Upload
dhikajess
View
112
Download
15
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kelompok Ecek-ecek
Citation preview
MAKALAH EPIDEMIOLOGI
“KEBIJAKAN KESEHATAN”
Di Susun Oleh:
1) Aenolia Farizki Novi (P07134012 001)
2) Dhika Juliana Sukmana (P07134012 009)
3) Dian Ekawati (P07134012 010)
4) Mang Bagus Purwantadi (P07134012 024)
5) Muhammad Rizqi Adityansyah (P07134012 025)
6) Nurkomalasari (P07134012 033)
7) Nurul Hikmatil Hasanah (P07134012 035)
8) Rival Anugrah Ramdhani (P07134012 039)
9) Siti Rif’ah Sabariah (P07134012 043)
10)Suriyani (P07134012 045)
11)Wahyu Kurnia (P07134012 046)
12)Winda Permata Sari (P07134012 048)
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN ANALIS KESEHATAN MATARAM
Jalan Praburangkasari Dasan Cermen Cakranegara Telepon (0370) 631160
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan segala rahmat dan karunia-Nya sajalah penulis dapat membuat
makalah tentang “KEBIJAKAN KESEHATAN” ini. Adapun tujuan dari penyusunan
makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan tentang Kebijakan Kesehatan
dalam epidemiologi.
Kami juga sebagai penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa
makalah ini jauh dari sempurna, baik dari segi materi maupun bahasanya. Hal
tersebut terjadi karena keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan pengalaman
yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca,
khususnya mahasiswa Poltekkes Kemenkes Mataram dan semua pihak pada
umumnya.
Mataram, Mei 2014
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................. i
Daftar Isi......................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 4
C. Tujuan................................................................................................. 4
BAB II. PEMBAHASAN
A. Kebijakan Kesehatan ......................................................................... 6
B. Perencanaan dan Penyusunan Kebijakan Kesehatan........................ 8
C. Implementasi atau Pelaksanaan Kebijakan Kesehatan...................... 15
D. Evaluasi Kebijakan Kesehatan ........................................................... 21
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................27
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sektor kesehatan merupakan bagian penting perekonomian diberbagai
negara. Sejumlah pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan sama seperti
spons yang menyerap banyak sumber daya nasional untuk membiayai banyak
tenaga kesehatan. Pendapat yang lain mengemukakan bahwa sektor
kesehatan seperti pembangkit perekonomian, melalui inovasi dan investasi
dibidang technologi bio‐medis atau produksi dan penjualan obat‐obatan, atau
dengan menjamin adanya populasi yang sehat yang produktif secara
ekonomi. Sebagian warga masyarakat mengunjungi fasilitas kesehatan
sebagai pasien atau pelanggan, dengan memanfaatkan rumah sakit, klinik atau
apotik; atau sebagai profesi kesehatan: perawat, dokter, tenaga pendukung
kesehatan, apoteker, atau manajer. Karena pengambilan keputusan
kesehatan berkaitan dengan hal kematiandan keselamatan, kesehatan
diletakkan dalam kedudukan yang lebih istimewa dibanding dengan
masalah sosial yang lainnya.
Kesehatan juga dipengaruhi oleh sejumlah keputusan yang tidak ada
kaitannya dengan layanan kesehatan : kemiskinan mempengaruhi kesehatan
masyarakat, sama halnya dengan polusi, air kotor atau sanitasi yang buruk.
Kebijakan ekonomi, seperti pajak merokok, atau alkohol dapat pula
mempengaruhi perilaku masyarakat. Penyebab mutakhir meningkatnya
obesitas ditengah masyarakat mencakup kesediaan makanan cepat saji yang
3
murah namun tinggi kalori, penjualan soft drinks disekolah, juga menurunnya
kebiasaan berolahraga.
Memahami hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan itu
sendiri menjadi sedemikian pentingnya sehingga memungkinkan untuk
menyelesaikan masalah kesehatan utama yang terjadi saat ini, meningkatnya
obesitas, wabah HIV/AIDS, meningkatnya resistensi obat – sekaligus
memahani bagaimana perekonomian dan kebijakan lain berdampak pada
kesehatan. Kebijakan kesehatan memberi arahan dalam pemilihan teknologi
kesehatan yang akan dikembangkan dandigunakan, mengelola dan
membiayai layanan kesehatan, atau jenis obat yang dapat dibeli bebas. Untuk
memahami hal tersebut, perlu mengartikan apa yang dimaksud dengan
kebijakan kesehatan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kebijakan Kesehatan?
