Upload
adiba-shakila
View
67
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tipe diabete melitus dengan patofisiologi, perbedaanSeorang perempuan berusia 58 tahun memeriksakan diri di poliklinik karena luka di kakinya sejak 2 minggu yang lalu tidak kunjung sembuh. Dokter memberitahukan bahwa pasien berat badanya turun 15 kilo sejak kunjungan sebelumnya. Selain berat badanya turun drastis, pasien juga mengatakan ia merasa sering lapar akhir- akhir ini dan lebih sering makan daripada biasanya. Ia juga mengatakan bahwa lebih sering haus dan lebih sering buang air kecil. Dokter menyarankan untuk periksa GDS, GDP, G2PP dan HbAIC. Dari hasil laboratorium dokter memberikan terapi metformin oral dan menganjurkan pengaturan pola makan serta olahraga teratur sesuai kemampuan.
Citation preview
1
Luka Tak Kunjung Sembuh
Seorang perempuan berusia 58 tahun memeriksakan diri di poliklinik
karena luka di kakinya sejak 2 minggu yang lalu tidak kunjung sembuh. Dokter
memberitahukan bahwa pasien berat badanya turun 15 kilo sejak kunjungan
sebelumnya. Selain berat badanya turun drastis, pasien juga mengatakan ia merasa
sering lapar akhir- akhir ini dan lebih sering makan daripada biasanya. Ia juga
mengatakan bahwa lebih sering haus dan lebih sering buang air kecil. Dokter
menyarankan untuk periksa GDS, GDP, G2PP dan HbAIC. Dari hasil
laboratorium dokter memberikan terapi metformin oral dan menganjurkan
pengaturan pola makan serta olahraga teratur sesuai kemampuan.
STEP 1
1. HbAIC : untuk deteksi kena DM/ tidak, zat yang mengikat Hb dan
glukosa selama 12 minggu.
2. GDS : gula darah tanpa harus puasa terlebih dahulu < 140mg/ dl
3. GDP : diukur setelah puasa 10-12 jam, normalnya <126 mg/ dl
4. GD2PP : gula darah 2 jam setelah makan lanjutan dari GDP
pengambilan setelah makan.
5. Metformin : jenis obat diabetes golongan biguanid.
STEP 2
1. Apa saja organ yang berperan ?
2. Apa saja hormon yang berperan ?
3. Bagaimana pengaturan gula darah?
4. Etiologi dan klasifikasi DM ?
5. Mengapa luka tidak kunjung sembuh?
6. Mengapa pasien mengalami BB turun drastis, sering makan, haus dan
BAK?
7. Bagaimana penegakan diagnosis dari kasus ?
8. Apa saja komplikasi yang ditimbulkan dari kasus ?
9. Penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi ?
10. Bagaiman cara kerja metformin ?
2
STEP 3
1. Organ yang berperan pada kasus
a. Pankreas eksokrin dan endokrin berperan pulau langerhans:
α glukagon
β insulin
D simfastatin
P polipeptida
b. Hepar metabolisme glikogen.
c. Ginjal filtrasi, reabsorbsi, ekskresi
2. Hormon yang berperan
Hormon : insulin, glukagon, glukokartikoid, glikogen, epinefrin, leptin.
3. Mekanisme pengaturan gula darah
Gambar 1. Mekanisme Pengaturan Gula darah (Guyton, 2012).
3
4. klasifikasi DM :
a. tipe 1 infeksi virus, reaksi autoimun, insulin tidak dihasilkan
(kekurangan insulin)
b. tipe 2 faktor genetik, idiopatik, gaya hidup, obesitas. ( insulin
banyak, tetapi reseptor insulin tidak peka terhadap hormone tersebut)
5 Penyebab Luka tak kunjung sembuh
a. Kelainan metabolisme protein :
Gangguan transkripsi pertumbuhan jaringan terhambat luka
tidak terkontrol atau sukar sembuh.
b. Glukosa meningkat bakteri pesat mudah terinfeksi
6. Penyebab pasien mengalami BB turun drastis, sering makan, haus dan
lebih sering buang air kecil.
a. BB turun karena danya insulin yang tidak bekerja pada sel
terget, contoh: sel adiposa harus bisa disimpan dengan insulin
karena resisten tidak masuk sel glukoneogenesis
pemecahan glukagon pada otot penurunan BB peningkatan
lemak.
b. Glukagon menurun di lemak dan otot peningkatan lemak
katabolisme protein (otot) polifagi.
c. Haus
Polidipsi : peningkatan osmotik ekstrasel air osmosis keluar sel
dehidrasi intrasel ADH melasi haus.
d. Sering BAK
Ppoliuria : banyak minum karena polidipsi glikosuria tidak bisa
direarbsorbsi glukosa darah keluar melalui urin
7. Penegakan diagnosis
a. Gejala Klasik : poliuri, polidipsi, polifagia, Bb turun.
4
b. Gejala lain : dehidrasi, luka sulit sembuh, bermutasi, mata
pandangan kabur, faktor hereditas dan life style, lemas, disfungsi
ereksi, proritus vulva.
c. Pemeriksaan penunjang
a) HbA1C
b) GDP
c) Darah rutin
d) Kolesterol
e) Urinalisis
f) TTGD
g) GDPP
8. Komplikasi Diabetes mellitus
a. Mikrovaskular : Retinopati diabetikum, Neuropati perifer ,
Gagal ginjal.
b. Makrovaskular : Otak (stroke), Jantung (IMA) ,
Ekstremitas (gangren), Pankreas sel- sel iskemik, Kandung kemih :
neuropati otonom
9. Penatalaksanaan Diabetes melitus
a. Non farmakologi : edukasi, gizi, jasmani.
b. Farmakologi : metformin, glitazone, sulfoniurea, tiazolidion,
glinid, akarbose.
10. Cara kerja Metformin
Penurunan glukosa darah terhadap kerja insulin penurunan produksi
glukosa peningkatan glukosa usus glukosa darah turun
Penurunan absorbsi glukosa usus sesudah makan.
Untuk DM tipe 2 cek kreatinin > 1,5 , mual, diare, dispepsi
Kontraindikasi : koma diabetikum, ketoasidosis, gangguan fungsi ginjal,
hati, IMA, kehamilan/ menyusui.
5
STEP 4
2. Hormon yang berperan
a. Insulin (glukosa darah meningkat)
sel β keluar sel target adiposa glukosa masuk otot
glukosa diotot sintesis glikogen.
Hati glikoneogenesis peningkatan glikolisis peningkatan
glikogenesis.
b. Epinefrin : Respon terhadap penurunan glukosa glikosis dihambat
peningkatan glikoneogenesis
c. Glukagon : Respon terhadap penurunan glukosa dsarah.
d. glukosa peptidase sel α pankreas penurunan glukosa
hati konveksi glikogen aliran darah direspon epinefrin
acetil kolin.
5. Penyebab Luka tak kunjung sembuh
a. Kelainan metabolisme protein :
Gangguan transkripsi pertumbuhan jaringan terhambat luka
tidak terkontrol atau sukar sembuh.
b. Glukosa meningkat bakteri pesat mudah terinfeksi
c. Trombus aterosklerosis nutrisi tidak masuk nekrosis
d. Trombus glukosa meningkat didarah menumpuk glukosa
jadi protein menghambat faktor pembentukan darah ke luka
tak sampai regenerasi terhambat.
e. Infeksi penurunan limfosit, sel menyusut kuman gampang
masuk.
7. Penegakan diagnosis
a. Gejala Klasik : poliuri, polidipsi, polifagia, Bb turun.
b. Gejala lain : dehidrasi, luka sulit sembuh, bermutasi, mata
pandangan kabur, faktor hereditas dan life style, lemas,
disfungsi ereksi, proritus vulva.
6
Kriteria DM
Tabel 1.1 : Kriteria Diagnosis DM (Perkeni.2011)
7
Algoritma penatalaksanaan DM :
SKEMA
Target tercapai Target tidak tercapai setelah 3
bulan
Terapi dilanjutkan dan dicek HbA1C tiap 3-6 bulan
Target tercapai
Terapi dilanjutkan dan dicek HbA1C tiap 3-6 bulan
Target tercapai setelah 3-6 bulan
Kombinasi sulfonilurea
Intermediate-acting insulin : sebelum pemberian intermediate regular insulin : tambah 3 kombinasi antidiabetik oral / ganti untuk memisah dosis insulin? insulin analog terapi, berkunjung ke endokrinologis
Awal Intervensi
Edukasi / Nutrisi / Olah raga
Target tercapai
Target :
HbA1C < 6,5-7,0 %
(Penurunan 0,5-1,0 %)
GDS < 110-130 mg/dl
GD2PP <140-180 mg/dl
Monoterapi / kombinasi awal sulfonilurea atau metformin
Pilihan monoterapi lain :
- Pioglitazon / rosiglitazon
- Nateglinide
- Repaglinide
-Akarbose
Kombinasi lain :
-Metformin / sulfonilurea dengan pioglitazon/rosiglitazon
- atau akarbose / miglitol metformin dengan nateglinide
Dicek HbA1C tiap 3-6 bulan
8
STEP 5
1. Mekanisme Patofisiologi DM
2. Mekanisme komplikasi DM
3. Penatalaksanaan Farmakologi dan non-farmakologi
STEP 7
Glukosa Darah
terapiFarmako nonfarmako
komplikasi Faktor resiko
Struktur organ
Pankrea Ginjal Hati
Fisiologi pengaturan glukosa darah
insulin glukagon
Hormon yang berperan
Insulin
Glukagon
Epinefrin
Glukokortiroid
Penegakan diagnosis
DM (kelainan)
patofisiologi klasifikasi
DM 1 DM 2
9
1. Mekanisme Patofisiologi Diabetes Melitus
Pankreas adalah sebuah kelenjar yang letaknya di belakang lambung.
Di dalamnya terdapat kumpulan sel yang disebut pulau-pulau langerhans yang
berisi sel beta yang mengeluarkan hormon insulin, yang sangat berperan
dalam mengatur kadar glukosa darah. Tiap pankreas mengandung kurang lebih
100.000 pulau langerhans dan tiap pulau berisi 100 sel beta. Bagian endokrin
pankreas memproduksi, menyimpan, dan mengeluarkan hormon dari pulau
langerhans. Pulau langerhans mengandung 4 kelompok sel khusus, yaitu alfa,
beta, delta, dan sel F. Sel alfa menghasilkan glukagon, sedangkan sel beta
menghasilkan insulin. Kedua hormon ini membantu mengatur metabolisme.
Sel delta menghasilkan somatostatin (faktor penghambat pertumbuhan
hipotalamik) yang bisa mencegah sekresi glukagon dan insulin. (Guyton,
2011).
Glukosa terbentuk dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari (terdiri
dari karbohidrat, protein, dan lemak). Kemudian glukosa akan diserap melalui
dinding usus dan disalurkan dalam darah. Setelah makan, kadar glukosa dalam
darah akan lebih tinggi, melebihi glukosa yang dibutuhkan dalam proses
pembentukan energi tubuh. Untuk mencegah meningginya glukosa dengan
tiba-tiba, insulin (hormon yang diproduksi sel beta pankreas) berfungsi
menyimpan glukosa (dinamakan glikogen) dalam hati dan sel-sel otot. Jika
kadar gula menurun maka simpanan glikogen akan kembali ke dalam darah.
