Upload
others
View
23
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Berita
DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
VOL. 16 NO. 2 DESEMBER 2015 ISSN 1411-8920
DITERBITKAN OLEH:
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA
BERITA DIRGANTARA VOL. 16 NO. 2 HLM. 47 - 114 JAKARTA, DESEMBER 2015 ISSN 1411-8920
Berita
DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
VOL. 16 NO. 2 DESEMBER 2015 ISSN 1411-8920
EFEK RADIKAL HIDROXYL (OH) DAN NITRIC OXIDE (NO) DALAM
REAKSI KIMIA OZON DI ATMOSFER ................................................. Novita Ambarsari
47 – 54
KALIBRASI MAGNETOMETER TIPE 1540 MENGGUNAKAN
KALIBRATOR MAGNETOMETER ........................................................... Harry Bangkit, Mamat Ruhimat
55 – 60
POTENSI PEMANFAATAN SATELIT ALOS-3 ......................................... Samsul Arifin
61 – 72
STUDI KASUS KEMUNCULAN PULSA MAGNET PC1 DI STASIUN
WATUKOSEK (7 34’5” LS 112 40’37” BT) ........................................ Visca Wellyanita, Fitri Nureni
73 – 82
KAJIAN POTENSI WISATA KESEHATAN OKSIGEN DI GILI IYANG .... Sumaryati
83 – 90
PEMANFAATAN TRANSPORTABLE RADAR CUACA DOPPLER
X-BAND UNTUK PENGAMATAN AWAN ............................................. Tiin Sinatra dan Noersomadi
91 – 98
PENGINTEGRASIAN DAN PENYAJIAN SPASIAL DINAMIS
INFORMASI TUTUPAN HUTAN DAN PERUBAHANNYA DALAM
SISTEM PEMANTAUAN BUMI NASIONAL ....................................... Sarno
99 – 114
DITERBITKAN OLEH:
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA
BERITA DIRGANTARA VOL. 16 NO. 2 HLM. 47 - 114 JAKARTA, DESEMBER 2015 ISSN 1411-8920
Berita
DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
SUSUNAN DEWAN PENYUNTING BERITA
DIRGANTARA
Keputusan Kepala LAPAN
Nomor 46 Tahun 2015
Tanggal 2 Maret 2015
Penyunting:
Ketua
Dra. Sinta Berliana S., M.Sc
Anggota
Ir. Ediwan, MT
Gathot Winarso, ST, M.Sc
Suhata, S.Si, MM
Drs. Mamat Ruhimat, M.Si
Fajar Iman Nugraha, ST, M.Ti
Drs. Agus Harno N., M.Sc
SUSUNAN SEKRETARIAT REDAKSI
BERITA DIRGANTARA
Keputusan Kepala Biro
Kerjasama dan Hubungan Masyarakat
Nomor 06 Tahun 2015
Tanggal 23 Maret 2015
Pemimpin Umum:
Ir. Agus Hidayat, M.Sc
Pemimpin Redaksi:
Ir. Jasyanto, MM
Redaksi Pelaksana:
Adhi Pratomo, S.Sos, M.Ikom
Royati, S.Sos
Zubaedi Mukhtar
Tata Letak
M. Luthfi
VOL.16 NO.2 DESEMBER 2015 ISSN 1411-8920
DARI MEJA PENYUNTING
Sidang pembaca yang terhormat, Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat
dan karunia-Nya, Berita Dirgantara Vol. 16, No. 2, Desember 2015 dapat hadir kembali ke hadapan para pembaca sekalian. Berita Dirgantara edisi kali ini memuat 7 (tujuh) artikel yaitu, “Efek Radikal Hidroxyl (OH) dan Nitric Oxide (NO) dalam Reaksi Kimia Ozon di Atmosfer” ditulis oleh Novita Ambarsari. Radikal OH dan NO menjadi senyawa kimia yang berperan penting dalam reaksi kimia ozon di stratosfer dan troposfer. Kedua senyawa radikal ini termasuk radikal bebas yang bersifat reaktif sehingga berperan sebagai agen perusak ozon di stratosfer, selain radikal klorin dan bromin serta reaksi fotolisis ozon oleh sinar UV; “Kalibrasi Magnetometer Tipe 1540 Menggunakan Kalibrator Magnetometer” ditulis oleh Harry Bangkit, Mamat Ruhimat. Keberadaan kalibrator magnetometer di laboratorium Pusat Sains Antariksa merupakan sarana untuk menguji ketelitian magnetometer. Kalibrasi dilakukan terhadap sensor tersebut sebelum ditempatkan di stasiun pengamat geomagnet; “Potensi Pemanfatan Satelit Alos-3” ditulis oleh Samsul Arifin. Tujuan tulisan ini adalah untuk mengkaji potensi pemanfaatan dari ALOS-3, agar dapat dimanfaatkan oleh pengguna di Indonesia. ALOS-3 dapat digunakan untuk pembuatan data Digital Surface Model (DSM). Multispektral (MSS) HISUI ALOS-3 berpotensi untuk pemantauan lingkungan, kebencanaan, obsevasi survey permukaan tanah, pesisir dan perairan laut; “Studi Kasus Kemunculan Pulsa Magnet PC1 di Stasiun Watukosek (7 34’5” LS 112 40’37” BT)” ditulis oleh Visca Wellyanita, Fitri Nureni. Penelitian kali ini mengenai kemunculan pulsa magnet Pc1 pada saat terjadi badai di stasiun Watukosek. Pulsa magnet Pc1 terkait dengan peristiwa badai magnet dan dapat teridentifikasi sebelum atau sesudah kejadian badai magnet; Artikel selanjutnya ditulis oleh Sumaryati dengan judul “Kajian Potensi Wisata Kesehatan Oksigen di Gili Iyang”. Pulau Gili Iyang terkenal karena dipercaya memiliki kadar oksigen yang tinggi. Oksigen merupakan gas yang vital dibutuhkan dalam kehidupan manusia, sehingga kepercayaan akan kadar oksigen yang tinggi dijadikan sebagai dasar untuk pembangunan dan pengembangan di Gili Iyang yaitu sebagai tujuan wisata kesehatan. Artikel dengan judul “Pemanfaatan Transportable Radar Cuaca Doppler X-Band untuk Pengamatan Awan”, ditulis oleh Tiin Sinatra dan Noersomadi. Telah dilakukan pengamatan awan di beberapa tempat secara intensif dengan menggunakan alat Transportable Radar Cuaca Doppler X-Band, diantaranya di Bandung pada 2013 dan di Garut pada 2014. Berbagai skenario dilakukan selama pengamatan. . Artikel terakhir dengan judul “Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis Informasi Tutupan Hutan dan Perubahannya Dalam Sistem Pemantauan Bumi Nasional”, ditulis oleh Sarno. Makalah ini menjelaskan proses dalam kegiatan pengaturan pengintegrasian, penyajian dan visualisai spasial dinamis informasi tutupan hutan dan perubahannya dalam SPBN di Pusfatja LAPAN Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya. Penyunting
Alamat Penerbit/Redaksi :
LAPAN, JL. Pemuda Persil No. 1 Rawamangun, Jakarta Timur 13220
Telepon : 4892802, ext. 142, 146 Fax : (021) 47882726
Email : [email protected] [email protected] Milis : [email protected]
Berita Dirgantara merupakan terbitan ilmiah semi populer di bidang kedirgantaraan.
Terbit setiap enam bulan, memuat tulisan yang bersifat ilmiah semi populer mengenai hasil-hasil penelitian, tinjauan atau pandangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan bidang kegiatan kedirgantaraan dari para peneliti dan staf LAPAN maupun non LAPAN.
Setiap orang dapat mengutip terbitan LAPAN dengan menyebutkan sumbernya.
Efek Radikal Hidroxyl (OH) dan ....(Novita Ambarsari)
47
EFEK RADIKAL HIDROXYL (OH) DAN NITRIC OXIDE (NO) DALAM
REAKSI KIMIA OZON DI ATMOSFER
Novita Ambarsari
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Indonesia
e-mail : [email protected]
RINGKASAN
Reaksi pembentukan dan penguraian ozon di troposfer dan stratosfer dipengaruhi oleh
banyak faktor. Radikal OH dan NO menjadi senyawa kimia yang berperan penting dalam reaksi kimia
ozon. Kedua senyawa radikal ini termasuk radikal bebas yang bersifat reaktif sehingga berperan
sebagai agen perusak ozon di stratosfer, selain radikal klorin dan bromin serta reaksi fotolisis ozon
oleh sinar UV. Radikal OH dan NO juga berperan dalam proses produksi dan penguraian ozon di
troposfer karena dapat menghasilkan kembali NO2 yang meningkatkan proses produksi ozon. Selain
itu, faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam reaksi kimia ozon di stratosfer adalah kelimpahan
molekul oksigen, energi radiasi matahari, dan keberadaan radikal halogen terutama klorin dan
bromin. Sementara ozon di troposfer juga dipengaruhi oleh jumlah prekursor ozon, radiasi matahari,
dan faktor meteorologi.
Kata kunci: Ozon, Radikal OH, Radikal NO
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ozon merupakan komponen
atmosfer yang memiliki peranan sangat
penting. Distribusi ozon di atmosfer tidak
homogen, dengan konsentrasi ozon
terbesar terdapat pada ketinggian 25
sampai 40 km (lapisan stratosfer).
Lapisan stratosfer mengandung 90 %
dari total ozon yang terdapat di atmosfer.
Ozon di stratosfer berperan sebagai
pelindung bumi dari radiasi sinar
ultraviolet dengan panjang gelombang
280-320 nm yang berbahaya bagi
kehidupan [NASA, 2001].
Lapisan ozon di stratosfer ini
tersusun oleh molekul-molekul ozon.
Konsentrasi molekul ozon dinyatakan
dalam satuan Dobson Unit (DU). 1 DU
tersusun oleh sekitar 27x109 molekul
ozon per cm persegi. 100 DU mewakili 1
mm ketebalan total kolom lapisan ozon
pada tekanan 1 atm. Konsentrasi ozon
total normalnya sekitar 300 DU atau
tebal lapisannya sebesar 3 mm. Nilai ini
juga dipengaruhi lintang wilayah seperti
tampak pada Gambar 1-1. Di kutub
selatan konsentrasi ozon total dapat
menurun hingga 117 DU pada akhir
musim semi [NASA, 2001].
Gambar 1-1: Distribusi ozon pada tiga wilayah berdasarkan lintangnya
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:47-54
48
Selain di stratosfer, ozon juga
terdapat pada lapisan troposfer dan
disebut ozon troposfer. Berbeda dengan
ozon stratosfer, ozon troposfer bersifat
polutan. O3 troposfer, secara alamiah
konsentrasinya meningkat akibat
aktivitas manusia (antropogenik). Ikatan
ekstra oksigen yang mudah terurai
membuat oksigen bersifat sebagai
oksidator kuat dan korosif pada material
dan berbahaya bagi tumbuhan dan
binatang. Dampak bagi kesehatan yang
ditimbulkan oleh ozon permukaan
diantaranya adalah kerusakan fungsi
paru-paru dan saluran pernapasan serta
menurunkan sistem kekebalan tubuh
[Fehsenfeld, 1993].
Ozon troposfer terbentuk dari
reaksi fotokimia yang melibatkan CH4,
senyawa organik yang mudah menguap
(Volatile Organic Compounds/VOCs) dan
karbonmonoksida dengan kehadiran
NOx dan sinar matahari yang sangat
kompleks [Fehsenfeld. 1993].
Reaksi kimia ozon di stratosfer
dan troposfer melibatkan senyawa-
senyawa kimia lainnya. Ozon stratosfer
dipengaruhi oleh radikal klorin, bromin,
dan radikal lain seperti OH dan NO yang
berperan sebagai katalis dalam proses
perusakan ozon di stratosfer. Begitu juga
dengan reaksi kimia ozon di troposfer
yang selain melibatkan pencemar primer
seperti NOx, VOC, CH4, dipengaruhi
juga oleh radikal OH dan NO. Dalam
paper ini dibahas pengaruh radikal OH
dan NO pada reaksi ozon di atmosfer.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan paper ini untuk
membahas pengaruh radikal OH dan NO
pada reaksi ozon di stratosfer dan
troposfer, serta mengkaji faktor-faktor
yang mempengaruhi reaksi ozon di
troposfer dan stratosfer.
2 DATA DAN METODE
Data-data yang digunakan pada
tulisan ini sebagian besar merupakan
hasil studi literatur. Untuk mengetahui
pengaruh faktor meteorologi terhadap
konsentrasi ozon permukaan digunakan
data ozon permukaan dan temperatur
rata-rata per jam di Bandung pada 1
Januari 2008 yang ada di Bidang
Komposisi Atmosfer PSTA LAPAN.
3 RADIKAL OH DI ATMOSFER
Sumber utama radikal OH di
stratosfer adalah dari reaksi uap air
dengan atom oksigen radikal yang
berasal dari hasil fotolisis molekul ozon.
Radikal OH memiliki waktu hidup yang
sangat singkat, sehingga karakternya
sangat didominasi oleh siklus hariannya,
dengan konsentrasi paling banyak
terjadi pada siang hari dan sangat
sedikit pada malam hari [A. Damiani., M.
Storini., C. Rafenelli., and P. Diego, 2010].
OH berasal dari peristiwa
fotokimia yang memutus molekul H2O
melalui proses fotolisis atau melalui
reaksi dengan atom oksigen metastabil
yang sangat reaktif O(1D):
H2O + h OH + H (3-1)
O(1D) + H2O 2OH (3-2)
Uap air mengalami transport dari
troposfer ke stratosfer melalui lapisan
tropopause tropikal dan juga terbentuk
melalui proses oksidasi metana:
CH4 + OH … 2H2O + CO (3-3)
CH4+O(1D)… 2HOx +H2O+CO (3-4)
Tanda titik pada reaksi di atas
menggambarkan serangkaian reaksi lain
yang menghasilkan produk akhir di
sebelah kanan tanda panah.
4 RADIKAL NO DI ATMOSFER
Radikal NO di stratosfer berasal
dari reaksi antara N2O dengan atom
oksigen radikal seperti tampak pada
reaksi (4-3) Portmann R.W., Daniel J.S.,
dan Ravishankara A.R., 2012.
N2O + h N2 + O(1D) (4-1)
N2O + O(1D) N2 + O2 (4-2)
N2O + O(1D) 2NO. (4-3)
Efek Radikal Hidroxyl (OH) dan ....(Novita Ambarsari)
49
N2O merupakan sumber utama
radikal NO di stratosfer. Sifat N2O yang
stabil menyebabkan N2O tidak dapat
terurai di troposfer. Ketika mencapai
stratosfer, N2O dapat bereaksi secara
fotolisis (seperti pada Reaksi 4-1) dan
reaksi dengan atom oksigen radikal
sebagai proses penghilangan N2O di
stratosfer. Hampir 10 persen dari N2O
diubah menjadi NOx.
Proses penghilangan NO di
stratosfer terjadi melalui reaksi antara
NO dengan atom N menghasilkan gas
nitrogen (N2).
N + NO N2 + O (4-4)
Walaupun N2O merupakan
sumber utama NOx di stratosfer,
sumber lainnya berasal dari atmosfer
tengah yaitu proses pembentukan NOx
melalui sinar kosmik pada ketinggian
10-15 km. Sinar kosmik merupakan
radiasi dari partikel berenergi tinggi
yang berasal dari luar atmosfer bumi.
Sinar kosmik dapat berupa elektron,
proton, bahkan inti atom seperti besi
atau yang lebih berat lagi. Hampir 90%
sinar kosmik yang tiba di permukaan
Bumi adalah proton, sekitar 9% partikel
alfa dan 1% elektron.
5 REAKSI KIMIA OZON DI ATMOSFER
5.1 Reaksi Pembentukan dan
Penguraian Ozon di Stratosfer
Banyak reaksi kimia di atmosfer
yang memicu terjadinya perusakan ozon.
Namun, di stratosfer reaksi utama
penyebab terbentuknya molekul ozon
adalah akibat reaksi fotolisis oleh sinar
UV dengan panjang gelombang () di
bawah 250 nm yang dapat memutus
ikatan O2 seperti dijelaskan berikut ini
[Mc.Conell, J.C., 2008].
O2 + hv O + O 250 nm (5-1)
dengan hv merepresentasikan energi
foton dengan frekuensi v dan panjang
gelombang . Atom O yang terbentuk
bereaksi sangat cepat dengan molekul
O2 untuk membentuk O3:
O + O2+ M O3 + M, (5-2)
Selain itu, pada panjang
gelombang 200 nm terdapat jendela
transmisi di atmosfer, penyerapan
untuk radiasi ini yang menghasilkan
pembentukan ozon dapat terjadi pada
ketinggian 20 km di daerah tropis.
Sumber utama ozon di daerah stratosfer
tropis dengan kecepatan reaksi
maksimum terjadi pada ketinggian 40
km. Namun, sebagian besar ozon yang
diproduksi di daerah ini terurai dengan
sendirinya. Pada ketinggian di bawah 30
km waktu hidup senyawa-senyawa
kimia cenderung panjang sehingga
sebagian ozon dapat ditransport ke
wilayah lain.
Di lapisan stratosfer, ozon
mengalami proses fotolisis dengan
sangat cepat oleh sinar UV dan sinar
tampak dari radiasi matahari seperti
reaksi berikut:
O3 + h O2 + O (5-3)
Namun, reaksi tersebut tidak
menunjukkan keseluruhan jumlah atom
O yang dilepaskan dan bergabung dengan
molekul oksigen untuk membentuk
kembali ozon. Perubahan yang sangat
cepat dari O menjadi O3 membuat kedua
spesi ini dapat dianggap spesi single
disebut odd oxygen (Ox=O+O3). Ox atau
O3 hilang saat terbentuknya ikatan
oksigen seperti reaksi:
O + O3 2O2 (5-4)
Reaksi tersebut merupakan
reaksi sederhana yang menjadi bagian
dari rangkaian reaksi lainnya yang
diperkenalkan oleh Sydney Chapman
(Chapman, 1930) yang bisa menjelaskan
mengenai lapisan ozon dan masih dapat
digunakan hingga sekarang. Reaksi
lainnya yang melibatkan HOx (=H + OH
+ HO2 + …), NOx (=NO + NO2), ClOx (=Cl
+ ClO + OClO + HOCl + BrCl) dan, BrOx
(= Br + BrO + BrCl + HOBr) radikal juga
mempengaruhi budget ozon. Semua
radikal ini berasal dari senyawa-
senyawa lain yang memiliki waktu hidup
panjang sehingga dapat ditransport dari
troposfer ke stratosfer.
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:47-54
50
5.2 Siklus Radikal OH dan NO dalam
Reaksi Ozon Troposfer dan
Stratosfer
Radikal OH berperan penting
dalam keseimbangan ozon di atmosfer.
Hal ini disebabkan radikal OH terlibat
dalam siklus katalitik penguraian ozon
di stratosfer seperti halnya radikal ClO
dan Br, melalui siklus HOx 6:
OH + O3 HO2 + O2 (5-5)
HO2 + O OH + O2 (5-6)
Net : 2Ox 2O2 (5-7)
Sama halnya seperti OH, radikal
NO juga terlibat dalam siklus katalitik
penguraian ozon di stratosfer melalui
siklus NOx:
2(NO + O3) 2(NO2 + O2) (5-8)
NO2 + h NO + O (5-9)
NO2 + O NO + O2 (5-10)
Net : 2O3 3O2 (5-11)
Di troposfer, radikal OH terlibat
dalam reaksi pembentukan dan
penguraian ozon. Dalam reaksi
pembentukan ozon yang melibatkan CO
dan VOC, CO bereaksi dengan radikal
OH membentuk atom H radikal dan CO2.
Atom H radikal kemudian bereaksi
dengan O2 membentuk hirdoperoksi
radikal (HO2) seperti reaksi berikut:
Net : 2O3 3O2 (5-12)
CO + OH H + CO2 (5-13)
Radikal OH juga mengikat
hidrokarbon (RH) dan senyawa VOC
yang lain untuk membentuk alkyl
peroksi radikal (RO2):
RH + OH H2O + R (5-14)
R + O2 (+M) RO2 + M (5-15)
HO2 dan RO2 mengoksidasi NO
untuk membentuk NO2, menghasilkan
kembali radikal OH:
HO2 + NO OH + NO2 (5-16)
RO2 + NO RO + NO2 (5-17)
Pembentukan kembali NO2
mengakibatkan ozon terbentuk lebih
banyak dalam waktu kurang lebih 1
hingga 2 menit. Siklus ini terus berjalan
hingga NO2 atau NO atau rantai
propagasi spesi radikal yang lain (OH
dan HO2) dihilangkan.
Reaksi produksi ozon di troposfer
berhenti dengan:
Penghilangan reaktan atau reaktan
berubah menjadi spesi kimia yang lain
Penurunan fluks actinic yang berkaitan
dengan sinar matahari terutama saat
matahari tenggelam.
Reaksi terminasi yang penting
yaitu:
HO2 + HO2 H2O2 + O2 (5-18)
RO2 + HO2 ROOH + O2 (5-19)
OH + HO2 H2O + O2 (5-20)
6 FAKTOR-FAKTOR YANG MEM-
PENGARUHI REAKSI OZON DI
ATMOSFER
6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Reaksi Ozon di Troposfer
Hubungan antara kondisi
meteorologi dan polutan di udara seperti
ozon troposfer, telah sejak lama menjadi
bagian penting dari penelitian atmosfer.
Proses presipitasi, karakter aliran
predominan, faktor cuaca seperti
temperatur, kelembaban, dan tekanan
sangat berhubungan dengan
pembentukan, transport, difusi, dan
deposisi dari polutan di udara [Schreiber.
V., 1996]:
Prekursor ozon
Prekursor ozon terutama karbon
monoksida, hidrokarbon, dan oksida
nitrogen yang berasal dari alam maupun
hasil aktivitas manusia mempengaruhi
konsentrasi ozon troposfer di atmosfer.
Semakin tinggi emisi prekursor ozon
tersebut, akan meningkatkan konsentrasi
ozon troposfer yang terbentuk. Namun,
hal ini juga masih dipengaruhi oleh
faktor lain yaitu intensitas sinar
Efek Radikal Hidroxyl (OH) dan ....(Novita Ambarsari)
51
matahari dan faktor meteorologi
diantaranya temperatur, kelembapan,
tekanan, arah dan kecepatan angin, dan
lain-lain.
Intensitas sinar matahari
Sinar matahari sangat ber-
pengaruh terhadap proses pembentukan
ozon troposfer melalui reaksi fotokimia.
Intensitas sinar matahari yang tinggi
dikombinasikan dengan tingginya
tingkat emisi prekursor ozon akibat
aktivitas manusia akan memicu reaksi
fotokimia pembentukan ozon troposfer
[Kalabokas, 2004].
Hal ini dapat terlihat dari profil
siklus harian (diurnal) ozon troposfer.
Konsentrasi ozon troposfer di siang hari,
di saat intensitas matahari dan aktivitas
manusia tinggi, jauh lebih besar
dibandingkan konsentrasi ozon troposfer
di malam hari.
Selain variasi diurnal, pengaruh
intensitas matahari dan prekursor ozon
terhadap tingginya konsentrasi ozon
tropsofer dapat dilihat juga dari profil
variasi musiman. Musim panas
menjadi saat konsentrasi ozon mencapai
tingkat yang paling tinggi dibandingkan
dengan saat musim dingin. Selain
karena intensitas matahari yang rendah
di musim dingin, aktivitas manusia pun
berkurang. Oleh karenanya, emisi gas-
gas prekursor ozon dari sektor
transportasi, maupun sektor lainnya
ikut berkurang sehingga menurunkan
konsentrasi ozon troposfer yang
terbentuk.
Untuk daerah yang mengalami
musim hujan, konsentrasi ozon troposfer
pada musim hujan lebih rendah
dibandingkan musim kemarau. Hal ini
disebabkan karena pada musim hujan
terjadi proses wash out di atmosfer,
sehingga gas-gas prekursor ozon di
atmosfer larut dan mengalami deposisi
dalam air hujan.
