Upload
ahmad-mukhroji-wiratama
View
131
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
FIQIH MUNAKAHAT
DISUSUN
OLEH:
Ahmad Mukhroji Wiratama(11 2013 152 P)Ellen Agustian(11 2012 067)
Herdi Anto(11 2012 085)
Ilham Kurniawan(11 2012 055)
M.Sofyan Ansori(11 2012 067)
FAKULTAS TEKNIK SIPILUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2013
Pembahasan
A. PENGERTIAN
1. Definisi Pernikahan Menurut Etimologi
Kata pernikahan berasal dari kata nikah yang semakna dengan kawin atau zawaj dalam
bahasa arab. Dalam kamus Al-Munawwir, kata nikah disebut dengan an-nikah (النكاح) dan az-
ziwaj ,(الزواج) az-zawj atau az-zijah. Secara harfiah, an-nikh berarti al-wath’u .(الوطء) Ad-
dhammu (الضم) dan al-jam’u (الجمع). Al-wath’u berasal dari kata wathi’a – yatha’u – wath’an (
- – وطأ يطأ (وطأ artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki,
menggauli dan bersetubuh atau bersenggama. Ad-dhammu yang terambil dari akar kata dhamma -
yadhummu – dhamman ( - – ضما يضم (ضم secara harfiah berarti mengumpulkan, memegang,
menggenggam, menyatuka, menggabungkan, menjumlahkan, menyandarkan, merangkul, memluk
dan menjumlahkan, juga berarti bersikap lunak dan ramah. Sedangkan al-jam’u yang berasal dari
kata jama’a – yajma’u – jam’an ( - – جمعا يجمع (جمع berarti mengumpulkan, menghimpun,
menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. Itulah sebabnya mengapa bersetubuh
atau bersenggama dalam istilah fiqh disebut dengan al-jima’ mengingat persetubuhan secara
langsung mengisyaratkan semua aktivitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari kata
al-jam’u. sebutan lain buat perkawinan adalah az-zawaj, az-ziwaj dan az-zijah. Terambil dari akar
kata zaja – yazuju – zaujan ( زوجا – - يزوج yang secara harfiah berarti menghasut, menaburkan (زاج
benih perselisihan dan mengadu domba. Namun yag dimaksud dengan az-zawaj / az-ziwaj di sini
adalah at-tazwij yang mulanya terambil dari kata zawwaja – yuzawwiju – tazwijan ( يزوKج – - زوKج
) ”dalam bentuk wazan “fa’ala – yufa’ilu – taf’ilan (تزويجا تفعيال- - يفعKل yang secara harfiah (فعKل
berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri.1
2. Definisi Pernikahan Menurut Terminologi
Menurut zakiah daradjat, perkawinan adalah suatu akad atau perikatan untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan
kebahagian hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih saying dengan cara yang
diridhai allah SWT. Menurut zahry hamid, yang dinamakan nikah menurut syara’ ialah: “akad (ijab
1 Ahmad Warson Al-Munawwir. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. (Yogyakarta: Pustaka Progressif). 1997. hlm. 1461.
qobul) antara wali calon istri dan mempelai laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi
rukun dan syaratnya.”2
Menurut hukum islam, pernikahan atau perkawinan ialah: “Suatu ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk
berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hokum syariat islam”.
Dalam pasal I Bab I Undang-undang No. 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974 dinyatakan:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Menurut KHI pasal 2 bab II (Dasar-dasar Perkawinan): Perkawinan menurut hokum islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholiidhan untuk menaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Definisi pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan
mahram.
Firman Allah SWT :
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (An-Nisa : 3)
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat
mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang
sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan
perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang
lainnya.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan
2 Zahry Hamid. Pokok-Pokok Hokum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia. Yogyakarta: Bina Cipta. 1978. hlm. 1.
kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara
dua keluarga. Betapa tidak? Dari baiknya pergaulan antara si istri dengan suaminya, kasih-
mengasihi, akan berpindah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya,
sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-tolong sesamanya dalam
menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan penikahan
seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.
JENIS NIKAH
Imam Daruquthni mengeluarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwa ‘Aisyah ra menyebutkan
adanya 4 jenis nikah pada masa jahiliyah (sebelum Muhammad saw menjadi rasul) :
1. Perkawinan Pinang, yaitu seorang pria datang meminang seorang wanita baik secara langsung atau
melalui wali si wanita, kemudian menikahinya dengan mahar.
2. Perkawinan Gadai/Pinjam, yaitu seorang isteri yang diperintah suaminya untuk berkumpul dengan pria
lain hingga hamil, demi mendapatkan keturunan atau perbaikan keturunan.
3. Poliandri, yaitu sejumlah pria (biasanya kurang dari 10 orang) secara bergilir mencampuri seorang
wanita dengan kesepakatan bahwa jika wanita itu hamil dan melahirkan, maka kesemua pria tersebut harus
ridha bila kemudian salah satu dari merekalah yang ditunjuk oleh si wanita sebagai ayah dari anak tersebut.
4. Pelacur, yaitu seorang wanita yang memasang bendera hitam di depan rumahnya sebagai tanda siapapun
yang berkehendak kepadanya boleh masuk dan menggaulinya. Bila hamil dan melahirkan, kemudian si
wanita mengumpulkan seluruh pria yang pernah menyetubuhinya dan memanggil seorang dukun ahli
firasat untuk meneliti nasab anak itu lalu memberikan sang bayi kepada sang ayah yang harus tak boleh
menolak.
Pada masa Muhammad saw telah menjadi rasulullah, muncul pula jenis-jenis nikah dalam bentuk lain :
5. Nikah Syighar, yaitu seorang wali menikahkan putrinya kepada seorang pria dengan syarat pria tersebut
menikahkannya kepada putrinya dengan tanpa mahar.
6. Nikah Mut’ah, yaitu pria yang menikahi seorang wanita untuk jangka waktu tertentu.
7. Nikah Muhallil, yaitu seorang pria A yang menyuruh/membayar (muhallal) seorang pria B (muhallil)
untuk menikahi wanita yang pernah dinikahi dan dithalaq sebanyak tiga kali agar dapat dinikahi pria A
setelah diceraikan oleh pria B.
8. Nikah Ahli Kitab, yaitu seorang pria mu’min yang menikahi wanita beragama samawi (Yahudi atau
Nashrani).
Perhatikan : Hanya jenis nikah nomor 1 (Perkawinan Pinang) yang dihalalkan dalam syari’at Islam.
KHITBAH
PENGERTIAN KHITBAH
secara bahasa : pinangan, lamaran.
secara syar’i : permintaan/perjanjian seorang pria untuk menikahi seorang wanita, baik secara langsung
maupun tak langsung
HIKMAH KHITBAH
1. Cara untuk saling mengenal antara calon pasangan suami isteri.
2. Cara untuk mengetahui tabiat, akhlaq dan kecenderungan masing-masing calon pasangan suami isteri.
3. Cara untuk mencapai kemufakatan kedua belah atas berbagai perkara yang prinsipil dan teknis dalam
membentuk keluarga.