Proses ini membutuhkan glukagon. Glikogen yang disimpan dalam hati bisa
bertahan 8-10 jam. Apabila tidak digunakan dalam tempo yang ditentukan
maka simpanan ini akan berubah menjadi lemak. (Corwin, 2008, hlm. 1).
Insulin adalah hormon anabolik (pembentuk) utama tubuh dan memiliki
berbagai efek lain selain menstimulasi transpor glukosa insulin juga
meningkatkan transpor asam amino ke dalam sel menstimulasi sintesis protein
dan glukosa insulin yang menghambat glukoneogenesis, sintesa glukosa ke
tubuh kita, membangun protein, dan mempertahankan kadar glukosa plasma
rendah. (Corwin, 2001, hlm. 620).
Klasifikasi
Menurut klasifikasi klinisnya diabetes melitus dibedakan menjadi :
10
1. Tipe 1 (DMT1) adalah insufisiensi absolut insulin.
2. Tipe 2 (DMT2) adalah resistensi insulin yang disertai defek sekresi insulin
dengan derajat bervariasi
3. Diabetes kehamilan (gestasional) yang muncul pada saat hamil.
4. Gangguan toleransi glukosa (GTG), kadar glukosa antara normal dan
diabetes, dapat menjadi diabetes atau menjadi normal atau tetap tidak
berubah.
(Price, 2005)
Etiologi
Etiologi secara umum tergantung dari tipe Diabetes, yaitu :
1. Diabetes Tipe I ( Insulin Dependent Diabetes Melitus / IDDM ) Diabetes
yang tergantung insulin yang ditandai oleh penghancuran sel-sel beta
pankreas disebabkan oleh :
a. Faktor genetik
Penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri tapi
mewarisi suatu predisposisi / kecenderungan genetik ke arah
terjadinya DM tipe 1. Ini ditemukan pada individu yang
mempunyai tipe antigen HLA ( Human Leucocyte Antigen )
tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab
atas antigen transplatasi dan proses imun lainnya.
b. Faktor Imunologi
Respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan
normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang
dianggap seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun
yang menimbulkan destruksi sel beta.
2. Diabetes Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus / NIDDM )
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin pada diabetes tipe II belum diketahui. Faktor genetik
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
11
Selain itu terdapat faktor-faktor risiko tertentu yang berhubungan yaitu :
a. Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang
secara dramatis menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun.
Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin
pankreas untuk memproduksi insulin. (Sujono & Sukarmin, 2008,
hlm. 73).
b. Obesitas
Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami
hipertropi yang akan berpengaruh terhadap penurunan produksi
insulin. Hipertropi pankreas disebabkan karena peningkatan beban
metabolisme glukosa pada penderita obesitas untuk mencukupi energi
sel yang terlalu banyak. (Sujono & Sukarmin, 2008, hlm.73).
c. Riwayat Keluarga
Pada anggota keluarga dekat pasien diabetes tipe 2 (dan pada
kembar non identik), risiko menderita penyakit ini 5 hingga 10 kali
lebih besar daripada subjek (dengan usia dan berat yang sama) yang
tidak memiliki riwayat penyakit dalam keluarganya. Tidak seperti
diabetes tipe 1, penyakit ini tidak berkaitan dengan gen HLA.
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa diabetes tipe 2
tampaknya terjadi akibat sejumlah defek genetif, masing-masing
memberi kontribusi pada risiko dan masing-masing juga dipengaruhi
oleh lingkungan. (Robbins, 2007, hlm. 67).
d. Gaya hidup (stres)
Stres kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan
yang cepat saji yang kaya pengawet, lemak, dan gula. Makanan ini
berpengaruh besar terhadap kerja pankreas. Stres juga akan
meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan akan
sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban
yang tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak pada
penurunan insulin.
12
Patofisiologi
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal malah mungkin
lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel
yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu
masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang,
hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang
kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit,
sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam
pembuluh darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada
DM tipe 1. Perbedaannya adalah DM tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi
juga kadar insulin tinggi atau normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin.
(Silbernagl, 2007).
Sebagian besar patologi diabetes melitus dapat dihubungkan dengan efek
utama kekurangan insulin yaitu :
a. Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, yang
mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah sampai setinggi
300 sampai 1200 mg per 100 ml.
b. Peningkatan mobilisasi lemak dan daerah penyimpanan lemak
sehingga menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun
pengendapan lipid pada dinding vaskuler.
c. Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Keadaan patologi tersebut akan berdampak :
1. Hiperglikemia
Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang
tinggi daripada rentang kadar puasa normal 80-90 mg/100 ml darah,
atau rentang non puasa sekitar 140-160 mg/100 ml darah. (Corwin,
2001, hlm. 623).
Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa atau produksi
glukosa dalam tubuh akan difasilitasi (oleh insulin) untuk masuk ke
dalam sel tubuh. Glukosa itu kemudian diolah untuk menjadi bahan
energi. Apabila bahan energi yang dibutuhkan masih ada sisa akan
disimpan sebagai glikogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot (sebagai
13
massa sel otot). Proses glikogenesis (pembentukan glikogen dari unsur
glukosa ini dapat mencegah hiperglikemia). Pada penderita diabetes
melitus proses ini tidak dapat berlangsung dengan baik sehingga
glukosa banyak menumpuk di darah (hiperglikemia). Secara rinci
proses terjadinya hiperglikemia karena defisit insulin tergambar pada
perubahan metabolik sebagai berikut :
a. Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel
berkurang.
b. Glukogenesis (pembentukan glikogen dari glukosa)
berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam
darah.
c. Glikolisis (pemecahan glukosa) meningkat, sehingga
cadangan glikogen berkurang, dan glukosa “hati”
dicurahkan dalam darah secara terus menerus melebihi
kebutuhan.
d. Glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari unsur non
karbohidrat) meningkat dan lebih banyak lagi glukosa
“hati” yang tercurah ke dalam darah hasil pemecahan asam
amino dan lemak. (Long, 1996, hlm.11).
Hiperglikemia akan mengakibatkan pertumbuhan berbagai
mikroorganisme dengan cepat seperti bakteri dan jamur. Karena
mikroorganisme tersebut sangat cocok dengan daerah yang kaya
glukosa. Setiap kali timbul peradangan maka akan terjadi mekanisme
peningkatan darah pada jaringan yang cidera. Kondisi itulah yang
membuat mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi.
Kondisi itulah yang membuat mikroorganisme mendapat peningkatan
pasokan nutrisi. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita diabetes
melitus mudah mengalami infeksi oleh bakteri dan jamur. (Sujono,
2008, hlm. 76).
2. Hiperosmolaritas
Hiperosmolaritas adalah adanya kelebihan tekanan osmotik pada
14
plasma sel karena adanya peningkatan konsentrasi zat. Sedangkan
tekanan osmosis merupakan tekanan yang dihasilkan karena adanya
peningkatan konsentrasi larutan pada zat cair. Pada penderita diabetes
melitus terjadinya hiperosmolaritas karena peningkatan konsentrasi
glukosa dalam darah (yang notabene komposisi terbanyak adalah zat
cair). Peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya
kelebihan ambang pada ginjal untuk memfiltrasi dan reabsorbsi
glukosa (meningkat kurang lebih 225 mg/ menit). Kelebihan ini
kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urin
(glukosuria). Ekskresi molekul glukosa yang aktif secara osmosis
menyebabkan kehilangan sejumlah besar air (diuresis osmotik) dan
berakibat peningkatan volume air (poliuria).
Akibat volume urin yang sangaat besar dan keluarnya air yang
menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti
dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel
mengikuti penurunan gradien konsentrasi ke plasma yang hipertonik
(sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH dan
menimbulkan rasa haus. (Corwin,2001, hlm.636).
Glukosuria dapat mencapai 5-10% dan osmolaritas serum lebih
dan 370-380 mosmols/ dl dalam keadaan tidak terdapatnya keton
darah. Kondisi ini dapat berakibat koma hiperglikemik hiperosmolar
nonketotik (KHHN). (Sujono, 2008, hlm. 77).
3. Starvasi Selluler
Starvasi Selluler merupakan kondisi kelaparan yang dialami oleh
sel karena glukosa sulit masuk padahal di sekeliling sel banyak sekali
glukosa. Ada banyak bahan makanan tapi tidak bisa dibawa untuk
diolah. Sulitnya glukosa masuk karena tidak ada yang memfasilitasi
untuk masuk sel yaitu insulin.
Dampak dari starvasi selluler akan terjadi proses kompensasi
selluler untuk tetap mempertahankan fungsi sel. Proses itu antara lain :
a. Defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa
bagi jaringan-jaringan peripheral yang tergantung pada
15
insulin (otot rangka dan jaringan lemak). Jika tidak terdapat
glukosa, sel-sel otot memetabolisme cadangan glikogen
yang mereka miliki untuk dibongkar menjadi glukosa dan
energi mungkin juga akan menggunakan asam lemak bebas
(keton). Kondisi ini berdampak pada penurunan massa otot,
kelemahan otot, dan rasa mudah lelah.
b. Starvasi selluler juga akan mengakibatkan peningkatan
metabolisme protein dan asam amino yang digunakan
sebagai substrat yang diperlukan untuk glukoneogenesis
dalam hati. Hasil dari glukoneogenesis akan dijadikan
untuk proses aktivitas sel tubuh.
Protein dan asam amino yang melalui proses
glukoneogenesis akan dirubah menjadi CO2 dan H2O serta
glukosa. Perubahan ini berdampak juga pada penurunan
sintesis protein.Proses glukoneogenesis yang menggunakan
asam amino menyebabkan penipisan simpanan protein
tubuh karena unsur nitrogen (sebagai unsur pemecah
protein) tidak digunakan kembali untuk semua bagian tetapi
diubah menjadi urea dalam hepar dan dieksresikan dalam
urine. Ekskresi nitrogen yang banyak akan berakibat pada
keseimbangan negative nitrogen.Depresi protein akan
berakibat tubuh menjadi kurus, penurunan resistensi
terhadap infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan yang
rusak (sulit sembuh kalau cidera).
c. Starvasi sel juga berdampak peningkatan mobilisasi dan
metabolisme lemak (lipolisis) asam lemak bebas,
trigliserida, dan gliserol yang akan meningkat bersirkulasi
dan menyediakan substrat bagi hati untuk proses
ketogenesis yang digunakan sel untuk melakukan aktivitas
sel. Ketogenesis mengakibatkan peningkatan kadar asam
organik (keton), sementara keton menggunakan cadangan
alkali tubuh untuk buffer pH darah menurun. Pernafasan
16
kusmaull dirangsang untuk mengkompensasi keadaan
asidosis metabolik. Diuresis osmotik menjadi bertambah
buruk dengan adanya ketoanemis dan dari katabolisme
protein yang meningkatkan asupan protein ke ginjal
sehingga tubuh banyak kehilangan protein.