2. Bagaimana perencanaan dan penyusunan dalam kebijakan kesehatan?
3. Bagaimana pelaksanaan dalam kebijakan kesehatan?
4. Bagaimana mengevaluasi hasil dari suatu kebijakan kesehatan?
C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat memahami mengenai kebijakan kesehatan.
2. Mahasiswa dapat mengetahui tentang perencanaan dan penyususnan dalam
kebijakan kesehatan.
3. Mahasiswa dapat mengetahui pelaksanaan dalam kebijakan kesehatan.
4
4. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami bagaimana mengevaluasi hasil
dari suatu kebijakan kesehatan.
5
BAB II
PEMBAHASAN
1. KEBIJAKAN KESEHATAN
Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti
kebijakan. Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government
chooses to do or not to do). Friedrich mengatakan bahwa yang paling pokok
bagi suatu kebijakan adalah adanya tujuan (goal), sasaran (objective) atau
kehendak (purpose) (Abidin, 2002).
Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung
makna bahwa :
a. Kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah.
b. Kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak
dilakukan oleh badan pemerintah (Abidin, 2002).
Menurut Dunn proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan yaitu
sebagai berikut :
a. Penyusunan agenda (agendaseting), yakni suatu proses agar suatu
masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah.
b. Formulasi kebijakan (policyformulation), yakni suatu proses
perumusan pilihan - pilihan atau alternatif pemecahan masalah oleh
pemerintah.
c. Penentuan kebijakan (policyadoption), yakni suatu proses dimana
pemerintah menetapkan alternatif kebijakan apakah sesuai dengan
kriteria yang harus dipenuhi, menentukan siapa pelaksana kebijakan
6
tersebut, dan bagaimana proses atau strategi pelaksanaan kebijakan
tersebut.
d. Implementasi kebijakan (policyimplementation), yaitu suatu proses
untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil, pada tahap ini
perlu adanya dukungan sumber daya dan penyusunan organisasi
pelaksana kebijakan.
e. Evaluasi kebijakan (policyevaluation), yakni suatu proses untuk
memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan (Subarsono,2005).
Kebijakan publik bersifat multidisipliner termasuk dalam bidang
kesehatan sehingga kebijakan kesehatan merupakan bagian dari kebijakan
publik. Dari penjelasan tersebut maka diuraikanlah tentang pengertian
kebijakan kesehatan yaitu konsep dan garis besar rencana suatu
pemerintah untuk mengatur atau mengawasi pelaksanaan pembangunan
kesehatan dalam rangka mencapai derajat kesehatan yang optimal pada
seluruh rakyatnya (AKK USU, 2010).
Kebijakan kesehatan merupakan pedoman yangmenjadi acuan bagi
semua pelaku pembangunan kesehatan, baik pemerintah, swasta, dan
masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan dengan
memperhatikan kerangka desentralisasi dan otonomi daerah (Depkes RI,
2009).
7
2. PROSES PERENCANAAN DAN PENYUSUNAN KEBIJAKAN
Dalam melaksanakan suatu kebijakan dibutuhkan suatu
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi seperti yang dijelaskan di atas.
Aspek-aspek tersebut sangat dibutuhkan dalam membangun terwujudnya
suatu perencanaan kesehatan melalui suatu kebijakan kesehatan.
Dalam suatu Kebijakan Kesehatan terdapat proses perencanaan
kebijakan. Proses mengacu kepada cara bagaimana kebijakan dimulai,
dikembangkan atau disusun, dinegosiasi, dikomunikasikan, dilaksanakan
dan dievaluasi. Pendekatan yang paling sering digunakan untuk
memahami proses kebijakan adalah dengan menggunakan apa yang
disebut ‘tahapan heuristiks’ (Sabatier dan Jenkins‐Smith 1993). Yang
dimaksud disini adalah membagi proses kebijakan menjadi
serangkaian tahapan sebagai alat teoritis, suatu model dan tidak
selalu menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi didunia nyata.
