26
PENETAPAN AWAL DAN AKHIR BULAN RAMADHAN OLEH BEBERAPA ORGANISASI ISLAM DI INDONESIA MATA KULIAH IBADAH DAN AKHLAQ Dosen : Mohammad Taufiq Ridho, M.Pd Oleh : NAMA : SABELLA NAILIL MUNA NIM : 13611147 JURUSAN STATISTIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

Makalah Penetapan Syawal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Ibadah dan Akhlak

Citation preview

PENETAPAN AWAL DAN AKHIR BULAN RAMADHAN OLEH BEBERAPA ORGANISASI ISLAM DI INDONESIA

MATA KULIAHIBADAH DAN AKHLAQ

Dosen : Mohammad Taufiq Ridho, M.Pd

Oleh :NAMA : SABELLA NAILIL MUNANIM : 13611147

JURUSAN STATISTIKAFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS ISLAM INDONESIAYOGYAKARTA2014

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa taala, Sang Maha Pencipta dan Pengatur Alam Semesta, berkat Rahmat, Karunia serta Ridho-Nya, makalah yang berjudul Penetapan Awal dan Akhir Bulan Ramadhan ini dapat terselesaikan dengan sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki tanpa halangan suatu apapun.Tak lupa penulis berterimakasih kepada Orang Tua yang telah senantiasa mendoakan, kepada Bapak Mohammad Taufiq Ridho, M.Pd selaku Dosen mata kuliah Ibadah dan Akhlaq yang telah memberikan bimbingan, dan kepada pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan mengenai penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan. Karena ada pepatah mengatakan Tak Ada Gading Yang Tak Retak, maka penulis menyadari bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang diharapkan. Untuk itu penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun,Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi pembaca dan dapat berguna bagi penulis maupun orang yang membacanya.

Yogyakarta, 20 Mei 2014

Penyusun

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang MasalahSelama ini, dari tahun ke tahun, Indonesia selalu dilema dengan penetapan awal bulan Ramadhan dan akhir bulan Ramadhan. Walaupun memang ada perbedaan Ulama tentang penetapan Ramadhan, namun tetap terasa kurang sreg ketika menyaksikan perbedaan ini semakin jauh hingga bisa terjadi 3 hari yang berbeda bagi umat Islam untuk memulai dan mengakhiri Ramadhan, padahal sehari semalam hanya 24 jam, rembulan hanya ada satu buah, buminya satu buah, serta matahari untuk bumi ini juga satu buah. Para pemimpin dan pengurus ormas-ormas Islam seperti NU, Persis, dan Muhammadiyah serta organisai lain disibukkan berijtihad untuk memastikan kapan puasa tahun itu dimulai dan berakhir, sementara masyarakat dibingungkan dengan berbagai keputusan yang dibuat lembaga-lembaga Islam yang terkadang keputusannya berbeda-beda. Bahkan akhir-akhir ini masyarakat sering dikacaukan oleh seruan untuk memulai puasa atau berhari raya dengan berpedoman pada awal puasa dan idul fitri di Saudi Arabia.Tidak jarang karena perbedaan-perbedaan tersebut, timbul gesekan-gesekan di masyarakat. Masing-masing individu menganggap benar apa yang diputuskan oleh ormas yang diikutinya dan menganggap salah terhadap yang lain, tanpa mereka tahu apa sebetulnya yang dijadikan ukuran sebagai penentuan awal dan akhir puasa oleh masing-masing ormas dan lembaga-lembaga Islam tersebut.Tak sedikit pula rakyat atau masyarakat yang kurang paham dengan hal tersebut menjadi "bermusuhan" hanya gara-gara hal tersebut. Mudah-mudahan Anda yang sudah membaca artikel berikut ini bisa memahami mengapa terjadi perbedaan tersebut. Orang yang berfikir tentunya bisa melihat bahwa pasti ada yg kurang tepat dalam hal ini. Makalah ini berupaya mengajak pembaca melihat perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini, melihat alasan mereka, dan melihat realitas yang mereka bahas yakni realitas terjadinya bulan baru (hilal) dari aspek astronomi.1.2. Rumusan MasalahRumusan masalah yang dapat diambil dari latar belakang diatas adalah :1. Bagaimana cara menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan ?2. Apa yang menyebabkan perbedaan tersebut ?