Adanya starvasi selluler akan meningkatakan mekanisme
penyesuaian tubuh untuk meningkatkan pemasukan dengan
munculnya rasa ingin makan terus (polifagi). Starvasi selluler juga
akan memunculkan gejala klinis kelemahan tubuh karena terjadi
penurunan produksi energi. Dan kerusakan berbagai organ
reproduksi yang salah satunya dapat timbul impotensi dan orggan
tubuh yang lain seperti persarafan perifer dan mata (muncul rasa
baal dan mata kabur). (Sujono, 2008)
Penegakan diagnosis
A. Gambaran Klinis
Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian ialah:
a) Keluhan Klasik
1) Penurunan berat badan
Penurunan berat badan yang berlangsung dalam
waktu relatif singkat harus menimbulkan kecurigaan. Hal ini
disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam
sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan
tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa
diambil dari cadangan lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya
penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga
menjadi kurus.
2) Banyak kencing
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi
akan menyebabkan banyak kencing. Kencing yang sering dan
dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu penderita,
terutama pada waktu malam hari.
17
3) Banyak minum
Rasa haus sering dialami oleh penderita karena
banyaknya cairan yang keluar melalui kencing. Keadaan ini
justru sering disalah tafsirkan. Dikira sebab rasa haus ialah
udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk
menghilangkan rasa haus itu penderita minum banyak.
4) Banyak makan
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah
dimetabolisme menjadi glukosa dalam darah tidak seluruhnya
dapat dimanfaatkan, penderita selalu merasa lapar.
b) Keluhan lain:
1) Gangguan saraf tepi / Kesemutan
Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan
terutama pada kaki di waktu malam, sehingga mengganggu
tidur. Gangguan penglihatan Pada fase awal penyakit
Diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan yang
mendorong penderita untuk mengganti kacamatanya berulang
kali agar ia tetap dapat melihat dengan baik.
2) Gatal / Bisul
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di
daerah kemaluan atau daerah lipatan kulit seperti ketiak dan
di bawah payudara. Sering pula dikeluhkan timbulnya bisul
dan luka yang lama sembuhnya. Luka ini dapat timbul akibat
hal yang sepele seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk
peniti.
3) Gangguan Ereksi
Gangguan ereksi ini menjadi masalah tersembunyi
karena sering tidak secara terus terang dikemukakan
penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat yang
masih merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi
menyangkut kemampuan atau kejantanan seseorang.
18
4) Keputihan
Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan
keluhan yang sering ditemukan dan kadang-kadang
merupakan satu-satunya gejala yang dirasakan.
Diagnosa Diabetes Melitus dapat ditegakan melalui tiga cara
Tabel 1.1 : Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus
(Perkeni:2006)
Dalam menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah
yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai (Shahab,2006).
a. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan
salah satu faktor risiko untuk DM, yaitu:
1) Kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )
2) Kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)}
3) Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmhg)
4) Riwayat keluarga DM
5) Riwayat kehamilan dengan bb lahir bayi > 4000 gram
6) Riwayat dm pada kehamilan
7) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl
19
8) Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa
darah puasa terganggu)
Tabel 1.2 Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Kadar glukosa darah sewaktu
Bukan DM Belum pasti DM DM
Plasma Vena < 110 110 – 199 ≥200
Darah Kapiler < 90 90 - 199 ≥200
Kadar glukosa darah puasa
Bukan DM Belum pasti DM DM
Plasma Vena < 110 110 – 125 ≥126
Darah Kapiler
< 90 90 - 109 ≥110
Sumber : Perkeni, 2006
B. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang
b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam
posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik,
serta ankle brachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan
penyakit pembuluh darah arteri tepi
c. Pemeriksaan funduskopi
d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
e. Pemeriksaan jantung
f. Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
g. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
h. Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan
insulin) dan pemeriksaan neurologis.
(Perkeni.2011)
20
C. Pemeriksaan penunjang
a. Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
b. HbA1C
c. Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan
trigliserida)
d. Kreatinin serum
e. Albuminuria
f. Keton, sedimen, dan protein dalam urin
(Perkeni.2011)
2. Mekanisme Patofisiologi komplikasi diabetes mellitus
a. Komplikasi Akut
1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Ketoasidosis diabetik adalah suatu keadaan dimana terdapat
defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra
regulator (glukagon, ketokolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan),
keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan
utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir
hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak
menentukan berat ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis
KAD dapat dkelompokkan menjadi dua bagian yaitu (Ganong, 2012).:
a. Akibat hiperglikemi
b. Akibat ketosis
Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem
homeostasis tubuh terus teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam
jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia. Kombinasi defisiensi
insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama
epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak.
Akibat lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi
benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi
produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik
21
asidosis. Benda keton utama adalah asam asetoasetat dan 3 beta
hidroksi butirat, dalam keadaan normal kadar 3 beta hidroksi butirat
meliputi 75-85% dan aseton darah merupakan benda keton yang tidak
begitu penting. Meskipun sudah tersedia bahan bakar tersebut sel-sel
tubuh masih tetap lapar dan terus memproduksi glukosa (Ganong,
2012).
Hanya insulin yang dapat menginduksi transpor glukosa ke
dalam sel, memberi signal untuk proses perubahan glukosa menjadi
glikogen , menghambat lipolisis pada sel lemak, menghambat
glukoneogenesis pada sel hati serta mendorong proses oksidasi melalui
siklus Krebs dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi tersebut
akan dihasilkan adenin trifosfat (ATP) yang merupakan sumber energi
utama sel. Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat
keadaan defisiensi insulin relatif. Meningkatnya hormon kontra
regulator insulin, meningkatnya asam lemak bebas, hiperglikemia,
gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa dapat mengganggu
sensitivitas insulin (Ganong, 2012).
Pada KAD terjadi defisiensi insulin absolut atau relatif
terhadap hormon kontra regulasi yang berlebihan glukagon, epinefrin,
kortisol, dan hormon pertumbuhan. Defisiensi insulin dapat
disebabkan oleh resistensi insulin atau suplai insulin endogen atau
eksogen yang berkurang. Defisiensi aktivitas insulin tersebut,
menyebabkan 3 proses patofisiologi yang nyata pada 3 organ, yaitu
sel-sel lemak, hati dan otot. Perubahan yang terjadi terutama
meibatkan metabolisme lemak dan karbohidrat (Ganong, 2012).
Diantara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang
paling berperan dalam ketogenesis KAD. Glukagon mengahambat
proses glikolisis dan menghambat pembentukan malonyl CoA adalah
suatu penghambat cartnitine acyl transferase yang bekerja pada
transfer asam lemak bebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian
peningkatan glukagon akan merangsang oksidasi beta asam lemak dan
ketogenesis. Pada pasien DM tipe 1, kadar glukagon darah tidak
22
teregulasi dengan baik, bila kadar insulin rendah maka kadar glukagon
darah sangat meningkat serta mengakibatkan reaksi kebalikan respons
insulin pada sel-sel lemak dan hati (Ganong, 2012).
Kadar epinefrin dan kortisol darah menngikat pada KAD.
Hormon pertumbuhan pada awal terapi KAD kadarnya kadang-
kadang meningkat dan lebih meningkat lagi dengan pemberian insulin.
Keadaan stres sendiri meningkatkan hormon kontra regulasi yang pada
akhirnya akan menstimulasi pembentukan benda-benda keton,
glukonoegenesis serta potensial sebagai pencetus KAD. Sekali proses
KAD terjadi maka akan terjadi stres berkepanjangan (Ganong, 2012).
b. Komplikasi Kronik
Hiperglikemia menyebabkan terjadi komplikasi pada DM. Pada
keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan pembentukan Protein
Glikasi non enzimatik serta peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang
menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya
menyebabkan komplikasi baik vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun
nefropati diabetika (Ganong, 2012).
Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu:
1. Komplikasi Mikrovaskular
Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya
kapiler. Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus.
a) Patofisiologi Retinopati Diabetik
Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada
retinopati DM dan terjadi melalui beberapa jalur. Pertama,
hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygenintermediates
(ROIs) dan advanced glycationendproducts (AGEs). ROIs dan
AGEs merusak perisit dan endotel pembuluh darah serta
merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric oxide (NO),
prostasiklin, insulin-likegrowth factor-1 (IGF-1), dan endotelin
yang akan memperparah kerusakan. Kedua, hiperglikemia kronik
mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan glikosilasi dan
23
ekspresi aldose reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol.
Glikosilasi dan akumulasi sorbitol kemudian mengakibatkan
kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi enzim endotel
(Ganong, 2012).
Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal
intraseluler protein kinase C (PKC). Vascular endothelialgrowth
factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC.
VEGF menstimulasi ekspresi intracellular adhesionmolecule-1
(ICAM-1) yang memicu terbentuknya ikatan antara leukosit dan
endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut menyebabkan kerusakan
sawar darah retina, serta trombosis dan oklusi kapiler retina.
Keseluruhan jalur tersebut menimbulkan gangguan sirkulasi,
hipoksia, dan inflamasi pada retina. Hipoksia menyebabkan
ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan sehingga merangsang
pembentukan pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan pada
membran basalisnya, defisiensi taut kedap antarsel endotelnya, dan
kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi kebocoran protein
plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous (Ganong,
2012).
b) Patofisiologi Nefropati Diabetik
Diabetes mellitus tipe 2, merupakan penyebab nefropati
paling banyak, sebagi penyebab terjadinya gagal ginjal terminal.
Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengakibatkan
perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar
seperti protein dapat lolos ke dalam kemih. Akibat nefropati
diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati
diabetik ditandai dengan adanya proteinuri persisten ( >0.5 gr/24
jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Dengan demikian upaya
preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol
tekanan darah (Ganong, 2012).
24
c) Neuropati Diabetik
Mekanisme yang mendasari neuropati perifer tergantung
dari kelainan yang mendasarinya. Diabetes sebagai penyebab
tersering, dapat mengakibatkan neuropati melalui peningkatan
stress oksidatif yang meningkatkan Advance Glycosylated End
products (AGEs), akumulasi polyol, menurunkan nitric oxide,
mengganggu fungsi endotel, mengganggu aktivitas Na/K ATPase,
dan homosisteinemia. Pada hiperglikemia, glukosa berkombinasi
dengan protein, menghasilkan protein glikosilasi, yang dapat
dirusak oleh radikal bebasi dan lemak, menghasilkan AGE yang
kemudian merusak jaringan saraf yang sensitif. Selain itu,
glikosilasi enzim antioksidan dapat mempengaruhi sistem
pertahanan menjadi kurang efisien (Sudoyo, 2009).
Glukosa di dalam sel saraf diubah menjadi sorbitol dan
polyol lain oleh enzim aldose reductase. Polyol tidak dapat
berdifusi secara pasif ke luar sel, sehingga akan terakumulasi di
dalam sel neuron, yang menganggu kesetimbangan gradien
osmotik sehingga memungkinkan natrium dan air masuk ke dalam
sel dalam jumlah banyak. Selain itu, sorbitol juga dikonversi
menjadi fruktosa, dimana kadar fruktosa yang tinggi meningkatkan
prekursor AGE. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf
menurunkan aktivitas Na/K ATPase (Sudoyo, 2009).
Nitric oxide memainkan peranan penting dalam mengontrol
aktivitas Na/K ATPase. Radikal superoksida yang dihasilkan oleh
kondisi hiperglikemia mengurangi stimulasi NO pada aktivitas
Na/K ATP ase. Selain itu penurunan kerja NO juga mengakibatkan
penurunan aliran darah ke saraf perifer (Sudoyo, 2009).