Namun, serangkaian tahapan ini membantu untuk memahami
penyusunan kebijakan dalam tahapan‐tahapan yang berbeda:
a. Identifikasi masalah dan isu
Menemukan bagaimana isu – isu yang ada dapat masuk kedalam
agenda kebijakan, mengapa isu –isu yang lain justru tidak pernah
dibicarakan.
b. Perumusan kebijakan
Menemukan siapasaja yang terlibat dalam perumusan kebijakan,
bagaimana kebijakan dihasilkan, disetujui, dan dikomunikasikan.
c. Pelaksanaan Kebijakan
8
Tahap ini yang paling sering diacuhkan dan sering dianggap sebagai
bagian yang terpisah dari kedua tahap yang pertama. Namun, tahap ini
yang diperdebatkan sebagai tahap yang paling penting dalam
penyusunan kebijakan sebab bila kebijakan tidak dilaksanakan, atau
dirubah selama dalam pelaksanaan, sesuatu yang salah mungkin terjadi
dan hasil kebijakan tidak seperti yang diharapkan.
d. Evaluasi kebijakan
Temukan apa yang terjadi pada saat kebijakan dilaksanakan.
Bagaimana pengawasannya, apakah tujuannya tercapai dan
apakah terjadi akibat yang tidak diharapkan. Tahapan ini merupakan
saat dimana kebijakan dapat diubah atau dibatalkan serta kebijakan
yang baru ditetapkan.
Perencanaan yang baik, mempunyai beberapa ciri-ciri yang harus
diperhatikan. Menurut Azwar (1996) ciri-ciri tersebut secara sederhana dapat
diuraikan sebagai berikut :
Bagian dari sistem administrasi
Suatu perencanaan yang baik adalah yang berhasil
menempatkan pekerjaan perencanaan sebagai bagian dari sistem
administrasi secara keseluruhan. Sesungguhnya, perencanaan pada
dasarnya merupakan salah satu dari fungsi administrasi yang amat
penting. Pekerjaan administrasi yang tidak didukung oleh perencanaan,
bukan merupakan pekerjaan administrasi yang baik.
Dilaksanakan secara terus-menerus dan berkesinambungan
9
Suatu perencanaan yang baik adalah yang dilakukan secara
terus-menerus dan berkesinambungan. Perencanaan yang dilakukan
hanya sekali bukanlah perencanaan yang dianjurkan. Ada hubungan
yang berkelanjutan antara perencanaan dengan berbagai fungsi
administrasi lain yang dikenal. Disebutkan perencanaan penting untuk
pelaksanaan, yang apabila hasilnya telah dinilai, dilanjutkan lagi
dengan perencanaan. Demikian seterusnya sehingga terbentuk suatu
spiral yang tidak mengenal titik akhir.
Berorientasi pada masa depan
Suatu perencanaan yang baik adalah yang berorientasi pada
masa depan. Artinya, hasil dari pekerjaan perencanaan tersebut,
apabila dapat dilaksanakan, akan mendatangkan berbagai kebaikan
tidak hanya pada saat ini, tetapi juga pada masa yang akan datang.
Mampu menyelesaikan masalah
Suatu perencanaan yang baik adalah yamg mampu
menyelesaikan berbagai masalah dan ataupun tantangan yang
dihadapi. Penyelesaian masalah dan ataupun tantangan yang
dimaksudkan disini tentu harus disesuaikan dengan kemampuan.
Dalam arti penyelesaian masalah dan ataupun tantangan tersebut
dilakukan secara bertahap, yang harus tercermin pada pentahapan
perencanaan yang akan dilakukan.
Mempunyai tujuan
Suatu perencanaan yang baik adalah yang mempunyai tujuan
yang dicantumkan secara jelas. Tujuan yang dimaksudkandi sini
10
biasanya dibedakan atas dua macam, yakni tujuan umum yang
berisikan uraian secara garis besar, serta tujuan khusus yang berisikan
uraian lebih spesifik.
Bersifat mampu kelola
Suatu perencanaan yang baik adalah yang bersifat mampu kelola,
dalam arti bersifat wajar, logis, obyektif, jelas, runtun, fleksibel serta
telah disesuaikan dengan sumber daya. Perencanaan yang disusun
tidak logis serta tidak runtun, apalagi yang tidak sesuai dengan sumber
daya bukanlah perencanaan yang baik.
Pendekatan Perencanaan Kebijakan Kesehatan dengan Segitiga
Kebijakan.
Segitiga kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan
yang sudah sangat disederhanakan untuk suatu tatanan hubungan yang
kompleks, dan segitiga ini menunjukkan kesan bahwa ke‐empat faktor
dapat dipertimbangkan secara terpisah. Tidak demikian seharusnya.
