda sudah merasa baikan tetapi belum
menjamin tidak akan mengalami hipoglikemia lagi.
4. PATOFISIOLOGITerlampir
5. MANIFESTASI KLINISHipoglikemi terjadi karena adanya kelebihan insulin dalam darah sehingga
menyebabkan rendahnya kadar gula dalam darah. Kadar gula darah yang dapat
menimbulkan gejala-gejala hipoglikemi, bervariasi antara satu dengan yang lain.
Pada awalnya tubuh memberikan respon terhadap rendahnya kadar gula darah
dengan melepasakan epinefrin (adrenalin) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung
saraf. Epinefrin merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi
jugamenyebabkan gejala yang menyerupai serangan kecemasan (berkeringat,
kegelisahan, gemetaran, pingsan, jantung berdebar-debar dan kadang rasa lapar).
Hipoglikemia yang lebih berat menyebabkan berkurangnya glukosa ke otak dan
menyebabkan pusing, bingung, lelah, lemah, sakit kepala, perilaku yang tidak biasa,
tidak mampu berkonsentrasi, gangguan penglihatan, kejang dan koma. Hipoglikemia
yang berlangsung lama bisa menyebabkan kerusakan otak yang permanen. Gejala
yang menyerupai kecemasan maupun gangguan fungsi otak bisa terjadi secara
perlahan maupun secara tiba-tiba. Hal ini paling sering terjadi pada orang yang
memakai insulin atau obat hipoglikemik per-oral. Pada penderita tumor pankreas
penghasil insulin, gejalanya terjadi pada pagi hari setelah puasa semalaman,
terutama jika cadangan gula darah habis karena melakukan olah raga sebelum
sarapan pagi. Pada mulanya hanya terjadi serangan hipoglikemia sewaktu-waktu,
tetapi lama-lama serangan lebih sering terjadi dan lebih berat.
Tanda dan gejala dari hipoglikemi terdiri dari dua fase antara lain:
1. Fase pertama yaitu gejala- gejala yang timbul akibat aktivasi pusat autonom di
hipotalamus sehingga dilepaskannya hormone epinefrin. Gejalanya berupa palpitasi,
keluar banyak keringat, tremor, ketakutan, rasa lapar dan mual (glukosa turun 50 mg
%).
2. Fase kedua yaitu gejala- gejala yang terjadi akibat mulai terjadinya
gangguan fungsi otak, gejalanya berupa pusing, pandangan kabur, ketajaman
mental menurun, hilangnya ketrampilan motorik yang halus, penurunan kesadaran,
kejang- kejang dan koma (glukosa darah 20 mg%)
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Kadar glukosa darah (GD) ,tes fungsi ginjal ,tes fungsi hati ,C- peptide.
Pemeriksaan glukosa darah sebelum dan sesudah suntikan dekstrosa.
Gula darah puasa
Diperiksa untuk mengetahui kadar gula darah puasa (sebelum diberi glukosa
75 gram oral) dan nilai normalnya antara 70- 110 mg/dl.
Gula darah 2 jam post prandial
Diperiksa 2 jam setelah diberi glukosa dengan nilai normal < 140 mg/dl/2 jam
HBA1c
Pemeriksaan dengan menggunakan bahan darah untuk memperoleh kadar
gula darah yang sesungguhnya karena pasien tidak dapat mengontrol hasil
tes dalam waktu 2- 3 bulan. HBA1c menunjukkan kadar hemoglobin
terglikosilasi yang pada orang normal antara 4- 6%. Semakin tinggi maka
akan menunjukkan bahwa orang tersebut menderita DM dan beresiko
terjadinya komplikasi.
Elektrolit
Terjadi peningkatan creatinin jika fungsi ginjalnya telah terganggu
Leukosit
Terjadi peningkatan jika sampai terjadi infeksi
Prosedur khusus
Untuk hipoglikemia reaktif tes toleransi glukosa postpradial oral 5 jam
menunjukkan glukosa serum <50 mg/dl setelah 5 jam.
Pemeriksaan laboratorium
Glukosa serum <50 mg/dl, spesimen urin dua kali negatif terhadap glukosa.
EKG
Takikardia
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pada stadium permulaan (sadar), diberikan gula murni 30 gram (sekitar 2 sendok
makan) atau sirup/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula
diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat. Obat hipoglikemik
dihentikan sementara. Glukosa darah sewaktu dipantau setiap 1-2 jam. Bila
sebelumnya pasien tidak sadar, glukosa darah dipertahankan sekitar 200 mg/dl dan
dicari penyebab hipoglikemia.
Pada stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia),
diberikan larutan dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena dan
diberikan cairan dekstrosa 10% per infus sebanyak 6 jam per kolf. Glukosa darah
sewaktu diperiksa. Jika GDS < 50 mg/dl, ditambahkan bolus dekstrosa 40% 50 ml
secara intravena; jika GDS < 100 mg/dl ditambahkan bolus dekstrosa 40% 25 ml
intravena. GDS kemudian diperiksa setiap 1 jam setelah pemberian dekstrosa 40%,
jika GDS < 50 mg/dl maka ditambahkan bolus dekstrosa 40% 50 ml intravena; jika
GDS < 100 mg/dl maka ditambahkan bolus dekstrosa 40% 25 ml intravena; jika GDS
100-200 mg/dl maka tidak perlu diberikan bolus dekstrosa 40%; jika GDS > 200
mg/dl maka dipertimbangkan untuk menurunkan kecepatan drip dekstrosa 10%. Jika
GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDS dilakukan setiap
2 jam dengan protokol sesuai di atas. Jika GDS > 200 mg/dl, pertimbangkan
mengganti infus dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%. Jika GDS > 100 mg/dl
sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDS dilakukan setiap 4 jam dengan
protokol sesuai di atas. Jika GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut,
dilakukan sliding scale setiap 6 jam dengan regular insulin.
Bila hipoglikemi belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin seperti
adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg iv/im. Jika pasien belum
sadar dengan GDS sekitar 200 mg/dl, diberikan hidrokortison 100 mg per 4 jam
selama 12 jam atau deksametason 10 mg iv bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan
manitol 1,5-2 g/kgBB iv setiap 6-8 jam dan dicari penyebab lain penurunan
kesadaran. Untuk menghindari timbulnya hipoglikemia pada pasien perlu diajarkan
bagaimana menyesuaikan penyuntikan insulin dengan waktu dan jumlah makanan
(karbohidrat), pengaruh aktivitas jasmani terhadap kadar glukosa darah, tanda dini
hipoglikemia, dan cara penanggulangannya.
8. KOMPLIKASI
Kerusakan otak
Koma
Kematian
DAFTAR PUSTAKA
Kumar, Vinay; Fausto, Nelson; Abbas, Abul K.; Cotran, Ramzi S. ; Robbins, Stanley L.
(2005). Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease (7th ed.). Philadelphia, Pa.:
Saunders. pp. 1194–1195.
Shoback, edited by David G. Gardner, Dolores (2011). Greenspan's basic & clinical
endocrinology (9th ed.). New York: McGraw-Hill Medical. pp. Chapter 17.
Corwin, E. J. (2001).Patofisiologi.Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002,Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo...(dkk), EGC,
Jakarta
Ripsin CM, Kang H, Urban RJ (January 2009). "Management of blood glucose in type 2
diabetes melitus". Am Fam Physician 79 (1): 29–36
Pasquier, F (2010 Oct). "Diabetes and cognitive impairment: how to evaluate the cognitive
status?". Diabetes & metabolism. 36 Suppl 3: S100–5.