19
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Disusun oleh: UMAR SYARIF (030.06.263) Fakultas kedokteran

Makalah GERD

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah GERD

Gastroesophageal Reflux Disease

(GERD)

Disusun oleh:

UMAR SYARIF

(030.06.263)

Fakultas kedokteran

Universitas Trisakti

Jakarta 2009

Page 2: Makalah GERD

Definisi

Gastroesophageal Reflux Disease adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat

refluks kandungan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang timbul

akibat dari keterlibatan esophagus, faring, laring, dan saluran nafas.

Etiologi

Penyakit gastroesofageal refluks bersifat multifaktorial. Hal ini dapat terjadi oleh

karena perubahan yang sifatnya sementara ataupun permanen pada barrier diantara

esophagus dan lambung. Selain itu juga, dapat disebabkan oleh karena sfingter esophagus

bagian bawah yang inkompeten, relaksasi dari sfingter esophagus bagian bawah yang

bersifat sementara, terganggunya ekspulsi dari refluks lambung dari esophagus, ataupun

hernia hiatus.

Patogenesis

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone)

yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal,

pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi

pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah.

Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak

ada atau sangat rendah (< 3 mmHg).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :

a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat

b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan

c. Meningkatnya tekanan intraabdominal

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD

menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari

bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks

(lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan epithelial

Page 3: Makalah GERD

esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik

dan daya pilorik.

a. Pemisah antirefluks

Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus

LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya

peningkatan tekanan intraabdomen.

Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.

Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus

hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan

(misal antikolinergik, beta adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal.

Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.

Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri, tampak

bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan

dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR),

yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik

tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR

ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan

pengosongan lambung yang lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi

lambung.

Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih

kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi

ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD

yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan

untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES.

Page 4: Makalah GERD

b. Bersihan asam dari lumen esophagus

Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah

gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat.

Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke

lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan.

Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan

kelenjar esophagus.

Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara

bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar

kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD ternyata

memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul

disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal.

Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan

kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan

esophagus tidak aktif.

c. ketahanan epithelial esophagus

Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan

mukus yang melindungi mukosa esophagus.

Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :

- membran sel

- batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke

jaringan esophagus

- aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat,

serta mengeluarkan ion H+ dan CO2

Page 5: Makalah GERD

- sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ dan

Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.

Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus,

sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H.

Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat.

Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari

HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas.

Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya.

Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada pH < 2, atau adanya pepsin

atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak

paling tinggi adalah asam.

Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di

lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung,

atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.

Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan

kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara

infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis,

Barrett’s esophagus dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi H. pylori

terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap

sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H. pylori sangat tergantung kepada

distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-

infeksi H. pylori dengan predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat

menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak

mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis,

pengaruh eradikasi H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta

memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H.

pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperbaiki

keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien

Page 6: Makalah GERD

dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi

H. pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung.

Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat

mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H.

pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang.

Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux

turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan non-

acid reflux adalah berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas.

Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas visceral.

Manifestasi Klinik

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium

atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar

(heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan

makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian, derajat berat

ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik.

Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan keluhan pada

serangan angina pectoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin

terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett’s esophagus.

Odinofagia (rasa sakit saat menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi

esophagus yang berat.

GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esophageal yang atipik

dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP),

suara serak, laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma.

Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk

timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high

pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (misalnya

teofilin).

Page 7: Makalah GERD

Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut

atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan

GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik.

Diagnosis

Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan

penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :

a. Endoskopi saluran cerna bagian atas

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku

untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break(pecah) di esophagus

(esofagitis refluks).

Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan

makroskopik dari mukosa esophagus, serta dapat menyingkirkan keadaan

patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan

mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien

dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux disease

(NERD).

Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang

dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan

bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.

Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s

esophagus, displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya

pemeriksaan histopatologi/biopsy pada NERD.

Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan

endoskopi pada pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi

Savarry-Miller.

Page 8: Makalah GERD

Klasifikasi Los Angeles

Derajat kerusakan

Gambaran endoskopi

A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm

B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa saling berhubungan

C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen

D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen esophagus)

b. Esofagografi dengan barium

Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan

seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan.

Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding

dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini

sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu

pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis

esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan pada

hiatus hernia.

c. Pemantauan pH 24 jam

Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal

esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan

mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus

bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah

4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.

d. Tes Bernstein

Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal

dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu

kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada

Page 9: Makalah GERD

pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa

nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak

menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang

negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.

Penatalaksanaan

Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat

kemungkinan timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esophagus

ataupun esophagus barrett yang merupakan keadaan premaligna, maka seyogyanya

penyakit ini mendapat penatalaksanaan yang adekuat.

Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi

medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.

Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus,

menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan

mencegah timbulnya komplikasi.

a. Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan

GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi

yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini

bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah

meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur

dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah

refluks asam dari lambung ke esophagus, berhenti merokok dan mengkonsumsi

alkohol karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung

mempengaruhi sel-sel epitel, mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi

jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi

Page 10: Makalah GERD

lambung, menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari

pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen, menghindari

makanan/minuman seperti coklat, teh, permen mint, kopi dan minuman bersoda

karena dapat menstimulasi sekresi asam, jikan memungkinkan menghindari obat-

obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam,

opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone.

b. Terapi medikamentosa

Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada

penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat

ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran

cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti

bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik

untuk memperbaiki gangguan motilitas.

Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan

step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang

tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau

golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam

yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI).

Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan

setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan

menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik

atau bahkan antacid.

Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down

ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien)

dibandingkan dengan pendekatan terapi step up.

Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang

penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk

GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.

Page 11: Makalah GERD

Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat

kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat

diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi

“bila perlu” (on-demand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa

hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang.

Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala

menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya).

Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi

gejala pada tatalaksana GERD.

Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi

medikamentosa GERD :

Antasid

Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala

GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer

terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian

bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan,

dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta

konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya

sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Antagonis reseptor H2

Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine,

famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini

efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis

2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya

efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa

komplikasi.

Page 12: Makalah GERD

Obat-obatan prokinetik

Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena

penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada

prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi

asam.

Metoklopramid

Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya

rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi

di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau

penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat

timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi,

tremor, dan diskinesia.

Domperidon

Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek

samping yang lebih jarang di banding metoklopramid karena tidak melalui

sawar darah otak.

Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan

lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat

meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.

Cisapride

Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat

pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya

dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik

dibandingkan dengan domperidon.

Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)

Page 13: Makalah GERD

Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki

efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara

meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di

eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini

cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).

Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)

Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD.

Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal

dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap

akhir proses pembentukan asam lambung.

Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta

penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat

serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2.

Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang

dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4

bulan atau on-demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.