Faktor meteorologi
Faktor meteorologi yang paling
berperan dalam proses pembentukan
ozon troposfer adalah kecepatan dan
arah angin, temperatur, tekanan, dan
kelembapan. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Pulikeshi
(2005) di Chenai, India, faktor meteorologi
tersebut memberikan pengaruh terhadap
proses pembentukan ozon troposfer
(Gambar 6-1). Prekursor-prekursor ozon
terkonsentrasi dalam skala lokal atau
mengalami transport sehingga
menghasilkan ozon troposfer di daerah
lain sangat ditentukan oleh kecepatan
angin. Pembentukan ozon terjadi lebih
kondusif pada kondisi temperatur
atmosfer yang hangat, kering, tidak ada
awan, dan kecepatan angin yang rendah.
Kondisi ini sebagian besar terjadi pada
sistem dengan tekanan tinggi.
Hal yang sama juga tampak
untuk kondisi di Bandung (Gambar 6-2).
Konsentrasi ozon permukaan di
Bandung sangat tinggi mencapai 35
ppbv pada saat temperatur udara
maksimum yaitu 25 C sedangkan
kelembapan relatif rendah sebesar 75 %.
Gambar 6-1: Pengaruh faktor meteorologi terhadap ozon troposfer di Chenai India [Pulikeshi, 2005]
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:47-54
52
Gambar 6-2: Grafik konsentrasi ozon permukaan dan temperatur (kiri) dan konsentrasi ozon dan
kelembaban relatif (kanan) di Bandung 1 Januari 2008.
Berdasarkan gambar di atas,
dapat diketahui bahwa ozon troposfer
meningkat pada saat nilai temperatur
tinggi, kecepatan angin rendah,
kelembapan rendah (kering), dan arah
angin nol.
Dari analisis ini dapat diambil
kesimpulan mengenai pengaruh faktor
meteorologi terhadap proses pembentukan
ozon troposfer sebagai berikut:
Temperatur tinggi meningkatkan
pembentukan ozon,
Relatif humidity (RH)/kelembapan
berpengaruh sebaliknya terhadap
pembentukan ozon, kelembapan
rendah ozon troposfer tinggi
Kondisi dengan tekanan tinggi
menyebabkan peningkatan konsentrasi
ozon troposfer [Pulikeshi, 2005].
6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Reaksi Ozon di Stratosfer
Konsentrasi ozon di stratosfer
sangat dipengaruhi oleh tiga faktor
utama yaitu [Rowland S., 2006]:
Jumlah oksigen di stratosfer
Reaksi pembentukan ozon di
stratosfer berasal dari reaksi fotolisis
molekul oksigen oleh sinar UV, sehingga
jumlah ozon di stratosfer sangat
ditentukan oleh kelimpahan molekul
oksigen. Walaupun faktor lain seperti
transport proses juga ikut berpengaruh
terhadap jumlah ozon di stratosfer.
Radiasi sinar ultraviolet
Radiasi sinar ultraviolet memegang
peranan penting dalam reaksi
pembentukan ozon di stratosfer. Reaksi
fotolisis molekul oksigen sangat
ditentukan oleh energi radiasi ultraviolet
dengan panjang gelombang 242 nm.
Sementara reaksi penguraian ozon secara
alami akibat fotolisis juga melibatkan
energi radiasi UV yang terjadi pada
panjang gelombang 310 nm.
Keberadaan radikal halogen, NOx
dan HOx
Selain reaksi alami fotolisis ozon
di stratosfer, serta keberadaan radikal
NO dan OH seperti sudah dijelaskan
sebelumnya, keberadaan radikal
halogen terutama klorin dan bromin
ikut menentukan konsentrasi ozon di
stratosfer. Penguraian ozon di stratosfer
menurut siklus Chapman dan siklus
katalitik yang dapat digambarkan secara
umum dalam bentuk:
XO + O X + O2 (6-1)
X + O3 XO + O2 (6-2)
Net: O + O3 2O2 (6-3)
X dapat berupa NO, OH, H, Cl,
dan Br. Reaksi ini secara keseluruhan
dikendalikan oleh densitas atom oksigen
yang menurun jumlahnya seiring
menurunnya ketinggian. Di stratosfer
bawah, siklus ini tidak terlalu penting
dibandingkan siklus lainnya yang tidak
dibatasi oleh atom oksigen.
7 PENUTUP
Radikal OH dan NO berperan
sebagai agen perusak ozon di stratosfer.
Efek Radikal Hidroxyl (OH) dan ....(Novita Ambarsari)
53
Radikal NO juga berperan sebagai
intermediate reaksi pembentukan ozon
di troposfer untuk menghasilkan
kembali NO2 juga berperan dalam
produksi OH. Radikal OH di troposfer
berperan sebagai oksidator yang
mengoksidasi CO menjadi CO2 dan
bereaksi dengan HC membentuk alkil
peroksi radikal. Beberapa faktor lain
yang mempengaruhi ozon di stratosfer
adalah sinar matahari, jumlah oksigen,
dan keberadaan agen perusak ozon.
Beberapa faktor lain yang mempengaruhi
ozon di troposfer yaitu prekursor, sinar
matahari, faktor meteorologi, pemben-
tukan petir, dan pengaruh musim.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Ninong Komala dan Bapak
Mulyono di Bidang Komposisi Atmosfer
PSTA LAPAN yang telah membantu
penulis dalam penyediaan data ozon
permukaan dan temperatur di Bandung
yang digunakan pada tulisan ini.
DAFTAR RUJUKAN
A. Damiani., M. Storini., C. Rafenelli., and P.
Diego, 2010. Variability of the Nighttime
OH Layer and Mesospheric Ozone at
High Latitudes During Northern Winter:
Influence of Meteorology, Atmos. Chem.
Phys., 10, 10291-10303.
Fehsenfeld, 1993. Tropospheric Ozone:
Distribution and Sources, Global
Atmospheric Chemical Change, 169-174.
K. Minschwaner., G. L. Manney., S. H. Wang.,
and R. S.Harwood, 2011. Hydroxyl in
the Stratosphere and Mesosphere – Part
1: Diurnal Variability, Atmos. Chem.
Phys., 11, 955-962.
Kalabokas, 2004. A Climatological Study of
Rural Surface Ozone in Central Greece,
Journal of Atmospheric chemistry and
Physic, Athena, Yunani.
Mc.Conell, J.C., 2008. Stratospheric Ozone
Chemistry, ATMOSPHERE-OCEAN 46
(1) 2008, 69–92.
NASA, 2001. Educational Resources, The Ozone
layer, www. nas.nasa.gov/ About/
Education/Ozone/.
Portmann R.W., Daniel J.S., dan Ravishankara
A.R., 2012. Stratospheric Ozone Depletion
Due to Nitrous Oxide: Influences of Other
Gases, Phil. Trans. R. Soc. B., 367,
1256-1264.
Pulikeshi, 2005. The Effects of Weather on
Surface Ozone Formation, Green Page,
Eco Servic International.
Rowland S., 2006. Stratospheric Ozone
Depletion Review, Phil. Trans. R. Soc. B
(2006) 361, 769–790.
Schreiber, V., 1996. A Synoptic Climatological
Evaluation of Surface Ozone
Concentrations in Lancaster County,
Pennsylvania, Millersville University of
Pennsylvania.
Efek Radikal Hidroxyl (OH) dan ....(Novita Ambarsari)
47
Kalibrasi Magnetometer ....(Harry Bangkit dan Mamat Ruhimat)
55
KALIBRASI MAGNETOMETER TIPE 1540
MENGGUNAKAN KALIBRATOR MAGNETOMETER
Harry Bangkit, Mamat Ruhimat
Pusat Sain Antariksa
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Indonesia
e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Keberadaan kalibrator magnetometer di laboratorium Pusat Sains Antariksa merupakan
sarana untuk menguji ketelitian magnetometer. Pusat Sains Antariksa telah membangun sebuah
sistem observasi geomagnet landas bumi menggunakan sensor tipe 1540. Kalibrasi dilakukan
terhadap sensor tersebut sebelum ditempatkan di stasiun pengamat geomagnet.
1 PENDAHULUAN
Badai magnet merupakan
gangguan temporal pada magnetosfer
akibat interaksi angin surya dengan
medan magnet bumi. Pada kondisi
tertentu partikel bermuatan dapat
masuk ke lingkungan bumi akibat
gelombang kejut dari angin surya.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh
lontaran massa korona matahari.
Gambar 1-1: Kondisi dinamis akibat aktifitas
matahari yang mempengaruhi fisis ruang antar planet sampai lapisan magnetosfer, ionosfer, dan termosfer bumi. Gelombang kejut angin surya dapat menyebabkan badai magnet skala besar sehingga partikel bermuatan masuk ke lingkungan bumi dan mengancam kehidupan manusia. (Sumber: wikipedia)
Badai magnet dapat mempengaruhi
kesehatan mahluk hidup dan
mengganggu perangkat teknologi yang
ada di orbit maupun permukaan bumi,
seperti komunikasi radio, navigasi,
kerusakan satelit, jaringan listrik dan
eksplorasi geologi, sehingga pengamatan
dan peringatan dini adanya badai
magnet penting dilakukan.
LAPAN melakukan pengamatan
dan studi terkait aktifitas badai magnet
sejak tahun 1992. Saat ini 11 lokasi
tersebar di Indonesia mengamati variasi
harian geomagnet secara kontinu
menggunakan magnetometer. Beberapa
magnetometer telah beroperasi lebih
dari 10 tahun, sehingga kalibrasi perlu
dilakukan guna menjamin kualitas data
pengamatan.
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:55-60
56
Gambar 1-2: Beberapa magnetometer yang
digunakan untuk mengamati variasi harian geomagnet. Magnetometer MB162C, Magson, dan Magdas merupakan magnetometer tipe fluxgate, Lemi
030 merupakan tipe induction, dan G856 merupakan tipe proton (Sumber: LAPAN)
2 MAGNETOMETER TIPE 1540
Magnetometer adalah instrumen
yang digunakan untuk mengukur
kekuatan dan juga arah medan magnet.
Instrumen ini pertama kali
diperkenalkan oleh Carl Friedrich Gauss
pada tahun 1833 untuk pengukuran
medan magnet bumi. Satuan
internasional medan magnet adalah
Tesla. Untuk pengukuran geomagnet
digunakan satuan nanotesla (nT).
Satuan lain yang digunakan adalah
Gauss, dimana 1 Gauss = 100.000 nT
atau 1 Gauss = 100.000 gamma.
Magnetometer dibagi menjadi dua
tipe. Tipe pertama adalah magnetometer
skalar, yaitu magnetometer yang hanya
mengukur total kekuatan medan
magnet. Tipe kedua adalah magnetometer
vektor, yaitu magnetometer yang
mengukur besar dan arah medan magnet
dalam 3 koordinat, yaitu komponen XYZ
atau HDZ (Buletin Komrad).
Magnetometer dijital tipe 1540
merupakan magnetometer vektor jenis
fluxgate yang mengukur medan magnet
dalam arah XYZ. Magnetometer ini
memiliki resolusi 0.01 nT, rentang
pengukuran ± 65.000 nT, ADC 24 bit,
dan komunikasi data melalui RS232.
Diameter magnetometer hanya 1 inchi,
dengan panjang 4,73 inchi, dan
bentuknya sangat ringkas seperti
terlihat pada Gambar 2-1.
Gambar 2-1: Magnetometer dijital tipe 1540
berbentuk tabung dengan ukuran relatif kecil dan bentuk yang ringkas (Sumber: www. appliedphysics.com)
Untuk dapat digunakan
mengamati variasi harian geomagnet di
stasiun pengamat maka magnetometer
harus ditempatkan pada mounting
sensor yang dilengkapi waterpass untuk
leveling dan knop pengaturan posisi titik
nol komponen Y atau barat – timur
medan geomagnet, seperti terlihat pada
Gambar 2-2.
Gambar 2-2: Magnetometer digital tipe 1540
yang telah dilengkapi mounting sensor terbuat dari bahan non magnetik. Tampak samping (kiri) dan atas (kanan) (Sumber:
LAPAN).
Sensor magnetometer dan
mounting di atas merupakan bagian dari
Sistem Observasi Geomagnet Terpadu
yang dibangun pada tahun 2011.
Dengan adanya kalibrator magnetometer
di Pusat Sains Antariksa pada tahun
2014, kalibrasi secara laboratorium
dapat dilakukan.
3 HELMHOLTZ COIL
Helmholtz coil adalah alat untuk
membangkitkan medan magnet uniform
Kalibrasi Magnetometer ....(Harry Bangkit dan Mamat Ruhimat)
57
dalam ruang tertentu. Alat ini terdiri
dari sepasang kumparan elektromagnet
yang ditempatkan secara simetris pada
sebuah vektor medan. Selain
membangkitkan medan magnet, coil ini
juga digunakan untuk menghilangkan
efek medan magnet luar, seperti medan
magnet bumi.
Gambar 3-1: Skematik kumparan helmholtz
berupa dua solenoida pada satu vektor medan (Sumber: Wikipedia)
Kekuatan medan magnet di titik pusat
antara kedua solenoida sebesar:
(3-1)
Keterangan:
µ0 = konstanta permeabilitas
n = banyaknya lilitan coil tiap solenoida
I = arus yang mengalir pada coil
R = radius coil
4 KALIBRATOR MAGNETOMETER
Kalibrator magnetometer berbasis
kumparan helmholtz melengkapi
fasilitas di Pusat Sains Antariksa mulai
tahun 2014. Pada mode closed loop,
kalibrator ini bertindak sebagai simulator
medan magnet yang besarnya dapat
diatur antara -100.000 nT sampai
dengan +100.000 nT pada tiap vektor
medan (X, Y, Z) dan mampu mereduksi
efek noise lokal sampai dengan 90 dB.
Pada mode open loop, arus pada lilitan
helmholtz ditiadakan sehingga kalibrator
bertindak sebagai perekam variasi
medan magnet bumi.
Gambar 4-1: Sistem kalibrasi magnetometer
berbasis Helmholzt coil telah beroperasi di Pusat Sains Antariksa – LAPAN mulai tahun
2014. Kalibrator ini telah digunakan untuk magnetometer MB162C, Magson, G856 dan 1540. Kalibrator ini juga akan mendukung studi muatan magnetometer pada satelit LAPAN. Selain itu penelitian lain terkait simulasi medan magnet juga dapat dilakukan (Sumber: LAPAN)
Kalibrator magnetometer berbasis
helmholzt coil terdiri atas sepasang
kumparan helmholtz tiga sumbu, yaitu
kumparan ±X, ±Y, dan ±Z, berbentuk
kubus dengan dimensi 2 x 2 x 2 meter.
Unit pengontrol helmholtz coil berfungsi
mengatur besarnya arus yang mengalir
pada tiap kumparan sehingga meng-
hasilkan medan magnet sesuai keinginan
(magnetometer, 2013). Berikut ini adalah
spesifikasi kalibrator magnetometer yang
ada di LAPAN:
Helmholtz coil
Helmholtz coil tiga sumbu (X, Y, Z).
Keselarasan sumbu ortogonal + 0.1 °.
Konstanta magnetik 75,000 nT/
Ampere.
Akurasi pengkalibrasian ± 0.01% di
titik pusat coil.
Keseragaman medan magnet 0.025%
pada jarak 20 cm dari pusat coil, dan
0.005% pada jarak 10 cm dari pusat
coil.
Geometri coil sangkar persegi dengan
tiga pasang coil.
Luas coil bagian dalam 200 cm2.
Berat seluruh coil 114 kg.
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:55-60
58
Konstruksi coil terbuat dari material
non magnetik dan terisolasi untuk
mencegah loops arus eddy.
Unit pengontrol helmholtz coil
Dua mode operasi yaitu open loop dan
closed loop.
Resolusi pengaturan medan magnet
20-bit (~.3 nT) dengan cakupan ± 1
Gauss.
Memiliki sensor magnetometer
fluxgate tiga sumbu yang diletakan di
titik pusat coil.
Dilengkapi magnetometer satu kanal
yang presisi sehingga dapat melakukan
kalibrasi sistem secara otomatis.
Memiliki 6 saluran analog dengan ADC
beresolusi 24-bit untuk mendigitasi
output analog dari magnetometer
yang sedang dikalibrasi.
Dilengkapi remote control.
Dilengkapi software untuk mengontrol
medan magnet di dalam coil
(berputar, statik atau meningkat)
secara otomatis melalui komputer.
5 KALIBRASI MAGNETOMETER
Magnetometer tipe 1540 yang
telah dilengkapi mounting diuji
menggunakan kalibrator magnetometer
dengan layout seperti terlihat pada
Gambar 5-1. Medan magnet di dalam
helmholtz coil diubah-ubah untuk
melihat respon magnetometer. Nilai
pembacaan magnetometer tersebut
dibandingkan dengan nilai medan
magnet yang diberikan oleh helmholtz
coil. Plot pembacaan magnetometer
sepanjang kalibrasi terlihat pada
Gambar 5-2. Nilai pembacaanya terlihat
pada Gambar 5-3.
Gambar 5-1 memperlihatkan
fluktuasi grafik pembacaan magnetometer
1540 tiap komponen sebagai akibat
perubahan medan magnet yang
dikontrol oleh helmholtz coil. Fluktuasi
nilai pembacaan magnetometer 1540
sesuai dengan fluktuasi medan magnet
yang diberikan oleh kalibrator. Hal ini
menunjukkan respon magnetometer
dijital tipe 1540 ini masih sangat baik.
Gambar 5-1: Plot pembacaan magnetometer
1450 terdiri atas komponen XYZ (merah), temperatur sensor
(merah) dan temperatur ruangan (biru)
Gambar 5-2: Nilai pembacaan magnetometer
pada berbagai itensitas medan yang dibangkitkan oleh helmholtz
coil
Meskipun respon magnetometer
ini sangat baik, namun terdapat
perbedaan threshold antara hasil
pengukuran magnetometer 1540 dengan
besar medan magnet yang dibangkitkan
oleh kalibrator. Menurut pembacaan
Hybrid Fluxgate Magnetometer, yaitu
sebuah magnetometer dengan ketelitian
yang sangat tinggi untuk aplikasi ruang
angkasa (Magson, 2013), perbedaan
(jitter range) pada komponen X dan Y
sebesar 80 nT, dan pada komponen Z
sebesar 120 nT, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 5-3 dan 5-4.
Hal ini dapat disebabkan perbedaan
posisi penempatan sensor magnetometer
yang akan diuji dengan sensor fluksgate
kalibrator yang terletak 25 cm di bawah
magnetometer uji.
Kalibrasi Magnetometer ....(Harry Bangkit dan Mamat Ruhimat)
59
Gambar 5-3: Pembacaan sensor fluksgate
magnetometer kalibrator komponen
X,Y,Z terhadap itensitas medan magnet lingkungan (mode open loop)
Gambar 5-4: Pembacaan magnetometer Hybrid
Fluxgate Magnetometer (HFGM)
komponen XYZ terhadap itensitas medan magnet lingkungan
6 PENUTUP
Kalibrasi peralatan magnetometer
saat ini dapat dilakukan di Pusat Sains
Antariksa dengan adanya kalibrator
magnetometer berbasis helmholtz coil.
Mounting sensor magnetometer 1540
dibuat dengan sangat baik sehingga
tidak mempengaruhi pembacaan
magnetometer didalamnya. Perlu
dipertimbangkan teknik penempatan
sensor magnetometer yang akan diuji
dalam helmholtz coil sedekat mungkin
dengan magnetometer fluksgate
kalibrator agar jitter range pembacaan
kedua sensor tidak terlalu besar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami ucapkan
kepada rekan-rekan di Pusat Sains
Antariksa, khususnya Bidang
Geomagnet dan Magnet Antariksa, atas
perannya dalam merawat peralatan
sehingga kalibrasi ini dapat dilakukan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan
juga kepada rekan-rekan di Pusat
Teknologi Satelit yang telah melakukan
pengujian Hybrid Fluxgate Magnetometer
(HFGM) pada Precision Magnetic Field
Calibration System di Pusat Sains
Antariksa.
DAFTAR RUJUKAN
Apex-CS Helmholtz Coil Controller, Precision
Magnetic Field Calibration System,
Billingsley Aerospace and Defense,
www.magnetometer.com.
Bangkit H., 2011. Sistem Observasi Geomagnet
Landas Bumi Terpadu LAPAN, Prosiding
Seminar Nasional Sains Atmosfer dan
Antariksa LAPAN, 417 – 425.
Bangkit H., 2012. Magnetometer, Buletin
Komrad Vol.4 No. 2, 6 – 8.
Bangkit H., 2015. Sistem Kalibrasi Magnetometer
Menggunakan Helmholtz Coil, Buletin
Cuaca Antariksa, Vol. 4 No.3, 7 – 8.
Digital 3-Axis Fluxgate Magnetometer Model
1540, http:// appliedphysics. com/
products/magnometers/.
Helmholtz Coil Assembly Manual, Precision
Magnetic Field Calibration System,
Billingsley Aerospace and Defense,
www.magnetometer.com.
Helmholtz coil, http://en.wikipedia.org/wiki/
Helmholtz_coil.
Hybrid Fluxgate Magnetometer, Design Description
User Manual, Magson GmbH, http://
www.magson.de/ products/
products4.html.
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:55-60
60
Magnetometer, Buletin Komrad Vol. 4/ No. 2/
April – Juni 2012. ISSN: 2086-1958.
Magnetometer, http://en.wikipedia.org/wiki/
Magnetometer.
Space Weather, https://en.wikipedia. Org.
Potensi Pemanfaatan Satelit Alos-3 (Samsul Arifin)
61
POTENSI PEMANFAATAN SATELIT ALOS-3
Samsul Arifin
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Jl. Kalisari No. 8, Pekayon 13710 Indonesia
e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Advanced Land Observing Satellite-3 (ALOS-3) merupakan kelanjutan misi satelit optik JAXA
dari ASTER dan ALOS. ALOS-3 yang akan diluncurkan pada 2015/2016. Tujuan tulisan ini adalah
untuk mengkaji potensi pemanfaatan dari ALOS-3, agar dapat dimanfaatkan oleh pengguna di
Indonesia. Berdasarkan hasil kajian ALOS-3, bahwa ALOS-3 PRIMS-2 dan HISUI memiliki
peningkatan kemampuan kapasitas dari berbagai aspek dibandingkan PRISM, AVNIR satelit ALOS
dan satelit ASTER.PRISM-2. ALOS-3 dapat digunakan untuk pembuatan data Digital Surface Model
(DSM). Multispektral (MSS) HISUI ALOS-3 berpotensi untuk pemantauan lingkungan, kebencanaan,
obsevasi survey permukaan tanah, pesisir dan perairan laut. Hiperspektral (HSS) HISUI ALOS-3
sangat berpotensi untuk pemantauan lingkungan atau pemetaan dalam skala global. Pemanfaatan
sensor komplemen dari ALOS-3 dapat meningkatkan kemampuan dalam ketersediaan resolusi lebih
tinggi dan cakupan yang luas dengan menghasilkan citra pansharpen, multispectral dan hiperspektral.
Kata Kunci: ALOS-3, HISUI, PRISM-2, Potensi, Aplikasi, Sumberdaya, Kebencanaan
1 PENDAHULUAN
Indonesia dan Jepang telah lama
menjalin kerja sama dalam kegiatan
penelitian teknologi dan pemanfaatan
penginderaan jauh. Kedua negara tersebut
diwakili oleh masing-masing instansi
Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN) dan Japan Aerospace
Exploration Agency (JAXA). Teknologi
dan pemanfaatan penginderaan jauh
yang telah diadakan kegiatan dan
penelitian bersama diantaranya adalah
satelit Japanese Earht Resource Satellite-1
(JERS-1) dan Advanced Land Observing
Satellite (ALOS). LAPAN mendapatkan
hibah pembangunan stasiun bumi
untuk dapat menerima data JERS-1
untuk dapat dimanfaatkan di Indonesia.
Kerjasama masih terus berlanjut dengan
hadirnya ALOS dan ALOS-2 sampai
sekarang.
