Upload
mayalia
View
1.060
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak
yatim, katakanlah, ‘Mengurus mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu
menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa
yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jika Allah
menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam firman-Nya yang lain, Allah Ta’ala menyatakan, “Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, ”Jauhilah oleh kalian
tujuh perkara yang membinasakan!”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah,
apakah itu?” Beliau menjawab, “Menyekutukan Allah, berbuat sihir, membunuh
jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta
anak yatim, melarikan diri dari medan perang, dan menuduh (zina) wanita
mukminah yang baik-baik.”
Sebagai seorang bocah, mereka tentu ingin hidup layaknya anak-anak yang
lain. Mereka ingin bermain, bercanda, belajar, dan pola hidup lainnya. Sayang,
suka cita mereka teramat mahal. Bahkan, karena tidak ada ayah di sisi mereka,
justru tangis dan dukalah yang menemani siang malam mereka. Mereka adalah
makhluk yang lemah, dikarenakan ketidakmampuan mereka mengurus diri dan
harta.
Namun demikian, Islam mengizinkan para wali menggunakan harta
mereka dengan cara yang baik, kemudian pada saatnya nanti akan diserahkan
kembali harta milik anak yatim tersebut bila ia telah dewasa atau baligh. Allah
Ta’ala berfirman, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan
janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah
kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa
(di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari
memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan
harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada
1
mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan bagi
mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”
Yang menjadi permasalahan kemudian yang bisa terjadi praktik hal
pemeliharaan harta-harta anak yatim yang ditinggal mati oleh ayahnya tersebut,
adalah dimungkinkannya ketika seorang wali akan menyerahkan kembali harta
yang telah mereka jaga untuk kemudian diserahkan kembali kepada si yatim
tersebut sebelum masa dewasanya. Hal ini setidak-tidaknya memberikan
gambaran-gambaran yang mungkin saja terjadi di dalam pemeliharaan harta oleh
si wali.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka dalam makalah ini, insya Allah, saya
berusaha mengetengahkan bagaimana pandangan dalam islam mengenai
penyerahan harta si yatim tersebut yang mana pada saat anak yatim tersebut
masih kecil.
2. Rumusan Masalah
Untuk lebih mengerucutkan permasalahan dalam makalah ini, kiranya
penulis akan membatasi pembahasan materi ini dengan memfokuskan hal-hal
sebagai berikut:
- Pengertian tentang anak yatim dan anak kecil (dibawah umur) dalam
pandangan Islam maupun hukum positif yang berlaku di Indonesia ?
- Bagaimana konsep tentang harta anak yatim dalam Islam, pemeliharaan serta
pengelolaannya ?
- Bagaimana hukumnya mengembalikan / menyerahkan harta milik anak yatim
tersebut ketika dia masih kecil ?
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Anak Yatim
1.1. Konsep anak dalam Islam dan Undang-undang
Kata al-walad dipakai untuk menggambarkan adanya hubungan
keturunan, sehingga kata al-wâlid dan al-wâlidah diartikan sebagai ayah dan
ibu kandung. Berbeda dengan kata ibn yang tidak mesti menunjukkan
hubungan keturunan dan kata ab tidak mesti berarti ayah kandung.1
Selain itu, al-Qur’an juga menggunakan istilah thifl2 (kanak-kanak)
dan ghulâm3 (muda remaja) kepada anak, yang menyiratkan fase
1 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (jilid XV, Jakarta, Lentera Hati, 2004), hal. 614. 2 Q.S. al-Nur (24):31 dan 59; al-Hajj (22): 5; al-Mukmin (40): 67. 3 Q.S. Ali Imran (3): 40; Yusuf (12): 19; al-Hijr (15) 53; al-Kahfi (18): 80; Marya, (19) 7,8 dan 20; al-Shaffat (37): 101 dan al-Dzariyat (51): 28.
2
perkembangan anak yang perlu dicermati dan diwaspadai orang tua, jika ada
gejala kurang baik dapat diberikan terapi sebelum terlambat, apalagi fase
ghulâm (remaja) di mana anak mengalami puber, krisis identitas dan transisi
menuju dewasa. Al-Qur’an juga menggunakan istilah ibn pada anak, masih
seakar dengan kata bana yang berarti membangun atau berbuat baik, secara
semantiasa anak ibarat sebuah bangunan yang harus diberi pondasi yang
kokoh, orang tua harus memberikan pondasi keimanan, akhlak dan ilmu sejak
kecil, agar ia tumbuh dan berkembang menjadi anak yang memiliki prinsip
dan kepribadian yang teguh.4 Kata ibn juga sering digunakan dalam bentuk
tashghĭr sehingga berubah menjadi bunayy yang menunjukkan anak secara
fisik masih kecil dan menunjukkan adanya hubungan kedekatan (al-iqtirâb).5
Panggilan ya bunayya (wahai anakku) menyiratkan anak yang dipanggil
masih kecil dan hubungan kedekatan dan kasih sayang antara orang tua
dengan anaknya.