JENIS KHITBAH
1. Secara langsung : pinangan dilakukan dengan permintaan yang lugas.
2. Secara tak langsung : pinangan dilakukan dengan permintaan dengan bahasa kiasan atau sindiran.
BEBERAPA KETENTUAN DAN ADAB KHITBAH
Pertama : KHITBAH BUKANLAH AQAD NIKAH
Khitbah bukanlah pernikahan itu sendiri. Ia tak lain hanyalah janji untuk menikah, sehingga tidak akan ada
konsekwensi hukum pernikahan, seperti misalnya : halalnya khalwat, halalnya senggama, kewajiban
nafkah, dsb. Jadi, interaksi antara keduanya haruslah terpelihara dari pelanggaran batas-batas syari’at.
Tunangan (saling bertukar cincin) bukanlah penghalal hubungan. Pemberian apapun yang mengiringinya
dipandang syari’at sebagai sesuatu yang tidak boleh mengikat dan tak dapat dikenakan syarat apapun.
Kedua : KHITBAH DILAKUKAN DENGAN TETAP MEMELIHARA PANDANGAN
Dr. Yusuf Al Qaradhawi menjelaskan muatan QS. An Nuur (24) : 30-31 bahwa pada dasarnya memandang
lawan jenis yang bukan mahram adalah dibolehkan dengan mematuhi 2 syarat :
1. tidak didasari oleh syahwat
2. tidak memanipulasi kelezatan dari pandangan tersebut.
Kaidah tersebut berlaku pula dalam khitbah. Syari’at mengarahkan memandang dalam khitbah melalui dua
cara :
1. mengutus seorang wanita yang dipercaya untuk melihat dan melakukan investigasi
2. melihat/menemui langsung
Ketiga : KHITBAH DI ATAS KHITBAH ADALAH HARAM
Para ‘ulama bersepakat mengharamkan khitbah atas seorang wanita yang telah dikhitbah sebelumnya oleh
orang lain.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah pernah berkata : “Janganlah seorang diantaramu membeli apa
yang telah dibeli oleh saudaranya dan jangan pula mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh
saudaranya, kecuali ia mengizinkan.” (HR Muslim dengan sanad shahih). Dalam matan hadits riwayat
Bukhari : “Rasulullah saw melarang seorang membeli apa yang telah dibeli oleh saudaranya dan melarang
mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh saudaranya, hingga ia meninggalkannya atau
mengizinkannya.”
Keempat : KHITBAH DITERIMA/DITOLAK DIDASARKAN PADA KEPUTUSAN SEORANG GADIS
Seorang gadis memiliki hak menerima atau menolak pinangan yang diajukan kepadanya. Walinya tidak
berhak memaksakan kehendaknya kepada sang gadis. Diantara syarat sah pernikahan yang paling asasi
adalah kerelaan calon isteri.
Rasulullah bersabda : “Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri dan gadis dimintakan izinnya,
dan izinnya adalah diamnya.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam periwayatan lainnya : “Tidak boleh dinikahkan
seorang janda hingga ia diajak musyawarah dan tidak boleh dinikahkan seorang gadis hingga diminta
izinnya. Para shahabat bertanya : “Ya Rasulullah, lalu bagaimana izinnya ?” Rasulullah saw menjawab : “Ia
diam.” (HR. Jama’ah)
Kebalikannya, bila seorang gadis telah menyetujui pinangan yang diajukan kepadanya, maka walinya tidak
boleh menunda untuk menyegerakan pernikahannya.
Rasulullah bersabda : “Tiga yang jangan diperlambat : Shalat bila sudah waktunya, jenazah bila sudah
didatangkan dan gadis bila sudah menemukan calon suami yang sekufu’ .” (HR. Tirmidzi)
Kelima : KHITBAH DITERIMA/DITOLAK DIDASARKAN PADA KUFU’(KESEPADANAN)
Khitbah dalam Islam lebih menitikberatkan kesepadanan calon suami dengan calon isteri dalam aspek diin
dan akhlaq (QS. An Nuur : 3 & 26), selain aspek sosial, ekonomi, ilmu, dsb.
Keenam : KHITBAH MEMPERKENANKAN HADIAH TAK BERSYARAT
Diperbolehkan adanya tukar cincin ataupun benda lain dalam khitbah, bila maksudnya sebatas saling
memberikan hadiah tak mengikat/tak bersyarat dan selama tak ada anggapan bahwa pemberian itu
menghalalkan hukum suami-isteri.
Rasulullah bersabda : “Wanita manapun yang dinikahi dengan mahar dan hadiah sebelum ikatan nikah
maka mahar itu baginya dan bagi walinya jika ia diberikan sesudahnya.” (HR. Al Khomsah kecuali
Tirmidzi)
B. HUKUM NIKAH
1. Jaiz (diperbolehkan), ini asal hukumnya.2. Sunat, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dan lain-lainnya.
3. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada
kejahatan (zina).
4. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.
5. Haram, bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya.
Hadits Nabi SAW:
يستطع لم ومن للفرج وأحصن للبصر أغض فإنه فليتزوج الباءة منكم استطاع من الشباب معشر يا
( الجماعة ( رواه وجاء له فإنه بالصوم فعليه
“Hai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu untuk menikah, maka menikahlah,
karena sesungguhnya menikah itu bias memelihara pandangan dan menjaga farji dari maksiat dan
barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puaa itu
adalah tameng dari maksiat”
Para fuqaha berbeda pendapat tentang status hukum asal dari perkawinan. Menurut pendapat
yang terbanyak dari fuqaha madzhab Syafi’I, hukum nikah adalah mubah (boleh), menurut
madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali hukum nikah adalah sunnah, sedangkan menurut madzhab
Dhahiry dan Ibnu Hazm hukum nikah adalah wajib dilakukan sekali seumur hidup. Adapun hukum
melaksanakan pernikahan jika dihubungkan dengan kondisi seseorang serta niat dan akibat-
akibatnya, maka tidak terdapat perselisihan di antara para ulama’, bahwa hukumnya ada
beberapa macam, yaitu:
Pertama: perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai keinginan kuat untuk
kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban
dalam hidup berkeluarga, serta ada kekhawatiran, apabila tidak kawin, ia akan mudah tergelincir
untuk berbuat zina. Alasan ketentuan tersebut adalah sebagi berikut: menjaga diri dari perbuatan
zina adalah wajib. Apabila bagi seseorang tertentu penjagaan diri itu hanya akan terjamin dengan
jalan kawin, bagi orang itu, melakukan perkawinan hukumnya wajib. Qaidah fiqhiyah mengatakan,
“Sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menjalankan suatu kewajiban, hukumnya adalah wajib”;
atau dengan kata lain, “Apabila suatu kewajiban tidak akan terpenuhi tanpa adanya suatu hal, hal
itu wajib pula hukumnya.” Penerapan kaidah tersebut dalam masalah perkawinan adalah apabila
seseorang hanya dapat menjaga diri dari perbuatan zina dengan jalan perkawinan, baginya
perkawinan itu wajib hukumnya.
Kedua: Perkawinan hukumnya sunnah bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk
kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban
dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina.
Alasan hukum sunnah ini diperoleh dari ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi sebagaimana
telah disebutkan dalam hal islam menganjurkan perkawinan di atas. Kebanyakan ulama
berpendapat dengan beralasan ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi itu, hukum dasar
perkawinan adalah sunnah. Ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hukum asal perkawinan
adalah mubah. Ulama-ulama madzhab Dhahiri berpendapat bahwa perkawinan wajib dilakukan
bagi orang yang telah mampu tanpa dikaitkan adanya kekhawatiran akan berbuat zina apabila tidak
kawin.