Setelah JAXA berhasil menluncur-
kan ALOS-2 pada tanggal 24 Mei 2014,
kini JAXA berencana meluncurkan
ALOS-3 pada 2015/2016. ALOS-3
merupakan tindak lanjut misi optik dari
ASTER dan ALOS (optik) yang telah
mengalami masalah sehingga tidak
operasional lagi. Dengan adanya
pengembangan teknologi satelit ini,
dimungkinkan akan diadakannya suatu
kerjasama berkelanjutan antara Jepang
dan Indonesia untuk perolehan data
dan pemanfaatannya dalam bidang
sumberdaya alam dan kebencanaan. Hal
ini disebabkan ALOS-3 memiliki misi
memberikan pelayanan untuk
dukungan operasional dalam bidang
pemantauan, memperbarui data untuk
kelanjutan arsip data yang terkait
dengan informasi sumberdaya alam,
vegetasi, survey tanaman, kondisi
lingkungan pesisir dan pemantauan
lingkungan, termasuk pembuangan
ilegal limbah industri. (Imai, et al, 2009,
2011, 2012). ALOS-3 dan produksi
datanya tersebut sangat menguntungkan
bagi Indonesia, mengingat Indonesia
memiliki sumberdaya alam beraneka
ragam dan memiliki dinamika/fenomena
lingkungan yang komplek serta negara
Indonesia sering mengalami berbagai
bencana.
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:61-72
62
Selain itu, Indonesia dan Jepang
telah menjalin kerjasama dalam bidang
perkembangan teknologi dan pemanfaatan
datanya baik dalam bentuk penelitian
bersama dan pelatihan untuk berbagai
aplikasi, antara lain bidang pertanian,
pembuatan DEM, Interferometri dan
lain-lain. Oleh karena itu dipandang
perlu Indonesia (LAPAN) untuk mengkaji
dan menelaah teknologi dan pemanfaatan
satelit yang dibuat Jepang khususnya
satelit ALOS yang berkelanjutan. Tujuan
tulisan ini untuk mengkaji karakteristik
dan potensi aplikasi dari ALOS-3 agar
dapat dimanfaatkan pengguna di
Indonesia.
2 STUDI PUSTAKA
2.1 ALOS
Advanced Land Observing Satellite
(ALOS) atau juga bernama Daichi
diluncurkan pada tanggal 24 Januari
2006 mempunyai 5 misi utama yaitu
pengamatan kartografi, pengamatan
regional, pemantauan bencana alam,
penelitian sumber daya alam dan
pengembangan teknologi satelit JERS-1
dan ADEOS. ALOS dilengkapi dengan
tiga sensor inderaja, yaitu sensor
Panchromatic Remote Sensing Instrument
for Stereo Mapping (PRISM) dan sensor
Advanced Visible and Near Infrared
Radiometer type-2 (AVNIR-2), serta sebuah
sensor gelombang mikro atau radar yaitu
Phased Array type L-Band Synthetic
Aperture Radar (PALSAR). (Shimada, 2009,
Fukuda, 2011)
PRISM adalah radiometer
pankromatik dengan resolusi spasial 2,5 m
di titik nadir. Data yang dihasilkan
bermanfaat untuk membuat Digital
Surface Model (DSM) yang sangat
akurat. PRISM tidak bisa mengamati
kawasan di luar 82 derajat selatan dan
lintang utara, karena area tersebut
merupakan area kutub atau es yang
memiliki ketinggian sama, sehingga
PRISM saat melintasi dinonaktifkan
atau dikonsisikan tidak mengakuisisi
untuk efisiensi energi dan penyimpanan
data. AVNIR-2 adalah radiometer sinar
tampak dan inframerah dekat untuk
mengamati tanah dan wilayah pesisir.
AVNIR-2 adalah penerus AVNIR yang
berada pada Advanced Earth Observing
Satellite (ADEOS). Sensor ini menyedia-
kan informasi spasial tanah yang lebih
baik dan peta klasifikasi penggunaan
lahan untuk memantau lingkungan
regional. PALSAR merupakan sensor
gelombang mikro aktif menggunakan
frekuensi L-band yang bebas awan dan
observasi lahan siang dan malam.
Sensor ini memiliki kapasitas lebih baik
dari JERS-1 Synthetic Aperture Radar
(SAR). Pengembangan PALSAR merupakan
proyek kerjasama antara JAXA dan
Japan Resources Observation System
Organization (JAROS). Kekurangan
PALSAR tidak bisa mengamati kawasan
di luar 87,8 derajat lintang utara dan
75,9 derajat Lintang Selatan ketika
sudut off-nadir adalah 41,5 derajat.
ALOS berakhir pada tanggal 12
Mei 2011. Satelit ini telah merekam 6,5
juta informasi dalam lima tahun sejak
mulai operasi dan telah banyak
berkontribusi dalam mengakusisi data
dalam keadaan darurat untuk keperluan
bencana dengan pengamatan sekitar
100 wilayah yang dilanda bencana
dalam skala besar pertahun. Sejak
ALOS berakhir, kurang lebih 3 tahun
Jepang (JAXA) tidak mengakusisi data
dan memberikan informasi. Pada tanggal
24 Mei 2014.
Gambar 2-1: Satelit ALOS (sumber: http://
global.jaxa.jp)
2.2 ALOS-2
Advanced Land Observing Satellite-
2 (ALOS-2) atau "Daichi-2” merupakan
Potensi Pemanfaatan Satelit Alos-3 (Samsul Arifin)
63
salah satu jenis satelit Radar untuk
pemetaan yang berhasil diluncurkan
oleh Jepang pada tanggal 24 Mei 2014.
Satelit ini diluncurkan dengan
menggunakan roket H-IIA No. 24 (H-IIA
F24) dari Tanegashima Space Center,
JAXA (Arifin, 2014, Graham, 2014). ALOS-
2 merupakan satelit radar observasi
bumi yang dioperasikan oleh Japan
Aerospace Exploration Agency (JAXA)
untuk mendapatkan citra radar resolusi
tinggi dari permukaan bumi dan
dimanfaatkan bagi pemetaan/kartografi,
observasi wilayah, pengelolaan sumber
daya, manajemen bencana dan tujuan
penelitian (Sitanggang, 2010). ALOS-2
diproduksi oleh Mitsubishi Electric
Corporation di bawah kontrak dengan
JAXA (Kamimura, et al, 2008, Anonim,
2012, Clark, 2014). JAXA telah
meluncurkan kembali satelitnya sebagai
penerus ALOS yaitu ALOS-2. Tidak
seperti ALOS yang membawa muatan
sensor PRISM, AVNIR-2 dan PALSAR-1,
pada ALOS-2 hanya membawa muatan
sensor PALSAR-2 saja.
ALOS-2 memiliki kelebihan dari
pada ALOS sebelumnya. ALOS-2
diluncurkan hanya membawa muatan
utama Phased Array type L-Band
Synthetic Aperture Radar-2 (PALSAR-2).
ALOS-2 memiliki muatan (payload) SAR
dengan resolusi spasial lebih baik,
resolusi temporal lebih cepat, dan
pengamatan sudut insiden tinggi dari
pada ALOS yang diluncurkan sebelumnya.
ALOS-2 dirancang untuk memfasilitasi
instrumen utama yaitu PALSAR-2 dan
muatan sekunder sebagai misi ujicoba
(demontrasi) teknologi yang terdiri dari
Compact Infrared Camera (CIRC) dan
Space-based Automatic Identification
System Experiment 2 (SPAISE-2) (Oki,
2012)
Satelit ini memiliki berat 2.120
kilogram dan ukuran 9,9 x 16,5 x3,7
meter ketika sepenuhnya diluncurkan
ke orbit. Satelit ini dilengkapi dengan
tiga panel yaitu dua unit disusun untuk
tenaga matahari (surya) dengan
menggunakan triple-junction gallium
arsenide sel surya untuk kapasitas daya
output total 5.200 Watt pada akhir
operasi dan sebuah unit avionik khusus
untuk pendingin listrik badan utama
satelit dan memenuhi peraturan negara
yang harus bertanggung jawab atas
baterai satelit.
Gambar 2-2: Satelit ALOS-2 (sumber: http://
www.spaceflight101.com)
2.3 ALOS-3
Proyek lanjutan setelah sukses
meluncurkan ALOS-2, JAXA merencana-
kan meluncurkan ALOS-3. Gambar 2-3,
merupakan jadwal program proyek
ALOS JAXA mulai 2006 sampai tahun
2018. Untuk proyek ALOS-3 rencananya
selesai dan diluncurkan tahun di atas
tahun 2016. (Imai, et al, 2010).
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:61-72
64
Gambar 2-3: Gambaran rencana jangka panjang ALOS (http://global.jaxa.jp)
Gambar 2-4: Ilustrasi satelit ALOS-3 (sumber: http://global.jaxa.jp)
ALOS-3 merupakan tindak lanjut
misi satelit optik JAXA dari ALOS/
Daichi dan untuk melengkapi layanan
misi SAR dari ALOS-2. ALOS-3
dilengkapi muatan sensor optik dengan
kemampuan lebih baik dari pada
instrumen PRISM dan AVNIR-2 pada
satelit ALOS. Perancangan ALOS-3
memiliki tujuan untuk memberikan
dukungan operasional dalam peman-
tauan kebencanaan, memperbarui data,
monitoring tanaman, pemantauan
pesisir dan pemantauan lingkungan.
Salah satu persyaratan yang paling
utama atau penting dari program pasca
ALOS adalah resolusi spasial tinggi,
pengamatan dan pengiriman informasi
yang cepat setelah bencana. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, JAXA
telah melakukan desain konseptual dari
sistem satelit pasca ALOS (Imai, et al.,
2009), termasuk konstelasi satelit optik
dan satelit radar. Desain satelit ALOS-3
akan mengadopsi desain satelit ALOS-2
hampir pada semua aspek. Ada beberapa
perbedaan antara satelit ALOS-2 dan
ALOS-3; misalnya, kemampuan meng-
arahkan sensordan jumlah penyimpanan
data.
Secara umum ALOS-3 memiliki
tujuan untuk penyediaan citra resolusi
tinggi dengan resolusi spasial <1 m pada
liputan 50 km, memperoleh citra pan-
sharpen dengan akuisisi simultan band
pankromatik dan gambar empat band
multispektral (MS), memperoleh citra
stereo dari berbagai sudut pandang dan
memiliki kemampuan dapat diaktifkan
langsung untuk mengakusisi citra pada
titik wilayah yang cukup luas untuk
mencapai pemantauan yang tepat waktu
jika terjadi bencana. ALOS-3 direncanakan
luncur pada ≥ 2016 dengan pesawat
roket H-2A dari Tanegashima Space
Potensi Pemanfaatan Satelit Alos-3 (Samsul Arifin)
65
Center, Japang. Orbit Sun-sinkron pada
ketinggian 618 km, kemiringan = 97.9º
dan waktu Local Time on Descending
Node (LTDN) pada jam 10:30 ± 15 menit
serta periode waktu adalah 60 hari.
ALOS-3 direncanakan beropersi selama
5 tahun.
ALOS-3 dilengkapi muatan
komunikasi frekwensi radio dengan
ukuran volume besar sebagai sumber
data membutuhkan onboard dengan
kapasitas tinggi, sistem penyimpanan
serta teknik ireversibel (lossy) kompresi
berkualitas tinggi. ALOS-3 menggunakan
downlink X-band dan sistem Intersatellite
Link (ISL) untuk menangani beberapa
Gb/s misi sumber data. Data rate 800
Mb/s dengan skema modulasi 16
Quadrature Amplitude Modulation (QAM).
Pada ALOS-3 dikembangkan pemanfaatan
Multi mode High Speed Modulator
(XMOD) baru seperti dalam ALOS-2
dengan kapasitas penyimpanan onboard
> 200 Gbdan volume data maksimum
adalah 1.440 Gb/hari.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
ALOS-3 dilengkapi sensor optik
Panchromatic Remote Sensing Instrument
for Stereo Mapping-2 (PRISM-2) dan
Hyperspectral Imager Suite (HISUI) yang
memiliki kemampuan pencitraan
panchromatic, multispectral dan
hiperspektral (Iwasaki, et al., 2010).
Orbit diatur sedemikian rupa sehingga
PRISM-2 dapat mengamati seluruh
permukaan bumi dengan liputan 50 km
tanpa satelit memutar arah ke objek
observasi. Untuk kelangsungan misi,
ALOS-3 beredar pada waktu lokal
matahari pada jam 10:30 sama dengan
ALOS. HISUI merupakan kelanjutan dari
satelit Advanced Spaceborne Thermal
Emission and Reflection Radiometer
(ASTER) dari JAXA yang diluncurkan
bersama misi Terra NASA pada 18
Desember 1999 dengan misi operasi
lebih dari 10 tahun dan ASTER beroperasi
sampai tahun 2010. Pengembangan
instrumen HISUI dimulai pada 2007
yang dikerjakan dengan kerjasama
antara Ministry of Economy, Trade, and
Industry (METI) Japan, Japan Resources
Observation System Organization (JAROS)
dan NEC Corporation. (Nagamitsu,et al,
2010)
3.1 Karakteristik PRISM-2
PRISM-2 merupakan suatu sensor
optik pankromatik yang beroperasi pada
kisaran spekral 0,52-0,77 µm. PRISM-2
terdiridua baris instrumen pushbroom
yaitu jenis stereo resolusi tinggi nadir
and backward-looking (tampak tegakdan
tampak mundur) merupakan tindak
lanjut PRISM ALOS. PRISM-2 memiliki
detektor teleskop Field of View (FOV)
dan Focal Plane Assembly (FPA) dengan
kapasitas besar untuk mewujudkan
lebar liputan 50 km pada permukaan
bumi yaitu 0,8 m pada liputan 50 km.
Desain teleskop yang digunakan adalah
Off-axis Three Mirror Anastigmat (TMA)
(Rodolfo et al, 2012).
Tabel 3-1: KARAKTERISTIK PRISM-2 ALOS-3 (Sumber: eoPortal Directory)
Parameter PRISM-2 ALOS-3
Skema pencitraan Pushbroom
Resolusi Spasial Nadir-looking(Tampak Nadir): 0,8 m
Backward-looking(Tampak Mundur): 1,25 m (di titik
nadir footprint)
Lebar Liputan / citra 50 km
Rentang spektral 0,52-0,77 µm
Detektor untuk pengamatan nadir-looking
Detektor untuk pengamatan backward-looking
Si array 65.000 piksel (8 array CCD dari ~ masing-masing 8000 piksel)
Si array 40.000 piksel (6 array CCD dari ~ masing-
masing 8000 piksel)
Data kuantisasi 11 bit / pixel
Data compression technique JPEG2000 (atau JPEG200 metode setara)
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:61-72
66
Gambar 3-1: Konsep skema dari PRISM-2 (Sumber: eoPortal Directory)
Tabel 3-2: PENINGKATAN KEMAMPUAN SENSOR PRISM-2, ALOS-3 (Imai et al, 2013, Tadono et al, 2013)
Parameter ALOS / PRISM ALOS-3 / PRISM-2
Resolusi Spasial 2,5 m 0,8 m
Lebar Liputan / citra 35 km / 70 km 50 km
S/N (signal-to-noise) > 70 > 200
Kuantisasi Data 8 bit 11 bit
Sudut pengarahan
titik (pointing)
± 1.5º (dalam lintas-track) ± 60 º (kerucut, max)
Aliran Data 277,52 Mbit / s (Ka-band)
138,76 Mbit / s (X-band)
800 Mbit / s (X dan Ka-
band)
Geolocation accuracy 6,1 m (rms) Lebih baik dari PRISM
Gambar 3-1 menunjukkan konsep
pengamatan stereo untuk pencitraan
dua baris pushbroom stripmap. Citra
menggambarkan kemampuan gerakan
satelit untuk menunjuk ke arah ± 60
derajat. PRISM-2 memungkinkan akses
dengan cepat ke setiap titik permukaan
bumi dalam satu hari dengan badan
satelit. Untuk memenuhi persyaratan
misi satelit ini, beberapa alat observasi
ditingkatkan kemampuannya dari badan
sensor (onboard) PRISM ALOS (Hiroko et
al., 2013). Sebagai tinjauan ulang
tentang karakteristik PRISM ALOS dan
kemampuan PRSM-2ALOS-3 ditunjukkan
pada Tabel 3-2.
Berdasarkan perbandingan antara
karakteristik PRISM dengan PRISM-2
ALOS-3, maka PRISM-2 memiliki beberapa
peningkatan kemampuan instrumen
lebih baik, karena PRISM-2 menyediakan
data stereo resolusi yang lebih tinggi
yaitu 0,8 meter, liputan citra lebih luas
dengan liputan 50 km2 dan akurasi
geolocation yang lebih baik, kuantisasi
data dan pengarahan pada titik observasi
cepat serta memiliki transfer data
(downlink) lebih besar. Dengan meman-
faatkan citra stereo yang diakuisisi dua
teleskop PRISM-2 ALOS-3 berpotensi
untuk membangun data citra Digital
Surface Models (DSMs) yang lebih
akurat dengan resolusi lebih tinggi.
Dengan kemampuan sensor PRISM-2
dapat mengamati seluruh permukaan
bumi dengan liputan 50 km tanpa
memutar arah ke obyek observasi
bencana, maka sensor ini memiliki
potensi memberikan informasi secara
efektif dan efisien dalam penanganan
kebencanaan, hal ini merujuk pada
kajian kemampuan PRISM ALOS
(Sitanggang, 2010). Sensor PRISM-2
merupakan sensor yang menghasilkan
citra resolusi melebihi kemampuan
sensor PRISM ALOS. Selain itu dengan
resolusi yang tinggi dan sapuan yang
cukup luas, DSMs, dan komplemen
dengan sensor lainya (AVNIR, SAR)
maka dimungkinkan PRISM-2 dapat
Potensi Pemanfaatan Satelit Alos-3 (Samsul Arifin)
67
mengidentifikasi adanya potensi longsong,
banjir, aliran lahan gunung berapi dan
lain-lain.
3.2 Karakteristik dan Potensi
Hyperspectral Imager Suite
(HISUI)
HISUI terdiri dari dua elemen
yaitu Multispectral Sensor (MSS) dengan
resolusi spasial dan lebar liputan yang
sangat baik yaitu 5 meter dan lebar
liputan 90 km, sedangkan Hyperspectral
Sensor (HSS) memiliki resolusi spasial
30 meter dengan lebar liputan 30 km
dan resolusi spektral tinggi yaitu 185
band, serta memiliki kemampuan
identifikasi yang tinggi. Untuk memenuhi
Rasio Signal to Noise (SNR) tinggi,
diameter teleskop dirancang dengan
ukuran lubang 30 cm untuk observasi
permukaan bumi dengan resolusi
spasial 30 m. Cahaya yang diterima dua
spektrometer yaitu radiometer Visible
dan Near Infrared (VNIR) dengan 57
band dan radiometer Short-Wavelength
Infrared (SWIR) dengan 128 band.
HISUI diorbitkan pada ketinggian
(IFOV) ± 618 km, dan dirancang
menghasilkan resolusi spasial pada
hiperspektral 30 m dan resolusi spasial
multispektral 5 m, sedangkan liputan
(FOV) diharapkan 30 km pada
hiperspektral dan 90 km pada
multispektral. HISUI bekerja pada panjang
gelombang hiperspektral 400 – 970 nm
sebanyak 57 band untuk VNIR dan
panjang gelombang 900 – 2500 nm
sebanyak 128 band untuk SWIR dan
panjang gelombang multispektral VNIR
bekerja pada kisaran 485 sampai 835 nm.
Resolusi spektral VNIR dan SWIR pada
sensor hiperspektral masing-masing
berkisar 10 nm dan 12,5 nm, sedangkan
resolusi spektral VNIR pada sensor
multispektral berkisar antara 70 nm
sampai 110 nm (Tanii, et al., 2012,
Matsunaga, et al, 2009,2010,2011).
Secara rinci spesifikasi instrument
HISUI dapat dilihat pada Tabel 3-3.
Gambar 3-2: Skema HISUI ALOS-3 (Tsuneo
Matsunaga et al., 2012)
Tabel 3-3: SPESIFIKASI INSTRUMEN HISUI (Tanii , et al, 2012)
Parameter Hyperspectral pushbroom
radiometer Multispectral
pushbroom radiometer
Daerah spektral VNIR SWIR VNIR
IFOV (@ 618 km ketinggian)
48,5 μrad (30m) 8,1 μrad (5 m)
FOV (lebar petak) 48,5 mrad (~ 30 km) 144,7 mrad (~ 90 km)
Frekuensi observasi ≤4.36 ms ≤0.73 ms
Daerah panjang gelombang
400-970 nm (57 band)
900-2500 nm (128
band)
B1: 485 nm, B2: 560 nm
B3: 660 nm, B4: 835 nm
Resolusi spektral (sampling, lebar band)
10 nm 12,5 nm B1: 70 nm, B2: 80 nm B3: 60 nm, B4: 110 nm
ILS (Instrumen Jalur Shape) resolusi spektral, FWHM
≤11 nm ≤16 nm -
Dynamic range Jenuh pada ≥70% Albedo
Jenuh pada ≥70% Albedo
Jenuh pada ≥70% Albedo
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:61-72
68
S/N ≥450 @ 620 nm
≥300 @ 2.100 nm
≥200 (untuk masing-masing band)
MTF ≥0.2 ≥0.2 ≥0.3
Smile and keystone ≤1 gambar pixel
≤1 gambar pixel
-
Akurasi kalibrasi (radiometrik)
Absolute: ± 5%, antara band: ± 2%
Absolute: ± 5%, antara band: ± 2%
Akurasi kalibrasi (spektral)
0,2 nm 0,625 nm -
Data Kuantisasi 12 bit 12 bit
Kehidupan Misi (Operasi) 5 tahun 5 tahun
Seperti disebutkan di atas bahwa
proyek sensor optik HISUI pada ALOS-3
dikembangkan untuk melanjutkan
ASTER yang telah tidak beroperasi pada
tahun 2010. Pada kajian ini dipandang
penting untuk diulas atau dibahas
mengenai spesifikasi utama HISUI
ALOS-3 dan ASTER, sehingga kedua
sensor dapat dilihat kelebihan dan
kekurangannya.
HISUI memiliki peningkatan
instrumen yaitu adanya sensor
multispektral (MSS) dan hyperspektral
(HSS) sedangkan pada ASTER hanya
membawa sensor multispektral. Resolusi
spasial HISUI memiliki peningkatan
resolusi spasial VNIR 5 meter pada MSS
dari pada ASTER yang memilki resolusi
spasial 15 meter, sedangkan pada SWIR
resolusi spasialnya sama. Resolusi
spectral HISUI memiliki 4 band VNIR
MSS dan dirancang memiliki 57 band
HSS sedangkan VNIR ASTER hanya
memiliki 3 band. Pada spektral SWIR
ASTER memiliki 9 band, sedangkan
SWIR HSS HISUI dirancang memiliki
128 band. Kekurangan sensor HISUI
tidak menyediakan Thermal Infra Red (TIR).
Sementara kelebihan sensor TIR
Aster yang menyediakan infra merah
thermal dapat digunakan untuk
mengetahui distribusi awan panas yang
dikeluarkan oleh gunung, distribusi
suhu permukaan laut dimana aplikasi
dari citra ini dapat digunakan untuk
mengetahui distribusi panas air laut,
dimana informasi ini dapat diterapkan
untuk mengetahui fenomena kelautan
(Subardjo et al, 2006, Sukoyo et al., 2009).
Dalam memonitor area kebakaran hutan,
TIR menunjukkan lahan bakar ber-
dasarkan intensitas suhu permukaan
lahan bakar. Suhu permukaan bumi
dapat digunakan untuk mengetahui
fenomena pemanasan yang terjadi di
daerah perkotaan. Sensor ini juga
memiliki kelebihan dapat dioperasikan
untuk siang dan malam hari.
Selain itu HISUI memiliki
kemampuan mengarahkan sensor secara
cepat pada daerah bencana yang akan
dipantau. Perbandingan antara HISUI
dan ASTER dilihat pada Tabel 3-4.
Multispektral pada HISUI ALOS-3
meliputi VNIR daerah spektral dengan
reolusi spasial 5 m dapat berpotensi
untuk memenuhi kebutuhan pengguna
akan citra resolusi spasial tinggi.
Dengan mengkombinasikan band yang
dihasilkan sensor VNIR dengan panjang
gelombang antara 0,52 samapi 0.9 pm,
dimana kisaran panjang gelombang
0,52- 0,6 berfungsi untuk pantulan
vegetasi, 0,61 – 0,69 berfungsi untuk
membedakan absorbsi klorofil dan tipe
vegetasi dan 0,76 – 0,89 berfungsi
untuk kandungan biomas, tipe vegetasi
dan pemetaan garis pantai (Swargana,
2014), Pada citra ALOS-3 berpotensi
dapat pemanfaatan dalam skala besar
baik untuk data analisis penutup lahan,
tata ruang, perkebunan, pertanian dan
lain-lain. Band biru yang ditambahkan
pada VNIR HISUI ALOS-3 dengan
panjang gelombang 0,45 sampai 0,5
dapat dimanfaatkan untuk meneliti atau
menganalisis wilayah pesisir dan
perairan laut seperti budidaya tambak,
kekeruhan dan lingkungan terumbu
karang.
