Upload
melvin-philips
View
636
Download
21
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH IMUNOLOGI
Biologi Transfusi dan Reaksi Imun
Oleh :Rudy ManibuiDavid Tantry
Pembimbing :Prof.Dr.Ny.Hj.E A Datau, SpPD-KAI
PENDIDIKAN DASARPROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-I
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO2011
BAB I PENDAHULUAN
Prosedur transfusi darah sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu.
Pengetahuan mengenai transfusi darah mulai berkembang sejak adanya teori sirkulasi darah
oleh dokter William Harvey pada tahun 1613. Sejak saat itu berbagai praktik transfusi darah
antar hewan mulai dicobakan. Namun pencobaan transfusi ke manusia selalu menemui hasil
yang fatal. Transfusi darah ke manusia pertama kali dilakukan oleh dr. Jean-Baptiste Denis,
dokter Raja Perancis Louis XIV, yang melakukan transfusi darah domba ke seorang anak 15
tahun yang sedang sakit pada tahun 1667.
Transfusi darah saat ini memegang peranan dalam terapi. . Transfusi pertama kali
dilakukan 200 tahun yang lalu oleh James Blundell pada tahun 1818. transfusi darah telah
banyak mengalami perbaikan. Transfusi telah menjadi metode medis yang mampu
menyelamatkan nyawa banyak orang.
Namun transfusi dapat pula menjadi pintu masuk utama transmisi berbagai penyakit,
seperti transmisi HIV, HBV, HCV, dan malaria. Infeksi melalui transfusi menjadi masalah di
semua negara, namun di negara-negara berkembang masalah ini terlihat lebih dominan.
Pada sebuah studi di India, 15% dari transmisi HIV didapatkan melalui transfusi oleh karena
metode screening yang kurang memadai mengingat mahalnya biaya pemeriksaan. Berbagai
rekomendasi coba untuk diterapkan, diantaranya dengan screening donor yang lebih ketat,
aplikasi rapid test untuk HIV, penggunaan transfusi hanya untuk kasus-kasus yang benar-
benar membutuhkan, penggunaan transfusi autolog, dan upaya penggalangan donasi.2,3
Seiring dengan menurunnya angka kejadian transmisi penyakit pada pemberian transfusi
alogenik, masalah lain muncul ke permukaan akibat terjadinya aloimunisasi dari transfusi,
salah satunya berupa transfusion-related acute lung injury (TRALI), pula masalah hemolytic
transfusion reaction (HTRs), dan sepsis yang mulai mendominasi risiko transfusi alogenik.
Sejak tahun 2004, berbagai upaya untuk pencegahan TRALI dan sepsis telah dilakukan,
namun belum cukup berhasil. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan metode
leukodeplesi yang ditengarai mampu mengurangi angka kematian akibat reaksi transfusi.4,5
Pada makalah ini akan dibicarakan mengenai faktor imunologi transfusi, berbagai bentuk
sediaan darah, reaksi transfusi, dan tatalaksana masing-masing reaksi transfusi yang timbul
berikut pencegahannya. Hal tersebut penting untuk membentuk pengertian yang holistik
mengenai transfusi, sehingga transfusi dapat dilaksanakan aman.
BAB II BIOLOGI TRANSFUSI DAN REAKSI IMUN
2.1. Definisi dan Indikasi Transfusi
Transfusi merupakan salah satu bentuk transplantasi dimana seluruh atau sebagian komponen darah
seseorang (donor) diberikan kepada orang lain (resipien). Transfusi dilakukan untuk
mempertahankan kemampuan darah membawa oksigen ke jaringan, mencegah deplesi cairan, dan
juga untuk mencegah terjadinya perdarahan akibat kekurangan satu atau beberapa komponen
darah. 6
Transfusi berdasarkan sumber darah donor dibedakan menjadi dua:6
1. Allotransfusi atau darah berasal dari orang lain.
2. Autotransfusi atau darah berasal dari resipien sendiri. Lebih lanjut mengenai hal ini akan
dibicarakan pada bab selanjutnya.
Indikasi transfusi darah adalah6:
a. Penggantian volume darah karena kehilangan darah akut.
b. Kekurangan eritrosit.
c. Kekurangan trombosit.
d. Kekurangan leukosit (jarang dilakukan).
e. Defisiensi faktor koagulasi.
f. Perioperatif dan critical care.
g. Transfusi tukar.
h. Sickle cell disease dan talasemia.
2.2. Biologi Darah
Darah adalah jaringan khusus yang mengandung sejumlah tipe sel hidup yang melayang pada cairan
yang disebut plasma. Darah terdiri atas plasma (90% air dan 10% zat terlarut) dan sisanya berupa sel
– sel darah, yaitu:7,8
1. Eritrosit ( sel darah merah, merupakan komponen sel darah yang paling banyak) dengan
masa hidup 4 bulan sebelum didaur ulang di limpa.
2. Leukosit ( termasuk neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, limfosit B dan limfosit T). Masa
hidup leukosit adalah sekitar bervariasi 18 – 36 jam sampai satu tahun.
3. Trombosit, masa hidupnya 9 – 10 hari. 1,2
Plasma – cairan dalam darah yang mengandung garam, glukosa, asam amino, vitamin, urea, protein, dan lipid
Sel leukosit / buffy coat – berperan pada sistem imun
Trombosit – berperan pada pembekuan darah
Eritrosit – berperan pada transport oksigen
Gambar 1. Komposisi darah
Tabel 1. Beberapa zat yang penting yang ada di dalam darah. 1
Zat TempatKeterangan
Oksigen Eritrosit Ditransportkan dari paru-paru ke seluruh sel untuk
respirasi
Karbon dioksida Plasma Ditransportkan dari seluruh sel menuju paru-paru untuk
ekskresi
Protein (contohnya albumin) Plasma Persediaan asam amino
Faktor pembekuan darah Plasma Minimal 13 zat yang berbeda (terutama protein) yang
dibutuhkan untuk membuat pembekuan darah.
Antigen dan antibody Plasma Bagian sistem imun
Bakteri dan virus Plasma
Bila darah diambil melalui pungsi vena dan dibiarkan membentuk bekuan darah, bekuan
darah tersebut secara perlahan akan mengkerut dan mengeluarkan cairan jernih yang disebut
serum, yaitu plasma darah tanpa mengandung fibrinogen dan faktor pembekuan. 7
Pada permukaan eritrosit ditemukan beberapa ratus antigen golongan darah, namun tidak
semuanya penting secara klinis karena adanya ekspresi yang lemah, polimorfisme yang rendah, dan
imunogenisitasnya lemah. Beberapa antigen yang penting karena antibodi terhadapnya akan
mengurangi masa hidup sel yang mengandung antigen tersebut.8
2.3. Sistem Penggolongan Darah
2.3.1. Sistem Penggolongan Darah ABO
Sistem penggolongan darah yang pertama dikenal pada tahun 1900 adalah sistem ABO sebagai
penggolongan terpenting dalam transfusi. Penggolongan darah dari sistem ini adalah A, B, AB, dan O.
Pembagian ini didasarkan atas ada tidaknya antigen pada permukaan sel darah merah. Antigen-
antigen tersebut adalah molekul karbohidrat yang melekat pada rangka precursor, dapat ditemukan
pada membran sel sebagai glikosfingolipid atau glikoprotein, dan disekresi ke dalam plasma dan
cairan tubuh sebagai glikoprotein. Substansi H adalah precursor intermediate dimana antigen A dan
B ditambahkan. Substansi H ini dibentuk melalui penambahan fukosa ke glikolipid atau rangka
glikoprotein. Penambahan selanjutnya N-asetilgalaktosamin menciptakan antigen A, sedangkan
penambahan galaktosa menghasilkan antigen B.6
Gambar 2. Struktur kimia dari antigen A, B, dan H pada permukaan sel.