Ketiga: perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan serta tidak
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup
perkawinan sehingga apabila kawin juga akan berakibat menyusahkan istrinya. Hadis Nabi
mengajarkan agar orang jangan sampai berbuat yang berakibat menyusahkan diri sendiri dan orang
lain. Al-Qurthubi dalam kitabnya Jami’il Ahkam Al-Quran (Tafsir Al-Qurthubi) berpendapat
bahwa apabila calon suami menyadari tidak akan mampu memenuhi kewajiban nafkah dan
membayar mahar (maskawin) untuk istrinya, atau kewajiban lain yang menjadi hak istri, tidak halal
mengawini seseorang kecuali apabila ia menjelaskan keadaannya kepada calon istri, atau ia
bersabar sampai merasa akan dapat memenuhi hak-hak istrinya, barulah ia boleh melakukan
perkawinan. Lebih lanjut Al-Qurthubi dalam kitabnya Jami’il Ahkam Al-Quran mengatakan juga
bahwa orang yang mengetahui pada dirinya terdapat penyakit yang dapat menghalangi
kemungkinan melakukan hubungan dengan calon istri harus memberi keterangan kepada calon istri
agar pihak istri tidak merasa tertipu. Apa yang dikatakan Al-Qurtubi itu sangat penting artinya,
untuk kesuksesan atau kegagalan hidup berkeluarga. Dalam bentuk apa pun, penipuan itu harus
dihindari, bukan saja cacat atau penyakit yang dialami oleh calon suami, tetapi juga nasab
keturunan, kekayaan, kedudukan, dan pekerjaan jangan sampai tidak dijelaskan agar tidak
berakibat pihak istri merasa tertipu.
Keempat: perkawinan hukumnya makruh bagi seseorang yang mampu dalam segi materiil,
cukup mempunyai daya tahan mental dan agama sehingga tidak khawatir akan tersesat dalam
perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhawatiran tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya
kepada istrinya, meskipun tidak akan berakibat menyusahkan istri, misalnya, calon istri tergolong
kaya atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk menikah. Imam Ghazali berpendapat
bahwa apabila suatu perkawinan dikhawatirkan akan berakibat mengurangi semangat beribadah
kepada Allah dan semangat bekerja, hukumnya lebih makruh daripada yang dsebutkan di atas.
Kelima: perkawinan hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai harta, tetapi apabila
tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata kawin pun tidak merasa
khawatir akan menyia-nyiakan kewajibannya terhadap istri. Perkawinan dilakukan sekedar untuk
memenuhi syahwat dan kesenangan, bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga
keselamatan hidup beragama.3
3 Ahmad Azhar Basyir. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. 2004. Hal. 16.
C. RUKUN NIKAH
1. Shigat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali,
“Saya nukahkan engkau dengan anak saya bernama…, Jawab mempelai laki-laki,
“Saya terima menikahi….,.
Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafadz nikah, tazwij, atau terjemahan
dari keduanya.
Sabda Rasulullah SAW, :
“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya kamu ambil mereka
dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan kalimat
Allah.” (Riwayat Muslim)
Sighat (akad) yang terdiri dari Ijab dan Qabul. Ijab yaitu perkataan dari pihak wali perempuan,
seperti kata wali “ Saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama si Fulanah dengan mahar …
tunai/kredit”,
sedangkan Qabul adalah ucapan/jawaban pihak mempelai laki-laki atas ijab dari wali, seperti
ucapannya : “Saya terima nikahnya si Fulanah dengan mahar yang disebutkan, tunai/kredit”.
Sabda Rasulullah saw sebagai berikut :
mنnة ع nشo وmلt قnالn قnالnتm عnائ tس nا : م.ص الله رnمv nي nةw أ ا nرmام mتnحn nك mرo ن oغnي oذmنo ب {هnا ا oي هnا وnل tاحn oك nاطoل~ فnن ب
Artinya :
Barang siapa diantara wanita yang nikah dengan tidak diizinkan oleh walinya, maka
perkawinannya batal.(H.R. 4 orang ahli hadis kecuali Nasai)
2. Wali (wali si perempuan). Keterangannya adalah sabda Nabi SAW :
mنnة ع nشo وmلt قnالn قnالnتm عnائ tس nا : م.ص الله رnمv nي nةw أ ا nرmام mتnحn nك mرo ن oغnي oذmنo ب {هnا ا oي هnا وnل tاحn oك nاطoل~ فnن ب
“Barang siapa di antara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka
pernikahannya batal.” (Riwayat empat orang ahli hadist, kecuali Nasai)
3. Dua orang saksi.
Sabda Nabi SAW :
mنnة ع nشo ضoيn عnائ nر tا اللهnهm �بoى عnنo عnن n : قnالn : م.ص الن nاحn ال oك � ن oال oي� ا oوnل اهoدnي ب nشnو wلmدnع) tاهnو nد رnمmحn mهnقoى أ nي )وnب
Artinya : Tidaklah sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil. (H.R. Ahmad dan Baihaqi)
D. SYARAT SAH NIKAH
Sebelum pernikahan dilaksanakan, ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak (calon suami dan calon istri ), yang disebut syarat agar kedua pernikahan itu sesuai dengan tujuannya. Adapun yang menjadi syarat nikah ialah :
a. Beragama Islam. Artinya, calon suami istri tersebut sebaiknya sesama muslim (Q.S. al-Baqarah (2) ayat 221)
مvؤmمoن~ mد~ nعnب وnل tوا tؤmمoن ي �ى حnت nينoكoر mشtمm ال tنكoحtوا ت n وnال mمt mك nت ب nجmعn أ mوn وnل wةn رoك mشvم م{ن ttرm خnي nة~ مvؤmمoن nمnة~ وnأل tؤmمoن� ي �ى حnت oاتn رoك mشtمm ال mكoحtوا nن ت n وnال
mمtه� nعnل ل oاس� oلن ل oهo nات ءnاي tن} nي tب وnي oهo oذmن oإ ب oة nرoفmغnمm وnال oة� mجnن ال oلnى إ nدmعtوا ي tاللهnو oار� الن oلnى إ nونtعmدn ي nكo nئ وmالt أ mمt nك nعmجnب أ mوn وnل wكoر mشvم م{ن ttرm ي nخ
{ nون tر� nذnك nت {221ي
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah : 221).