Potensi Pemanfaatan Satelit Alos-3 (Samsul Arifin)
69
Tabel 3-4: PERBANDINGAN PARAMETER HISUI DENGAN ASTER (http://www.eoPortal Directory)
Parameter ASTER
HISUI
MSS
(Multispektral
Sensor)
HSS
(Hiperspektral
Sensor)
Resolusi
Spasial
VNIR 15 m 5 m 30 m
SWIR 30 m - 30 m
TIR 90 m - -
Liputan Citra 60 km 90 km 30 km
Resolusi
spektral
VNIR Band1: 0,52-0,60 pM
Band2: 0,63-0,69 pM
Band3N, B: 0,76-0,86 pM
0,45-0,52 pM
0,52-0,60 pM
0,63-0,69 pM
0,76-0,90 pM
0,4-0,97 pM
Panjang
gelombang sampel
Interval; Rata-rata
10 nm
57 band
SWIR Band4: 1,6-1,7 pM
Band5: 2,145-2,185 m
Band6: 2,185-2,225 m
Band7: 2,235-2,285 m
Band8: 2,295-2,365 m
Band9: 2,36-2,43 pM
-
0,9-2,5 pM
Panjang
gelombang sampel
Interval;
Rata-rata 12,5 nm
128 band
TIR Band10: 8,125-8,475 m
Band11: 8,475-8,825 m
Band12: 8,925-9,275 m
Band13: 10,25-10,95 m
Band14: 10,95-11,65 m
-
-
S/N
VNIR Band1,2,3N, 3B:> 200 ≥ 200 ≥ 450 @ 0.62 pm
SWIR Band4> 200
Band8> 100
Band 5,6,7,9> 75
-
≥ 300 @ 2,1 m
TIR
(NEDT)
Band 10,11,12,13,14: <0,3 K - -
Data
kuantisasi
12 bit 12 bit
Data rate (70%
kompresi)
1 Gbit / s 0,4 Gb / s
Menunjuk
kemampuan
Tidak Satupun ± 3º (± 30 km)
Hiperspektral pada HISUI ALOS-3
pencitraannya dibatasi liputan yang
sempit 30 km dan jumlah data yang
sangat besar. Hasil simulasi yang telah
dilakukan oleh tim perancang untuk
berbagai pemangatan per hari
menunjukkan prestasi yang baik dalam
pemetaan global. Jika citra hiperspektral
HISUI dapat di downlink data 300
GByte per hari sekitar 20% dari
kapasitas downling ALOS-3, maka lebih
40% dari data permukaan bumi global
dapat diamati setidaknya sekali dalam 4
bulan dan 97% dalam 10 bulan. Hal ini
sangat berpotensi dalam pemantauan
atau pemetaan dalam skala global. HSS
HISUI memiliki 57 band dengan interval
10nm pada panjang gelombang 0,4
sampai 0,97 pM untuk VNIR dan memiliki
128 band dengan interval 12,5 nm pada
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:61-72
70
panjang gelombang 0,9 – 2,5 pM untuk
SWIR. Secara teori fungsi dari pada
VNIR yang ada pada HSS memiliki
manfaat sama seperti seperti MSS
HISUI, sedangkan fungsi SWIR memiliki
manfaat sama seperti pada SWIR Aster
dengan resolusi spasial lebih tinggi.
Pada dasarnya hiperspektral merupakan
kelanjutan dari multi spektral. Sensor
hiperspektral memanfaatkan jumlah
kanal yang jauh lebih banyak dari pada
sensor multispektral dengan resolusi
bandwidth yang lebih sempit. Umumnya
sensor hiperspektral terdiri dari 100-200
kanal dengan resolusi bandwidth 5-10 nm.
Akan jauh berbeda jika dibandingkan
dengan multispektral yang rata rata
hanya terdiri dari 5 - 10 kanal, dengan
resolusi bandwidth yang lebih besar
antara 70-400 nm. Dengan band-band
yang lebih sempit dengan jumlah yang
jauh lebih banyak, sensor hiperspektral
dapat digunakan untuk melakukakan
pemisahan, klasifikasi dan identifikasi
obyek/material di muka bumi, sebagai-
mana obyek aslinya. Kemampuan
lainnya adalah untuk mendeteksi target
subpixel, yang akan sangat membantu
dalam mendeteksi obyek dengan
resolusi piksel yang lebih kecil.
4 PENUTUP
Berdasarkan kajian dan analisis
dapat disimpulkan bahwa ALOS-3
terdiri dari 2 instrumen optik PRISM-2
dan HISUI memiliki peningkatan
kemampuan (kapasitas) yang lebih baik
dari pada ALOS dan ASTER, sehingga
ALOS-3 memberikan harapan keter-
sediaan dan pembaharuan secara
berkelanjutan. PRISM-2 memiliki
kemampuan stereo yang dapat
digunakan citra Digital Surface Model
(DSM) dan memiliki potensi untuk
memberikan informasi secara cepat,
akurat, efektif dan efisien dalam
cakupan yang luas. Multispektral (MSS)
HISUI ALOS-3 berpotensi untuk
pemantauan lingkungan, kebencanaan,
observasi dan survey permukaan tanah
serta berpotensi untuk lingkungan
pesisir dan perairan laut. Pemanfaatan
sensor komplemen dari ALOS-3 dapat
meningkatkan kemampuan dalam
ketersediaan resolusi lebih tinggi 0.8
dengan cakupan 50 km yang dapat
menghasilkan citra pansharpen,
multispektral dan hiperspektral. Sensor
hiperspektral (HSS) HISUI ALOS-3
sangat berpotensi dalam pemantauan
lingkungan atau pemetaan dalam skala
global. Sensor hiperspektral dapat
digunakan untuk melakukakan
pemisahan, klasifikasi dan identifikasi
obyek/material di muka bumi,
sebagaimana obyek aslinya. Sementara
kelemahan ALOS-3 tidak memiliki sensor
TIR seperti pada satelit Aster yang dapat
digunakan untuk mendeteksi suhu atau
temperatur obyek di permukaan bumi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Sebagai penutup saya
mengucapkan terimakasih atas segala
bantuan dan dukungan serta saran dari
berbagai pihak, khususnya para pejabat
struktrual dan fungsional di lingkungan
Pusfaja - LAPAN, sehingga karya tulis ini
dapat diterbitkan.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim, 2012. PALSAR User’s Guide, 2nd
Edition, Japan Space Systems.
Arifin, S., 2014. ALOS-2 Akan Tatap Ekspresi
Muka Bumi, Media Dirgantara, Lapan,
Jakarta.
Clark S., 2014. Japanese Craft Launched with
Night-Vision Mapping Radar, http://
www.Spaceflight now. com.
Fukuda, Toru, 2011. JAXA’s Satellite Program
to Contribute Sustainable Development
in Asia, Second International
Conference On Sustainability Science
In Asia (Icss-Asia), Hanoi.
Goetz, A. F. H., Vane, G., Solomon, J. E. and
Rock, B. N., 1985. Imaging
Spectrometry for Earth Remote Sensing,
Science, 228, 1147–1153.
Graham, William, 2014. Japanese HII-A
Successfully Launches ALOS-2 mission,
http:// www. nasaspaceflight.com.
http://global.jaxa.jp/projects/sat/alos.
Potensi Pemanfaatan Satelit Alos-3 (Samsul Arifin)
71
http://www.eoPortal Directory.
http://www.spaceflight101.com/alos-2.html.
Imai, H., Haruyoshi Katayama, Shinichi
Suzuki, Yasushi Hatooka, Yuji Osawa,
2011. The Latest Status of Advanced
Land Observing Satellite-3, Proceedings
of the 28th ISTS (International
Symposium on Space Technology and
Science), Okinawa, Japan.
Imai, H., Haruyoshi Katayama, Tadashi Imai,
Shinichi Suzuki, Yasushi Hatooka, Yuji
Osawa, 2009. A Conceptual Design of
the Optical Satellite for the Post-ALOS
Program, Proceedings of the 27th ISTS
(International Symposium on Space
Technology and Science), Tsukuba,
Japan.
Imai, T., Haruyoshi Katayama, Hiroko Imai,
Yasushi Hatooka, Shinichi Suzuki, Yuji
Osawa, 2010. Current Status of
Advanced Land Observing Satellite-3
(ALOS-3), Proceedings of SPIE,
'Sensors, Systems, and Next-
Generation Satellites XIV,' edited by
Roland Meynart, Steven P. Neeck,
Haruhisa Shimoda, Vol. 7826,
Toulouse, France.
Imai, H., Fumi Ohgushi, Haruyoshi Katayama,
Masakazu Sagisaka, Shinichi Suzuki,
Yuji Osawa, Takeo Tadono, 2013. Wide
Swath and High Resolution Stereo
Mapping by PRISM-2 Onboard ALOS-3,
Proceedings of IGARSS (IEEE
International Geoscience and Remote
Sensing Symposium), Melbourne,
Australia.
Imai, H., Haruyoshi Katayama, Masakazu
Sagisaka, Yasushi Hatooka, Shinichi
Suzuki, Yuji Osawa, Masuo Takahashi,
Takeo Tadono, 2012. A Conceptual
Design of PRISM-2 for Advanced Land
Observing Satellite-3 (ALOS-3),
Proceedings of SPIE Remote Sensing
2012, 'Sensors, Systems, and Next-
Generation Satellites, Edinburgh,
Scotland.
Iwasaki A., Nagamitsu Ohgi, Jun Tanii,
Takahiro Kawashima, Hitomi Inada,
2011. Hyperspectral Imager Suite
(HISUI) - Japanese hyper-multispectral
radiometer, Proceedings of IGARSS
(International Geoscience and Remote
Sensing Symposium), Vancouver,
Canada.
Kamimura, Haruchika, et al., 2008. Promotion
Activities Of Alos Data Utilization in
Jaxa, The International Archives of the
Photogrammetry, Remote Sensing and
Spatial Information Sciences. Vol.
XXXVII. Part B6a. Beijing.
Kruse, F. A, Boardman, J. W. and Huntington,
J. F., 2003. Comparison of Airborne
Hyperspectral Data And EO-1 Hyperion
for Mineral Mapping, IEEE Trans.
Geosci. Remote Sensing, 41(6), 1388–
1400.
Matsunaga, T., N. Ohgi, 2009. Japanese
Hyperspectral and Multispectral Sensor
System Develoµment Status,
Proceedings of the 2nd HyspIRI Science
Workshop, Pasadena, CA, USA.
Matsunaga, T., Akira Iwasaki, Osamu
Kahimura, Kenta Ogawa, Nagamitsu
Ohgi, Satoshi Tsuchida, 2010. HISUI - A
Japanese Spaceborne Hyperspectral
and Multispectral Remote Sensing
Mission, HyspIRI Science Workshop,
Pasadena, USA.
Matsunaga, T., S. Yamamoto, O. Kashimura, T.
Tachikawa, K. Ogawa, A. Iwasaki, S.
Tsuchida , N. Ohgi, 2011. Operation
Plan Study for Japanese Future
Hyperspectral Mission: HISUI, 34th
ISRSE (International Symposium on
Remote Sensing of Environment),
Sydney, Australia.
Ohgi, N., Akira Iwasaki, Takahiro Kawashima,
Hitomi Inada, 2010. Japanese Hyper-
multispectral mission, Proceedings of
IGARSS (IEEE International Geoscience
and Remote Sensing Symposium) 2010,
Honolulu, HI, USA.
Oki, Riko, 2012. JAXA’s Current and Future
Remote Sensing, Japan Aerospace
Exploration Agency (JAXA).
Ramakrishnan* and Rishikesh Bharti,
Hyperspectral Remote Sensing and
Geological Applications, Special Section:
Hyperspectral Remote Sensing
Currentscience, Vol.108, No. 5,
Department of Earth Sciences, Indian
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:61-72
72
Institute of Technology Bombay, Powai,
Mumbai400076, India, 10 March 2015.
Rodolfo, J., R. Geyl, H. Leplan, E. Ruch, 2012.
TMA Optics for HISUI HSS and MSS
Imagers, Proceedings of the ICSO
(International Conference on Space
Optics), Ajaccio, Corse, France.
Shimada, Masanobu, 2009. Advance Land-
Observation Satellite (Alos) And Its
Follow-On Satellite, Alos-2, Japan
Aerospace Exploration Agency, Earth
Observation Research Center, Japan.
Sitanggang, G., 2010. Sistem Penginderaan
Jauh Satelit ALOS dan Analisis
Pemanfaatan Data, Jurnal Lapan,
Jakarta.
Subardjo, P., et al., 2006. Pemanfaatan Citra
Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya
Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa
dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa,
IJMS, Undip, Semarang.
Sukojo, et al., 2009. Studi Perubahan Suhu
Permukaan Laut Dalam Rangka
Pembuatan Sistem Informasi Kelautan
(Studi Kasus: Pembuangan Lumpur
Lapindo Di Selat Madura, Jurnal Geoid
Vol.4, No.2, Februari 2009, 105-200,
Issn: 1858-2281 189.
Suwargana, N., 2014. Analisis Citra Alos Avnir-
2 untuk Pemetaan Terumbu Karang
(Studi kasus: Banyuputih, Kabupaten
Situbondo), Sinas Inderaja, Jakarta.
Tadono, T, Hiroko Imai, Fumi Ohgushi,
Junichi Takaku, Tomohiro Watanabe,
Feasibility Study of PRISM-2 Onboard
ALOS-3 — Simulated Image Generation,
Proceedings of IGARSS (IEEE
International Geoscience and Remote
Sensing Symposium), Melbourne,
Australia, July 21-26, 2013.
Tanii, J., Akira Iwasaki, Takahiro Kawashima,
Hitomi Inada, 2012. Results of
Evaluation Model of Hyperspectral
Imager Suite (HISUI), Proceedings of
IGARSS (International Geoscience and
Remote Sensing Symposium), Munich,
Germany.
Zhang, X. and Pazner, M., Comparison
of Lithologic Mapping with ASTER, Hyperion,
and ETM data in the Southeastern Chocolate
Mountains, USA, Photogramm. Eng. Remote
Sensing, 2007, 73(5), 555–561.
Studi Kasus Kemunculan ... (Visca Wellyanita dan Fitri Nureni)
73
STUDI KASUS KEMUNCULAN PULSA MAGNET PC1
DI STASIUN WATUKOSEK (7 34’5” LS 112 40’37” BT)
PADA SAAT BADAI
Visca Wellyanita, Fitri Nureni
Pusat Sains Antariksa
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung 40173 Indonesia
e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Gelombang ULF diklasifikasikan menjadi dua oleh International Association of Geomagnetism
and Aeronomy (IAGA) yaitu continuous pulsations (Pc) dan irregular pulsations (Pi). Penelitian kali ini
mengenai kemunculan pulsa magnet Pc1 pada saat terjadi badai di stasiun Watukosek. Pulsa magnet
Pc1 terkait dengan peristiwa badai magnet dan dapat teridentifikasi sebelum atau sesudah kejadian
badai magnet. Pc1 berada pada rentang periode 0,2 – 10 detik dan diamati di ruang angkasa dan di
landas bumi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah membaca data geomagnet
komponen H stasiun Watukosek yang telah dihilangkan noise dan kemudian difilter bandpass pada
rentang periode kemunculan pulsa magnet Pc1 yaitu 0,2 - 10 detik. Pulsa Pc1 yang didapatkan
kemudian dibuat spektrum dinamik per 1 menit menggunakan metode wavelet dengan sampling
frekuensi 10 Hz. Kemudian diidentifikasi kehadiran pulsa magnet Pc1 dengan mencari aktivitas sinyal
yang puncaknya di bawah 5 detik. Hasil yang diperoleh dari studi kasus kemunculan pulsa magnet
Pc1 di Stasiun Watukosek 2013 terdeteksi bahwa pulsa magnet Pc1 paling sering terjadi setelah
kejadian badai magnet. Kemunculan pulsa magnet Pc1 ini akan meningkat sekitar 2-5 hari setelah
kejadian badai magnet.
1 PENDAHULUAN
Gelombang Ultra Low Frequency
(ULF) diklasifikasikan menjadi dua oleh
International Association of Geomagnetism
and Aeronomy (IAGA) yaitu continuous
pulsations (Pc) dan irregular pulsations
(Pi). Pulsa magnet Pc dan Pi ini dibagi
kembali menjadi tujuh sub-tipe
berdasarkan rentang periodenya seperti
yang terlihat pada Gambar 1-1.
Gambar 1-1: Klasifikasi gelombang ULF (Jacobs dkk., 1964)
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:73-82
74
Penelitian kali ini mengenai
kemunculan pulsa magnet Pc1 pada
saat terjadi badai di stasiun Watukosek.
Pulsa magnet Pc1 terkait dengan
peristiwa badai magnet dan dapat
teridentifikasi sebelum atau sesudah
kejadian badai magnet. Pc1 berada pada
rentang periode 0,2 – 10 detik dan
diamati di ruang angkasa dan di landas
bumi. Menurut Anderson dkk (1996),
kemunculan pulsa magnet Pc1 ini
berkaitan dengan gelombang
Electromagnetic Ion Cyclotron (EMIC)
yang dibangkitkan karena ada perbedaan
temperatur. Teori ini didasarkan atas
kehadiran gelombang EMIC di daerah
plasmapause yang diduga merupakan
daerah pembangkitan pulsa magnet Pc1.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pulsa magnet Pc1 ini terkait
dengan peristiwa badai magnet. Dapat
teridentifikasi sebelum atau sesudah
kejadian badai magnet. A. Guglielmi
dkk. (2005), menyatakan bahwa nilai
maksimum pulsa magnet Pc1 ini terjadi
pada 4-7 hari setelah awal badai magnet.
McPherron dan Ward (1967) adalah
yang pertama kali melakukan penelitian
mengenai hubungan antara kehadiran
pulsa magnet Pc1 dengan bidang batas
Interplanetary Magnetic Field (IMF).
Heacock dan Hessler (1965),
Kokubun dan Oguti (1968), Olson dan Lee
(1983), Kangas dkk. (1986) menyatakan
bahwa pulsa magnet Pc1 akan
dibangkitkan sesaat setelah kompresi
yang terjadi secara tiba-tiba pada
magnetosfer yang diakibatkan oleh
gelombang kejut yang besar di ruang
antarplanet.
Menurut Laporan Olson dan Lee
(1983) dari stasiun pengamatan landas
bumi menyatakan bahwa kehadiran
pulsa magnet Pc1 berhubungan dengan
kompresi tiba-tiba di daerah magnetosfer.
Kompresi ini tidak merubah rasio
tekanan plasma parallel tetapi
meningkatkan partikel panas anisotropi.
Erlandson dkk (1996) menyatakan
bahwa kompresi yang terkait dengan
kejadian pulsa magnet Pc1 berkaitan
dengan substorm pada magnetosferik,
dimana pulsa magnet Pc1 ini hadir tepat
pada saat terjadinya kompresi. Teori ini
didukung pula oleh pernyataan
Anderson dan Hamilton pada tahun
1993 yang menyebutkan bahwa
kehadiran pulsa magnet Pc1 di ruang
angkasa secara signifikan meningkat
ketika terjadi kompresi di magnetosferik.
Hasil pengamatan dari
Engebretson dkk (2002) bahwa pulsa
magnet Pc1 terjadi bersamaan pada saat
terjadinya kompresi di daerah
magnetosferik meskipun setengah dari
peristiwa ini dihubungkan dengan
fungsi distribusi lokasi spasial selain
akibat dari gelombang EMIC. Sebagian
dari kejadian lokal secara spasial ini
tidak ada hubungannya dengan
kompresi dari magnetosferik. Mereka
menjelaskan bahwa fungsi distribusi ini
mungkin berkaitan dengan peristiwa
injeksi pada malam hari atau arus
bersifat tetap di daerah drift. Menurut
Erlandson dan Ukhorskiy (2001),
sebagian kecil dari peristiwa Pc1 ini
mungkin memang berkaitan dengan
interaksi antar partikel yang
membangkitkan substorm.
Pada awalnya peristiwa Pc1 yang
berada pada selang frekuensi kejadian
0.2- 5 Hz diidentifikasi manual oleh
Campbell dan Stiltner pada 1965. Dan
kemudian dikembangkan oleh peneliti
lainnya Fraser pada 1968, Anderson dkk
pada 1992, Fraser dan Nguyen pada
2001 dan Meredith dkk pada 2003.
Anderson dkk pada 1992 menggunakan
spektrogram dari data dan dikelompok-
kan masing-masing kolom dengan rata-
rata lima puncak yang melebihi ambang
batas power. Kemudian bersama-sama
dengan Erlandson, Anderson pada 1996
mencoba untuk menjadikan masing-
masing kolom spektrogram (per 30
detik) sebagai peristiwa gelombang
individual dan mencari puncak spektral
yang memenuhi ambang batas. Loto’aniu
dkk pada 2005 menggunakan ambang
batas pada masing-masing durasi dan
Studi Kasus Kemunculan ... (Visca Wellyanita dan Fitri Nureni)
75
intensitas pada komponen magnet dan
elektrik dari gelombang individual untuk
mengidentifikasi kehadiran kejadian
gelombang. Helliwell (1965) mengklasi-
fikasikan peristiwa Pc1 dianalogikan
dengan emisi quasi-periodic VLF.
Bortnik dkk (2008) mencoba teknik
yang lebih sederhana untuk pencarian
otomatis dan mengkarakterisasikan
gelombang event dalam data time series.
Dalam mendeteksi pulsa magnet Pc1
mereka menggunakan 3 komponen data
magnetometer. Data tersebut dapat
diaplikasikan secara menyeluruh pada
setiap variasi gelombang dan frekuensi,
baik gelombang yang dihasilkan dari
instrumen landas bumi ataupun dari
data satelit. Metode yang digunakan
adalah Fast Fourier Transform (FFT) untuk
membuat spektrogram. Penggunaan
metode ini didasari karena spektrogram
dinamik merupakan metode untuk
menganalisa fenomena gelombang.
3 DATA
Data yang digunakan adalah data
geomagnet komponen H dari Balai
Pengamatan Dirgantara (BPD) Watukosek
pada tahun 2013 serta indeks Dst yang
diambil dari http://wdc.kugi.kyoto-u.
ac.jp/index.html.
4 METODE PENGOLAHAN DATA
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah membaca data
geomagnet komponen H stasiun
Watukosek yang telah dihilangkan noise
dan kemudian difilter bandpass pada
rentang periode kemunculan pulsa
magnet Pc1 yaitu 0,2 - 10 detik. Pulsa
Pc1 yang didapatkan kemudian dibuat
spektrum dinamik per 1 menit
menggunakan metode wavelet dengan
sampling frekuensi 10 Hz. Kemudian
diidentifikasi kehadiran pulsa magnet
Pc1 dengan mencari aktivitas sinyal
yang puncaknya di bawah 5 detik.
Pulsa Pc1 yang didapatkan dari
hasil pengolahan tersebut kemudian
dibandingkan dengan indeks Dst
dengan melihat kehadirannya pada saat
sebelum dan sesudah terjadinya badai
untuk dianalisis keterkaitannya.
Gambar 4-1: Diagram Alir Identifikasi Pulsa
Magnet Pc1
5 HASIL Pada pengolahan data stasiun
Watukosek bulan Juni 2013 didapatkan banyak sekali kejadian pulsa magnet Pc1. Pada tanggal 2 Juni 2013 terdapat 21 kejadian pulsa magnet Pc1 dalam 1 hari. Salah satu contoh kehadiran pulsa magnet Pc1 ini terlihat pada Gambar 5-1. kejadian pulsa magnet Pc1 akan mencapai nilai maksimum beberapa hari setelah kejadian badai magnet. Menurut A. Guglielmi dkk., menyatakan bahwa nilai maksimum pulsa magnet Pc1 ini terjadi pada 4-7 hari setelah awal badai magnet.
