Upload
ekanetyjayant9161
View
135
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Makalah
PSIKOLOGI OLAHRAGA
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada Mata Kuliah Olahraga
Dosen :
Disusun oleh :
Eka Nety Jayanti (1000730)
Suci Saka Rahayu (1003523)
Varininta Dityasari Betha Putri (1001393)
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2012
A. PSIKOLOGI OLAHRAGA
Psikologi Olahraga mengandung dimensi tindakan dan perilaku manusia, di mana
komponen-komponen motorik, kognitif, dan afektif amat berperan dalam menghasilkan
berbagai pola gerak yang berbeda. Psikologi olahraga mempelajari berbagai kenyataan
psikologis yang dihadapi seseorang dalam konteks kegiatan berolahraga. Fenomena dalam
kegiatan olahraga diobservasi, didiskripsikan, dan dijelaskan secara sistematis tentang
berbagai faktor yang sekiranya berpengaruh. Psikologi olahraga turut membantu dalam
memprediksi performa atlet berdasarkan gejala-gejala sikap dan perilaku yang
ditunjukkannya, baik sebelum, selama, dan sesudah pertandingan berlangsung, maupun di
dalam keseharian proses latihan yang dijalaninya.
Berikut ini diberikan beberapa gambaran mengenai pengertian psikologi olahraga:
1. Ilmu pengetahuan yang menerapkan prinsip-prinsip psikologi di dalam
situasi/lingkungan olahraga, dengan tujuan meningkatkan penampilan/prestasi
seseorang dalam suatu kegiatan olahraga (Cox, 2002),
2. Pemahaman tentang perilaku manusia secara kejiwaan di dalam situasi/lingkungan
olahraga dan kegiatan jasmani lainnya (Horn, 1992),
3. Psikologi olahraga berhubungan dengan pengamatan terhadap peristiwa-peristiwa di
lingkungan olahraga, deskripsi suatu gejala/ peristiwa, penjelasan mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi suatu peristiwa secara sistematis, meramalkan suatu
peristiwa atau akibat daripada suatu peristiwa yang dilandasi penjelasan yang
sistematis dan terpercaya, serta pengendalian peristiwa atau kemungkinan terjadinya
suatu peristiwa (Anshel et al., 1991),
4. Psikologi olahraga berusaha untuk mengaplikasikan fakta-fakta kejiwaan serta
prinsip-prinsip pembelajaran, penampilan, dan perilaku manusia yang terkait dengan
lingkungan olahraga. Seorang pelatih olahraga, misalnya, harus menaruh perhatian
terhadap manfaat faktor-faktor kejiwaan, emosi, dan sosial; dan bukan hanya terhadap
faktor fisik saja (Fuoss & Troppmann, 1981).
Pada dasarnya, psikologi olahraga diartikan sebagai pemahaman secara ilmiah tentang
perilaku seseorang di dalam kegiatan-kegiatan yang ada hubungannya dengan olahraga.
Dalam pandangan olahraga kompetitif, merupakan ilmu yang meneliti perilaku
atlet/pelatih/wasit dalam kaitan olahraga kompetitif, di mana penampilan semua komponen
yang terkait itu, termasuk lingkungan olahraganya sendiri saling mempengaruhi. Aplikasi
psikologi olahraga yang tepat dan benar dapat meningkatkan, baik prestasi olahraga maupun
fungsi yang berkaitan dengan aspek-aspek sosio-psikologis seseorang. Psikologi olahraga
telah menjadi sub-disiplin ilmu yang diakui pengaruh dan manfaatnya di dalam usaha
peningkatan prestasi olahraga di banyak negara di dunia.
Psikologi olahraga mencakup berbagai hal diantaranya motivasi untuk bertahan dan
mencapai tujuan, bimbingan psikologis ketika mengalami cedera olahraga dan saat
rehabilitasi, konseling dengan atlet, menilai bakat, latihan kepatuhan dan kesejahteraan,
keahlian dalam olahraga. Teori psikologi pertama dikeluarkan oleh Norman Triplett (1861-
1931), teorinya berbunyi “olahraga yang dilakukan bersama akan memberikan motivasi yang
lebih kepada seorang atlet”. Makna dari teori ini adalah jika olaharaga dilakukan oleh banyak
pemain misalnya bersepeda, maka atlet akan lebih termotivasi untuk maju.
Nilai yang ada tentang psikologi olahraga adalah mengajarkan perbedaan antara
seseorang yang baik dan seseorang yang juara. Semua permainan olahraga yang baik datang
dari persiapan dengan baik, mental maupun fisik. Untuk menjadi yang terbaik mengharuskan
Anda untuk menggunakan keahlian yang anda miliki seefektif mungkin. Jika sudah
melakukan yang terbaik, maka juara akan dengan gampang dapat diarih.
Manfaat dari hal tentang psikologi dalam olahraga adalah:
1. Mengembangkan keterampilan mental yang diperlukan oleh seorang atlet, seringkali
atlet yang layak dan berbakat tidak mencapai penampilan terbaik mereka hal ini dapat
disebabkan oleh keterampilan dan pembinaan mental yang kurang.
2. Membimbing atlet agar dapat mengatur konsentrasi mereka.
3. Meberikan motivasi agar dapat berusaha maksimal dalam pertandingan.
4. Membantu atlet untuk menekan potensi mereka dan mencapai kinerja yang mereka
impikan.
Saat ini persepsi yang populer sering menganggap bahwa psikologi olahraga hanya
penting untuk olahraga yang berbahaya. Padahal, psikologi dalam olahraga khusus mencakup
berbagai topik ilmiah, klinis yang penting dalam olahraga (bagi atlet itu sendiri).
Ada alasan utama pentingnya tentang psikologi dalam olahraga, yaitu:
1. Memahami bagaimana psikologi dapat diterapkan untuk meningkatkan motivasi dan
kinerja
2. Memahami bagaimana olahraga dapat meningkatkan kesehatan mental dan
kesejahteraan secara keseluruhan.
3. Konsultasi, proses konsultasi ini sangat penting sebagai salah satu harus berkonsultasi
dengan atlet individu atau tim untuk mendapatkan keterampilan untuk meningkatkan
tingkat kinerja.
Seorang psikolog olahraga akan mengumpulkan informasi mengenai keadaan para
atlet dalam sebuah tim olahraga. Informasi tentang psikologi ini akan membantu psikolog
untuk memahami pola-pola mental dan dapat terjadi sebelum, selama, dan setelah
pertandingan olahraga. Dengan menggunakan informasi ini, psikolog olahraga secara akurat
dapat memberikan bimbingan dan nasihat mengenai cara terbaik untuk menciptakan
lingkungan yang akan menelurkan atlet berkualitas. Salah Seorang psikolog olahraga sangat
memahami kondisi psikologi atlet yang dibinanya. Psikolog olahraga akan membantu para
pelatih untuk mengetahui metode yang lebih baik untuk anggota tim.
Sebenanarnya terdapat suatu kesinambungan untuk menciptakan semangat dan
kesiapan mental seorang atlet di dalam sebuah tim. Atlet secara tidak langsung memberikan
informasi tentang kondisi mereka kepada psikolog, setelah psikolog mengkaji dan
memberikan bantuan kepada pelatih, hasil pengamatan psikolog ini digunakan oleh pelatih
untuk melatih atlet yang dibinanya.
B. SEJARAH PSIKOLOGI OLAHRAGA DI INDONESIA
Seorang praktisi psikolog yang memiliki ijin praktik belum tentu memiliki cukup
pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak dibekali pendidikan
khusus psikoterapi dan konseling. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi kerancuan akan
siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi
olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau psikoterapis memperoleh pelatihan khusus
dalam bidang keolahragaan; sehingga sebagai seorang praktisi ia tetap berada di atas landasan
professinya dengan mengikuti panduan etika yang berlaku, dan di samping itu pengetahuan
keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang pendidikan formalnya.
Dalam upaya mengatasi masalah ini IPO sebagai asosiasi psikologi olahraga nasional
tengah berupaya menyusun ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di samping itu,
IPO juga tengah berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi bagi
para psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi
olahraga. Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi psikologi olahraga yang
meliputi: 1) Prinsip psikologi olahraga, 2) Peningkatan performance dalam olahraga, 3)
Psikologi olahraga terapan, 4) Psikologi senam.
Masalah lain yang juga kerapkali timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga
adalah dalam menentukan klien utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog
dapat seorang atlet, pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan
pelayanan utama jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal
psikolog dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat tersebut
adalah pengguna jasa psikologi. Di satu pihak psikolog perlu menjaga kerahasiaan atlet, di
lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk menjabarkan kepribadian atlet secara
terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs (1993) menawarkan berbagai kemungkinan
seperti misalnya menerapkan perjanjian tertulis untuk memberikan keterangan; namun
demikian, jika atlet mengetahui bahwa pribadinya akan dijadikan bahan pertimbangan
organisasi, ia mungkin cenderung akan berperilaku defensif, sehingga upaya untuk
memperoleh informasi tentang dirinya akan mengalami kegagalan. Karenanya, seorang
psikolog harus dapat bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini, demikian
pula, hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan bagi atletnya
kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah yang serupa.
C. PERAN PSIKOLOGI TERHADAP KEMUNGKINAN TERJADINYA
CEDERA DALAM OLAHRAGA
Dalam melakukan kegiatan olahraga, lebih-lebih untuk dapat mencapai prestasi yang
tinggi, diperlukan berfungsinya aspek-aspek kejiwaan tertentu; misalnya untuk mencapai
prestasi yang tinggi dalam cabang olahraga panahan atau menembak, maka atlet harus dapat
memusatkan perhatian dengan baik, penuh percaya diri, tenang, dapat berkonsentrasi penuh
meski ada gangguan angin atau suara, dll-nya. untuk, menjadi peloncat indah atau peloncat
menara yang berprestasi tinggi, atlet yang bersangkutan harus memiliki rasa percaya diri,
keberanian, daya konsentrasi, kemauan keras, koordinasi.gerak yang baik, dan rasa
keindahan; ini semua akan dapat, terganggu apabila atlet yang bersangkutan mengalami
gangguan emosional.
Emosi atau perasaan atlet perlu mendapat perhatian khusus dalam olahraga, karena
emosi atlet di samping mempengaruhi aspek-aspek kejiwaan yang lain (akal dan kehendak),
juga mempengaruhi aspek-aspek fisiologiknya sehingga jelas akan berpengaruh terhadap
peningkatan atau merosotnya prestasi atlet.
Ditinjau dari konsep jiwa dan raga sebagai kesatuan yang bersifat organis, maka
gangguan emosional terhadap diri atlet akan berpengaruh terhadap keadaan kejiwaan atlet
secara keseluruhan, ketidak-stabilan emosional atau "emotional instability" akan
mengakibatkan terjadinya “psychological instability", dan akan mempengaruhi peran fungsi-
fungsi psikologisnya, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap pencapaian prestasi atlet.
Stres Dalam Olahraga (Gejala emosional)
Seperti halnya otot-otot kita mengalami ketegangan karena melakukan jaan fisik maka
kitapun dapat mengalami ketegangan psikis, yang disebut "stress".Menurut Gauron (1984)
stress seperti halnya ketegangan otot tidak dapat dielakan dalam kehidupan manusia sehari-
hari. Kita tidak dapat menghindarkan ketegangan psikik atau stress, beberapa ketegangan
diperlukan dan beberapa ketegangan tidak diperlukan dalam penampilan dan melakukan
tugas. Menurut Gauron kurangnya ketegangan atau "lack of tension" akan berakibat kita tidak
dapat melakukan sesuatu dengan baik. Untuk dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu
dibutuhkan adanya ketegangan otot-otot, dimana ketegangan tersebut sangat diperlukan
kemanfaatannya.
Setiap atlet yang bertanding dalam suatu peristiwa olahraga merasakan adanya
peningkatan ketegangan emosional untuk mengap.tisipasi situasi pertandingan yang dihadapi.
Singer (1986) mengemukakan bahwa aktivitas penuh ketegangan tidak selalu jelek bagi
seorang atlet. Ditinjau dari macam reaksi mental dan emosional, Singer menunjukkan dua
gejala yang berhubungan dengan emosi, yaitu: tidak adanya kesiapan dan penuh kesiapan.
Tidak adanya kesiapan atau "under readiness" ada hubungan dengan kurangnya motivasi,
sedangkan "over readiness" atau penuh kesiapan berhubungan dengan kesiapan untuk
menang atau penampilan buruk, ketakutan akan kalah, dsb-nya.
Stress atau ketegangan psikis bentuknya dapat beraneka macam. Menurut Gauron
(1984) stress menunjukkan gejala tidak sama terhadap tantangan-tantangan Yang dihadapi,
untuk dapat melakukan adaptasi. Menghadapi stress, badan manusia Mengadakan reaksi
dengan cara-cara atau bentuk yang konsisten, ada pengerahan atau "arousal" sistem syarat
otonom tertentu. Jadi gejala stress menurut Gauron tersebut dapat lebih bervariasi dibanding
"tension" atau ketegangan fisik yang dialami seseorang. Stress selalu akan terjadi pada diri
individu apabila sesuatu yang diharapkan mendapat tantangan, sehingga kemungkinan tidak
tercapainya harapan tersebut menghantui pemikirannya. Stress adalah suatu ketegangan
emosional, yang akhirnya berpengaruh terhadap proses-proses psikologik maupun proses
fisiologik.
"Stressor" menurut Spielberger (1986) menunjukkan situasi-situasi atau stimuli yang
secara obyektif ditandai dengan adanya tekanan fisik ataupun psikologik atau bahaya dalam
suatu tingkat tertentu. situasi penuh stress akan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari,
dalam tingkat-tingkat yang berbeda dalam perkembangan manusia. Reaksi yang berbeda-
beda akan muncul dalam menghadapi "stressor", tergantung pada situasi tertentu yang
diperkirakan mengandung ancaman. Ancaman juga berkaitan dengan persepsi dan penilaian
individu terhadap situasi yang dihadapi sebagai hal yang dapat merugikan dan mengandung
bahaya. Dalam hubungannya dengan aktivitas olahraga, khususnya kemungkinan terjadinya
stress menghadapi pertandingan, maka permasalahannya sangat banyak tergantung pada din
atlet yang bersangkutan. Mengenai timbulnya stress, Gauron (1984) berkesimpulan:
1. “Because stress is an inevitable part of life, it cannot be avoided.
2. Since stress is inevitable, individuals must reduce its effects and cope through a
personal stress management program.
3. Chronic stress may have adverse effects upon the body particularly if it is not taught
to relax".
Mungkin sekali suatu situasi yang sama dapat dirasakan sebagai ancaman bagi
seorang atlet, tetapi hanya merupakan tantangan bagi atlet lain, dan mungkin bahkan tidak
berarti apa-apa bagi atlet lain. Jadi dari pengalaman-pengalaman mengenai ancaman, ada
hubungannya dengan keadaan mental atlet yang bersangkutan. Mengenai ancaman
dalowikaitannya dengan keadaan mental atlet, Spielberger (1986) mengemukakan adanya dua
karakteristik pokok, yang disimpulkannya sebagai berikut:
'Thus, the experience of threat is, essentially, a state of mind which has two mein
characteristics:
1) It is future-oriented, generally involving the anticipation of a potentially harmful
event that has not yet happened; and
2) It is mediated by mental activities-peerception, thought, memory, and judgment which
are involved in the appraisal process". Penilaian adanya ancaman yang dihadapi dan
adanya penilaian bahaya yang dihadapi (masa depan) memberi andil penting terhadap
timbulnya reaksi emosional serta tindakan yang akan diambil individu menghindari
ancaman atau bahaya dihadapinya.
Upaya Pengendaliannya terhadap kecemasan dan stress dalam olahraga
Dalam upaya pengendalian kecemasan (anxiety) dan stress dalam olahraga
penulis garis bawahi diantaranya:
1. Strategi Relaksasi
Keadaan relaks adalah keadaan saat seorang atlet berada dalam kondisi emosi yang
tenang, yaitu tidak bergelora atau tegang. Keadaan tidak bergelora tidak berarti merendahnya
gairah untuk ben-nain, melainkan dapat diatur atau dikendalikan pada titik atau daerah Z
sesuai dengan hipotesis U-terbalik. Untuk mencapai keadaan tersebut, diperlukan teknik-
teknik tertentu melalui berbagai prosedur, baik aktif maupun pasif. prosedur aktif artinya
kegiatan dilakukan sendiri secara aktif. Sementara itu, prosedur pasif berarti seseorang dapat
mengendalikan munculnya emosi yang bergelora, atau dikenal sebagai latihan autogenik.
Teknik relaksasi pertama kali dikembangkan oleh Edmund Jacobsen pada awal tahun
1930-an. Jacobsen mengemukakan bahwa seseorang yang sedang berada dalam keadaan
sepenul-inya relaks tidak akan memperlihatkan respons emosional seperti terkejut terhadap
suara keras. pada tahun 1938, Jacobsen merancang suatu teknik relaksasi yang kemudian
menjadi cikal bakal munculnya apa yang disebut dengan Latihan Relaksasi progresif
(Progressive Relaxation Training). Dengan latihan relaksasi, Jacobsen percaya bahwa
seseorang dapat diubah menjadi relaks pada otot-ototnya. Sekaligus juga, latihan ini
mengurangi reaksi emosi yang bergelora, baik pada sistem saraf pusat maupun pada sistem
saraf otonom. Latihan ini dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat.
Kira-kira pada waktu yang bersamaan, seorang dokter di Jerman bernama Johannes
Schultz, memperkenalkan suatu teknik pasif agar seseorang mampu menguasai munculnya
emosi yang bergelora. Schultz menyebut latihan tersebut sebagai Latihan Autogenik
(Autogenic Training). Teknik ini dapat melatih seseorang untuk melakukan sugesti diri, agar
is dapat mengubah sendiri kondisi kefaalan pada tubuhnya untuk mengendalikan munculnya
emosi yang terlalu bergelora. Setelah diajarkan cara-cara untuk melaksanakannya, seseorang
tidak lagi tergantung pada ahli terapinya, melainkan dapat melakukannya sendiri melalui
teknik sugesti diri (Auto-Sugestion Technique). Jadi, dengan melakukan autogenic training,
seorang atlet dapat mengubah sendiri kondisi kefaalannya. Ia juga dapat mengatur dan
mengendalikan pemunculan emosinya pada tingkatan yang dikehendaki.
Beberapa contoh dari latihan ini adalah latihan untuk merasakan berat dan panas pada
anggota gerak, dengan ungkapan, "Saya rasakan lengan kanan saya berat", "saya rasakan
lengan kanan saya panas dan relaks." Latihan pemapasan atau pengaturan aktivitas jantung
dan paru-paru, dengan contoh ungkapan, "Pemapasan saya lebih tenang dan denyut jantung
saya berdetak lebih lambat". Serta latihan untuk merasakan panas atau dingin pada perut dan
dahi. "Dahi dan perut saya lebih dingin." Jadi, latihan autogenik merupakan suatu latihan
yang menitikberatkan munculnya kemampuan pengendalian gejolak emosi pada tubuh.
Kemudian, sekitar tahun 1950-an, seorang tokoh beraliran behavioristik, Joseph Wolpe,
melakukan modifikasi dari teknik relaksasi milik Jacobsen. Wolpe menganggap bahwa teknik
milik Jacobsen tersebut memakan waktu terlalu lama. Ia lalu merancang teknik yang lebih
pendek, lebih sederhana, dan lebih mudah dilakukan. Teknik ini dikenal dengan nama latihan
relaksasi progresif yang merupakan dasar untuk melakukan pengebalan sistematik
(Systematic Desensitization). Teknik ini digunakan untuk menangani seseorang yang
memiliki masalah ketegangan dan kecemasan. Mereka yang membutuhkan dapat diajarkan
untuk melakukan teknik tersebut sendiri, dengan mempergunakan alat biofeedback (EMG).
Dalam perkembangannya, teknik-teknik yang digunakan, baik oleh Jacobsen maupun
Wolpe, dianggap kurang efisien. Oleh karena itu, kemudian bermunculan model-model
relaksasi barn sebagaimana yang dikemukakan oleh Bernstein & Borkovec (1973) dan
Bernstein & Geffen (1984). Dalam perkembangan selanjutnya, latihan relaksasi progresif
digunakan sebagai teknik tersendiri, tidak lagi sebagai bagian dari pendekatan behavioristik.
Awalnya, latihan relaksasi progresif ini digunakan oleh pasien penderita kecemasan atau
ketegangan yang bersumber pada gejolak emosinya.Latihan relaksasi progresif juga dapat
dilakukan melalui suatu alat yang dikenal dengan sebutan biofeedback atau EMG
(Elektromyografi). EMG memiliki fungsi mencatat atau merekam intensitas ketegangan otot-
otot seseorang, untuk kemudian ditampilkan dalam bentuk ukuran angka-angka, misalnya +3
atau +10. Dengan menggunakan alat tersebut, seseorang dapat memantau tingkatan
ketegangan sebelum maupun sesudah dilakukan latihan.
Dengan adanya kemampuan untuk memantau perubahan tingkatan ketegangan pada
diri sendiri, maka ketegangan otot-otot dapat diatur sampai pada keadaan relaks yang
dikehendaki. Arti praktisnya adalah, seseorang dapat mengatur ketegangan-ketegangan
ototnya menjadi lebih relaks, sehingga gejolak emosinya pun menjadi lebih tenang. Apabila
penggunaan biofeedback telah dilakukan berkali-kali, maka relaksasi dapat dilakukan kapan
pun dan di mana pun, tanpa membutuhkan alat biofeedback lagi.
Oleh karena itu, para ahli kemudian berupaya keras untuk mencari modifikasi agar
latihan relaksasi progresif dapat dilakukan dalam format yang lebih pendek dan praktis.
Apabila seseorang telah beberapa kali berhasil dalam keadaan relaks, maka pengelompokan
otot dapat diperbesar menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Lengan dan tangan bersama-sama.
2. Semua otot muka.
3. Dada, pundak, punggung bagian atas, perut.
4. Pinggul dan pangkal paha.
5. Kaki dan tapak kaki.
Contoh lain dari modifikasi tersebut adalah teknik pernapasan atau breathing
technique. Teknik ini banyak dilakukan oleh para atlet karena dapat dilakukan di sembarang
tempat, misalnya di pinggir arena pertandingan, saat menunggu waktu untuk bermain,
demikian pula pada saat gejolak emosi sedang memuncak, misalnya pada malam sebelum
pertandingan, atau beberapa jam sebelum pertandingan.
Menurut Masters, dan kawan-kawan (1987) (dalam Gunarsa, S.D., 2002), manfaat
dari melakukan latihan relaksasi progresif adalah:
1. Meningkatnya pemahaman mengenai ketegangan otot. Artinya, ada pemahaman
bahwa gejolak emosi berpengaruh terhadap ketegangan otot dan sebaliknya.
2. Meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan ketegangan otot.
3. Meningkatnya kemampuan untuk mengendalikan kegiatan kognitif, yaitu meliputi
kemampuan pemusatan perhatian terhadap suatu objek
4. Meningkatnya kemampuan untuk melakukan kegiatan.
5. Menurunnya ketegangan otot.
6. Menurunnya gejolak emosi karena pengaruh perubahan kefaalan.
7. Menurunnya tingkat kecemasan, serta emosi-emosi negatif lainnya.
8. Menurunnya kekhawatiran dan ketakutan.
Selain latihan relaksasi progresif, dalam melakukan perubahan atau rnodifikasi suatu
perilaku, dikenal pula suatu teknik yang disebut sebagai systematic desensitization atau
teknik pengebalan sistematik. Jika terdapat suatu keadaan atau objek yang dipersepsikan
tidak menguntungkan sehingga mempengaruhi gejolak emosi secara luar biasa clan
ditampilkan dalam emosi tegang, maka tentu akan berakibat buruk terhadap penampilan.
Seorang atlet dapat Baja merasakan ketakutan-ketakutan tertentu pada saat bertanding, seperti
hal-hal yang berkaitan dengan lawan tandingnya, suhu arena atau cuaca pada umumnya,
angin, sorakan penonton, atau penilaian dari tokoh-tokoh tertentu yang sedang menyaksikan.
Namun demikian, keadaan-keadaan seperti ini merupakan hal yang mutlak harus dihadapi.
Oleh karena itu, seorang atlet harus mampu menghadapi keadaan-keadaan yang tidak
menyenangkan sebagaimana disebutkan di atas. Kemampuan untuk menghadapi dan
mengatasi tersebut merupakan keterampilan individual dan khusus yang diajarkan oleh
pelatih atau psikolog olahraganya.
Teknik pengebalan sistematik (Systematic Desensitization) merupakan latihan
bertahap untuk mengurangi kepekaan terhadap suatu rangsang, sehingga terbentuk habituasi
atau pembiasaan. Suatu rangsang yang awalnya menimbulkan gejolak emosi yang sangat
tinggi, melalui latihan sistematik tertentu, lambat-laun tidak lagi dipersepsikan negatif.
Secara bertahap, akan terjadi pengurangan atau pengenduran reaksi emosi, sehingga gejolak
emosi pun menjadi stabil. Jadi, sumber rangsang tidak diubah atau diganti, melainkan di
dalam diri atlet terjadi perubahan secara sistematik Gejolak emosi yang pada awalnya sangat
tinggi saat menghadapi suatu keadaan, lambat-laun menjadi berkurang. Ini merupakan prinsip
sistematik desensitisasi, atau upaya untuk mengatur reaksi-reaksi emosi yang bergejolak
dalam batas-batas proporsi yang wajar dan tidak merugikan.
Cara relaksasi lainnya adalah transcendental meditation atau meditasi transendental.
Teknik ini merupakan relaksasi yang dikembangkan dari tradisi India, diperkenalkan di
Amerika pada awal tahun 1960-an oleh seorang pendeta India, Maharishi Mahesh Yogi.
Keith Wallace dari UCLA merupakan salah satu psikolog pertama yang menyelicliki
mengenai teknik tersebut. Penelitian Wallace (1971) menunjukkan bahwa teknik tersebut
memberikan efek luar biasa pada tubuh, yaitu detak jantung menurun sampai stabil dan
peredaran asam laktat menjadi tiga kali lebih cepat dibandingkan saat beristirahat biasa.
Meditasi transendental merupakan teknik mental yang dapat dipraktekkan setiap pagi
dan malam selama 15 sampai 20 menit, saat seseorang duduk nyaman dengan mata tertutup
sambil memikirkan suatu 'mantera' tertentu. Setelah 20 menit, ketegangan tubuh akan
mengendor total dan orang yang bersangkutan akan mengalami kondisi yang segar dan
dinamis, percaya diri, serta siap untuk beraksi. Meditasi transendental dilakukan seseorang
dengan memusatkan perhatian dan berkonsentrasi terhadap suatu objek atau pikiran dan
kegiatan tersebut ditahannya untuk beberapa waktu dalam posisi tubuh yang nyaman, tanpa
terganggu atau teralih perhatian dan konsentrasinya. Apabila hal tersebut dapat dilakukan,
maka akan diperoleh keadaan relaks. Selama meditasi, tubuh akan mencapai tahap sadar
sepenuhnya namun tanpa beban pikiran apa pun. Pada kondisi tersebut, seseorang akan siap
menghadapi rangsang apa pun, serta siap memberikan respons yang sesuai dan optimal.
2. Strategi Kognitif
Strategi kognitif didasari oleh pendekatan kognitif yang menekankan bahwa pikiran
atau proses berpikir merupakan sumber kekuatan yang ada dalam diri seseorang. Jadi,
kesalahan, kegagalan, ataupun kekecewaan, tidak disebabkan oleh objek dari luar, namun
pada hakikatnya bersumber pada inti pikiran atau proses berpikir seseorang. Misalnya,
seorang atlet bulutangkis tidak dapat menyalahkan shuttlecock karena berat atau
kecepatannya berbeda dari biasanya, karena yang menentukan sesuai atau tidaknya caranya
memukul dan kekuatan pukulan adalah proses berpikir atlet tersebut. Jadi, yang seharusnya
diubah adalah pengendali perilaku atlet, dalam hal ini gerakan atau pukulannya, agar dapat
menyesuaikan dengan keadaan khusus. Dari penjelasan ini, tampak bahwa proses kognitif
merupakan sumber dari semua perilaku pada atlet. Salah satu kegiatan yang mendukung
berfungsinya proses kognitif adalah kegiatan pemusatan perhatian yang bersumber pada inti
pikiran seseorang. Contohnya, pemikiran sebagai berikut: "Saya memusatkan perhatian
terhadap kornitmen saya untuk bermain sesuai dengan apa yang sudah saya latih dan strategi
bermain saya." Kegiatan ini merupakan kegiatan menginstruksi diri sendiri (self-instruction),
sehingga apa pun yang akan terjadi dalam permainan, atlet akan berpedoman pada proses
berpikirnya. Namun dalam kenyataannya, strategi kognitif seperti ini sangat erat kaitannya
dengan status emosi dan berbagai macam pergolakannya. Pergolakan tersebut berasal dari
tingkat ketegangan yang dialami oleh atlet, khususnya yang bersumber pada dirinya, yakni
trait anxiety.
3. Teknik-teknik Peredaan Ketegangan
Hanya mengetahui "apa" atau "what" saja mengapa atlet tegang atau takut tanpa
mengetahui "how" atau "bagaimana" cara penyembuhannya tidaklah banyak manfaatnya dan
tidak akan menolong atlet. Oleh karena itu, pelatih sebaiknya juga mempersenjatai diri
dengan keterampilan bagaimana cara meredakan ketegangan yang ada pada atlet. Ada
beberapa teknik yang bisa membantu menurunkan atau mengurangi ketegangan atlet
(desensitizatioll, techniques). Antara lain:
a. Teknik Jacobson dan Schultz, yaitu dengan mengurangi arti pentingnya pertandingan
dalam benak atlet, atau mengurangi ancaman hukuman kalau atlet gagal.
b. Teknik Cratty. Dengan teknik ini, mula-mula disusun suatu urutan (hierarki) anxiety
yang dialami atlet, dari Yang paling ditakuti sampai yang paling kurang ditakuti oleh
atlet. Pada permulaan, atlet dihadapkan pada situasi yang paling sedikit
membangkitkan anxiety. Setelah atlet terbiasa dan tidak takut lagi dengan situasi
tersebut, dia kemudian dilibatkan dalam situasi takut yang agak lebih berat. Demikian
seterusnya.
c. Teknik progressive muscle relaxation dari Jacobson, yaitu latihan memaksa otot-otot
yang tegang dijadikan relaks.
d. Teknik autogenic relaxation, yaitu toknik relaksasi Yang menekankan pada sugesti
diri (self-suggestion).
e. Latihan pernapasan dalam (deep breathing).
f. Meditasi.
g. Berpikir positif.
h. Visualisasi.
i. Latihan simulasi: pada waktu latihan, berlatihlah dengan menciptakan situasi seakan-
akan sedang betul-betul bertanding, dan usahakan untuk tampil sebaik-baiknya.
Lakukan latihan dengan intensitas yang tinggi seperti dalam pertandingan sebetulnya.
Biarkan atlet mengalami stres fisik maupun mental. Dengan berulang kali berlatih
dengan stres yang tinggi, diharapkan lama-kelamaan ketegangan atlet akan berkurang
pada waktu menghadapi stres.
4. Mehanisme pertahanan diri
Anxiety, kekhawatiran, dan ketakutan yang berkecamuk dalam diri atlet adalah gejala
yang umum dalam olahraga. Anxiety dan ketakutan adalah reaksi terhadap perasaan
"khawatir akan terancam pribadinya". Karena anxiety yang dialami atlet adalah sesuatu
keadaan yang sangat tidak enak dan selamanya akan berkecamuk dalam kehidupan seorang
atlet, maka dibutuhkan suatu mekanisme di dalam kepribadiannya untuk inenolongitya
mengotasi atau membebaskan dirinya dari anxiety tersebut. Mekanisme ini biasanya disebut
security operation atau defense inechanisin. Jadi mekanisme ini berfungsi sebagai alai agar
kepribadiannya tidak merasa terancam. Sering kali mekanisme ini bekerja demikian efektif
sehingga atlet benar-benar terlindung dari perasaan cemas tersebut.
Tampaknya di semua cabang olahraga sering terjadi mekanisme pertahanan demikian,
bukan hanya oleh atlet, akan tetapi juga oleh pelatih, tim manajer, pengurus dan lain-lain.
Memang mungkin saja alasan yang dikemukakan atlet, pelatih, Tim Manajer, Pengurus,
KONI, dan lain-lain memang betul karena lapangan licin, bola tidak bundar, banyak angin,
penonton ribut. Akan tetapi kebanyakan alasannya tidak rasional dan hanya merupakan
manifestasi dari perasaan kecewa karena mengalami kegagalan, serta kedok agar terhindar
dari perasaan cemas dan takut akan dikritik, dicemooh, dikecam oleh masyarakat, dan agar
mereka tidak disalahkan oleh masyarakat atas kekalahan atau kegagalan mereka. Karena itu
penyebab kegagalannya dilimpahkan kepada orang atau benda lain di luar dirinya.
Sebagai pelatih, kita harus mendidik dan melatih para atlet agar tidak membiasakan
diri menggunakan defense mechanism yang tidak wajar sebagaimana contoh-contoh tersebut
di atas. Sebab-sebab dari setiap kegagalan haruslah didiskusikan, dievaluasi, dianalisis secara
rasional, intelektual dan inteligen. Pelatih harus mengajarkan dan mendidik atlet agar tidak
meremehkan kegagalan, dan menilai setiap kegagalan dengan penuh pemahaman dan
pengertian yang wajar. Dengan demikian dapatlah diharapkan pula bahwa maturitas mental
para atlet sedikit demi sedikit dapat dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Faldana, Rido. (2011). Seputar Psikologi Olahraga. Tersedia di :
http://duniaolahraga.com/seputar-psikologi-olahraga_266.htm. (Diakses 15 April
2012).
Muharil. (2010). Peran Psikologi Terhadap Kemungkinan Terjadinya Cedera Dalam
Olahraga. Tersedia di : http://muharilsport.blogspot.com/2010/04/peran-psikologi-
terhadap-kemungkinan_14.html. (Diakses 15 April 2012).
Satiadarma, Monty P. (). Psikologi Olahraga & Psikologi Latihan. Tersedia di : . (Diakses 15
April 2012).