2. Pengertian Yatim
Kata al-yatim diambil dari kata yatima yaitamu, seperti ta’iba, dan
yatama, seperti qaruba. Sedangkan mashdarnya bisa yutman atau yatman, yaitu
dengan mendhammah atau memfathah huruf ya’. Untuk manusia, keyatiman
ditinjau dari jalur ayah. Dikatakan, shaghirun yatim, yaitu anak yatim laki-laki,
sedangkan jamaknya adalah aitam dan yatama. Shaghirah yatimah, berarti anak
yatim perempuan, sedangkan jamaknya yatama.
Adapun secara terminologi, tidak berbeda jauh dengan makna leksikalnya.
Yakni, seorang anak yang tidak berayah. Sebab, kewajiban memberi nafkah
dibebankan kepada ayah, bukan kepada ibunya. Sedangkan untuk hewan, yatim
berarti yang kehilangan induknya, karena susu dan makanannya didapat dari sang
induk.”
Dalam kitab Al Yatim karya DR. Abdul Hamid As Suhaibani dikatakan
definisi yatim adalah:
أنثى أو كان ذكرا البلوغ دون وهو أباه فقد من“Seorang anak yang kehilangan ayahnya –karena meninggal- ketika ia belum baligh atau dewasa baik itu laki-laki atau perempuan”.
Dengan demikian seseorang dikatakan yatim bila:
4 Abdul Mustakim, Kedudukan dan Hak-hak Anak dalam Perspektif al-Qur’an, (Artikel Jurnal Musawa, vol.4 No. 2, Juli-2006), hal. 149-50. 5 Hadlarat Hifni Bik Nasif dkk, Qawa’id al-Lughah al-‘Arabiyyah, (Surabaya, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah, t.th), hal. 79.
3
1. Ditinggal wafat ayahnya, adapun anak yang ditinggal wafat ibu atau yang lainnya tidaklah dikatakan yatim, begitu juga anak yang ditinggal karena perceraian suami istri.
2. Ditinggal wafat ayahnya ketika masih dibawah usia baligh atau dewasa dengan demikian bila ditinggal wafat ayahnya sesudah masa baligh maka tidaklah dikatakan anak yatim.
Imam Malik dan yang lainnya berkata: Firman AllahI :” Hingga sampai dewasa” (Qs. Al An Am:152) maksudnya adalah: Cukup umur dan hilangnya kebodohan serta baligh.
Untuk mengetahui seseorang sudah sampai usia baligh atau belum, dapat
diketahui dengan beberapa tanda, tanda-tanda ini telah dihimpun oleh para ulama
ahli fiqih berdasarkan imformasi yang digali dari al Qur’an dan al Hadits,
diantaranya adalah:
1.Seorang anak laki-laki telah berusia lima belas tahun, tanda ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar t ia berkata:
النبي على المقاتلة rعرضت في يجزني فلم سنة عشر أربعة ابن وأنا أحد يوم“Aku mengajukan diriku (untuk mengikut) perang Uhud kepada Nabi r, waktu itu aku seorang anak yang baru berusia empat belas tahun, akan tetapi (Nabi r) tidak mengizinkanku untuk ikut berperang”. (Bukhari-Muslim)
Hadits diatas mengisahkan bahwasanya Ibnu Umar meminta izin untuk
mengikuti perang bersama Rasulullah rdan para shahabatnya akan tetapi
permintaan itu ditolak dengan alasan ia belum cukup umur untuk mengikuti
perhelatan yang keras ini, lalu ia mencoba mengajukan diri lagi pada tahun
berikutnya dimana beliau telah berusia diatas empat belas tahun, maka Rasulullah
pun mengizinkannya.
2. Seorang anak perempuan bila telah berusia sembilan tahun, tanda ini didasarkan atas perkataan A’isyah radiyallahu anha ia berkata:
امرأة فهو سنين تسع الجارية بلغت إذا“Jika anak perempuan telah berusia sembilan tahun maka ia adalah
wanita” (HR. Ahmad)Tanda ini didasarkan bahwasanya A’isyah dinikahi oleh Rasulullah e
dalam usia tujuh tahun akan tetapi tetap bersama ayahnya Abu Bakr hingga usia
sembilan tahun setelah itu baru bersama Rasulullah e .
3. Telah tumbuh bulu-bulu di badannya baik diatas kemaluan atau selainnya,
tanda diatas berdasarkan hadits yang menceritakan perang Bani Quraidhoh dimana
semua laki-laki yang sudah sampai usia baligh di beri hukuman mati karena
melanggar perjanjian damai bersama Rasulullah r dan kaum muslimin, untuk
membedakan orang yang sudah baligh atau belum pada kaum itu adalah dengan
tumbuhnya rambut atau bulu-buluan diatas kemaluan. Selain itu Imam Ahmad dan
Imam Ishak rahimahumullah mengatakan bahwa ciri baligh seseorang salah
satunya adalah dengan tumbuh bulu-bulu diatas kemaluan.