Pembacaan data
Raw geomagnet
Reduksi noise
Bandpass filter periode
0,2 – 10 detik
Spektrum dinamik per 1 menit
menggunakan metode wavelet
Identifikasi aktivitas sinyal dengan
puncak di bawah 5 detik
Data Pc1 teridentifikasi
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:73-82
76
Gambar 5-1: Pulsa Magnet Pc1 dengan sumbu x menunjukkan waktu, sumbu y menunjukkan
periode, dan warna menunjukkan intensitas pada tanggal 2 Juni 2013 yang berlangsung selama 5 menit
Gambar 5-2: Indeks Dst dengan sumbu x adalah waktu dalam sebulan dan sumbu y adalah
amplitudo pada bulan Juni 2013. (http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/dst_realtime)
Pada Gambar 5-3 menunjukkan
hasil pengolahan data geomagnet pada
rentang pulsa magnet Pc1 pada tanggal
10 Oktober 2013 pukul 23:33 UT
sampai 23:51 UT yang berlangsung
selama 13 menit. Pulsa magnet Pc1 ini
berkaitan dengan fasa pemulihan akibat
badai geomagnet skala menengah yang
terjadi pada Oktober 2013. Dimana
puncak badai terjadi pada tanggal 9
Oktober 2013 sebesar -62 nT pada
pukul 01.00 dan fasa pemulihan badai
tersebut berlangsung sampai tanggal 12
Oktober 2013.
Studi Kasus Kemunculan ... (Visca Wellyanita dan Fitri Nureni)
77
Gambar 5-3: Pulsa Magnet Pc1 dengan sumbu x menunjukkan waktu, sumbu y menunjukkan periode, dan warna menunjukkan intensitas pada tanggal 10 Oktober 2013 pukul 23:33 UT sampai 23:51 UT yang berlangsung selama 13 menit
Gambar 5-4: Indeks Dst dengan sumbu x adalah waktu dalam sebulan dan sumbu y adalah
amplitudo pada bulan Oktober 2013. (http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/dst_realtime)
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:73-82
78
Pada Gambar 5-5 menunjukkan
hasil pengolahan data geomagnet pada
rentang pulsa magnet Pc1 pada tanggal
13 November 2013 pukul 00:38 UT
sampai 00:47 UT yang berlangsung
selama 10 menit. Pulsa magnet Pc1 ini
berkaitan dengan fasa pemulihan akibat
badai geomagnet skala menengah yang
terjadi di bulan November 2013. Dimana
puncak badai terjadi pada tanggal 9
November 2013 sebesar -81 nT pada
pukul 09.00 dan pada tanggal 11
November 2013 sebesar -70 nT pada
pukul 08.00 dan fasa pemulihan badai
tersebut berlangsung sampai tanggal 12
November 2013.
Gambar 5-5: Pulsa Magnet Pc1 dengan sumbu x menunjukkan waktu, sumbu y menunjukkan perioda, dan warna menunjukkan intensitas pada tanggal 13 November 2013 pukul 00:38 UT sampai 00:47 UT yang berlangsung selama 10 menit
Gambar 5-6: Indeks Dst dengan sumbu x adalah waktu dalam sebulan dan sumbu y adalah
amplitudo pada bulan November 2013. (http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/dst_realtime)
Studi Kasus Kemunculan ... (Visca Wellyanita dan Fitri Nureni)
79
Tabel 5-1: PERSENTASE KEJADIAN PULSA MAGNET Pc1 PADA SAAT TERJADI BADAI MAGNET DENGAN INDEKS Dst < - 50 nT.
No. Tanggal Badai
Persentase Kejadian Pc1 Rata-rata
Amplitudo
Pc1(nT)
Sebelum
Onset (%)
Fase Utama
(%)
Fase
Pemulihan (%)
1 17 Januari 2013 11 36 53 ~ 0.1
2 26 Januari 2013 23 32 45 ~ 0.1
3 17 Maret 2013 10 42 48 ~ 0.1
4 29 Maret 2013 26 27 47 ~ 0.1
5 24 April 2013 15 33 52 ~ 0.1
6 1 Mei 2013 34 21 45 ~ 0.1
7 18 Mei 2013 21 40 39 ~ 0.1
8 25 Mei 2013 21 40 39 ~ 0.1
9 1 Juni 2013 27 36 37 ~ 0.1
10 7 Juni 2013 37 15 48 ~ 0.1
11 29 Juni 2013 20 41 39 ~ 0.1
12 6 Juli 2013 19 41 40 ~ 0.1
13 14 Juli 2013 22 26 52 ~ 0.1
14 27 Agustus 2013 11 23 66 ~ 0.1
15 2 Oktober 2013 19 33 48 ~ 0.1
16 9 Oktober 2013 29 31 40 ~ 0.1
17 30 Oktober 2013 15 26 59 ~ 0.1
18 7 November 2013 31 18 49 ~ 0.1
19 9 November 2013 31 18 49 ~ 0.1
20 8 Desember 2013 28 22 50 ~ 0.1
Persentase Kejadian
Pc1 Per Tahun 23 30 47
Pada studi kasus kemunculan
pulsa magnet Pc1 di Stasiun Watukosek
pada 2013 terdeteksi bahwa pulsa
magnet Pc1 paling sering terjadi setelah
kejadian badai magnet. Kemunculan
pulsa magnet Pc1 ini akan meningkat
sekitar 2-5 hari setelah kejadian badai
magnet.
Parameter amplitudo dihitung
dari hasil bandpass filter data
geomagnet komponen H pada rentang
periode dan rentang waktu 1 pulsa Pc1
yang teridentifikasi. Didapatkan bahwa
amplitudo rata rata pulsa magnet Pc1
ini berkisar antara 0.1 nT.
6 PENUTUP
Pada studi kasus kemunculan
pulsa magnet Pc1 di Stasiun Watukosek
2013 terdeteksi bahwa pulsa magnet
Pc1 paling sering terjadi setelah
kejadian badai magnet. Kemunculan
pulsa magnet Pc1 ini akan meningkat
sekitar 2-5 hari setelah kejadian badai
magnet.
Dengan menganalisa hasil
bandpass filter data geomagnet
komponen H didapatkan bahwa
Amplitudo rata-rata pulsa magnet Pc1
sebesar 0.1 nT.
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:73-82
80
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
Kepala LAPAN Bapak Thomas
Djamaluddin, M.Sc., Kepala Pusat
Sains Antariksa Ibu Clara Y. Yatini,
M.Sc., atas dukungannya dalam
program penelitian mengenai pulsa
magnet Pc1,
Kepala Balai Pengamatan Dirgantara
(BPD) Watukosek Bapak Drs.
Bambang Suhandi untuk dukungan
data geomagnet yang digunakan dalam
penelitian ini,
Prof. Kiyohumi Yumoto, Space
Environment Reseach Center,
Universitas Kyushu – Jepang dan
seluruh staf MAGDAS,
Bapak Laode M. Musafar M.Sc., atas
arahan, diskusi dan waktu yang telah
diluangkan sehingga penelitian ini
dapat diselesaikan,
Rekan-rekan kerja di bidang Geomagnet
dan Magnet Antariksa untuk diskusi-
diskusinya.
DAFTAR RUJUKAN
A. Guglielmi, A. Potapov, E. Matveyeva, T.
Polyushkina, J. Kangas, 2005.
Temporal and Spatial Characteristics of
Pc1 Geomagnetic Pulsations, Advances
in Research, COSPAR publication.
Anderson, B. J. and Hamilton, D. C., 1993.
Electromagnet Ion Cyclotron Waves
Stimulated by Modest Magnetospheric
Compression, J. Geophys. Res. 98, 11369.
Anderson, B. J., 1996. Recent Observations of
Electromagnet Ion Cyclotron Waves in
Space, Adv. Space. Res. 17, 1041.
Anderson, B. J., Erlandson, R. E., and Zanetti,
L. J., 1992. A Statistical Study of Pc 1-2
Magnetic Pulsations in the Equatorial
Magnetosphere, 1, Equatorial Occurrence
Distributions, J. Geophys. Res., 97,
3075–3088.
Bortnik, J., J. W. Cutler, C. Dunson, and T. E.
Bleier, 2007. An Automatic Wave
Detection Algorithm Applied to Pc1
Pulsation, Journal of Geophysical
Research, Vol. 112, A04204.
Bortnik, J., J. W. Cutler, C. Dunson, T. E.
Bleier, and R. L. Mcpherron, 2008.
Characteristics of Low-Latitude Pc1
Pulsations During Geomagnetic Storms,
Journal of Geophysical Research, Vol.
113, A04201.
Campbell, W. H. and Stiltner, E. C., 1965.
Some Characteristics of Geomagnetic
Pulsations at Frequencies Near 1 c/s,
Radio Sci. 69, 1117.
Engebretson, M. J., 2002. Observations of Two
Types of Pc 1-2 Pulsations in the Outer
Dayside Magnetosphere, J. geophys. Res.
Vol. 107 (A12), 1451.
Erlandson, R.E., and A. J., Ukhorskiy, 2001.
Observations of Electromagnetic Ion
Cyclotron Waves During Geomagnetic
Storms: Wave Occurrence and Pitch
Angle Scattering, J. Geophys. Res., 106(
A3), 3883–3895.
Erlandson, R. E., Mursula, K., and Bosinger,
T., 1996. Simultaneous Ground-Satellite
Observations of Structured Pc1 Pulsations,
J. Geophys. Res. 101, 27149.
Fraser, B. J., 1968. Temporal Variations in Pc1
Geomagnetic Micropulsations, Planetary
Space Sci. 16, 111.
Fraser, B. J., and T. S. Nguyen, 2001. Is the
Plasmaspause a Preferred Source Region
of Electromagnetic Ion Cyclotron Waves
in the Magnetosphere?, J. Atmos. Terr.
Phys., 63, 1225–1247.
Heacock, R. R. and Hessler, V. P., 1965. Pearl-
Type Micropulsations Associated with
Magnetic Storm Sudden Commencements,
J. Geophys. Res. 70, 1103.
Helliwell, R. A., 1965. Whistlers and Related
Ionospheric Phenomena, 349 pp,
Stanford Univ. Press, Palo Alto, Calif.
http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/dst_realtime /20
1306/index.html.
Jacobs, J. A., Kato, Y., Mashushita, S.,
Troitskaya, V. A., 1964. Classification of
Geomagnetic Micropulsations, J. Geophys.
Res. 69, 180 – 181.
Kangas, J., Aikio, A., and Olson, J. V., 1986.
Multistation Correlation Spectra Associated
with Sudden Impulses, Planetary Space
Sci. 34, 543.
Kokubun, S. and Oguti, T.n 1968. Hydromagnetic
Emissions Associated with Storm Sudden
Studi Kasus Kemunculan ... (Visca Wellyanita dan Fitri Nureni)
81
Commencements, Rep. Ionospheric Space
Res. Japan 22, 45.
Loto'aniu, T. M., B. J. Fraser, and C. L.
Waters, 2005. Propagation of Electro-
magnetic Ion Cyclotron Wave Energy in
the Magnetosphere, J. Geophys. Res., 110,
A07214.
McPherron, R.L., Ward, S.N., 1967. Correlation
between Occurrence of Pearl Pulsations
and Interplanetary Magnetic Field Sector
Boundaries. J. Geophys. Res. 72, 393–
398.
Meredith, N. P., R. M. Thorne, R. B. Horne, D.
Summers, B. J. Fraser, and R. R.
Anderson, 2003. Statistical Analysis of
Relativistic Electron Energies for
Cyclotron Resonance with EMIC Waves
Observed on CRRES, J. Geophys. Res.,
108(A6), 1250.
Olson, J. V. and Lee, L. C., 1983. Pc1 Wave
Generation by Sudden Impulses,
Planetary Space Sci. 31, 295.
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:73-82
74
Kajian Potensi Wisata Kesehatan Oksigen ... (Sumaryati)
83
KAJIAN POTENSI WISATA KESEHATAN OKSIGEN DI GILI IYANG
Sumaryati
Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Indonesia
e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Pulau Gili Iyang terkenal karena dipercaya memiliki kadar oksigen yang tinggi. Oksigen
merupakan gas yang vital dibutuhkan dalam kehidupan manusia, sehingga kepercayaan akan kadar
oksigen yang tinggi dijadikan sebagai dasar untuk pembangunan dan pengembangan di Gili Iyang
yaitu sebagai tujuan wisata kesehatan. Pengecekan kadar oksigen di Gili Iyang dilakukan oleh
beberapa instansi. Hasil pengukuran di lapangan oleh LAPAN (2006) dan analisisnya menunjukkan
bahwa kadar oksigen di Gili Iyang dalam kondisi normal yaitu sebesar 20,9 %. Segarnya udara di Gili
Iyang bukan karena kadar oksigen yang tinggi, tetapi karena udaranya bersih dari zat pencemar. Jika
ada pengukuran dari instansi lain yang menunjukkan adanya titik spot dengan kadar oksigen yang
tinggi di atas 22 %, sebetulnya kadar oksigen yang tinggipun perlu diwaspadai karena kadar oksigen
yang tinggi bisa menyebabkan keracunan oksigen yang disebut hiperoksia dan berpotensi
menyebabkan kebakaran yang dahsyat. Oleh karena itu menjadikan Gili Iyang sebagai tujuan wisata
kesehatan dengan alasan memiliki kadar oksigen tinggi masih memerlukan kajian yang lebih
mendalam lagi.
1 PENDAHULUAN
Gili Iyang ada pula yang menyebut
Giliyang ataupun Gili Elang merupakan
pulau kecil yang terletak di ujung timur
pulau Madura. Secara administratif Gili
Iyang masuk dalam wilayah Kabupaten
Sumenep, Kecamatan Dungkek. Pulau
dengan luas sekitar 9 km2 itu terdiri dari
dua desa yaitu desa Banraas dan
Bancamara.
Pulau kecil ini menjadi menarik
karena diyakini oleh masyarakat sebagai
kawasan dengan kadar oksigen (O2)
tinggi, bahkan tertinggi kedua setelah
Laut Mati. Keyakinan ini didukung oleh
fakta bahwa penduduk Gili Iyang
banyak yang mencapai usia tinggi
dengan kondisi yang sehat dan kuat,
sehingga muncullah kepercayaan Gili
Iyang ini menjadikan awet muda dan
tak ayal Gili Iyang ini mendapat pula
julukan pulau awet muda. Media masa
pun banyak yang mewartakan tentang
kondisi Gili Iyang tersebut (Tempo,
2012; Tribunnews, 2013; Kompas, 2013;
Koran Suara Rakyat, 2014; Detik, 2013).
Pembangunan dan pengembangan
Gili Iyang pun berbasis pada keyakinan
akan kadar oksigen yang tinggi. Isu
kadar oksigen yang tinggi telah mendorong
Pemda setempat berkeinginan
menjadikan Gili Iyang sebagai kawasan
wisata kesehatan. Berbagai upaya pun
telah dilakukan. Bahkan untuk mendesain
Gili Iyang sebagai wisata kesehatan
telah disayembarakan dan dikaji secara
teknis oleh Kementerian Pekerjaan
Umum. Ditjen Ciptakarya (2014)
bekerjasama dengan Ikatan Arsitek
Indonesia telah mengadakan sayembara
desain kawasan pulau Gili Iyang yang
berbasis pada kondisi kadar oksigen
tinggi (http://ciptakarya.pu.go.id/v3/
ban/file/poster-giliIyang_LR.pdf). Hasil
sayembara ini akan dipakai dasar untuk
pembangunan pulau Gili Iyang.
Secara ilmiah, kondisi masyarakat
Gili Iyang belum bisa dijadikan
pembenaran akan kadar oksigen tinggi.
Pengukuran yang akurat di lapangan
dan analisis yang ilimiah baru bisa
dijadikan dasar untuk menyatakan
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:83-90
84
kebenaran akan kondisi oksigen di Gili
Iyang yang diyakini tinggi. Tulisan ini
akan mengupas kebenaran akan klaim
bahwa kadar oksigen di Gili Iyang lebih
dari kondisi normal dari hasil
pengukuran yang dilakukan oleh LAPAN
dan instansi lain serta pengelolaan
sebagai kawasan wisata kesehatan jika
kadar oksigen di Gili Iyang tinggi.
2 KADAR OKSIGEN DI ATMOSFER
BEBAS
Unsur utama atmosfer kering
terdiri dari tiga unsur yaitu nitrogen (N2)
sebesar 78,1 %, oksigen (O2) sebesar
20,9 %, dan argon (Ar) sebesar 0,9 %.
Masih ada sisa sekitar 0,1 % terdiri dari
ribuan jenis gas yang disebut sebagai
trace gases. Perubahan komposisi gas
atmosfer yang menjadi perhatian para
peneliti dan ekspert dalam bidang
atmosfer adalah perubahan pada
kelompok trace gases. Trace gases yang
banyak menjadi perbincangan termasuk
dalam kelompok gas pencemar (polutan)
seperti hidrokarbon, CO, NO, NO2, SO2,
O3, dan PAN; gas rumah kaca meliputi
CO2, N2O, dan CH4; serta gas perusak
lapisan ozon terutama yang masuk
dalam kelompok gas chlorofluorocarbon
(CFC). Jadi dalam kondisi normal
atmosfer kering mengandung oksigen
20,9 %, dan menurut Occupational
Safety & Health Administration (OSHA),
United States Departement of Labor ada
batasan toleransi 0,1 % (https://www.
osha.gov/SLTC/etools/shipyard/shiprep
air/confinedspace/oxygendeficient.html,
sehingga bisa dituliskan (20,9 0,1)%.
Kadar oksigen di atmosfer bebas
sebesar 20,9 %, hal itu berarti bahwa
dalam volule 1 liter udara bebas
terkandung 0,209 liter oksigen. Berapa
jumlah molekul oksigen untuk yang
menempati volume 0,209 liter
tergantung tekanan dan temperaturnya
sebagimana dirumuskan dalam
persamaan gas ideal. Makin tinggi
tekanan atau makin rendah temperatur
udara makin termampatkan, sehingga
makin banyak mengandung molekul
udara dalam hal ini oksigen. Sebaliknya
jika temperatur semakin tinggi atau
tekanan makin rendah jumlah oksigen
semakin sedikit.
Laut mati merupakan lokasi
alami yang paling rendah di muka bumi,
yaitu sekitar sekitar 427 m di bawah
permukaan laut. Menurut hukum
hidrostatika, jika posisi semakin rendah
tekanan udara semakin besar. Jika
pada permukaan laut tekanan udara
760 mm Hg atau sering disebut 1
atmosfer, pada posisi 427 m di bawah
permukaan laut, tekanan udara
mencapai 799 mmHg atau sekitar 105 %
dari tekanan udara di permukaan laut.
Oleh karena itu untuk volume yang
sama, jumlah oksigen di Laut Mati
sangat tinggi meskipun kadarnya tetap
sama dengan kadar oksigen di tempat
lain di permukaan bumi yaitu sebesar
20,9 %. Tingginya tekanan oksigen di
Laut Mati bukan karena kadarnya yang
tinggi tetapi karena faktor ketinggian
saja yang menyebabkan tekanannya
besar (Kramer dan Godfrey, 1996; Falk
etal., 2006). Daerah permukaan laut
dekat kutub, terutama ketika musim
dingin juga memiliki kandungan oksigen
yang sangat tinggi. Hal itu dikarenakan
temperaturnya yang sangat rendah
bukan karena kadarnya yang tinggi,
kadar oksigen tetap 20,9 %.
Jika Gili Iyang dikatakan memiliki
oksigen tinggi setelah Laut Mati,
mungkin hal ini merujuk pada lokasi
wilayah Gili Iyang yang berupa pulau
kecil sehingga dapat dikatakan pantai
semua. Tetapi jika merujuk pada lokasi
Gili Iyang yang berupa pantai, maka
tentu saja bukan hanya Gili Iyang yang
memiliki oksigen yang nomer dua
setelah Laut Mati. Semua lokasi di bumi
yang memiliki ketinggian nol atau setara
permukaan laut memiliki kandungan
oksigen tertinggi kedua setelah Laut
Mati. Lokasi dengan tinggi permukaan
laut pada daerah dekat kutub, terutama
musim dingin pasti memiliki jumlah
oksigen yang lebih banyak, meskipun
kadar oksigen tetap 20,9%.
Kajian Potensi Wisata Kesehatan Oksigen ... (Sumaryati)
85
Gambar 2-1: Posisi Gili Iyang (Google Maps)
Jadi klaim oksigen tinggi di Gili
Iyang seharusnya bukan karena
masalah posisinya yang rendah
mendekati garis pantai (Gambar 2-1).
Jika hanya mengacu pada lokasi yang
berada di garis pantai, tentu saja
kandungan oksigen di Gili Iyang sama
saja dengan oksigen di pantai Ancol
Jakarta. Apakah benar kadar oksigen di
Gili Iyang tinggi, lebih dari 20,9 %?
Pada tahun 2006, Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN) melakukan pengukuran kadar
oksigen di Gili Iyang. Pengukuran
dilakukan pada 17 titik yang terdistribusi
di seluruh Gili Iyang (Gambar 2-2). Hasil
pengkuran di semua titik pengukuran
menunjukkan hasil yang normal, kadar
oksigen 20,9% (LAPAN, 2006).
Berdasarkan referensi lain, Kementerian
PU dan Perumahan Rakyat menyatakan
bahwa kadar oksigen di Gili Iyang
terendah pada kisaran (20-23) %, dan
tertinggi mencapai 27 % (Ciptakarya,
2014).
Perbedaan hasil pengukuran itu
terjadi karena keakuratan alat ukur
yang dipakai, human error, atau
perbedaan waktu dan titik sampling
pengukuran. Alat ukur yang terkalibrasi
secara akurat, itulah yang hasilnya bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Berikut ini akan dikaji, kemungkinan
dari dua hasil pengukuran tersebut.
Gambar 2-2: Kadar oksigen di Gili Iyang
(sumber: LAPAN, 2006)
Jika kadar oksigen di Gili Iyang
20,9% benar sebagaimana hasil
pengukuran LAPAN, berarti kadar
oksigen di Gili Iyang normal. Tidak bisa
dikatakan tertinggi kedua setelah Laut
Mati, daerah pantai di daerah kutub
masih lebih tinggi dari Gili Iyang karena
temperaturnya yang dingin sehingga
memampatkan semua gas penyusun
atmosfer termasuk oksigennya. Kadar
oksigen di Gili Iyang ini sama saja
dengan kadar oksigen di pantai Jakarta.
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:83-90
86
Anggapan masyarakat umum
sering menyatakan bahwa udara bersih
mengandung banyak oksigen, dan
sebaliknya udara yang tercemar jika
kadar oksigennya berkurang. Anggapan
itu tidak benar. Di atmosfer bumi udara
bebas mengandung 20,9% oksigen.
Udara dikatakan bersih jika kadar
udara pencemar didalamnya tidak
melebihi baku mutu kualitas udara
ambien, sebaliknya udara dikatakan
kotor jika kadar zat pencemar melebihi
baku mutu udara ambien. Udara
pencemar tersebut meliputi antara lain
seperti CO, NO, NO2, SO2, O3,
hidrokarbon, dan PAN. Baku mutu
udara ambien ini diatur dalam Lampiran
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara.
Jika kadar oksigen normal,
hanya 20,9%, apa keistimewaan udara
di Gili Iyang sehingga dijuluki pulau
awet muda. Gili Iyang adalah pulau
kecil, dikelilingi laut. Daratan yang
terdekat adalah pulau Madura. Baik di
Gili Iyang maupun Madura tidak banyak
aktivitas yang menghasilkan zat
pencemar udara, seperti CO, NO, NO2,
SO2, O3, serta berbagai parikulat. Hasil
pengukuran zat pencemar CO, NO, NO2,
dan SO2 di Gili Iyang menunjukkan nilai
yang sangat rendah di bawah baku
mutu, sehingga bisa dikatakan udara di
Gili Iyang sangat bersih (LAPAN, 2006).
Udara di Gili Iyang mengandung kadar
oksigen yang sama dengan di pantai
Ancol, hanya di Gili Iyang tidak ada zat
pencemar, sedangkan di pantai Ancol
banyak zat pencemar yang berasal dari
Jakarta sehingga udara di pantai Ancol
lebih kotor dari ada di Gili Iyang.