Tafsir Ayat : 221
Maksudnya, { n mكoحtوmا وnال nن ت } “Dan janganlah kamu menikahi” wanita-wanita, { oاتn رoك mشtمm ال
} “musyrik” selama mereka masih dalam kesyirikan mereka, { ى� tؤmمoن� حnت ي } “hingga mereka
beriman”; karena seorang wanita mukmin walaupun sangat jelek parasnya adalah lebih baik
daripada seorang wanita musyrik walaupun sangat cantik parasnya. Ini umum pada seluruh
wanita musyrik, lalu dikhususkan oleh ayat dalam surat al-Maidah tentang bolehnya menikahi
wanita ahli Kitab, sebagaimana Allah berfirman,
nنoم tاتn mمtحmصnن وnال oاتn mمtؤmمoن ال nنoم tاتn mمtحmصnن وnال mمtه� ل tvلoح mمt وnطnعnامtك mمt �ك ل tvلoح nابn mكoت ال tوا tوت أ nينoذ� ال tامnعnطnو tاتn {ب الط�ي tمt nك ل tحoل� أ nمmوn mي ال
mدnقnف oانnيمo mإل oا ب mرtفm nك ي وnمnن wانnدmخn أ �خoذoي مtت n وnال nينoحoاف nسtم nرm غnي nينo مtحmصoن هtن� nورtجt أ tمtوهtن� mت nي ءnات oذnا إ mمt oك mل قnب مoن nابn mكoت ال tوا tوت أ nينoذ� ال
{ nينoر oاسnخm ال nنoم oة nرoخn mأل ا فoي nوtهnو tهt عnمnل nطo {5حnب
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan
dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik.
Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum Islam). Maka
hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah : 5)
{ n mكoحtوا وnال nن mنn ت oي رoك mشtمm �ى ال tؤmمoن� حnت ي } “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman” Ini bersifat umum yang tidak ada
pengecualian di dalamnya. Kemudian Allah menyebutkan hikmah dalam hukum haramnya
seorang mukmin atau wanita mukmin menikah dengan selain agama mereka dalam
firmanNya, { nكo وmلئt nدmعtونn أ oلnى ي �ارo إ الن } “Mereka mengajak ke neraka”, yaitu, dalam perkataan-
perkataan, perbuatan-perbuatan, dan kondisi-kondisi mereka. Maka bergaul dengan mereka
adalah merupakan suatu yang bahaya, dan bahayanya bukanlah bahaya duniawi, akan tetapi
bahaya kesengsaraan yang abadi.
Dapat diambil kesimpulan dari alasan ayat melarang dari bergaul dengan setiap musyrik dan
pelaku bid’ah; karena jika menikah saja tidak boleh padahal memiliki maslahat yang begitu
besar, maka hanya sebatas bergaul saja pun harus lebih tidak boleh lagi, khususnya
pergaulan yang membawa kepada tingginya martabat orang musyrik tersebut atau
semacamnya di atas seorang muslim seperti pelayanan atau semacamnya.
Dalam firmanNya, { n tنكoحtوا وnال oينn ت رoك mشtمm ال } “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)” terdapat dalil tentang harus adanya wali dalam
nikah. [ tاللهnوا وtعmدn oلnى ي �ةo إ mجnن ةo ال nرoفmغnمm وnال ] “Sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan”,
maksudnya, menyeru hamba-hambaNya untuk memperoleh surga dan ampunan yang di
antara akibatnya adalah menjauhkan diri dari segala siksaan. Hal itu dengan cara mengajak
untuk melakukan sebab-sebabnya berupa amal shalih, bertaubat yang sungguh-sungguh,
berilmu yang bermanfaat dan mengamalkannya.
{ tن} nي tب oهo وnي nات آي } “Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya)” maksudnya,
hukum-hukumNya, dan hikmah-hikmahnya, { oاس� oلن �هtمm ل nعnل ونn ل tر� nذnك nت ي } “kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran.” Hal tersebut mewajibkan mereka untuk mengingat apa yang
telah mereka lupakan dan mengetahui apa yang tidak mereka ketahui serta mengerjakan apa
yang telah mereka lalaikan.
Pelajaran dari Ayat :
Diharamkan bagi seorang mukmin menikahi wanita musyrikah, kecuali wanita-wanita Ahli
Kitab (baik Yahudi ataupun Nashrani) sebagaimana di nyatakan dalam firman Allah Ta’ala
yang tersebut diatas (“…(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina
dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik….” (QS. Al-Maidah : 5)), akan tetapi walaupun
hal itu dibolehkan yang lebih utama adalah hendaknya seorang mukmin tidak menikah
dengan mereka (wanita ahli kitab), karena akan berakibat kepada anak keturunannya (akan
mengikuti agama dan akhlak ibunya yang musyrikah), atau bisa jadi berakibat buruk bagi
dirinya, karena kecantikan, kecerdasan, atau akhlaknya yang akan menjadikan laki-laki
tersebut hilang akal sehingga menyeretnya kepada kekufuran.
Terdapat kaidah ‘Berlakunya sebuah hukum itu tergantung ada atau tidak adanya
penyebab’, karena dalam firman Allah “..sebelum mereka beriman..”. Hal ini menunjukkan
bahwa ‘Ketika label –musyrikah- pada seseorang telah hilang maka halal dinikahi, dan
sebaliknya ketika label –musryikah- masih ada maka haram menikahinya’.
Ayat diatas menunjukkan bahwa seorang suami adalah ‘wali’ bagi dirinya
Diharamkan bagi seorang wanita muslimah menikah dengan seorang kafir secara mutlaq
tanpa terkecuali. Baik dari Ahli Kitab dari lainnya, dalam firman Allah yang lain
ditegaskan : “…. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu
tiada halal bagi mereka….” (QS. Al-Mumtahanah : 10)
Syarat adanya seorang wali bagi seorang wanita ketika menikah, sebagaimana
firmanNya “…Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) hingga mereka beriman…”, ayat tersebut ditujukan untuk para wali bagi wanita
mukminah, dengan demikian tidak sah hukumnya menikah tanpa wali. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan dalam sabda beliau, “Tidak ada nikah kecuali
dengan adanya wali”, dalam hadits shahih riwayat Abu Daud beliau bersabda, “Wanita
mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, batal, batal (3x).”
Ancaman terhadap berkasih sayang bersama orang-orang musyrik, bergaul atau bercampur
bersama mereka. Karena mereka mengajak kepada kekufuran dengan prilaku, ucapan dan
perbuatan mereka dengan demikian berarti mereka mengajak kepada neraka.
Wajibnya ber-muwaalah (berkasih sayang, setia) dengan orang-orang mukmin karena
mereka mengajak ke surga, dan ber-mu’aadah (memusuhi, benci) terhadap pelaku
kekufuran dan kesesatan karena mereka mengajak ke neraka.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa orang mukmin adalah lebih baik dari pada orang
musyrik, walaupun musyrik tersebut memilki sifat-sifat yang menakjubkan.
Menunjukkan bahwa keutamaan manusia adalah berbeda-beda, dan tidaklah mereka pada
derajat yang sama.
