Upload
listiyaningrum
View
222
Download
40
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tugas kuliah toksikologi
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini laju pembangunan semakin pesat, terutama di daerah perkotaan. Industri-
industri yang berkembang selain memberikan dampak positif, juga menimbulkan dampak
negatif, di antaranya pencemaran lingkungan dari limbah yang dihasilkan, baik berupa
limbah organik maupun limbah anorganik seperti logam berat, pestisida dll. Sementara
daerah resapan air sendiri semakin berkurang, karena banyaknya bangunan permanen seperti
gedung-gedung bertingkat dan perumahan penduduk, sehingga menghalangi proses siklus
alami air di dalam tanah, termasuk di dalamnya proses pengolahan limbah secara alami.
Bioremediasi berasal dari kata bio dan remediasi atau “remediate” yang artinya
menyelesaikan masalah. Secara umum bioremediasi dimaksudkan sebagai penggunaan
mikroba untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan atau untuk menghilangkan
senyawa yang tidak diinginkan dari tanah, lumpur, air tanah atau air permukaan sehingga
lingkungan tersebut kembali bersih dan alamiah.
Menurut Ciroreksoko (1996), bioremediasi diartikan sebagai proses pendegradasian
bahan organik berbahaya secara biologis menjadi senyawa lain seperti karbondioksida (CO2),
metan, dan air. Sedangkan menurut Craword (1996), bioremediasi merujuk pada penggunaan
secara produktif proses biodegradatif untuk menghilangkan atau mendetoksi polutan
(biasanya kontaminan tanah, air dan sedimen) yang mencemari lingkungan dan mengancam
kesehatan masyarakat. Jadi bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk
mengatasi masalah lingkungan dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme.
Pada bioremediasi menggunakan mikroorganisme yang telah dipilih untuk
ditumbuhkan pada polutan tertentu sebagai upaya untuk menurunkan kadar polutan
tersebut. Pada saat proses bioremediasi berlangsung, enzim-enzim yang diproduksi oleh
mikroorganisme memodifikasi struktur polutan beracun menjadi tidak kompleks sehingga
menjadi metabolit yang tidak beracun dan berbahaya. Mikroba yang hidup di tanah dan di air
tanah dapat “memakan” bahan kimia berbahaya tertentu, terutama organik, misalnya
berbagai jenis minyak bumi. Mikroba mengubah bahan kimia ini menjadi air (H2O) dan gas
yang tidak berbahaya misalnya CO2. Menurut Sri Harjati Suhardi, seorang peneliti dan
praktisi bioremediasi Pusat Ilmu Hayati ITB, faktor utama agar mikroba dapat membersihkan
bahan kimia berbahaya dari lingkungan, yaitu adanya mikroba yang sesuai dan tersedia
kondisi lingkungan yang ideal tempat tumbuh mikroba seperti suhu, pH, nutrient dan jumlah
oksigen.
1
Sehubungan dengan bioremediasi, pemerintah Indonesia telah mempunyai payung
hukum yang mengatur standar baku kegiatan bioremediasi dalam mengatasi
permasalahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan perminyakan serta bentuk
pencemaran lainnya (logam berat dan pestisida) melalui Kementerian Lingkungan Hidup,
Kep Men LH No.128 tahun 2003, tentang tatacara dan persyaratan teknis dan
pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara
biologis (bioremediasi) yang juga mencantumkan bahwa bioremediasi dilakukan dengan
menggunakan mikroba lokal.
Pada dasarnya, pengolahan secara biologi dalam pengendalian pencemaran air,
termasuk upaya bioremediasi, dengan memanfaatkan bakteri bukan hal baru namun
telah memainkan peran sentral dalam pengolahan limbah konvensional sejak tahun 1900-
an (Mara, Duncan and Horan, 2003). Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada
pengolahan air limbah yang mengandung senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk
didegradasi dan biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri, antara lain logam-logam
berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida
dan herbisida (Tortora, 2010), maupun nutrisi dalam air seperti nitrogen dan fosfat pada
perairan tergenang (Great Lakes Bio Systems. Inc. Co Orb-3.com/). Pengembangan IPTEK
dalam bioremediasi untuk detoksifikasi atau menurunkan polutan dalam pengendalian
pencemaran air telah menjadikan metode ini menjadi lebih menguntungkan dibandingkan
dengan metode yang menggunakan bahan kimia.
Dalam teknologi bioremediasi dikenal dua cara menstimulasi pertumbuhan mikroba,
yaitu dengan biostimulasi dan bioaugmentasi.
a. Biostimulasi adalah memperbanyak dan mempercepat pertumbuhan mikroba yang sudah
ada di dalam tanah tercemar dengan cara memberikan lingkungan pertumbuhan yang
diperlukan, yaitu penambahan nutrient (misalnya sumber nitrogen dan phospor) dan
oksigen.
b. Bioaugmentasi adalah suatu cara menstimulasi pertumbuhan mikroba dengan
menambahkan mikroba, jika jumlah mikroba yang ada sangat sedikit, sehingga harus
ditambahkan mikroba untuk mencapai jumlah mikroba rata-rata 10^3 cfu/gram* tanah
agar bioproses dapat dimulai. Mikroba yang ditambahkan adalah mikroba yang
sebelumnya diisolasi dari lahan tercemar kemudian setelah melalui proses penyesuaian di
laboratorium diperbanyak dan kembalikan ke tempat asalnya untuk memulai bioproses.
Kondisi lingkungan yang memadai akan membantu mikroba tumbuh, berkembang
dan “memakan” polutan tersebut (memanfaatkan karbon dari polutan sebagai sumber energi
2
untuk pertumbuhan). Sebaliknya jika kondisi yang dibutuhkan tidak terpenuhi, mikroba akan
tumbuh dengan lambat atau mati. Secara umum kondisi yang diperlukan ini tidak dapat
ditemukan di area yang tercemar. Dengan demikian, perencanaan teknis (engineering design)
yang benar memegang peranan penting untuk mendapatkan proses bioremediasi yang efektif.
Pada aplikasi teknik bioremediasi dikenal dua teknik yang sangat umum diterapkan
yaitu biopile dan landfarming.
a. Pada teknik biopile, tanah tercemar ditimbun diatas lapisan kedap air dan suplai udara
yang diperlukan oleh mikroba dilakukan dengan memasang perpipaan untuk aerasi
(pemberian udara) dibawah tumpukan tanah tercemar. Pompa udara dipasang diujung
perpipaan sehingga semua bagian tanah yang mengandung mikroba dan polutan berkontak
dengan udara. Dengan teknik ini, ketinggian tanah timbunan adalah 1 sampai 1,5 meter.
b. Teknik landfarming, dilakukan dengan menghamparkan tanah tercemar diatas lapisan
kedap air. Ketebalan hamparan tanah 30 – 50 cm memungkinkan kontak mikroba dengan
udara. Untuk menjamin bahwa semua bagian dari tanah yang diolah terkontak dengan
udara maka secara berkala hamparan tanah tersebut di balikkan. Nama landfarming
digunakan karena proses pembalikan tanah yang dilakukan sama dengan pembalikan tanah
pada saat persiapan lahan untuk pertanian.
Bioremediasi sangat aman untuk digunakan karena menggunakan mikroba yang
secara alamiah sudah ada dilingkungan (tanah). Mikroba ini adalah mikroba yang tidak
berbahaya bagi lingkungan atau masyarakat. Bioremediasi juga dikatakan aman karena tidak
menggunakan/menambahkan bahan kimia dalam prosesnya. Nutrien yang digunakan untuk
membantu pertumbuhan mikroba adalah pupuk yang digunakan dalam kegiatan pertanian dan
perkebunan. Karena bioremediasi mengubah bahan kimia berbahaya menjadi air (H2O) dan
gas tidak berbahaya (CO2), maka senyawa berbahaya dihilangkan seluruhnya. Teknologi
bioremediasi banyak digunakan pada pencemaran di tanah karena beberapa keuntungan
menggunakan proses alamiah / bioproses. Tanah atau air tanah yang tercemar dapat
dipulihkan ditempat tanpa harus mengganggu aktifitas setempat karena tidak dilakukan
proses pengangkatan polutan. Teknik ini disebut sebagai pengolahan in-situ. Teknik
bioremediasi yang diterapkan di Indonesia adalah teknik ex-situ yaitu proses pengolahan
dilakukan ditempat yang direncanakan dan tanah tercemar/polutan diangkat ke tempat
pengolahan. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pengolahan tergantung pada faktor
jenis dan jumlah senyawa polutan yang akan diolah, ukuran dan kedalaman area yang
tercemar, jenis tanah dan kondisi setempat dan teknik yang digunakan. Jenis minyak mentah
ringan (light crude sesuai nomor API) yang diolah dengan teknik biopile bioaugmetnasi dan
3
konsentrasi pengolahan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Kepmen LH 128/2003 yaitu max
15% memerlukan waktu 4 – 6 bulan. Sedangkan minyak mentah berat (heavy crude) akan
memerlukan waktu dari 1 tahun atau lebih. Kondisi ini bervariasi dari satu area tercemar
dengan area lainnya, sehingga waktu yang diperlukan dalam rentang 4 bulan sampai 1 tahun.