Selain itu udara di Gili Iyang
merupakan udara yang berasal dari laut
yang kemungkinan banyak mengandung
aerosol garam, terutama magnesium
sulfat atau dikenal dengan nama garam
epsom. Banyak manfaat dari penggunaan
garam epsom di luar tubuh untuk
kesehatan dan kesegaran kulit (Asha,
2015), juga pengobatan seperti pre-
eklampsia dan eklampsia yang dialami
ibu hamil (Smith et al., 2013), dan bisa
menjadi tindakan medis awal untuk
pasien yang terkena serangan stroke
(Saver et al., 2015).
Bagaimana jika hasil pengkuran
oksigen di atas 21 % benar? Atmosfer
dengan kadar oksigen 22% adalah
kondisi anomali. Kadar oksigen mencapai
22 % atau bahkan 27 % dapat terjadi
jika ada kebocoran gas oksigen dari
tabung gas oksigen. Kejadian bisa
dijumpai di rumah sakit ataupun di
industri yang memproduksi atau
menggunakan gas oksigen, bukan di
ruang terbuka.
Oksigen yang terikat dalam
senyawa gas penyusun atmosfer seperti
CO, NO,NO2,SO2,O3 ordenya hanya
permilyar dan paling besar ada pada
senyawa CO2 dalam kadar sekitar 400
persejuta atau 0,04 %. Reaksi terbesar
yang menghasilkan oksigen di atmosfer
adalah reaksi fotosintesa. Fotosintesa
menggunakan bahan dasar CO2 dan air
dengan energi matahari menghasilkan
oksigen dan karbohidrat. Karbohidrat
akan tersimpan dalam bentuk pertum-
buhan pada pohon. Mengingat kadar
CO2 yang hanya sekitar 0,04 % di
atmosfer maka tak akan mampu
menghasilkan oksigen yang merubah
konsentrasinya di atmosfer menjadi naik
satu persen. Selain itu, di Gili Iyang juga
tidak terlihat adanya tumbuhan kayu
yang besar-besar sebagai bukti adanya
reaksi fotosintesa yang tinggi.
Kenaikan lebih dari satu persen
oksigen tidak bisa disuplai dari reaksi
gas-gas di atmsofer yang mengandung
oksigen, termasuk reaksi fotosintesa.
Kebocoran pipanisasi gas oksigen juga
tidak terjadi di Gili Iyang. Hal yang
paling memungkinkan jika kondisi
anomali oksigen di GIli Iyang benar
adalah adanya proses geologi. Proses
geologi yang mampu menyemburkan gas
oksigen ke atmosfer, sehingga kadar
oksigen di Gii Iyang sampai berada di
atas normal. Tentu saja kebenaran teori
ini perlu dibuktikan dengan penelitian
Kajian Potensi Wisata Kesehatan Oksigen ... (Sumaryati)
87
yang mendalam lagi, terutama pada
lokasi-lokasi yang diklaim sebagai titik
dengan kadar oksigen tinggi.
3 WISATA KESEHATAN DI INDONESIA
Menurut kamus besar bahasa
Indonesia yang dimaksud dengan wisata
kesehatan adalah gerak atau kegiatan
wisata yang dirangsang oleh adanya
obyek atau fasilitas yang diperlukan
untuk mengembalikan kesehatan di
daerah tujuan wisata, misalnya tempat
sejuk yang lengkap dengan tempat
peristirahatan dan terdapat sumber air
panas. Sedangkan menurut dictionary.
com wisata kesehatan (health tourism)
didefinisikan sebagai perjalanan wisata
dengan tujuan untuk mendapatkan
perawatan medis atau untuk meningkat-
kan kesehatan atau kebugaran.
Kepercayaan akan kadar oksigen tinggi
ini yang ditawarkan sebagai daya tarik
wisata kesehatan di Gili Iyang karena
oksigen sangat vital diperlukan oleh
tubuh.
Wisata serupa yang dipercaya
sebagai wisata kesehatan juga terdapat
di Taman Narmada, Pulau Lombok. Di
kawasan wisata Taman Narmada ada
mata air yang diyakini dapat membuat
awet muda jika diminum atau dipakai
untuk mencuci muka termasuk anggota
tubuh lain. Kebenaran akan air di
Taman Narmada yang dapat membuat
awet muda belum terbukti secara
ilmiah. Belum ada industri kosmetik
atau obat-obat yang memakai air ini
sebagai salah satu bahan penyusun
produknya. Kalau ada air kemasan
dengan nama Narmada, itu hanya
menumpang nama saja, bukan
mengambil air di taman Narmada yang
diyakini berkasiat. Kasiat air di taman
Narmada masih berupa mitos, sugesti,
ataupun terkait dengan kepercayaan
dalam agama Hindu.
Wisata kesehatan yang pernah
dicanangkan oleh Menteri Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif bersama dengan
Menteri Kesehatan pada tahun 2012
adalah fasilitas spa (Kemenkraf, 2012).
Wisata kesehatan spa ini berbasis pada
keanekaragaman bahan spa yang
berasal dari bahan tradisional berbasis
jamu dan rempah-rempah yang
bercirikan Indonesia. Fasilitas spa khas
Indonesia ini diharapkan mampu
menjadikan destinasi wisata kesehatan
yang menarik bagi bagi wisatawan,
terutama wisatawan asing.
Wisata kesehatan yang berbasis
jamu tersebut sudah terwujud di
Indonesia. Taman Jamu Indonesia yang
dikelola Museum Jamu Nyonya Meneer
telah menyediakan kawasan wisata
kesehatan untuk keluarga (Seputar
Semarang.com, 2015). Wisata Kesehatan
Jamu Kalibakung di Tegal juga
merupakan kawasan wisata kesehatan
yang menawarkan produk unggulannya
berbahan dasar jamu (Dinkes Kabupaten
Tegal, 2015).
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Jika kadar oksigen di Gili Iyang
benar tinggi, bisakah keunikan ini
dicanangkan sebagai wisata kesehatan?
Oksigen memang gas yang sangat vital
dibutuhkan tubuh. Asupan oksigen ini
melalui sitem pernafasan, bukan sistem
pencernaaan. Oksigen dibutuhkan
untuk membakar zat makanan atau
cadangan makanan untuk memperoleh
energi bagi kehidupan semua sel tubuh.
Kebutuhan akan oksigen ini dalam
kadar yang tepat, tidak boleh kurang
juga tidak boleh berlebih.
Kadar oksigen normal yang
ditolerir untuk mecukupi kebutuhan
pernafasan adalah dalam batas antara
(19,5–22,0)% (OSHA, 2015). Kadar
oksigen yang kurang dari 19,5 % akan
menyebabkan kekurangan oksigen yang
disebut hipoksia. Hipoksia selain kadar
yang rendah dalam udara bebas juga
bisa disebabkan karena tekanan udara
yang rendah seperti di daerah
pegunungan yang tinggi, udara banyak
mengandung racun terutama karbon
monoksida, dan penderita sesak nafas.
Dampak kekurangan oksigen dari yang
ringan seperti lemah dan pusing,
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:83-90
88
sampai yang berat yang dapat
menyebabkan koma bahkan kematian.
Oksigen dengan kadar yang tinggi
dibutuhkan dalam beberapa pasien
tertentu, seperti sesak nafas akibat
asma dan gagal jantung. Terapi gas
oksigen bisa untuk pengobatan awal
penderita hipoksia (Bransondan
Johannigman, 2013; Harahap, 2004)
dan juga orang yang terkena paparan
radiasi (Irgens, 2013). Terapi oksigen
tersebut harus dalam pengawasan
tenaga medis yang ketat, sebab jika
overdosis dapat menjadikan hiperoksia
atau keracunan oksigen.
Hiperoksia dapat terjadi karena
dua hal, yaitu menghisap kadar oksigen
yang tinggi meskipun dalam waktu yang
singkat dan juga dapat terjadi karena
menghisap udara dengan kadar oksigen
yang sedikit di atas batas kadar oksigen
yang ditolerir tetapi dalam durasi yang
lama. Dampak dari hiperoksia tersebut
bisa berupa kejang-kejang yang dikenal
dengan nama Bert effect, sesak nafas
yang disebut Smith effect, dan juga bisa
menyebabkan kebutaan (Patel et al.,
2003; Mach, 2011). Kusno (2013)
menyebutkan keracunan oksigen banyak
menimpa dalam kasus perawatan bayi
dalam inkubator, juga bisa menimpa
penyelam yang dengan alat bantu
oksigen dan pasien yang sedang terapi
oksigen.
Jadi meskipun oksigen sangat
vital dibutuhkan tubuh, kadar yang
tinggi juga perlu diwaspadai karena bisa
memicu keracunan oksigen atau
hiperoksia. Penggunaan kadar oksigen
yang tinggi hanya boleh dilakukan
dengan pengawasan dari tenaga medis.
Jika kadar oksigen di beberapa titik Gili
Iyang ada yang lebih dari 22 %, bahkan
mencapai 27 %, justru perlu diwaspadai.
Menghirup udara dengan kadar oksigen
di atas batas kadar oksigen normal (22 %)
dalam waktu yang lama bisa menyebab-
kan hiperoksia.
Oksigen dibutuhkan dalam reaksi
pembakaran. Pembakaran hanya dapat
terjadi jika terpenuhi tiga syarat berikut,
yaitu tersedia bahan bakar, oksigen,
dan titik awal pengapian. Ketersediaan
oksigen yang melimpah di lingkungan
yang lebih dari 21 % akan mempercepat
proses pembakaran. Laju kebakaran
menjadi lebih cepat, sehingga muncul
seperti ledakan kecil. Percikan api yang
kecil pada bahan bakar yang sulit
terbakarpun akan timbul kebakaran
pada jika kondisi oksigen melimpah.
Oleh karena itu dengan kondisi oksigen
yang tinggi yang harus diperhatikan
adalah bahan bakar dan titik api.
Jangan merokok sembarangan, atau
melakukan pembakaran biomasa tanpa
pengawasan yang ketat karena bisa
memicu kebakaran yang besar.
Gambar 3-1: Label peringatan tabung oksigen
Untuk mewujudkan Gili Iyang
menjadi kawasan wisata kesehatan
dengan dukungan oksigen yang tinggi
perlu diperhatikan dua hal. Pertama
adalah masih diperlukannya kepastian
akan kebenaran secara ilmiah mengenai
kadar oksigen di Gili Iyang. Jika benar
kadar oksigen di Gili Iyang tinggi,
langkah kedua adalah mendesain wisata
kesehatan dengan memperhatikan
manfaat dan resiko dari kadar oksigen
yang tinggi.
5 PENUTUP
Sesuai dengan pengukuran yang
dilakukan oleh Pusat Sains Atmosfer
dan Iklim tahun 2006 dan analisanya,
kadar oksigen di Gili Iyang adalah
normal dan tidak bisa dikatakan sebagai
pulau dengan kadar oksigen tertinggi
kedua di dunia. Adanya hasil
Kajian Potensi Wisata Kesehatan Oksigen ... (Sumaryati)
89
pengukuran lain yang menunjukkan
kadar oksigen yang tinggi perlu
dilakukan pengecekan lagi yang lebih
mendalam memastikan keakuratan alat,
tidak adanya human error atau memang
benar ada titik spot dengan kadar
oksigen melebihi kondisi normal.
Jika benar ada titik spot dengan
kadar oksigen di Gili Iyang tinggi, yang
menarik adalah mencari penyebab
mengapa kadar oksigen tersebut bisa
tinggi karena ini kondisi anomali. Kadar
oksigen yang tinggi jika digunakan tidak
tepat dapat menyebabkan bahaya
keracunan oksigen dan bagi lingkungan
dapat menyebabkan laju kebakaran yang
cepat sehingga dapat menyebabkan
kebakaran yang besar. Jika titik spot
oksigen tinggi di Gili Iyang ada, untuk
untuk menjadikan Gili Iyang menjadi
wisata kesehatan perlu dilakukan kajian
kesehatan lingkungan yang memper-
hitungkan manfaat dan resiko dari
kadar oksigen yang tinggi baik bagi
kesehatan maupun lingkungan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami ucapkan
kepada Bapak Afif Budiyono dan Tim
yang telah membuat laporan tentang
kondisi oksigen di Gili Iyang, juga
kepada Bapak Saipul Hamdi yang telah
berulang kali mengajak penulis dalam
diskusi dengan Puslitbang Permukiman,
Kementrian Pekerjaan Umum dalam
membahas potensi Pulau Gili Iyang.
DAFTAR RUJUKAN
Asha, Boldsky, 2015. Health Benefits of Epsom
Salt Bath 5 April, http://www. boldsky.
com/health/wellness/2015/health-
benefits-of-epsom-salt-bath-067431.
html.
Branson R. D., dan J. A. Johannigman, 2013.
Pre-Hospital Oxygen Therapy Respiratory
Care, Januari, VOL 58 NO. 1, DOI:
10.4187/respcare.02251, akses Mei
2015.
Detik, 2013. Balai Kesehatan Jatim Teliti
kandungan Oksigen di Pulau Gili Iyang
Sumenep, http:// news. detik. com/
surabaya/read/2013/05/02/170417/
2236592/475/balai-kesehatan-jatim-
teliti-kandungan-oksigen-di-pulau-gili-
iyang-sumenep.
Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal, 2015.
Wisata Kesehatan Jamu (WKJ), http://
dinkes.tegalserver.net/reading-article.
html?8a80787692234bade8e59dda883
63026d35dbf4dcd5b1f8a9ae4b8ccd8b9
53211437c79716cd41efb38464b76dc8
bc9a.
Falk B., A. Nini, L. Zigel, Y. Yahav, M. Aviram,
J. Rivlin, L. Bentur, A. Avital, R. Dotan
dan H. Blau, 2006. Effect of Low
Altitude at the Dead Sea on Exercise
Capacity and Cardiopulmonary,
response to exercise in cystic fibrosis
patients with moderate to severe lung
disease Pediatric Pulmonology, Volume
41, Issue 3, 234–241, March.
Harahap I.A., 2004. Terapi Oksigen Dalam
Asuhan Leperawatan, USU digital library.
Irgens A., G. Vaagbø, dan L. Aanderud, 2013.
Quality of Life – the Effect of Hyperbaric
Oxygen Treatment on Radiation Injury,
UHM Vol.40, No.6.
Kemenkes dan Kemenparekraf akan Kerjasama
untuk Mendorong Kesehatan dan
Kebugaran, http://parekraf.go.id/asp/
detil.asp?c=16&id=2021.
Kompas, 2013. Giliyang, Pulau Terbaik di
Dunia, http://www. kompasiana.com/
www.kompasiana.com-dardiri/giliyang-
pulau-terbaik-di-dunia_ 5528103af17e
617a0b8b4638.
Koran Suara Rakyat, 2014. DPRD Minta
Pemerintah Serius Garap Wisata Gili
Iyang, http:// koransuararakyat. org/
ksr/2014/10/dprd-minta-pemerintah-
serius-garap-wisata-gili-iyang/.
Kramer M.R. dan S. Godfrey, 1996. Dead Sea:
Natural Oxygen Enrichment at Low
Altitude, Isr J Med Sci. Jul.
Kusno G., 2011. Mungkinkah Kita Keracunan
Oksigen, Kompas, 10 Juni, http://
kesehatan.kompasiana.com/medis/20
11/06/10/mungkinkah-kita-keracunan-
oksigen-371800.html.
LAPAN, 2006. Laporan Akhir Kegiatan:
Penelitian Kondisi Lingkungan Pulau
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:83-90
90
Gili Iyang sebagai Potensi Kawasan
Wisata Kesehatan, Bandung.
Mach W.J., A.R .Thimmesch, J.T. Pierce, dan
J.D. Pierce, 2011. Consequences of
Hyperoxia and the Toxicity of Oxygen in
the Lung, Nursing Research and
Practice Volume 2011, Article ID
260482, 7 http://dx.doi.org/10. 1155/
2011/260482.
Oxygen-Deficient or Oxygen-Enriched Atmospheres,
United States Department of Labor,
https:// www.osha.gov/SLTC/ etools/
shipyard/shiprepair/confinedspace/ox
ygendeficient.html.
Patel D. N., A. Goel, S.B., Agarwal, P. Garg, K.
K. Lakhani, 2003. Oxygen Toxicity,
Journal, Indian Academy of Clinical
Medicine Vol. 4, No. 3 July-September.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No
41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
Saver J.F., S. Starkman, M. Eckstein, S. J.
Stratton, F. D. Pratt, S. Hamilton, R.
Conwit, D.S. Liebeskind, G. Sung, I,
Kramer, G. Moreau, R. Goldweber, dan
N. Sanossian, 2015. Prehospital Use of
Magnesium Sulfate as Neuroprotection
in Acute Stroke, TheNew England
Journal of Medicine, 372:528-36. DOI:
10.1056/NEJMoa1408827.
Sayembara: Desain Kawasan Pulau Gili Iyang,
download 2014 http:// ciptakarya. pu.
go.id/v3/ban/file/poster-giliIyang_ L R.
pdf.
Seputar Semarang.com, 2015. Taman Djamoe
Indonesia, http://seputarsemarang.com/
taman-djamoe-indonesia/.
Smith J. M., R. F. Lowe, J. Fullerton, S. M.
Currie, L. Harrisdan E. F.Kantor, 2013.
An Integrative Review of the Side Effects
Related to the use of Magnesium Sulfate
For Pre-Eclampsia And Eclampsia
Management, BMC Pregnancy and
Childbirth, 13:34 doi:10.1186/1471-
2393-13-34.
Tempo, 2012. Ingin Awet Muda? Melanconglah
ke Pulau Giliyang, http:// travel. tempo.
co/read/news/2012/04/01/20439391
9/ingin-awet-muda-melanconglah-ke-
pulau-giliyang.
Tribun news, 2013. Punya Kadar Oksigen
Bagus, Pulau Giliyang Jadi Objek
Wisata Kesehatan, http://www.
tribunnews.com/regional/2013/05/03/
punya-kadar-oksigen-bagus-pulau-
giliyang-jadi-objek-wisata-kesehatan.
Pemanfaatan Transportable ... (Tiin Sinatra dan Noersomadi)
91
PEMANFAATAN TRANSPORTABLE RADAR CUACA DOPPLER
X-BAND UNTUK PENGAMATAN AWAN
Tiin Sinatra dan Noersomadi
Pusat Sain dan Teknologi Atmosfer
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 Indonesia
e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Telah dilakukan pengamatan awan di beberapa tempat secara intensif dengan
menggunakan alat Transportable Radar Cuaca Doppler X-Band, diantaranya di
Bandung pada 2013 dan di Garut pada 2014. Berbagai skenario dilakukan selama
pengamatan. Pemindaian volume dilakukan pada kedua pengamatan tersebut, namun
pada saat pengamatan di Bandung juga dilakukan pemindaian RHI. Makalah ini ditulis
untuk melihat evolusi awan hujan yang ditinjau dari beberapa hasil luaran radar.
Untuk mendapatkan nilai reflektivitas dan kecepatan radial perlu dilakukan
pengkonversian nilai piksel pada gambar. Pengkonversian koordinat polar menjadi
kartesian juga perlu dilakukan tatkala akan melakukan plot data. Hasil menunjukkan
bahwa radar dengan frekuensi x-band ini dapat memperlihatkan evolusi awan dalam
wilayah terbatas dengan resolusi spasial maupun temporal yang cukup baik.
1 PENDAHULUAN
Radar merupakan alat yang
penggunaannya masih terbatas untuk
mengobservasi hujan secara terus-
menerus di Indonesia. LAPAN sendiri
baru mengoperasikan penggunaan radar
untuk pengamatan awan pada 2012.
Adapun radar yang dimiliki LAPAN
bekerja pada frekuensi X-band dengan
polarisasi tunggal (single polarization).
Untuk jenis radar cuaca,
tentunya radar tipe ini digunakan untuk
mengamati obyek meteorologi, seperti
hujan, hail, salju, drizzle, ataupun jenis
hidrometeor lainnya. Jenis obyek yang
akan diamati akan menentukan pita
gelombang radio yang digunakan.
Gelombang L-Band (1-2 GHZ, panjang
gelombang 15-30 cm) banyak digunakan
untuk mempelajari clear-air turbulence,
S-Band (2-4 GHz, panjang gelombang 8-
15 cm) digunakan untuk pengamatan
pengawasan cuaca jangka pendek
maupun jangka panjang. Radar jenis
ini tidak mudah teratenuasi, tetapi
membutuhkan tenaga maupun perangkat
yang besar. Selanjutnya, radar C-Band
(4-8 GHz, panjang gelombang 4-8 cm)
digunakan untuk pengawasan cuaca
jangka pendek (seperti, penggunaan di
dekat bandara). Radar ini dapat
digunakan untuk penelitian lapangan
karena bersifat portabel. Sedangkan,
radar X-Band (8-12 GHz, panjang
gelombang 2,5-4 cm) dapat digunakan
untuk penelitian jangka pendek, sensitif
untuk partikel yang lebih kecil sehingga
radar jenis ini berguna untuk pengamatan
awan, terutama awan hujan (Document
Gamic, 2001; Gematronik, 2010).
Secara umum, radar beroperasi dengan
pemindaian plan position indicator (PPI
scan) yang menggambarkan awan hujan
dalam sebuah peta hujan berbentuk
lingkaran. Pemindaian volume (volume-
scanning radar) merupakan skenario
yang dapat digunakan untuk mengamati
awan hujan secara 3 dimensi dan hal ini
cukup efektif dilakukan (Kinosita dan
Irisawa, 2003). Pemindaian volume
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:91-98
92
menggunakan PPI pada beberapa
elevasi. Sedangkan pemindaian range
height indicator (RHI scan) digunakan
untuk observasi profil vertikal awan
hujan. Makalah ini ingin memper-
lihatkan performa radar dari hasil
beberapa pengamatan intensif pada
2013 di Gede Bage, Bandung dan 2014
di Pameungpeuk, Garut.
2 METODE
Metode yang digunakan dalam
pengamatan awan ini adalah mengubah
data yang diperoleh dari hasil beberapa
ekspedisi dengan transportable radar,
dimana datanya merupakan format
HDF-5 dengan ekstensi *.mvol. data ini
selanjutnya diubah menjadi besaran
reflektivitas dan besaran kecepatan
dengan menggunakan persamaan (2-1)
dan (2-2), yaitu:
reflektivitas (dBZ) = −32 + (95,5 − (−32)
255) ∗ nilai piksel (2-1)
kecepatan (m
s) = −14,346 + (
14,346 − (−14,346)
255) ∗ nilai piksel (2-2)
Adapun saat melakukan plot
data, dilakukan konversi koordinat polar
menjadi koordinat Cartesian. Koordinat
yang tersimpan pada *.mvol adalah
azimut dan elevasi. Konversi dilakukan
dengan menggunakan persamaan:
x = r ∗ cos 𝛼 (2-3)
y = r ∗ sin 𝛼 (2-4)
dengan 𝛼 adalah sudut elevasi.
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Deteksi Evolusi Awan Dilihat dari
Data Reflektivitas
Berikut adalah hasil pengamatan
pada saat observasi intensif di
Pameungpeuk, Garut Jawa Barat.
Sinatra, dkk (2014) melihat distribusi
awan selama kurang lebih 1 bulan. Pada
kasus ini hanya mengambil studi kasus
pada hari tertentu saja. Gambar 3-1
memperlihatkan evolusi awan pada
tanggal 16 Maret 2014 pada ketinggian
3 km. Ketinggian ini dipilih guna
mengurangi efek dari ground clutter.
Sebelah utara radar terdiri atas wilayah
dataran tinggi dan pegunungan. Lokasi
radar ditunjukkan oleh lambang bintang
merah.
Awan mulai tumbuh di atas
wilayah pegunungan diawal dengan
awan-awan kecil yang terpisah. Semakin
malam, awan semakin bertambah
banyak dan luas dan mencapai
puncaknya pada pukul 17:40. Hal ini
terlihat dari luasan liputan awan dan
semakin kuat nilai reflektivitasnya.
Lewat pukul 17:40, awan mulai
berkurang. Meskipun liputan awan
masih tergolong luas, namun pada
pukul 19:27 nilai reflektivitasnya
menjadi rendah. Nilai reflektivitas dapat
menunjukkan tebal/tipisnya awan.
Malam hari pertumbuhan awan di atas
pegunungan semakin lemah, tetapi
mulai tampak ada pertumbuhan awan
di atas lautan.