2. Komplikasi Makrovaskular
Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah
besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati
tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM timbul lebih cepat, lebih
25
seing terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis
menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit, kardiovaskular
dan penderita diabetes meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal.
Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan
kontrol kadar gula darah yang baik. Tetapi telah terbukti secara
epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko
mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin
menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar insulin
puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner
sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor
aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi
makrovaskular (Sudoyo, 2009).
a) Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan
suatu faktor risiko koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada
50-70% penderita diabetes. Akibat gangguan pada koroner timbul
insufisiensi koroner atau angina pektoris yang timbul saat
beraktifitas atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau
mendapat nitrat sublingual. Akibat yang paling serius adalah infark
miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan tidak
mereda dengan pemberian nitrat. Namun gejala-gejala ini dapat
tidak timbul pada penderita diabetes sehigga perlu perhatian yang
lebih teliti (Sudoyo, 2009).
b) Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas
kedua tersering pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga
penderita stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering
timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita
diabetes. Akibat berkurangnya aliran arteri karotis interna dan
arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia,
berupa (Sudoyo, 2009):
26
a. Pusing, sinkop
b. Hemiplegia: parsial atau total
c. Afasia sensorik dan motorik
d. Keadaan pseudo-dementia
c) Penyakit pembuluh darah
Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya
aterosklerosis, yang dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah.
Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka akan
meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnya
terjadi payah jantung. Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar
pada diabetes dibanding pada orang normal. Risiko ini akan
meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti
dislipidemia, obesitas, hipertensi atau merokok. Penyakit
pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi
pada penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di
bawah lutut). Pada diabetes, penyakit pembuluh darah perifer
biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai fase IV.
Faktor faktor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang
disertai infeksi merupakan faktor utama terjadinya proses gangren
diabetik. Pada penderita dengan gangren dapat mengalami
amputasi, sepsis, atau sebagai faktor pencetus koma, ataupun
kematian (Sudoyo, 2009).
d) Kaki Diabetik
Kaki Diabetik adalah segala bentuk kelainan yang terjadi
pada kaki yang disebabkan oleh Diabetes Melitus. Faktor utama
yang mempengaruhi terbentuknya kaki diabetik merupakan
kombinasi neuropati otonom dan neuropati somatik, insufisiensi
vaskuler serta infeksi. Penderita kaki diabetik yang masuk rumah
sakit umumnya disebabkan oleh trauma kecil yang tidak dirasakan
oleh penderita. Banyak sekali faktor yang berpengaruh dalam
27
terjadinya kaki diabetik. Secara umum faktor-faktor tersebut dapat
di bagi menjadi (Sudoyo, 2009):
1. Faktor predisposisi
Faktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap
trauma seperti kelainan makro vaskuler dan mikro vaskuler,
jenis kelamin, merokok dan neuropati otonom. Faktor yang
meningkatkan kemungkinan terkena trauma seperti neuropati
motorik, neuropati sensorik, limited joint mobility dan
komplikasi DM yang lain seperti mata kabur (Sudoyo, 2009).
2. Faktor presipitasi
a. Perlukaan di kulit (jamur)
b. Trauma.
c. Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama.
3. Faktor yang memperlambat penyembuhan luka.
a. Derajat luka.
b. Perawatan luka.
c. Pengendalian kadar gula darah.
Pada pembuluh darah, akibat komplikasi Diabetes Melitus
terjadi ketidak rataan permukaan lapisan dalam arteri sehingga
aliran lamelar berubah menjadi turbulen yang berakibat pada
mudahnya terbentuk trombus. Pada stadium lanjut seluruh lumen
arteri akan tersumbat dan mana kala aliran kolateral tidak cukup,
akan terjadi iskemia dan bahkan gangren yang luas. Manifestasi
angiopati pada pembuluh darah penderita Diabetes Melitus antara
lain berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer
yang terutama sering terjadi pada tungkai bawah. Pada penderita
muda, pembuluh darah yang paling awal mengalami angiopati
adalah arteri tibialis. Kelainan arteri akibat diabetes juga sering
mengenai bagian distal dari arteri Femoralis Profunda, arteri
Poplitea, arteri Tibialis dan arteri Digitalis Pedis (Sudoyo, 2009).
28
Akibatnya perfusi jaringan distal dari tungkai jadi kurang
baik dan timbul ulkus yang kemudian dapat berkembang menjadi
nekrosis/gangren yang sangat sulit di atasi dan tidak jarang
memerlukan amputasi. Perubahan viskositas darah dan fungsi
trombosit, penebalan membrana basalis serta penurunan produksi
protasiklin akan memacu terbentuknya mikro trombus dan
penyumbatan mikro vaskuler. Peristiwa ini mengakibatkan
timbulnya iskemia organ atau jaringan yang bersangkutan,
termasuk serabut saraf perifernya (Sudoyo, 2009).
Infeksi di mulai dari kulit celah jari kaki dan dengan cepat
menyebar melalui jalur muskulofasial. Selanjutnya infeksi
menyerang kapsul, tendon dan otot kaki maupun pada tungkai
hingga terjadi selulitis. Kaki diabetik klasik biasanya timbul di
atas kaput metatarsal pada sisi plantar pedis. Sebelumnya di atas
lokasi tersebut, terdapat kalus yang tebal dan kemudian menyebar
lebih dalam dan dapat mengenai tulang. Akibatnya terjadi
osteomielitis sekunder (Sudoyo, 2009).
Sedangkan kuman penyebab infeksi pada penderita diabetes
biasanya multi bakterial yaitu gram negatif, gram positif dan
anaerob yang bekerja secara sinergik. Infeksi sering berlangsung
agresif dan cepat meluas serta mudah terbentuk gangren yang
selanjutnya merupakan ancaman hilangnya kaki. Di samping itu,
50% dari kasus ulkus / gangren diabetes akan mengalami infeksi
akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk
berkembangnya bakteri pathogen.Jika kadar gula darah tidak
terkontrol maka infeksi akan jadi lebih serius. Hal ini disebabkan
pada infeksi akan disekresi hormon kontra insulin seperti
katekolamin, kortisol, homon pertumbuhan dan glukagon yang
menyebabkan meningkatnya kadar gula darah (Sudoyo, 2009).
Peningkatan kadar gula darah juga menyebabkan gagalnya
fungsi netrofil dan gangguan sistim imunologi. Sebagai mana
diketahui, dalam melaksanakan fagositosis, sel PMN
29
membutuhkan energi dari glukosa eksogen untuk mempertahankan
aktifitasnya. Dengan bantuan insulin yang melekat erat pada sel
PMN, glukosa ekstrasel dapat dipakai sebagai sumber energi.
Sumber energi ini akan berkurang pada pasien diabetes yang
mengalami kekurangan insulin ada tiga faktor yang berperan pada
penyembuhan luka dan infeksi pada kaki diabetik. Faktor pertama
adalah angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi jaringan kaki
kurang baik hingga mekanisme radang jadi tidak efektif. Faktor
kedua adalah lingkungan gula darah yang subur untuk
perkembangan bakteri patogen dan faktor ketiga ialah karena
adanya pintas arterio venosa di subkutis yang terbuka hingga aliran
nutrien tidak sampai ke tempat infeksi (Sudoyo, 2009).
Gangguan mikro sirkulasi dan neuropati punya hubungan
yang erat dengan patogenesis kaki diabetik. Neuropati diabetik
pada fase awal menyerang saraf halus terutama di ujung-ujung
kaki. Hal ini di sebut sebagai fenomena dying back, di mana ada
teori yang menyatakan bahwa semakin panjang saraf semakin
rentan untuk di serang. Jadi dibandingkan dengan ekstremitas atas,
ternyata ekstremitas bawah yang lebih dulu terkena. Gangguan
mikro sirkulasi selain menurunkan aliran darah dan hantaran
oksigen pada serabut saraf keadaan ini bersama dengan proses jalur
sorbitol dan mekanisme lain akan mengakibatkan neuropati juga
akan menurunkan aliran darah ke perifer hingga aliran tidak cukup
dan terjadi iskemia dan bahkan gangren (Ganong, 2012).
Kerusakan saraf motorik akan menyebabkan atropi otot-
otot instrinsik yang menimbulkan kelemahan pada kaki dan
keterbatasan gerak sendi akibat akumulasi kolagen di bawah
dermis hingga terjadi kekakuan periartikuler. Deformitas akibat
atropi otot dan keterbatasan gerak sendi menyebabkan perobahan
keseimbangan di sendi kaki, perubahan cara berjalan dan
menimbulkan titik tumpu baru pada telapak kaki serta berakibat
pada mudahnya terbentuk kalus yang tebal. Seiring dengan
30
berlanjutnya trauma, di bagian dalam kalus tersebut mudah terjadi
infeksi yang kemudian berubah jadi ulkus dan akhirnya gangren.
Chargot foot merupakan derfomitas kaki diabetik akibat neuropati
yang klasik dengan 4 tahap perkembangan (Ganong, 2012):
a) Adanya riwayat trauma ringan disertai kaki panas, merah dan
bengkak.
b) Terjadi di solusi, fragmentasi dan fraktur pada persendian
tarsometatarsal.
c) Terjadi fraktur dan kolap persendian.
d) Timbul ulserasi plantaris pedis.
Kehilangan fungsi sensorik menyebabkan penderita
kehilangan daya kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsangan
dari luar. Nilai ambang proteksi dari kaki ditentukan oleh normal
tidaknya fungsi saraf sensoris kaki. Pada keadaan normal sensasi
yang di terima menimbulkan reflek untuk meningkatkan reaksi
pertahanan dan menghindarkan diri dari rangsangan yang
menyakitkan dengan cara merubah posisi kaki untuk mencegah
terjadinya kerusakan yang lebih besar. Sebagian impul akan
diteruskan ke otak dan di sini sinyal di olah dan kemudian respon
di kirim melalui saraf motorik (Ganong, 2012).
Pada penderita Diabetes Melitus yang telah mengalami
neuropati perifer saraf sensorik pasien tidak merasakan dan tidak
menyadari adanya trauma kecil namun sering. Pasien tidak
merasakan adanya tekanan yang besar pada telapak kaki.
Semuanya baru diketahui setelah timbul infeksi, nekrosis atau
ulkus yang sudah tahap lanjut dan dapat membahayakan
keselamatan pasien. Berbagai macam mekanisme terjadinya luka
dapat terjadi pada pasien Diabetes Melitus, seperti (Ganong, 2012):
a. Tekanan rendah tetapi terus-menerus dan berkelanjutan
(Luka pada tumit karena lama berbaring, dekubitus).
b. Tekanan tinggi dalam waktu pendek (luka, tertusuk
jarum/paku).
31
c. Tekanan sedang berulang kali (pada tempat deformitas pada
kaki)
Pada kaki diabetik gangguan saraf otonom yang berperan terutama
adalah akibat kerusakan saraf simpatik. Gangguan saraf otonom ini
mengakibatkan:
a. Perubahan aliran darah
b. Produksi keringat berkurang atau tidak ada
c. Hilangnya tonus vasomotor.