Gen yang menentukan fenotip A dan B ditemukan pada kromosom 9p dan diekspresikan
melalui prilaku Mendel. Produk gen ini adalah glikosil transferase, yang memiliki kemampuan untuk
melekat pada antigen karbohidrat yang spesifik. Individu yang tidak memiliki transferase A dan B,
secara fenotip menghasilkan tipe O, sedangkan yang memiliki keduanya adalah tipe AB. Sedikit
indvidu tidak memiliki gen H, yang mengkode fukosa transferase dan tidak dapat membentuk
substansi H. Individu demikian adalah homozigot untuk alel h (hh) dan memiliki fenotip Oh atau
fenotip Bombay.6,7
Sistem penggolongan darah ABO adalah penting karena semua individu membentuk
antibody terhadap karbodirat ABH yang tidak mereka miliki. Anti-A dan anti-B yang terbentuk secara
alami dikenal dengan isoaglutinin. Demikian, individu dengan tipe A membentuk anti-B, dan individu
tipe B membentuk anti-A. Kedua isoaglutinin ini tidak ditemukan pada individu dengan tipe AB, oleh
karenanya individu dengan tipe ini dikenal dengan resipien universal karena mereka tidak memiliki
antibody terhadap fenotip ABO. Sedangkan individu dengan tipe O dapat menjadi donor untuk
semua penerima darah, karena mereka tidak memiliki antigen A dan B sehingga tidak dapat dikenal
oleh isoaglutinin. Pada fenotip Bombay, mereka memproduksi antibody terhadap substansi H (yang
ada pada semua SDM kecuali mereka dengan fenotip hh), sehingga hanya cocok dengan donor dari
individu dengan fenotip serupa.7,8
Alel orang tua
A B O
A AA AB AO
Gambar 3. Sistem Penggolongan Darah ABO
(A) (AB) (A)
BAB
(AB)BB(B)
BO(B)
OAO(A)
BO(B)
OO(O)
Tabel 4. Penurunan Mendelian3
Baik alel A dan B bersifat dominant terhadap O. Individu yang memiliki genotipe AO akan
memiliki fenotipe A, dan individu yang memiliki fenotipe O memiliki genotipe OO. Sedangkan alel A
dan B kodominan, sehingga bila individu memiliki genotipe AB maka individu tersebut juga memiliki
fenotipe yang sama dan tes aglutinasi akan menunjukkan individu tersebut memiliki kedua
karakteristik golongan darah A dan B.8
2.3.2. Sistem Penggolongan Darah Rhesus (Rh)
Sistem Rh adalah penggolongan darah ke-2 terpenting pada tes pretransfusi. Antigen Rh ditemukan
pada 30-32-kDa membrane SDM dan tidak memiliki fungsi yang jelas. Meskipun lebih dari 40 antigen
berbeda telah ditemukan pada sistem Rh, namun hanya 5 diantaranya yang penting dalam
penentuan fenotip. Keberadaan antigen D menandakan Rh positif, sedangkan individu dengan
sedikit antigen D dinyatakan sebagai Rh negative. Pasangan alel antigen, E/e dan C/c juga ditemukan
pada protein Rh. Tiga gen tersebut, E/e, D, dan C/c tersusun secara tandem pada kromosom 1 dan
diwariskan secara haplotype, seperti cDE atau Cde. Dua buah haplotype dapat menghasilkan
ekspresi fenotip pada 2 dari 5 antigen Rh. Ekspresinya gen tersebut terdapat pada sel eritroid dan
megakariosit awal.6,7
Antigen D adalah alloantigen yang poten. Sekitar 15% individu tidak memiliki antigen ini.
Pajanan sel Rh positif pada individu dengan Rh negatif bahkan untuk kadar yang sangat minimal
sekalipun, seperti pada transfusi dan kehamilan, dapat berakibat pada dihasilkannya aloantibodi
anti-D.6
Tabel . Antigen dan Sistem Penggolongan Darah
Antigen SystemFrequency Among All
Detected Alloantibodies
Frequency of Antigen(Whites)
Frequency of Antigen(Blacks)
Potency*
E Rh 16-40% 30% 2% 4%Kell (Kl) Kell 5-40% 9% 3% 9%
D Rh 8-33% 85% 92% 70%c Rh 4-15% 80% 99% 4%Jk(a) Kidd 2-13% 77% 91% 0.14%Fy(a) Duffy 4-12% 63% 10% 0.46%C Rh 2-10% 70% 32% 0.22%e Rh 2-3% 98% 98% 1%Jk(b) Kidd 2% 72% 43% 0.06%S MNSs 1-2% 55% 31% 0.08%s MNSs <1% 89% 97% 0.06%*Persentase antigen-negative recipients yang terinduksi aloimunisasi jika ditransfusi dengan unit yang mengandung antigen.
2.3.3. Sistem penggolongan darah lainnya dan aloantibodi.
Lebih dari 100 penggolongan darah telah diketahui, mencapkup lebih dari 500 antigen. Keberadaan
atau ketiadaan antigen tertentu telah diasosiasikan dengan berbagai macam penyakit dan kelainan;
antigen juga berperan sebagai reseptor untuk agen infeksius.7
Antibodi terhadap sistem Lewis, antigen karbohidrat adalah penyebab utama inkompabilitas
pretransfusi. Produk dari gen Lewis ini adalah transferase fukosil yang dikode pada kromosom 19.
Antigen ini bukan merupakan bagian integral dari membrane sel, namun diadsorbsi dari plasma ke
membrane SDM. Antibodi terhadap antigen ini biasanya Ig M dan tidak dapat melalui plasenta.
Antigen Lewis dapat diadsorbsi ke sel tumor dan menjadi target untuk terapi.8
Sistem antigen I juga merupakan oligosakarida yang berhubungan dengan H, A, B, dan Le. I
dan I bukan merupakan pasangan alel, tetapi merupakan antigen karbohidrat yang hanya berbeda
pada kepanjangan cabangnya. Antigen I adalah rantai yang tidak bercabang, yang diubah oleh
produk gen I, glikosiltransferase, menjadi rantai yang bercabang. Proses percabangan ini
mempengaruhi semua antigen ABH, yang menjadi lebih bercabgan pada 2 tahun pertama
kehidupan. Beberapa pasien dengan cold agglutinin disease atau limfoma dapat memproduksi anti-I
autoantibody yang menyebabkan pengrusakan SDM. Beberapa pasien dengan infeksi mononucleosis
atau Mycoplasma pneumonia dapat mengalami cold agglutinins, baik anti-I atau anti-i spesifik.
Kebanyakan orang dewasa tidak memiliki ekspresi i, demikian, menemukan donor untuk pasien
dengan anti-i tidaklah sulit. Meskipun kebanyakan dewasa mengekspresikan antigen I, ikatan sangat
jarang terjadi pada suhu tubuh, sehingga pemberian darah dengan suhu yang hangat dapat
mencegah isoaglutinasi.6
Sistem P adalah bentuk penggolongan darah yang lain dengan antigen karbohidrat yang
dikendalikan oleh glikosiltransferase yang spesifik. Kepentingan klinisnya ditemukan pada kasus-
kasus yang jarang, seperti sifilis dan infeksi virus yang menyebabkan paroxysmal cold
hemoglobinuria. Pada kasus-kasus ini, autoantibody P diproduksi sehingga berikatan dengan SDM
dalam keadaan dingin dan memfiksasi komplen pada keadaan hangat. Antibodi dengan kondisi
bifasik ini dikenal dengan Donath-Landsteiner antibodies. Antigen P adlaah reseptor selular dari
parvovirus B19 dan mungkin pula merupakan reseptor untuk E. coli yang melekat pada sel urotelial.6
Sistem MNSsU diregulasi oleh kromosom 4. M dan N adalah determinan pada glikoforin A,
protein membrane SDM, sedangkan S dan s adalah determinan pada glikoforin B. Antibodi Ig G anti-
S dan anti-s dapat muncul setelah kehamilan atau transfuse dan berujung pada hemolisis. Antibodi
anti-U jarang ditemukan, namun banyak menimbulkan masalah; dimana hampir semua orang
inkompatibel karena mengekspresikan U.6,9,10
Protein Kell sangat besar (720 asam amino) dan struktur sekundernya mengandung banyak
epitop antigen. Imunogenisitas antigen ini berada di urutan ke-3 setelah ABO dan Rh. Ketiadaan
precursor protein Kell (diatur oleh gen dalam kromosom X) berhubungan akantositosis,
berkurangnya usia SDM, dan bentuk distrofi muscular yang progresif yang mencakup pula defek
jantung. Kondisi jarang ini disebut dengan fenotip McLeod. Gen Kx dihubungkan dengan komponen
91 kDa NADPH oksidase pada kromosm X, delesi atau mutasi gen ini tercatat sebanyak 60% kasus
dengan chronic granulomatous disease.6,10
Antigen Duffy adalah alel kodominan, Fya dan Fyb, yang juga berperan sebagai reseptor
terhadap Plasmodium vivax. Lebih dari 70% penduduk di area endemis tidak memiliki antigen ini,
kemungkinan karena pengaruh selektif dari infeksi pada populasi.6,10
Antigen Kidd, Jka dan Jkb , dapat menginduksi terbentuknya antibody sementara. Delayed
hemolytic transfusion reaction (DHTR) yang terjadi dengan darah kompatibel dengan tes, seringkali
berhungan dengan kemunculan lambat dari anti-Jka.6,10
Sebelum darah diberikan kepada resipien, dilakukan dulu serangkaian prosedur untuk
memeriksa kompatibilitas darah donor dengan darah resipien untuk memastikan sedapat mungkin
menekan terjadinya reaksi transfusi pada pasien serta eritrosit dapat mencapai masa hidup
maksimum setelah diberikan.6
2.4. Tes Kompabilitas Pratransfusi
Tes kompabilitas pratransfusi dari resipien mencakup tipe dan pemilahan. Tipe forward menentukan
fenotip ABO dan Rh dari SDM resipien dengan menggunakan antisera yang ditujukan untuk antigen
A,B, dan D. Tipe reverse mendeteksi isoaglutinin pada serum pasien dan harus berhubungan dengan
fenotip ABO atau tipe forward.6,7
Pemilahan aloantibodi mengidentifikasi antibodi terhadap antigen SDM lain. Pemilahan
aloantibodi dilakukan dengan mencampur serum pasien dengan SDM tipe O yang mengandung
antigen mayor dari kebanyakan sistem penggolongan darah dimana fenotip diketahui. Spesifisitas
dari aloantibodi diktehui dengan menghubungkan keberadaan atau ketiadaan dari antigen yang
menghasilkan aglutinasi.6
Cross-matching dilakukan ketika dikteahui adanya kemungkinan yang besar bahwa pasien
membutuhkan transfusi packed red blood cell (PRBC). Darah diseleksi untuk cross-matching harus
ABO kompatibel dan baru dapat ditransfusikan apabila tidak memiliki antigen dimana pasien
memiliki aloantibodi. Hasil non-reaktif mengkonfirmasi ketiadaan inkompatibilitas mayor dan
menyimpan unit darah tersebut untuk digunakan.6
Pada kasus pasien dengan Rh negatif, segala usaha harus dilakukan untuk mendapatkan
komponen darah Rh negatif untuk menghindari aloimunisasi terhadap antigen D. Pada kasus
kegawatan, darah Rh-positif dapat diberikan secara aman pada pasien Rh-negatif yang tidak memiliki
anti D, tetapi resipien sangat mungkin menjadi alloimmunized dan memproduksi anti-D. Wanita Rh-
negatif yang telah melahirkan dan harus menerima komponen darah dengan Rh-positif harus
diberikan imunisasi pasif dengan anti-D (RhoGam atau WinRho) untuk mereduksi atau mencegah
sensitisasi.6
Secara ringkas, tes kompatibilitas yang biasa dilakukan adalah:6,11
o Memeriksa catatan pasien : golongan darah, riwayat dan alasan transfusi darah bila ada.
o Melakukan penggolongan darah ABO pada sampel darah pasien.
o Melakukan penggolongan darah Rh pada sampel darah pasien.
o Melakukan uji kecocokan terakhir :
Major matching : mencocokkan serum pasien dengan eritrosit donor.
Minor matching : mencocokkan eritrosit pasien dengan serum donor.
o Pemeriksaan DAT dan IAT
DAT/ Direct Antiglobulin Test
Mendeteksi antibodi atau komplemen yang menyelubungi permukaan eritrosit. Sebelum
dilakukan tes eritrosit dicuci dengan garam fisiologis untuk menghilangkan antibodi dan
komplemen yang tidak terikat, kemudian ditambahkan AHG (anti human serum globulin).
Bila pada eritrosit terdapat antibodi, kaki Fab dari AHG berikatan pada kakai Fc antibodi
yang terikat pada eritrosit.
IAT/ Indirect Antiglobulin Test
Mendeteksi antibodi pada serum. Serum atau plasma yang diperiksa diinkubasi dengan
eritrosit sehingga bila ada antibodi maka akan berikatan dengan eritrosit. Eritrosit kemudian
dicuci untuk menyingkirkan globulin yang tidak terikat kemudian ditambahkan AHG. Bila
terjadi aglutinasi berarti terdapat antibodi terhadap antigen eritrosit.
Gambar 5. Direct Antiglobulin Test Gambar 6. Indirect Antiglobulin Test
Uji kecocokan ini dilakukan untuk memastikan tidak ditemuinya antibodi dalam darah pasien yang akan beraksi dengan donor.
2.5. Komponen-komponen Darah pada Transfusi
Produk darah yang dimaksudkan untuk transfusi diperoleh secara rutin sebagai whole blood (WB)
sebanyak 450 ml dengan antikoagulan yang bervariasi. Kebanyakan darah yang didonorkan diproses
menjadi komponen: PRBC, trombosit, dan fresh-frozen plasma (FFP) atau cryoprecipitate (CP). WB
pertama kali dipisahkan menjadi PRBC dan plasma kaya trombosit dengan sentrifugasi lambat.
Plasma kaya platelet kemudian disentrifugasi cepat untuk menghasilkan satu unit trombosit random
donor (RD) dan satu unit FFP. CP diproduksi dengan mencairkan FFP untuk mempresipitasi protein
plasma, dan kemudian dipisahkan dengan sentrifugasi.6,9
Teknologi aferesis digunakan untuk pengumpulan multipel unit trombosit dari donor
tunggal. Single donor apheresis platelets (SDAP) menghasilkan jumlah yang setara dengan 6 unit
trombosit RD dan memiliki kontaminasi leukosit yang lebih sedikit daripada platelet RD.6
Plasma juga dapat dikumpulkan dengan aferesis. Turunan plasma seperti albumin,
intravenous immunoglobulin, antitrombin, dan konsentrat faktor koagulasi dihasilkan dari pooled
plasma dari banyak donor dan diberikan intervensi untuk menghilangkan agen infeksius.6
Gambar 7. Komponen Whole blood.8
1. Whole Blood
Whole blood merupakan darah secara keseluruhan yang mengandung plasma dan sel secara
lengkap, biasanya digunakan untuk pasien yang kehilangan banyak darah (>25%) dan diberikan
untuk memperbaiki volume darah dan memberikan kapasitas transport oksigen bila komponen
darah yang lain tidak tersedia. Untuk mempertahankan viabilitas eritrosit, whole blood disimpan
pada suhu 4°C, namun terjadi disfungsi trombosit dan degradasi beberapa faktor koagulasi.
Dengan berjalannya waktu kandungan 2,3-BPG semakin menurun yang membuat afinitas
hemoglobin terhadap oksigen dan kemampuan untuk mentransport oksigen menurun.6,9
Whole blood jarang diberikan kepada pasien karena banyak komponen yang terbuang dan
pada kondisi tertentu berbahaya bila memberikan komponen darah yang tidak diperlukan. Dan
juga jarang terdapat karena biasanya dibagi menjadi komponen-komponennya.6,9
2. Packed Red Blood Cells (PRBCs)
Produk ini meningkatkan kapasitas peningkatan oksigen pada pasien anemia. Oksigenasi
yang adekuat dapat dipertahankan dengan kadar Hb 7 g/dL pada pasien dengan normovolemik
tanpa penyakit jantung; tetapi faktor komorbid seringkali menyebabkan dibutuhkannya transfusi
pada kadar Hb yang lebih tinggi. Keputusan untuk melakukan transfuse harus disesuaikan
dengan situasi klinis dan bukan semata karena nilai laboratorium. Pada critical care setting,
penggunaan bebas transfuse untuk mempertahankan kadar Hb mendekati normal, dapat
memiliki efek negative pada kelangsungan hidup. Kebanyakan pasien yang membutuhkan
transfuse, target 10 g/dL biasanya cukup untuk menjaga masukan oksigen.9
PRBC dapat dimodifikasi untuk mencegah adverse reaction tertentu. Reduksi leukosit dari
produk sel darah saat ini sering dilakukan dan direkomendasikan. Filtrasi sebelum penyimpanan
lebih menguntungkan dari filtrasi sebelum komponen sel darah digunakan oleh karena lebih
kecilnya kadar sitokin yang dihasilkan. Unit PRBC mengandung kurang dari 5 x 106 sel darah putih
donor, dan penggunaan reduksi leukosit ini mampu mengurangi kejadian demam posttransfusi,
infeksi sitomegalovirus, dan aloimunisasi. Keuntungan lainnya berupa berkurangnya supresi
imun pada resispen dan rendahnya risiko infeksi. Plasma, yang dapat menimbulkan reaksi alergi,
dapat disingkirkan dari komponen darah dengan pencucian.9
Satu unit PRC mengandung sekitar 200 mL eritrosit, 100 mL cairan aditif dan setara dengan
30 mL plasma. Masa hidupnya tergantung pada zat aditif dan antikoagulan yang digunakan,
biasanya sekitar 42 hari. PRC harus disimpan pada suhu 1 - 6°C. Transfusi 1 unit PRC dapat
meningkatkan 1 g/dL dan hematokrit 2-3% pada orang dewasa dengan berat 70 kg. Komponen
darah ini dapat diberikan pada pasien anemia, gagal ginjal, keganasan, dan perdarahan
gastrointestinal.10 Keputusan pemberian transfusi sebaiknya berdasarkan situasi klinis dan
bukannya nilai laboratorik semata.9
3. Trombosit
Komponen ini berperan pada proses pembekuan darah. Komponen ini digunakan untuk
mencegah perdarahan masif pada trauma, dalam kondisi trombositopenia, dan pada pasien
dengan fungsi trombosit yang abnormal.9
Trombosit yang didapat dari seorang donor dikemas dalam 200-400 mL plasma dan
mengandung minimal 3.0 x 1011 trombosit atau setara dengan trombosit yang diperoleh dari 6-8
whole blood dan merupakan dosis yang adekuat untuk ukuran dewasa. TC dapat bertahan
selama 5-7 hari pada suhu penyimpanan 20-24°C.9
Pada pasien trombositopenia tanpa disertai peningkatan konsumsi trombosit (splenomegali,
demam, DIC), transfusi 6 – 8 unit trombosit (sekitar 1 unit per 10 kg BB) diharapkan dapat
meningkatkan jumlah trombosit 5000 – 10.000 /μL. Batas profilaksis perdarahan pada pasien
trombositopenia yang digunakan adalah 10.000/ μL dan pada pasien tanpa demam atau infeksi
dan 5000/ μL . Untuk pasien yang akan menjalani prosedur invasif digunakan batas 50.000/
μL.9,10
Pasien yang memperoleh transfusi berulang mungkin telah membentuk antibodi terhadap
HLA dan antigen trombosit sehingga peningkatan jumlah trombosit pascatransfusi tidak seperti
yang diharapkan. Untuk mengurangi risiko ini sebaiknya komponen trombosit melalui prosedur
tertentu untuk mengurangi kandungan leukositnya.9
4. Fresh Frozen Plasma (FFP)
FFP mengandung faktor koagulasi dan protein plasma : fibrinogen, antitrombin, albumin,
dan juga protein C dan S. FFP merupakan komponen aselular dan tidak menularkan infeksi
intraselular. Pasien yang mempunyai defisiensi IgA sebaiknya menerima FFP dari donor dengan
kondisi yang sama. Indikasi penggunaan FFP adalah koreksi koagulopati, memasok kekurangan
protein plasma, dan terapi thrombotic thrombosytopenic purpura (TTP). 9,10
Masa kadaluarsa komponen ini adalah 365 hari dan harus ditransfusikan dalam waktu 24
jam setelah dicairkan. FFP harus disimpan pada suhu ≤ -18°C sedangkan plasma yang telah
dicairkan harus disimpan dalam suhu 1-6°C. 9,10
Transfusi FFP diberikan untuk meningkatkan kandungan faktor pembekuan pada pasien yang
mengalami defisiensi. Tiap unit FFP meningkatkan kandungan faktor pembekuan 2-3% pada
orang dewasa. 9,10
5. Cryoprecipitate
Kriopresipitat adalah sumber fibrinogen (≥150 mg), faktor VIII (≥80 IU), faktor von
Willebrand (vWF), faktor XIII dan fibronektin. Tiap cryo mengandung 15 mL plasma. Masa
kadaluarsa komponen ini adalah 365 hari dan harus ditransfusikan dalam waktu 4 jam setelah
dicairkan. Kriopresipitat harus disimpan pada suhu ≤ -18°C sedangkan plasma yang telah
dicairkan harus disimpan dalam suhu ruangan. 9,10
6. Granulosit
Granulosit yang diperoleh melalui proses aferesis digunakan untuk pasien neutropenia
(<200/μL) dan yang terdeteksi terancam oleh infeksi bakteri atau jamur yang tidak respon
terhadap antibiotik. Juga dapat diberikan pada neonatus yang mengalami sepsis dan pasien
dengan infeksi yang memiliki defek pada fungsi neutrofil.10 Masa hidup granulosit adalah 24 jam
dan disimpan pada suhu 20-24°C.10
7. Komponen darah yang dimodifikasi6,9
a. Komponen leukosit dikurangi
b. Diradiasi
c. Washed
8. Fraksi plasma6,9
a. Albumin
b. Fraksi plasma protein
c. Gamma globulin
d. Derifat faktor pembekuan
2.6. Aloimunisasi dari transfusi
2.6.1. Manifestasi Klinis Aloimunisasi Transfusi
Transfusi darah alogenik adalah salah satu bentuk transplantasi temporer. Prosedur ini mengenalkan
tubuh terhadap beragam antigen asing dan sel hidup ke dalam tubuh resipien yang ada dalam jangka
waktu tertentu. Seorang resipien yang imunokompeten seringkali membentuk respon imun
terhadap antigen donor dan menghasilkan beragam konsekuensi klinis, bergantung pada sel darah
dan antigen spesifik yang terlibat. Antigen yang biasanya terlibat diklasifikasikan dalam kategori
berikut:6,10
1. Human leukocyte antigens (HLAs) kelas I pada leukosit dan trombosit dan kelas II pada
sebagian kecil leukosit.
2. Granulocyte specific antigens (GSA)
3. Platelet specific antigens (HPA)
4. RBC-specific antigens.
Manifestasi klinis yang dapat timbul adalah sebagai berikut:10
1. Aloimunisasi terhadap Sel darah merah
a. Reaksi transfuse hemolitik akut intravascular (biasanya disebabkan karena antibody
ABO, jarang karena aloimunisasi).
b. Delayed hemolytic transfusion reaction (DHTR) (hemolisis disebabkan oleh
aloantibodi terhadap SDM sedikitnya 24 jam setelah transfuse).
c. Hemolytic disease of the newborn/hydrop fetalis (HF) (aloimunisasi ibu terhadap
antigen fetus, diinduksi oleh kehamilan sebelumnya).
2. Aloimunisasi terhadap trombosit (HPA atau HLA kelas I)
a. Refractoriness to platelet transfusion (RPT) (peningkatan jumlah trombosit setelah
transfuse trombosit yang lebih rendah secara bermakna dari harapan <kurang dari
30% dari prediksi setelah 10-60 menit atau kurang dari 20% pada 18-24 jam>)
b. Purpura post transfusi (trombositopenia setelah transfusi SDM atau produk yang
mengandung trombosit, berhubungan dengan aloantibodi terhadap trombosit).
c. Neonatal alloimmune thrombocytopenia (aloimunisasi ibu terhadap antigen fetus,
diinduksi oleh kehamilan sebelumnya).
3. Aloimunisasi terhadap granulosit (GSA atau HLA)
4. Refractoriness to granulocyte transfusion
a. Febrile nonhemolytic transfusion reaction
b. Transfusion-related acute lung injury (TRALI) (reaksi transfuse dimana antibody HLA
donor bereaksi terhadap antigen resipien).
5. Transplant rejection
a. Aloimunisasi terhadap antigen HLA.
b. Aloimunisasi terhadap antigen sel darah (pada transplantasi sumsum tulang).
Lebih lanjut mengenai masing-masing manifestasi aloimunisasi tersebut dapat dilihat pada
bagian reaksi transfusi.
2.6.2. Patofisiologi aloimunisasi transfusi
Mekanisme utama terjadinya aloimunisasi terhadap antigen yang ada pada sel yang ditransfusi
melibatkan pemajanan dari donor antigen presenting cells (APCs), seperti monosit, makrofag, sel
dendritik, dan sel B ke sel T resipien. Pengenalan alloantigen HLA kelas I oleh sel T CD4+ resipien dan
aktivasi imun berikutnya memerlukan ko-stimulasi dari APCs donor atau resipien. Aloimunisasi oleh
non-leukoreduced trombosit melibatkan peran antigen HLA donor dan APCs donor fungsional.
Turunan TH2 dari T Helper CD4+ mensekresi interleukin (IL)-4, IL-5, IL-6, dan IL-10, mengaktifkan sel B
dan memulai respon antibody.10
Leucoreduction trombosit secara signifikan mampu mengeliminir APCs donor, tetapi 20%
dari pasien masih mengalami aloimunisasi. Hal ini terjadi akibat keterlibatan alloantigen-presenting
recipient APCs yang mengenali alloantigen dan aktivasi sel T resipien. Proses ini juga melibatkan
pengenalan awal alloantigen oleh natural killer cell (sel NK) yang mensekresi interferon gama yang
berperan dalam aktivasi sel TH2 CD4+.10
Setelah aktivasi awal dan pembentukan respon imun primer, sel T menjadi sel memori. Sel T
memori tidak lagi memerlukan ko-stimulasi untuk mengaktivasi respon imun. Demikian, donor SDM,
trombosit, dan APCs yang tidak teraktivasi dapat mengindukti restimulasi dari respon imun. Transfusi
darah (terutama melalui turunan TH2) dapat pula menekat respon imun pejamu dan mengiduksi
toleransi terhadap antigen donor. Mekanisme imunosupresi lain melibatkan pula stimulasi dari sel T
supresor CD8+ yang dapat mengenali alloantigen HLA kelas I di trombosit dan juga APCs donor.
Imunisasi primer dengan transfusi menggambarkan keseimbangan terhadap ekspansi klonal dan
mekanisme toleransi. Respon sekunder bergantung pada restimulasi dari sel memori. Imunisasi
berulang seringkali menghasilkan ekspansi klonal yang menetap dan produksi antibody yang
signifikan.10
2.7. Reaksi Transfusi
aat ini transfusi darah sudah menjadi jauh lebih aman, namun masih terdapat beberapa efek
samping yang tetap terjadi meskipun dari pemeriksaan sebelumnya dinyatakan bahwa darah
tersebut cocok. Efek samping ini dibagi menjadi 11-15
2.7.1. Reaksi imunologi akut
Transfusi komponen darah dapat menstimulasi imunologi dan efek lain pada pasien. Terdapat
beberapa efek imuniologis dan efek lainnya termasuk stimulasi aloantibodi terhadap antigen
plasma sel dan protein plasma, transfer pasif antibodi terhadap antigen yang sama, transfer
pasif sel efektor imun (limfosit), dan transmisi agen infeksius yang mempengaruhi sistem imun
(contohnya HIV). Reaksi antigen-antibodi menyebabkan berbagai peristiwa yang dimediasi
imun, termasuk hemolisis, reaksi alergi, dan anafilaksis. Transfusi juga dapat menimbulkan
imunosupresi, meskipun mekanismenya masih kontroversial.10-15
Kecepatan pembersihan eritrosit yang ditransfusikan pada pasien dipengaruhi faktor
humoral, yaitu isoantibodi dan alloantibody atau karena kombinasi mekanisme imun humoral
dan selular. Meskipun faktor yang mempengaruhi proses ini kompleks, kecepatan pembersihan
eritrosit yang ditransfusikan dapat diperkirakan dengan pengetahuan tentang antigen yang
terlibat. Beberapa faktor yang menentukan kecepatan bersihan eritrosit dari sirkulasi pada
respon alloimun meliputi :15
Konsentrasi antibodi dalam plasma
Rentang suhu tertentu di mana antibodi bekerja secara efektif
Klas dan subklas antibodi
Densitas antigen eritrosit
Karakteristik biokimia antigen eritrosit
Aktivasi komplemen
Interaktivitas makrofag
Jumlah eritrosit inkompatibel yang ditransfusikan
Adanya komponen komplemen plasma
a. Immediate Hemolytic Transfusion Reactions/ Reaksi Hemolitik Intravascular
Penyebab yang paling sering adalah inkompatibilitas ABO. Reaksi ini terjadi karena
terbentuknya kompleks antigen yang mengaktifasi komplemen (reaksi hipersensitifitas
tipe 2). Dalam hal ini antibodui resepien (IgM) berikatan dengan antigen eritrosit donor
dan mengaktifkan komplemen dan membentuk membrane attack complex (C5-C9) dan
melisiskan eritrosit donor.. Aktivasi dan fiksasi komplemen menyebabkan destruksi
eritrosit dan melepaskan agen vasoaktif (C5a) dan materi prokoagulan, sejumlah besar
kompleks imun dibentuk.
Gambar 9. Kaskade Komplemen11
Gambar 8. Reaksi antibodi-antigen-aktifasi komplemen
Bila didapati gejala reaksi hemolitik (sianosis, tekanan substernal, nyeri abdomen,
hipotensi, perdarahan, hemoglobinuria, dan oliguria) maka transfusi harus segera
dihentikan, pasien diberikan cairan dan diuresis (dengan furosemid atau manitol). Pada
pasien tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar LDH, bilirubin indirek, PT, aPTT,
fibrinogen dan jumlah trombosit. Mayoritas reaksi hemolitik ini disebabkan kesalahan
pada label dan salah mengidentifikasi darah atau pasien.8,10
Gambar 10. Reaksi Hemolitik akut
b. Febril non haemolitic reaction / Demam tanpa hemolisis sel darah merah
Disebabkan oleh reaksi antara HLA sel darah putih donor bereaksi dengan antibody
resipien. Reaksi ini ditandai dengan demam dan menggigil disertai dengan peningkatan
suhu ≥1°C. Diagnosa ditegakkan bila semua kemungkinan demam pada pasien sudah
disingkirkan. Mekanismenya mungkin disebabkan oleh terbentuknya antibodi terhadap
leukosit dan antigen HLA . Pasien dengan riwayat transfusi berulang mempunyai risiko
yang lebih tinggi. Pencegahannya adalah penggunaan filter leukoreduksi pada
komponen darah. Insidennya dapat dikurangi dengan memberikan premedikasi
antipiretik.15
c. Reaksi alergi
Reaksi hipersensitivitas ini timbul karena adanya reaksi antibody terhadap komponen
protein plasma donor. Gejala yang timbul berupa timbulnya urtikaria. Reaksi ringan
dapat diatasi dengan menghentikan transfusi sementara dan memberikan antihistamin
(difenhidramin 50 mg oral ataupun intramuskular). Pencegahan dengan premedikasi
antihistamin diberikan pada pasien dengan riwayat alergi pada transfusi sebelumnya dan
diberikan komponen darah yang telah dicuci.6,15 Reaksi ini biasanya tidak bersifat fatal.
d. Reaksi anafilaktik
Treaksi alergi yang hebat dapat terjadi pada resipien dengan defisiensi IgA sehingga
individu dengan defisiensi IgA sebaiknya menerima plasma dengan kondisi yang sama
atau komponen darah yang sudah dicuci. Gejalanya meliputi sesak, batuk, mual dan
muntah, hipotensi, bronkospasme, kehilangan kesadaran, gagal napas, dan syok. Bila
terjadi reaksi ini transfusi harus segera dihentikan dan pasien diberikan epinefrin. Pada
kasus berat diperlukan pemberian steroid.6,15
e. Transfusion-related acute lung injury
Reaksi ini disebabkan karena antibody donor bereaksi dengan granulosit resepien atau
sebaliknya. Terjadi bila pada plasma donor mengandung antibodi anti-HLA dalam titer
yang tinggi yang menyebabkan agregasi leukosit pada pembuluh darah pulmoner dan
melepaskan mediator vasodilatasi.4 Pada pasien timbul gejala demam, menggigil, batuk
kering, sesak, dan hipotensi 4-6 jam setelah transfusi. Ada foto roentgen thoraks
ditemukan edema pulmoner nonkardiogenik dan infiltrat interstisial bilateral.4 Terapinya
suportif dan prognosisnya bonam, pasien biasanya sembuh.6,15
2.7.2. Reaksi imunologi lambat
a. Delayed Hemolytic Transfusion Reactions/ Reaksi Hemolitik Ekstravaskular
Diperantarai oleh IgG yang diproduksi setelah paparan terhadap sel darah merah donor
melalui transfusi sebelumnya atau dalam kehamilan. Paling sering terjadi pada sistem
Rhesus dan beberapa antigen seperti Kell, Kidd, dan Duffy. Reaksi ini timbul 3-10 hari
sesudah transfusi. IgG dan komplemen yang berikatan dengan membran eritrosit donor
berikatan dengan reseptor spesifik pada makrofag dan kemudian difagositosis atau
dihancurkan oleh sel NK.10
Gejala yang timbul adalah demam, menggigil, nyeri punggung, pinggang, atau nyeri
abdomen. Pada pemeriksaan laboratorium terjdapat hemoglobinemia, hemoglobinuria,
hiperbilirubinemia, peningkatan LDH, dan pemeriksaan DAT positif.10
b. Hemolytic Disease of the Newborn
Gambar 11. Penghancuran eritrosit oleh NK sel
Inkompatibilitas antara ibu dan janin terjadi bila ibu memiliki Rh negatif sedangkan ayah
memiliki Rh positif, sehingga dapat dipastikan bahwa janin memiliki Rh positif. 6,7,8
Gambar 12. Pola penurunan Rhesus
Antibodi ibu dapat melewati plasenta dan menghancurkan sel darah merah.
Risikonya meningkat seiring dengan jumlah kehamilan. Pada populasi Eropa sekitar 13%
bayi mempunyai risiko terjadinya HDN. Jumlah ini dapat diturunkan dengan pencegahan.
Pada kehamilan pertama biasanya tidak ada masalah inkompatibilitas. Namun kehamilan
selanjutnya dapat mengalami masalah yang cukup fatal, risiko ini meningkat pada tiap
kelahiran. 6
Nutrisi dan antibodi ibu masuk melalui sawar darah plasenta ke fetus. Pada
kehamilan pertama biasanya tidak ada antibodi anti Rh+ kecuali ibu pernah kontak
dengan darah Rh+. Pada saat kelahiran terjadi rupture plasenta sehingga beberapa
eritrosit janin masuk ke dalam sistem sirkulasi ibu dan menstimulasi terbentuknya
antibodi terhadap antigen darah Rh+. 6,7
Pada kehamilan selanjutnya terjadi transfer antibodi, termasuk antibodi anti Rh+
yang bereaksi dengan darah fetus dan menyebabkan banyak eritrosit aglutinasi dan lisis.
Pada neonatus terjadi anemia yang dapat mengancam kelangsungan hidup karena
kurangnya oksigen dalam darah. Bayi tersebut biasanya ikterik, demam, edema,
Gambar 13. Inkompatibilitas ibu dan janin
terdapat hepatomegali dan splenomegali. Kondisi ini disebut eritroblastosis fetalis.
Terapi standarnya adalah memberikan transfusi tukar darah Rh+ sesegera mungkin
kepada bayi untuk menghilangkan antibodi anti Rh+.6 Antibodi anti-Rh juga dapat
diproduksi pada individu Rh- karena menerima transfusi yang tidak sesuai. 7,8,15
Inkompatibilitas antara ibu-janin dapat disebabkan golongan darah ABO namun
sangat jarang terjadi, kurang dari 1% kelahiran, dan biasanya gejalanya tidak berat.
Biasanya terjadi bila ibu dengan golongan darah O memiliki janin dengan golongan darah
A, B, atau AB. Gejala biasanya bayi ikterik, anemia ringan, dan peningkatan kadar
bilirubin.6
c. Destruksi trombosit
Mayoritas disebabkan oleh antibodi terhadap HLA pada leukosit dan beberapa kasus
disebabkan oleh antigen trombosit spesifik. Reaksi ini dapat dicegah dengan
penggunaan filter leukoreduksi. 10,15
Reaksi yang timbul berupa purpura pascatransfusi yang terjadi 5-12 hari setelah
transfusi. Mekanismenya masih belum dimengerti. Biasanya terjadi pada wanita yang
telah terimunisasi sewaktu hamil. Biasanya kondisi ini akam membaik dalam waktu 1
minggu – 1 bulan tanpa terapi. Pada kasus yang berat terapi yang efektif adalah
plasmaferesis dan gamma globulin.15
d. Graft-versus-Host Disease (GVHD)
GVHD adalah komplikasi yang sering dari transplantasi allogenic stem cell, dimana
limfosit dari donor menyerang dan tidak dapat dieliminasi oleh pejamu dalam kondisi
imunodefisien. Transfusion-related GVHD dimediasi oleh T limfosit donor yang
mengenali antigen HLA pejamu sebagai benda asing dan mencetuskan respon imun yang
bermanifestasi secara klinis melalui demam, erupsi kulit, diare, dan abnormalitas fungsi
hati. GVHD dapat pula terjadi ketika komponen darah yang mengandung T limfosit yang
viable ditransfusikan ke resipen imunodefisien. GVHD dikarakterisasi dengan aplasia
sumsum dan pansitopenia yang resisten terhadap terapi imunosupresi. Reaksi ini dapat
dicegah dengan iradiasi komponen selular (minimum 2500 cGy) sebelum transfuse ke
pasien 6,11-15
e. Purpura Posttransfusi
Reaksi ini terjadi setelah 7-10 hari transfuse trombosit dan terjadi pada umumnya pada
wanita. Antibody spesifik trombosit ditemukan pada serum resipien dan kebanyakan
antigen dikenal sebagai HPA-1a ditemukan pada reseptor trombosit glikoprotein IIIa.
Trombositopenia lambat ini dikarenakan oleh produksi antibody yang bereaksi baik ke
trombosit donor maupun resipien. Penambahan transfuse trombosit dapat
memperburuk trombositopenia dan harus dihindari. Perawatan dengan dengan
immunoglobulin intravena dapat menetralisir antibody efektor atau plasmaferesis dapat
digunakan untuk menyingkirkan antibody.6,15
2.7.3. Reaksi non imunologi akut
a. Kontaminasi produk darah dengan bakteri
Reaksi ini bersifat akut dan tidak diperantarai reaksi imunitas. Terjadi karena
kontaminasi produk transfuse dengan bakteri Yersinia enterocolitica atau Serratia
liquifaciens. Reaksi timbul secara cepat berupa demam, mual,muntah, shock, sepsis gagal
ginjal karena endotoxin. Transfusi segera dihentikan dan diberikan antibiotik yang sesuai.
b. Circulatory Overload
Terjadi bila trnsfusi diberikan terlalu cepat, sehingga terjadi kalebihan cairan terutama
transfuse pada kasus-kasus gagal ginjal kronik dan pasien jantung. 6
2.7.4. Reaksi non imunologi lambat 9
Toksisitas elektrolit
Kebocoran SDM selama penyimpanan meningkatkan konsentrasi kalium dalam unit.
Neonatus dan pasien dengan gagal ginjal memiliki risiko untuk hiperkalemia.
Pencegahan dilakukan dengan menggunakan SDM yang segar atau washed SDM
merupakan keharusan untuk transfuse neonates karena komplikasi dapat berakibat
fatal.6,13
Sitrat yang biasa digunakan sebagai antikoagulasi dapat pula mengkelasi kalsium dan
demikian menginhibisi jalur koagulasi. Hipokalsemia menyebabkan rasa baal pada
sirkumoral atau sensasi geli pada jari tangan dan ibu jari kaki, dapat disebabkan oleh
karena transfusi cepat multipel. Oleh karena sitrat cepat dimetabolisme menjadi
bikarbonat, infuse kalsium jarang diperlukan. Kalaupun diperlukan, maka kalsium
harus diberikan pada jalur infus yang berbeda.14
Reaksi hipotensi
Hipotensi sementara dapat ditemukan pada pasien yang menerima transfuse yang
juga mengkonsumsi penghambat ACE. Hal ini terjadi oelh karena beberapa produk
darah mengandung bradikinin yang secara normal didegradasi oleh ACE, sehingga
kadar bradikinin dapat meningkat. Biasanya keadaan ini akan kembali ke normal
dengan sendirinya.6
Imunomodulasi
Transfusi darah alogenik memiliki efek imunosupresif. Transfusi multipel pada
pasien dengan transplantasi ginjal memiliki kecenderungan penolakan graft yang
lebih kecil, dan transfuse dapat menghasilkan keluaran yang kurang baik pada pasien
kanker dan meningkatkan risiko infeksi. Transfusi komponen leukosit diduga
berperanan pada hal ini. Produk reduksi leukosit dapat mengurangi efek
imunosupresif ini.6
Overload Fe
Setiap unit PRBC mengandung 200-250 mg besi. Gejala dan tanda overload besi yang
mempengaruhi endokrin, fungsi hepar dan jantung timbul setelah transfusi 100 unit
PRC dengan total besi mencapai 20 g di dalam tubuh. Pada kasus demikian,
penggunaan pengobatan alternatif dengan eritropoetin dan pembatasan transfusi
sangat bermanfaat. Deferoxamin dan berbagai agen kelasi tersedia, namun respon
klinis seringkali sub-optimal.6
2.8. Tatalaksana Reaksi Transfusi
Gambar 14. Alur Tatalaksana Reaksi Transfusi
2.9. Transfusion Transmitted Disease (TTD)
2.9.1. Etiologi TTD
Transfusi dapat diikuti infeksi berbagai mikroorganisme, hanya sebagian dapat dideteksi dengan
metode skrining yang ada. Mikroorganisme yang didapati dalam komponen darah yaitu:16
o Virus :
Virus Hepatitis C, Virus Hepatitis B, Virus Hepatitis G, HIV , Cytomegalo virus, Human T
lymphotrophic virus, Parvovirus B-19.
o Bakteri : sifilis
o Parasit : malaria
Saat ini seluruh darah donor di PMI di Indonesia diperiksa virus hepatitis C, antigen virus
hepatitis B, HIV, dan sifilis.5,9
Tabel 5. Infeksi Menular Melalui Transfusi5
Infeksi Risiko/ Unit Transfusi
Hepatitis C 1 : 103.000
Hepatitis B 1 : 63.000
HTLV-I/ II 1 : 640.000
HIV-1 1 : 675.000
2.9.2. Pencegahan TTD
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi angka kejadian TTD melalui inaktivasi agen
infeksius melalui pengolahan komponen darah melalui metode inaktivasi, Metode inaktivasi yang
diinginkan adalah metode yang paling sedikit mempengaruhi fungsi dari komponen darah yang akan
ditransfusi dan efektif melawan agen infeksius. Beberapa metode akan diuraikan di bawah ini:16
1. Solvent detergent method
Metode ini digunakan untuk mengganggu membrane lipid virus tanpa mempengaruhi
kebanyakan plasma protein, kecuali protein S. Di samping itu, metode ini juga efektif dalam
menghancurkan virus HIV, HTLV, EBV, HBV, dan HCV, tetapi tidak efektif terhadap HAV dan
parvovirus. Metode ini digunakan pada sediaan faktor koagulasi.
2. Metilen biru
Metilen biru adalah zat pewarna elemen selular. Ketika terkena cahaya, zat ini menjadi aktif dan
mengganggu membran sel dimana ia melekat. Metode ini telah digunakan secara luas di Eropa
untuk menginaktivasi virus. Keterbatasan dari metode ini mencakup ketidakefektivan terhadap
pathogen intraselular dan berinteraksi dengan faktor koagulasi. Di samping itu, metilen blue juga
dapat memberikan pewarnaan pada kulit resipien yang menerima produk transfusi dalam
jumlah yang besar. Filter untuk zat ini telah tersedia untuk mengurangi efek samping tersebut.
3. Psoralen sintetis
Amotosafen, salah satu bentuk agen psoralen sintetis, beraksi setelah terpapar dengan sinar UV
untuk membentuk ikatan silang pada rantai asam nukleat dan menghentikan replikasi patogen.
Metode ini mampu mengeradikasi seluruh agen patogen, namun memiliki kekurangan karena
berpengaruh pada aktivitas trombosit.
4. Riboflavin
Riboflavin atau vitamin B2 digunakan untuk menginaktivasi patogen pada trombosit dan plasma
dan telah disetujui penggunaannya di Eropa. Riboflavin berikatan dengan DNA dan RNA untuk
membentuk ikatan silang ketika terfotoaktivasi.
5. Leukodeplesi
Beberapa agen infeksius diketahui tersembunyi pada komponen leukosit, dengan demikian
transmisi patogen tersebut dapat dikurangi dengan deplesi leukosit, salah satunya adalah virus
CMV yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada penerima transplantasi dan
pasien kanker yang imunokompromais.
2.10. Alternatif Transfusi Darah Alogenik
Oleh karena banyaknya risiko yang dihadapi terhadap komponen transfuse, maka alternatif lain yang
lebih aman terus dikembangkan. Metode operatif juga kian mengalami perkembangan untuk
mengurangi kehilangan darah pada saat operasi. Di samping itu, beberapa metode juga telah
dikembangkan, yaitu:18,19
1. Autologous (acute) normovolemic hemodilution
Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan darah pasien (2-4 unit) ke dalam kantong darah
dengan antikoagulan di awal operasi, bersamaan dengan penggantian cairan dengan
kristaloid atau koloid untuk mempertahankan normovolemia. WB pasien kemudian dapat
ditransfusikan kembali apabila diperlukan. Metode ini masih banyak menimbulkan
kontroversi, namun memiliki manfaat untuk keamanan transfuse dan telah menjadi
prosedur rutin di negara-negara maju.18
2. Preoperative autologous donation
Secara umum, metode ini dapat membatasi komplikasi infeksi, imunologi, dan hemolisis dari
transfusi dari alogenik. Meskipun diterima oleh pasien dan banyak dokter bedah, metode ini
memiliki beberapa kerugian, mencakup ketidaknyamanan pasien dan biaya yang lebih besar
untuk memproses darah. Dari penelitian diketahui bahwa sepertiga dari darah tersebut juga
tidak digunakan. Pasien juga seringkali jatuh dalam keadaan anemia ketika operasi akan
dilakukan, sehingga meningkatkan kemungkinan diperlukannya transfuse. Komplikasi
imunologi seperti TRALI juga masih mungkin terjadi akibat proses penyimpanan.18
3. Intraoperative autotransfusion/cell salvage
Teknik ini memberikan keuntungan yang besar untuk mencegah transfusi darah alogenik.
Darah dari lapangan operasi dikumpulkan dan diberikan antikoagulan. Kemudian darah ini
dikonstrasikan dan dicuci atau difiltrasi, dan dikembalikan ke pasien melalui transfusi
autolog. Kontaminan berbahaya, seperti kalium, lemak, dan hemoglobin bebas disingkirkan
dan darah yang telah dicuci dikembalikan melalui filter darah 40 mikro meter.
Kontra indikasi prosedur ini adalah tercemarnya lapangan operasi oleh agen
infeksius, keganasan, operasi sesar, dan sickle cell disease. Tetapi, perkembangan pada
proses filtrasi, khususnya dengan penggunaan filter leukosit, kontra indikasi di atas tidak lagi
menjadi ikatan.18
4. Eritropoetin
Penggunaan protein perangsang eritropoesis untuk tatalaksana anemia yang diinduksi oleh
kemoterapi telah ditetapkan secara resmi. Human recombinant erythropoietin (rHuEPO)
terbukti mampu meningkatkan Hb dan Ht dan menurunkan jumlah transfusi SDM pada
pasien yang dirawat di ICU. Namun harganya yang mahal membatasi penggunaannya,
meskipun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa harga rHuEPO sebanding dengan
harga yang dikeluarkan untuk keperluan transfusi darah alogenik. Saat ini pasien dengan
kadar Hb suboptimal yang akan menjalani operasi dapat diterapi dengan obat ini dengan
angka efikasi yang memuaskan.18,19
5. Faktor VIIa rekombinan
Agen protrombotik ini merupakan perangsang produksi thrombin yang sangat poten.
Kemampuannya untuk mengaktivasi jalur pembekuan tanpa melalui tissue factor
mengakibatkan aktivasi thrombin yang berlipat. Namun, harganya yang mahal dan beratnya
komplikasi yang ditimbulkan membuat penggunaannya sangat terbatas.18,19
6. Antifibrinolisis
Saat ini beberapa antifibrinolisis telah beredar dengan cukup luas di kalangan praktisi
kesehatan, seperti asam traneksamat dan epsilon aminocaproic acid (EACA). Agen-agen ini
terbukti mampu mengurangi jumlah perdarahan selama periode operasi dan perdarahan
patologis lainnya.18,19
7. Oxygen-carrying blood substitute
Agen pengganti fungsi SDM ini dibagi menjadi 2 tipe, yaitu fluorocarbon-based synthetic
oxygen carriers dan stroma-free, cross-linked, atau polymerized human atau nonhuman
hemoglobin preparation. Komposisi ini dapat berguna pada keadaan kehilangan darah akut
yang massif, seperti trauma dan operasi mayor dan dapat pula berguna untuk pasien yang
atas dasar keagamaan menolak untuk ditransfusi.19
BAB III PENUTUP
1. Transfusi darah adalah tindakan memberikan darah atau komponen-komponen darah donor
kepada resipien. Dengan semakin berkembangnya pengetahuan tentang darah, maka
penggunaan transfusi pun semakin luas.
2. Pada komponen darah ditemukan antigen-antigen, beberapa di antaranya berperan dominan
dan digunakan dalam menentukan golongan darah yaitu Sistem Golongan Darah ABO dan Sistem
Golongan Darah Rhesus.
3. Darah transfusi dipisahkan menjadi komponen-komponen yang diberikan sesuai dengan
kebutuhan resipien untuk memaksimalkan efek dan mengurangi komplikasi.
4. Komplikasi yang dapat terjadi pada transfusi meliputi reaksi yang dicetuskan oleh sistem imun,
karena kandungan komponen darah dan infeksi yang ditularkan melalui komponen darah.
5. Pemberian transfusi darah harus memperhatikan indikasi yang tepat, penggunaan komponen
darah yang tepat dan kompatibel, adanya skrining yang teliti dan adekuat untuk mencegah
berbagai macam penularan infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Paul M. Transfusion medicine: an overview and update. Clinchem 2000; 46: 1270-1276.
2. Vamvakas EC, Blajchman MA. Transfusion-related mortality: the ongoing risks of allogeneic
blood transfusion and the available strategies for their prevention. Blood. 2009 Apr
9;113(15):3406-17. Epub 2009 Feb 2.
3. Spinella PC, Perkins JG, Grathwohl KW, Repine T, Beekley AC, Sebesta J, Jenkins D, Azarow K.
Risks associated with fresh whole blood and red blood cell transfusions in a combat support
hospital. Crit Care Med. 2007 Nov;35(11):2576-81.
4. Wake DJ, Cutting WA. Blood transfusion in developing countries: problems, priorities and
practicalities. Trop Doct. 1998 Jan;28(1):4-8.
5. Goodnough LT, Shander A, Brecher ME. Transfusion medicine: looking to the future. Lancet.
2003 Jan 11;361(9352):161-9.
6. Jeffrey, Dzieczkowski, Kenneth, dan Anderson. 2005. Transfusion Biology and Therapy in:
Harrison’s Principle of Internal Medicine. Edisi 16. Philadelphia: McGraw Hill.
7. Abbas, A, Lichtman, A, and Pilai, S. 2007. Transplantation Immunology in: Cellular and
Molecular Immunology. Edisi 6. Philadelphia: Saunders Elsevier. Halaman 392
8. Kuby. 2007. Immunology. Edisi 2. Philadelphia: Saunders Elsevier. Halaman 18-186
9. Richard C, et al. 2002. Practice Guidelines for Transfusion. Edisi 2. Washington : Ameerican
National Red Cross.
10. Jorge L, Eyal O. Alloimmunization from Transfusion. E medicine Jun 8, 2009.
www.emedicine.com. Diunduh pada 1 Maret 2009
11. Goodnough LT. Risks of blood transfusion. Crit Care Med. 2003 Dec;31(12 Suppl):S678-86.
12. Sandler SG, Yu H, Rassai N. Risks of blood transfusion and their prevention. Clin Adv Hematol
Oncol. 2003 May;1(5):307-13.
13. Goodnough LT. Risks of blood transfusion. Anesthesiol Clin North America. 2005
Jun;23(2):241-52, v.
14. Harris DJ. Immune complications associated with chronic transfusion. J Infus Nurs. 2002 Sep-
Oct;25(5):316-9.
15. Eric MK. Transfusion Reaction. E medicine Dec 10, 2009. www.emedicine.com. Diunduh pada
1 Maret 2009.
16. Mudassar Z, Hessam M. Transfusion Transmitted Disease. E medicine Nov 7, 2008.
www.emedicine.com. Diunduh pada 1 Maret 2009
17. Corash L. New technologies for the inactivation of infectious pathogens in cellular blood
components and the development of platelet substitutes. Baillieres Best Pract Res Clin
Haematol. 2000 Dec;13(4):549-63.
18. Lewis JK, Linda LM. Transfusion and Autotransfusion. E medicine Jun 26, 2008.
www.emedicine.com. Diunduh pada 1 Maret 2009
19. Kenneth K. Lineage-specific hematopoetic growth factor. NEJM 2006 May; 354: 2034-2045.