3.2 Bright Band
Dalam hasil pengamatan radar
terkadang kita akan menjumpai adanya
bright band. Bright band terlihat sebagai
wilayah dengan nilai reflektivitas paling
tinggi. Dalam gambar pemindaian PPI,
bright band akan terlihat seperti donat
yang ditunjukkan oleh Gambar 3-2,
sedangkan pada pemindaian RHI, bright
band akan nampak seperti garis yang
mengidentifikasikan adanya lapisan
yang terlihat pada Gambar 3-3
(Matrosov, 2007; Zhang, 2010, The
Warning Decision Training Division,
diakses pada September 2015). Berikut
beberapa contoh hasil pengamatan
terdeteksinya bright band di Bandung
pada tanggal 17 Maret 2013.
Pemanfaatan Transportable ... (Tiin Sinatra dan Noersomadi)
93
Gambar 3-1: Pertumbuhan awan dari hasil obervasi di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat pada 16
Maret 2014 pada ketinggian 3 km
17-03-2013 Pukul 18:36
Elevasi 8°
17-03-2013 Pukul 19:34 Elevasi 10°
Gambar 3-2: Pemindaian PPI di Gede Bage, Bandung pada tanggal 17 Maret 2013. Lapisan peleburan
ditandai dengan nilai reflektivitas yang tinggi yang memutar membentuk busur (garis warna hitam)
a) b)
c) d)
e) f)
a) b)
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:91-98
94
Gambar 3-3: Pemindaian RHI di Gede Bage, Bandung pada tanggal 17 Maret 2013 sekitar pukul
19:05 waktu setempat pada azimut 120° dan 300°. Lapisan peleburan ditandai dengan nilai reflektivitas yang tinggi yang memanjang membentuk garis (lapisan)
Gambar 3-2 merupakan hasil plot
dari produk PPI. Lingkaran yang
berwarna abu-abu merupakan wilayah
efektif jangkauan radar. Titik merah
menunjukkan lokasi radar. Berbeda
dengan Gambar 3-1 yang merupakan
hasil Constant Altitude Plan Position
Indicator (CAPPI), awan yang tedeteksi
tidak pada ketinggian yang sama.
Daerah pada radius yang sama dari
radar memiliki ketinggian yang sama.
Semakin jauh dari radar, maka posisi
obyek semakin tinggi. Gambar 3-2a)
adalah hasil pemindaian pada elevasi 8°.
Terdeteksi adanya reflektivitas yang
tinggi yang membentuk busur pada
arah barat laut dari lokasi radar.
Gambar 3-2b) menunjukkan wilayah
bright band yang lebih panjang.
Keduanya menunjukkan bright band
pada ketinggian 3-4 km.
Gambar 3-3 memperlihatkan
hasil pemindaian radar pada azimut
120° dan 300° pada tanggal 17 Maret
2013 sekitar pukul 19-an. Hasil RHI
dari dua azimut tersebut terdapat jeda
waktu sekitar 8 menit 34 detik.
Bersesuaian dengan Gambar 3-2,
terlihat bahwa adanya bright band di
sekitar ketinggian 3-4 km dari
permukaan tanah. Bright band ini
terlihat memanjang, membentuk garis.
Keberadaan bright band ini perlu
diperhatikan, terutama dalam per-
hitungan curah hujan. Dengan mem-
perhitungan keberadaan bright band,
maka estimasi kuantitatif presipitasi
Quantitative Precipitation Estimations
(QPE) dapat meningkatkan akurasi hasil
estimasi curah hujan dari radar (Zhang,
2010; Pfaff, 2014). Estimasi curah hujan
dengan menggunakan data radar ini
telah dilakukan oleh Sipayung dan
Noersomadi (2013) di Bandung dengan
melihat hubungan antara Z-R.
3.2 Profil Vertikal
Selain dapat mengamati secara
spasial, luaran radar juga dapat
mengamati obyek secara vertikal melalui
pemindaian RHI. Gambar 3-4 menun-
jukkan beberapa hasil dari produk RHI
pada tanggal 18 Maret 2013 di
Bandung. Terlihat bahwa kita dapat
melihat evolusi awan secara vertikal.
Pada tanggal 18 terlihat bahwa
pada azimut 60° dan 240° pada sore
hari awan semakin meningkat. Terlihat
adanya pertumbuhan awan yang
membentuk awan stratiform. Distribusi
awan meningkat pesat pada pukul
17:04 menuju pukul 17:57 di azimuth
60°. Kemudian awan mulai menjalar
lebih lebar lagi pada pukul 18:50.
Sedangkan pada azimuth 240°,
reflektivitas awan meningkat yang dapat
mengindikasikan bahwa awan semakin
tebal (kelembapannya semakin
meningkat).
Pemanfaatan Transportable ... (Tiin Sinatra dan Noersomadi)
95
a)
b)
c)
Gambar 3-4: Pertumbuhan awan dari hasil obervasi di Gede Bage,Bandung pada 18 Maret 2013 hasil
pemindaian RHI
3.3 Kecepatan Radial
Selain reflektivitas, kelebihan dari
radar Doppler adalah adanya keluaran
berupa kecepatan radial. Besaran ini
diturunkan dari perhitungan perbedaan
fase antara gelombang yang
ditransmisikan dan yang dipantulkan.
Berikut contoh hasil luaran kecepatan
radial (Gambar 3-5).
Gambar 3-5 merupakan hasil
pengamatan di wilayah Pameungpeuk,
Garut, Jawa Barat pada tanggal 16
Februari 2014. Gambar tersebut
merupakan produk dari PPI sehingga
obyek pada gambar tersebut tidak
menunjukkan berada pada ketinggian
yang sama. Terdapat 2 nilai kecepatan,
yaitu positif dan negatif. Nilai positif
menunjukkan bahwa obyek mendekati
radar, dan bernilai negatif jika obyek
menjauhi radar. Secara umum dari
keempat gambar pada Gambar 3-5
menunjukkan bahwa obyek bergerak ke
barat-tenggara. Untuk lebih detil
mengenai interpretasi dari plot kecepatan
radial dapat dilihat pada situs https://
www.nssl.noaa.gov/publications/dopple
rguide/chapter2.php.
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:91-98
96
a)
b)
c)
d)
Gambar 3-5: Kecepatan radial pada 16 Februari 2014 hasil pemindaian PPI pada elevasi 5°
4 PENUTUP
Pemanfaatan radar untuk kajian
meteorologi, dalam kasus di atas terkait
dengan observasi awan hujan,
merupakan hal penting dilakukan
untuk menunjang penelitian yang
berkenaan dengannya. Uraian di atas
hanyalah beberapa hal yang dapat
diperoleh dari pengamatan radar x-band
dengan polarisasi tunggal. Pengaturan
skenario pemindaian radar dapat
disesuaikan dengan keperluan penelitian
yang diinginkan. Pemindaian RHI dapat
dilakukan untuk pengamatan profil
vertikal awan, deteksi bright band,
sedangkan pemindaian PPI dapat
digunakan untuk pengamatan awan
secara spasial. Luaran berupa
reflektivitas dapat dimanfaatkan untuk
melihat evolusi awan. sedangkan luaran
berupa kecepatan radial dapat
dimanfaatkan untuk penelitian lebih
lanjut lagi mengenai meteorologi,
terutama terkait dengan mikrofisika
awan. Kemampuan radar yang dapat
berpindah memberikan kemudahan bagi
peneliti untuk dapat melakukan
observasi di tempat yang berbeda,
tentunya dengan syarat dan kondisi
wilayah yang memenuhi standar untuk
pengoperasian radar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima
kasih kepada para staf bidang Teknologi
Atmosfer PSTA LAPAN Bandung atas kerja
samanya dalam setiap pelaksanaan
observasi intensif yang diselenggarakan.
Penulis juga ucapkan terima kasih kepada
para staf Pusat Uji Terbang Roket
LAPAN Pameungpeuk atas bantuannya
selama observasi berlangsung di sana.
Pemanfaatan Transportable ... (Tiin Sinatra dan Noersomadi)
97
DAFTAR RUJUKAN
Document GAMIC., 2001. Radar Meteorology
Training Introduction for Radar Users.
Gematronik, 2010. Rainbow Product Presentation,
Selex System Integration Gmbh.
Interpretation of Doppler Velocity Patterns in
Clear Air and Widespread Precipitation,
diakses pada September 2015. https://
www.nssl.noaa.gov/ publications/
dopplerguide/chapter2.php.
Kinosita, T. dan Irisawa, M., 2003. Radar
Raingauge with Volume-Scanning
Function, Proceedings of Symposium
HS03, IAHS Publ, 282, 2003.
Matrosov, S. Y.; Clark, K.; Kingsmill, D., 2007.
A Polarimetric Radar Approach to
Identify Rain, Melting-Layer, and Snow
Regions for Applying Corrections to
Vertical Profiles of Reflectivity, J. App.
Meteor, 46, 154-166.
Pfaff, T., Engelbrecht, A., dan Seidel, J., 2014.
Detection Of The Bright Band with a
Vertically Pointing K-Band Radar,
Meteorologische Zeitschrift, 23 (5), 527-
534.
Sinatra, T., Noersomadi, Nugroho, G.A., dan
Trilaksono, 2014. Characterizing the
Diurnal Cycle of Convective Activity over
the South of West Java Using Doppler X-
Band Radar Observation, The 4th
international symposium for
sustainable humanosphere (ISSH)
2014 ,proceedingsh ISSN 2088-9127.
Sipayung, S.B. dan Noersomadi, 2013. Analisa
Reflektivitas Transportable Radar (TR)
di saat Campaign Bulan Maret 2013 di
Kawasan Gedebage, Bandung (Jawa
Barat). Seminar Nasional Fisika. ISSN
2088-4176.
The Warning Decision Training Division,
diakses pada September 2015.
http://www.wdtb.noaa.gov/courses/M
RMS/ProductGuide/index.php.
Zhang, J. dan Qi, Y., 2010. A Real-Time
Algorithm for the Correction of
Brightband Effects in Radar-Derived
QPE, J. Hydrometeorology, 11 (5),
1157-1171.
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:91-98
98
Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)
99
PENGINTEGRASIAN DAN PENYAJIAN SPASIAL DINAMIS
INFORMASI TUTUPAN HUTAN DAN PERUBAHANNYA
DALAM SISTEM PEMANTAUAN BUMI NASIONAL
Sarno
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Jl. Kalisari No.08, Pekayon-Pasar Rebo, Jakarta 13710
e-mail: [email protected] atau [email protected]
RINGKASAN
Program kegiatan pemanfaatan penginderaan jauh Indonesia National Carbon Accounting
System (INCAS) telah menghasilkan informasi tutupan hutan dan perubahannya di Indonesia.
Informasi tersebut perlu diintegrasikan ke dalam Sistem Pemantauan Bumi Nasional melalui aplikasi
pemetaan web. Tujuan dari pengintegrasian adalah agar dapat diterapkan penyajian spasial dinamis
dan pengguna secara mudah dapat memvisualisasikannya dan berinteraksi melalui web browser.
Pengintegrasian menerapkan ’Prototyping Development Methodology with Open Source Software’.
Sistem yang dihasilkan mempunyai antarmuka pengguna berupa tombol pilihan atau navigasi pada
Toolsbar untuk menjalankan operasi fungsi-fungsi pengelolaan penyajian dan visualisasi spasial
dinamis informasi tutupan hutan dan perubahannya periode tahun 2001–2009.
Sistem operasional diharapkan dapat memberikan kemudahan akses secara on line dan
berkelanjutan dalam upaya memenuhi kebutuhan para pengguna di berbagai sektor pembangunan
dan dapat diakses melalui situs web resmi Pusat Pemanfatan Penginderaan Jauh (http://
pusfatja.lapan.go.id).
1 PENDAHULUAN
Program Pemanfaatan Peng-
inderaan Jauh Indonesia National
Carbon Accounting System (INCAS) telah
menghasilkan sistem yang akuntabel
dan berkelanjutan guna menghitung
emisi karbon dari sektor kehutanan di
Indonesia. Hutan memiliki peran dalam
hal penyimpanan karbon dan nilai-nilai
lainnya. Rangkaian kegiatan dilaksanakan
dengan fokus pada tutupan hutan dan
perubahannya [LAPAN, 2014]. Program
tersebut telah menghasilkan informasi
tutupan hutan dan perubahannya di
Indonesia untuk periode 2000 - 2012.
Produk informasi spasial tutupan
hutan dan perubahannya (penyusutan
dan penambahan hutan) di Indonesia
memiliki peran penting bagi pengguna
dari berbagai institusi pemerintah,
swasta, dunia usaha dan masyarakat.
Untuk mendukung kebutuhan
pelayanan tersebut, Pusat Pemanfaatan
Penginderaan Jauh (Pusfatja), Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN) melalui Program Pengembangan
Pemanfaatan Penginderaan Jauh
menyelenggarakan Kegiatan Pengem-
bangan Sistem Pemantauan Bumi
Nasional (SPBN). Program SPBN tersebut
telah mengintegrasikan informasi
tutupan hutan dan perubahannya di
Indonesia periode tahun 2001 – 2009
melalui sistem penyajian dan visualisasi
spasial dinamis. Informasi tersebut
tercermin dalam layer-layer, disimpan
dan terintegrasi di dalam server yang
terhubung ke jaringan informasi
elektronik berupa media web atau
internet.
Ketersediaan produk informasi
spasial tutupan hutan dan
perubahannya yang benar, tepat dan
akurat dapat meningkatkan
pemanfaatan penginderaan jauh untuk
mendukung pengelolaan sumber daya
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114
100
kehutanan dan membangun sistem
pemantauan yang akuntabel dan
berkelanjutan guna menghitung emisi
karbon [LAPAN, 2014] dari sektor
kehutanan sekaligus ikut serta dalam
pengelolaan, menjaga keselamatan serta
kelestarian sumber daya alam Indonesia
yang berkelanjutan.
Makalah ini menjelaskan proses
dalam kegiatan pengaturan peng-
integrasian, penyajian dan visualisai
spasial dinamis informasi tutupan
hutan dan perubahannya dalam SPBN
di Pusfatja LAPAN. Sistem operasional
mampu memberikan kemudahan akses
secara on line dan berkelanjutan dalam
upaya memenuhi kebutuhan para
pengguna di berbagai sektor pem-
bangunan. Sistem dapat diakses melalui
situs web resmi Pusfatja - LAPAN yaitu
http://pusfatja.lapan.go.id.
Integrasi, publikasi, produksi dan
diseminasi berbasis web produk
informasi spasial tutupan hutan dan
perubahannya memerlukan sejumlah
tahapan kegiatan, diantaranya adalah
persiapan, pengaturan pengintegrasian,
penyajian dan visualisai serta pengaturan
antarmuka pengguna dengan sistem.
Manfaat kegiatan pengintegrasian
dan penyajian spasial dinamis informasi
tutupan hutan dan perubahannya di
Indonesia adalah mendukung kesinam-
bungan integrasi, publikasi, produksi
dan diseminasi hasil kegiatan
Penginderaan Jauh INCAS ke dalam
SPBN.
2 LATAR BELAKANG
Kemajuan teknologi penginderaan
jauh (remote sensing) dan teknologi
informasi dan komunikasi spasial (TIK-
Spasial) berkembang sangat pesat.
Teknologi penginderaan jauh telah
membuat perekaman data spasial dijital
relatif lebih mudah, cepat dan akurat.
Potensi pemanfaatan TIK-Spasial secara
luas, membuka peluang bagi pengaksesan,
pengelolaan, dan pendayagunaan infor-
masi spasial pemanfaatan penginderaan
jauh dalam volume yang besar.
Kemampuan penyimpanan dalam
volume yang semakin besar, kecepatan
pengolahan yang semakin cepat dan
kapasitas transfer yang semakin
meningkat menjadikan informasi spasial
pemanfaatan penginderaan jauh
merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari perkembangan teknologi informasi
spasial untuk mendukung berbagai
kepentingan sektor pembangunan
nasional.
Teknologi penginderaan jauh dan
TIK-Spasial menumbuhkan kesadaran
akan pentingnya pemecahan suatu
masalah dengan memanfaatkan data
dan informasi spasial pemanfaatan
penginderaan jauh. Teknologi yang
dipilih untuk pengembangan adalah
sistem pemetaan web (web mapping).
Teknologi tersebut berbasis pada TIK-
Spasial, difokuskan pada paket
perangkat lunak sumber terbuka yang
dirilis di bawah lisensi seperti General
Public Licence (GPL), diadopsi oleh
komunitas on line yang aktif, mendukung
format standar, stabil dan handal.
2.1 Sistem Pemetaan Web
Sistem Pemetaan web adalah
prosedur atau proses merancang,
menerapkan, menghasilkan dan
mengirimkan peta dalam bentuk dijital
melalui media world wide web (www),
atau dapat juga diartikan, pemetaan
web adalah istilah umum untuk melihat
dan mengambil informasi spasial (peta
dijital) melalui media web atau internet.
Komponen utama sistem pemetaan web
adalah web map server dan web map
client [Hazzard, 2011].
Pemetaan web telah merevolusi
cara mendistribusikan dan berinteraksi
dengan informasi spasial. Sejumlah
perangkat lunak Sistem Informasi
Geografi (SIG) digantikan hanya oleh
satu pusat server pemetaan web yang
dapat diakses oleh semua orang yang
terhubung dengan akses ke internet
melalui web browser. Peta dapat diakses
melalui perangkat yang terhubung ke
internet dan membuat permintaan ke
Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)
101
server untuk sebuah peta digital secara
online.
Informasi tutupan hutan dan
perubahannya di Indonesia yang
tercermin pada peta dijital berupa map
layers, disimpan di dalam suatu server
yang terhubung ke jaringan internet.
Melalui tombol pilihan atau navigasi
pada layar browser memungkinkan
untuk menjalankan beberapa operasi
pada informasi dijital tutupan hutan
dan perubahannya, seperti zoom-in dan
zoom-out, atau memperoleh informasi
mengenai informasi tertentu pada
informasi dijital. Dengan personal
komputer dan perangkat lunak minimal,
pengguna dapat secara dinamis
berinteraksi dengan menampilkan peta
dan menemukan hubungan data dalam
peta yang sebelumnya diperlukan
keahlian dan perangkat lunak yang
mahal.
2.2 Arsitektur Sistem
Pengintegrasian dan penyajian
spasial dinamis informasi tutupan
hutan dan perubahannya di Indonesia
menerapkan 3-Tiers Architecture,
ditunjukkan seperti pada Gambar 2-1,
dengan legenda seperti pada Gambar 2-2
[Ticheler, 2007].
Ada banyak pilihan yang cukup
menarik dan beragam kategori
komponen perangkat lunak yang dapat
disusun, disesuaikan dan diintegrasikan
ke dalam pengembangan sistem
Pengintegrasian dan penyajian spasial
dinamis informasi tutupan hutan dan
perubahannya di Indonesia.
Pada lapisan paling bawah: dapat
disusun, disesuaikan dan diintegrasikan
tempat penyimpanan (storage) berupa
server basis data informasi dan sistem
file dalam rangka mencapai manajemen
data yang lebih efisien.
Perangkat lunak PostgreSql/PostGis
[Obe, 2011; PostGis, 2013] digunakan
sebagai geospatial Database
Management System (DBMS) Server
disusun dan disesuaikan untuk
manajemen basis data informasi
Geofatja.
Sistem tata kelola file atau berkas
raster citra satelit penginderaan jauh
dalam format GeoTiff.
Gambar 2-1: Arsitektur Sistem Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis Informasi Tutupan
Hutan dan Perubahannya [Ticheler, 2007]
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114
102
Gambar 2-2: Legenda Arsitektur Sistem Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis Informasi
Tutupan Hutan dan Perubahannya [Ticheler, 2007]
Pada lapisan tengah (middleware):
dapat disusun, disesuaikan dan diinte-
grasikan semua layanan yang membantu
aksesibilitas ke repositori data/
informasi. Ada 3 (tiga) perangkat lunak
server utama, yaitu Map Server, Web
Service Server dan Catalog Server.
Server tersebut menyebarluaskan
(melayani) muatan informasi ke web,
berdasarkan pada antarmuka standar
(misalnya, WMS, WFS, WCS, ISO
19115/139) untuk memfasilitasi akses
dan penggunaan informasi online.
Lapisan tengah juga menyediakan
Layanan Akses langsung ke Basis Data
informasi untuk query tingkat lanjut
dan analisis muatan informasi.
Perangkat lunak University of Minnesota
(UMN) MapServer [Kropla, B., 2005;
MapServer, 2013] digunakan sebagai
web map server, dapat disusun
(configuration) dan disesuaikan
(customization) untuk mempublikasikan
informasi dan sebagai server pemetaan
yang menyediakan fungsi-fungsi operasi
sistem pemetaan web.
Perangkat lunak GeoServer [Geoserver,
2013] untuk Geospatial Web Services
OGC Server.
Perangkat lunak GeoNetwork [Ticheler,
2007] untuk Metadata Catalog Server.
Pada lapisan atas (client) berada
pengguna dan aplikasi. Akses ke
muatan informasi dimungkinkan baik
melalui Desktop maupun Web client.
Desktop client dapat berupa paket
perangkat lunak dengan kemampuan
geovisualisasi dan fungsi Desktop GIS,
Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)
103
seperti paket perangkat lunak GIS
(ArcGIS dan Quantum GIS) atau Map
Viewer (Google Earth).
Perangkat lunak Google Earth (http://
earth.google.com/) untuk aplikasi
Geospatial Web Services Viewer/Client.
Framework perangkat lunak PMapper
(PMapper, 2013) digunakan sebagai
aplikasi Internet web map client/
viewer, disusun dan disesuaikan
untuk antarmuka penyajian dan
visualisasi spasial dinamis.
2.3. File Konfigurasi Web Map Server
Konfigurasi web map server
merupakan proses pengaturan
menggambar dan berinteraksi dengan
map. File konfigurasi web map server
atau lebih dikenal dengan istilah file
map merupakan komponen utama dan
jantung dari Minesota MapServer. File
map digunakan oleh Map Server untuk
pengaturan dan akses data. Pengaturan
mencakup data layer yang akan
digambarkan, memfokuskan letak
geografis dalam map, sistem proyeksi
dan format keluaran image yang akan
digunakan, serta mengatur legenda dan
skala.
File map merupakan file teks
sederhana yang menggunakan struktur
hirarkis obyek, terdiri dari obyek-obyek.
Setiap obyek memiliki kata kunci untuk
memulai dan kata END untuk
mengakhiri. Obyek dapat memiliki sub
obyek lain di dalam obyek tersebut
[Tyler M., 2005]. Representasi grafis
struktur hirarkis model obyek file map,
ditunjukkan seperti pada Gambar 2-3,
model obyek map seperti pada Gambar
2-4 dan model obyek layer seperti pada
Gambar 2-5 [Yewondwossen, A., 2004].
Gambar 2-3: Representasi Model Obyek File Map [Yewondwossen, A., 2004]
Gambar 2-4: Representasi Model Obyek Map [Yewondwossen, A., 2004]
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114
104
Gambar 2-5: Representasi Model Obyek Layer [Yewondwossen, A., 2004]
3 DATA DAN METODOLOGI
3.1 Cakupan Wilayah
Cakupan wilayah pada pengem-
bangan sistem penyajian dan visualisasi
spasial dinamis informasi tutupan
hutan dan perubahannya meliputi
seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana
ditunjukkan seperti pada Gambar 3-1.
3.2 Data
Data yang digunakan adalah
hasil analisis data citra penginderaan
jauh untuk tutupan hutan dan non
hutan, penyusutan dan penambahan
hutan yang telah dilakukan tiap tahun
dalam periode tahun 2000-2012.
Pengintegrasian dan penyajian spasial
dinamis pada sistem ini mencakup
antara lain: Tutupan hutan dan non
hutan, periode tahun 2001 – 2009;
Penyusutan hutan, periode tahun 2001 –
2009; dan Penambahan hutan, periode
tahun 2001 - 2009.
3.3 Metodologi
Pengembangan sistem ini
dilakukan dengan perangkat lunak open
source dan merupakan implementasi
tahapan operasi dan dukungan
’prototyping development metodology
with open source software’ [Brian, 2013].
Implementasi dititikberatkan pada
keterpaduan dan kepraktisan bagi
kebutuhan pengguna berupa multi
aplikasi Geospasial Free and Open
Source Software (GeoFOSS) melalui
proses pembenahan berbagai komponen
pembentuk agar diperoleh sistem yang
sederhana dan mudah dipahami.