4.Mimpi bersetubuh
4
, , حتى الصبي وعن يستيقظ حتى النائم وعن يفيق حتى المجنون عن ثالث عن القلم رفعيحتلم
“Diangkat qolam dari tiga orang: Dari orang gila hingga sembuh, dari orang tidur hingga bangun, dari anak kecil hingga mimpi keluar air mani (HR. Abu Daud)5.Mengalami mansturbasi atau datang bulan bagi perempuan
Tanda yang ke empat ini berdasarkan analisa hadits Rasulullah e yang
menyebutkan bahwa wanita yang haid atau nifas dilarang melaksanakan sholat karena
keluar darah dari kemaluannya, dengan demikian wanita yang telah mengalami haid
telah diwajibkan kepadanya sholat karena sudah baligh. A’isyah r.a berkata:
الله رسول عهد على نحيض الصالة rكنا قضاء نؤمر وال الصوم بقضاء فنؤمر“Kami haid di masa Rasulullah r maka kami diperintahkan mengqodho saum dan tidak diperintahkan mengqodho sholat” (HR.Bukhari-Muslim)
3. Ayat-ayat tentang anak yatim dalam alqur’an maupun hadits
1. Dalam surat Annisa 4:2, Allah berfirman:
Artinya: dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka,
jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
Ada tiga perintah penting berkenaan dengan harta anak-anak yatim yang
disebutkan dalam ayat ini sbb:
1. Mula-mula ayat ini memerintahkan, “Dan berikanlah kepada anak-anak
yatim itu harta mereka…” Ketentuan ini berarti bahwa campur tangan kalian
atas harta ini adalah sebagai orang yang bias dipercaya dan sebagai
pengawas, bukan sebagai pemilik.
2. Perintah untuk mencegah para wali memakan harta anak-anak yatim. Kadang
kala wali anak-anak yatim itu berdalih bahwa menukar harta anak-anak yatim
itu akan menguntungkan mereka, atau tidak akan mengubah (jumlah)nya,
atau jika dibiarkan saja, harta itu bias tersia-siakan.
3. Perintah untuk tidak mencampurkan harta pribadi dengan harta anak yatim.
Al-Quran menyatakan, “…jangan pula mencampurkan harta mereka dengan
harta kalian sendiri…” Kalimat ini menegaskan bahwa jangan
mencampurkan harta anak-anak yatim dengan harta kalian sendiri sehingga
pada akhirnya kalian memiliki semua harta itu. Atau jangan mencampurkan
harta kalian yang sudah tidak terpakai dengan harta mereka yang bagus
sehingga apada akhirnya kalian menekan hak-hak anak-anak yatim.
5
2. Dalam surat Annisa’ (4: 5-6) Allah berfirman :
Artinya: dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Fب�و Gٱ وا HIIلF مFىJ ت JIIIF Fت ب�ي LىKJ ٱ ت Fا حFذM G إ وا HIIغF Fل احF ب FIIكP M ٱلن إ FIIم ب�فH ت F ب�مP ب�ءFان ہ� ا ب Hر�� د G ب� فFعHوKا Fب�ف F ٱ Mل ب�إ ہ� FهH ب� ل FوF �أ ب� ٲ وFالF ب�
ا FIIوهHلH Fك ��ت ا ب ا Fر M ��إ د ا ب� TارFد MIIبFن وF و أ Hر FIIب F �ي ا� انF وFمFن ب� FIIا ك M �غFن�� فM د F ت F ي Fف� ب� �ب ب� انF وFمFن ب� FIIا ك ي MIIقFف�� H د ك F ي Fب�ف �� ب ب�و Hر Fم M �ب ہ� �ب ب� MذFا ٱ H فFإ ت FفFب�د �F ب Mل ب�إ ہ� FهH ب� ل Fو
F ب�أ ٲ G ب� دHواF ہ فFأ F ب� �عFل ب� ہ� FفFىJ ب� LهM وFك لل M ا ٱب ي MسFح�� د
Artinya: "Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup untuk nikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah mempunyai rusydan, maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Siapa yang mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu dengan ma'ruf. Kemudian apabila kamu meyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu)."
Allah SWT.melarang dengan firman-Nya dalam ayat ke-5 ini menyerahkan
harta kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, yaitu anak yatim, yang
belum baligh, orang gila, dan orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta
bendanya. Mereka itu seharusnya tidak di beri kesempatan untuk mengatur harta
benda yang merupakan saudara hidup bagi manusia.
Kata As Sufaha : Bentuk tunggalnya safih, artinya orang yang menyia-
nyiakan harta dengan menginfaqkan kepada hal-hal yang tidak semestinya dibeli
(dikonsumsi). Asal kata As Safah artinya ringan dan goncang. Berdasarkan
pengertian itu, dikatakan zamanun safih, apabila dalam zaman tersebut banyak
goncangan yang terjadi. Kemudian dikatakan saubun safih artinya pakain yang
jelek tenunnannya. Kemudian kata itu dipakai untuk pengertian kecerdasan akal
di dalam mengatur (memanager) harta, dan makna inilah yang dimaksud di dalam
artinya.