Neuropati otonom mengakibatkan produksi keringat berkurang
terutama pada tungkai yang menyebabkan kulit penderita mengalami
dehidrasi serta jadi kering dan pecah-pecah sehingga memudahkan infeksi
dan selanjutnya timbul selulitis, ulkus ataupun gangren. Selain itu
neuropati otonom juga menyebabkan terjadinya pintas arterio venosa
hingga terjadi penurunan nutrisi jaringan yang berakibat pada perubahan
komposisi, fungsi dan sifat viskoelastisitas hingga daya tahan jaringan
lunak dari kaki akan menurun dengan akibat mudah terjadi ulkus (Ganong,
2012).
3. Penatalaksanaan Farmakologi dan non-farmakologi
A. Terapi non-farmakologi DM
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus
terdiri dari: pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan
gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal
sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi
berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang
dilakukan secara terus-menerus, kedua terapi farmakologis, yang
meliputi pemberian obat antidiabetes oral dan injeksi insulin. Terapi
farmakologis pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non
farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar
glukosa darah sebagaimana yang diharapkan. Pemberian terapi
farmakologis tetap tidak meninggalkan terapi non farmakologis yang
telah diterapkan sebelumnya (Sudoyo, 2009).
32
A) Terapi Gizi medis
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi
yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetesi).
Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah pengaturan pola makan
yang didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet
berdasarkan kebutuhan individual (Sudoyo, 2009). Beberapa manfaat
yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain :
1. Menurunkan berat badan
2. Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolic
3. Menurunkan kadar glukosa darah
4. Memperbaiki profil lipid
5. Meningkatkan snsitivitas reseptor insulin
6. Memperbaiki system koagulasi darah.
Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan :
i. Kadar glukosa darah mendekati normal ;
i. Glukosan puasa berkisar 90-130mg/dl
ii. Glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dl
iii. Kadar A1c < 7%
ii. Tekanan darah < 130/80 mmHg
iii. Profil lipid ;
i. Kolesterol LDL < 100 mg/dl
ii. Kolesterol HDL > 40 mg/dl
iii. Trigliserida <150 mg/dl
Berat badan senormal mungkin
Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizi medis ini
difokuskan pada perubahan pola makan yang didasarkan pada gaya
hidup dan pola kebiasaan makan, status nutrisi dan factor khusus lain
yang perlu diberikan prioritas. Pencapaian target perlu dibicarakan
bersama dengan diabetes, sehingga perubahan pola makan yang
dianjurkan dapat dengan mudah dilaksanakan, realistik dan sederhana
(Sudoyo, 2009).
33
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan
perubahan pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan,
status gizi, status kesehatan,aktivitas fisik, dan factor usia. Selain itu
juga terdapat beberapa faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa
pertumbuhan, gangguan pencernaan pada usia tua, dan lain-lain. Pada
keadaan infeksi berat dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi
perlu dipertingbangkan pemberian nutrisi khusus. Masalah lain yang
juga tidak kalaj pentingnya adalah masalah ekonomi, lingkungan,
kebiasaan atau tradisi di dalam lingkungan yang bersangkutan serta
kemampuan petugas kesehatan yang ada (Sudoyo, 2009).
Petugas kesehatan harus dapat menentukan jumlah, komposisi
dari makanan yang akan dimakan oleh diabetes. Diabetes harus dapat
melakukan perubahan pola makan ini secara konsisten bauk dalam
jadwal, jumlah, dan jenis makanan sehari-hari (Sudoyo, 2009).
Komposisi bahan makanan yang akan dimakan terdiri dari
makronutrien yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak, serta
mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur
sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetes secara
tepat (Sudoyo, 2009).
a. Karbohidrat.
Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetes
tidak boleh boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energy sehari,
atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan pemberian
asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty
acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar
4 kilokalori (Sudoyo, 2009).
Rekomendasi pemberian karbohidrat:
1. Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung
karbohidrat, lebih ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan
dengan jenis karbohidrat itu sendiri.
2. Dari total kebutuhan kalori per hari, 60-70% diantaranya berasal
dari sumber karbohidrat.
34
3. Jika ditambah MUFA sebagai sumber energy, maka jumlah
karbohidrat maksimal 70% dari total kebutuhan per hari
4. Jumlah serat 25-50 gram per hari
5. Jumlah sukrosa sebagai sumber energy tidak perlu dibatasi,
namun jangan sampai lebih dari total kalori per hari.
6. Sebagian pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti
sakarin, aspartame, acesulfam dan sukralosa.
7. Penggunaan alcohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10
gram/hari.
8. Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari.
9. Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.
b. Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15%
dari total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana
diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram per hari, maka
perlu ditambahkan pemberian suplementasi asam amino esensial. Protein
mengandung energy sebesar 4 kilokalori/gram. Rekomendasi pemberian
protein :
1. Kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energy per hari.
2. Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan
protein tidak akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah.
3. Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol,
pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg berat badan per hari.
4. Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan
sampai 0,85 gram/kg berat badan per hari dan tidak kurang dari
40 gram
5. Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein
nabati lebih dianjurkan dari protein hewani
c. Lemak.
35
Lemak mempunyai kandungan energy sebesar 9 kilokalori per
gramnya. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin A,
D, E, dan K. berdasarkan ikatan karbonnya, lemak dikelompokan
menjadi lemak jenuh dan tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh
dan kolesterol sangat disarnkan bagi diabetesi karena terbukti dapat
memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering dijumpai pada
diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty
acid = MUFA), merupakan salah satu asam lemak yang dapat
memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA
pada diet diabetes dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total,
kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan
asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid =
PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida,
memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak amega
3 yang dapat menurunkan kadar sintesis VLDL di dalam hati dan
meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan
kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar
kolesterol LDL (Sudoyo, 2009).
Rekomendasi pemberian lemak :
1. Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah
maksimal 10% dari total kebutuhan kalori per hari.
2. Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh
diturunkan sampai maksimal 7% dari total kalori per hari
3. Konsumsi kolesterol maksiamal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol
LDL ≥ 100 mg/dl, maka maksimal kolesterol yang dapat di
konsumsi 200 mg per hari
4. Batasi asupan asam lemak bentuk trans
5. Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan
asam lemak tidak jenuh rantai panjang
6. Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksiamal 10%
dari asupan kalori per hari.
36
Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada
tidaknya stress akut, dan kegiatan jasmani. Penentuan status gizi dapat
dipakai indeks massa tubuh (IMT) atau rumus Brocca (Sudoyo, 2009).
Penentuan status gizi berdasarkan IMT
IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi
tinggi badan (dalam diameter) kuadrat (Sudoyo, 2009).
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT :
i. Berat badan kurang < 18,5
ii. Berat badan normal 18,5 - 22,9
iii. Berat badan lebih ≥ 23,0
iv. Dengan resiko 23 -24,9
v. Obes I 25 – 29,9
vi. Obes II ≥ 30
Penentuan status gizi berdasarkan rumus Brocca
Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan
rumus :
Berat Badan Idaman (BBI kg) = (TB cm – 100) – 10%
Untuk laki-laki < 160 cm, wanita < 150 cm, perhitungan BB idaman tidak
dikurangi 10%.
Penentuan status gizi dihitung dari :
(BB aktual : BB idaman) x 100%
Berat badan kurang BB < 90% BBI
Berat badan normal BB 90 – 110% BBI
Berat badan lebih BB 110 – 120% BBI
Gemuk BB > 120% BBI
Untuk kepentingan praktis dalam praktek di lapangan, digunakan
rumus Brocca.
a. Penentuan kebutuhan kalori per hari :
1. Kebutuhan basal :
Laki-laki : BB idaman (kg) x 30 kalori
37
Wanita : BB idaman (kg) x 25 kalori
2. Koreksi atau penyesuaian:
i. Umur diatas 40 tahun : - 5%
ii. Aktivitas ringan : + 10%
(duduk-duduk, nonton televise dll)
iii. Aktivitas sedang : + 20%
(kerja kantoran, ibu rumah tangga, perawat, dokter)
iv. Aktivitas berat : + 30%
(olahragawan, tukang becak dll)
v. Berat badan gemuk : - 20%
vi. Berat badan lebih : - 10%
vii. Berat badan kurus : + 20%
3. Stress metabolik : + 10% - 30%
(infeksi, opersi, stroke, dll)
4. Kehamilan trimester I dan II : + 300%
5. Kehamilan trimester III dan menyusui : + 500%
Makanan tesebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi
(20%), makan siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan
(10-15%) di antara makan besar (Sudoyo, 2009).
Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan normal, kecuali
dalam pengaturan jadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk
merubah pola makan ini secara bertahap sesuai dengan kondisi dan
kebiasaan penderita (Sudoyo, 2009).
B. Jenis Bahan Makanan
Ada beberapa jenis makanan yang dianjurkan dan jenis makanan
yang tidak dianjurkan atau dibatasi bagi penderita Diabetes Mellitus
yaitu (ADA, 2007):
38
a. Sumber karbohidrat
Bahan makanan sumber karbohidrat kompleks diantaranya nasi, beras
merah, mie, kacang, kentang, ubi, singkong, gandum, sagu, sereal, dan
roti (ADA, 2007).
b. Sumber Protein Rendah Lemak
Bahan makanan sumber protein rendah lemak diantaranya: ayam tanpa
kulit, ikan, susu, skim, yoghurt, tahu, tempe, dan kacang-kacangan
(ADA, 2007).
c. Buah
Papaya, apel, pisang, kedondong, salak semangka, jeruk, pir, belimbing,
melon, dan buah mangga
d. Sayuran
Sayuran dibagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan A dan sayuran
golongan B
1) Sayuran golongan A
Sayuran yang bebas dikonsumsi, mengandung sedikit sekali
energi, protein dan karbohidrat. Contohnya: gambas (oyong), lobak,
selada, jamur segar, mentimun, tomat, sawi, toge, kangkung, terong,
kembang kol, lobak, labu air (ADA, 2007).
2) Sayuran golongan B
Sayuran golongan B adalah sayuran yang boleh dikonsumsi,
tetapi dibatasi 100 gram setiap hari. Jenis sayuran golongan B
diantaranya buncis, daun melinjo, daun pakis, daun singkong, daun
papaya, labu siam, katuk, pare, nangka muda, jagung muda, genjer
kacang kapri, jantung pisang, labu, waluh, daun beluntas, bayam, kacang
panjang, dan wortel (ADA, 2007).
Bahan makanan yang tidak dianjurkan bagi penderita diabetes
sebagai berikut (ADA, 2007):
a. Mengandung banyak gula sederhana seperti gula pasir,gula aren, jeli,
sirup, susu kental manis, kue-kue manis, cake, dodol, buah-buahan yang
diawetkan dengan gula, es krim, dan soft drink
b. Mengandung banyak lemak seperti fast food, gorengan, dan cake.
39
c. Mengandung bayak natrium seperti telur asin, kornet, ikan asin,
dendeng, bumbu-bumbu seperti soda kue, ragi, MSG, dan garam dapur
(jika menderita gangguan ginjal hipertensi atau penyakit jantung)
Untuk membantu mengatasi masalah kegemukan dan diabetes
mellitus, perlu mengatur kadar gula agar berada dalam kondisi normal
(60-120 mg/dl). Strategi yang dapat diterapkan adalah konsumsi
makanan yang paling rendah meningkatkan gula darah tetapi
memberikan rasa kenyang. Caranya dalah mengkonsumsi produk pangan
dengan indeks glisemik (IG) rendah dan indeks kekenyangan (IK) tinggi
(ADA, 2007).