Pada kenyataannya, para pelaku dapat dipengaruhi (sebagai seorang
individu atau seorang anggota suatu kelompok atau organisasi) dalam
konteks dimana mereka tinggal dan bekerja; konteks dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti: ketidak‐stabilan atau ideologi, dalam hal
sejarah dan budaya; serta proses penyusunan kebijakan –
bagaimana isu dapat menjadi suatu agenda kebijakan, dan
bagaimana isu tersebut dapat berharga – dipengaruhi oleh pelaksana,
kedudukan mereka dalam strutur kekuatan, norma dan harapan mereka
11
sendiri. Dan isi dari kebijakan menunjukan sebagian atau seluruh bagian
ini. Jadi, segitiga tersebut tidak hanya membantu dalam berpikir
sistematis tentang pelaku‐pelaku yang berbeda yang mungkin
mempengaruhi kebijakan, tetapi juga berfungsi seperti peta yang
menunjukkan jalan‐jalan utama sekaligus bukit, sungai, hutan, jalan
setapak danpemukiman.
Konteks
Actor
• Individu
• Grup
• Organisasi
Isi/ Content Proses
Gambar 1.1 Segitiga Analisis Kebijakan; Sumber: Walt and Gilson (1994)
Seperti yang pembaca lihat dalam Gambar 1.1., pelaku berada
ditengah kerangka kebijakan kesehatan. Pelaku dapat digunakan
untuk menunjuk individu (seorang negarawan – Nelson Mandela,
mantan Presiden Afrika Selatan, misal), organisasi seperti World bank
atau perusahaan multi‐nasional seperti Shell, atau bahkan suatu Negara
atau pemerintahan. Namun, penting untuk dipahami bahwa itu semua
adalah penyederhanaan. Individu tidak dapat dipisahkan dari organisasi
dimana mereka bekerja dan setiap organisasi atau kelompok dibangun
dari sejumlah orang yang berbeda, yang tidak semuanya menyuarakan
hal yang sama, yang masing‐masing memiliki norma dan kepercayan
12
yang berbeda.
Dalam bab‐bab selanjutnya, pembaca akan melihat banyak
pelaku yang berbeda beserta cara untuk membedakan mereka supaya
dapat mengkaji siapa yang memiliki pengaruh dalam proses kebijakan.
Sebagai contoh: ada banyak cara untuk menggambarkan kelompok‐kelompok diluar daerah. Dalam hubungan internasional, ada kebiasaan
untuk membicarakan pelaku‐pelaku non pemerintah. Ilmuwan politik
menganggapnya sebagai kelompok yang berkepentingan dan kelompok
yang menekan. Dalam perkembangan literatur, kelompok‐kelompok ini
sering disebut organisasi sosial masyarakat (organisasi yang berdiri
diantara pemerintah dan individu/keluarga). Yang membedakan dari
pelaku pemerintah adalah mereka tidak mencari kekuatan politik yang
formal untuk diri mereka sendiri, meskipun mereka benar‐benar ingin
mempengaruhi mereka yang memiliki kekuasan politik secara formal.
Terkadang sejumlah kelompok yang berbeda berkumpul untuk
menunjukkan sikap mereka terhadap isu tertentu – disebut sebagai
gerakan sosial atau gerakan masyarakat. Sebagai contoh, gerakan
yang dilakukan oleh kelompok‐kelompok yang berbeda di tahun
1980an membuat perubahan politik dalam rezim sosialis di Eropa Timur.
Banyak gerakan social yang berjuang untuk kemerdekaan, otonomi atau
melawan rezim politik tertentu (gerakan Zapatista di Provinsi Chiapas,
Mexico, adalah bagian dari suatu gerakan diseluruh Amerika Latin untuk
mempertahankan hak penduduk asli).
