makalah manlab

Embed Size (px)

Citation preview

MAKALAH

PERANAN LABORATORIUM SAINS

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Manajemen Laboratorium yang dibina oleh Bapak Kadim Masjkur

oleh Putri Wulandari Evi Cholijayanti Putri Purbosari 209321417381 209321417385 209321423346

JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI MALANG FEBRUARI 2012

BAB I. PENDAHULUAN

Laboratorium adalah tempat yang digunakan orang untuk menyiapkan sesuatu atau melakukan kegiatan ilmiah. (Subiyanto 1988). Tempat yang dimaksud dapat berupa sebuah ruang tertutup yang biasa disebut sebagai gedung laboratorium atau ruang laboratorium, dan dapat pula berupa sebuah tempat terbuka seperti kebun, hutan, atau alam semesta. Laboratorium ilmiah biasanya dibedakan menurut disiplin ilmunya, misalnya laboratorium fisika, laboratorium kimia, laboratorium biokimia, laboratorium komputer, dan laboratorium bahasa. Keberadaan dan keadaan suatu laboratorium bergantung kepada tujuan penggunaan laboratorium, peranan atau fungsi yang akan diberikan kepada laboratorium, dan manfaat yang akan diambil dari laboratorium. Berbagai laboratorium yang dikenal saat ini antara lain adalah laboratorium industri dalam dunia usaha dan industri, laboratorium rumah sakit dan laboratorium klinik dalam dunia kesehatan, laboratorium penelitian dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, serta laboratorium di perguruan tinggi dan di sekolah dalam dunia pendidikan. Dalam uraian makalah selanjutnya hanya akan dikemukakan mengenai peranan laboratorium fisika di sekolah. Peranan atau fungsi laboratorium fisika sekolah adalah sebagai salah satu sumber belajar fisika di sekolah, atau sebagai salah satu fasilitas penunjang proses pembelajaran fisika di sekolah, dan laboratorium dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan berbagai kompetensi siswa yang menjadi tujuan proses pembelajaran fisika di sekolah. Adapun peranan laboratorium sains tersebut dapat dipandang dari 1). Kurikulum sains, 2). Perkembangan Berpikir Siswa, dan 3). Implementasi Pembelajaran Sains.

BAB II. ISI

A. Peranan Laboratorium Sains Dipandang dari Kurikulum Sains Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) guru fisika sangat dituntut dalam kreatifitas membuat alat-alat sederhana yang mampu menjelaskan teori dan konsep fisika, sesuai dengan peralatan yang ada dan kondisi daerahnya agar tervisualisasi sehingga mudah dipahami dan dimengerti siswanya. Untuk itu peranan laboratorium fisika menjadi sangat penting, karena laboratorium merupakan pusat proses belajar mengajar untuk mengadakan percobaan, penyelidikan atau penelitian (Ar1, 2007). Adapun peranan laboratorium sekolah antara lain : 1. Laboratorium sekolah sebagai tempat timbulnya berbagai masalah sekaligus sebagai tempat untuk memecahkan masalah tersebut. 2. Laboratorium sekolah sebagai tempat untuk melatih keterampilan serta kebiasaan menemukan suatu masalah dan sikap teliti. 3. Laboratorium sekolah sebagai tempat yang dapat mendorong semangat peserta didik untuk memperdalam pengertian dari suatu fakta yang diselidiki atau diamatinya. 4. Laboratorium sekolah berfungsi pula sebagai tempat untuk melatih peserta didik bersikap cermat, bersikap sabar dan jujur, serta berpikir kritis dan cekatan. 5. Laboratorium sebagai tempat bagi para peserta didik untuk

mengembangkan ilmu pengetahuannya (Emha, 2002). 1. Analisis kurikulum Sains SMP/MTs Kurikulum 2004 untuk mata pelajaran sains SMP dan MTS terdiri dari 14 standar kompetensi. Dari 14 standar itu diantarannya yaitu standar

kompetensi ke 10 sampai dengan ke 14 terkait dengan materi pokok fisika. Kelima standar kompetensi tersebut dan materi pokok yang terkait ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 2.1 Standar Kompetensi mata pelajaran sains SMP dan MTS yang terkait dengan materi pokok fisika.