Indeks glisemik (IG) adalah respon gula darah setelah
mengkonsumsi bahan makanan sumber karbohidrat. Secara umum
pangan IG rendah dicirikan dengan kaya serat dan miskin karbohidrat
sehingga lambat untuk dicerna misalnya kedelai, apel, jeruk, dan anggur.
Selain itu bahan makan IG rendah biasanya memiliki IK tinggi sehingga
laju pencernaan dan absorsinya yang lambat akan memperpanjang
stimulasi reseptor-reseptor nutrient di dalam usus. Hal ini akan
memberikan perasaan kenyang lebih lama. Karena itu, bahan makanan
IG rendah dan IK tinggi merupakan bahan makanan pengekang nafsu
makan (ADA, 2007).
40
Tabel 1.3. Indeks Glikemik (ADA,2007)
Tabel 1.4. Indeks Kekenyangan (ADA, 2007)
41
Pembagian Makanan Sehari Berdasarkan Standar Diet Diabetes
Melitus
Penderita diabetes mellitus biasanya kana mendapat diet DM
yang perhitungan energinya disesuaikan dengan kebutuhan tubuhnya
sehari-hari. Dibawah ini dijabarkan pembagian porsi makanan sehari dan
nilai gizinya berdasarkan standar diet DM (ADA, 2007).
Tabel 1.5. Pembagian porsi makanan dan nilai gizi berdasarkan standar
diet (ADA, 2007)
42
Tabel 1.6. Konversi ukuran gram ke ukuran rumah tangga (ADA, 2007)
B) Latihan jasmani
Pengelolaan diabetes mellitus (DM) yang meliputi 4 pilar,
aktivitas fisik merupakan salah satu dari ke empat pilar tersebut.
Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar yang diperlukan untuk
43
ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh semua orang termasuk diabetes
sebagai kegiatan sehari-hari, seperti misalnya : bangun tidur, memasak,
berpakaian, mencuci, makan bahkan tersenyum. Berangkat kerja,
bekerja, berbicara, berfikir, tertawa, merencanakan kegiatan esok,
kemudian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa disadari oleh diabetes, telah
sekaligus menjalankan pengelola terhadap DM sehari-hari (Sudoyo,
2009).
Diabetes merupakan penyakit sehari-hari. Penyakit yang akan
berlangsung seumur hidup. Kadang, diabetes dipandang sebagai
tantangan, diwaktu lain dianggap sebagai beban. Tanggung jawab
terhadap pengelolaan diabetes sehari-hari, merupakan masing-masing
diabetes. Mereka yang telah memutuskan untuk hidup dengan diabetes
dalam keadaan sehat mempunyai satu persamaan, bahwa mereka harus
melakukan kegiatan fisik (Sudoyo, 2009).
Manfaat, resiko, dan hal-hal yang harus diperhatikan berkaitan
dengan latihan jasmani seorang diabetes:
a. Pada diabetes tipe 2, latihan jasmani dapat memperbaiki kendali
glukosa secara menyeluruh, terbukti dengan penurunan konsentrasi
HbA1c, yang cukup menjadi pedoman untuk penurunan resiko
komplikasi diabetes dan kematian (Sudoyo, 2009).
b. Selain mengurangi resiko, latihan jasmani akan memberikan
pengaruh yang baik pada lemak tubuh, tekanan darah arterial,
sensitivitas barorefleks, vasodilatasi pembuluh yang endothelium-
dependent, aliran darah pada kulit, hasil perbandingan antara denyut
jantung dan tekanan darah (baik saat istirahat maupun aktif),
hipertrigliseridemi dan fibrinolysis. Angka kesakitan dan kematian
pada diabetes yang aktif, 50% lebih rendah disbanding mereka yang
santai (Sudoyo, 2009).
c. Pada DM tipe I, latihan jasmani akan menyulitkan pengaturan
metabolik, hingga kendali gula darah bukan merupakan tujuan
latihan. Tetapi latihan endrance ternyata terbukti akan memperbaiki
fungsi endotel vascular. Dari penelitian epidiomelogi retro dan
44
prospektif, juga terbukti bahwa latihan jasmani yang teratur akan
mencegah komplikasi makro maupun mikrovaskular serta
meningkatkan harapan hidup (Sudoyo, 2009).
d. Pada kedua tipe diabetes, manfaat latihan jasmani secara teratur
akan memperbaiki kapasitas latihan aerobic, kekuatan otot dan
mencegah osteoporosis (Sudoyo, 2009).
Diabetes yang mendapatkan terapi insulin, hipoglikemia
disertai kadar insulin yang berlebihan merupakan hal yang perlu
mendapat perhatian, terutama pada saat pemulihan (Sudoyo, 2009).
Bila insulin disuntikan pada lengan atau paha, akan
memperbesar kemungkinan terjaid hipoglikemia karena
peningkatan hantaran insulin melalui darah akibat pemompaan oleh
otot pada saat berkontraksi. Sehingga dianjurkan penyuntikan di
daerah abdomen sebelum latuhan jasmani. Juga dianjurkan agar
latihan jasmani dilakukan setelah makan, yaitu pada saat kadar gula
darah berada pada puncaknya. Latihan jasmani dikerjakan dalam
wktu lama dan dalam keadaan metabolic yang tak terkendali, akan
menyebabkan peningkatan pelepasan glukosa darah dari hati,
disertai peningkatan produksi benda-benda keton (Sudoyo, 2009).
B. Farmakologi Diabetes Melitus
a. Anti Diabetik Oral
Ada 5 golongan antidiabetik oral (ADO) yang dapat digunakan
untuk Diabetes Militus dan telah dipasarkan diindonesia yakni golongan
Sulfonilurea, Meglitinid, Biguanid, Tiazolidinedion, dan Penghambat α-
glikosidase (Tanu, 2012).
1. Golongan Sulfonilurea
Dikenal 2 generasi sulfonylurea, generasi 1 terdiri dari
tolbutamid, tolazinamid, asetoheksimid, dan klorpropamid. Sedangkan
generasi kedua terdiri dari gliburid, glipizid, gliklazid, dan glimepirid
(Tanu, 2012).
45
Golongan obat ini sering disebut sebagai insulin secretagogues,
kerjanya merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β langerhans
pankreas. Rangsangannya melalui interaksinya dengan ATP-sensitive
K channel pada membrane sel-sel β yang menimbulkan depolarisasi
membrane dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. dengan
terbukanya kanal Ca makan ion Ca2+ akan masuk ke sel β,
merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin
dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptide-C. Pada penggunaan
jangka panjang atau dosis yang besar dapat mengakibatkan
Hipoglikemia (Tanu, 2012).
Sulfonylurea berikatan dengan reseptor sulfonylurea dengan
berat molekul 140 kDa dan afinitas tinggi yang berhubungan dengan
kanal kalium satu arah yang sensitive ATP di sel β pankreas bagian
dalam. Pengikatan sulfonylurea menghambat efluks ion kalium melalui
kanal tersebut dan menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi membuka
suatu kanal kalsium bergerbang-tegangan dan menimbulkan influks
kalsium dan pelepasan insulin (Bertram&Katzung, 2010).
Pemberian sulfonylurea dalam jangka panjang pada penderita
diabetes tipe 2 mengurangi kadar glucagon serum, yang dapat ikut
berperan menimbulkan efek hipoglikemik obat ini. Mekanisme
penekanan sulfonylurea terhadap kadar glucagon ini masih belum jelas
namun agaknya melibatkan inhibisi tidak langsung akibat peningkatan
pelepasan insulin dan somatostatin yang menghambat sekresi sel α
(Bertram&Katzung, 2010).
Berbagai sulfonylurea mempunyai sifat kinetic berbeda, tetapi
absorbs melalui saluran cerna scukup efektif. Makanan dan keadaan
hiperglikemia dapat mengurangi absorbsi. Untuk mencapai kadar
optimal di plasma, sulfonylurea dengan masa paruh pendek akan lebih
efektif bila diminum 30 menit sebelum makan. Dalam plasma sekitar
90-99% terikat oleh protein plasma terutama albumin (Tanu, 2012).
Tolbutamid di absorbsi dengan baik namun cepat
dimetabolisme di hati. Lama kerjanya relative pendek dengan waktu
46
paruh eliminasi 4-5 jam, dan paling baik diberikan dalam dosis terbagi.
Karena waktu paruhnya yang pendek, obat ini menjadi sulfonylurea
yang paling aman digunakan pada pasien diabetes lansia.
Hipoglikemia yang berkepanjangan jarang dilaporkan, kebanyakan
pada penderita yang mendapat obat tertentu (misalnya, dikumanol,
fenilbutazon, dan beberapa sulfonamide) yang menghambat
metabolisme tolbutamid (Bertram&Katzung, 2010).
Klorpropamid mempunyai waktu paruh 32 jam dan
dimetabolisme secara perlahan di hati menjadi produk yang masih
memiliki aktivitas biologis kira-kira 20-30 diekskresikan dalam bentuk
utuh ke dalam urin. Klorpropamid juga berinteraksi dengan obat yang
disebutkan sebelumnya yang bergantung pada katabolisme oksidatif
hati, serta dikontraindikasikan pada penderita insufisiensi hati atau
ginjal. Dosis yang lebih tinggi dari 500 mg perhari meningkatkan
resiko terjadinya ikterus. Dosis pemeliharaannya adalah 250 mg
perhari, yang diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Reaksi
hipoglikemia berkepanjangan lebih sering terjadi pada pasien lansia
dan obat ini dikontraindikasikan untuk kelompok pasien tersebut. Efek
samping lain mencakup hyperemic flush setelah meminum alcohol
pada pasien yang memiliki predisposisi genetic dan hiponatremia
akibat dilusi. Toksisitas hematologic (leucopenia transien, dan
trombositopenia) terjadi kurang dari 1% pasien (Bertram&Katzung,
2010).
Tolazamid sebanding dengan klorpropamid dalam hal potensi,
tetapi lama kerjanya lebih pendek. Tolazamid diserap lebih lambat
ketimbang sulfonylurea yang lain, dan efeknya terhadap kadar gula
darah tidak tampak untuk beberapa jam. Waktu paruhnya sekitar 7
jam. Tolazamid dimetabolisme menjadi senyawa yang tetap
mempunyai efek hipoglikemik. Jika lebih dari 500mg tolazamid/ hari
dibutuhkan, dosis tersebut harus dibagi atau diberikan dua kali sehari
(Bertram&Katzung, 2010).
47
Sulfonilurea generasi kedua lebih sering digunakan ketimbang
sulfonylurea generasi pertama di AS karena efek sampingnya lebih
jarang terjadi dan kurang berinteraksi dengan obat-obat lain. Senyawa
sulfonylurea yang poten ini (gliburid, glipizid, dan glimepirid) harus
digunakan secara hati-hati pada pasien dengan penyakit kardiovaskular
atau pada pasien lansia karena hipoglikemia terutama bahaya bagi
lansia tersebut (Bertram&Katzung, 2010).