1.3. Tujuan PembahasanTujuan pembuatan makalah ini adalah :1. Mengetahui metode penentuan awal dan akhir pada bulan Ramadhan2. Mengetahui apa yang menyebabkan perbedaan para Ulama dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan

BAB IIPEMBAHASAN

2.1. Cara Penetapan Awal RamadhanPada masa Rasulullah, para sahabat dan tabiin tidak pernah terjadi perbedaan di dalam penetapan awal Ramadhan, awal Syawal dan awal Dzulhijjah, semua didasarkan atas rukyatul hilal bil fili (melihat hilal dengan mata kepala) atau istikmal (menggenapkan bulan Syaban dan Ramadhan menjadi 30 hari) apabila rukyat tidak berhasil disebabkan karena cuaca mendung atau faktor lainnya. Namun setelah ilmu pengetahuan mengalami kemajuan, pengertian tentang rukyatul hilal mengalami pergeseran. Ada yang memaknainya tetap seperti semula, yaitu rukyat bil fili dan ada yang memaknainya dengan rukyat bililmi, yakni melihat hilal dengan ilmu pengetahuan atau hisab. Dari perbedaan makna rukyatul hilal itulah maka penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal sekarang ini paling tidak ada tiga macam cara, diantaranya adalah :1. Metode ruyatMetode ruyat (pengamatan) dilakukan dengan melihat hilal di saat menjelang maghrib, menggunakan mata telanjang atau dengan alat bantu. Metode ini adalah metode yang paling sahih sesuai dengan Al-Quran dan as-sunnah. Berpuasalah kalian apabila melihat hilal (Ramadhan) dan berbukalah kalian apabila melihat hilal (Syawwal). Lalu apabila mendung menghalangi kalian, maka sempurnakanlah hitungan syaban sampai tiga puluh hari (HR Bukhari & Muslim).Bahwa seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah saw seraya berkata:'Saya telah melihat hilal (Ramadhan), Rasulullah saw lalu bertanya: Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, Orang itu menjawab: Ya, Kemudian Nabi saw menyerukan: Berpuasalah kalian (HR Abu Dawud, An-Nasa`i, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).Menurut Imam Syafii cukup satu orang laki-laki yang melihat hilal, sementara menurut Imam Hanafi, Maliki dan Hambali minimal disaksikan oleh dua orang laki-laki. Dalam hal ini tidak berlaku prinsip mayoritas (demokrasi), meskipun telah di sebar 25 titik pengamatan ruyat tetapi jika satu atau dua orang melihat hilal maka seharusnya ditetapkan hilal sudah terlihat.a.Ruyat Lokal Ruyat lokal adalah hasil ruyat yang hanya berlaku untuk daerah matla (daerah yang terlihat hilal), metode ruyat lokal (matla) berdasarkan Hadits Kuraib. Kuraib ra meriwayatkan, Aku pergi ke Syam. Pada saat aku berada disana, muncullah hilal Ramadhan dan aku saksikan sendiri hilal itu pada malam Jumat. Kemudian pada akhir bulan, aku datang kembali ke Madinah dan ditanyai oleh Ibnu Abbas ra, kemudian teringat olehnya hilal, Katanya: Bilakah kalian melihat itu?, Kami melihatnya pada malam Jumat, ujarku. Apakah engkau sendiri melihatnya?, tanya Ibnu Abbas pula. Benar, jawabku. juga di lihat oleh orang banyak. Hingga mereka berpuasa, termasuk diantaranya Muawiyah, Tetapi kami melihatnya malam Sabtu, kata Ibnu Abbas. Hingga kami akan terus berpuasa hingga cukup 30 hari entah kalau kelihatan sebelum itu, Tidakkah cukup menurut engkau penglihatan dan berpuasanya Muawiyah?, tanya aku. Tidak, ujarnya, Begitulah perintah Rasulullah saw kepada kami (HR Ahmad, Muslim dan Tirmidzi).Hadits Kuraib merupakan ijtihad Ibnu Abbas ra dan bukanlah hadits dari Rasulullah saw, Ibnu Abbas ra berijtihad berdasarkan sabda Rasulullah saw: Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya Ijtihad Ibnu Abbas ra ini menyelisihi hadits yang diriwayatkan oleh jamaah sahabat Anshar:Mereka berkata: Hilal Syawal tertutup mendung lalu kami berpuasa pada pagi harinya. Lalu pada akhir hari ada kafilah datang lalu mereka bersaksi pada Rasulullah saw bahwa kemarin mereka telah melihat hilal lalu beliau menyuruh manusia berbuka pada hari itu juga dan agar mereka keluar untuk shalat ied pada pagi harinya (HR Mutafaqalaihi, kecuali Tirmidzi)Ketika memperoleh kabar dari kafilah yang datang dari luar kota Madinah