Ayat tersebut merupakan BANTAHAN bagi orang-orang yang mengatakan bahwa,
“Sesungguhnya Agama Islam adalah ‘Dinun musaawah’ (Agama kesetaraan)”, dan yang
mengherankan juga bahwa lafadz ‘AL-MUSAAWAAH’ tidaklah ada penetapannya didalam al-
Qur’an ataupun as-Sunnah, dan Allah Ta’ala juga tidak memerintahkan hal tersebut, tidak
pula menganjurkannya. Karena, jika engkau paksakan juga dengan lafadz ‘Al-
Musaawah’(kesetaraan), maka tentulah akan setara antara yang fasiq, adil, kafir, dan
mukmin, dan setara antara laki-laki dan wanita; itulah yang yang diinginkan oleh musuh-
musuh Islam terhadap kaum muslimin. Akan tetapi Islam telah mendatangkan kalimat yang
tepat, yang lebih baik dari kalimat ‘al-Musaawah’ dan tidak pula mengandung dugaan-
dugaan makna atau maksud yang bermacam-macam, yaitu lafadz AL-‘ADL Allah berfirman :
{ oلmدnعm oال ب tرtمm nأ ي nالله oن� .yang artinya,“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil…” (QS { إ
An-Nahl : 90), kalimat Al-‘Adl maksudnya adalah menyamakan antara dua hal yang semisal,
dan membedakan antara dua hal yang berbeda. Karena ‘Al-‘Adl adalah memberikan segala
sesuatu sesuai haknya. Yang jelas bahwa kalimat AL-MUSAAWAH adalah kalimat yang
dimasukkan oleh musuh-musuh Islam terhadap kaum muslimin; yang mana kebanyakan
kaum muslimin, khususnya muslim yang memiliki Tsaqafah ‘Amah (perpengetahuan
umum), mereka tidak memiliki kejelian atau pandangan yang tajam terhadap suatu
perkara, tidak pula membedakan antara isthilah yang satu dengan yang lainnya, sehingga
didapati penilaian atau prasangka terhadap kalimat –almusawaah- tersebut seolah-olah
kalimat yang bercahaya diatas slogan ‘Islam adalah dinun musaawah (Agama kesetaraan)’.
Maka dalam hal ini Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
mengatakan (ketika menafsirkan ayat tersebut diatas dalam kitabnya) “Kalaulah engkau
katakan, ‘Islam adalah Dinul ‘Adl’ (Islam adalah Agama yang adil) maka hal itu
lebih utama dan sangat sesuai dengan realita Islam”.
b. Bukan mahramnya (Q.S. an-Nisa (4) ayat 23)
mمt nك ضnعmن mرn oي أ �ت tمt الال tك م�هnات
t tخmتo وnأ mأل nاتt ا nن خo وnبn mأل nاتt ا nن tمm وnب tك nت tمm وnخnاال tك tمm وnعnم�ات tك nخnوnات tمm وnأ tك nات nن tمm وnب tك م�هnات
t tمm أ mك nي مnتm عnل حtر{tوا tون nك nمm ت oنm ل oهoن� فnإ tمm ب mت ل nخnي دo �ت tمt الال oك ائ nسo tمm مoنm ن oي فoي حtجtورoك �ت tمt الال tك oب nائ ب nرnو mمt oك ائ nسo م�هnاتt ن
t ضnاعnةo وnأ tمm مoنn الر� tك nخnوnات وnأmمt oك nب صmال
n �ذoينn مoنm أ tمt ال oك nائ mن nب oلt أ nئ tمm وnحnال mك nي nاحn عnل ن tج n oهoن� فnال tمm ب mت ل nخnد
23.[6] Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu[7], anak-anakmu yang perempuan[8], saudara-saudaramu yang perempuan[9], saudara-saudara ayahmu yang perempuan[10], saudara-saudara ibumu yang perempuan[11], anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan[12], ibu-ibumu yang menyusui kamu[13], saudara-saudara perempuanmu sesusuan[14], ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri[15], tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menikahinya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)[16], dan diharamkan mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara[17], kecuali yang telah terjadi pada masa lampau[18]. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[1] Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Dahulu orang-orang Jahiliyah mengharamkan apa yang mereka haramkan selain istri bapak dan selain menggabung antara dua perempuan bersaudara, maka Allah menurunkan ayat, "Wa laa tankihuu maa nakaha aabaa'ukum minan nisaa'i illaa maa qad salaf…dst." sampai "Wa an tajma'uu bainal ukhtain." (Hadits ini para perawinya adalah para perawi kitab shahih selain Muhammad bin Abdullah Al Makhramiy, namun dia tsiqah).
[2] Termasuk kakekmu.
[3] Kejadian pada masa yang lalu dimaafkan.
[4] Baik oleh Allah maupun oleh manusia. Karena sebab itu, seorang anak menjadi benci kepada bapaknya atau bapak benci kepada anaknya, padahal anak diperintahkan berbakti kepada bapaknya.
[5] Oleh karenanya, kebiasaan jahiliyyah tersebut dihapuskan oleh Islam.
[6] Ayat 23 dan 24 mencakup wanita-wanita yang haram dinikahi baik karena nasab, karena sepersusuan, karena mushaharah (pernikahan), maupun karena jam' (menggabung dua pereempuan bersaudara). Demikian juga menjelaskan tentang wanita-wanita yang halal dinikahi.
Yang diharamkan karena nasab adalah ibu, puteri, saudari, saudari bapak (bibi), saudari ibu (bibi dari pihak ibu), puteri dari saudara kita yang laki-laki dan puteri dari saudara kita yang perempuan. Lihat juga penjelasan masing-masingnya nanti. Selain yang disebutkan itu halal dinikahi (uhilla lakum maa waraa'a dzaalikum) seperti puteri paman dari bapak ('amm) dan puteri bibi dari bapak ('ammah), demikian pula puteri paman dari ibu (khaal) maupun puteri bibi dari ibu (khaalah). Dengan demikian, sepupu halal dinikahi.
Yang diharamkan karena sepersusuan –yang disebutkan dalam ayat- adalah ibu susu dan saudari susu. Namun tidak hanya sebatas ini, karena dalam hadits disebukan,
ب+ الن/س- م+ن- م5 ر5 ي-ح8 ا م- اع+ ض- الر/ م+ن- م5 ر5 ي-ح8
"Sepersusuan menjadikan mahram sebagaimana nasab." (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka keharaman dinikahi menyebar sebagaimana nasab. Dengan demikian, anak yang disusukan tidak boleh menikahi:
1. Wanita yang menyusuinya (karena dianggap sebagai ibunya),
2. Ibu wanita yang menyusuinya (karena ia neneknya),
3. Ibu bagi suami wanita yang menyusuinya (ia neneknya juga),
4. Saudari ibu yang menyusuinya (khaalahnya),
5. Saudari suami wanita yang menyusui (‘ammahnya),
6. Saudari sepersusuan, baik sekandung, sebapak maupun seibu.
7. Puteri anak laki-laki si wanita yang menyusuinya dan puteri dari puteri si wanita yang menyusui dst. ke bawah.
Yang diharamkan karena mushaharah (pernikahan), jumlahnya ada 4, yaitu: istri bapak dst. ke atas, istri anak dst. ke bawah, baik mereka sebagai ahli waris maupun terhalang (mahjub), ibu istri kita dst. ke atas (seperti neneknya, baik dari pihak bapaknya maupun ibunya) dan anak tiri yaitu puteri dari istri kita yang lahir dari selain kita.
[7] Termasuk pula nenek baik dari pihak bapak maupun ibu dst. ke atas.
[8] Termasuk pula cucu perempuan (dari anak laki-laki maupun anak perempuan) dst. ke bawah.
[9] Baik sekandung, sebapak maupun seibu.
[10] Termasuk pula saudara-saudara kakekmu yang perempuan.
[11] Termasuk pula saudara-saudara nenekmu yang perempuan.
[12] Termasuk pula anak perempuan (cucu) dari anak saudara laki-laki maupun perempuan (baik dari saudara sekandung, sebapak maupun seibu) dst. ke bawah.
[13] Yakni yang menyusui kamu saat kamu berusia di bawah dua tahun dengan lima kali susuan.