Gliburid dimetabolisme di hati menjadi produk dengan
aktivitas hipoglikemik yang sangat rendah. Dosis awal yang biasa
diberikan adalah 2,5 mg/hari atau lebih kecil, dan dosis pemeliharaan
rerata adalah 5-10 mg/ hari, yang diberikan sebagai dosis tunggal pada
pagi hari. Suatu bentuk formulasi “micronized”gliburid kini tersedia
dalam berbagai ukuran tablet. Akan tetapi, terdapat beberapa
pertanyaan mengenai kesetaraannya secara biologis dengan bentuk
non-micronized, dan FDA menganjurkan pemantauan secara hati-hati
untuk mentitrasi kembali dosis bila kita ingin mengganti menggunakan
obat yang diberikan dari dosis gliburid standar atau dari obat-obat
sulfonylurea yang lain (Bertram&Katzung, 2010).
Gliburid mempunyai beberapa efek samping yaitu potensi
menimbulkan hipoglikemia dan meningkatkan bersihan air bebas (free
water clearance). Gliburid dikontraindikasikan pada gangguan hati dan
pada penderita dengan insufisiensi ginjal. Glipizid mempunyai waktu
paruh terpendek yaitu 2-4 jam dari golongan obat-obat yang lebih
poten. Untuk mendapatkan efek maksimum dalam mengurangi
hiperglikemia postprandial, obat ini harus diberikan 30 menit sebelum
sarapan karena absorpsinya terhambat bila obat diberikan bersama
makanan. Dosis awal yang dianjurkan adalah 5mg/hari yang dapat
dinaikan sampai 15 mg/ hari yang diberikan sebagai dosis tunggal.
Bila dosis harian yang lebih tinggi diperlukan, dosis tersebut harus
dibagi dan diberikan sebelum makan. Dosis maksimum yang
dianjurkan adalah 40mg/ hari meskipun beberapa penelitian
48
mengindikasikan bahwa efek terapeutik maksimum dicapai dengan
dosis sebesar 15-20 mg (Bertram&Katzung, 2010).
Glimepirid telah disetujui untuk digunakan sekali sehari
sebagai monoterapi atau dalam bentuk kombinasi dengan insulin.
Glimepirid menurunkan kadar glukosa darah dengan dosis terendah
dari sulfonylurea manapun, dosis tunggal harian sebesar 1 mg, terbukti
efektif dan dosis maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. obat ini
bekerja dalam waktu lama dengan waktu paruh 5 jam sehingga dapat
diberikan 1 kali sehari. Glimepirid di metabolisme sepenuhnya oleh
hati menjadi produk inaktif (Bertram&Katzung, 2010).
Obat yang meningkatkan resiko hipoglikemia sewaktu
penggunaan sulfonylurea adalah insulin, alcohol, feniformin,
sulfonamide, salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon,
probenezid, dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO, guanetidin,
anabolic steroid, fenfluramin, dan klofibrat. Propanolol dan
penghambat adrenoreseptor β lainnya menghambat reaksi takikardia,
berkeringat, dan tremor pada hipoglikemia oleh berbagai sebab
termasuk oleh ADO, sehingga keadaan hipoglikemia menjadi lebih
hebat tanpa diketahui. Sulfonylurea terutama klorpropamid dapat
menurunkan toleransi terhadap alcohol, hal ini ditunjukan dengan
kemerahan terutama di muka dan leher (flush), reaksi mirip disulfiram
(Tanu, 2012).
2. Meglitinid
Meglitinid merupakan suatu kelas insulin secretagogue yang
relative baru. Repaglinid, yaitu anggota pertama kelas obat ini
disetujui untuk digunakan secara klinis pada tahun 1998. Obat ini
memodulasi pelepasan isulin dari sel β dengan mengatur efluks kalium
melalui kanal kalium. Terdapat tumpang tindih tempat kerja
molekularnya dengan sulfonylurea karena meglitinid memiliki dua
tempat pengikatan yang sama dengan sulfonylurea dan satu tempat
pengikatan yang berbeda (Bertram&Katzung, 2010).
49
Repaglinid memiliki onset kerja yang sangat cepat dengan
konsentrasi puncak dan efek puncak dalam waktu sekitar 1 jam setelah
ditelan, namun lama kerjanya 5-8 jam. Obat ini dimetabolisme
CYP3A4 di hati dengan waktu paruh dalam plasma selama 1 jam.
Karena onsetnya yang cepat, penggunaan repaglinid diindikasikan
untuk mengendalikan lonjakan kadar glukosa setelah makan. Obat ini
seharusnya ditelan sesaat sebelum makan dengan dosis sebesar 0,25-4
mg (maksimum, 16 mg/hari). Hipoglikemia beresiko timbul apabila
pasien terlambat makan atau terlewatkan makan atau terdapat sedikit
karbohidrat dalam makanan tersebut. Obat ini harus digunakan secara
hati-hati. Repaglinid dapat digunakan sebagai monoterapi atau
dikombinasikan dengan biguanid. Tidak terdapat sulfur dalam struktur
obat ini sehingga repaglinid dapat digunakan pada pasien diabetes tipe
2 yang alergi terhadap sulfonylurea atau sulfur (Bertram&Katzung,
2010).
3. Derivat D-Fenilalanin
Nateglinid, suatu derivate D-fenilalanin adalah insulin
secretatogue terbaru yang tersedia secara klinis. Nateglinid
merangsang pelepasan insulin secara sangat cepat dan berlangsung
sementara dari sel β melalui penutupan kanal K+ yang sensitive ATP.
Obat ini juga memulihkan sebagian pelepasan awal insulin sebagai
respon terhadap uji toleransi glukosa intravena. Hal tersebut dapat
menjadi keuntungan obat ini karena diabetes tipe 2 berkaitan dengan
hilangnya respons awal terhadap insulin. Restorasi sekresi insulin yang
lebih normal dapat menekan pelepasan glukoisa diawal waktu makan
dan menimbulkan penurunan produksi glukosa di endogen atau
glukosa di hati (Bertram&Katzung, 2010).
Nateglinid ditelan sesaat sebelum makan. Obat ini diabsorbsi
dalam waktu 20 menit setelah pemberian obat oral dan waktu kadar
puncaknya kurang dari 1 jam serta dimetabolisme di hati oleh CYP2C9
dan CYP3A4 dengan waktu paruh selama 1,5 jam. Lama kerja obat ini
50
kurang dari 4 jam. Nateglinid memperkuat respons sekretorik insulin
terhadap beban glukosa namun efeknya sangat berkurang pada
keadaan normoglikemia. Insidens hipoglikemia akibat nateglinid
mungkin paling rendah dari golongan insulin secretagogue dan
memiliki keuntungan dalam hal keamanan penggunaannya pada pasien
dengan penurunan berat pada fungsi ginjal (Bertram&Katzung, 2010).
4. Biguanida
Biguanida sebenernya bukan obat hipoglikemik tetapi suatu
obat antihiperglikemik. Obat ini tidak menyebabkan rangsangan
sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia.
Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan
sensitivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek ini terjadi
karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP-activated protein kinase)
(Tanu, 2012).
Kerja biguanid dalam menurunkan kadar gula darah tidak
bergantung pada sel β pankreas yang berfungsi. Pasien dengan
diabetes tipe 2 sangat jarang mengalami hipoglikemia selama puasa
maupun hiperglikemia postprandial setelah pemberian biguanid.
Hipotesis mengenai mekanisme kerja preparat ini meliputi penurunan
glukoneogenesis di hati dan ginjal, perlambatan absorpsi glukosa dari
saluran cerna dengan peningkatan konversi glukosa menjadi laktat oleh
eritrosit, dan stimulasi langsung glikolisis di jaringan dengan
peningkatan bersihan glukosa dari darah serta penurunan kadar
glucagon plasma (Bertram&Katzung, 2010).
Metformin memiliki waktu paruh 1,5-3 jam, tidak berikatan
dengan protein plasma, tidak dimetabolisme dan diekskresikan oleh
ginjal sebagai senyawa aktif. Akibat blockade glukoneogenesis oleh
metformin, obat ini dapat mengganggu metabolisme asam laktat dihati.
Pada pasien dengan insufisiensi ginjal, biguanid menumpuk sehingga
meningkatkan resiko asidosis laktat, yang agaknya menjadi suatu
51
komplikasi yang bergantung pada dosis biguanid tersebut
(Bertram&Katzung, 2010).
Biguanid tidak boleh digunakan pada kehamilan, pasien
penyakit hepar berat, penyakit ginjal dengan uremia, dan penyakit
jantung kongestif serta penyakit paru dengan hipoksia kronik. Pada
pasien yang akan diberikan zat kontras intravena atau yang akan
dioperasi, pemberian obat ini sebaiknya dihentikan terlebih dahulu
(Tanu, 2012).
5. Tiazolidinedion
Tiazolidinedion (Tzd) bekerja dengan menurunkan resistensi
insulin. Kerja utama obat ini adalah mengatur gen yang terlibat dalam
metabolisme lipid dan glukosa dan diferensiasi adiposit. Tzd
merupakan ligan peroxisome proliferator-activated receptor-gamma
(PPAR-γ), yaitu bagian dari superfamili steroid dan tiroid di reseptor
inti, reseptor PPAR ini ditemukan di otot, lemak, dan hati. Reseptor
PPAR-γ bersifat kompleks dan memodulasi ekspresi gen yang terlibat
dalam metabolisme glukosa dan lipid, transduksi sinyal insulin, dan
diferensiasi adiposity dan jaringan lainnya (Bertram&Katzung, 2010).
Pioglitazon memiliki aktivitas PPAR-α dan PPAR-γ. Obat ini
diserap dalam waktu dua jam setelah ditelan. Meskipun keberadaan
makanan dapat menghambat penyerapan, bioavailabilitas totalnya
tidak terpengaruh. Pioglitazon dimetabolisme oleh CYP2C8 dan
CYP3A4 menjadi metabolit aktif. Bioavailabilitas sejumlah besar obat
lain juga diuraikan oleh enzim tersebut dapat dipengaruhi oleh
pemberian pioglitazon, termasuk kontrasepsi oral yang mengandung
estrogen. Dapat diberikan sehari sekali dengan dosis awal 15-30 mg.
efek obat ini dalam mengurangi trigliserida lebih bermakna ketimbang
efek rosiglitazon. Rosiglitazon cepat diserap dan terikat oleh protein
plasma. Obat ini dimetabolisme di hati menjadi metabolit aktif oleh
CYP2C8 dan pada tingkat yang lebih rendah oleh CYP2C9. Obat ini
52
diberikan sekali atau dua kali sehari dengan dosis total 4-8 mg
(Bertram&Katzung, 2010).
6. Inhibitor Alfa-Glukosidase
Obat golongan penghambat alfa glikosidase ini dapat
memperlambat absorpsi polisakarida, dekstrin, dan disakarida di
intestine. Dengan menghambat kerja enzim α-glukosidase di brush
border intestine, dapat mencegah glukosa plasma pada orang normal
dan pasien DM. Karena kerjanya tidak dipengaruhi sekresi insulin,
maka tidak akan menyebabkan efek hipoglikemik. Akarbose dapat
digunakan sebagai monoterapi pada DM usia lanjut atau DM yang
glukosa postprandialnya sangat tinggi (Tanu, 2012).
