Upload
m-herlez-b-kurniawan
View
949
Download
105
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1
Latar belakang
Culture shock merupakan fenomena yang akan dialami oleh setiap orang yang melintasi
dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup denganorang-
orang yang berbeda pakaian, rasa, nilai, bahkan bahasa dengan yang dipunyai olehorang
tersebut (Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer, 2009).
Littlejohn,dalam jurnal yang ditulisnya, meyatakan bahwa culture shock adalah
fenomena yang wajar ketika orang bertamu atau mengunjungi budaya yang baru. Orang yang
mengalami culture shock berada dalam kondisi tidak nyaman baik secara fisik maupun
emosional.Sebuah jurnal menceritakan seorang siswa yang baru saja menyelesaikan sekolah
menengah dan hendak melanjutkan ke universitas, untuk pertama dia akan bangga
danmempersiapkan dirinya untuk memnghadap lingkungan kuliah yang baru. Dia akan
mempersiakan dirinya untuk bertemu dengan orang-orang baru, antusiasme untuk
belajar agar menuai kesuksesan dalam lingkungannya yang baru. Namun, pada akhirnya
siswa tersebut, terhadap lingkungan barunya mengalamai ketidaknyamanan hingga
membuatnya tidak lagi ingin melanjutkan kuliahnya (Balmer, 2009). Dari jurnal ilmiah ini
bisa disimpulkan bahwa setiap siswa menjadi wajar jika mengalami culture shock sebagai
akibat perpindahannya dari lingkungan sekolah menengah yang lama kelingkungan
universitas yang baru. Kebiasaan-kebiasaan di lingkungan baru, seperti yangdiungkapkan
Balmer, dapat menyebabkan tekanan dan berakibat pada kompetensiakademik siswa tersebut.
Akan menjadi negative kalau culture shock tersebut tidak teratasi, dalam hali ini orang gagal
untuk meyesuaikan dirinya dengan lingkungan barunya, dan menjadi depresi (Littlejohn,
2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer,2009).
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraiakan diatas, untuk memperoleh
suatu kesimpulan yang jelas maka perlu adanya peumusan masalah yang tepat dan
mampu membatasi agar pembahasan lebih ringkas. Rumusan masalah tersebut
diantaranya sebagai berikut:
1. Apa faktor penyebab terjadinya culture shock atau gegar budaya?
2. Apa efek atau akibat dari terjadinya culture shock?
3. Bagaimana solusi dari permasalahan culture shock tersebut?
1.3 TUJUAN MASALAH
1. mengetahui faktor penyebab terjadinya culture shock
2. mengetahui efek atau akibat dari terjadinya culture shock
3. mengetahui solusi dari permasalahan culture shock
BAB II
2.1 Pengertian
Culture shock atau dalam bahasa indonesia “gugat budaya” adalah istilah psikologis
untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang menghadapi lingkungan sosial
dan budaya yang berbeda.
Istilah ini mengandung pengertian,adanya perasaan cemas, hilangnya arah, perasaan
tidak tahu apa yang harus di lakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan sesuatu
yang dialami oleh individu tersebut ketika ia berada dalam suatu lingkungan yang secara
kultur atau sosial baru.
Faktor penyebab timbulnya “Masalah Culture shock” dari yang dominan hingga
paling rendah, berikut ini penjabarannya:
1) Faktor pergaulan
Pada faktor ini, individu cenderung mengalami ketakutan akan perbedaan
pergaulan disetiap tempat yang baru. Ketakutan ini menjadikan individu merasa
canggung dalam menghadapi situasi yang baru, tempat tinggal yang baru dan
suasana yang baru. Akibat ketidak pahaman mengenai pergaulan ini, individu juga
akan merasa terasing dengan orang-orang disekelilingnya yang dirasa baru
baginya.