Para pelaku ini berusaha untuk mempengaruhi proses politik
13
ditingkat lokal, nasional, atau internasional. Seringkali mereka
merupakan bagian jaringan yang sering disebut sebagai partner, untuk
mengkonsultasikan dan memutuskan kebijakan diseluruh tingkatan
ini. Di tingkat lokal, sebagai contoh, pekerja kesehatan masyarakat
dapat bekerja dengan pegawai lingkungan, guru sekolah setempat, dan
bahkan perusahaan setempat. Dalam sisi spektrum yang lain, para pelaku
ini dapat pula dihubungkan dengan pelaku lain antar daerah, sebagai
contoh, mereka bisa menjadi anggota jaringan kerja antar pemerintahan
(yakni: pejabat pemerintahan dalam satu departemen dari pemerintahan
suatu negara, mengambil pelajaran dari pilihan‐pilihan yang diambil oleh
pejabat pemerintahan dari satu Negara yang lain); atau mereka bisa saja
menjadi bagian dari komunitas kebijakan – jaringan professional yang
saling bertemu dalam forum ilmiah atau bekerja sama dalam proyek
penelitian. Yang lain mungkin membentuk jaringan isu – bertindak
bersama dalam satu isu tertentu. Di Bab 6 pembaca akan belajar banyak
mengenai perbedaan diantara kelompok‐kelompok ini beserta peran
mereka dalam proses kebijakan.
Untuk memahami seberapa besar pengaruh para pelaku tersebut
dalam proses kebijakan berarti pula memahami konsep kekuasaan, dan
bagaimana kekuasaan tersebut digunakan. Para pelaku mungkin
berusaha untuk mempengaruhi kebijakan, tetapi sampai dimana pengaruh
tersebut tergantung pada bagaimana mereka memandang kekuasaan
tersebut. Kekuasaan dapat dikategorikan berdasarkan kekayaan
pribadi, kepribadian, tingkat atau akses kepada ilmu pengetahuan,
14
atau kewenangan, tetapi hal tersebut sangat berhubungan dengan
organisasi dan struktur (termasuk jaringan kerja) dimana para pelaku
individu ini bekerja dan tinggal. Ahli sosiologi dan ilmu politik membahas
hubungan diantara lembaga dan struktur dengan mengedepankan
pengertian bahwa kekuasaan para pelaku (pejabat) terikat dalam stuktur
organisasi mereka sendiri
3. IMPLEMENTASI ATAU PELAKSAAN KEBIJAKAN
Implementasi adalah proses untuk melaksanakan kebijakan supaya
mencapai hasil. Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh
policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil
dalam implementasinya (Subarsono,2005).
Secara garis besar fungsi implementasi adalah untuk membentuk
suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-
sasaran kebijakan publik diwujudkan sebagai outcome (hasil akhir)
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah (Wahab, 2008).
Van Meter dan Horn menyatakan bahwa implementasi kebijakan
menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil
kegiatan pemerintah dimana tugas implementasi adalah membangun
jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui
aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang
berkepentingan (policy stake holders) (Subarsono, 2005).
Tahap implementasi kebijakan dapat dicirikan dan dibedakan
dengan tahap pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan disatu sisi
15
merupakan proses yang memiliki logika bottom-up, dalam arti proses
kebijakan diawali dengan penyampaian aspirasi, permintaan atau
dukungan dari masyarakat. Sedangkan implementasi kebijakan disisi lain
didalamnya memiliki logika top-down, dalam arti penurunan alternatif
kebijakan yang abstrak atau makro menjadi tindakan konkrit atau mikro
(Parsons, 2008).
Langkah implementasi kebijakan dapat disamakan dengan fungsi
actuating dalam rangkaian fungsi manajemen. Aksi disini merupakan fungsi
tengah yang terkait erat dengan berbagai fungsi awal, seperti perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), pembenahan personil (stuffing)
dan pengawasan (controlling). Sebagai langkah awal pada pelaksananan
adalah identifikasi masalah dan tujuan serta formulasi kebijakan. Untuk
langkah akhir dari rangkaian kebijakan beradapada monitoring dan evaluasi
(Abidin, 2002).
Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel dan
masing- masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain.
Dalam pandangan Edward III (1980), implementasi kebijakan mempunyai
4 variabel yaitu :
Komunikasi
Implementasi kebijakan mensyaratkat implementor mengetahui apa
yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus
ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehinggaakan mengurangi distorsi
implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau
bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka
16
kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran (Subarsono,
2005). Semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran atas program maka
akan mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan
kebijakan (Indiahono, 2009).
Sumber Daya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan
konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk
melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut
dapat berwujud sumberdaya manusia maupun sumberdaya finansial
(Subarsono, 2005). Sumberdaya manusia adalah kecukupan baik kualitas dan
kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran.
Sumberdaya finansial adalah kecukupan modal dalam melaksanakan
kebijakan. Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan.
Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal dikertas menjadi dokumen saja
(Indiahono, 2009).
Disposisi
Disposisi adalah watak dan karateristik yang dimiliki oleh implementor
seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki
disposisi yang baik makadia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik
seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor
memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan maka
proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif (Subarsono,2005).
Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arah program
yang telah digariskan dalam program. Komitmen dan kejujurannya
17
membawanya semakin antusias dalam melaksanakan tahap-tahap program
secara konsisten. Sikap yang demokratis akan meningkatkan kesan baik
implementor dan kebijakan dihadapan anggota kelompok sasaran. Sikap
ini akan menurunkan resistensi dari masyarakat dan menumbuhkan rasa
percaya dan kepedulian kelompok sasaran terhadap implementor dan
kebijakan (Indiahono, 2009).
Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah
satu daria spek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya
prosedur operasi yang standar (SOP atau standard operating procedures).
SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur
organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan
dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan
kompleks. Ini menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel (Subarsono,
2005).
Keempat variabel diatas dalam model yang dibangun oleh Edward
memiliki keterkaitan satu dengan yang lain dalam mencapai tujuan dari
kebijakan. Semuanya saling bersinergi dalam mencapai tujuan dan satu
variabel akan mempengaruhi variabel yang lain. Misalnya bila implementor
tidak jujur akan mudah sekali melakukan markup dan korupsi atas dana
kebijakan sehingga program tidak optimal dalam mencapai tujuannya.
Begitu pula bila watak dari implementor kurang demokratis akan sangat
mempengaruhi proses komunikasi dengan kelompok sasaran. Model
18
implementasi dari Edward ini dapat digunakan sebagai alat
menggambarkan implementasi program diberbagai tempat dan waktu.
Tidak semua kebijakan berhasil dilaksanakan secara sempurna
karena pelaksanaan kebijakan pada umumnya memang lebih sukar dari
sekedar merumuskannya. Proses perumusan memerlukan pemahaman
tentang berbagai aspek dan disiplin ilmu terkait serta pertimbangan
mengenai berbagai pihak namun apa yang dilaksanakan. Kesenjangan
tersebut bisa disebabkan karena tidak dilaksanakan dengan sebagaimana
mestinya (non implementation) dan karena tidak berhasil atau gagal dalam
pelaksanaannya (unsuccessful implementation) (Abidin)
Dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa faktor eksternal
yang biasanya mempersulit pelaksanaan suatu kebijakan, antara lain :
KondisiFisik
Terjadinya perubahan musim atau bencana alam. Dalam banyak hal
kegagalan pelaksanaan kebijakan sebagai akibat dari faktor-faktor alam
ini sering dianggap bukan sebagai kegagalan dan akhirnya diabaikan,
sekalipun dalam hal-hal tertentu sebenarnya bisa diantisipasi untuk
mencegah dan mengurangi resiko yang terjadi.
Faktor Politik
Terjadinya perubahan politik yang mengakibatkan pertukaran
pemerintahan dapat mengubah orientasi atau pendekatan dalam
pelaksanaan bahkan dapat menimbulkan perubahan pada seluruh
kebijakan yang telah dibuat. Perubahan pemerintahan dari kepala
pemerintahan kepada kepala pemerintahan lain dapat menimbulkan
19
perbedaan orientasi sentralisasi ke desentralisasi sistem pemerintahan,
perubahan dari orientasi yang memprioritaskan strategi industrialisasi ke
orientasi agri-bisnis, perubahan dari orientasi yang memprioritaskan
pasar terbuka ke strategi dependensi dan sebagainya. Pelaksanaan
kebijakan tetap dianggap lebih sukar. Dalam kenyataannya sering terjadi
implementationgap yaitu kesenjangan atau perbedaan antara apa yang
dirumuskan dengan
Attitude
Attitude dari sekelompok orang yang cenderung tidak sabar menunggu
berlangsungnya proses kebijakan dengan sewajarnya dan memaksa
melakukan perubahan. Akibatnya, terjadi perubahan kebijakan sebelum
kebijakanitu dilaksanakan. Perubahan atas sesuatu peraturan
perundang-undangan boleh saja terjadi, namun kesadaran untuk melihat
berbagai kelemahan pada waktu baru mulai diberlakukan tidak boleh
dipandangs ebagaia ttitude positi fdalam budaya bernegara.