Standar Kompetensi Standar Kompetensi (10) Standar Kompetensi (11) Standar Kompetensi (12)

Materi Pokok Pengukuran dan mekanika Zat dan Kalor Tata Surya,tanah dan udara yang terkait masalah lingkungan

Standar Kompetensi (13) Standar Kompetensi (14)

Getaran,gelombang dan optik Kelistrikan dan kemagnetan

Masing-masing standar kompetensi pada tabel 2.1 dijabarkan ke dalam beberapa kompetensi dasar yang pencapaiannya dinyatakan dalam beberapa indikator. Ada beberapa indikator yang secara eksplisit berkaitan dengan

kegiatan laboratorium tetapi ada juga yang tidak. Distribusi Penjabaran tersebut ditunjukkan pada tabel 2.2 Jadi secara keseluruhan dalam mata pelajaran sains SMP dan MTS terdapat lima standar kompetensi yang terkait dengan materi pokok fisika.

Kelima standar kompetensi tersebut di jabarkan menjadi 32 kompetensi dasar 143 indikator. Dari 143 indikator terdapat 45 indikator (sekitar 31%) yang secara eksplisit terkait dengan kegiatan laboratorium (lihat tabel 2.2) Tabel 2.2 Distribusi Kompetensi Dasar dan indikator dari standar kompetensi mata pelajaran sains SMP dan MTS yang terkait dengan materi pokok fisika. Standar Kompetensi Jumlah Kompetensi Dasar Standar Kompetensi(10) Standar Kompetensi(11) Standar Kompetensi(12) Standar Kompetensi(13) Standar Kompetensi(14) Jumlah 10 8 3 5 6 32 48 26 14 24 31 143 16 11 0 9 9 45 Jumlah Indikator Jumlah Indikator kegiatan Lab

Berdasarkan informasi yang dipaparkan pada tabel 2.1 dan 2.2 dapat di identifikasikan bahwa kegiatan laboratorium dibutuhkan pada pembelajaran

materi pokok pengukuran dan mekanika, zat dan kalor, gelombang dan optik, kelistrikan dan kemagnetan. Analisis tersebut didasarkan pada indikator yang secara eksplisit menyatakan ukuran keberhasilan pencapaian kompetensi yang terkait dengan kegiatan laboratorium. Tentu saja masih banyak indikator yang tidak secara eksplisit dinyatakan terkait dengan kegiatan laboratorium, tetapi akan lebih baik bila pembelajarannaya melibatkan kegiatan laboratorium. Selain itu,kegiatan laboratorium juga diperlukan dalam membelajarkan kompetensi tentang bekerja ilmiah yang pelaksanaannya terintegrasi dengan materi pokok. Walaupun berdasarkan analisis hanya terdapat 31 % indiakator yang secara eksplisit terkait dengan kegiatan laboratorium, tetapi bila ditambah dengan indikator tentang bekerja ilmiah dan indikator lain yang pembelajarannya akan lebih efektif bila melibatkan kegiatan laboratorium, maka dalam pelaksanaannya kebutuhan terdapat kegiatan laboratorium bisa membengkak dari angka itu. Apalagi bila digunakan asumsi bahwa kurikulum merupakan standar minimum pembelajaran yang harus dilaksanakan di kelas maka dapat dimaknai bahwa kurikulum 2004 mata pelajaran sains SMP/MTS pada materi pokok fisika menuntut minimum 31 % pembelajarannya melibatkan kegiatan laboratorium. Kebutuhan minimum terhadap kegiatan laboratorium sekitar 31% 50 % secara kuantitatif

yang bisa membengkak

mungkin sampai sekitar

menunjukkan bahwa kurikulum tersebut menyerupai kurikulum berbasis inkuiri (Lazarowith & Tamir 1994). Secara kualitatif kurikulum tersebut juga

mencantumkan cukup banyak indikator yang menuntut kegiatan laboratorium dilaksanakan secara induktif (inkuiri ilmiah) yang ditunjukkan antara lain dengan kata-kata: menemukan, menyelidiki, merancang, dan menyimpulkan. Terdapat paling tidak 23 indikator (atau sekitar 51 % dari keseluruhan indikator yang terkait dengan kegiatan laboratorium fisika) menggunakan kata-kata tersebut. Analisis ini dilakukan terhadap dokumen kurikulum 2004 untuk mata pelajaran sains SMP/MTS. Walaupun berdasarkan analisis menunjukkan bahwa dokumen kurikulum cenderung berbasis inkuiri, tetapi proses pelaksanaanya di sekolah bisa jauh menyimpang, bergantung antara lain pada dukungan fasilitas laboratorium, kesiapan guru, dan peran kepala sekolah. Oleh karena itu upaya membekali kemampuan mahasiswa calon guru fisika dengan kemampuan

merancang dan melaksanakan kegiatan laboratorium berbasis inkuiri

relevan

dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan melalui pelaksanaan pembelajaran di kelas sesuai dengan dokumen kurikulum yang berlaku.

2. Analisis Kurikulum Sains/Fisika SMA dan MA Sesuai dokumen Kurikulum 2004, mata Pelajaran Fisika SMA dan MA terdri dari 11 standar kompetensi. Satu standar kompetensi, yaitu tentang bekerja ilmiah, tidak terikat pada materi pokok tertentu, dan pembelajarannya terintegrasi dengan materi pokok. Sepuluh standar kompetensi yang terikat dengan materi pokok fisika dijabarkan menjadi 42 kompetensi dasar yang ukuran

ketercapaiannya dinyatakan dalam 205 indikator. Keseluruhan kompetensi dasar dan indikatornya itu terdistribusi sebagai berikut. Enambelas kompetensi dasar (atau sekitar 38%) beserta 77 indikatornya (atau sekitar 38%) dialokasikan pada kelas X. Sembilan kompetensi dasar (atau sekitar 21%) beserta 40 indikatornya (atau sekitar 20%) dialokasikan pada kelas XI. Tujuh belas kompetensi dasar (atau sekitar 40%) beserta 88 indikatornya (atau sekitar 43%) dialokasikan pada kelas XII. Pada kelas X, dari 77 indikator terdapat 23 indikator yang secara eksplisit menyatakan keterkatannya dengan kegiatan laboratorium. Contohnya adalah menyiapkan instrumen secara tepat serta melakukan pengukuran dengan benar berkaitan dengan besaran pokok panjang, massa, waktu, dengan

mempertimbangkan aspek ketepatan (akurasi), kesalahan matematis yang meemrlukan kalibrasi, ketelitian (presisi) dan kepekaan (sensitivitas). Contoh lainnya adalah menyimpulkan karakteristik gerak lurus beraturan melalui percobaan dan pengukuran besaran-besaran terkait. Pada kelas XI terdapat indikator, dan dari keseluruhannya itu tdak ada indikator yang secara eksplisit menyatakan keterkaitannya dengan praktikum atau kegiatan laboratorium. Sedangkan pada kelas XII terdapat 88 indikator. Dari 88 indikator itu hanya ada dua indikator yang secara eksplisit terkait dengan kegiatan percobaan yaitu mengukur panjang gelombang masing-masing komponen cahaya natrium dengan menggunakan difraksi cahaya oleh kristal kisi difraksi, dan merancang percobaan untuk mengukur cepat rambat gelombang bunyi.

Dengan demikian untuk mata pelajaran fisika SMA dan MA dari 205 indikator yang dijabarkan dari 10 standar kompetensi terdapat 25 (sekitar 12%) indikator yang secara eksplisit terkait langsung dengan kegiatan laboratorium. Walaupun jumlah itu relatif sedikit, tetapi bila ditambah dengan indikator dari standar kompetensi tentang bekerja lmiah yang berjumlah 41 indikator, jumlah indikator yang proses pencapaiannya memerlukan kegiatan laboratorium menjadi sekitar 27%. Jumlah tersebut bisa lebih besar dari itu. Guru harus kreatif dan berpegang pada asumsi bahwa kurikulum merupakan standar minimum pembelajaran yang harus dilaksanakan. Standar kompetensi bekerja ilmiah, yaitu mendemonstrasikan pengetahuan tentang pengukuran gejala-gejala alam dalam bekerja ilmiah: memecahkan masalah, bersikap ilmiah, dan berkomunikasi ilmiah, dijabarkan menjadi empat kompetensi dasar yaitu (1) merencanakan penelitian ilmiah dalam bidang fisika, (2) melaksanakan penelitian ilmiah dalam bidang fisika, (3) mengkomunikasikan hasil penelitian ilmiah, dan (4) bersikap imiah. Pembelajaran kompetensi tersebut selain membutuhkan kemampuan guru dalam penguasaan produk sains juga menuntut guru dalam penguasaan keterampilan proses. Oleh karena itu, hal tersebut hanya dapat dicapai dengan adanya laboratorum sains yang menunjang kegiatan pembelajaran fisika di sekolah.Hal ini menunjukkan laboratorium pendidikan sains berperan penting bila dipandang dari kurikulumnya.

B. Peranan Laboratorum Sains Dipandang dari Perkembangan Berpikir Siswa 1. Teori Perkembangan Kemampuan Berpikir Sesuai pandangan Piaget (Lawson,1995), struktur pengetahuan

deklaratif merupakan hasil pembentukan (Construction) yang bergantung pada tindakan (interaksi individu dengan lingkungannya), sehingga individu harus belajar bagaiamana mengelola tindakannya. Untuk dapat bertindak, diperlukan pengetahuan prosedural yang dapat menuntunnya. Jadi proses mengetahui atau memperoleh pengetahuan deklaratif melibatkan pengetahuan prosedural

(keterampilan berpikir). Oleh karena itu pembelajaran fisika diharapkan juga mampu mengembangkan pengetahuan prosedural itu. Piaget telah mengembangkan teori perkembangan pengetahuan

prosedural atau pengetahuan operatif, yang terdiri dari empat tahap, yaitu sensori motor, (0-18 bulan), pra operasional (18 bulan 7 tahun), operasional konkrit (7-11 tahun), dan operasional formal (11-15 tahun). Berdasarkan hasilhasil peneliitian, Lawson (1995) memberikan interprestasi tentang

perkembangan keterampilan berpikir pada setiap tahap itu sebagai berikut. Pada tahap 1, usia 0-18 bulan walaupun anak belum mampu membangun argumentasi verbal jikadanmaka. Tetapi tingkah lakunnya sudah

menunjukkan kemampuan berpikir dengan pola interferensi logika tersebut. Interpretasi itu didasarkan pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa anak usia 5 bulan dapat menemukan sebuah bola yang diperlihatkan di depan anak kemudian dimasukkan di bawah salah satu dari dua buah penutup (kotak). Tingkah lakunnya menunjukkan bahwa ia berpikir dengan pola

jikadan,maka. Seperti berikut. Jika bola masih ada yaitu diletakkan di dalam kotak (walaupun saya

tidak dapat melihatnnya) Dan saya menuju tempat bola itu disembunyikan

Maka saya akan menemukan bola itu Representasi anak tersebut merupakan repsentasi empiris, sebab

representasinnya didasarkan pada pengalaman empiris, sebab representasi di dasarkan pada pengalaman empiris. Pada tahap 2 anak usia lebih dari 18 bulan mampu menemukan obyek yang secara empiris ia tidak mengetahuinya. Sebuah bola diletakkan di telapak tangan seseorang dan diperlihatkan kepada anak kemudian bola di genggam, genggaman itu dilewatkan melalui tiga kotak tertutup dan bola diletakkan di dalam salah satu kotak itu (tanpa memberikan petunjuk dimana bola

diletakkan). Penelitian Piaget yang di sebut serial invisible displacement itu menunjukkan bahwa anak akan mencari bola di tempat terakhir ia melihatnya, yaitu tangan sesorang tadi, tetapi ia tidak menemui bola itu. Anak usia di bawah 18 bulan setelah melihat di tangan seseorang tidak ada bola ia tidak melanjutkan

pencariannya, tetapi pada anak usia di atas 18 bulan akan meneruskan pencariannya dan mampu menemukan bola itu. Tingkah laku anak usia di atas 18 bulan itu juga menunjukkan bahwa ia berpikir dengan pola jika dan maka Jika Dan bola berada di dalam salah satu kotak saya membuka setiap kotak

Maka saya akan menemukan bola itu Jadi perbedaan antara tahap perkembangan pertama dan kedua bukan terletak pada pola berpikir jikadanmaka, tetapi terletak pada konteks dimana pola tersebut dapat diterapkan. Pada tahap kedua anak diberi tugas yang lebih sulit, yatu kepadanya tidak diperlihatkan di kotak mana bola diletakkan, tetapi ia dapat menemukannya. Berarti pada tahap kedua anak mampu memulai berpikir dengan representasi mental hipotetik, sedangkan pada tahap pertama anak masih menunjukkan representasi mental empirik. Kesamaannya, pada kedua tahap bahasan verbal belum digunakan dalam berpikir dengan pola jikadanmaka dan pada kedua tahap pola berpikir berawal dari pengalaman empirik. Pada tahap 3, perkembangan anak usia 7 tahun sampai awal remaja (11 tahun), pola berpikir jika dan maka digunakan dengan media bahasa verbal untuk menamai, menggambarkan, menggolongkan objek, perstiwa, dan situasi di lingkungannya. Anak usia 7 tahun mulai berpikir melalui pengalaman empirik, kemudian melakukan proses induksi untuk menggeneralisasikan hasil observasi terhadap objek, peristiwa, dan situasi yang bersifat khusus menjadi lebih umum. Pada tahap 4, perkembangan berpikir anak usia 11 tahun ke atas, penguasaan bahasa verbal yang sudah meningkat lebih banyak digunakan dalam pola berpikir deduktif hipotetik dari pada representasi empiric (induksi empirik). Perbedaannya dengan tahap kedua, pada tahap keempat pola berpikir hipotetik anak dinyatakan menggunakan bahasa verbal, sedangkan pada tahap kedua belum. Perbedaan antara tahap ketiga dan keempat bukan terletak pada pola berpikir jikadanmaka, tetapi pada faktor yang mengawali pola itu. Pada tahap ketiga proses berpikir berawal dari representasi empirik dengan melakukan induksi yang merupakan persepsi langsung dari rangsangan lingkungan, sedangkan pada tahap keempat proses berpikir dimulai dari representasi hipotetik dengan menggunakan abduction, yaitu suatu proses menciptakan hipotesis

alternatif dengan cara memanfaatkan atau meminjam pengetahuan atau gagasan yang telah dimiliki dan berhasil untuk menjelaskan suatu masalah. Jadi berpikir pada tahap ketiga merupakan aktivitas respon atau reaksi dari lingkungan, sehingga ketika anak ditanya apa yang menyebabkan suatu peristiwa terjadi, untuk menjawabnya ia akan melakukan pengamatan terhadap peristiwa itu. Lain halnya pada tahap keempat, berpikir pada tahap ini merupakan aktivitas reflektif, bebas (self-contained), dan proaktif.

2. Implikasi Perkembangan Berpikir Siswa terhadap Pembelajaran Sains Implikasi dari pemahaman terhadap teori perkembangan berpikir tersebut pada pembelajaran fisika adalah bagaimana membantu siswa mengalami pergeseran proses berpikir siswa. Jadi tugas guru adalah memfasilitasi perkembangan berpikir siswa. Di tingkat SD, sains akan lebih sesuai dibelajarkan melalui pengalaman empirik yang melibatkan pengalaman langsung

(Brotosiswoyo, 2002), sehingga memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan melalui proses induksi (empirical inductive). Selain itu, bertolak dari pengamatan langsung itu siswa juga mulai dilatih untuk mengembangkan inferensi logika jika danmaka Menurut Piaget mulai usia sekitar 11 tahun anak sudah mulai mampu berpikir hypothetical deductive, yaitu berpikir yang berawal dari suatu kemungkinan, maka pembelajaran di SMP diharapkan dapat memfasilitasi terjadinya pergeseran tingkat berpikir ke aarah tersebut dengan mulai melatih mengembangkan inferensi logika jikadanmaka yang berawal dari kemungkinan-kemungkinan (hipotesis). Di tingkat SMA kemampuan-kemampuan tersebut perlu terus dikembangkan sehingga menjadi kebiasaan dalam pemecahan masalah. Dalam IPA, termasuk fisika, kemampuan berpikir dan pemecahan masalah (problem solving) bukanlah hal yang asing. Dalam semua proses penemuan produk ilmiah, yang terdiri dari konsep dan sistem konseptual (prinsip, teori, hokum), ilmuwan menempuh prosedur yang menuntut kemampuan berpkir dan problem solving tingkat tinggi yang sering disebut dengan istilah proses ilmiah atau kerja ilmiah (doing science). Oleh karena itu, sesuai dengan karakteristik tersebut pendidikan sains/fisika diharapkan tidak hanya sekedar transfer

pengetahuan hasil temuan para ilmuwan, tetapi juga mampu mengembangkan kemampuan berpikir melalui para ilmuwan, tetapi juga mampu mengembangkan kemampuan berpikir melalui proses bekerja ilmah seperti yang dilakukan oleh ilmuwan. Kemampuan berpikir yang dikembangkan antara lain tentang berpikir proporsi, rasio, analogi, prediksi, dan kemampuan proses ilmiah lainnya, seperti merumuskan hipotesis, mengidentifikasi variable, merancang percobaan dan melakukannya, membuat dan menafsirkan grafik, menafsirkan kesalahan pengukuran, menarik kesimpulan. Dengan melakukan praktikum, siswa dapat lebih memahami dan mendalami ilmu fisika karena kembali pada hakekatnya sendiri bahwa IPA adalah pembelajaran yang diperoleh melalui pengalaman empirik melalui suatu proses ilmiah tertentu dengan mengembangkan sikap ilmiah. Proses ilmiah tersebut hanya dapat diperoleh siswa dengan melakukan sendiri dan menemukan sendiri ilmunya melalui kegiatan praktikum di laboratorum pendidikan sains. Hal ini menunjukkan pentingnya laboratorium sains untuk menunjang perkembangan berpikir siswa.

C.

Peranan

Laboratorium

Sains

Dipandang

dari

Implementasi

Pembelajaran Sains 1. Teori Pembelajaran Behavioristik dan Konstruktivistik a. Teori Behavioristik Pandangan teori pemodelan tingkah laku, mengisyaratkan bahwa : 1. Manusia dapat belajar dari contoh (model) sebelum melakukan tingkah laku yang dimodelkan itu. 2. Tingkah laku yang akan dilakukan dengan baik apabila tingkah laku tersebut jelas dan tidak terlalu kompleks 3. Pemberian kesempatan kepada siswa untuk melatih keterampilan-

keterampilan baru merupakan hal yang sangat penting. Thorndike, salah seorang penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang sisebut stimulus (S) dengan respon yang diberikan atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya

di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbeagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan koneksi atau ikatan-ikatan antara situasi dan respon tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon. Selanjutnya, Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hokum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon serting terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hokum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan yang telah terbentuk akibat tejadinya asosiasi antara stimulus dan respon dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat. Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hampir senada dengan hukum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan negatif adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku.

b. Teori Konstruktivistik Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori

konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 8). Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut ( Nur, 2002 :8). Teori Konstruktivisme dikembangkan oleh Vygotsky yang menyimpulkan bahwa peserta didik mengkonstruksikan pengetahuan atau menciptakan makna sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam suatu konteks sosial. Teori ini sejalan dengan pemikiran Piaget yang menyatakan bahwa setiap individu menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan interaksi antar apa yang telah dimiliki, diketahui, dipercayai, dengan fenomena, ide, atau informasi baru yang dipelajari. Dengan demikian, dalam proses belajar siswa telah membawa pengertian dan pengetahuan awal yang harus ditambah, direvisi, dimodifikasi, diperbaharui, dan diubah oleh informasi baru yang didapat dalam proses belajar. Kerangka pemikiran konstruktivisme menantang tenaga pengajar dan perancang pembelajaran untuk mampu menciptakan, mengkreasikan lingkungan belajar yang memungkinkan tenaga pengajar dan mahasiswa berpartisipasi aktif

dalam proses berpikir, mencari, menemukan, dan menciptakan makna berdasarkan pengalaman dan pengetahuan awal yang dimiliki tenaga pengajar maupun siswa sehingga dapat dicapai pemahaman terpadu. (Dikti: 2004) 2. Implementasi Pembelajaran Sains Behavioristik dan Konstruktivistik a. Implementasi Pembelajaran Behavioristik Pembelajaran yang berlangsung di sekolah seyogyanya menerapkan prinsip-prinsip teori kognitif-konstruktivistik serta teori pemodelan tingkah laku (behavioristik) agar kemandirian aktif siswa sebagai pebelajar dapat diwujudkan. Implementasi pembelajaran behavioristik Berdasarkan teori behavioristik, maka pembelajaran disekolah sebaiknya: Ditujukan sebagai pelatihan skill Skill process atau keterampilan proses dapat diperoleh siswa pelajaran fisika yang merupakan ilmu gejala alam diajarkan melalui ketrampilan praktikum di laboratorium. Hal ini dikarenakan keterampilan proses menuntut siswa dapat menggunakan alat, mencari data, menafsirkannya hingga menemukan sustu konsep berdasarkan ilmu fisika. Kegiatan tersebut dapat dilakukan siswa dengan berkegiatan di laboratorium sains. Metode pembelajaran yang sesuai adalah ceramah dan eksperimen instruksi. Menekankan pada eksperimen instruksi, berarti siswa sebaiknya diajarkan dengan mempraktekkan langsung materi-materi fisika yang ada sehingga dibutuhkan laboratorium sains untuk menunjang kegiatan tersebut.

b. Implementasi Pembelajaran Konstruktivistik Kegiatan laboratorium merupakan bagian yang penting dari pembelajaran IPA. Kegiatan Laboratorium ditujukan untuk membantu siswa mengembangkan pemahaman, kemampuan kognitif, berpikir kreatif, dan sikap ilmiah melalui keterlibatannya dalam hand-on activity. Dalam kegiatan laboratorium pembelajar berhadapan dengan objek dan permasalahan, memecahkan masalah-masalah itu sampai menemukan kesimpulan yang signifikan dan relevan. Kegiatan laboratorium dalam pembelajaran digunakan untuk mencapai berbagai tujuan yaitu tujuan kognitif, praktikal, dan afektif. Tujuan kognitif

berhubungan

dengan

belajar

konsep-konsep

ilmiah,

mengembangkan

keterampilan problem solving, dan meningkatkan pemahaman metode ilmiah. Tujuan-tujuan praktikal berhubungan dengan pengembangan keterampilanketerampilan dalam berkomunikasi, dan melakukan penelitian-penelitian IPA, bekerja sama. analisis data, afektif

keterampilan

Tujuan-tujuan

berhubungan dengan motivasi terhadap sains, tanggapan dan kemampuan memahami lingkungan. Dalam pandangan teori kognitif-konstruktivistik mengisyaratkan bahwa: 1. Sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah kehidupan yang nyata 2. Pembelajaran di sekolah seharusnya lebih memiliki manfaat 3. munculkan rasa ingin tahu siswa, agar memotivasi serta secara aktif membangun tampilan dalam otak siswa 4. pembelajaran harus melibatkan siswa secara mandiri dalam melakukan eksperimen atau dalam arti luas memberi kesempatan siswa mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya. 5. Terjadinya interaksi sosial dalam pembelajaran memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar. Penguasaan teknologi pembelajaran dan kemandirian aktif siswa dalam belajar dapat diwujudkan dalam masyarakat sekolah atau kelas dengan alternatif menerapkan suatu model pembelajaran tertentu dalam implementasi

pembelajaran, yang mana model pembelajaran yang dipilih harus benar-benar sesuai dengan tujuan yang akan dicapai serta karakter materinya. Dalam proses pembelajaran ilmu Fisika keaktifan siswa merupakan inti dari pola belajar dengan pendekatan konstruktivis, hal itu dapat tercermin dari aktifnya para siswa membaca sendiri, mengaitkan konsep-konsep baru dengan

berdiskusi dan menggunakan istilah, konsep dan prinsip yang baru mereka pelajari diantara mereka. Dalam pendekatan konstruktivis siswa secara aktif membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan apa yang diketahui siswa. Sedangkan guru berperan sebagai narasumber yang bijak dan berpengetahuan serta berfungsi sebagai sutradara yang mengendalikan proses pembelajaran dan siap membantu siswa apabila ada kemacetan proses pembelajaran atau melantur tanpa arah. Laboratorium (lab) sebagai sarana sumber belajar merupakan salah satu alternatif proses pembelajaran Fisika dengan basis lab yang dapat menerjemahkan konsep-konsep abstrak ke dalam bentuk konkrit, mengapresiasikan permasalahan sehari-hari dalam masyarakat, teknologi dan lingkungan sekitar serta

memecahkannya secara berpikir sistematis, analitis dan alternatif. Pada dasarnya mata pelajaran Fisika merupakan salah satu mata pelajaran sains yang diharapkan sebagai sarana mengembangkan kemampuan berpikir analitis deduktif dengan menggunakan berbagai konsep dan prinsip Fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam. Tujuan pembelajaran mata pelajaran Fisika SMA yang dicanangkan Depdiknas adalah agar siswa menguasai konsep dan prinsip Fisika untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap percaya diri sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan

lingkungan. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi. Yang penting dalam teori konstruktivisme adalah dalam proses

pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.

BAB III. PENUTUP

Kesimpulan Dari makalah di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Laboratorium sains adalah tempat yang digunakan orang untuk menyiapkan sesuatu atau melakukan kegiatan ilmiah yang dapat dilakukan baik dalam ruangan tertutup ataupun terbuka seperti pemanfaat lingkungan sekitar yang memiliki peranan penting ditinjau dari tiga aspek meliputi: kurikulum sains, perkembangan berpikir siswa, dan implementasi pembelajaran sains. 2. Peranan laboratorium sains dipandang dari kurikulum sains sangatlah penting untuk menunjang proses belajar mengajar menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang menuntut guru untuk lebih kreatif membuat alat-alat sederhana yang mampu menjelaskan teori dan konsep fisika, sesuai dengan peralatan yang ada dan kondisi daerahnya agar tervisualisasi sehingga mudah dipahami dan dimengerti siswanya. 3. Implikasi dari teori perkembangan berpikir siswa pada pembelajaran fisika adalah bagaimana membantu siswa mengalami pergeseran proses berpikirnya. Jadi tugas guru adalah memfasilitasi perkembangan berpikir siswa. Di tingkat SD, sains akan lebih sesuai dibelajarkan melalui pengalaman memfasilitasi empirik. Pembelajaran pergeseran di SMP tingkat diharapkan berpikir dapat melatih

terjadinya

mengembangkan inferensi logika yang berawal dari hipotesis. Di tingkat SMA kemampuan-kemampuan tersebut perlu terus dikembangkan sehingga menjadi kebiasaan dalam pemecahan masalah. 4. Peranan laboratorium sains dipandang dari implementasi pembelajaran sains adalah laboratorium sebagai sarana sumber belajar merupakan salah satu alternatif proses pembelajaran Fisika dengan basis lab yang dapat menerjemahkan konsep-konsep abstrak ke dalam bentuk konkrit, mengapresiasikan permasalahan sehari-hari dalam masyarakat, teknologi dan lingkungan sekitar serta memecahkannya secara berpikir sistematis, analitis dan alternatif.

DAFTAR PUSTAKA

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._FISIKA/195801071986031SUTRISNO/Perkuliahan/Bahan_ajar/Laboratorium_Fisika_Sekolah_I/LABOR ATORIUM_FISIKA_SEKOLAH.pdf

http://repository.upi.edu/operator/upload/d_ipa__019833_chapter2.pdf Kegiatan Laboratorium Dalam Pembelajaran Fisika. Diakses 18 Februari 2012

http://wanmustafa.wordpress.com/2011/06/12/pengertian-dan-fungsilaboratorium/

http://www.zmaulana.co.cc/2012/02/pembelajaran-konstruktivistik.html diakses 1 February 2012

Makalah Model-Model Pembelajaran Efektif Dan Inovatif Dalam Mata Pelajaran Sains (IPA) (Cooperative Learning). Insih Wilujeng, M.Pd. Pendidikan IPA, FMIPA, UNY 2009

Model Pembelajaran Konstruktivistik Sebagai alternative Mengatasi Masalah Pembelajaran. Dina Gasong