2) Faktor teknologi
Dewasa ini perkembangan teknologi semakin melaju pesat. Perkembangan
teknologi yang semakin mutakhir ini menyebabkan masyarakat harus selalu ingin
berusaha untuk mengikuti perkembangan teknologi agar mampu bersaing di dunia
global. Teknologi juga merupakan faktor penting dalam mempengaruhi timbulnya
masalah culture shock. Individu merasa takut tidak bisa mengikuti perkembangan
teknologi di tempat tinggal barunya sehingga individu cenderung akan merasakan
ketakutan. Individu disini dituntut untuk berpikir keras bagaimana caranya untuk
dapat mengikuti perkembangan teknologi serta mampu mengaplikasikannya
dikehidupannya.
3) Faktor geografis
Faktor geografis identik dengan keadaan geografis di daerah tersebut. Faktor
geografis ini merupakan faktor lingkungan secara fisik, misalnya perbedaan cuaca,
perbedaan letak wilayah seperti daerah pantai dengan daerah pegunungan. Hal ini
akan menyebabkan individu tersebut mengalami gangguan kesehatan.
4) Faktor bahasa keseharian
Bahasa merupakan cerminan dari sebuah kebudayaan yang beradab. Bahasa tidak
bisa dianggap dengan sebelah mata dewasa ini. Individu yang mengalami
kekagetan terhadap budaya baru sering kali dihubungkan dengan faktor bahasa
sebagai salah satu ketakutan yang cukup besar ketika akan menetap ditempat yang
baru. Tidak menguasai atau bahkan tidak mengerti sama sekali bahasa merupakan
suatu hal yang wajar yang menyebabkan timbulnya culture shock.
5) Faktor ekonomi
Ketakutan terhadap biaya hidup yang berbeda yang memiliki kemungkinan lebih
tinggi merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya culture shock. Ini
merupakan hal umum yang terjadi bahwa setiap daerah di negara Indonesia
memiliki kemampuan konsumsi yang berbeda-beda. Perbedaan inilah yang
menyebabkan individu guncang ketika dihadapkan pada permasalahan tempat
tinggal yang baru. Individu harus mulai berusaha, bersiap serta berwaspada
mengantisipasi agar mampu bertahan hidup ditempat tinggal yang baru.
6) Faktor adat istiadat
Faktor ini merujuk pada tradisi-tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat di
setiap daerah yang notebene memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda satu
sama lain. Untuk itu individu harus mampu beradaptasi dengan adat istiadat di
daerahnya yang baru. Namun beradaptasi dengan adat istiadat yang baru bukanlah
hal yang mudah bagi seorang pendatang, maka individu cenderung mengalami
kekagetan budaya terutama dalam hal adat istiadat tersebut.
7) Faktor agama
Agama dianggap sebagai salah satu penghambat individu dalam usahanya
menyesuaikan di tempat tinggal yang baru. Individu mengalami ketakutan
tersendiri terhadap agama yang menjadi perbedaan yang sangat rentan dan tidak
bisa disatukan dengan mudahnya.
2.2 Solusi Pemecahan Masalah Culture shock
Dari bebrapa faktor penyebab terjadinya culture shock, kelompok merumuskan
solusi untuk mengatasinya. Antara lain yaitu :
1. Faktor pergaulan
Individu harus belajar membiasakan diri beradaptasi dan berinteraksi dengan
lingkungan barunya, dengan pembiasaan ini akan menumbuhkan rasa percaya diri
dari individu tersebut dalam bersosialisasi dengan orang-orang dan lingkungan
barunya tersebut. Pergaulan yang baik akan membuat seseorang lebih mudah
menjalani kehidupan sosialnya.
2. Faktor teknologi
Dewasa ini teknologi semakin berkembang pesat dikalangan orang banyak,
semakin pesat teknologi berkembang maka orang-orang dituntut untuk semakin
keras mempelajari dan mengaplikasikan teknologi yang ada dalam kehidupannya.
Seorang individu yang berada di lingkungan baru baginya pasti akan merasakan
perbedaan teknologi yang berkembang di lingkungan tersebut, terlebih lagi
apabila individu yang berasal dari daerah pelosok kemudian datang ke daerah
yang cukup pesat perkembangan teknologinya.