Metode tersebut biasa dikenal dengan
istilah re-engineering, yaitu proses
analisis teknologi untuk mengidentifikasi
komponen-komponen dan hubungannya
serta mengembangkan sistem dalam
bentuk baru.
Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)
105
Gambar 3-1: Cakupan Wilayah Pengembangan Sistem Penyajian Informasi [Google Earth; LAPAN, 2014]
Tahapan dalam ’Prototyping
Development Methodology with Open
Source Software’ yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
Mendefinisikan sistem - kegiatan yang
akan dilakukan berupa pengintegrasian
dan penyajian spasial dinamis informasi
tutupan hutan dan perubahannya
dalam SPBN,
Menentukan komponen perangkat
lunak - kegiatan ini hanya memper-
timbangkan GeoFOSS,
Membangun prototipe - kegiatan ini
dimaksudkan untuk mengembangkan
prototipe yang telah didefinisikan
dengan melakukan installed, configured
dan customize,
Menentukan dan mempopulasi
informasi - set informasi yang
digunakan berupa informasi tutupan
hutan dan perubahannya di Indonesia
serta pengintegrasiannya ke dalam
sistem pemantauan bumi nasional,
Uji dan evaluasi - kegiatan ini dilakukan
untuk memastikan semua fungsionalitas
sistem tersedia dan berjalan dengan
benar,
Operasi dan dukungan sistem -
pengintegrasian dan penyajian spasial
dinamis informasi tutupan hutan dan
perubahannya dalam SPBN akan
memasuki tahap operasi dan
dukungan. Selama beroperasi sistem
perlu dukungan berupa servis,
pemeliharaan atau peningkatan
fungsionalitas.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan pengembangan ini telah
mengintegrasikan informasi tutupan
hutan dan perubahannya hasil kegiatan
penginderaan jauh INCAS ke dalam
SPBN. Berikut ini hasil identifikasi kelas
dan warna, langkah-langkah peng-
integrasian dan penyajian spasial
dinamis informasi tutupan hutan dan
perubahannya di Indonesia berbasis
pada sistem pemetaan web, ditunjukkan
melalui operasi fungsi-fungsi sistem
pemetaan web atau fungsi-fungsi
operasi peta dalam bentuk script dan
hasil.
4.1 Kelas dan Warna Tutupan Hutan
dan Perubahannya
Sebagaimana disebutkan di atas
bahwa pengembangan sistem ini
menggunakan produk informasi hasil
kegiatan Penginderaan Jauh INCAS.
Produk tersebut yakni berupa informasi
citra tutupan hutan dan non hutan,
penyusutan hutan dan penambahan
hutan periode tahun 2001 - 2009. Daftar
Kelas (Tutupan Hutan dan Non Hutan,
Penyusutan Hutan dan Penambahan
Hutan) dan Warna (Red, Green, Blue
atau Hexa Decimal), ditunjukkan seperti
pada Tabel 4-1, Tabel 4-2 dan Tabel 4-3.
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114
106
Tabel 4-1: DAFTAR NAMA KELAS DAN NILAI WARNA INFORMASI TUTUPAN HUTAN DAN PERUBAHANNYA TAHUN 2000 – 2003
KELAS VALUE
NILAI WARNA NAMA FILE
R G B Hexa Warna
Tahun 2000-2001
Tutupan Hutan 1 38 115 1 267301 tutupan_hutan_2001.tif
Non Hutan 140 137 66 8c8942
Penambahan
Hutan 1 38 176 44 26B02C
penambahan_hutan_2000-
2001.tif
Penyusutan Hutan
1 255 126 144 FF7E90
penyusutan_hutan_2000-
2001.tif
No Value 99
Tahun 2001-2002
Tutupan Hutan 1 38 115 1 267301 tutupan_hutan_2002.tif
Non Hutan 140 137 66 8c8942
Penambahan
Hutan 1 168 214 176 A8D6B0
penambahan_hutan_2001-
2002.tif
Penyusutan Hutan 1 238 88 99 EE5863
penyusutan_hutan_2001-
2002.tif
No Value 99
Tahun 2002-2003
Tutupan Hutan 1 38 115 1 267301 tutupan_hutan_2003.tif
Non Hutan 140 137 66 8c8942
Penambahan
Hutan 1 41 209 51 29D133
penambahan_hutan_2002-
2003.tif
Penyusutan Hutan 1 254 125 186 FE7DBA
penyusutan_hutan_2002-
2003.tif
No Value 99
Informasi tutupan hutan tahunan
disimpan dalam satu kesatuan file.
Kelas Penyusutan Hutan dan Kelas
Penambahan Hutan dalam skala
Nasional masing-masing disimpan
dalam satu file terpisah. Jadi dalam tiap
tahun ada tiga file untuk menyimpan
produk informasi tutupan hutan (Kelas
Tutupan Hutan dan Non Hutan) dan
perubahannya (Kelas Penyusutan Hutan
dan Penambahan Hutan).
Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)
107
Tabel 4-2: DAFTAR NAMA KELAS DAN NILAI WARNA INFORMASI TUTUPAN HUTAN DAN PERUBAHANNYA TAHUN 2003 – 2006
KELAS VALUE NILAI WARNA
NAMA FILE R G B Hexa Warna
Tahun 2003-2004
Tutupan Hutan 1 38 115 1 267301 tutupan_hutan_2004.tif
Non Hutan 140 137 66 8c8942
Penambahan Hutan
1 23 14 137 170E89 penambahan_hutan_2003-
2004.tif Penyusutan Hutan
1 255 138 42 FF8A2A penyusutan_hutan_2003-
2004.tif No Value 99
Tahun 2004-2005
Tutupan Hutan 1 38 115 1 267301 tutupan_hutan_2005.tif
Non Hutan 140 137 66 8c8942
Penambahan Hutan
1 53 145 255 3591FF penambahan_hutan_2004-
2005.tif Penyusutan Hutan
1 241 176 110 F1B06E penyusutan_hutan_2004-
2005.tif No Value 99
Tahun 2005-2006
Tutupan Hutan 1 38 115 1 267301 tutupan_hutan_2006.tif
Non Hutan 140 137 66 8c8942
Penambahan Hutan
1 103 130 222 6782DE penambahan_hutan_2005-
2006.tif Penyusutan Hutan
1 250 18 255 FA12FF penyusutan_hutan_2005-
2006.tif No Value 99
Tabel 4-3: DAFTAR NAMA KELAS DAN NILAI WARNA INFORMASI TUTUPAN HUTAN DAN
PERUBAHANNYA TAHUN 2006 – 2009
KELAS VALUE NILAI WARNA
NAMA FILE R G B Hexa Warna
Tahun 2006-2007
Tutupan Hutan 1 38 115 1
267301
tutupan_hutan_2007.tif
Non Hutan 140 137 66 8c8942
Penambahan Hutan
1 129 15 225 810FE
1 penambahan_hutan_2006-
2007.tif Penyusutan Hutan
1 233 03 126 E9037
E penyusutan_hutan_2006-
2007.tif No Value 99
Tahun 2007-2008
Tutupan Hutan 1 38 115 1
267301
tutupan_hutan_2008.tif
Non Hutan 140 137 66 8c8942
Penambahan Hutan
1 88 65 160 5841A
0 penambahan_hutan_2007-
2008.tif Penyusutan Hutan
1 134 00 118 86007
6 penyusutan_hutan_2007-
2008.tif No Value 99
Tahun 2008-2009
Tutupan Hutan 1 38 115 1
267301
tutupan_hutan_2009.tif
Non Hutan 140 137 66 8c8942
Penambahan Hutan
1 53 09 209 3509D
1 penambahan_hutan_2008-
2009.tif Penyusutan Hutan
1 255 255 03 FFFF0
3 penyusutan_hutan_2008-
2009.tif No Value 99
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114
108
4.2 Integrasi dan Konfigurasi Layer
Informasi
Integrasi dan konfigurasi Layer
Informasi Tutupan Hutan dan
Perubahannya ke dalam sistem
penyajian dan visualisai spasial dinamis
dilakukan konfigurasi pada Obyek MAP
yang merupakan bagian dari file
incas.map, ditunjukkan seperti pada
Gambar 4-1.
Konfigurasi obyek MAP tersebut
mendefinisikan parameter-parameter
yang berlaku umum untuk keseluruhan
informasi tutupan hutan dan
perubahannya. Penggunaan parameter
konfigurasi di atas dan fungsinya adalah
sebagai berikut: EXTENT mendefinisikan
batas koordinat peta, yaitu 94.0, -12.0,
141.0 dan 7.0; UNITS mendefinisikan
satuan koordinat peta, yaitu Decimal
Degree (DD); SIZE mendefinisikan
ukuran peta dalam satuan piksel (600
lebar, 500 tinggi peta); SHAPEPATH
mendefinisikan direktori data peta
berada; RESOLUTION mendefinisikan
resolusi keluaran, 90 piksel per inch;
SYMBOLSET dan FONTSET mendefinisi-
kan file simbol dan file font; PROJECTION
mendefinisikan sistem proyeksi
("init=epsg:4326"); dan REFERENCE,
mendefinisikan karakteristik indeks
peta.
4.2.1 Integrasi dan konfigurasi layer
tutupan hutan
Hasil integrasi Layer Informasi
Tutupan Hutan tahun 2007 ditunjukkan
pada Gambar 4-2, dilakukan dengan file
tutupan_hutan_2007.map, ditunjukkan
pada Gambar 4-3. Konfigurasi
pengaturan Kelas, Nama dan Nilai
Warna Layer Informasi Tutupan Hutan
dilakukan pada Objek LAYER dengan file
tutupan_hutan_xxxx.map, dimana xxxx
adalah tahun. Pada Layer Tutupan
Hutan tahun 2007 kelas “Hutan”, warna
(COLOR 38 115 1) dan “Non Hutan”,
warna (COLOR 140 137 66) mengacu
pada Tabel 4-3.
Gambar 4-1: Konfigurasi Integrasi Informasi Tutupan Hutan
Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)
109
Gambar 4-2: Layer Informasi Tutupan Hutan Tahun 2007 [LAPAN – pusfatja.lapan.go.id]
Gambar 4-3: Konfigurasi Layer Informasi Tutupan Hutan Tahun 2007
4.2.2 Integrasi dan konfigurasi layer
penyusutan dan penambahan
hutan
Konfigurasi Pengaturan Kelas,
Nama dan Warna Layer Penyusutan dan
Penambahan Hutan dilakukan pada
Obyek LAYER dengan file perubahan_
hutan_xxxx_yyyy.map periode tahun
xxxx - yyyy.
Integrasi Layer Informasi
Penyusutan dan Penambahan Hutan
antara tahun 2007 sampai dengan
tahun 2008 dilakukan dengan file
perubahan _ hutan _ 2007 _ 2008.map
ditunjukkan seperti pada Gambar 4-4,
dan hasil ditunjukkan seperti pada
Gambar 4-5.
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114
110
Pada Layer Penyusutan Hutan
terdapat Kelas “Tahun 2007_2008”,
warna (COLOR 25018255) dan Layer
Penambahan Hutan terdapat Kelas
“Tahun 2007_2008”, warna (COLOR 103
130 255) mengacu pada Tabel 4-3.
4.3 Informasi Tutupan Hutan dan
Perubahannya Dalam Portal SPBN
Bagian ini menjelaskan proses
pengoperasian penyajian dan visualisasi
spasial dinamis informasi tutupan
hutan dan perubahannya dalam SPBN.
Sistem operasional mampu memberikan
kemudahan akses secara on line dan
berkelanjutan dalam upaya memenuhi
kebutuhan para pengguna di berbagai
sektor pembangunan.
Berikut ini langkah-langkah
pengoperasian sistem ditunjukkan melalui
operasi fungsi-fungsi sistem pemetaan
web atau fungsi-fungsi operasi peta
dengan akses ke internet melalui web
browser.
4.3.1 Halaman utama
Sistem dapat diakses secara on
line melalui situs web resmi Pusfatja -
LAPAN yaitu http://pusfatja.lapan.go.id.
Dalam halaman utama tersebut
terdapat pilihan menu utama untuk
mengakses muatan informasi situs web
lebih lanjut.
Pengguna dapat menggunakan
menu SISDAL – Kehutanan - Informasi
Tutupan Hutan dan Perubahannya
untuk menjalankan sistem penyajian
dan visualisasi spasial. Tampilan
halaman utama sistem penyajian dan
visualisasi spasial dinamis informasi
tutupan hutan dan perubahannya
ditunjukkan seperti pada Gambar 4-5.
Gambar 4-4: Konfigurasi Layer Penyusutan Hutan Tahun 2007 – 2008
Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)
111
Gambar 4-5: Halaman Utama Sistem Penyajian dan Visualisasi Spasial Dinamis Informasi Tutupan
Hutan dan Perubahannya (LAPAN – pusfatja.lapan.go.id)
Halaman utama merupakan
antarmuka (interface) pengguna sistem
penyajian dan visualisasi spasial
dinamis, terdiri atas lima bagian, yaitu:
Header Frame, di bagian paling atas,
berisi informasi tentang logo dan judul
yaitu logo ”LAPAN” dan “Tutupan
Hutan dan Perubahannya di
Indonesia”,
Toolsbar, di bagian atas tengah, berisi
informasi tentang tools perintah untuk
melaksanakan operasi fungsi-fungsi
penyajian dan visualisasi spasial
dinamis,
Window Data Frame, di bagian kanan,
menunjukkan penyajian dan
visualisasi spasial dinamis informasi
tutupan hutan dan perubahannya,
Window Table of Contents (TOC) atau
Layer Manajer, di bagian kiri atas,
berisi informasi tentang layer tutupan
hutan dan perubahannya periode
tahun 2001-2009,
Windows Map Reference, di bagian kiri
bawah, berisi informasi tentang Insert
Map.
4.3.2 Pengelolaan penyajian informasi
Informasi tutupan hutan dan
perubahannya tercermin pada peta
tematik dijital berupa layers. Layer
Manajer digunakan untuk mengaktifkan
(check) atau menonaktifkan (uncheck).
Pengaturan transparansi layer melalui
Transparancy Control Slider dengan
menggeser ke arah kiri menuju 100 atau
kanan menuju 0. Gambar 4-6
menunjukkan hasil operasi meng-
aktifkan semua layer dari Group layers
Tutupan Hutan dan Perubahan Hutan
periode tahun 2001– 2009.
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114
112
Gambar 4-6: Penyajian Semua Informasi Tutupan dan Perubahan Hutan Periode Tahun 2001 – 2009
(LAPAN – pusfatja.lapan.go.id)
Gambar 4-7: Toolsbar sistem Penyajian dan Visualisasi Spasial Dinamis Informasi Tutupan Hutan
dan Perubahannya
4.3.3 Pengelolaan visualisasi spasial
dinamis
Operasi visualisasi spasial
dinamis informasi ini menggunakan
antarmuka pengguna, berupa tombol
pilihan atau navigasi pada Toolbar.
Antarmuka tersebut memungkinkan
pengguna dapat secara mudah
berinteraksi menjalankan operasi
fungsi-fungsi sistem pemetaan web atau
penyajian dan visualisasi spasial
dinamis informasi tutupan hutan dan
perubahannya.
Tampilan antarmuka Toolbar
penyajian dan visualisasi spasial
dinamis seperti ditunjukkan pada
Gambar 4-7, terdiri atas:
Tombol (Home), membuka seluruh
wilayah cakupan tampilan peta pada
layar,
Tombol (Back), kembali kepada
tampilan peta satu langkah
sebelumnya,
Tombol (Forward), kembali kepada
tampilan peta satu langkah setelahnya,
Tombol (Zoom In), memperbesar
pada suatu lokasi yang diinginkan
pada peta,
Tombol (Zoom Out), memperkecil
pada suatu lokasi yang diinginkan
pada peta,
Tombol (Pan), menggeser tampilan
kearah yang diinginkan.
Untuk memperbesar atau
memperkecil tampilan informasi
digunakan tombol Zoom-in atau Zoom-
out atau dapat menggunakan ”Zoom
Control Slider” yang terletak di bagian
kiri tengah halaman utama, dengan
menggeser Control Slider ke atas atau ke
bawah. Gambar 4-8 dan Gambar 4-9
menunjukkan proses dan hasil operasi
memperbesar tampilan informasi
menggunakan tombol Zoom In.
Pengintegrasian dan Penyajian Spasial Dinamis ... (Sarno)
113
Gambar 4-8: Proses Zoom-in bagian Informasi Tutupan Hutan dan Perubahannya
Gambar 4-9: Hasil Proses Zoom-in Informasi Tutupan Hutan dan Perubahannya [LAPAN –
pusfatja.lapan.go.id]
5 PENUTUP
Pengintegrasian dan penyajian
spasial dinamis informasi tutupan
hutan dan perubahannya di Indonesia
hasil kegiatan penginderaan jauh INCAS
dalam SPBN telah berhasil dilaksanakan.
Sistem penyajian dan visualisasi spasial
dinamis mempunyai antarmuka
pengguna, berupa tombol pilihan atau
navigasi pada toolbar untuk menjalankan
operasi fungsi-fungsi sistem pemetaan
web atau penyajian dan visualisasi
spasial dinamis. Antarmuka tersebut
memungkinkan pengguna dapat secara
mudah melakukan pengelolaan penyajian
dan visualisasi spasial dinamis informasi
tutupan hutan dan perubahannya.
Sistem operasional memberikan
kemudahan akses secara online dan
dapat diakses melalui situs web Pusfatja
LAPAN http://pusfatja.lapan.go.id.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih sebesar-besarnya
disampaikan kepada: Bpk Winanto atas
dukungan administrasi; Mba Esti dan
Berita Dirgantara Vol. 16 No. 2 Desember 2015:99-114
114
Mas Chul atas dukungan teknis dan
kerja sama team; dan para kolega
lainnya atas kebersamaan dalam
pelaksanaan kegitan ini.
DAFTAR RUJUKAN
Brian, N.H., Open Source Software, Web
Services, and Internet-Based
Geographic Information System
Development, School of Information
Science, Claremont Graduate
University, 130 East Ninth Street,
Claremont, CA 91711, http://
www.cartogis.org/docs/proceedin
gs/2005/hilton.pdf., (Agustus
2013).
Geoserver, Geoserver Documentation,
http:// docs.geoserver.org/,
(Agustus 2013).
Hazzard, E., 2011. Openlayers 2.10
Beginner’s Guide, UK., Packt
Publishing.
Kropla, B., 2005. Beginning Mapserver :
Open Source GIS Development,
USA., Appres.
LAPAN, Program Penginderaan Jauh
INCAS: Metodologi dan Hasil,
Versi 1., LAPAN-IAFCP., Jakarta,
2014.
LAPAN-pusfatja.lapan.go.id., [SISDAL].,
http://pusfatja.lapan.go.id.,
(November 2014).
Map Server., [MapServer Documentation].,
http://www.mapserver.org/MapS
erver.pdf., (Agustus 2013).
Obe, Regina O., et. al.,. 2011. PostGIS
in Action, USA., Manning.
PMapper., [User Manual v. 4.x.].,http://
svn.pmapper.net/trac/wiki/DocM
anual/., (Agustus 2013).
Post GIS, PostGIS 1.5 Manual. http:
//postgis.net/docs/manual-1.5/,
(Agustus 2013).
Ticheler, J., [SDI-Architecture]., http://
geonetwork-opensource.org/
download/SDI-Architecture.ppt,
2007.
Tyler M., 2005. Web Mapping
Illustrated., USA., O’Reilly Media.
Yewondwossen, A., Daniel, M., 2004.
PHP Mapscript., DM Solutions
Group Inc., http:// dl.maptools.
org/ dl/ omsug/ osgis2004/,
(Agustus 2007).
PEDOMAN BAGI PENULIS
BERITA DIRGANTARA
Berita Dirgantara adalah majalah ilmiah semi populer bersifat nasional untuk pemasyarakatan hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah di bidang sains, teknologi, dan pemanfaatan dirgantara serta kebijakan kedirgantaraan yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sifat semi populer berarti istilah teknis dijelaskan secara lebih populer dan tidak menggunakan rumus-rumus, kecuali rumus sederhana yang mudah dipahami awam. Gambar dan ilustrasi yang lebih menjelaskan isi karya tulis ilmiah sangat diharapkan.
Berita Dirgantara mengundang para penulis untuk mengirimkan naskah atau karya asli hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah yang belum dipublikasikan atau dikirimkan ke media publikasi manapun. Naskah yang dikirim akan dievaluasi Dewan Penyunting dari segi keaslian (orisinalitas), kesahihan (validitas) ilmiah, dan kejelasan pemaparan. Penulis berhak menanggapi hasil evaluasi. Dewan Penyunting berhak menyempurnakan naskah tanpa mengurangi isi/maknanya. Naskah yang tidak dimuat, dikembalikan kepada penulis dengan alasan penolakannya. Penulis yang naskahnya dimuat mendapat tiga eksemplar dari nomor yang diterbitkan. Bagi naskah yang ditulis kolektif, hanya disediakan dua eksemplar untuk masing-masing penulis. Ketentuan bagi penulis pada Berita Dirgantara ini adalah sebagai berikut.
a. Pengiriman naskah
Naskah dikirim melalui e-mail ([email protected]) atau file digital, dan ditujukan ke Sekretariat Dewan Penyunting Berita Dirgantara dengan alamat, Bagian Publikasi dan Promosi LAPAN Jalan Pemuda Persil No. 1, Jakarta Timur 13220. Naskah diketik dengan MS Word dengan Bookman Old Styles font 11 pt pada kertas A4 dengan spasi ganda. Khusus untuk judul naskah ditulis huruf besar dengan font 16 pt. Penulis yang naskahnya diterima untuk dipublikasikan, file dikirim melalui e-mail ke Sekretariat Dewan Penyunting ([email protected]; [email protected]).
b. Sistematika penulisan
Naskah terdiri dari halaman judul dan isi karya tulis ilmiah. Halaman judul berisi judul yang ringkas tanpa singkatan, nama (para) penulis tanpa gelar, instansi/perguruan tinggi, dan e-mail penulis utama. Halaman isi karya tulis ilmiah terdiri dari (a) judul, (b) ringkasan dalam bahasa Indonesia tidak lebih dari 200 kata dan tersusun dalam satu alinea, (c) batang tubuh naskah yang terdiri dari 1. Pendahuluan, 2. Bab-bab bahasan, 3. Penutup, dan (d) daftar rujukan.
c. Gambar dan Tabel
Gambar atau foto harus dapat direproduksi dengan tajam dan jelas. Gambar atau foto warna hanya diterima dengan pertimbangan khusus. Gambar dan tabel dapat dimasukkan dalam batang tubuh atau dalam lampiran tersendiri. Untuk kejelasan penempatan dalam jurnal, gambar dan tabel harus diberi nomor sesuai nomor bab dan nomor urut pada bab tersebut, misalnya Gambar 2-2 atau Tabel 2-1 yang disertai keterangan singkat gambar dan judul dari tabel yang bersangkutan.
d. Persamaan, Satuan, dan Data Numerik
Persamaan sederhana diketik atau ditulis tangan (untuk simbol khusus) dan diberi nomor di sebelah kanannya sesuai nomor bab dan nomor urutnya, misalnya persamaan (1-2). Satuan yang digunakan adalah satuan internasional (CGS atau MKS) atau yang lazim pada cabang ilmunya. Data numerik menggunakan ejaan Bahasa Indonesia dengan menggunakan koma untuk angka desimal.
e. Rujukan PP No. 74, 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang: Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta. Haryani, N. S., Hidayat, Sulma, S., dan Pasaribu, J. M., 2014. Deteksi Limbah Acid Sludge Menggunakan
Metode Red Edge Berbasis Data Penginderaan Jauh, Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan data Citra Digital, Vol 11 No.2 Desember 2014.
Center for International Forestry Research [CIFOR], 2012. Forests and Climate Change Mitigation : What Policymakers Should Know, Fact Sheet. No. 5, November 2012, MITIGATION, Key of Research Findings. CGIAR Research Programme.
The National Geophysical Data Center (NOAA)-NASA. Sumber data VNF, 2014. Sumber: http:// ngdc. noaa. gov/ eog/ viirs/download_2014_indonesia.html) atau (Sumber LAPAN: http://modis-catalog.lapan. go.id/ monitoring/ katalognpp#).
http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov/data_prod/prog_sect11_3.html