bahwa hilal telah terlihat di daerah lain, Rasulullah saw langsung memerintahkan para sahabat untuk berbuka pada sore itu juga, kemudian shalat ied besok paginya. Hadits Kuraib yang merupakan ijtihad Ibnu Abbas ra terbantahkan dengan Hadits dari jamaah sahabat Anshar, sehingga ruyat lokal bukanlah pendapat yang kuat. Ruyat lokal juga berdasarkan pendapat Imam Syafii dimana jika ada kesamaan matla (daerah yang terlihat hilal) maka wajib berpuasa untuk daerah itu saja, sementara umat yang berada di luar matla berpuasa sesuai dengan hasil ruyat-nya sendiri. Radius matla ditetapkan oleh Imam Syafii sejauh 24 farsakh atau kira-kira 133 km (1 farsakh= 5,541 km). Hal ini karena keterbatasan teknologi informasi saat itu dalam menyampaikan informasi ke daerah sekitar matla.Sementara dengan teknologi informasi saat ini dengan cepat bisa disebarkan hasil ruyat ke seluruh Negeri kaum muslimin, sehingga pendapat Imam Syafii tidak kuat lagi untuk kondisi saat ini, sesuai dengan ucapan terkenal Imam Syafii:Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah saw, peganglah Hadits Rasulullah SAW. itu dan tinggalkanlah pendapatku itub.Ruyat GlobalRuyat global adalah ruyat yang berlaku untuk seluruh dunia. Jika suatu Negeri kaum muslimin telah melihat hilal maka segera informasi ini disebarkan ke seluruh Negeri-negeri kaum muslim yang lain, maka diseluruh dunia kaum muslimin berpuasa atau berlebaran di saat yang sama. Tidak ada lagi sekat-sekat batas negara dan suku bangsa (Nasionalisme) karena begitulah aqidah Islam.Hilal bisa saja tidak terlihat pada Negeri yang waktunya lebih awal karena sudut derajat masih rendah atau cuaca mendung. Sementara ketika bulan melewati Negeri kaum muslimin berikutnya maka hilal memungkinkan bisa terlihat, sehingga kewajiban semua Negeri kaum muslimin untuk mengikuti ketetapan Negeri yang telah melihat hilal.Jumhur Imam Mazhab diantaranya Imam Hanafi, Maliki dan Hanbali menganut ruyat global, hanya Imam Syafii yang menganut ruyat lokal (matla). Pendapat ruyat lokal Imam Syafii tidak sesuai lagi dengan perkembangan teknologi informasi saat ini. Dengan demikian hadits di atas bermakna:Berpuasalah kalian (semua kaum muslim) apabila (salah satu dari kalian) melihat hilal (Ramadhan) dan berbukalah kalian (semua kaum muslim) apabila (salah satu dari kalian) melihat hilal (Syawwal). Lalu apabila mendung menghalangi kalian, maka sempurnakanlah hitungan syaban sampai tiga puluh hari (HR Bukhari & Muslim).Jika pendapat Imam Syafii dijalankan secara konsisten maka wilayah Indonesia terkotak-kotak menjadi banyak matla, sehingga memungkinkan berbeda- beda waktu berpuasa atau berlebaran untuk masing- masing matla. Jika ruyat dilakukan di Jakarta maka ketetapan hasil ruyat hanya berlaku hingga radius 24 farsakh (133 km), artinya satu kesatuan matla hanya sampai daerah Anyer sedangkan Lampung, Palembang, Jateng, Jatim dan daerah lain harus melakukan ruyat sendiri-sendiri. Tercerai- berainya umat karena perbedaan matla, maka di ambil jalan kompromi dengan konsep Wilayatul Hukmi, dimana hasil ruyat berlaku untuk satu kesatuan hukum Negara Indonesia. Dimana konsep wilayatul hukmi ini tidak mengikuti pendapat 3 Imam Mazhab (Imam Hanafi, Maliki dan Hanbali) yang menganut ruyat global, juga tidak mengikuti pendapat Imam Syafii yang menganut ruyat lokal. 2. Metode Menyempurnakan Bilangan Bulan (Istikmal)Metode kedua untuk mengetahui masuknya bulan Ramadhan ialah dengan menyempumakan bilangan bulan Syaban menjadi tiga puluh hari, baik langit dalam keadaan cerah maupun berawan. Apabila mereka melihat bulan pada malam (magrib) tanggal tiga puluh bulan Sya'ban kemudian tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka hendaklah mereka menyempurnakan hitungan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW. Bersabda : Berpuasalah kalian apabila melihat hilal (Ramadhan) dan berbukalah kalian apabila melihat hilal (Syawwal). Lalu apabila mendung menghalangi kalian, maka sempurnakanlah hitungan syaban sampai tiga puluh hari (HR Bukhari & Muslim).