3. Faktor geografis
Faktor geografis dalam persentasenya memperoleh 18,60% dari keseluruhan total
faktor penyebab terjadinya culture shock. Karena faktor geografis ini berkaitan
erat dengan kondisi fisik lingkungan maka hal ini dapat diatasi dengan cara
individu lebih menjaga kesehatan yang cenderung menurun ketika individu
tersebut tinggal di suatu tempat tinggal yang baru, yang tentunya jauh berbeda
dengan tempat tinggal semula. Pencegahan yang baik perlu dilakukan secara terus
menerus agar individu tetap berada di kondisi yang prima dalam menjalani
aktifitas sehari-hari.
4. Faktor bahasa keseharian
Bahasa keseharian memiliki prosentase sebesar 17,30% dari keseluruhan faktor
penyebab terjadinya culture shock. Untuk mengatasinya kelompok memberikan
solusi diantaranya yaitu dengan menumbuhkan kemauan belajar bahasa kepada
setiap individu ketika tinggal ditempat yang baru. Kemauan belajar bahasa
tersebut bisa dilakukan dengan cara meminta bantuan kepada teman yang memang
berasal dari daerah tersebut untuk mengajarkan bahasa keseharian di daerah
tersebut.
5. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi ini dapat diatasi dengan cara pengelolaan keuangan yang baik
sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu, agar individu dapat
menyesuaikan pemasukan keuangan dengan pengeluarannya. Pada saat proses
pendidikan alan lebih baiknya individu juga melakukan program saving money,
untuk mengatasi kebutuhan tidak terduga.
6. Faktor adat istiadat
Pada dasarnya melekatnya kebudayaan terhadap seorang individu membutuhkan
proses dan waktu, semua tidak terjadi begitu saja. Solusi menurut kelompok
adalah individu harus lebih membuka dirinya terhadap adat istiadat, kebiasaan,
tingkah laku yang umumnya terjadi dimasyarakat. Dengan cara tersebut
diharapkan individu dapat lebih menghindari terjadinya culture shock/gegar
budaya.
7. Faktor agama
Faktor agama yang menyebabkan terjadinya culture shock ini hanya mendapat
persentase sebesar 0.13 %. Artinya faktor agama tersebut dianggap tidak terlalu
mendominasi terjadinya culture shock. Solusinya yaitu individu harus lebih
meningkatkan sikap toleransinya antar umat beragama.
2.2 Tanda-tanda culture shock :
Ada 5 tanda seseorang terkena culture shock,yaitu :
1. Terus-terusan berpikir negatif dan mulai membanding-bandingkan keadaan di tempat
baru dengan kampung halaman.
2. Mulai frustasi, gampang marah dengan hal-hal kecil karena tidak bisa mengikuti pola
hidup disana, menjadi malas bergaul dan memilih diam saja karena merasa tidak PD.
3. Mulai merasa sedih dan terasingkan walaupun saat itu sedang berada di tengah-tengah
orang banyak.
4. Mulai kehilangan identitas dan ciri-ciri pribadi
5. Mulai merasa kurang sehat, jadi sering flu, pilek, demam, diare dsb
2.3 Shock
Reaksi terhadap cultural shock bervariasi antara 1 individu dengan individu lainnya dan
dapat muncul :
1. Antagonis / memusuhi terhadap lingkungan baru.
2. Rasa kehilangan arah
3. Rasa penolakan
4. Gangguan lambung dan sakit kepala
5. Homesick/rindu pada rumah/lingkungan lama
6. Rindu pada teman dan keluarga
7. Mersa kehilangan status dan pengaruh
8. Menarik diri
9. Menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah
2.5 Tingkatan Culture Shock
Fase optimistik, fase pertama yang digambarkan pada bagian kiri atas dari kurva U.
Fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan dan euphoria sebagai antisipasi
individu sebelum memasuki budaya baru.
Masalah cultural, fase kedua dimana masalah dengan lingkungan baru mulai
berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, sistem lalu lintas baru, sekolah baru
dll.Fase ini biasanya diikuti dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah
periode krisis dalam cultural shock. Orang menjadi bingung dan tercengang dengan
sekitarnya dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan,
mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.