Yang dimaksud dengan kata-kata "Rusyd" dalam firman Allah s.w.t
tersebut di atas, ialah "pandai" dalam menasarufkan dan menggunakan harta
kekayaan, walaupun masih hijau dan bodoh dalam soal agama, Maka jika di
dapati mereka cukup cerdas dan cukup cakap (baligh) dan pandai untuk
memelihara dan menjaga hartanya sendiri hendaklah diserahkan harta mereka
yang ada di bawah kekuasaan sang wali kepada mereka untuk di urusnya sendiri.
6
Dan janganlah sekali-kali orang memakan harta anak yatim diluar kepatutan atau
tergesa-gesa membelanjakan harta mereka mendahului masa baligh mereka.6
Jika sang wali adalah seorang yang mampu, hendaklah ia menahan diri
jangan sampai ia menyentuh harta anak yatim asuhanya. Dan jika si wali seorang
yang miskin,maka bolehlah ia makan dari harta anak yatim asuhanya menurut
yang patut sebagai imbalan bagi pengawasan dan perwalianya. Dan di waktu
penyerahan harta kepada anak yatim yang berhak menerimanya setelah ia
mencapai usia dewasa dan di rasa cukup untuk mengurus dirinya sendiri,
hendaklah penyerahan itu disaksikan oleh pihak ketiga untuk menghindari
pengingkaran atau persangkaan yang tidak semestinya terjadi.
Menurut pendapat para ulama’,bahwa seorang anak menjadi baligh ialah
bila ia mencapai usia lima belas tahun, atau ia mengeluarkan air mani dalam
mimpinya.Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh A’isyah r.a.dan beberapa
sahabat, Rasulullah SAW bersabda:
النائم وعن سنة عسرة خمس يستكمل او يحتلم حتى الصبي ثالثة عن القلم رفعيفيق حتى المجنون وعن يستيقظ حتى
Diriwayatkan oleh Muslim bahwa Rasulullah SAW.bersabda kepada Abu Dzar.
مال تلين وال الثنين على Gمرن التا لنفسى احب ما لك احب واني ضعيفا اراك اني در ابا يايتيم
“Hai Abu Dzar, sesungguhnya aku melihat engkau seorang yang lemah dan aku menyukai bagimu apa yang sukai bagi diriku sendiri, maka janganlah menjadi penguasa walau atas dua orang dan orang dan jangan pula menjadi pengurus dari harta anak yatim”.
Setelah Allah memerintahkan kita pada ayat-ayat terdahulu, yaitu
menyerahka harta anak yatim, menyerahkan mahar kepada istri-istri kemudian
Allah memberikan persyaratan dalam kelompok ayat-ayat ini, yang
kesimpulannya mencakup dua hal yang saling berkait. Yaitu hendaknya si
pemberi dan penerima tidak ada yang safih (dungu), yang di sertai penjelasan
bahwa ank yatim harusnya di beri rizki dan pakain serta harta benda mereka
sendiri, yang ada pada orang-orang yang di titipinnya, selagi mereka masih
berada dalam pemeliharaanya. Juga harus disertai perlakuan yang baik agar
keadaan mereka membaik.
Dijelaskan pula, bahwa harta benda mereka (anak yatim ) tidak boleh
diserahkan kepada mereka kecuali jika para walinya telah melihat bagi seorang
wali memakan harta anak yatim (apabila ia miskin) dengan cara berlebih-lebihan
dan barang siapa diantara para wali itu kaya, maka hendaknya ia menjaga diri
6 http://kasihianakyatim.blogspot.com/2010/08/tafsir-tentang-ayat-ayat-yatim.html
7
jangan sampai memakannya dengan ketentuan hukum syara ‘ dan dipandang
pantas oleh orang-orang bijaksana.
Hendaknya setiap wali menasehati orang yang diasuhnya apabila ia masih
kecil,’’ Ini adalah hartamu, aku hanyalah sebagai penyimpannya. Jika kamu
sudah besar harta ini akan kukembalikan kepadamu ‘’. Tetapi jika yang diasuhnya
orang safih, hendaknya sang wali memberikan petuah dan nasehat padanya agar
tidak menyia-nyiakan harta dan berlaku boros.Kemudian, berilah pengertian
bahwa akibat dari pemborosan itu adalah kemiskinan,butuh pertolongan orang lain
dan sebagainya. Wali juga berkewajiban mengajari hal-hal yang bisa
mengantarkannya menuju kedewasaan. Dengan cara demikian,kondisinya akan
lebih membaik dan kemungkinan sifat safih darinya hanya sementara, bukan
pembawaan dari lahir. Hanya dengan menasehati,membimbing,mengarahkan,sifat
safih itu lambat laun akan hilang dan ia akan tumbuh menjadi seorang dewasa.
Menguji anak yatim dengan cara memberi sedikit harta untuk di gunakan
sendiri. Apabila ia mempergunakannya dengan baik, berarti ia sudah dewasa.
Karena hal yang di maksud dewasa disini ialah apabila ia telah mengerti dengan
baik cara menggunakan harta dan membelanjakannya. Hal itu suatu pertanda ia
berakal sehat dan berfikir dengan baik.