Diriwayatkan pula dari Umar bahwa Rasulullah SAW. Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat tanggal (satu ramadhan) dan janganlah kamu berbuka (berlebaran) sehingga kamu melihat tanggal (satu syawal). Dan jika penglihatanmu tertutup oleh awan, maka kira- kirakanlah bulan itu.(Mutafaq alaih)Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dan jumhur (mayoritas) golongan salaf dan khalaf berpendapat, makna dari ialah perkirakanlah untuk menetapkan bulan itu dengan menyempurnakan bilangan Syaban tiga puluh hari.Oleh karena itu, seharusnya bulan Sya'ban sudah diketahui ketetapannya sejak awal, sehingga pada waktu bulan tidak kelihatan, maka malam ketiga puluh saat dicarinya hilal (tanggal) dan disempurnakannya bilangan Sya'ban menjadi tiga puluh hari dapat diketahui. Maka merupakan suatu kekurangan apabila penetapan masuknya bulan itu hanya dilakukan untuk tiga bulan saja, yaitu bulan Ramadhan untuk menerapkan masuknya puasa, bulan Syawal untuk menetapkan mulai keluarnya dari kewaiiban puasa. dan bulan Dzulhijjah unluk menelapkan hari Arafah dan sesudahnya. Dengan demikian sudah seharusnya umat dan pemerintah yang bersangkutan bertindak secara cermat menerapkan semua bulan, sebab hitungan hulan yang satu didasarkan pada bulan yang lain. 3.Metode HisabSementara golongan yang menggunakan hisab berpendapat bahwa hisablah yang harus digunakan dalam menetapkan awal dan akhir ramadhan. Masing masing berpijak pada dalil-dalil syari berdasarkan atas interpretasi mereka. Di dalam beberapa riwayat yang sahih, diantaranya dari Nafi' dari Ibnu Umar yang merupakan untaian emas dan isnad paling sahih yang dlriwayatkan oleh Bukhari: Jika penglihatanmu tertutup awan, maka kira- kirakanlah bulan itu.Imam Nawawi berkata dalam al-Majmu', Ahmad bin Hambal dan sebagian kecil ulama mengatakan, Makna (faqduruu lahu) ialah persempitlah bulan itu dan perkirakanlah ia telah berada di bawah awan. Makna ini diambil dari kata qadara yang berarti dhayyaqa (mempersempit). Menurut Mutharrif bin Abdullah tokoh ulama tabi'in dan Abul Abbas bin Suraij tokoh ulama Syafi'iyah serta ulama yang lainnya berkata, maknanya ialah kira-kirakanlah bulan itu menurut perhitungan manzilah (letaknya). Adapun Ibnu Arabi menukil riwayat dari Ibnu Suraij bahwa sabda Rasulullah SAW. faqduru lahu (Kira-kirakanlah bulan itu) ditujukan kepada orang yang diberi keistimewaan oleh Allah dengan llmu (hisab) ini. Sedangkan sabda Beliau akmiluu al-'iddata (sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban) ditujukan kepada masyarakat umum. Imam Nawawi berkata dalam al-Majmu', orang yang mengatakan dengan memperhitungkan manzilah, maka perkataannya itu tertolak. Mengingat sabda Rasulullah saw.

: ( (Rasulallah Saw bersabda Kita adalah umat buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pandai berhitung, sebulan itu adalah sekian dan sekian maksudnya kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari) (HR. Al Bukhari)Hadits yang digunakan sebagai hujjah oleh Imam Nawawi rahimahullah tidaklah tepat, karena hadits ini hanya membicarakan kondisi umat Islam pada zaman diutusnya Nabi Muhammad SAW. kepada mereka. Bahkan kebutahurufan itu bukan merupakan keharusan atau sesuatu yang dituntut. Malah Nabi SAW. sendiri telah berusaha membebaskan umat ini dari buta huruf dengan mengajarkan tulis- menulis kepada mereka yang dimulai sejak usainya perang Badar. Namun saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang dan maju, untuk mengetahui waktu-waktu dan fenomena luar angkasa baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi dapat diperkirakan secara tepat dan mudah, sehingga dengan didukung peralatan yang canggih, hisablah yang paling akurat untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan.