Fase recovery, fase ketiga dimana orang mengenai budaya barunya. Pada tahap ini,
orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya
menanggulangi budaya baru. Orang-orang danperistiwa dalam lingkungan baru mulai
dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.
Fase penyesuaian, fase terakhir pada puncak kanan U, orang telah mengerti elemen
kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, adaptasi khusus, pola komunikasi, keyakinan,
dll) kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda biasanya juga disertai
dengan rasa puas dan menikmati.
Beberapa literatur yang lain menyarankan hal-hal berikut ini untuk mengatasi
culture shock dengan baik, yaitu antara lain:
1. Sebelum individu berangkat ke negara baru yang akan dimasukinya, ada baiknya
apabila ia sudah terlebih dahulu membaca tentang negara tersebut dan budaya yang
ada di negri tersebut. Hal ini akan membantu individu ini untuk lebih familier dengan
negara yang akan dimasukinya, dan lebih siap untuk berhadapan dengan berbagai
perbedaan yang akan dihadapinya (www.ips.uiuc.edu/sao/students/curr-
cultureshock.html).
2. Mengelola pengharapan (manage expectations). Harapan yang dimiliki seseorang
akan mempengaruhi bagaimana orang tersebut menginterpretasikan dan menilai suatu
kejadian. Menjaga agar harapan sedapat mungkin realistis dan sesuai dengan .
(www.wzo.org.il/en/reseources/view.asp?id=1445kenyataan serta kemampuan diri
akan menjaga agar stress selalu dalam kondisi rendah. Berharap terlalu tinggi
terhadap penduduk setempat untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan
individu itu sendiri hanya akan membuat individu tersebut merasa frustrasi).
3. Memiliki tujuan yang jelas akan kedatangan ke negri tersebut. Dengan terus
mengingat dan memegang teguh tujuan awal datang ke negara tersebut, individu akan
menjadi lebih siap untuk berjuang demi mencapai tujuannya. Hal ini juga akan
menolong individu untuk terus memiliki fokus untuk melakukan hal terbaik dan
terpenting selama di negri yang baru. Menjaga prioritas akan menolongnya mengatasi
culture shock (www.ips.uiuc.edu/sao/students/curr-cultureshock.html).
4. Dalam penelitian Chapdelaine (2004) ditemukan bahwa tingginya kesempatan untuk
berinteraksi dengan penduduk asli berhubungan dengan rendahnya culture shock.
Interaksi akan lebih sulit untuk dilakukan apabila seseorang tidak memahami bahasa
pengantarnya dengan baik. Oleh karena itu, penguasaan bahasa yang baik menjadi
syarat penting untuk mengatasi culture shock. Jadi disarankan bagi individu untuk
menguasai bahasa pengantar di negara tersebut untuk menghindarkan individu dari
kondisi culture shock.
(Guanipa,1998; www.wzo.org.il/en/reseources/view.asp?id=1445).
5. Bersedia untuk belajar kultur yang baru. Individu perlu menyadari bahwa kultur
bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir, tetapi sesuatu yang dipelajari (Guanipa, 1998).
Hal yang dibawa sejak lahir adalah kemampuan individu untuk belajar kultur, apapun
kultur itu. Oleh karena itu, kesediaan untuk belajar kultur yang baru akan membantu
untuk mengatasi kesalahpahaman dan menolong teratasinya persoalan-persoalan
sosial di tempat yang baru. Hal yang sama yang perlu dipahami adalah bahwa nilai-
nilai yang selama ini telah dipelajari dari kulturnya yang lama bukanlah sesuatu yang
bersifat mutlak dan paling benar. Nilai dan keyakinan itu menjadi benar bagi individu
karena proses sosialisasi yang dilakukan oleh orangtua individu padanya, melalui
pemberian hadiah dan hukuman sehingga individu meyakini kebenarnanya. Dengan
demikian kesediaan untuk membuka diri, belajar dan menghargai kultur yang baru
akan membuka jalan bagi individu untuk mengatasi culture shock yang dialaminya.