Kondisi akhir (end point) untuk menyatakan bahwa proses bioremediasi berhasil dan selesai
adalah konsentrasi total hidrokarbon minyak bumi (TPH) 1%. Kepmen LH 128/2003 untuk
saat ini baru menggunakan parameter TPH saja karena kegiatan yang menerapkan teknologi
bioremediasi masih terbatas pada industri migas. Biaya yang diperlukan untuk melakukan
bioremediasi berada pada rentang US $25 – 75 per ton tanah olahan, tergantung pada kondisi
pencemaran. Harga ini masih lebih murah dibandingkan dengan menggunakan teknik
pengolahan lainnya misalnya insinerasi yang bisa mencapai 4 sampai 10 kali lipatnya.
Bioremediasi sebagai teknologi yang dapat digunakan untuk membersihkan berbagai
jenis polutan bukan berarti tanpa keterbatasan. Bioremediasi tidak dapat diaplikasikan untuk
semua jenis polutan, misalnya untuk pencemaran dengan konsentrasi polutan yang sangat
tinggi sehingga toksik untuk mikroba atau untuk pencemar jenis logam berat misal kadmium
dan Pb. Dimasa yang akan datang, penerapan teknologi bioremediasi di Indonesia akan
berkembang tidak hanya terbatas pada pemulihan lahan tercemar minyak bumi di industri
migas, tetapi juga pencemaran di industri otomotif, SPBU dan industri lainnya seperti
pertanian. Dengan demikian, polutan targetnya bukan hidrokarbon minyak bumi saja tetapi
juga senyawa inorganik lainnya seperti pestisida. Pendekatan molekular misalnya identifikasi
mikroba dengan 16sRNA atau 18sRNA untuk mengetahui keberlimpahan mikroba dalam
proses bioremediasi dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja bioproses. Teknologi
molekular ini sudah tersedia dan dibandingkan dengan teknik identifikasi konvesional yang
saat ini umum digunakan di Indonesia memberikan waktu pemeriksaan lebih cepat. Namun
demikian, penggunaan teknik molekular ini masih mahal dan belum perlu sebagai prioritas.
4
BAB 2
PEMBAHASAN
A. REMEDIASI BERBASIS TUMBUHAN (FITOREMEDIASI)
Dalam bidang pencemaran lingkungan, dikenal istilah bioremediasi, yakni
penggunaan mikroorganisme (bakteri/jamur) untuk mendekomposisi dan mendegradasi
polutan menjadi unsur yang tidak berbahaya. Dalam bioremediasi terdapat beberapa metode
remediasi, baik yang berbasis fisika kimia maupun berbasis ilmu lain. Dalam dua dekade
terakhir penelitian, pengembangan dan penerapan metode remediasi berbasis tumbuhan
mendapat perhatian luas di Amerika, Australia, dan Eropa. Metode remediasi yang dikenal
sebagai fitoremediasi ini mengandalkan pada peranan tumbuhan untuk menyerap,
mendegradasi, mentransformasi dan mengimobilisasi bahan pencemar, baik itu logam berat
maupun senyawa organik. Mengingat akan kekayaan hayati tumbuhan Indonesia yang besar
serta ditunjang oleh iklim yang hangat sepanjang tahun, tentunya sumbangan tumbuhan untuk
mengendalikan pencemaran perlu dikaji dan akhirnya diterapkan bila teknologinya ternyata
menguntungkan.
Phyto berasal dari bahasa Yunani (greek phyton) yang berarti tumbuhan/tanaman
(plant), remediation berasal dari bahasa Latin remediare (to remedy) yaitu
memperbaiki/menyembuhkan atau membersihkan sesuatu. Jadi fitoremediasi
(phytoremediation) merupakan suatu sistem dimana tanaman tertentu yang bekerja sama
dengan mikroorganisme dalam media (tanah, koral dan air) dapat mengubah zat kontaminan
(pencemar/polutan) menjadi kurang atau tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang
berguna secara ekonomi.
Fitoremediasi ini menggunakan tanaman hijau untuk membersihkan limbah/daerah
yang terkontaminasi bahan yang berbahaya/beracun. Ide penggunaan tanaman pengakumulasi
logam berat ini adalah untuk menghilangkan logam berat dan senyawa-senyawa lain yang
diperkenalkan pertama pada tahun 1983, tetapi konsep ini sebenarnya telah
diimplementasikan 300 tahun yang lalu pada pembuangan air limbah.
Penggunaan tumbuhan untuk menyembuhkan tanah-tanah yang tercemar, merupakan
teknologi baru yang sedang berkembang sehingga memerlukan banyak pemahaman tentang
mekanisme yang melandasinya untuk optimasinya. Sejumlah spesies tumbuhan telah diuji
karena kemampuannya mengakumulasikan unsure-unsur toksik dalam biomasanya di bagian
tanaman di atas tanah. Ada dua strategi yang telah diuji dalam teknologi fitoremediasi.
Aplikasi tumbuhan hiper-akumulasi (seperti Thlaspi caerulescens atau Alyssum bertolonii)
5
yang menghasilkan sedikit biomasa di atas tanah tetapi mampu mengakumulasikan banyak
satu atau lebih unsur toksik di dalam biomasanya merupakan pendekatan pertama (Tlustoš,
Száková, Hrubý, Hartman, Najmanová, Nedělník, Pavlíková, dan Batysta, 2006).
Pendekatan ke dua adalah aplikasi tumbuhan yang menghasilkan banyak biomasa,
yang dicirikan oleh rendahnya kemampuan mengakumulasikan unsur toksik, total serapan
unsur toksik tersebut sebanding dengan tumbuhan hiper-akumulasi karena banyaknya
produksi biomasa di atas tanah. Dalam konteks ini, tumbuhan Brassica spp. mampu
mengakumulasikan Zn, sehingga lebih efektif mengambil Zn dari tanah yang tercemar
dibandingkan dnegan tumbuhan hiper-akumulator Zn Thlaspi caerulescens yang
menghasilkan biomasa tanaman di atas tanah lebih sedikit. Spesies tumbuhan yang toleran
terhadap tanah yang kaya unsur toksik, dan kemudian diikuti dengan serapan intensif unsur
ini, termasuk pada famili Caryophyllaceae, Brassicaceae, Cyperaceae, Poaceae, Fabaceae,
dan Chenopodiaceae (Kabata-Pendias and Pendias 2001). Demikian juga rekomendasi EPA
(EPA 2000) memasukkan tumbuhan akumulator logam seperti jagung (Zea mays), sorghum
(Sorghum bicolor), dan lucerne (Medicago sativa) di antara tumbuhan yang mampu
mengambil sejumlah besar logam tetapi masih memerlukan banyak kajian ilmiah.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa pohon-pohon yang tumbuhnya cepat, dan
terutama “willow” sangat potensial untuk fitoremediasi karena hasil biomasanya sangat
banyak dan kemampuannya sangat baik untuk mengakumulasikan unsur logam toksik,
terutama cadmium dan zinc (Pulford and Watson, 2002). Di antara jenis-jenis herba,
tembakau (Nicotiana tabacum L.) mengakumulasikan banyak Cd dan Cu; dan jagung (Zea
mays L.) dipandang sebagai tanaman yang efektif karena banyak menghasilkan biomasa
bagian tanaman di atas tanah dengan kandungan unsure logam yang cukup tinggi.