Imam Abu Hanifa berpendapat, bahwa memberi harta anak yatim ialah jika
mereka telah mencapai umur dua puluh lima tahun, sekalipun belum tampak
dewasa(cara berpikirnya )”.
Telah diriwatkan Ahmad dari Ibnu Umar r.a bahwa ada seorang laki –laki
bertanya kepada Nabi SAW.,” Aku tidak mempunyai harta, tetapi aku adalah
seorang wali dari anak yatim’. Kemudian Nabi SAW. Bersapda:’Makanlah
olehmu sebagian harta anak yatimmu tanpa berlebih –lebihan dan (juga )tanpa
mengham-hamburkannya dan (juga)mengindahkan antara hartamu dengan
hartanya’.
Hikmah yang terkandung dalam ketentuan itu ialah bahwa anak yatim yang
berada dalam rumah sang wali di ibaratkan anaknya, dan sangat baik pendidikanya
apabila ia bercampur dengan sang wali dan keluarganya dalam hal makan
danbergaul. Apabila wali seorang yang kaya, dan ia tidak tamak terhadap anak
yatim, maka peliharaannya meupakan kemaslahatan bagi anak yatim.
Asyuddah adalalah masa seseorang mencapai pengalaman dan pengetahuan.
Untuk mencapai masa balightnya. Ada dua batasan, minimal jika dia telah
bermimpi keluar mani yang merupakan permulaan umur dewasa, ketika itu
menjadi kuat, sehingga keluar dari keadaannya sebagai anak yatim, atau ia
8
termasuk safih (tidak sempurna akal ) atau daif (lemah ), maksimal adalah umur
empat puluh tahun. Namun yang di maksud di sini ialah oleh Asy-Sya’bi, Malik
dan lainnya, hal itu biasanya antara umur 15 sampai 18 tahun.
Maksud ayat, peliharalah harta anak yatim dan janganlah kamu izinkan dia
untuk menghambur-hamburkan sedikitpun dari harta itu dan menyi-nyiakan, atau
kamu berlebih-lebihan dalam mengguna-kannya hingga ia mencapai dewasa.
Apabila dia telah mencapai pengertian ini sebanding dengan firman Allah :
‘’ Kemudian jika menurut pendapatmu mereka cerdas (pandai memelihara harta), maka sederhanakanlah kepada mereka harta-hartanya. ‘’
Kesimpulannya, bahwa yang dimaksud dengan larangan disini adalah
setiap perbuatan anak yatim yang menggerogoti harta anak yatim dan melanggar
hak-hak oleh penerima wasiat dan lainnya, hingga anak yatim itu mencapi umur
dewasa yang badan dan akalnya telah mencapai kuat. Pengalaman menunjukkan
bahwa seorang anak yang baru saja mengalami mimpi keluar mani justru lemah
pendapatnya, sedikit pengalamannya tentang urusan-urusan penghidupan, dan
sering tertipu dalam melakukan muamalat.7
Adapun potensi yang digunakan oleh seseorang untuk memelihara harta
anak yatim pada zaman sekarang adalah keseimbangan berfikir dan kedewasaan
akal yang bermoral dengan banyak nya berlatih dan memperoleh pengalaman
dalam bermuamalat. Sering terjadi kefasikan, tipu daya yang dihembuskan dalam
bermuamalat oleh para pendukung kejahatan untuk mengganggu para ahli waris
dan membujuk mereka supaya berlebih-lebihan dalam memperturunkan kelezatan
dan syahwat dengan berbagai macamnya. Sehimgga terjadilah mereka orang-orang
yang fakir. Para ahli waris itu kurang sadar atas kelalaiannya, kecuali bila mereka
telah mancapai umur tua, kecuali akal mereka telah sempurna dan paham tentang
beban-beban kehidupan, disamping memperhatikan tenyang nasip anak
keturunan.8
Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang disebut orang dungu atau orang
safih (jamaknya .السفهاء) Said bin Zubai berkara, Anak yatim, yang tidak
diserahkan harta kepadanya. Nahas berkata, “itulah tafsir yang sebaik-baiknya
dalam ayat ini.” Menurut Malik maksud kata safih itu anak yang masih kecil.
Maksudnya jangan kamu berikan kepada mereka hartamu, maka nanti akan
diboroskannya sehingga tidak ada yang tinggal lagi. Menurut Mujahid maknanya
adalam perempuan. Menurut Nahas, perkataan ini tidak sah, karena orang Arab
7 http://www.cahayainsani.com/257/tafsir-ayat-ayat-yatim-4#more-2578 http://kasihianakyatim.blogspot.com/2010/08/tafsir-tentang-ayat-ayat-
yatim.html
9
jika yang dimaksudkan perempuan akan berkata “safihah atau “sifihat,” bukan
“sufaha” seperti yang tersebut dalam ayat diatas.9
3. Dalam surat al-an’am ayat 152 Allah juga berfirman:
Artinya: dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan
cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.