Terjadi penundaan karena kelambatan atau kekurangan faktor inputs.
Keadaan ini terjadi karena faktor-faktor pendukung yang diharapkan
tidak tersedia pada waktu yang dibutuhkan, atau mungkin karena salah
satuf aktor dalam kombinasi faktor-faktor yang diharapkan tidak cukup.
Kelemahan salah satulangkah dalam rangkaian beberapa langkah
pelaksanaan.
Jika pelaksanaan memerlukan beberapa langkah yang berikut: A> B> C>
D, kesalahan dapat terjadi diantara A dengan B atau diantara B dengan C
dan atau antara C dengan D.
20
Kelemahan pada kebijakan itu sendiri.
Kelemahan ini dapat terjadi karena teori yang melatarbelakangi
kebijakan atau asumsi yang dipakai dalam perumusan kebijakan tidak
tepat (Abidin, 2002).
Kebijakan yang baik mempunyai tujuan yang rasional dan diinginkan,
asumsi yang realistis dan informasi yang relevan dan lengkap. Tetapi tanpa
pelaksanaan yang baik, sebuah rumusan kebijakan yang baik sekalipun
hanya akan merupakan sekedar suatu dokumen yang tidak mempunyai
banyak arti dalam kehidupan bermasyarakat (Abidin, 2002).
4. EVALUASI KEBIJAKAN KESEHATAN
Evaluasi adalah proses pengumpulan dan analisis data secara
sistematis yang diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan, GAO
(1992:4). Evaluasi akan menghasilkan umpan balik dalam kerangka efektifitas
pelaksanaan suatu kebijakan. Menurut Departement of Health & Human
Service, evaluasi adalah proses untuk mengumpulkan informasi.
Sebagaimana dengan proses pada umumnya, evaluasi harus dapat
mendefinisikan komponen-komponen fase dan teknik yang akan dilakukan.
Menurut W. Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan,
masing-masing menunjukkan pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil
kebijakan dan program. Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan
dengan penaksiran, pemberian angka, dan penilaian kata-kata yang
21
menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti yang lebih
spesifik. Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau
manfaat hasil kebijakan.
Pengertian lain dikemukakan oleh Peter H. Rossi (1993:5)
menyebutkan bahwa evaluasi merupakan aplikasi penilaian yang sistematis
terhadap konsep, desain, implementasi, dan manfaat aktivitas dan program
dari suatu organisasi. Dengan kata lain, evaluasi dilakukan untuk menilai dan
meningkatkan cara-cara dan kemampuan berinteraksi organisasi yang pada
akhirnya akan meningkatkan kinerjanya.
Evaluasi adalah proses penilaian yang sistematis, pemberian nilai,
atribut, apresiasi dan pengenalan permasalahan serta pemberian solusi atas
permasalahan yang ditemukan. Dalam berbagai hal, evaluasi dilakukan
melalui monitoring terhadap sistem yang ada.Namun demikian, evaluasi
kadang-kadang tidak dapat dilakukan dengan hanya menggunakan informasi
yang dihasilkan oleh sistem informasi pada organisasi saja.
Segitiga kebijakan kesehatan dapat digunakan untuk mengkaji
atau memahami kebijakan tertentu atau pembaca dapat
menerapkannya untuk merencanakan suatu kebijakan khusus. Yang
pertama tadi mengacu kepada pengkajian kebijakan, sedangkan yang
kedua mengenai pengkajian untuk kebijakan. Pengkajian kebijakan pada
umumnya bersifat retrospektif –pengkajian ini melihat kembali
penentuan kebijakan (bagaimana kebijakan dapat dimasukkan kedalam
agenda, bagaimana awal dan perumusannya, apa isi kebijakan tersebut
22
(konten). Pengkajian ini juga meliputi evaluasi dan monitoring kebijakan –
apakah dapat mencapai tujuan? Apakah dapat dianggap berhasil?
Pengkajian untuk kebijakan biasanya bersifat prospektif –pengkajian
yang melihat ke depan dan mencoba untuk mengantisipasi apa yang akan
terjadi jika suatu kebijakan tertentu dilaksanakan. Pengkajian ini
memberikan pemikiran strategis untuk masa mendatang dan dapat
mengarah ke advokasi dan lobi kebijakan. Sebagai contoh: sebelum
pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan tentang penggunaan sabuk
pengaman mobil yang wajib untuk mengurangi angka kematian karena
kecelakaan, pemerintah Inggris mengadakan kampanye pendidikan
nasional untuk mempengaruhi masyarakat pada bukti yang
menunjukkan bahwa sabuk pengamanmengurangi kematian dan
pemerintah juga mengkonsultasi pihak kepolisian dan perusahaan
mobil sebelum kebijakan tentang pemakaian wajib sabuk pengaman
dan pihak kepolisian menjamin pelaksanaannya.