6. Mencoba menemukan kesamaan-kesamaan nilai-nilai antara kulturnya dengan kultur
yang baru. Dengan menemukan kesamaan-kesamaan ini, individu akan menjadi lebih
merasa dekat dengan negara baru yang didatanginya. Hal ini menimbulkan perasaan
memiliki dan familier, sehingga mengurangi perasaan terasing yang dialami akibat
culture shock (Guanipa, 1998).
7. Saat kemarahan dan frustasi-frustasi muncul terhadap kultur yang baru dan
kecenderungan mengkritik kultur yang baru sangat kuat muncul, sebaiknya individu
berhenti sejenak untuk berpikir dan menganalisa persoalan dengan lebih objektif
(Guanipa, 1998), tidak melakukan generalisasi. Sangat penting juga menjaga
pemikiran untuk tidak dengan gegabah melakukan stereotyping, bisa jadi kesalahan
yang dilakukan oleh orang-orang di tempat yang baru bukan masalah kultur, tetapi
memang masalah watak dari individu tersebut. Dengan kata lain, individu harus
menghindari mencampuradukkan masalah personal sebagai masalah kultur. Hal ini
berarti, orang dengan watak yang mengganggu tsb. bisa saja ditemukan di kultur
manapun, termasuk di kultur asalnya sendiri, sehingga tidak perlu menyalahkan
negara baru sebagai pihak yang bertanggungjawab atas ketidaknyamanan yang
dialaminya.
8. Memelihara dukungan sosial dan emosional.
Ketika berada di lingkungan yang baru, seseorang membutuhkan orang-orang yang
bersedia memberikan dukungan sosial. Dukungan sosial meliputi dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental (material), maupun
dukungan informasi. Individu harus berusaha agar di tempat yang baru ini, ia
memiliki orang-orang yang dapat memberikan dukungan-dukungan sosial yang
diperlukan. Dukungan ini bisa diperoleh melalui orang-orang yang berasal dari satu
negara (misalnya ada perkumpulan pelajar Indonesia di Amerika dll.), atau bisa
diperoleh dari orang-orang dari lembaga pelayanan (misalnya di gereja biasanya ada
divisi pelayanan mahasiswa/mahasiswa asing). Dengan mengikuti organisasi-
organisasi tertentu individu bisa membuka network dan persahabatan dengan orang-
orang ini yang bisa memberikan dukungan sosial yang diperlukan
(www.wzo.org.il/en/reseources/view.asp?id=1445).
9. Membangun zona stabilitas. Yang dimaksud dengan zona stabilitas adalah segala
sesuatu yang bisa membuat individu merasa nyaman dan relax. Hal ini bisa segala
sesuatu yang berhubungan dengan hobi,atau hal-hal yang menyenangkan lainnya. Hal
ini berarti bahwa selama di negara baru, individu tidak boleh melupakan untuk
melakukan hal-hal yang menyenangkan yang bisa membuat individu merasa nyaman
dan relax (www.wzo.org.il/en/reseources/view.asp?id=1445).
10. Beberapa orang menyarankan untuk memiliki jurnal harian. Dalam kondisi belum
memiliki seorangpun yang bisa diajak bicara, mencurahkan kegelisahan pada jurnal
harian akan membantu proses katarsis individu. Seringkali menuliskan hal-hal yang
menggelisahkan dalam jurnal juga menolong individu untuk melihat persoalan-
persoalan yang sesungguhnya yang mungkin tak akan tampak bila hanya tersimpan di
dalam pikiran saja (www.juliaferguson.com/shock.html)
2.6 Perbedaan Culture Shock Di Berbagai Negara
Di India, " karet " berarti sepotong karet Anda gunakan untuk menghapus tulisan
pensil, biasanya dikenal sebagai " penghapus " di AS. Sayangnya, " karet " biasanya
mengacu pada kondom di Amerika Serikat .
Kami pergi ke universitas di Inggris untuk sementara waktu, dan suatu hari sesama
mahasiswa datang ke laboratorium suami saya dan mengatakan ia melihat seorang
profesor berjalan menyusuri lorong dengan Winchester. Suami saya sudah siap untuk
memukul dek, tapi tidak ada orang lain tampak khawatir. Ternyata bahwa Winchester
adalah termos besar di Inggris, bukan senapan seperti di sini di Amerika !
