Upload
hilman-rahmanhata
View
106
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENENTUAN ZONASI GERAKAN TANAH DENGAN METODE
ANBALAGAN PADA DAERAH WADUK JATIGEDE DAN
SEKITARNYA KECAMATAN JATIGEDE KABUPATEN
SUMEDANG PROVINSI JAWA BARAT
ZONING DETERMINATION OF LAND MOVEMENT WITH ANBALAGAN
METHOD IN JATIGEDE DAM ON SUB DISTRICT JATIGEDE AT
SUMEDANG DISTRICT IN WESTJAVA PROVINCE
Hilman Rahmanhata, Sofyan Rachman, ST. MT. dan Harry Pramudito, ST. MM
Teknik Geologi – Fakultas Teknik Kebumian dan Energi
Universitas Trisakti
17 Maret 2016
Abstract
Jatigede Dam located in the Sub District Jatigede, Sumedang District, West Java Province. Was
the government infrastructure project with purpose for given water supply to the community and
also built for becoming power plants. The major problem at jatigede dam is landslide around the
dam area. Research area is located at jatigede and surrounding area. On coordinate
108°5”6,01”’ - 108°6”49’” BT dan 6°50”33’” - 6°51”27”’ LS. The purpose of the research is
zoning of land movement, also give feedback and advice to managers of the dam. The method used
by author is Anbalagan method (1992). Zonation of land movement at jatigede dam and
surrounding area are divided into five zones, 1.) Zonation very low land movement, 2.) Zonation
low land movement, 3.) Zonation average land movement, 4.) Zonation high land movement, and
5.) Zonation very high land movement. This zonation were affected by lithology, slope, elevation,
and land cover.
Keyword : Anbalagan, Zonation, Land movement
Sari
Waduk Jatigede berada pada Kecematan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat.
Merupakan proyek infrastruktur pemerintah dengan tujuan dapat memberikan pasokan air yang
cukup untuk masyarakat dan sebagai pembangkit tenaga listrik. Yang menjadi permasalahan
utama adalah gerakan tanah atau tanah longsor yang terjadi di sekitar bendungan. Lokasi daerah
penelitian berada di daerah Jatigede dan sekitarnya yang berada pada kordinat 108°5”6,01”’ -
108°6”49’” BT dan 6°50”33’” - 6°51”27”’ LS. Tujuan dari penelitian adalah membuat zonasi
gerakan tanah dan memberikan masukan serta saran kepada pengelola bendungan. Metode yang
dipakai penulis adalah metode Anbalagan (1992). Zonasi gerakan tanah pada waduk jatigede dan
sekitarnya dibagi menjadi lima zonasi gerakan tanah, 1.) Zonasi gerakan tanah sangat rendah, 2.)
Zonasi gerakan tanah rendah, 3.) Zonasi gerakan tanah sedang, 4.) Zonasi gerakan tanah tinggi,
dan 5.) Zonasi gerakananah sangat tinggi. Zonasi ini di pengaruhi oleh faktor, litologi, kelerengan,
elevasi, dan tutupan lahan.
Kata Kunci : Anbalagan, Zonasi, Gerakan tanah *Jurusan Teknik Geologi-FTKE-Universitas Trisakti
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gerakan tanah atau tanah longsor adalah salah
satu bencana geologi, di samping gempa bumi,
banjir, dan angin topan, dan lain-lain. Bahaya
bencana tanah longsor berpengaruh besar
terhadap kelangsungan kehidupan manusia dan
senantiasa mengancam keselamatan manusia. Di
Indonesia, terjadinya tanah longsor telah
mengakibatkan kerugian yang besar, misalnya
kehilangan jiwa manusia, kerusakan harta benda,
dan terganggunya ekosistem alam.
Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian adalah menjelaskan
faktor – faktor gerakan tanah dan menjelaskan
bagaimana mengetahui zonasi gerakan tanah
menggunakan metode Anbalagan (1992). Dan
tujuan dari penelitan adalah membuat zonasi
gerakan tanah pada daerah Waduk Jatigeda dan
sekitarnya dengan menggunakan Metode
Anbalagan (1992).