4. dalam surat al-isra’ (17.34) Allah juga berfirman:
Artinya: dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
Kedua ayat tersebut menggunakan ungkapan yang yama dalam, yaitu “janganlah kamu mendekati harta anak yatim, menurut Rasid RIdha, larangan mendekati adalah lebih balig (lebih mengena dan lebih kuat) daripada larangan melakukan, sebab larangan mendekati telah mencakup terhadap sebab dan segala perantara yang menyampaikan kepada makan harta anak yatim
Kemudian kata” hatta yabluga asyuddah “ memberikan pengertian bahwa keyakinan seorang anak yatim adalah dewasa, maka apabila anak yatim itu sudah menginjak umur dewasa, sudah mampu mengenali mana yang baik dan mana yang buruk, serta mampu untuk menanage harta miliknya sendiri, maka dia dikatakan telah keluar dari keadaan yatim.
Adapun ukuran dewasa menurut as-Sya’biy , yaitu apabila anak tersebut sudah bermimpi bercumbuan dengna lain jenisnya, dan pada umumnya setelah berumur 15 tahun atau 18 tahun.10
C. Hukum menyerahkan harta sebelum anak dewasa (masih kecil)
Sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan terdahulu dengan melihat
berbagai sumber dalam alqur’an maupun hadis yang berkenaan tentang harta anak
yatim serta pengelolaan serta penyerahannya, begitu pula dalam hal penilaian
tentang bagaimana sesungguhnya konsep anak dalam perspektif hukm islam
maupun dalam perundang-undangan (hukum positif di Indonesia), kiranya dapat
ditarik sebuah titik terang tentang kedudukan anak serta kemampuan anak dalam
mengelola harta miliknya sendiri, apakah ia dapat dikategorikan mampu untuk
mentasarrufkan harta miliknya sendiri dengan baik ataukah sebaliknya sehingga
hal tersebut akan mejadi tolak ukur bagaimana kebolehan bagi seorang wali untuk
menyerahkan kembali harta yang menjadi hak milik si anak yatim tersebut. Unsur
9 Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tasir Al Ahkam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006), hal 196.10 Rasyid Rida, jilid VIII, 190.
10
kedewasaan sesorang tentu menjadi patokan utama dalam menentukan
kemampuan seseorang dalam hal mengelola harta miliknya.
Dalam kamus umum bahasa indonesia yang dimaksud dengan dewasa
yaitu sampai umur atau baligh. Dalam hukum Islam, usia dewasa dikenal dengan
istilah baligh. Prinsipnya, seorang lelaki telah baligh jika sudah pernah bermimpi
basah (mengeluarkan sperma). Sedangkan seorang perempuan disebut baligh jika
sudah pernah menstruasi. Nyatanya, sangat sulit memastikan pada usia berapa
seorang lelaki bermimpi basah atau seorang perempuan mengalami menstruasi.
Pandangan ulama mengenai usia dewasa ternyata bervariasi. Sebagian besar ulama
sepakat bahwa patokan usia dewasa bagi lelaki dan perempuan tidaklah sama.
Mayoritas ulama juga tidak membedakan batas usia dewasa dalam pernikahan dan
muamalah atau transaksi bisnis. Sebab, keduanya sama-sama mengandung akad
atau perikatan.
Dalam bahasa arab dewasa dapat di artikan mukallaf dan ar-rusyd.
Mukallaf ialah orang yang dibebani tanggung jawab hukum di tandai dengan
mimipi basah bagi laki-laki dan keluarnya haid bagi perempuan, sedangkan ar-
rusdy adalah kepantasa seseorang dalam dalam bertasarruf serta mendatangkakn
kebaikan. Hal ini merupakan kesepurnaan akalnya. Menurut ulama syfiiyah rusdy
adalah apabila telah tampak kebaikan tindakan dalam soal agama dan harta benda.
Secara termenologi kedewasaaan yaitu kematangan fisik dan psikis seorang untuk
bereaksi dan bertindak secara tepat dalam setiap situasi dan masalah dalam
mengahadpi kenyataan hidup.
Jadi dari uraian diatas maka kedewasaan itu dapat ditentukan dari
perubaan fisik dan psikis seseorang. Kedeawasaan juga dapat diukur sejauh mana
kebijakan seseorang dalam menghadapi masalah. Maka karena itulah terdapat
berbagai macam prinsip-prinsip yang menentukan umur kedewasaan seseorang,
yaitu :
a. Azaz Kematangan
Azaz ini dapat dilihat dari dua faktor yaitu umur dan fasik. Secara tekstual
dalam syariat islam atau kitab-kitab fiqh tidak terdapat penjelasan tentang batas
usia kawin, akan tetapi diindonesia terdapat peraturan yang mengatur batas usia
kawin bagi seorang yang menikah. Hal ini tersebutkan dalam kompilasi hukum
islam dan uu perkawinan No 1 Tahun 1977 Ps.1 yang menyatakan bahwa seorang
calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-
kurangnya berumur 16 tahun. Secara fisik usioa, rangka tubuh, tingi dan lebarnya
tubuh seserorang dapat menunujukan sifat kedewasaan pada diri seseorang.