Di India, duduk dengan kaki disilangkan dianggap sebagai tanda hormat kepada orang
lain. Ibuku mencubit kaki saya ketika saya duduk dalam posisi seperti itu aku tinggal
di pedesaan Jepang sekarang. Saya pikir banyak kejutan budaya di sini lebih berkaitan
dengan cara-cara yang Jepang tampaknya begitu dekat dengan budaya Amerika,
namun begitu jauh. Jadi, itu adalah negara modern dengan lampu listrik - tetapi switch
cahaya gaya yang berbeda dari yang AS.
Carilah kemanapun Anda pergi ke Amerika Serikat, tombol lampu semua dipasang
terbalik. Anda berjalan dan sampai ke sisi dalam gelap (setidaknya saklar masih di
tempat yang tepat) dan menekan tombol ke bawah itu untuk menyalakannya - hanya
ketika Anda menemukan bahwa itu sudah dalam posisi "on". Ini lebih mengganggu
daripada menemukan bahwa orang-orang berkendara di sisi jalan yang lain.
Di paris,ketika kita keluar saat pagi dan berkata “bonjour”kepada setiap orang yang
kita temui dan akan membalas “bonjour“ juga.jika kita melakukan itu di New
York,maka orang New York akan menjauhi anda karena mereka mengira kita akan
menganiayanya.
Di Asia jika kita bertemu dengan seseorang dan menatapnya terlalu lama,mereka
menganggap kalau itu tidak sopan,tapi tidak untuk negara barat, mereka terbiasa
untuk menatap mata terlalu lama dengan orang yang di temuinya.
2.7 Mengatasi Culture Shock
1. berpartisipasi dalam budaya baru
2. bersikap tegas dan belajar mengungkapkan perasaan
3. bersedia berbagi culture dan budaya
4. menahan judgement tentang budaya baru yang akan dimasuki
5. secara periodik menghubungkan diri dengan budaya asal
6. berhati – hati dengan stereotype
7. tetap memelihara identitas diri dan budaya asal
8. tidak menginterpretasi budaya baru dengan budaya asal
9. belajar menggunakan perkakas budaya baru
10. mencari berbagai informasi tentang budaya baru
11. menjaga toleransi ambiguitas makna yang tercipta dari kedua budaya
12. tetap memelihara sens of humor
13. belajar menerima sesuatu yang tidak sesuai harapan
14. tetap open minded
BAB III
KESIMPULAN
Seiring dengan issue globalisasi baik di bidang pendidikan maupun di bidang
tenaga kerja, yang mengharuskan individu untuk berinteraksi dengan budaya yang berbeda,
issue mengenai culture shock tampaknya perlu dipandang dengan lebih serius daripada
sebelumnya. Kalau tidak, dikawatirkan gangguan yang dialami karena culture shock bisa
menjadi ancaman bagi kesehatan jiwa banyak masyarakat di dunia yang semakin sering
melakukan aktifitas lintas budaya.
Usaha untuk mengatasi culture shock, akhirnya tidak hanya harus dilakukan
individu secara perseorangan, tetapi juga perlu ditangani secara professional dan serius oleh
instansi atau lembaga yang terlibat dalam pertukaran antar budaya. Misalnya saja di sekolah
internasional, yang memiliki siswa-siswa dari budaya yang berbeda tampaknya perlu
menyediakan tenaga konselor dan program yang terarah untuk membantu penyesuaian diri
siswa-siswi yang berasal dari budaya yang berbeda. Perhatian juga diperlukan bagi
perusahaan yang memiliki para ekspatriat ataupun mengirimkan karyawannya untuk
ditugaskan di tempat yang berbeda dari kultur asalnya, dengan pemberian pelatihan,
pemahaman dan training yang sesuai, demi tercapainya produktifitas kerja karyawannya
karena terbebas dari culture shock. Pada akhirnya, usaha dari berbagai pihak diharapkan
dapat membuahkan hasil yang lebih memuaskan.