Dibandingkan dengan N. tabacum, ternyata Z. mays mampu menyerap Zn lebih banyak
(Wenger et al., 2002). Akan tetapi, untuk tujuan fito ekstraksi, efektivitas tanaman jagung
tampaknya belum mencukupi (Schmidt 2003). Cadmium dan Pb terutama ditahan dalam akar
jagung, ini menunjukkan mobilitas Pb dalam tubuh tanaman snagat terbatas (Bricker et al.,
2001). Tingginya kandungan Pb dalam biomasa bagian tanaman di atas tanah ditunjukkan
oleh tanaman Indian mustard [Brassica juncea (L.) Czern.], rye grass (Lolium perene L.),
sunflower (Helianthus anuus L.) atau smallwing sedge (Carex microptera Mack.) (Klassen et
al. 2000). Kecuali itu, tanaman bunga-matahari menunjukkan kemampuan yang bagus untuk
fitoremediasi Cu. Tingginya kandungan As dan Zn juga ditemukan dalam biomasa tanaman
Amaranthus hybridus L. yang mengakumulasikan unsur ini dengan urutan daun > stems >
akar; akan tetapi tumbuhan ini belum mencukupi untuk aplikasi praktis fitoremediasi.
6
Fitoremediasi merupakan instilah umum pemanfaatan tumbuhan untuk mengusir,
mendegradasi, atau mengandung bahan pencemar tanah seperti logam berat, pestisida,
polyaromatic hydrocarbons, dan lindi dari timbunan sampah landfill. Proses ini meliputi:
(1) modifikasi sifat-sifat fisika dan kimia tanah yang tercemar;
(2) melepaskan eksudat akar, sehingga menambah kan karbon organik;
(3) memperbaiki aerasi dengan jalan melepaskan oksigen secara langsung ke zone
perakaran dan meningkatkan porositas tanah lapisan atas;
(4) menangkap dan menahan pergerakan bahan-bahan kimia;
(5) mempengaruhi proses co-metabolic mikroba dan transformasi ensimatik tumbuhan
yang merombak bahan-bahan kimia limbah;
(6) menurunkan migrasi vertical dan lateral bahan pencemar menuju groundwater dengan
jalan mengekstraks air tersedia dan membalik gradient hidraulik.
Pb merupakan logam berat yang sangat toksik dan mempunyai efek sangat serius
terhadap tumbuhan dan binatang. Remediasi polutan toksik ini dengan menggunakan bahan-
bahan yang ramah lingkungan sangat diperlukan. Dalam penelitian ini pengaruh pH dan
konsentrasi terhadap kapasitas serapan Pb oleh Eichhornia crassipes dan “interplay” nya
telah diamati. Laju serapan Pb oleh Eichhornia crassipes sangat cepat dalam periode 48 jam
pertama pada semua konsentrasi awal dan pada berbagai nilai pH. Efisiensi serapan akar
lebih besar dibandingkan dengan bagian tanaman di atas tanah. Akumulasi Pb dalam akar
Eichhornia crassipes ternyata sangat tinggi pada semua perlakuan pH dan konsentrasi awal.
Laju fotosintesis Eichhornia crassipes sangat menurun kalau ditanam dalam medium akuatik
yang mengandung Pb. Kandungan khlorofil menurun dengan adanya peningkatan perlakuan
konsentrasi Pb selama periode percobaan; hal ini mencerminkan kemungkinan toksisitas Pb.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa tumbuhan Eichhornia crassipes mempunyai
kemampuan menetralkan pH.
Genus-genus Brassicaceae ternyata mampu mengakumulasikan logam berat. Hiper-
akumulasi Ni dilaporkan terjadi pada tujuh genus dan 72 species; sedangkan hiper-akumulasi
Zn terjadi pada tiga genus dan 20 species. Spesies Thlaspi ternyata hiper-akumulasi lebih dari
satu jenis logam, yaitu spesies T. caerulescence untuk logam-logam Cd, Ni. Pb, dan Zn;
spesies T. goesingense untuk logam Ni dan Zn; serta spesies T. ochroleucum untuk logam Ni
dan Zn; spesies T. rotundifolium untuk logam Ni, Pb dan Zn. Tumbuhan yang bersifat hiper-
akumulasi logam mempunyai potensi bahaya untuk aplikasi remediasi logam dalam
lingkungan.
7
Beberapa spesies akuatik mempunyai kemampuan mengambil logam berat dari air,
misalnya air limbah (Eichhornia crassipes (Mart.) Solms); pennywort (Hydrocotyle
umbellata L.) dan duckweed (Lemna minor L.). Akar tumbuhan Indian mustard sangat efektif
menyerap Cd, Cr, Cu, Ni, Pb, dan Zn; bunga matahari mampu menyerap Pb, U, 137Cs, dan 90Sr dari larutan hidrofonik. Penggunaan bahan pembenah tanah seperti bahan sintetik
ammonium thiocyanate dan zeolit alamiah memberikan hasil yang menjanjikan. Bahan
sintetik polyacrylates, hydrogels mampu melindungi akar tanaman dari bahaya toksisitas
logam berat dan mencegah masuknya logam toksik ke dalam akar. Setal pertumbuhan
tanaman dan akumulasi logam dianggap cukup, bagian tanaman di atas tanah dipanen dan
diambil, berarti logam secara permanent diambil dari lokasi yang tercemar itu. Logam-logam
dalam tanah juga menjadi tersedia biologis dan dapat diserap oleh akar tanaman. Bahan-
bahan kimia yang diperkirakan dapat dipakai untuk tujuan ini adalah bahan-bahan
pengasaman tanah, garam pupuk dan bahan-bahan pembentuk khelate.
Retensi logam-logam kepada bahan organic tanah juga lebih lemah pada kondisi pH
rendah, hal ini mengakibatkan logam menjadi lebih tersedia dalam larutan tanah untuk
diserap oleh akar tanaman. Oleh karena itu diperkirakan proses fitoekstraksi akan menjadi
lebih baik kalau ketersediaan logam bagi akar tanaman dapat diperbaiki dengan penambahan
bahan-bahan yang dapat mengasamkan tanah. Khelate digunakan untuk memperbaiki fito-
ekstraksi sejumlah logam pencemar tanah, termasuk Cd, Cu, Ni, Pb, dan Zn.
Para peneliti semula menggunakan hiper-akumulator untuk membersihkan tanah-
tanah yang tercemar logam berat. Beberapa peneliti telah memilih jenis tumbuhan yang laju
tumbuhnya cepat, banyak menghasilkan biomasa, termasuk beberapa tanaman agronomis,
berdasarkan kemampuannya untuk mentoleransi dan mengakumulasi logam dalam bagian
tanaman di atas atanah. Gen-gen yang mengendalikan hiperakumulasi logam dalam jaringan
tanaman telah dapat diidentifikasi dan di-klon-kan. Metabolisme Glutathione dan asam-asam
organik memegang peranan penting dalam mekanisme toleransi tanaman terhadap logam
berat. Glutathione merupakan komponen penting dalam sel bakteria, tumbuhan dan binatang.
Dalam proses fitoremediasi logam yang ada dalam lingkungan, asam-asam organik
memegang peranan penting dalam mentoleransi logam. Asam-asam organik ini mampu
membentuk kompleks dengan logam berat, ini merupakan proses detoksifikasi logam berat.
Strategi genetik dan tanaman transgenik, serta produksi mikroba dan uji lapangan akan dapat
mendukung aplikasi fitoremediasi di lapangan. Pentingnya biodiversitas dan bioteknologi
untuk meremediasi logam toksik menjadi bahan kajian sangat penting. Tumbuhan
8
Brassicaceae sangat prospektif untuk pemuliaan bioteknologi dan untuk kepentingan
fitoremediasi.
Fitoremediasi terdiri atas empat macam teknologi yang berbasis tumbuhan, masing-
masing mempunyai mekanisme yang berbeda untuk remediasi tanah-tanah yang tercemar
logam berat, sedimen atau air yang tercemar. Keempat teknologi ini adalah:
1. RIZO-FILTRASI, menggunakan tumbuhan untuk membersihkan beragam lingkungan
akuatik
2. FITO-STABILISASI, tumbuhan digunakan untuk menstabilkan dan bukan untuk
membersihkan tanah yang tercemar
3. FITO-VOLATILISASI, menggunakan tumbuhan untuk mengekstraks logam tertentu dari
tanah dan kemudian melepaskannya ke atmosfer melalui volatilisasi
4. FITO-EKSTRAKSI, dimana tumbuhan menyerap logam dari tanah dan mengangkut
logam tersebut serta menyimpannya dalam bagian tanaman di atas tanah yang dapat
dipanen.
Kontaminasi logam berat pada ekosistem akuatik karena pembuangan limbah
industri dapat menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan lingkungan dan manusia .
Endapan alkali , kolom pertukaran ion, penyerapan secara elektrokimia , teknologi membrane
filtrasi, adalah teknologi yang tersedia untuk menghilangkan logam berat . Teknologi-
teknologi konvensional ini dianggap tidak ekonomis dan dapat berdampak negatif pada
ekosistem perairan.
Fitoremediasi logam adalah teknologi hijau yang efektif biayanya, teknologi ini
berbasis pada penggunaan tumbuhan khusus untuk menghilangkan logam beracun dari tanah
dan air yang tercemar. Tanaman lahan basah (rawa) menjadi alat penting untuk
menghilangkan pencemar logam berat .
Lahan basah buatan (constructed wetlands) merupakan alat yang efektif untuk
remediasi berbagai masalah kualitas air. Lahan basah buatan merupakan sistem rekayasa
yang telah dirancang dan dibangun untuk memanfaatkan proses alami yang melibatkan
vegetasi lahan basah, tanah, dan sekumpulan mikroba yang terkait, untuk membantu
pengolahan air limbah. Mereka dirancang untuk mengambil keuntungan dari banyak proses
yang terjadi di lahan basah alami, tetapi melakukannya dalam lingkungan yang lebih
terkontrol .
Lahan basah yang dibangun untuk pengolahan air limbah dapat diklasifikasikan
sesuai dengan bentuk kehidupan macrophyte yang mendominasi, yaitu sistem dengan
tumbuhan yang mengambang bebas, berakar muncul di permukaan, dan tumbuhan yang
9
tenggelam (Brix dan Schierup, 1989). Kebanyakan lahan basah dibangun untuk pengolahan
air limbah yang ditanami dengan jenis tumbuhan yang muncul di permukaan, tetapi desain
sistem media dan pola alirannya bervariasi.
Proses yang lazim terjadi dalam sistem lahan basah, yang mampu menyerap logam
berat dari limbah industri, adalah (Kadlec dan Keoleian, 1986; Kadlec dan Knight, 1996;
Weis dan Weis, 2004):
1. Pengikatan ke partikel tanah, sedimen, dan bahan partikulat lain
Karena muatan positifnya, logam berat dapat segera terserap, dikomplekskan, dan diikat
dengan partikel tersuspensi, yang kemudian menetap di substrat .
2. Presipitasi (pengendapan) sebagai garam tidak larut seperti karbonat, bikarbonat, sulfida,
dan hidroksida
Pengendapan merupakan proses lain yang mengarah pada penghapusan logam berat
jangka panjang. Garam-garam ini dibentuk oleh reaksi logam berat dengan bahan kimia
lain yang hadir dalam kolom air dan tidak larut, sehingga garam mengendap ke bawah
menjadi tetap dalam substrat lahan basah (Sheoran dan Sheoran, 2006) .
3. Serapan oleh bakteri, ganggang, dan tumbuhan
4. Pemanenan dan pembuangan biomassa .
Tanaman lahan basah lebih disukai daripada lainnya sebagai bio – agen, karena
biayanya murah, seringkali melimpah dalam ekosistem air, dan penanganannya mudah.
Rizosfir yang luas pada tumbuhan lahan basah ini menyediakan zona kaya hara bagi mikroba
yang terlibat dalam degradasi. Zona sedimen lahan basah menyediakan kondisi reduksi-
anaerobik yang cocok untuk penyerapan pencemar logam berat (Prabhat Kumar Rai, 2008).
Lahan basah buatan (constructed wetland) terbukti efektif untuk penyerapan
pencemar logam berat dari air asam tambang, lindi TPA, tenaga panas dan limbah-limbah
kota, limbah pertanian, dan limbah klor-alkali. Sifat fisiko-kimia lahan basah menyediakan
banyak atribut positif bagi remediasi pencemar logam berat. Tumbuhan air Typha,
Phragmites, Eichhornia, Azolla, Lemna dan lainnya adalah beberapa tumbuhan lahan basah
yang bagus untuk menghilangkan logam berat (Prabhat Kumar Rai, 2008).
Masalah pembuangan biomassa dan pola pertumbuhan musiman dari macrophytes
akuatik menjadi kendala dalam transfer teknologi fitoremediasi dari laboratorium ke
lapangan. Namun, biomassa tumbuhan dapat digunakan untuk berbagai aplikasi lain yang
bermanfaat.
Model ecosustainable telah dikembangkan melalui berbagai penelitian, diharapkan
hal ini dapat memperbaiki keterbatasan yang ada. Penyediaan lebih banyak area untuk
10
fitoremediasi juga dapat membantu dalam konservasi lahan basah (rawa). Rekayasa genetika
dan keanekaragaman hayati tanaman lahan basah yang hampir punah, mempunyai prospek
masa depan yang sangat cerah.
11
a. Kekurangan Fitoremediasi
Banyak instansi pemerintah belum sepenuhnya memahami manfaat dari teknologi
baru ini. Akibatnya, teknologi ini tidak dipertimbangkan untuk mendukung proyek-proyek
yang tercantum dalam Daftar Prioritas Nasional atau daftar Superfund (Batu et al, 1998).
Fitoremediasi tidak dapat mengolah kontaminasi air-dalam; rumput dapat membersihkan
kontaminan hingga kedalaman tiga meter, semak-semak hingga kedalaman sepuluh meter,
dan pohon berakar-dalam hingga 20 meter. Proses fitoremediasi ini umumnya lambat dan
dapat memerlukan waktu tiga hingga lima tahun untuk memenuhi tujuan pembersihan yang
ditargetkan.
Pemilihan jenis tumbuhan yang spesifik-lokasi harus dilakukan untuk memproses
campuran bahan kimia sambil mencegah kematian vegetasi. Pemilihan tumbuhan dan
kombinasinya sangat banyak dan masih dalam tahap percobaan yang membutuhkan
penelitian lanjutan. Proses ini sangat tergantung pada klimatologi lokal dan harus dirancang
dengan pertimbangan lokal. Selain itu, operasi fitoremediasi skala besar mungkin
membutuhkan peralatan pertanian kelas berat, yang umumnya terletak jauh dari daerah
perkotaan yang terkontaminasi (Mudhoo, 2011). Satwa liar dan manusia dapat
mengkonsumsi hasil tanaman, maka harus dilakukan tindakan untuk mencegah masuknya
kontaminan ke dalam rantai makanan. Jika kontaminan tersebut diserap ke dalam tanah,
biasanya tidak cukup mobile untuk memungkinkan fitoremediasi. Hal penting lainnya,
biomassa limbah yang kaya kontaminan harus dibuang dengan benar, kadang-kadang
memerlukan biaya yang mahal (Sharma dan Reddy, 2004).
b. Keuntungan Fitoremediasi
Akar tanaman menstabilkan tanah dan mencegah gerakan polutan melalui limpasan
dan debu yang tertiup angin. Teknik ini menggunakan tanaman dan sumberdaya alam lokal,
sehingga lebih murah. Remediasi ini dilakukan di tempat, menghemat biaya transportasi dan
pengolahan off-site. Dibandingkan dengan sistem lainnya, biasanya estetika menyenangkan
dan disukai oleh masyarakat (Sharma dan Reddy, 2004). Mudhoo (2011) membuat “klaim”
bahwa sifat dangkal dan luas dari teknik ini telah membuatnya ideal untuk memulihkan tanah
pertanian yang rusak akibat pencemaran limbah industri.
B. REMEDIASI BERBASIS MIKROBA
Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di
lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme
12
memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, sebuah
peristiwa yang disebut biotransformasi. Mikroorganisme yang dimaksud adalah khamir,
fungi (mycoremediasi), yeast, alga dan bakteri yang berfungsi sebagai agen bioremediator.
Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi dimana polutan beracun
terdegradasi strukturnya menjadi tidak kompleks dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak
berbahaya dan tidak beracun.
Mikroba yang hidup di tanah dan di air tanah dapat “memakan” bahan kimia
berbahaya tertentu, misalnya berbagai jenis minyak. Mikroba mengubah bahan kimia ini
menjadi air dan gas yang tidak berbahaya misalnya CO2. Bakteri yang secara spesifik
menggunakan karbon dari hidrokarbon minyak bumi sebagai sumber makanannya disebut
sebagai bakteri petrofilik. Bakteri inilah yang memegang peranan penting dalam bioremediasi
lingkungan yang tercemar limbah minyak bumi.
Sejak tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme untuk
mengolah air pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada perawatan
limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi),
yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan
ini antara lain logam-logam berat (merkuri, stronsium, kadmium), petroleum hidrokarbon,
dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, CFC, dan lain-lain.
Banyak aplikasi-aplikasi baru menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang
sedang diujicobakan. Bidang bioremediasi saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang
lebih baik mengenai bagaimana polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi
jenis-jenis mikroba yang baru dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan
bioremediasi melalui teknologi genetik. Teknologi genetika molekuler sangat penting untuk
mengidentifikasi gen-gen yang mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi.
Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang
bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya.
Salah satu komponen utama dalam bioremediasi adalah mikroorganisme. Strain atau
jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam
mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali
dipatenkan adalah bakteri "pemakan minyak". Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa
hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih
cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di
laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil
dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya
13
dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-
komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan.
Gambar 1. Ilustrasi mikroorganisme pemakan minyak
Secara umum terdapat tiga cara transpor hidrokarbon ke dalam sel bakteri yaitu
sebagai berikut.
a. Interaksi sel dengan hidrokarbon yang terlarut dalam fase air. Pada kasus ini, umumnya
rata-rata kelarutan hidrokarbon oleh proses fisika sangat rendah sehingga tidak dapat
mendukung.
b. Kontak langsung (perlekatan) sel dengan permukaan tetesan hidrokarbon yang lebih besar
daripada sel mikroba. Pada kasus yang kedua ini, perlekatan dapat terjadi karena sel
bakteri bersifat hidrofobik. Sel mikroba melekat pada permukaan tetesan hidrokarbon
yang lebih besar daripada sel dan pengambilan substrat dilakukan dengan difusi atau
transpor aktif. Perlekatan ini terjadi karena adanya biosurfaktan pada membran sel bakteri
Pseudomonas.
c. Interaksi sel dengan tetesan hidrokarbon yang telah teremulsi atau tersolubilisasi oleh
bakteri. Pada kasus ini sel mikroba berinteraksi dengan partikel hidrokarbon yang lebih
kecil daripada sel. Hidrokarbon dapat teremulsi dan tersolubilisasi dengan adanya
biosurfaktan yang dilepaskan oleh bakteri Pseudomonas ke dalam medium.
Berikut ini merupakan jenis-jenis bakteri pendegradasi hidrokarbon pada minyak
bumi yaitu:
1) Pseudomonas sp.
Pseudomonas berbentuk batang dengan diameter 0,5–1 x 1,5– 5,0 mikrometer.
Bakteri ini merupakan organisme gram negatif yang motilitasnya dibantu oleh satu atau
beberapa flagella yang terdapat pada bagian polar. Akan tetapi ada juga yang hampir tidak
mampu bergerak. Bersifat aerobik obligat yaitu oksigen berfungsi sebagai terminal
elektron aseptor pada proses metabolismenya. Kebanyakan sp.esies ini tidak bisa hidup
14
pada kondisi asam pada pH 4,5 dan tidak memerlukan bahan-bahan organik. Bersifat
oksidasi negatif atau positif, katalase positif dan kemoorganotropik. Dapat menggunakan
H2 dan CO sebagai sumber energi. Bakteri pseudomonas yang umum digunakan sebagai
pendegradasi hidrokarbon antara lain Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas stutzeri, dan
Pseudomonas diminuta.
Salah satu faktor yang sering membatasi kemampuan bakteri Pseudomonas dalam
mendegradasi senyawa hidrokarbon adalah sifat kelarutannya yang rendah, sehingga sulit
mencapai sel bakteri. Adapun mekanisme degradasi hidrokarbon di dalam sel bakteri
Pseudomonas yaitu:
* Mekanisme degradasi hidrokarbon alifatik
Pseudomonas menggunakan hidrokarbon tersebut untuk pertumbuhannya.
Penggunaan hidrokarbon alifatik jenuh merupakan proses aerobik (menggunakan
oksigen). Tanpa adanya O2, hidrokarbon ini tidak didegradasi. Langkah pendegradasian
hidrokarbon alifatik jenuh oleh Pseudomonas meliputi oksidasi molekuler (O2) sebagai
sumber reaktan dan penggabungan satu atom oksigen ke dalam hidrokarbon teroksidasi.
* Mekanisme degradasi hidrokarbon aromatik
Banyak senyawa ini digunakan sebagai donor elektron secara aerobik oleh bakteri
Pseudomonas. Degradasi senyawa hidrokarbon aromatik disandikan dalam plasmid
atau kromosom oleh gen xy/E. Gen ini berperan dalam produksi enzim katekol 2,3-
dioksigenase. Metabolisme senyawa ini oleh bakteri diawali dengan pembentukan
Protocatechuate atau catechol atau senyawa yang secara struktur berhubungan dengan
senyawa ini. Kedua senyawa ini selanjutnya didegradasi oleh enzim katekol 2,3-
dioksigenase menjadi senyawa yang dapat masuk ke dalam siklus Krebs (siklus asam
sitrat), yaitu suksinat, asetil KoA, dan piruvat.
2) Arthrobacter sp.
Pada kultur yang masih muda Arthrobacter berbentuk batang yang tidak teratur 0,8–
1,2 x 1–8 mikrometer. Pada proses pertumbuhan batang segmentasinya berbentuk cocus
kecil dengan diameter 0,6–1 mikrometer. Gram positif, tidak berspora, tidak suka asam,
aerobik, kemoorganotropik. Memproduksi sedikit atau tidak sama sekali asam dan gas
yang berasal dari glukosa atau karbohidrat lainnya. Katalase positif, temperatur optimum
25–30oC.
3) Acinetobacter sp.
Memiliki bentuk seperti batang dengan diameter 0,9–,6 mikrometer dan panjang 1,5-
2,5 mikrometer. Berbentuk bulat panjang pada fase stasioner pertumbuhannya. Bakteri ini
15
tidak dapat membentuk spora. Tipe selnya adalah gram negatif, tetapi sulit untuk diwarnai.
Bakteri ini bersifat aerobik, sangat memerlukan oksigen sebagai terminal elektron pada
metabolisme. Semua tipe bakteri ini tumbuh pada suhu 20-300C, dan tumbuh optimum
pada suhu 33-350C. Bersifat oksidasi negatif dan katalase positif. Bakteri ini memiliki
kemampuan untuk menggunakan rantai hidrokarbon sebagai sumber nutrisi, sehingga
mampu meremidiasi tanah yang tercemar oleh minyak. Bakteri ini bisa menggunakan
amonium dan garam nitrit sebagai sumber nitrogen, akan tetapi tidak memiliki pengaruh
yang signifikan. D-glukosa adalah satu-satunya golongan heksosa yang bisa digunakan
oleh bakteri ini, sedangkan pentosa D-ribosa, D-silosa, dan L-arabinosa juga bisa
digunakan sebagai sumber karbon oleh beberapa strain.
4) Bacillus sp.
Umumnya bakteri ini merupakan mikroorganisme sel tunggal, berbentuk batang
pendek (biasanya rantai panjang). Mempunyai ukuran lebar 1,0-1,2 m dan panjang 3-5 m.
Merupakan bakteri gram positif dan bersifat aerob. Adapun suhu pertumbuhan
maksimumnya yaitu 30-50oC dan minimumnya 5-20oC dengan pH pertumbuhan 4,3-9,3.
Bakteri ini mempunyai kemampuan dalam mendegradasi minyak bumi, dimana bakteri ini
menggunakan minyak bumi sebagai satu-satunya sumber karbon untuk menghasilkan
energi dan pertumbuhannya. Pada konsentrasi yang rendah, bakteri ini dapat merombak
hidrokarbon minyak bumi dengan cepat. Jenis Bacillus sp. yang umumnya digunakan
seperti Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Bacillus laterospor.
Organisme yang umum untuk bioremediasi antara lain:
Minyak : Pseudomonas, Proteus, Bacillus, Penicillum,Cunninghamell
Aromatic Rings : Pseudomonas, Achromobacter, Bacillus, Arthrobacter, Penicillum,
Aspergillus, Fusarium, Phanerocheate
Cadmium : Staphlococcus, Bacillus, Pseudomonas, Citrobacter, Klebsiella,
Rhodococcus
Sulfur : Thiobacillus
Chromium : lcaligenes, PseudomonasCopperEscherichia, Pseudomonas
Adapun anggota aktif dari konsorsium mikroba dalam bioremediasi antara lain:
a. Alcaligenes denitrificans
b. Arthorbacterglobiforms
c. Arthrobactersp
16
d. Bacillus megaterium
e. Berijerinckia sp
f. Flavobacterium
g. Methanobacterium
h. Mycobacterium sp
i. Mycobacterium vaccae
j. Nitrosomonas eurupaca
k. Nocardia corallia
l. Nocardia erythropolis
m. Nocardia sp
n. Pseudomonas aeruginosa
o. Pseudomonas cepacia
p. Pseudomonas fluorescence
q. Pseudomonas glatheri
r. Pseudomonas mendocina
s. Pseudomonas methanic
t. Pseudomonas paucimobilis
u. Pseudomonas putida
v. Pseudomonas sp.
w. Pseudomonas testosterone
x. Pseudomonas vesicularis
C. REMEDIASI BERBASIS HEWAN TANAH
D. BIOREMEDIASI IN SITU
E. BIOREMEDIASI EX SITU
F. BIOREMEDIASI DENGAN BANTUAN SURFAKTAN
Bio/surfaktan merupakan molekul amfiphilik yang memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik, memiliki sifat yang banyak, termasuk menurunkan tegangan muka dan gaya antar muka pada cairan serta kemampuan membentuk misel dan mikroemulsi antara dua fasa yang berbeda.
Komponen hidrofilik dari bio/surfaktan biasanya disebut “head” dan komponen hidrofobiknya disebut “tail” yang secara umum terdiri dari rantai hidrokarbon dengan
17
panjang bervariasi. Kemudian berdasarkan perolehan bahan atau komponen hidrofilik dan hidrofoobik surfaktan dibagi menjadi :
1. Surfaktan SintesisKomponen hidrofobik biasanya disintesis dari parafin, olefin, alkilbenzena, alkil fenol dan alkohol. Sedangkan komponen hidrofilik dari sulfat, sulfonat, gugus karboksilat (surfaktan anionik), gugus amonium kuartener (surfaktan kationik) dan polioksietilen, sukrosa atau polipeptida (surfaktan non ionik).
2. BiosurfaktanPada biosurfaktan secara struktural dibagi berdasarkan komponen permukaan aktif yang dihasilkan oleh jenis mikroorganisme yang diklasifikasikan berdasarkan struktur kimia dan sumber mikroba. Secara umum bagian hidrofilik terdiri dari asam amino atau anion/kation peptida, mono- atau polisakarida dan bagian hidrofobik terdiri dari asam lemak jenuh atau tak jenuh. Berdasarkan sebuah klasifikasi dari Neu bsurfaktan seharusnya merupakan surfaktan dengan berat molekul rendah. Hal ini karena ketika surfaktan memiliki berat molekul yang besar maka menjadi sebuah bioemulsifier. Biosurfaktan dengan berat molekul rendah diantaranya adalah glikolipid seperti rhamnolipid, lipid trehalose, soprolipid, dan lipid fruktosa atau lipopeptida seperi surfaktin, gramisidin S dan polimiksin. Sedangkan bioemulsifier dengan berat molekul besar adalah polisakarida polifilik atau amphifilik, protein, lipopolisakarida dan lipoprotein.
Berdasarkan muatan ionik komponen hidrofiliknya, surfaktan dibagi menjadi :
Anionik Kationik Non ionik Zwitter ionik
Selain itu bio/surfaktan dapat digolongkan berdasarkan Hydrophile-Lipophile Balance (HLB). Dimana nilai HLB mengindikasikan kemampuan surfaktan tersebut untuk menghasilkan emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Misalkan HLB rendah = 3-6 adalah lipofilik sehingga cenderung menghasilkan emulsi air dalam minyak, dan HLB tinggi = 10-18 yang lebih hidrofilik cenderung menghasilkan emulsi minyak dalam air. Nilai HLB tersebut sangat berguna untuk melakukan aplikasi – aplikasi yang berbeda pada surfaktan. Contohnya untuk membersihka kontaminan minyak pada tanah digunakan surfaktan dengan nilai HLB diatas 10.
Bio/Surfaktan Meningkatkan Bioremediasi
Bio/surfaktan telah digunakan sebagai biodegradasi hidrokarbon pada tahun 1997. Kemudian dilakukan penelitian lebih lanjut menegenai penggunanan bio/surfakatan pada sistem lingkungan yang berbeda seperti cairan, suspensi dan fasa padat, tanah, air. Fakta yag diperoleh bahwa teknik remediasi dengan menggunakan biosurfaktan bersifat spesifik. Misalkan untuk mendegradasi heksadekan maka digunakan rhamnolipid pada oraganisme Pseudomonas aeruginisa tapi tidak dapat menggunakan strain jenis Rhodococus.
18
Interaksi yang terjadi pada bioremediasi dengan menggunakan bio/surfaktan :
a. Peran mikroba Surfaktan mikrobial dapat meningkatkan jumlah bakteri pada limbah hidrokarbon dengan meningkatkan luas permukaan antara minyak dan air dengan cara emulsifikasi dan meningkatkan pseudosolubilitas hidrokarbon dengan partisi kedalam misel. Sedangkan pada logam rhamnolipid dapat membentuk komplek dengan cadmium dengan mereduksi toksitas selnya. Selain pada logam cadmium, biosurfaktan lipopetida juga dapat ditambahkan pada uranium yang bahkan berpotensi menjadi antibiotik. Jadi mikroorganisme mampu membuka gugus hidrofobik dari luar maupun dari dalam serta dapat meningkatkan dan menurunkan permukaan hidrofobik.
b. Interaksi antara bio/surfaktan dengan lingkunganKarena sifat amphifiliknya, bio/surfaktan dapat mengubah fasa distribusi kontaminan dan parameter lingkungan dengan mekanisme - mekanisme yang berbeda. Fenomena ini dapat mengingkatkan proses bioremediasi baik dengan penambahan surfaktan secara biologis maupun kimiawi. Mekanisme – mekanisme tersebut adalah :
1) EmulsifikasiBiosurfaktan dengan berat molekul besar berpotensi dapat menstabilkan emulsi antara hidrokarbon cair dan air, sehingga meningkatkan luas permukaan yang digunakan oleh bakteri untuk melakukan biodegradasi. Namun sangat jarang digunakan untuk meningkatkan proses bidegradasi hidrokarbon dalam bioremediasi dan beberapa penelitian memiliki hasil berlawanan dari literatur.
2) MiselarisasiPori misel dapat mempartisi fraksi kontaminan hidrofobik namun juga dapat mengikat kontaminan organik yang merupakan penghambat kerja mikroorganisme dan molekul organik yang mengakibatkan bakteri menjadi kurang aktif
3) Penyerapan kedalam tanahKonsentrasi kritis misel pada tanah lebih tinggi dibanding pada air sehingga mampu meningkatkan kemampuan partisi dari surfaktan. Penggunaan dosis surfaktan sangat penting karena adanya surfaktan yang hilang selama proses penyerapan. Derajat penyerapan surfaktan kedalam tanah bergantung fraksi karbon organik dalam tanah dan sifat kimia surfaktan. Namun pada kasus penyerapan isotermal didapatkan bahwa molekul surfaktan lebih suka mengikat molekul terserap dibanding tanah. Semakin banyak komponen organik dalam tanah maka semakin banyak surfaktan yang dibutuhkan untuk melarutkan kontaminan. Kenyataan lainnya menunjukan bahwa penambahan surfaktan untuk mengurangi pembentukan misel juga dapat meningkatkan komponen karbon organik dalam tanah dengan maksud partisi pada komponen hidrofobik organik yang diinginkan.
4) Desorbsi kontaminanc. Interaksi antara bio/surfaktan dengan sel mikroba
Penambahan surfaktan dapat meningkatkan hidrofobisitas dari mikrooranisme pendegradasi yang mengakibatkan surfaktan dapat mengikat substrat hidrofobik lebih mudah.
19
Toksisitas surfaktan dapat berdampak pada seluruh ekosistem dan mikroorganisme pendegradasi sehingga menghambat biodegradasi polutan. Maka dilakukan langkah bijak pada prosedur pemilihan biosurfaktan yang sesuai dengan mempertimbangkan efek toksisitasnya pada komoponen lainnya dibanding mengutamakan sifat kimia- - fisika dan pengaruh surfaktan pada laju biodegradasi. Apabila menggunakan surfaktan sintesis sebaiknya menggunakan jenis surfaktan non ionikk yang cenderung kurang toksik dan biodegradabel dibanding surfaktan anionik/kationik dan yang lainnya. Namun surfaktan yang dihasilkan dari mikroba / biosurfaktan jauh lebih bersifat alami dan penggunaannya dalam proses bioremediasi lebih dapat diterima karena kurang toksik dan kemampuan biodegradasinya tinggi.Sedangkan untuk biodegradasi surfaktan, dilaporkan efek negatif yang banyak terjadi karena bio/surfaktan dapat menjadikan karbon degradabel menjadi sumber kontaminan. Dimana intermediet surfaktan tersebut lebih beracun dibanding komponen induknya. Selain itu residu dari surfaktan dalam tanah juga dapat menimbulkan efek positif dan negatif bergantung konsentrasinya. Dan telah diuji bahwa surfaktan biologis lebih biodegradabel dibanding sintesis. (Franzetti et al, 2010)
DAFTAR PUSTAKA
Bricker, T.J., J. Pichtel, H.J. Brown dan M. Simmons. 2001. Phytoextraction of Pb and Cd
from a superfund soil: Effects of amendments and croppings. J. Environ. Sci. Health,
36: 1597–1610.
Brix, H. and Schierup, H.H. 1989. The use of macrophytes in water pollution control. Ambio
18, 100–107.
Ciroeksoko, P. 1996. Pengantar Bioremediasi. Dalam Prosiding Pelatihan dan Lokakarya :
Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan. P. Citroeksoko, A. Setiana,
M.A. Subroto dan D. T. Djaja (Edt). Cibinong, 24 – 28 Juni 1996.
Crawford, R. dan D. L. Crawford. 1996. Bioremediation Principles and Application.
Cambridge University Press. USA.
Franzetti Andrea, Isabella G., Giuseppine B., dan Ibrahim M.B. 2010. (Bio)surfactant and
Bioremediation Successes and Failures. Trend in Bioremediation and
Phytoremediation : 145-156 ISBN : 978-81-308-0424-8
Gerard J. Tortora, Berdell R. Funke, Christine L. Case.- 10th ed, 2010, Microbiology: an
introduction. Great Lakes Bio Systems. Inc. .co Orb-
3.com/LakeAndPond Orb-3 Professional Enzymes & Bacteria are the total
solution.
20
Kabata-Pendias A. dan H. Pendias. 2001. Trace Elements in Soils and Plants. 3rd ed. CRC
Press, Boca Raton.
Kadlec, R.H. and Keoleian, G.A. 1986. Metal ion exchange on peat. In: Peat and Water, pp.
61–93. (Fuchsman, C.H., Ed.). Amsterdam Elsevier.
Kadlec, R.H. and Knight, R.L. 1996. Treatment Wetlands. Boca Raton, FL, Lewis.
Klassen S.P., McLean J.E., Grossl P.R. dan R.C.Sims. 2000. Fate and behaviour of lead in
soils planted with metal-resistant species (River Birch and Smallwing Sedge). J.
Environ. Qual., 29: 1826–1834.
Mara, Duncan and Horan,N.J, 2003 Handbook of water and wastewater
microbiology, ISBN 0-12- 470100-0. Elsevier
Matagi, S., Swai,D., and Mugabe, R. 1998. A review of heavy metal removal mechanisms in
wetlands. Afr. J. Trop. Hydrobiol. 8, 23–35.
Mudhoo, A. (2011). “Phytoremediation of Cadmium: A Green Approach.”
Murray-Gulde, C., Bearr, J., and Rodgers, J.H. 2005. Evaluation of a constructed wetland
treatment system specifically designed to decrease bioavailable copper in a
wastestream. Ecotoxicol. Environ. Saf. 61, 60–73.
Pichtel, J., K.Kuroiwa dan H.T.Sawyerr. 2000. Distribution of Pb, Cd, and Ba in soils and
plants of two contaminated sites. Environmental Pollution. 110, 171-178.
Prabhat Kumar Rai. 2008. Heavy metal pollution in aquatic ecosystems and its
phytoremediation using wetland plants: An ecosustainable approach. International
Journal of Phytoremediation, 10:133–160, 2008.
Pulford I.D., dan C. Watson. 2002. Phytoremediation of heavy metal-contaminated land by
trees – a review. Environ. Int., 1032: 1–12.
Saxena P.K., S.Krishna Raj, T.Dan, M.R.Perras dan N.N.Vettakkorumakankav. 1999.
Phytoremediation of heavy metal contaminated and polluted soils. In: Prasad M.N.V.,
Hagemeyer J. (eds.): Heavy Metal Stress in Plants – From Molecules to Ecosystems,
Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg, Germany: 305–329.
Schmidt, U. 2003. Enhancing phytoextraction: The effect of chemical soil manipulation on
mobility, plant accumulation, and leaching of heavy metals. J. Environ. Qual., 32:
1939–1954. Scholz, M. 2006. Wetland Systems to Control Urban Runoff.
Amsterdam Elsevier.
Sharma, H.D., Reddy K.R. (2004). “Geoenvironmental Engineering.” Jon Wiley & Sons,
Hoboken, New Jersey, 478-485
21
Sheoran, A.S. and Sheoran, V. 2006. Heavy metal removal mechanism of acid mine drainage
in wetlands: A critical review. Minerals Eng 19, 105–116.
Suhardi, Sri Harjati. 2012. http://blogs.itb.ac.id/rennisuhardi/bioremediasi/apakah-
bioremediasi/. diakses pada tanggal 18 November 2015.
Susarla, S., V.F.Medina dan S.C.McCutcheon. 2002. Phytoremediation, An ecological
solution to organic contamination. Ecological Engineering. 18, 647-658.
Tlustoš, P., J. Száková, J. Hrubý, I. Hartman, J. Najmanová, J. Nedělník, D. Pavlíková dan
M. Batysta. 2006. Removal of As, Cd, Pb, and Zn from contaminated soil by high
biomass producing plants. PLANT SOIL ENVIRON., 52, 2006 (9): 413–423.
Wenger, E. ; R.McDermott dan W.M.Snyder. 2002. Cultivating Communities of Practice
(Hardcover). Harvard Business Press; 1 edition. ISBN 978-1-57851-330-7.
Weis, J.S. and Weis, P. 2004. Metal uptake, transport and release by wetland plants:
Implications for phytoremediation and restoration Review. Environ. Int. 30, 685–
700.
22
LATIHAN SOAL
PILIHAN GANDA
1. Aplikasi bioremediasi di Indonesia mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup yang mengatur tentang tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah dan tanah
terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis yaitu ……..
a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2002
b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003
c. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 129 Tahun 2003
d. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2004
e. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 129 Tahun 2004
2. Bioremediasi dapat mengubah bahan kimia berbahaya menjadi……
a. CO
b. NO2
c. H2O
d. SO
e. N2
3. Upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh penambang
batu bara dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan antara lain, kecuali…….
a. Pendekatan teknologi
b. Pendekatan lingkungan
c. Pendekatan administratif
d. Pendekatan khusus
e. Pendekatan edukatif
4. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi proses bioremediasi, antara lain kecuali………
a. Lingkungan
b. Karbon dioksida
c. Temperatur
d. Oksigen
e. pH.
23
5. Berikut yang tidak termasuk ke dalam kelebihan bioremediasi yaitu………
a. Bioremediasi tidak menggunakan/menambahkan bahan kimia berbahaya.
b. Proses degradasi dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang cepat.
c. Bioremediasi sangat aman digunakan karena menggunakan mikroba yang secara alamiah
sudah ada dilingkungan (tanah).
d. Mengubah polutan bukan hanya memindahkannya.
e. Dapat digabung dengan teknik pengolahan lain.
6. Berikut yang termasuk ke dalam kekurangan bioremediasi yaitu kecuali………
a. Tidak semua bahan kimia dapat diolah secara bioremediasi.
b. Pengotornya bersifat toksik
c. Mengubah polutan bukan hanya memindahkannya.
d. Padat ilmiah
e. Dapat digabung dengan teknik pengolahan lain
7. Dibawaha ini yang tidak termasuk teknik dasar yang biasa digunakan dalam bioremediasi
adalah………
a. Biotransformasi
b. Inokulasi (penanaman) mikroorganisme di lokasi tercemar
c. Penerapan immobilized enzymes
d. Penggunaan tanaman (phytoremediation)
e. Stimulasi aktivitas mikroorganisme asli (di lokasi tercemar) dengan penambahan nutrien,
pengaturan kondisi redoks, optimasi pH
8. Berikut ini yang tidak termasuk ke dalam contoh mikroba pendegradasi logam yaitu………
a. Enterobacter cloacae
b. Escherichia coli
c. Desulfuromonas acetoxidans
d. Thiobacillus ferroxidans
e. Saccharomyces cerevisiae
9. Berbentuk batang dengan diameter 0,5 – 1 x 1,5 – 5,0 mikrometer. Bakteri ini merupakan
organisme gram negatif yang motilitasnya dibantu oleh satu atau beberapa flagella yang
terdapat pada bagian polar. Akan tetapi ada juga yang hampir tidak mampu bergerak. Bersifat
24
aerobik obligat yaitu oksigen berfungsi sebagai terminal elektron aseptor pada proses
metabolismenya. Kebanyakan sp.esies ini tidak bisa hidup pada kondisi asam pada pH 4,5
dan tidak memerlukan bahan-bahan organik. Bersifat oksidasi negatif atau positif, katalase
positif dan kemoorganotropik. Dapat menggunakan H2 dan CO sebagai sumber energi.
Bakteri yang mempunyai ciri-ciri tersebut adalah……..
a. Arthrobacter sp.
b. Acinetobacter sp.
c. Bacillus sp.
d. Pseudomonas sp.
e. Saccharomyces sp.
10. Arthrobacter sp, Acinetobacter sp, Bacillus sp, dan Pseudomonas sp. merupakan jenis-jenis
bakteri pendegradasi pada………
a. Logam berat
b. Bahan –bahan radioaktif
c. Fungisida
d. Minyak bumi
e. Polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH)
25
ESSAY
1. Apakah faktor utama agar mikroba dapat membersihkan bahan kimia berbahaya dari
lingkungan?
Faktor utama agar mikroba dapat membersihkan bahan kimia berbahaya dari lingkungan
yaitu adanya mikroba yang sesuai dan tersedia kondisi lingkungan yang ideal tempat tumbuh
mikroba seperti suhu, pH, nutrient dan jumlah oksigen.
2. Ada berapakah cara menstimulasi pertumbuhan mikroba dalam teknologi
bioremediasi? Sebutkan dan jelaskan!
Dalam teknologi bioremediasi dikenal dua cara menstimulasi pertumbuhan mikroba, yaitu
dengan biostimulasi dan bioaugmentasi.
a. Biostimulasi
Biostimulasi adalah memperbanyak dan mempercepat pertumbuhan mikroba yang
sudah ada di daerah tercemar dengan cara memberikan lingkungan pertumbuhan yang
diperlukan, yaitu penambahan nutrien dan oksigen. Jika jumlah mikroba yang ada dalam
jumlah sedikit, maka harus ditambahkan mikroba dalam konsentrasi yang tinggi sehingga
bioproses dapat terjadi. Mikroba yang ditambahkan adalah mikroba yang sebelumnya
diisolasi dari lahan tercemar kemudian setelah melalui proses penyesuaian di laboratorium di
perbanyak dan dikembalikan ke tempat asalnya untuk memulai bioproses. Namun sebaliknya,
jika kondisi yang dibutuhkan tidak terpenuhi, mikroba akan tumbuh dengan lambat atau mati.
Secara umum kondisi yang diperlukan ini tidak dapat ditemukan di area yang tercemar.
b. Bioaugmentasi
Bioaugmentasi merupakan penambahan produk mikroba komersial ke dalam limbah
cair untuk meningkatkan efisiensi dalam pengolahan limbah secara biologi. Cara ini paling
sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat. Hambatan mekanisme
ini yaitu sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroba dapat berkembang
dengan optimal. Selain itu mikroba perlu beradaptasi dengan lingkungan tersebut .Dalam
beberapa hal, teknik bioaugmentasi juga diikuti dengan penambahan nutrien tertentu.
Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam
bioremediasi, dan mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan
sulit untuk beradaptasi.
c. Bioremediasi Intrinsik
Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.
26
3. Sebutkan dan jelaskan dua teknik yang sangat umum diterapkan dalam teknik
bioremediasi!
Dalam aplikasi teknik bioremediasi dikenal dua teknik yang sangat umum diterapkan yaitu
biopile dan landfarming.
Pada teknik biopile, tanah tercemar ditimbun diatas lapisan kedap air dan suplai udara
yang diperlukan oleh mikroba dilakukan dengan memasang perpipaan untuk aerasi
(pemberian udara) dibawah tumpukan tanah tercemar. Pompa udara dipasang diujung
perpipaan sehingga semua bagian tanah yang mengandung mikroba dan polutan berkontak
dengan udara. Dengan teknik ini, ketinggian tanah timbunan adalah 1 sampai 1,5 meter.
Teknik landfarming dilakukan dengan menghamparkan tanah tercemar diatas lapisan
kedap air. Ketebalan hamparan tanah 30 – 50 cm memungkinkan kontak mikroba dengan
udara. Untuk menjamin bahwa semua bagian dari tanah yang diolah terkontak dengan
udara maka secara berkala hamparan tanah tersebut di balikkan. Nama landfarming
digunakan karena proses pembalikan tanah yang dilakukan sama dengan pembalikan tanah
pada saat persiapan lahan untuk pertanian.
4. Sebutkan dan jelaskan manfaat bioremediasi pada berbagai bidang!
Bioremediasi dapat memberikan manfaat dalam berbagai bidang, antara lain:
1. Bidang Lingkungan, yakni pengolahan limbah yang ramah lingkungan dan bahkan
mengubah limbah tersebut menjadi ramah lingkungan. Contoh bioremediasi dalam
lingkungan yakni telah membantu mengurangi pencemaran dari pabrik, misalnya saat
1979, supertanker Exxon Valdez di Alaska, lebih dari 11juta gallon oli mentah mengalir,
tetapi bakteri pemakan oli membantu mengurangi pencemaran laut yang lebih jauh lagi.
2. Bidang Industri, yakni bioremediasi telah memberikan suatu inovasi baru yang
membangkitkan semangat industri sehingga terbentuklah suatu perusahaan yang khusus
bergerak dibidang bioremediasi, contohnya adalah Regenesis Bioremediation Products,
Inc., di San Clemente, Calif.
3. Bidang Ekonomi, karena bioremediasi menggunakan bahan bahan alami yang hasilnya
ramah lingkungan, sedangkan mesin-mesin yang digunakan dalam pengolahan limbah
memerlukan modal dan biaya yang jauh lebih, sehingga bioremediasi memberikan solusi
ekonomi yang lebih baik.
4. Bidang Pendidikan, penggunaan microorganisme dalam bioremediasi, dapat membantu
penelitian terhadap mikroorganisme yang masih belum diketahui secara jelas.Pengetahuan
ini akan memberikan sumbangan yang besar bagi dunia pendidikan sains.
27
5. Bidang Teknologi, bioremediasi memberikan tantangan baru bagi teknologi untuk terus
memberikan inovasi yang lebih baik bagi lingkungan.
6. Bidang Sosial, bioremediasi memberikan solusi ekonomi yang mudah dijangkau dan
mudah dilakukan baik bagi rumah tangga dan industri. Dengan begini, limbah rumah
tangga dapat dikelola jauh lebih baik.
7. Bidang Kesehatan, dengan pengelolaan limbah yang baik, pencemaran dapat diminimalisir
sehingga kualitas hidup manusia jauh meningkat.
8. Bidang Politik, isu lingkungan dapat lebih ditekan sehingga para petinggi dapat
memfokuskan masalah ke lingkup lain, Bahkan bioremediasi dapat membantu
memperbaiki masalah yang berkesinambungan didalamnya.
5. Ada berapakah cara mikroba mengurangi bahaya pencemaran logam berat? Sebutkan
dan Jelaskan!
Mikroba mengurangi bahaya pencemaran logam berat dapat dilakukan dengan cara
detoksifikasi, biohidrometakurgi, bioleaching, dan bioakumulasi seperti berikut:
Detoksifikasi (biosorpsi) pada prinsipnya mengubah ion logam berat yang bersifat toksik
menjadi senyawa yang bersifat tidak toksik. Proses ini umumnya berlangsung dalam
kondisi anaerob dan memanfaatkan senyawa kimia sebagai akseptor elektron.
Biohidrometalurgi pada prinsipnya mengubah ion logam yang terikat pada suatu
senyawa yang tidak dapat larut dalam air menjadi senyawa yang dapat larut dalam air.
Bioleaching merupakan aktivitas mikroba untuk melarutkan logam berat dari senyawa
yang mengikatnya dalam bentuk ion bebas. Biasanya mikroba menghasilkan asam dan
senyawa pelarut untuk membebaskan ion logam dari senyawa pengikatnya. Proses ini
biasanya langsung diikuti dengan akumulasi ion logam.
Bioakumulasi merupakan interaksi mikroba dan ion-ion logam yang berhubungan dengan
lintasan metabolisme.
28