Sebuah contoh tentang bagaimana pengkajian kebijakan dapat
membantu dalam tindakan untuk kebijakan dapat dilihat dalam penelitian
yang dilakukan oleh McKee et al. (1996) dimana mereka
membandingkan kebijakan yang dilaksanakan di sejumlah negara
berpenghasilan tinggi dalam pencegahan kematian bayi mendadak
kadang disebut dengan ‘cot deaths’. Penelitian telah menemukan
bahwa kematian semacam ini dapat dihindari dengan menidurkan bayi
terlentang. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa bukti telah
ditemukan awal tahun 1980-an tetapi baru dilaksanakan beberapa
23
tahun kemudian dan sejumlah negara tidak segera menetapkan cara ini
agar mendorong orang tua untuk menidurkan bayi mereka
terlentang.Penelitian tersebut menyebutkan bahwa bukti statistik dianggap
tidak penting, sama halnya dengan pemerintah dibanyak negara yang tidak
tanggap akan adanya angka kematian bayi mendadak yang selalu
meningkat meski banyak bukti disekitar mereka. Sebaliknya, mereka
lebih menekankan pada program -program yang disiarkan media, serta
kegiatan dan feedbackoleh LSM yang dianggap lebih penting.Pelajaran
yang dapat diambil tentang kebijakan tergantung pada sistem politik:
dalam pemerintahan federal, nampaknya ada penyebaran kewenangan,
kegiatan pusat sulit dilaksanakan. Hal ini dapat diatasi dengan
kampanye regional yang terorganisasi baik, serta mengajak LSM dan
media untuk ikut memperhatikan isu tersebut. Di sebuah negara, layanan
statistik yang terdesentralisasi mengakibatkan kelambatan dalam
memperoleh data kematian. Akibatnya pengenalan masalah memerlukan
waktu lebih lama. Penulis menyimpulkan bahwa masih banyak negara
yang harus mengkaji kembali tatanan mereka dalam menghadapi bukti
tantangan kesehatan masyarakat.
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan kesehatan
merupakan pedoman yang menjadi acuan bagi semua pelaku pembangunan
kesehatan, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pembangunan kesehatan, dimana diperlukaan perencanaan kebijakan
kesehatan yang memiliki
Bagian dari sistem administrasi
Dilaksanakan secara terus-menerus dan berkesinambungan
Berorientasi pada masa depan
Mampu menyelesaikan masalah
Mempunyai tujuan
Bersifat mampu kelola (dapat dikelola dan dilaksanakan)
Sebelum dan setelah dilakukan pelaksanaan, perlu adanya evaluasi
hasil dari kebijakan kesehatan yang telah ditetapkan maupun hasil setelah
pelaksanaan kebijakan kesehatan. Evaluasi hasil dari pembuatan kesehatan
ditujukan untuk menilai kecocokan keputusan yang telah dibuat dengan situasi
atau kondisi untuk pelaksanaan kebijakan tersebut. Sedangkan evaluasi yang
dilakukan setelah pelaksanaan kebijakan bertujuan untuk menilai efektivitas
dan keberhasilan dari kebijakan kesehatan yang telah dilaksanakan. Jika
ditemukan adanya suatu kekurangan dalam pelaksanaannya maka dapat
25
segera diambil tindakan untuk menyempurnakan kebijakan kesehatan yang
telah dibuat dan dilaksanakan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2012. Evaluasi Kebijakan Kesehatan. www.catatansiwiro.blogspot.com .
Diakses pada tanggal 5 Mei 2014 pukul 20:00 WITA
Anonim, 2014. Kebijakan Kesehatan.
http://digilib.usu.ac.id/download/kebijakankesehatan . Diakses pada tanggal
5 Mei 2014 pukul 20:00 WITA
Buse, Kent, Nicholas Mays and Gill. 1994. Making Health Policy “Understanding
Health Policy”. Diakses pada tanggal 5 Mei 2014 pukul 20:00 WITA
27