Akarbose merupakan oligosakarida yang berasal dari mikroba
dan miglitol suatu derivate desoksi nojirimisin, secara kompetitif juga
menghambat glukoamilase dan sukrase tetapi efeknya pada α-amilase
pankreas lemah. Kedua preparat dapat menurunkan glukosa plasma
postprandial pada DM tipe 1 dan 2, dan pada tipe 2 dengan
hiperglisemia yang hebat dapat menurunkan HbA1c (Tanu,2012).
Tabel 1.7. Obat hipoglikemik oral yang tersedia di Indonesia
Nama Generik Dosis
Maksimal
Dosis Awal Lama Kerja
(jam)
Frekuensi
(kali)
Sulfonylurea
Klorpropamid 500 50 6-12 1
Glibenklamid 15-20 2.5 12-24 1-2
Glipisid 20 5 10-16 1-2
Glikasid 240 80 10-20 1-2
Glikuidon 120 30 10-20 2-3
53
Glipisid GITS 20 5 1
Glimepirid 6 1 1
Biguanid
Metformin 2500 500 1-3
Inhibitor α
glukosidase
Acarbose 300 50 1-3
b. Terapi Insulin
Insulin merupakan obat utama pada IDDM (Insulin dependent
diabetes mellitus) dan beberapa jenis DM tipe 2. Insulin dapat diberikan
dalam berbahgai cara intravena (i.v), Intramuskular (i.m), dan subcutan
(s.c). Preparat insulin dibedakan berdasarkan lama kerjanya (rapid-acting
insulins, short-acting insulins, intermediate-acting insulins, dan long
acting insulins) (Setiabudy, 2008).
Insulin subkutan terutama diberikan pada DM tipe 1, DM tipe 2
yang tidak dapat di atasi dengan OAD oral, pasien DM
pascapancreatektomi, atau DM gestasional, DM dengan ketoasidosis,
koma non ketosis, atau komplikasi lain, sebelum tindakan operasi (DM
tipe 1 dan DM tipe 2). Tujuan pemberian insulin pada semua keadaan
tersebut bukan saja untuk menormalkan glukosa darah tetapi juga
memperbaiki semua aspek metabolisme, dan yang terakhir inilah yang
umumnya sukar dicapai (Setiabudy, 2008)..
Penggunaan insulin dapat juga untuk indikasi sebagai berikut :
a. Kencing manis dengan komplikasi akut seperti gangren,
ketoasidosis, dan koma.
b. Kencing manis pada kehamilan yang tak terkontrol dengan dietary
control.
54
c. Penurunan badan yang drastis
d. Penyakit DM yang tidak berhasil dengan obat hipoglikemik dosis
maksimal.
e. Penyakit dengan gangguan fungsi hati dan ginjal berat.
Tabel 1.8. Macam-macam terapi insulin berdasarkan farmakokinetik (Dipiro et al,
2008)
Tipe Insulin Onset (jam) Peak (jam) Durasi (jam) Durasi
Maksimun
(jam)
Rapid acting
Aspart 15-30 menit 1-2 3-5 5-6
Lispro 15-30 menit 1-2 3-4 4-6
Glulisine 15-30 menit 1-2 3-4 5-6
Inhaled
human
insulin
15-30 menit 1-2 6 8
Short acting
Regular 0,5-1 jam 2-3 3-6 6-8
Intermediate
acting
NPH 2-4 jam 4-6 8-12 14-18
Long acting
Detemir 2 jam 6-9 14-24 24
Glargin 4-5 jam - 22-24 24
55
Keadaan mendekati normoglisemia dicapai pada DM dengan
multiple dosis harian insulin atau dengan infusion pump therapy, yang
tujuannya mencapai glukosa darah puasa antara 90-120 mg/dL. (5-6,7
mM), glukosa 2 jam postprandial < 150 mg/dL (8,3 mM), HbA1c < 7%
(atau 6,5%). Pada pasien yang kurang disiplin atau kurang patuh terhadap
terapi, mungkin perlu dicapai nilai glukosa darah puasa yang lebih tinggi
(140 mg/dL atau 7,8 mM) dan postprandial 200-250 mg/dL atau 11,1-13,9
mM (Setiabudy, 2008).
Kebutuhan insulin harian. Produksi insulin pada orang nomal,
sehat yang kurus antara 18-40 U per hari atau 0,2-0,5 U/Kg berat badan
per hari, dan hampir 50% disekresi pada keadaan basal, 50% yang lain
karena adanya asupan makanan. Sekresi basal insulin sekitar 0,5-1 U/jam,
setelah asupan glukosa oral dalam jumlah besar, sekresi meningkat
menjadi 6 U/jam. Pada orang non diabetic dengan obesitas dan resisten
insulin, sekresi meningkat 4x lipat atau lebih tinggi (Setiabudy, 2008).
Pada berbagai populasi pasien DM tipe 1, rata-rata dosis insulin
dibutuhkan berkisar antara 0,6-0,7 U/Kg berat badan per hari, sedangkan
pasien obesitas membutuhkan dosis lebih tinggi (2 U/Kg berat badan per
hari) karena adanya resistensi jaringan perifer terhadap insulin (Setiabudy,
2008).
Kombinasi insulin, Insulin regular dapat dikombinasi dengan
beberapa jenis insulin lain. Bila dikombinasi dengan insulin lente maka
efeknya akan lebih lambat. Bila insulin regular dikombinasi dengan insulin
lente maka efeknya akan lebih lambat. Bila insulin regular dikombinasikan
dengan insulin ultralente dengan perbandingan 1:3. Untuk mencegah
perubahan masa kerja kombinasi seperti ini harus segera diberikan secara
terpisah. Insulin lente dapat disuntikan atau diberikan secara terpisah.
Insulin lente dapat dikombinasikan tanpa mengubah aktivitas dari
komponen (Setiabudy, 2008).
Kebutuhan insulin pada pasien DM umumnya berkisar antara 5-
150 U sehari tergantung dari keadaan pasien. Selain faktor-faktor tersebut
di atas, untuk penetapan dosis perlu dketahui kadar glukosa darah puasa
56
dan dua jam sesudah makan serta kadar glukosa dalam urin empat porsi,
yaitu antara jam 7-11, jam 12-16, jam 16-21, dan jam 21-7 (Setiabudy,
2008).
Dosis terbagi insulin digunakan pada DM : (1) yang tidak stabil
dan sukar dikontrol, (2) bila hiperglikemi berat sebelum makan pagi tidak
dapat dikoreksi dengan insulin dosis tunggal per hari, dan (3) pasien yang
membutuhkan insulin lebih dari 100 U per hari (Setiabudy, 2008).
Penatalaksanaan pasien DM. Dosis awal pasien DM muda 0,7-1,5
U/KgBB. Pasien IDDM yang baru belum perlu diberi insulin karena
kadang terjadi remisi dan pada periode ini insulin tidak dibutuhkan. Untuk
terapi awal, regular insulin dan insulin kerja sedang merupakan pilihan
dan diberikan 2 kali sehari. Untuk DM dewasa yang kurus: 8-10 U insulin
kerja sedang diberikan 20-30 menit sebelum makan pagi dan 4-5 U
sebelum makan malam, DM dewasa gemuk 20 U pagi hari dan 10 U
sebelum makan malam. Dosis ditingkatkan secara bertahap sesuai hasil
pemeriksaan glukosa darah dan urin (Setiabudy, 2008).
Hipoglikemia merupakan efek samping yang sering terjadi pada
pemberian insulin ini yang dosisnya terlalu besar, tidak tepatnya waktu
makan dengan waktu tercapainya kadar puncak insulin, atau karena
adanya faktor yang dapat meningkatkan sensitivitas terhadap insulin,
missal insufisiensi adrenal atau pituitary, ataupun akibat kerja fisik yang
berlebihan (Setiabudy, 2008).
Reaksi alergi dan resistensi. Penggunaan insulin rekombinan dan
insulin yang lebih murni, telah dapat menurunkan insiden reaksi alergi dan
resistensi. Meski demikian kadang-kadang reaksi tersebut masih dapat
terjadi akibat adanya bekuan atau atau terjadinya denaturasi preparat
insulin, atau kontaminan, atau akibat pasien sensitif terhadap senyawa
yang ditambahkan pada proses formulasi preparat insulin (missal: Zn,
protamin, fenol, dll). Reaksi alergi lokal pada kulit yang sering terjadi
karena IgE atau resistensi akibat timbulnya antibody IgG. Reaksi alergi
kulit umumnya dapat di atasi dengan antihistamin sedangkan bila reaksi
tersebut hebat atau terjadi resistensi, dapat diberikan glukokortikoid.
57
Tetapi tentu kortikosteroid ini tidak dapat diberikan terlalu lama karena
efek hiperglisemianya (Priyanto, 2009).
Lipoatrofi jaringan lemak subkutan ditemapat suntikan dapat
timbul akibat variant respon imun terhadap insulin, sedangkan
lipohipertrofi dimana terjadi penumpukan lemak subkutan akibat efek
lipogenik insulin yang kadarnya tinggi pada daerahh tempat suntikan
(Priyanto, 2009).
Efek samping lainnya. Edema, rasa kembung di abdomen dan
gangguan visus, timbul pada banyak pasien DM dengan hiperglikemia
hebat atau ketoasidosis yang sedang diterapi dengan insulin, dan ini
berhubungan dengan peningkatan berat badan sekitar 0,5 sampai 2,5 Kg.
Umumnya edema akan menghilang dalam beberapa hari atau minggu
kecuali bila ada gangguan fungsi ginjal dan jantung. Kaitannya dengan
permeabilitas kapiler akibat kontrol metabolik yang tidak adekuat
(Priyanto, 2009).
58
DAFTAR PUSTAKA
ADA, Standards of Medical Care in Diabetes—2007. Diabetes Care 30:S4-S41,
2007.
Agustina, Tri ,2009.Gambaran Sikap Pasien Diabetes Melitus Di Poli Penyakit
Dalam Rsud Dr.Moewardi Surakarta Terhadap Kunjungan Ulang Konsultasi
Gizi. KTI D3. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta.
Bertram & Katzung, 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC, Jakarta.
Corwin, EJ. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Dipiro, J. T., Robert, L. T., Gary, C. Y., Gary, R. M., Barbara, G.W., Michael, P.
2008. Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach Sevent Edition. The
McGraw Hill Companies, New York
Ganong. 2012. Patofisiologi Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Guyton, AC & Hall,2012. Buku Ajar Fisiologi Manusia. EGC, Jakarta.
Indraswari, Wiwi.2010. Hubungan Indeks Glikemik Asupan Makanan Dengan
Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus Tipe-2
Di Rsup Dr. Wahidin Sudirohusodo. Skripsi Sarjana. Program Studi Ilmu
Gizi , Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar
Liwang F, Tanto C, Hanifati, S ,dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ke-4
Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta
Mahler RJ and Adler ML. Type 2 diabetes mellitus: Update on diagnosis,
pathophysiology and treatment. J Clin Endocrinol Metab 2007; 84
(4):1165- 71.
Priyanto. 2009. Farmakoterapi & Terminologi Medis. Jakarta. LESKONFI
Setiabudy, R. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Fakultas Kedokteran-
Universitas Indonesia, Jakarta
Silbernagl., Lang. 2007. Atlas dan Teks Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC
59
Sudoyo, A. W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid III.
Interna Publishing, Jakarta
Tanu, Ian. 2012. Farmakologi dan Terapi. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta