Makalah Humanisme & Kontruktivisme

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah Humanisme & Kontruktivisme

Citation preview

ALIRAN PSIKOLOGI DALAM PENGEMBANGAN METODE PEMBELAJARAN: HUMANISME DAN KONSTRUKTIVISMEMAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH

Metodologi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesiayang dibina oleh Ibu Dr. Endah Tri Priyatni, M.PdolehKelompok 3

Lutfiatul Fauziah

120211400203Siti Maratun Nikmah

120211400200Vindiatul Miftah Maulyna120211413384

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS SASTRA

JURUSAN SASTRA INDONESIA

Januari 2014BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangDalam kehidupan manusia tidak dapat lepas dari belajar, karena dengan belajar manusia menjadi mengerti dan paham tentang hal-hal yang sebelumnya belum mereka ketahui. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi di lingkungan. Belajar memegang peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian dan persepsi manusia. Oleh karena itu, seseorang harus menguasai prinsip-prinsip dasar belajar agar mampu memahami bahwa aktivitas belajar itu memegang penting dalam psikologis dan kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.Dalam aliran psikologi terdapat empat aliran yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan metode pembelajaran, yaitu aliran behaviorisme, aliran kognitivisme, aliran humanisme dan aliran konstruktivisme. Suyono & Hariyanto (2011: 58) menyatakan bahwa behaviorisme merupakan aliran psikologi yang memandang individu lebih kepada sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental, kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam kegiatan belajar. Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar. Teori belajar humanisme memfokuskan pembelajarannya pada pembangunan kemampuan positif siswa. Teori ini membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Peserta didik menjadi pelaku dalam memaknai pengalaman belajarnya sendiri. Dengan teori ini pendidik dapat mengetahui teknik yang dapat mengembangkan jiwa peserta didik dalam pembelajaran. Suyono & Hariyanto (2011: 105) menyatakan bahwa konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksikan pengalaman, membangun, mengkonstruksi pengetahuan pemahaman tentang dunia tempat manusia hidup.Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, penulis hanya akan membahas mengenai aliran humanisme dan konstruktivisme. Oleh karena itu penulis mengambil topik pembahasan dengan judul Aliran Psikologi dalam Pengembangan Metode Pembelajaran: Humanisme dan Konstruktivisme.1.2 Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui konsep dasar aliran humanisme.2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh dalam aliran humanisme.3. Untuk mengetahui implikasi aliran humanisme dalam pendidikan.4. Untuk mengetahui implementasi aliran humanisme dalam pendidikan.5. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan aliran humanisme.6. Untuk mengetahui konsep dasar aliran konstruktivisme.7. Untuk mengetahui teori belajar konstruktivisme.8. Untuk mengetahui implementasi aliran konstruktivisme dalam pendidikan

8. Untuk mengetahui dampak teori konstruktivisme terhadap pembelajaran.10. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan model konstrutivisme.BAB II

PEMBAHASAN2.1 Konsep Dasar Aliran HumanismeAliran humanisme adalah salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an sebagai bentuk kekecewaan terhadap aliran psikologi sebelumnya, yaitu aliran psikoanalisis dan behaviorisme. Dalam hal ini, aliran psikoanalisis dan behaviorisme beranggapan bahwa seolah-olah manusia tidak berdaya dengan dirinya sendiri yang kepribadiannya dipengaruhi oleh lingkungan. Menurut teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia, proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi seperti Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, contohnya tentang diri (self), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya. Berkaitan dengan hal itu, humanisme muncul dengan misi untuk menempatkan dan memandang manusia sebagai makhluk yang unik dengan berbagai potensi yang terdapat dalam diri setiap individu. Aliran humanisme berkeyakinan bahwa dalam diri manusia memiliki potensi untuk berkembang kreatif. Selain itu, apabila seseorang bersedia menerima tanggungjawab hidupnya sendiri, ia akan menyadari potensi yang dimiliki, mampu mengatasi pengaruh dari pendidikan dari orang tua, sekolah dan tekanan sosial lainnya. Dari pemikiran tersebut telah menghasilkan pemikiran yang membantu dalam pemahaman tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang.Morris (1954) berkeyakinan bahwa manusia mampu memikirkan tentang proses berpikirnya sendiri, lalu mempertanyakan dan mengoreksinya. Ia juga menjelaskan bahwa setiap manusia dapat memikirkan tentang perasaan yang dialami dan juga dapat memiliki kesadaran tentang dirinya. Dengan kesadaran itu manusia dapat berusaha untuk menjadi lebih baik.2.2 Tokoh-tokoh dalam Aliran HumanismeTokoh penting dalam teori belajar humanistik secara teoritik antara lain adalah Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers.1. Abraham Maslow

Abraham Maslow (selanjutnya ditulis Maslow) adalah tokoh yang menonjol dalam psikologi humanistik. Karyanya di bidang pemenuhan kebutuhan berpengaruh sekali terhadap upaya memahami motivasi manusia. Sebagian dari teorinya yang penting didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan positif untuk tumbuh dan kekuatan-kekuatan yang melawan atau menghalangi pertumbuhan (Rumini, dkk. 1993).

Maslow berpendapat, bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan yang dimulai dari kebutuhan jasmaniah sampai dengan kebutuhan tertinggi yakni kebutuhan estetis. Kebutuhan jasmaniah seperti makan, minum, tidur dan sex menuntut sekali untuk dipuaskan. Apabila kebutuhan ini terpuaskan, maka muncullah kebutuhan keamanan seperti kebutuhan kesehatan dan kebutuhan terhindar dari bahaya dan bencana. Berikutnya adalah kebutuhan untuk memiliki dan cinta kasih, seperti dorongan untuk memiliki kawan dan berkeluarga, kebutuhan untuk menjadi anggota kelompok, dan sebagainya. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan ini dapat mendorong seseorang berbuat lain untuk memperoleh pengakuan dan perhatian, misalnya dia menggunakan prestasi sebagai pengganti cinta kasih. Berikutnya adalah kebutuhan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati, dan dipercaya oleh orang lain.Apabila seseorang telah dapat memenuhi semua kebutuhan yang tingkatannya lebih rendah tadi, maka motivasi lalu diarahkan kepada terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk mengembangkan potensi atau bakat dan kecenderungan tertentu. Bagaimana cara aktualisasi diri ini tampil, tidaklah sama pada setiap orang. Sesudah kebutuhan ini, muncul kebutuhan untuk tahu dan mengerti, yakni dorongan untuk mencari tahu, memperoleh ilmu dan pemahaman.

Sesudahnya, Maslow berpendapat adanya kebutuhan estetis, yakni dorongan keindahan, dalam arti kebutuhan akan keteraturan, kesimetrisan dan kelengkapan. Maslow membedakan antara empat kebutuhan yang pertama dengan tiga kebutuhan yang kemudian. Keempat kebutuhan yang pertama disebutnya deficiency need (kebutuhan yang timbul karena kekurangan), dan pemenuhan kebutuhan ini pada umumnya bergantung pada orang lain. Sedangkan ketiga kebutuhan yang lain dinamakan growth need (kebutuhan untuk tumbuh) dan pemenuhannya lebih bergantung pada manusia itu sendiri.

Implikasi dari teori Maslow dalam dunia pendidikan sangat penting. Dalam proses belajar-mengajar misalnya, guru mestinya memperhatikan teori ini. Apabila guru menemukan kesulitan untuk memahami mengapa anak-anak tertentu tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengapa anak tidak dapat tenang di dalam kelas, atau bahkan mengapa anak-anak tidak memiliki motivasi untuk belajar. Menurut Maslow, guru tidak bisa menyalahkan anak atas kejadian ini secara langsung, sebelum memahami barangkali ada proses tidak terpenuhinya kebutuhan anak yang berada di bawah kebutuhan untuk tahu dan mengerti. Bisa jadi anak-anak tersebut belum atau tidak melakukan makan pagi yang cukup, semalam tidak tidur dengan nyenyak, ada masalah pribadi atau keluarga yang membuatnya cemas dan takut, dan lain-lain.

2. Carl R. Rogers

Carl R. Rogers adalah seorang ahli psikologi humanistik yang gagasan-gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek psikologi di semua bidang, baik klinis, pendidikan, dan lain-lain. Lebih khusus dalam bidang pendidikan, Rogers mengutarakan pendapat tentang prinsip-prinsip belajar yang humanistik, yang meliputi hasrat untuk belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas inisiatif sendiri, dan belajar untuk perubahan (Rumini,dkk. 1993).

Adapun penjelasan konsep masing-masing prinsip tersebut adalah sebagai berikut.a. Hasrat untuk belajar

Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat alami untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanistik. Di dalam kelas yang humanistik anak-anak diberi kesempatan dan kebebasan untuk memuaskan dorongan ingin tahunya, untuk memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan berarti tentang dunia di sekitarnya.

b. Belajar yang berarti

Belajar akan mempunyai arti atau makna apabila apa yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya, anak akan belajar dengan cepat apabila yang dipelajari mempunyai arti baginya.

c. Belajar tanpa ancaman

Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses belajar akan berjalan lancar manakala murid dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman yang biasanya menyinggung perasaan.

d. Belajar atas inisiatif sendiri

Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu memilih arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan mengulurkan kesempatan kepada murid untuk belajar bagaimana caranya belajar (to learn how to learn). Tidaklah perlu diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu penting, akan tetapi tidak lebih penting daripada memperoleh kecakapan untuk mencari sumber, merumuskan masalah, menguji hipotesis atau asumsi, dan menilai hasil. Belajar atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian murid baik pada proses maupun hasil belajar. Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid menjadi bebas, tidak bergantung, dan percaya pada diri sendiri. Apabila murid belajar atas inisiatif sendiri, ia memiliki kesempatan untuk menimbang-nimbang dan membuat keputusan, menentukan pilihan dan melakukan penilaian. Dia menjadi lebih bergantung pada dirinya sendiri dan kurang bersandar pada penilaian pihak lain.

Di samping atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkan semua aspek pribadi, kognitif maupun afektif. Rogers dan para ahli humanistik yang lain menamakan jenis belajar ini sebagai whole-person learning, belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan pribadi yang utuh. Para ahli humanistik percaya, bahwa belajar dengan tipe ini akan menghasilkan perasaan memiliki (feeling of belonging) pada diri murid. Dengan demikian, murid akan merasa terlibat dalam belajar, lebih bersemangat menangani tugas-tugas dan yang terpenting adalah senantiasa bergairah untuk terus belajar.

e. Belajar dan perubahan

Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa belajar yang paling bermanfaat ialah bejar tentang proses belajar. Menurut Rogers, di waktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat berubah, dan apa yang diperoleh di sekolah sudah dipandang cukup untuk memenuhi tuntutan zaman. Saat ini perubahan merupakan fakta hidup yang sentral. Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu maju dan melaju. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat membekali orang untuk hidup dan berfungsi baik di masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian, yang dibutuhkan saat ini adalah orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan akan terus berubah.

3. Arthur Combs

Perasaan, persepsi, keyakinan dan maksud merupakan perilaku-perilaku batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan yang lain. Agar dapat memahami orang lain, seseorang harus melihat dunia orang lain tersebut, bagaimana ia berpikir dan merasa tentang dirinya. Itulah sebabnya, untuk mengubah perilaku orang lain, seseorang harus mengubah persepsinya. Menurut Combs, perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena tidak adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai akibat dari adanya sesuatu yang lain, yang lebih menarik atau memuaskan. Misalnya guru mengeluh murid-muridnya tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-murid itu tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Seandainya saja guru tersebut kemudian mengadakan aktivitas yang lain, barangkali murid-murid akan berubah sikap dan reaksinya (Rumini, dkk. 1993).

Sesungguhnya para ahli psikologi humanistik melihat dua bagian belajar, yaitu diperolehnya informasi baru dan personalisasi informasi baru tersebut. Tidak benar jika guru berpendapat bahwa murid akan mudah belajar kalau bahan pelajaran disusun dengan rapi dan disampaikan dengan baik, sebab arti dan maknanya tidak melekat pada bahan pelajaran itu, murid sendirilah yang mencerna dan menyerap arti dan makna bahan pelajaran tersebut ke dalam dirinya. Suatu hal yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan pelajaran itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu murid memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan pelajaran tersebut, yakni apabila murid dapat mengaitkan bahan pelajaran tersebut dengan kehidupan mereka, guru boleh bersenang hati bahwa misinya telah berhasil. Semakin jauh hal-hal yang terjadi di luar diri seseorang (dunia) dari pusat lingkaran lingkaran (persepsi diri), semakin kurang pengaruhnya terhadap seseorang. Sebaliknya, semakin dekat hal-hal tersebut dengan pusat lingkaran, maka semakin besar pengaruhnya terhadap seseorang dalam berperilaku. Jadi jelaslah mengapa banyak hal yang dipelajari oleh murid segera dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya dengan dirinya.

2.3 Implikasi Aliran Humanisme dalam Pendidikan

Pada awalnya, perkembangan aliran humanisme hanya terbatas pada kajian terhadap kepribadian manusia. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, aliran humanisme banyak dikembangkan oleh beberapa pakar pendidikan untuk implementasi dalam dunia pendidikan. Salah satunya, yaitu Carl Rogers. Ia telah berjasa besar dalam mengantarkan aliran humanisme sehingga dapat diaplikasikan dalam pendidikan. Dia mengembangkan satu filosofi pendidikan yang menekankan pentingnya pembentukan pemaknaan personal selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan upaya menciptakan iklim emosional yang kondusif agar dapat membentuk pemaknaan personal tersebut. Dia memfokuskan pada hubungan emosional antara guru dengan siswa.Dalam ruang lingkup pendidikan, aliran humanisme saat ini sudah banyak digagas para pakar sebagai pendidikan alternatif. Maraknya praktek dehumanisasi dalam pendidikan membuat aliran humanisme semakin banyak digunakan dalam dunia pendidikan, baik secara paradigma maupun aplikasinya. Pendidikan saat ini tidak menjadikan peserta didik sebagai objek, namun sebaliknya, pendidikan memfokuskan pada pengoptimalan potensi yang dimiliki peserta didik.Guru dalam dunia pendidikan berperan sebagai fasilitator bagi peserta didik. Peran guru dalam proses pembelajaran tidak lagi sebagai seseorang yang mengetahui segalanya tanpa melihat potensi dan bakat yang dimiliki oleh peserta didiknya. Hal inilah yang menjadi ciri dari pendidikan humanisme, yaitu memandang manusia sebagai kesatuan utuh yang memiliki potensi positif yang dapat dikembangkan.Menurut perspektif humanisme proses pembelajaran bukan tentang bagaimana mengajarkan, tapi tentang bagaimana menciptakan situasi belajar yang dapat membuat peserta didik mengalami pengalaman belajar itu sendiri. Dengan demikian, peserta didik kemungkinan akan paham tentang makna belajar. Hal inilah yang disebut sebagai hakikat pendidikan yang humanis.(kayaknya ini gk perlu deh) Menurut Rogers (1969) belajar dengan mengetahui terlebih dahulu makna belajar atau yang lebih dikenal dengan belajar penuh arti, yaitu sikap murni apa adanya, penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan, serta pemahaman dengan empati.a. Sikap murni apa adanya

Proses belajar penuh arti dapat tercapai apabila seorang guru bersikap tulus, jujur, murni dan tidak hanya bermain peran untuk mengikuti tuntunan dari sistem. Seorang guru boleh merasakan emosi dan mengekspresikannya, namun tidak menjatuhkan kesalahan kepada orang lain, terutama peserta didik. Contohnya, seorang guru yang terganggu dengan tingkah laku seorang peserta didik yang menghentak-hentakkan kakinya selama proses belajar belangsung. Guru itu boleh menyampaikan kepada peserta didik, Maaf, saya merasa terganggu dengan bunyi itu. Akan tetapi, guru tersebut tidak boleh berkata, Tingkah lakumu mengganggu saya!. Hal tersebut memang tidak mudah, tapi seorang guru dapat memulainya dengan mengenali emosi yang dirasakan dan menerimanya. Lalu pelan-pelan ia dapat mencoba untuk mengekspresikan dengan tepat.b. Penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan

Peserta didik harus dapat diterima oleh seorang guru sebagai individu yang unik, dihargai dan dihormati. Perasaan dan pendapat peserta didik harus dihargai. Ia juga harus diperhatikan. Seorang guru harus percaya bahwa setiap manusia memiliki kapasitas untuk mengembangkan potensinya dan menemukan jalan hidupnya. Hal tersebut menurut Rick Smith sebagai asumsi positif terhadap peserta didik. Seorang guru harus berasumsi bahwa peserta didik ingin belajar berkaitan dengan hal yang sedang di ajarkan guru, meskipun terkadang seorang peserta didik kelihatan tidak tertarik. Asumsi positif dapat membantu seorang guru agar tetap bertahan dan bersemangat dalam mengajar. Berikut ini tabel yang memberikan contoh perbedaan asumsi negatif dengan asumsi positif.Asumsi NegatifAsumsi Positif

Mereka adalah anak nakal.Mereka belum sepenuhnya mempelajari tingkah laku yang tepat.

Mereka tidak mau belajar.Mereka ingin tahu apakah suasana kelas akan aman dan terstruktur.

Mereka mencoba menyakiti guru.Mereka memberikan sinyal kepada guru untuk mengajarkan mereka tingkah laku yang tepat dengan lebih jelas.

Tabel: Perbedaan asumsi negatif dengan asumsi positif.Dalam hal ini, guru dituntut untuk dapat bersikap menerima kekurangan dan kelebihan peserta didik. Penghargaan dalam hal ini tidak hanya berupa pemberian materi, hadiah ataupun bingkisan saja, tetapi dapat berupa perhatian dalam bentuk pujian, bimbingan dan nasehat.c. Pemahaman dengan empati

Ketika seorang guru berempati pada peserta didik, guru tidak mengevaluasi atau menganalisis peserta didik dari sudut pandang guru, tapi menempatkan diri seorang guru pada kondisi peserta didik tersebut. Dengan demikian, seorang guru dapat memahami reaksi yang ada dalam diri peserta didiknya dan ikut mengalami apa yang peserta didik persepsikan dan rasakan. Milton Mayroff dalam Bolton (1979) menggambarkan kedua komponen tersebut sebagai berikut.Untuk memerhatikan orang lain, saya harus dapat memahami dunianya seolah-olah saya berada dalam dirinya. Saya harus dapat melihatnya, seolah-olah menggunakan matanya, seperti apa dunianya itu untuknya dan bagaimana ia melihat dirinya sendiri. Tidak hanya melihatnya secara terpisah dari luar, tetapi seolah-oleh ia sebagai contoh, saya harus dapat bersamanya di dalam dunianya, pergi ke dalam dunianya agar dapat merasakan dari dalam seperti apa dunia ini baginya, apa yang diperjuangkan, dan apa yang dikehendakinya untuk berkembang.Salah satu kunci berempati adalah dengan mendengarkan. Menurut Rick Smith, dengan mendengarkan secara seksama, seorang guru dapat memahami apa yang menyebabkan munculnya suatu masalah sehingga pada akhirnya dapat menemukan solusi yang tepat.2.4 Implementasi Aliran Humanisme dalam PendidikanAliran humanisme ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada belajar apa adanya. Uno (2010: 13) menyatakan bahwa dalam praktek teori ini terwujud dalam pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel yang disebut belajar bermakna. Teori ini juga terwujud dalam teori Bloom dan Krathwohl dalam bentuk Taksonomi Bloom. Selain itu, terdapat empat pakar lain yang juga termasuk dalam teori ini, yaitu Kolb, Honey dan Mumford, dan Habermas, yakni sebagai berikut.1. Bloom dan KrathwohlBloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai atau dipelajari oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan berikut.

a. Kognitif

Kognitif terdiri atas enam tingkatan, yaitu sebagai berikut.

1) Pengetahuan (mengingat, menghafal).

2) Pemahaman (menginterpretasikan).3) Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah).

4) Analisis (menjabarkan suatu konsep).

5) Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh).

6) Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode).

b. Psikomotor

Psikomotor terdiri atas lima tingkatan, yaitu sebagai berikut.

1) Peniruan (menirukan gerak).

2) Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak).

3) Ketepatan (melakukan gerak dengan benar).

4) Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar).

5) Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).

c. Afektif

Afektif terdiri atas lima tingkatan, yaitu sebagai berikut.

1) Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu).

2) Merespon (aktif berpartisipasi).

3) Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu).

4) Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai).

5) Pengalaman (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup).Taksonomi Bloom ini berhasil memberi inspirasi kepada banyak pakar lain untuk mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran. Pada tingkatan yang lebih praktis, taksonomi telah banyak membantu praktisi pendidikan untuk memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami, operasional, serta dapat diukur. Dari beberapa taksonomi belajar, mungkin taksonomi Bloom inilah yang paling popular di Indonesia.

2. Kolb

Kolb dalam Uno (2010: 15) membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu sebagai berikut.

a. Pengalaman konkret

Pada tahap awal dalam proses belajar, seorang peserta didik hanya mampu ikut mengalami suatu kejadian. Ia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut. Ia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu. Inilah yang terjadi dalam tahap awal proses belajar.

b. Pengamatan aktif dan reflektif

Pada tahap kedua, peserta didik lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.

c. Konseptualisasi

Pada tahap ketiga, peserta didik mulai belajar untuk membuat abstraksi atau teori tentang sesuatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, peserta didik diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.

d. Eksperimentasi aktif

Pada tahap akhir, peserta didik sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru. Contohnya, dalam dunia matematika peserta didik tidak hanya memahami asal-usul sebuah rumus, tetapi ia juga mampu menggunakan rumus itu untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ditemui sebelumnya.Kolb dalam Uno (2010: 15) menyatakan bahwa siklus belajar semacam itu terjadi secara berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran manusia, artinya dalam pratek peralihan dari satu tahap ke tahap yang lainnya itu seringkali terjadi begitu saja, sulit untuk ditentukan kapan beralihnya.3. Honey dan MumfordBerdasarkan teori Kolb, Honey dan Mumford membuat penggolongan peserta didik. Menurut Honey dan Mumford dalam Uno (2010: 16) ada empat tipe peserta didik, yaitu sebagai berikut.

a. Aktivis

Ciri dari peserta didik yang bertipe aktivis adalah mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru. Mereka cenderung berpikiran terbuka dan mudah diajak berdialog. Akan tetapi, peserta didik semacam ini biasanya kurang skeptic terhadap sesuatu. Kadangkala, mereka identik dengan sifat mudah percaya. Dalam proses belajar, mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-hal baru, contohnya brainstorming atau problem solving. Akan tetapi, mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam implementasi.b. Reflektor

Kebalikan dari aktivis, peserta didik yang bertipe reflektor cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, peserta didik tipe ini cenderung konservatif, artinya mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat, baik buruknya sebuah keputuan.

c. Teoris

Peserta didik yang bertipe teoris biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Bagi mereka, berpikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting. Mereka biasanya juga sangat skeptic dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif.

d. Pragmatis

Peserta didik bertipe pragmatis biasanya menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Menurut peserta didik tipe pragmatis teori memang penting, tapi apabila teori tidak bisa dipraktekkan, untuk apa? Kebanyakan siswa dengan tipe ini tidak suka berlarut-larut dalam membahas aspek teoritis filosofis dari sesuatu. Bagi mereka, sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik apabila dapat dipraktekkan.

4. Habermas

Habermas dalam Uno (2010: 16) berpendapat bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi tersebut, Habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut.

a. Belajar Teknis (Technical Learning)

Dalam belajar teknis, peserta didik belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.

b. Belajar Praktis (Practical Learning)

Dalam belajar praktis, peserta didik juga belajar berinteraksi, tetapi pada tahap ini yang lebih dipentingkan adalah interaksi antara peserta didik dengan orang-orang disekelilingnya. Pada tahap ini, pemahaman peserta didik terhadap alam tidak berhenti sebagai suatu pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya dengan manusia. Akan tetapi, pemahaman terhadap alam itu justru relevan jika berkaitan dengan kepentingan manusia.c. Belajar Emansipatoris (Emancipatory Learning)Dalam belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) kultural dari suatu lingkungan. Menurut Habermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural ini dianggap tahap belajar yang paling tinggi karena transformasi kultural inilah yang dianggap sebagai tujuan pendidikan paling tinggi.2.5 Kelemahan dan Kelebihan Aliran Humanisme

2.6 Konsep Dasar Aliran KonstruktivismeSeringkali konsep konstruktivisme dianggap perkembangan dari konsep kognitivisme, sehingga banyak sumber yang menganggap hanya ada dua varian pokok teori perkembangan atau teori psikologi yang mempengaruhi teori belajar, yaitu behaviorisme dan konstruktivisme. Konstruktivisme adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan merefleksikan pengalaman, membangun, mengkonstruksi pengetahuan pemahaman tentang dunia tempat manusia hidup (Suyono & Harianto, 2011: 105). Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa konstruktivisme memberikan kesempatan seseorang untuk menciptakan hukum dan mental mereka sendiri yang akan digunakan untuk menafsirkan dan menerjemahkan pengalaman dengan kata lain setiap orang mempunyai hak untuk mencari cara dalam menafsirkan dan menerjemahkan pengalaman mereka. Dalam aliran konstruktivisme siswa ditekankan untuk lebih aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya tidak dapat ditransfer begitu saja dari pikiran guru kepada pikiran siswa.Adapun pendapat dasar tentang konstruktivisme yang diungkapkan oleh Merril dalam Suyono & Hariyanto (2011: 106) adalah sebagai berikut.

a. Pengetahuan dikonstruktivisme melalui pengalaman.b. Belajar adalah penafsiran personal tentang dunia nyata.c. Belajar adalah sebuah proses aktif di mana makna dikembangkan berlandaskan pengalaman.d. Pertumbuhan konseptual berasal dari negoisasi makna, saling berbagi tentang perspektif ganda dan pengubahan representasi mental melalui pembelajaran kolaboratif.e. Belajar dapat dilakukan dalam setting nyata, ujian dapat diintergrasikan dengan tugas-tugas dan tidak merupakan aktivitas yang terpisah (penilaian autentik).

2.7 Teori Belajar Konstruktivisme1. Teori Konstruktivisme Piaget

Teori piaget berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna membangun struktur kognitifnya atau peta mentalnya yang diistilahkan schema/skema (jamak= schemata/skemata), atau konsep jejaring untuk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan di sekelilingnya. Secara singkat dijelaskan bahwa menurut teori skema, seluruh pengetahuan diorganisasikan menjadi unit-unit, di dalam unit-unit pengetahuan ini, atau skemata ini, disimpanlah informasi. Sehingga skema dapat dimaknai sebagai suatu deskripsi umum atau suatu sistem konseptual untuk memahami pengetahuan tentang bagaimana pengetahuan itu dinyatakan atau tentang bagaimana pengetahuan itu diterapkan. 2. Teori Konstruktivisme Sosial dari Vygotsky

Vygotsky lebih suka menyatakan teori pembelajarannya sebagai pembelajaran kognisi sosial (social cognition). Pembelajaran kognisi meyakini bahwa kebudayaan merupakan penentu utama bagi pengembangan individu. Berikut ini adalah kunci pemikiran kognisi sosial dari Vygotsky.

a. Kebudayaan menciptakan dua macam kontribusi terhadap perkembangan intelektual anak. Pertama, melalui kebudayaan anak mendapatkan sebagian besar kandungan hasil pemikirannya, yaitu pengetahuannya. Kedua, kebudayaan di sekelilingnya menyediakan bagi anak proses-proses atau memberi makna terhadap hasil pemikirannya, hal ini oleh Vygotsky disebut sebagai perangkat-perangkat yang diperlukan bagi adaptasi intelektual. Singkatnya, menurut teori pembelajaran model kognisi sosial, kebudayaan mengajari siswa tentang apa berpikir itu dan bagaimana berpikir itu.

b. Perkembangan kognitif yang dihasilkan dari sebuah proses dialektika di mana seorang siswa belajar melalui pengalaman pemecahan masalah akan dipakainya untuk saling berbagi dengan orang lain, biasanya dengan orang tua atau guru tetapi kadang-kadang dengan teman sebayanya atau dengan anak-anak yang lebih kecil.

c. Pada awalnya seseorang yang berinteraksi dengan anak beranggapan bahwa dia lebih dibebani tanggung jawab untuk memandu anak-anak dalam menyelesaikan masalah, tetapi secara bertahap tanggung jawab ini akan lebih dibebankan kepada anak.

d. Bahasa adalah bentuk primer dari interkasi, melalui orang dewasa membagi kekayaan pengetahuan yang terkandung dalam kebudayaan kepada anak.

e. Sebagai hasil kemajuan belajar, anak-anak memiliki bahasanya sendiri yang dipergunakannya sebagai perangkat primer bagi adaptasi intelektualnya. Bahkan kadang-kadang anak-anak dapat menggunakan bahasanya sendiri untuk mengarahkan perilakunya.

f. Internalisasi mengacu kepada proses pembelajaran, dengan demikian dalam melakukan internalisasi (internalizing) terhadap kebudayaan yang kaya akan pengetahuan serta dipergunakan sebagai alat-alat yang dipakai untuk bagaimana berpikir yang semula ada di luar diri anak, berlangsung awal sekali melalui bahasa.

g. Ada perbedaan antara apa yang dapat dilakukan anak sendiri dengan apa yang dapat dilakukan oleh siswa dengan bantuan guru ataupun orang tua. Vygotsky menyebutnya sebagai ZPD (zone of proximal development).

h. Karena umumnya apa-apa yang harus dipelajari siswa berasal dari kebudayaan di sekelilingnya, dan umumnya pemecahan masalah anak dimediasi oleh bantuan orang dewasa, adalah keliru untuk berfokus kepada yang terisolasi (tidak dalam interaksi dengan masyarakat). Fokus macam itu tidak mampu mengungkap proses-proses dengan cara mana siswa memperoleh keterampilan-keterampilan baru.

i. Interaksi dengan kebudayaan di sekelilingnya dan agen-agen masyarakat, seperti orang tua dan teman sebaya yang lebih kompeten, menyumbang secara signifikan kepada perkembangan intelektual anak.

Berikut ini diberikan beberapa konsep kunci dari teori konstruktivisme sosial, antara lain.a. Siswa sebagai individu yang unik.b. Self regukated learner (pembelajaran yang dapat mengelola diri sendiri).c. Tanggung jawab pembelajaran.d. Motivasi pembelajaran.e. Zona perkembangan (zone of development, ZD).f. Peran guru sebagai fasilitator.g. Interaksi dinamik antara tugas-tugas, instruktur dan pembelajar.h. Kolaborasi antarpembelajar.i. Pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship).j. Proses top-down (proses dari atas ke bawah).k. Pembelajaran kooperatif sebagai implementasi konstruktivisme.l. Belajar dengan cara mengajar (learning by teaching) sebagai metode konstruktivis.2.8 Implementasi Aliran Konstruktivisme dalam Pendidikan2.9 Dampak Teori Konstruktivisme Terhadap Pembelajaran

Dampak teori konstruktivisme secara umum yang merupakan gabungan penerapan baik dari konsep Piaget dan Vygotsky terhadap pembelajaran, antara lain dapat berkenaan dengan.Tujuan Pendidikan

Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi.

Kurikulum

Konstruktivisme tidak memerlukan kurikulum yang distandarisasikan. Oleh karena itu, lebih diperlukan kurikulum yang telah disesuaikan dengan pengetahuan awal siswa. Juga diperlukan kurikulum yang lebih menekankan keterampilan pemecahan masalah (hands-on problem solving). Dengan kata lain kurikulum harus dirancang sedemikian rupa, sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan maupun keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.Pengajaran

Di bawah teori konstruktivisme, pendidik berfokus terhadap bagaimana menyusun hubungan antarfakta-fakta serta memperkuat perolehan pengetahuan yang baru bagi siswa. Pengajar harus menyusun strategi pembelajarannya dengan memperhatikan respon atau tanggapan dari siswa serta mendorong siswa untuk menganalisis, menafsirkan dan meramalkan informasi. Guru juga harus berupaya dengan keras menghadirkan pertanyaan berujung terbuka (open-ended question) dan mendorong terjadinya dialog yang ekstensif antarsiswa. Dalam konsep ini sebaiknya guru berfungsi sebagai fasilitator dan mediator dan teman (mitra kerja) yang membangun situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik.Pembelajar

Diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.Penilaian

Konstruktivisme tidak memerlukan adanya tes yang baku sesuai dengan tingkat kelas. Namun, justru memerlukan suatu penilaian yang merupakan bagian dari proses pembelajaran (penilaian autentik) sehingga memungkinkan siswa berperan lebih besar dalam menilai dan mempertimbangkan kemajuannya atau hasil belajarnya sendiri. Hal ini merupakan alasan untuk menghadirkan portofolio sebagai model penilaian. Portofolio secara ringkas dapat dimaknai sebagai bukti-bukti fisik (hasil ujian, makalah, hasil keterampilan, piagam, piala, catatan anekdot dan lain-lain) hasil belajar atau hasil kinerja siswa.2.10 Kelebihan dan Kelemahan Model Konstrutivismea. Kelebihan model kontruktivisme

1) Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.2) Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.3) Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat.

4) Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.

5) Pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.

6) Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.

b. Kelemahan model konstruktivismeDalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.BAB III

KESIMPULANSetelah mengkaji makna aliran humanisme dan konstrutivisme dapat disimpulkan bahwa menurut teori humanisme tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia, proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Pendidikan saat ini tidak menjadikan peserta didik sebagai objek, namun sebaliknya, pendidikan memfokuskan pada pengoptimalan potensi yang dimiliki peserta didik. Guru dalam dunia pendidikan berperan sebagai fasilitator bagi peserta didik. Menurut perspektif humanisme proses pembelajaran bukan tentang bagaimana mengajarkan, tapi tentang bagaimana menciptakan situasi belajar yang dapat membuat peserta didik mengalami pengalaman belajar itu sendiri. Dengan demikian, peserta didik kemungkinan akan paham tentang makna belajar.Pada aliran konstruktivisme memberikan kesempatan seseorang untuk menciptakan hukum dan mental mereka sendiri yang akan digunakan untuk menafsirkan dan menerjemahkan pengalaman dengan kata lain setiap orang mempunyai hak untuk mencari cara dalam menafsirkan dan menerjemahkan pengalaman mereka. Dalam aliran konstruktivisme siswa ditekankan untuk lebih aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya tidak dapat ditransfer begitu saja dari pikiran guru kepada pikiran siswa.DAFTAR RUJUKAN

Suyono & Harianto. 2011. Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Uno, H.B. 2010. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara.Rumini, S. dkk. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.