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di waduk Jatigede
Kecamatan Jatigede Kabupaten Sumedang
Provinsi Jawa Barat, dengan kordinat
108°5’6.01” - 108°6’49” BT dan 6°50’33” -
6°51’27” LS.
Gambar 1 Lokasi Penelitian Dari Foto Udara
GEOLOGI
Fisiografi
Berdasarkan letak wilayah, Kabupaten
Sumedang masuk kedalam wilayah zona Bogor.
Zona Bogor terdapat di bagian selatan zona
dataran rendah pantai Jakarta, dan membentang
dari barat ke timur, yaitu mulai dari
Rangkasbitung, Bogor, Subang, Sumedang, dan
berakhir di Bumiayu dengan panjang kurang
lebih 40 km. Zona Bogor merupakan daerah
antiklinorium yang cembung ke utara dengan
arah sumbu lipatan barat – timur. Inti
antiklinorium ini terdiri dari lapisan-lapisan
batuan berumur Miosen dan sayapnya ditempati
batuan yang lebih muda yaitu berumur Pliosen –
Pleistosen. Pada zona Bogor, batuannya terdiri
atas batupasir, batulempung dan breksi yang
merupakan endapan turbidit, disertai beberapa
intrusi hypabisal, konglomerat dan hasil endapan
gunungapi. Disamping itu juga terdapat lensa-
lensa batugamping. Endapannya terdiri oleh
akumulasi endapan Neogen yang tebal dengan
dicirikan oleh endapan laut dalam.
Zona Bogor terlihat sebagai daerah berbukit –
bukit rendah di sebagian tempat secara sporadis
terdapat bukit – bukit dengan batuan keras yang
dinamakan volcanic neck atau batuan intrusi
seperti gunung Parang dan gunung
Sanggabuwana di Plered Purwakarta, gunung
kromong dan gunung Buligir di Majalengka.
Batas zona Bogor dengan zona Bandung adalah
gunung Ciremai (3.078 M) di Kuningan dan
gunung Tampomas (1.684 M) di Sumedang.
Geomorfologi Daerah Penelitian
Berdasarkan perhitungan Van Zuidam(1983),
daerah penelitian masuk kedalam dua satuan
geomorfologi, yaitu 1.) Satuan geomorfologi
bergelombang struktural dan 2.) Satuan
geomorfologi bergelombang landai struktural.
Stratigrafi
Stratigrafi mengacu kepada peta geologi lembar
Ardjawinangun, Djuri 1995. Secara berurut
berumur tua hingga muda, stratigrafi daerah
penelitian antara lain, batuan intrusi andesit,
Formasi Cinambolo, batugamping kelompok
Kromong, Formasi Halang, Formasi Subang,
Formasi Kaliwangu, Formasi Citalang, breksi
terlipat, endapan gunung api tua, endapan
gunung api muda, dan aluvium.
Stratigrafi Daerah Penelitian
Stratigrafi daerah penelitian mengacu pada peta
geologi lembar Ardjawinangunm oleh Djuri
1995, satuan breksi andesit terendapkan pada
Miosen Tengah yang mengacu pada Formasi
Halang bawah. Kemudian di endapkan diatasnya
Formasi Halang atas dengan stuan batu lempung
yang berumur Miosen Akhir. Selanjutnya
diendapkan tidak selaras satuan breksi tuff
dengan umur Plistosen. Dan satuan termuda
adalah aluvial.
3
Struktur Geologi
Van Bemmelen (1949) telah membagi Jawa
bagian barat menjadi beberapa jalur fisiografi
dan struktural. Wilayah penelitian masuk
kedalam zona Bogor, dengan wilayah utara zona
ini, keadaan struktur geologinya mempunyai arah
utara karena adanya tekanan dari arah selatan.
Gaya tersebut mengakibatkan perlipatan dan
sesar naik. Inti dari perlipatan ini terdiri atas
batuan sedimen berumur Miosen sedangkan
sayapnya terdiri dari batuan sedimen Pliosen.
Menurut Van Bemmelen (1949) Zona Bogor
telah mengalami dua kali masa periode tektonik
yaitu :
1. Periode intra Miosen atau Miosen
Pliosen.
2. Periode Pliosen – Plistosen.
Pada periode tektonik intra tektonik Miosen,
berlangsung pembentukan antiklin Jawa, akibat
gaya tekanan dari arah selatan terbentuk struktur
lipatan dan sesar pada sedimen di utara.
Peristiwa ini terjadi setelah Formasi Cidadap
diendapkan pada Miosen Tengah. Pada Miosen
Atas atau Miosen – Pliosen antklinorium ini
mengalami intrusi dasit dan andesit hornblenda,
disamping itu terjadi pula ekstrusi Breksi
Kumbang di ujung timur Zona Bogor.
Ketidakselarasan antara Formasi Subang dan
Formasi Kaliwangu yang berumur Pliosen
Bawah (Silitonga, 1973) yang terjadi pada Zona
Bogor bagian utara, menandakan bahwa pada
periode Miosen – Pliosen tersebut terjadi proses
perlipatan pada keseluruhan Zona Bogor bagian
utara.
Pada periode tektonik Pliosen-Pleistosen, terjadi
proses perlipatan dan sesar yang diakibatkan oleh
terjadinya amblesan dibagian utara Zona Bogor
yang kemudian menimbulkan gangguan tekanan
yang kuat pada Zona Bogor. Pada kala Pliosen-
Pleistosen bagian barat Zona Bogor mengalami
pengangkatan dan membentuk
Kaliglagah Beds yang terdiri dari endapan klastik
dan lignit dan selanjutnya
Cigintung Beds terendapakan. Semua formasi
tersebut menutupi batuan terdahulu secara
selaras semu (pseudo conformable).
Kegiatan tektonik Pliosen-Pleistosen di daerah
ini mengakibatkan terjadinya sesar terobosan
komplek kromong yang andesitis dan dasitis.
Setelah berakhir kegiatan tersebut terbentuklah
Tambakan Beds yang berumur Pleistosen Bawah
dan menutupi satuan lainya secara tidak selaras.
Tidak adanya batuan yang berumur Pliosen Atas
di daerah ini menunjukan adanya kekosongan
pengendapan batuan. Pada kala Pleistosen
Tengah sampai Atas di Zona Bogor bagian
tengah dan timur terbentuk endapan Vulkanik tua
(Gunung Slamet tua) dan Vulkanik muda dari
Gunung Ciremai, selanjutnya disusul oleh
aktifitas pada Pleistosen Atas yang menghasilkan
Linggopodo Beds dan diikuti lagi oleh kegiatan
Vulkanik Resen dari Gunung Ciremai sehingga
terbentuk endapan Vulkanik muda ke bagian
utara zona tersebut. Tekanan tersebut
menimbulkan struktur perlipatan dan sesar naik
dibagian Zona Bogor yang dikenal sebagai
“Baribis thrust”.
Gambar 2 Pola umum struktur Jawa Barat
(Martodjojo, 1984)
Struktur Geologi Daerah Penelitian
Strukut geologi pada daerah penelitian yang
pertama berupa struktur sesar geser. Sesar geser
sinistral atau mengiri. Terdapat pada daerah kali
Cimanuk, oleh karena itu penulis menamakan
Sesar Geser Cimanuk.
TEORI DASAR
Konsep Dasar
Tanah longsor merupakan proses gangguan
keseimbangan yang mengakibatkan masa tanah
bergerak dan batuan dari tempat tinggi menuju
tempat yang lebih rendah (Mubekti dan Fauziah,
2008). Pergerakan tersebut terjadi karena adanya
faktor gaya yang terletak pada bidang tanah yang
tidak rata atau disebut dengan lereng. Gerakan
tanah atau longsor adalah perpindahan
material pembentuk lereng dapat berupa
batuan asli, tanah pelapukan, bahan timbunan
atau kombinasi material tersebut yang bergerak
ke bawah atau ke luar lereng (Varnes 1978).
Karnawati (2004) menjelaskan bahwa
terjadinya longsor karena adanya faktor-faktor
pengontrol gerakan dan proses-proses pemicu
gerakan. Faktor – faktor pengontrol seperti :
1. Morfologi
2. Geologi
3. Tanah
4. Hidrogeologi
5. Tata Guna Lahan
Faktor penyebab gerakan tanah di bagi dua, yaitu
:
1. Faktor Internal adalah : Lereng, Resistensi
Batuan, Struktur Geologi dan Air Tanah
4
2. Faktor Eksternal adalah : Hujan, Tata Guna
Lahan dan Beban Tambahan
Metode Penelitian
Metode Anbalagan (1992) adalah metode untuk
melakukan zonasi kerawanan longsor dengan
cara pembobotan dan pengkelasan. Data - data
yang digunakan sebagai acuan adalah
kemiringan lereng, litologi, bidang
diskontinuitas, elevasi, dan tutupan lahan.
Pendekatan metode Anbalagan adalah skema
pengkelasan numerik yang disebut faktor
evaluasi bahaya longsor atau landslide hazard
evaluation factor (LHEF).
Parameter dan Pembobotan
Parameter yang digunakan menggunakan data
litologi, kemiringan lereng, elevasi, bidang
diskontinuitas, dan tutupan lahan. Masing –
masing dari data tersebut memiliki bobot nilai
yang berbeda. Untuk penentuan nilai pada daerah
penelitian penulis menggunakan nilai yang sama
dengan metode Anbalagan dengan penyesuaian
data dan kategorinya. Tabel 1 Nilai Litologi Anbalagan(1992) dan Daerah
Penelitian
Tabel 2 Nilai Diskontinuitas Anbalagan (1992) dan Daerah Penelitian
Tabel 3 Nilai Kelerengan Anbalagan (1992) dan Daerah Penelitian
Tabel 4 Nilai Elevasi Anbalagan (1992) dan Daerah
Penelitian
Tabel 5 Nilai Tutupan Lahan Anbalagan (1992) dan
DaerahPenelitian
Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan
menjumlahkan bobot nilai, yang disebut Total
Estimated Hazard (TEHD). Nilai yang di
jumlahkan adalah, nilai litologi, nilai kelerengan,
nilai kelerengan, nilai elevasi, dan nilai
diskontinuitas.
Sebelum melakukan penjumlahan nilai,
dilakukan beberapa proses pengolahan data,
yaitu :
1. Pembuatan peta
2. Zonasi peta
3. Over layer zonasi peta
4. Pembuatan peta zonasi gerakan tanah
Data
Data yang dimiliki oleh penulis antara lain :
1. Peta Lintasan (Gambar 3 hal.6)
2. Peta Geomorfologi (Gambar 4 hal.6)
3. Peta Topogafi (Gambar 5 hal.7)
4. Foto Udara (Gambar 6 hal.7)
Proses Pengolahan data
Dari kemempat data yang di miliki oleh penulis
akan di lakukan proses hingga menghasilkan
beberapa peta. Proses yang dilakukan :
1. Proses pembuatan peta, antara lain :
Peta geologi (Gambar 7 hal.8), peta
kelerengan (Gambar 8 hal.8), peta
elevasi (Gambar 9 hal.9), dan peta
tutupan lahan (Gambar 10 hal.9)
5
2. Proses pembobotan masing – masing
peta dan pembobotan diskontinuitas
dengan peta geologi daerah penelitian
3. Penjumlahan bobot nilai dengan over
layer setiap pembobotan denganhasil
akhir Total Estimated Hazard (TEHD)
Hasil Penelitian
Setelah mendapatkan hasil Total Estimated
Hazard daerah penelitian maka dilakukan zonasi
pada nilai yang sama untuk membagi zonasi
gerakan tanah daerah penelitian (Gambar 11
hal.10). Maka didapatkan 5 daerah zonasi
gerakan tanah pada daerah penelitian (Gambar
12 hal.10), yaitu 1.) Zonasi gerakan tanah sangat
rendah dengan total nilai 2.) Zonasi gerakan
tanah rendah, 3.) Zonasi gerakan tanah sedang,
4.) Zonasi gerakan tanah tinggi, dan 5.) Zonasi
gerakan tanah sangat tinggi.