11
Faktor-faktor ini memang biasa di gunakan sebagai ukuran kedewasaasn. Akan
tetapi segi fisik saja belum dapat menjamin bagi seseorang untuk dapat dikatakan
telah dewasa.
b. Azaz Tanggung Jawab
Dalam kehidupan bersosial, tanggug jawab merupakan suatu hal sangat
urgen yang harus dimiliki oleh seseorang, sehingga ia dapat bereaksi dan bertindak
secara tepat dalam situasi dan masalah dan tidak lari dari kenyataan.
c. Azaz Kecakapan Bertindak
Azaz ini dilihat dari bagaimana kebijakan seseorag mengahadapi masalah.
Dari segi mental orang yang dewasa akan bertindak bijak pada semua tindakannya,
ia akan mempertimbangkan segala sesuatuya sehingga dapat menghadapi setiap
masalah yang ada. Tidak cepat terbawa emosi dan gegabah terutama dalam hal
penglolaan harta atau manajemen harta dalam kehidupan sosial dimana dia
berada.11
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyerahan harta sebelum
masa baligh atau dewasa dan terpenuhinya kemampuan si anak bahwa ia telah siap
dalam menggunakan hartanya secara baik dan benar, adalah tidak boleh. Bila
penyerahan itu dilakukan pada saat anak masih kecil /belum baligh maka sama
saja artinya dengan menelantarkan kehidupan anak yatim tersebut.
D. ANCAMAN BAGI PEMAKAN HARTA ANAK YATIM
Berkaitan dengan memelihara harta anak yatim dan kezaliman, banyak
hadist diriwayatkan sejalan dengan ayat di atas yang berisi ancaman keras dan
peringatan bagi manusia yang menzalimi mereka. Di antaranya adalah hadits
yang diriwayatkan al-Bukhârî dan Muslim, bahwa Nabi SAW bersabda:
“Hindarilah tujuh hal yang akan membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Ya
Rasulullah, apa yang tujuh hal itu?” Beliau menjawab, “Menyekutukan Allah,
sihir, membunuh orang yang diharamkan Allah untuk dibunuh kecuali yang
dibenarkan, memakan barang hasil riba, memakan harta anak yatim!”
Al-Hākim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah
berhak untuk tidak memasukkan mereka kedalam surga dan tidak merasakan
kenikmatannya. Mereka itu adalah peminum khamar, pemakan riba, pemakan
harta anak yatim tanpa hak, dan pendurhaka kepada kedua orang tuanya.”
11http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010/04/azaz kedewasaan dalam perkawinan
islam.html
12
Dalam Shahĩh-nya, Ibn Hibbān menyebutkan bahwa dari sejumlah surat
Nabi SAW yang dikirimkan melalui ‘Umar ibn Hazm kepada penduduk Yaman
berbunyi: “Dosa-dosa besar yang paling besar pada Hari Kiamat adalah
menyekutukan Allah, membunuh orang Mukmin tanpa kebenaran, lari dari
medan perang di jalan Allah pada hari melelahkan, durhaka kepada kedua
orangtua, tuduhan berzina kepada perempuan suci, mempelajari sihir, memakan
hasil riba, dan memakan harta anak yatim.”
Abũ Ya’lā meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pada Hari
Kiamat, ada suatu kaum dibangkitkan dari kubur mereka dengan nyala api di
mulut mereka.” "Siapa mereka itu, ya Rasulullah?” Tanya para sahabat.
"Tidakkah kalian perhatikan bahwa Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim dengan cara yang tidak
lurus, mereka akan memakan api sepenuh perutnya." (QS an-Nisā’ [4]: 10)
Dalam hadist Mikraj yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan
bahwa Nabi SAW bersabda: “Tiba-tiba aku melihat orang-orang yang dilaknati.
Sementara yang lain membawa batu dari api, menelannya, lalu api itu keluar
dari dubur mereka. Aku lantas bertanya kepada Jibrĩl, ‘Ya Jibril, siapakah
mereka?’ Jibrĩl menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan harta
anak-anak yatim secara zalim. Sesungguhnya mereka benar-benar memakan api
ke dalam perut mereka.”
Sementara dalam Tafsir al-Qurthubĩ dinukil hadist dari Abũ Sa’ĩd al-
Khudrĩ bahwa Nabi SAW bersabda: “Pada malam Isra’ aku melihat satu kaum
yang memiliki bibir seperti bibir unta. Lalu bibir mereka ditarik dan di masuki
batu dari api ke dalam mulut mereka. Lalu api itu keluar dari dubur mereka. Aku
lalu bertanya, ‘Ya Jibrĩl, siapakah mereka?’ Jibril menjawab, ‘Mereka adalah
orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zalim.”
Dari uraian diatas Nampak jelas bahwa begitu beratnya ancaman Allah
bagi orang yang memekan harta anak yatim dengan jalan tidak benar. Sehingga
kebolehan seorang wali untuk mengambil sebagian kecil dari harta anak yatim
tersebut hanyalah sangat terbatas dan semaksimal mungkin untuk dihindari
kecuali dalam keadaan terpaksa.