[14] Termasuk pula anak-anak mereka yang perempuan.
[15] Yang dimaksud dengan anak-anak perempuan isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Hal itu, karena kata-kata " yang dalam pemeliharaanmu" hanya sebagai kondisi yang biasa terjadi, sehingga tidak ada mafhum yang dijadikan pegangan daripadanya. Ada yang berpendapat, bahwa disebutkan kata " yang dalam pemeliharaanmu" karena dua faedah:
- Mengingatkan hikmah haramnya menikahi anak tiri, karena ia menduduki puteri kita.
- Menunjukkan bolehnya berkhalwat (berduaan) di rumah dengan anak tiri, wallahu a'lam.
[16] Hal ini menunjukkan bahwa jika bekas istri anak angkat, maka tidak mengapa menikahinya.
[17] Baik senasab maupun sepersusuan, yakni tidak boleh dinikahi bersama. Demikian juga dilarang menghimpun dalam pernikahan wanita tersebut bersama bibinya dari pihak bapak maupun ibu sebagaimana disebutkan dalam As Sunnah. Yang boleh adalah salah satunya, dan boleh menikahi adik dan kakaknya apabila yang satu meninggal sebagaimana Utsman menikahi dua puteri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, karena puteri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang pertama meninggal, lalu ia menikahi puteri Nabi yang kedua. Hikmah dilarang demikian adalah agar tidak memutuskan tali silaturrahim antara kedua wanita yang bersaudara tersebut ketika terjadi pertengkaran.
[18] Maka dimaafkan.
c. Saling mengenal dan suka sama suka (Q.S. an-Nisa (4) ayat 3 dan Q.S. ar-Rüm (30) ayat 21)
nة± ل mحo oهoن� ن اءn صnدtقnات nس} tوا الن mهtوnآت يmءw مoن nش mنnع mمt nك mنn ل oنm طoب فnإ±ا ±ا مnرoيئ oيئ tوهt هnن tل ا فnك nفmس± ن
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
mهnا nي oل tوا إ tن ك mسn oت وnاج±ا ل mزn tمm أ ك oسtفm nن tمm مoنm أ nك nنm خnلnقn ل oهo أ nات وnمoنm آيحmمnة± nرnد�ة± وnوnم mمt nك mن nي ونnوnجnعnلn ب tر� nفnك nت w ي oقnوmم nاتw ل ي nآل nكo oن� فoي ذnل إ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
d. Ada mahar yang dikeluarkan oleh calon suami (Q.S.an-Nisa (4) ayat 4 dan 25)
oاتn mمtؤmمoن nاتo ال mمtحmصnن mكoحn ال nن nنm ي tمm طnوmال± أ mك nطoعm مoن ت mسn nمm ي وnمnنm ل oاتn mمtؤmمoن tمt ال oك nات nي tمm مoنm فnت tك mمnان nي nتm أ nك nمtفnمoنm مnا مnل nعmل �هt أ وnالل
mمt oك oيمnان oإ nعmضw ب tمm مoنm ب nعmضtك tوهtن� ب oهoن� وnآت هmلn oذmنo أ oإ mكoحtوهtن� ب فnان
oاتnذoخ� افoحnاتw وnالn مtت nسtم nرm nاتw غnي وفo مtحmصnن tرmعnمm oال هtن� ب nورtجt أ wانnدmخn oصmفt مnا عnلnىأ mهoن� ن nي ةw فnعnل nشoاحnفo mنn ب nي nت oنm أ tحmصoن� فnإ oذnا أ فnإ
oابnذnعm nاتo مoنn ال mمtحmصnن tمm ال mك nتn مoن mعnن oمnنm خnشoيn ال oكn ل nنm ذnل وnأ mمt nك mر~ ل ي nوا خ tرo nصmب حoيم~ت nور~ رtفnغ tه� وnالل
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
e. Tidak dalam ihram
f. Tidak bersuami dan tidak dalam iddah bagi calon istri
E. PERWALIAN
Perwalian dalam arti umum bermakna „segala sesuatu yang berhubungan dengan wali‟
sedangkan arti wali memiliki makna yang beragam antara lain:
1. Orang yang secara hukum positif, adat dan agama diserahi kewajiban mengurus anak
yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa.
2. pengasuh pengantin wanita pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji
nikah dengan pengantin pria)
Yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut susunan yang
akan diuraikan dibawah ini, karena wali-wali itu memang telah diketahui oleh orang yang
ada pada masa turun ayat: “Janganlah kamu menghalangi mereka menikah.”
Semua itu menjadi tanda bahwa wali-wali itu telah diketahui, yaitu:
1. Bapaknya.
2. Kakeknya
3. Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
4. Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
5. Anak laki-laki dari saudara lak-laki yang seibu sebapak dengannya.
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
7. Saudara bapak yang laki-laki.
8. Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya.
9. Hakim
SYARAT WALI DAN DUA SAKSI
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak
semua orang dapat diterima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orang-orang yang
memiliki beberapa sifat berikut:
1. Islam.
2. Balig ; sudah berumur 15 tahun (17 tahun menurut hukum positif Indonesia)
3. Berakal.
4. Merdeka.
5. Laki-laki
6. Adil.
.
1 Abdurrahman AlJaziriy, al fiqh ala madzahib alarbaah.
F. MAHAR
Secara etimologis berarti maskawin. Secara terminologis, bermakna “pemberian wajib
dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan
rasa rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suami”. Imam Syafii memberikan definisi
yang lebih terbuka dan jelas yakni “sesuatu (bisa harta maupun jasa) yang wajib diberikan oleh
suami
kepada istri untuk menghalalkan seluruh anggota badannya”1
Firman Allah SWT :
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan.” (An-Nisa : 4)
Pemberian mahar ini wajib atas laki-laki, tetapi tidak menjadi rukun nikah, dan
apabila tidak disebutkan pada waktu akad, pernikahan itu pun sah.
Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
a. harta/bendanya berharga. Tidak sah dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit dan
bernilai maka tetap sah.
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamr, babi, atau
darah. Karena semua itu haram.
c. Harta/barangnya bukan barang hasil curian maupun ghasab, artinya mengambil barang
milik orang lain tanpa seizinnya.
2 Ibid
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan barang yang
tidak jelas keadaanya dan atau tidak disebutkan jenisnya2.
Jumlah Mahar
Mengenai besaran mahar, para Ulama sepakat bahwa tidak ada batasan tertinggi
dalam pemberian mahar. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang batas terendah.
1. Imam Syafii, dkk. Berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala
sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar.
2. Imam Malik dan malikiyah mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit nilainya
mencapai seperempat dinar emas murni atau perak seberat tiga dirham. Atau bisa
berupa barang dengan nilai yang setara dengan itu.
3. Imam Hanafi berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham.
Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham atau lima belas dirham.
Memberi mahar dengan cash atau credit
Pelaksanaan membayar mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau
disesuaikan dengan keadaan dan adat istiadat setempat. Mahar boleh diberikan dengan
kontan (cash) ataupun hutang (credit). Atau dibayar sebagian, dan sebagian lainnya
ditunda pemberiannya.
G. MACAM-MACAM MAHAR
a. Mahar Musamma
Yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya pada akad nikah.
Mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila
1. having sex.