1. Zonasi Gerakan Tanah Sangat
Rendah
Memiliki nilai Total Estimated Hazard
< 3,5 dengan luas daerah 72,2% dari
luas daerah penelitian
2. Zonasi Gerakan Tanah Rendah
Memiliki Total Estimated Hazard 3,5 –
4,4 dengan luas daerah 19,8% luas
daerah penelitian.
3. Zonasi Gerakan Tanah Sedang
Dengan luas 2,5% dari luas daerah
penelitian, memiliki Total Estimated
Hazard 4,5 – 5,5
4. Zonasi Gerakan Tanah Tinggi
Memiliki nilai Total Estimated Hazard
5,6 – 6,5 dengan luas 3,5% dari luas
daerah penelitian
5. Zonasi Gerakan Zanah Sangat Tinggi
Memiliki nilai Total Esimated Hazard
6,6 – 7,5 dengan luas 2% dari luas
daerah penelitian
Lokasi bendungan Jatigede berada pada zonasi
gerakan tanah tinggi pada sisi timur. Sedangkan
sisi barat bendungan masuk kedalam zonasi
gerakan tanah rendah.
Kesimpulan
1. Dari hasil perhitungan Total Estimated
Hazard (TEHD) dan peta zonasi gerakan
tanah, daerah penelitian dibagi menjadi 5
zonasi gerakan tanah, 1.) Zonasi gerakan
tanah sangat rendah, 2.) Zonasi gerakan tanah
rendah, 3.) Zonasi gerakan tanah sedang, 4.)
Zonasi gerakan tanah tinggi, dan 5.) Zonasi
gerakananah sangat tinggi.
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi gerakan
tanah pada daerah penelitian adalah faktor
litologi penyusun, kemiringan lereng daerah
penelitian, elevasi, bidang diskontinuitas
pada daerah penelitian, dan tutupan lahan.
3. Bendungan Jatigede sisi timur kali Cimanuk
masuk kedalam zonasi gerakan tanah tinggi,
yang berbahaya bagi bendungan. Perlu
penanganan untuk mengurangi resiko
gerakan tanah agar tidak merusak tubuh
bendungan.
4. Bendungan Jatigede sisi barat kali Cimanuk
masuk kedalam zonasi gerakan tanah rendah.
Kondisi ini masih dalam kondisi aman bagi
bendungan Jatigede.
Daftar Pustaka
Anbalagan R., 1992. “Landslide hazard
evaluation and zonation mapping in
mountainous terrain”.
Bemmelen, R.W.Van., 1949, “The
Geology Indonesia, Tha Hague
Martinus”.
Djuri. 1995. “Peta Geologi Lembar
Ardjawinangun, Djawa. Skala 1 :
100.000. Direktorat Geologi. Bandung”.
Karnawati, D. 2005, “Bencana Alam
Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan
Upaya Penanggulangannya”, Jurusan
Teknik Geologi Fakultas Teknik Geologi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Mubekti dan Fauziah. 2008. “Mitigasi
Daerah Rawan tanah Longsor
Menggunakan Teknik Pemodelan Sistem
Informasi Geografis”. Jakarta.
Varnes D.J. 1978. “Slope movement
types and processes. Landslides;
Analisis and Control, National Research
Council”, Washington, D.C
6
Gambar 3 Peta Lintasan dan Lokasi Penelitian
Gambar 4 Peta Geomorfologi Daerah Penelitian
7
Gambar 5 Peta Topografi dan Aliran Sungai Daerah Penelitian
Gambar 6 Foto Udara Daerah Penelitian
8
Gambar 7 Peta Geologi Daerah Penelitian
Gambar 8 Peta Kelerengan Daerah Penelitian
9
Gambar 9 Peta Elevasi Daerah Penelitian
Gambar 10 Peta Tutupan Lahan Daerah Penelitian
10
Gambar 11 Hasil Pembagian Zonasi Gerakan Tanah
Gambar 12 Peta Zonasi Gerakan Tanah Daerah Penelitian
Bendungan Jatigede