E PENGELOLAAN HARTA ANAK YATIM
Pada dasarnya islam melarang bagi seorang wali untuk memakan ataupun
menguasai harta anak yatim dengan tujuan yang tidak baik. Al-quran telah
menghalalkan kita memakan harta anak yatim, namun dengan syarat bahwa
semua itu justru demi kepentingan anak yatim itu sendiri dan tentunya dengan
13
besaran yang wajar. Vide: (QS. Al-An''am: 152). Mengelola dana anak yatim
adalah suatu amal yang mulia, karena dengan cara demikian, anak yatim akan
mendapatkan jaminan sosial yang baik. Apalagi bila dikelola secara professional.
Salah satu upaya yang menurut hemat penulis adalah dengan mengembangkan
harta si anak yatim tersebut agar bisa berkembang dan ketika ia telah dewasa
nanti setelah digembleng dengan segala macam pendidikan dan keterampilan
oleh si wali tadi, akan mampu mencukupi semua kebutuhan hidupnya kelak
bahkan bisa mengembangkan sendiri hartanya.
Sebagai contoh apabila harta anak yatim tersebut diinvestasikan ke dalam
bentuk pengelolaan tanah pertanian maupun perkebunan, dimana kerugian yang
mungkin akan timbul dari kedua jenis investasi tersebut boleh diaktakansangat
jarang dan bahkan kemungkinan akan bertambah dari segi harga sangat besar,
disamping hasil yang diperoleh dari pengelolaan tanah pertanian ataupun
perkebunan tersebut bisa dimampaatkan untuk memenuhi segala kebutuhan anak
yatim tersebut sampai ia nanti dewasa dan mampu berdiri sendiri untuk
mengelola serta mengembangkan harta miliknya sendiri.
F. Kesimpulan
Dari uraian uraian pada pembahasan terdahulu, penulis dapat menyimpulkan
beberapa hal secara garis besar yaitu:
Kata al-yatim diambil dari kata yatima yaitamu, seperti ta’iba, dan yatama,
seperti qaruba. Sedangkan mashdarnya bisa yutman atau yatman, yaitu dengan
mendhammah atau memfathah huruf ya’. Untuk manusia, keyatiman ditinjau dari
jalur ayah. Dikatakan, shaghirun yatim, yaitu anak yatim laki-laki, sedangkan
jamaknya adalah aitam dan yatama. Shaghirah yatimah, berarti anak yatim
perempuan, sedangkan jamaknya yatama.
Allah telah secara jelas dan terang memberikan kita peringatan keras tentang
perlunya memperhatikan dan melindungi hak-hak seorang anak yatim baik itu
berkenaan dengan pendidikan dan pembinaan pribadinya, maupun yang
berkenaan dengan harta-harta miliknya yang ditinggalkan oleh orang tuanya,
sehingga pada saatnya nanti ketika anak tersebut menginjak umur dewasa/baligh
ia telah mampu untuk membelanjakan dan memanage hartanya dengan baik.
Karena Allah telah melarang secara keras dalam hal menelantarkan anak yatim.
Kewajiban seorang wali dalam mengurus dengnabaik harta-harta milik si yatim
tersebut agar tidak menjadi sia-sia apabila tidak terpelihara dengan baik, dan
14
apabila anak yatim tersebut telah diuji kemampuannya baik secara fisik maupun
mentalnya maka si wali harus menyerahkan harta kepada anak yatim itu.
Dalam hal menyerahkan harta kepada anak yang belum baligh atau dewasa,
adalah suatu hal yang tidak tepat dan menjadi kekhawatiran yang cukup berlasan
kiranya jika dalam keadaan dimana anak yang akan diserahi tersebut masih
sangat rentan dalam membelanjakan hartanya secara semena-mena (boros).
Menurut hemat penulis, yang menjadi factor utama dalam boleh atau tidaknya
penyerahan kembali harta yang dipelrhara oleh si wali tersebut adalah dengna
memperhatikan tumbuh kembang anak, bukan hanya hanya semata-mata dengan
mengacu kepada umur si anak tersebut saja, akan tetapi unsur kedewasaan,
kematangan dan azaz tanggung jawab si anak tersebut harus benar-benar teruji.
15
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,
(jilid XV, Jakarta, Lentera Hati, 2004
Abdul Mustakim, Kedudukan dan Hak-hak Anak dalam Perspektif al-Qur’an,
(Artikel Jurnal Musawa, vol.4 No. 2, Juli-2006
Hadlarat Hifni Bik Nasif dkk, Qawa’id al-Lughah al-‘Arabiyyah, (Surabaya, Syirkah
Maktabah wa Mathba’ah, t.th
Tafsir Nurul Quran: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Quran karya
Allamah Kamal Faqih Imani. Jilid 3. Jakarta: Al-Huda, 2003
Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir A Dimasyiqi Tafsir Ibnu Katsir Juz 4,
(penerjemah Bahrun Abu Bakar, L.C, Sinar Baru Algensindo, 2006
Bandung)
Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tasir Al Ahkam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006), hal 196.
http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010/04/azaz kedewasaan dalam
perkawinan islam.html
http://kasihianakyatim.blogspot.com/2010/08/tafsir-tentang-ayat-ayat-yatim.html
16