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain sedang kamu
telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka
janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah
kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata ?
2. salah satu dari keduanya (suami dan istri) meninggal dunia. Demikian menurut
ijma‟.
b. Mahar mitsil (sepadan)
Yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya sebelum ataupun ketika pernikahan.
Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga
terdekat, gak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial,
pendidikan dan kecantikannya.
Khutbah NikahMenurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu,
yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah
adalah sebagai berikut:
oن� mحnمmدn إ nحmمnدtهo tللهo، ال tهt ن mن nعoي ت mسn هt، وnن tرoفmغn ت mسn nعtوmذt وnن oاللهo وnن وmرo مoنm ب tر tا شn ن oسtفm nن nاتo وnمoنm أ {ئ ي nا، سn oن nعmمnال nهmدoهo مnنm أ n اللهt ي فnال
nهt، مtضoل� tضmلoلm وnمnنm ل n ي nهt، هnادoيn فnال هnدt ل mشn nنm وnأ n أ nهn ال oل � إ oال n وnحmدnهt اللهt إ mكn ال رoي nش ،tهn هnدt ل mشn nن� وnأ mدtهt مtحnم�د±ا أ tهt عnب وmل tس nرnو
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan
kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal
perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat
menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat
memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
nا vهnا ي يn �ذoينn أ tوا ال �قtوا آمnن �هn ات oهo حnق� الل tقnات tن� وnالn ت nمtوت oال� ت tمm إ mت nن لoمtونn وnأ mسtم
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar
taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [Ali ‘Imran :
102]
nا vهnا ي يn �اسt أ �قtوا الن tمt ات �ك ب nي رoذ� tمm ال nقnك ل nخ mنoم wسmفn mهnا وnخnلnقn وnاحoدnةw ن وmجnهnا مoن nث� زn mهtمnا وnب ا رoجnاال± مoن oير± nث اء± ك nسo �قtوا وnن �هn وnات الل
�ذoي اءnلtونn ال nسn oهo ت حnامn ب mرn mاألnن� وo �هn إ nانn الل tمm ك mك nي ±ا عnل قoيب nر
“Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri
yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Bertaqwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah)
hubungan kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-
Nisaa' : 1]
nا vهnا ي يn �ذoينn أ tوا ال �قtوا آمnن �هn ات tوا الل دoيد±ا قnوmال± وnقtول nس mحoلmصt tمm ي nك tمm ل nك nعmمnال nغmفoرm أ tمm وnي nك tمm ل nك tوب tطoعo وnمnنm ذtن �هn ي nهt الل ول tس nرnو mدnقnف
nازnا ف عnظoيم±ا فnوmز±
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah
perkataan yang benar, nis-caya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni
dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang
dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab : 70-71]
BEBERAPA KETENTUAN TAMBAHAN TERKAIT DENGAN PENYELENGGARAAN AQAD NIKAH1. Khutbah Nikah.Disunnahkan sebelum aqad nikah berlangsung, dihadirkan khutbah nikah untuk memberikan wasiat dan bekalan ruhiah kepada kepada mempelai bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan agar dapat mengarungi biduk rumah tangga secara sakinah, mawaddah dan rahmah. Khutbah dapat dilakukan oleh wali ataupun yang lain.2. Mendoakan kedua mempelai.3. Adab Malam Pengantina. Suami meletakkan telapak tangan kanannya ke kening isterinya dan mendo’akannyab. Suami bersikap lembut dan menaungi isterinyac. Saling beradaptasi dan memunculkan suasana harmonis
Walimatul Urus (Pesta Pernikahan)TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Walimah.
Walimatul ‘urus (pesta pernikahan) hukumnya wajib [1] dan diusahakan sesederhana
mungkin.
BEBERAPA KETENTUAN TAMBAHAN TERKAIT DENGAN WALIMATUL ‘URSY
secara bahasa : walimah = berkumpul.
secara syar’i : a) pesta/resepsi perkawinan.
b) makanan yang dihidangkan dalam acara pesta/resepsi perkawinan.
Hukum menghadiri walimatul’ursy adalah fardhu. Sedangkan memenuhi undangan selain
walimatul’ursy, para fuqaha berikhtilaf antara fardhu kifayah dan sunnah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
wاة nشo ب mوn وnل mمo وmلn .أ
”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing” [2]
• Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan orang-orang yang
mengadakan walimah agar tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja, tetapi
hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Karena makanan yang dihidangkan untuk
orang-orang kaya saja adalah sejelek-jelek hidangan.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
tهn وmل tس nرnو nالله عnصnى mدnقnف nةnوmالد�ع oتm nأ ي mمn ل mنnمnف ، tنm oي اك nسnمm ال tك nرm tت وي tاءn oي nغmن mأل ا mهnا nي oل إ tدmعnى ي ،oةnمm oي mوnل ال tامnعnط o الط�عnام vر nش
“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-
orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa
yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”
[3]
• Sebagai catatan penting, hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya
maupun miskin, sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
Áيoقn ت � oال إ nكnامnعnط mلt mك nأ ي n وnال ±ا مtؤmمoن � oال إ mبoاحnصt ت n ال
“Janganlah engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan
makananmu melainkan orang-orang yang bertaqwa” [4]
• Orang yang diundang menghadiri walimah, maka dia wajib untuk memenuhi undangan
tersebut.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
oهnا تm nأ mي فnل oةnمm oي mوnل ال oلnى إ mمt nحnدtك أ nيoعtد oذnا إ
“Jika salah seorang dari kamu diundang menghadiri acara walimah, maka datangilah!” [5]
• Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun orang yang diundang sedang
berpuasa.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
. nاءnعvلدn ا oى nعmن ي tصnل{ mي فnل oم±ا صnائ nانn ك mنo وnإ ، mمnعmطn mي فnل ا مtفmطoر± nانn ك mنo فnإ ، mبoجt mي فnل w طnعnام oلnى إ mمt nحnدtك أ nيoعtد oذnا إ
Apabila seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan itu. Apabila ia
tidak berpuasa, maka makanlah (hidangannya), tetapi jika ia sedang berpuasa, maka
hendaklah ia mendo’akan (orang yang mengundangnya)” [6]
• Dan apabila yang diundang memiliki alasan yang kuat atau karena perjalanan jauh
sehingga menyulitkan atau sibuk, maka boleh baginya untuk tidak menghadiri undangan
tersebut.[7]
Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Atha’ bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu pernah
diundang acara walimah, sementara dia sendiri sibuk membereskan urusan pengairan. Dia
berkata kepada orang-orang, “Datangilah undangan saudara kalian, sampaikanlah
salamku kepadanya dan kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk” [8]
• Disunnahkan bagi yang diundang menghadiri walimah untuk melakukan hal-hal berikut:
Pertama: Jika seseorang diundang walimah atau jamuan makan, maka dia tidak boleh
mengajak orang lain yang tidak diundang oleh tuan rumah.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, “Ada seorang pria yang
baru saja menetap di Madinah bernama Syu’aib, ia punya seorang anak penjual daging. Ia
berkata kepada anaknya, ‘Buatlah makanan karena aku akan mengundang Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang bersama
empat orang disertai seseorang yang tidak diundang. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Engkau mengundang aku bersama empat orang lainnya. Dan orang ini ikut
bersama kami. Jika engkau izinkan biarlah ia ikut makan, jika tidak maka aku suruh
pulang.’ Syu’aib menjawab, ‘Tentu, saya mengizinkannya’” [9]
Kedua: Mendo’akan bagi shahibul hajat (tuan rumah) setelah makan.
Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:
mمtهn قmت nز nر mمnا فoي mمtهn ل mكoرo nا وnب ، mمtهmمnح mارnو ، mمtهn ل mرoفmاغ �هtم� nلل ا
“Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah apa-apa yang Engkau
karuniakan kepada mereka” [10]
Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:
mمtهmمnح mارnو m،مtهn ل mرoفmاغnو ، mمtهn قmت nز nر mمnا فoي mمtهn ل mكoارn ب �هtم� nلل ا
“Ya Allah, berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka, ampunilah mereka
dan sayangilah mereka.” [11]
Atau dengan lafazh:
قnانoي nس mنnم oقmاسnو oي، nطmعnمnن أ mنnم mمoعmطn أ �هtم� nلل ا
“Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberi makan kepadaku, dan
berikanlah minum kepada orang yang memberi minum kepadaku” [12]
Atau dengan lafazh:
tةn oك nئ mمnال ال tمt mك nي عnل mل�تnصnو ، tار nرm بn mأل ا tمt طnعnامnك nلn nك وnأ ، nنmوtمo الص�ائ tمt mدnك عoن nرnطmفn أ
“Telah berbuka di sisi kalian orang-orang yang berpuasa, dan telah menyantap makanan
kalian orang-orang yang baik, dan para Malaikat telah mendo’akan kalian.” [13]
Ketiga: Mendo’akan kedua mempelai.
Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:
wرm ي nخ فoي tمnا nك mن nي ب nعnمnجnو nكm nي عnل nك nارn وnب nكnل tالله nك nارn ب
“Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi pernikahanmu, serta semoga Allah
mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan” [14]
• Disunnahkan menabuh rebana pada hari dilaksanakannya pernikahan.
Ada dua faedah yang terkandung di dalamnya:
1. Publikasi (mengumumkan) pernikahan.
2. Menghibur kedua mempelai.
Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
oاحn {ك الن فoي tتmالص�وnو vفvالد o ام nرnحm وnال oلn mحnال ال nنm nي ب مnا tلmصnف
“Pembeda antara perkara halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah rebana
dan nyanyian (yang dimainkan oleh anak-anak kecil)” [15]
Juga berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia pernah mengantar mempelai
wanita ke tempat mempelai pria dari kalangan Anshar.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata,
tوmه� الل tمtهt tعmجoب ي nارnصm nن mأل ا oن� فnإ nهmو~؟ ل mمt مnعnك nانn ك مnا ،tة nشo عnائ nا ي
“Wahai ‘Aisyah, apakah ada hiburan yang menyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar
suka kepada hiburan.” [16]
Dalam riwayat yang lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian
mengirimkan bersamanya seorang gadis (yang masih kecil -pen) untuk memukul rebana
dan menyanyi?” ‘Aisyah bertanya, “Apa yang dia nyanyikan?” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Dia mengucapkan:
mم tـ mك {ي ي nحt ن nا vوmن فnحnـي mم tـ nاك mن ي nـ nت أ mم tـ nاك mن nي nت أ
mم tـ mك oوnادoي ب mل�تnح مnا tرnـمmحn mأل ا tبnالذ�ه n ال mوn ل
mمt mك عnذnارoي mتn مoن nس مnا tاء nـرmم الس� tةnطm mحoن ال n ال mوn ل
Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian
Hormatilah kami, maka kami hormati kalian
Seandainya bukan karena emas merah
Niscaya kampung kalian tidaklah mempesona
Seandainya bukan gandum berwarna coklat
Niscaya gadis kalian tidaklah menjadi gemuk.[17]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
nاحn {ك الن tوا oن nعmل أ
“Umumkanlah (meriahkanlah) pernikahan.” [18]
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah
1427H/Desember 2006]
H. Maksud Dan Tujuan Pernikahan
Adapun maksud dan tujuan pernikahan sangat banyak sekali, karena setiap orang
memiliki maksud yang berbeda-beda dalam melakukan pernikahan, namun berikut akan
dipaparkan beberapa maksud dan tujuan pernikahan secara umum, yaitu:
a. Untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rohmah
(KHI Pasal 3 Bab I).
b. Mentaati perintah Allah SWT (surat An-Nisa ayat 3: النساء من لكم طاب ما فانكحوا
فواحدة تعدلوا أال خفتم فإن ورباع ثالث و dan mengikuti jejak para Nabi dan ( ...مثنى
Rasul, terutama meneladani Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, karena hidup
beristri, berumah tangga dan berkeluarga adalah termasuk Sunnah beliau.
c. Memelihara pandangan mata, menentramkan jiwa, memeelihara nafsu seksualitas,
menenangkan pikiran, membina kasih saying serta menjaga kehormatan dan
memelihara kepribadian.
d. Melaksanakan pembangunan materiil dan spiritual dala kehidupan berkeluarga dan
rumah tangga sebagai sarana terwujudnya keluarga sejahtera dalam rangka
pembangunan masyarakat dan bangsa.
e. Memelihara dan membina kualitas dan kuantitas keturunan untuk mewujudkan
kelestarian kehidupan keluarga di sepanjang masa dalam rangka pembinaan spiritual
dan fisik materiil yang diridhai Allah SWT.
f. Mempererat dan memperkokoh tali kekeluargaan antara keluarga suami dan keluarga
istri sebagai sarana terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman dan sejahtera lahir
batin di bawah naungan Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
I.HIKMAH NIKAH
Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan
keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan
maslahat bagi pelaksananya :
1. Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21)
2. Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
Rasulullah berkata : “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya saya
akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi)
4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara
kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan
menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa
itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab
Shaum)
VISI ISLAM TENTANG KELUARGA/RUMAH TANGGA
Visi Rasulullah saw tentang keluarga adalah “baiti jannati”. Sebuah keluarga akan menjadi
“surga kecil” jika ia memenuhi empat fungsi berikut :
Fungsi Pertama : FUNGSI FISIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang
memadai.
3. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
Fungsi Kedua : FUNGSI PSIKOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
3. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan
jiwanya.
4. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.
Fungsi Ketiga : FUNGSI SOSIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.
2. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga
dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.
Fungsi Keempat : FUNGSI DA’WAH
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Menjadi obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i.
2. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim
dan nonmuslim.
3. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
4. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
(Yogyakarta: Pustaka Progressif). 1997.
Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. 2004.
Hamid, Zahry. Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan Di
Indonesia. (Yogyakarta: Bina Cipta). 1978.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam (hukum fiqh islam). (Bandung: Sinar Baru Algesindo). Cet. 37.
2004.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Al-Sunnah. (Kairo: Maktabah Dar Al-Turas). Juz 2. Tanpa Tahun.
Tim Redaksi FOKUSMEDIA. Himpunan peraturan perundang-undangan tentang kompilasi
hukum islam. (Bandung: Fokusmedia). 2007.
http://Ezine.articles.com/?expert=douglad_Woods
www.duniawebid.com
www.nikah.com/marriage/defaault.asp