2.2. Perbedaan Pandangan tentang Pengaruh Mathla

Garis besarnya ada dua pendapat ulama yang berbeda dalam menyikapi mathla (tempat terbitnya hilal). Pertama, tidak ada pengaruh perbedaan mathla dalam penentuan awal akhir Ramadhan. Maksudnya, jika pada suatu wilayah penduduknya sudah melihat hilal (Ramadhan), maka wajib hukumnya wilayah yang lain yang belum melihat hilal mengikuti hasil ruyah negara tersebut, baik wilayah tersebut dekat atau jauh. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, yakni pendapat yang mutamad dari kalangan Hanafiyyah, Imam Malik (wafat 179 H), Al Laits bin Saad (wafat 175 H), Imam As Syafii(wafat 204 H), sebagian kecil kalangan Syafiyyah seperti Abu Thayyib(wafat 341 H), Imam Ahmad (wafat 241 H), juga pendapat Ibnu Taymiyyah (wafat 728 H) dan Imam Asy Syaukany (wafat 1250 H) dari kalangan ahli tahqiq. Kedua, perbedaan mathla dianggap berpengaruh terhadap perbedaan penentuan awal-akhir Ramadhan. Tiap wilayah bisa bersandar kepada hasil ruyah wilayahnya sendiri dan tidak harus mengikuti hasil ruyah wilayah yang lain. Ulama yang berpandangan seperti ini antara lain Ibnu Abbas, Ibnul Mubarak, Imam Malik[6], sebagian besar kalangan Syafiiyyah seperti Imam As Syairozi (wafat 476 H, penulis kitab al Muhadzdzab) dan Ar Rofii (wafat 623 H), dan az Zaylai (wafat 743 H) dari kalangan Hanafiyyah[7]. Diantara mereka juga terjadi perbedaan tajam dalam menentukan kriteria apa yang membolehkan beda awal-akhir Ramadhan, sebagian menyatakan boleh beda secara muthlaq berdasarkan ruyat masing-masing, baik dekat ataupun jauh, sebagian menyatakan boleh berbeda kalau berjauhan, kalau dekat dianggap satu kesatuan. Yang membolehkan berbeda kalau berjauhan juga terjadi perbedaan dalam menentukan kriteria jauh seperti apa yang membolehkan berbeda awal-akhir Ramadhan.Perbedaan terjadi bisa karena berbeda dalam memahami nash, ditambah objek yang dihukumi (manthul hukm), yakni ilmu astronomi tentang munculnya hilal (bulan baru) yang masih kurang difahami.Di Indonesia, ada beberapa perbedaan antar organisasi islam diantaranya :Nahdlatul Ulama (NU) dengan metode Rukyat atau kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal) menjadi 30 hari".Nahdlatul Umala menggunakan metode ini dengan mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.Muhammadiyah dengan metode Hisab atau kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.Muhammadiyah menggunakan metode Hisab dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur'an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra': 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 36-40.Persis dengan metode Imkanur Rukyat atau metode yang dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip:Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika: Pada saat Matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3, atau Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.Secara bahasa, Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab.Terdapat 3 kemungkinan kondisi. Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyat. Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.Meski demikian ada juga yang berpikir bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini. Hal ini terjadi pada penetapan 1 Syawal 1432 H / 2011 M.Di Indonesia, secara tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat (BHR) melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari.

BAB IVPENUTUP

KesimpulanMuhammadiyah dan NU sering berbeda dalam menentukan awal Ramadhan dan akhir Ramadhan ada beberapa alasan:1. Ormas Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan baru menggunkan metode hisab. Metode hisab biasanya sudah bisa diramalkan jauh-jauh hari. Berbeda dengan NU / pemerintah, menggunakan metode rukyat, yang artinya hilal bulan baru jika berada di atas 2 derajad di atas ufuk. dan baru tidak bisa diramalkan jauh hari sebelumnya alias mesti dilihat atau dipraktekkan pada hari yang dianggap hilal akan muncul.2. Pemerintah, selama puluhan tahun berpegang pada metode rukyat. Bagaimanapun pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keagamaan tentu memiliki alasan-alasan tertentu dalam memakai metode ini. Karena alat sudah semakin canggih( misalnya teleskop atau teropong), rasanya tidak repot-repot amat untuk melihat bulan baru. Media komunikasi massal dan global sudah banyak dimiliki masyarakat, seperti Handphone dan Televisi, sehingga berita dapat disosialisakan dengan cepat.

Daftar Pustaka

http://www.teknoislam.com/2013/07/penentuan-1-ramadhan-dan-1-syawal.htmlhttp://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyatSayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (fiqhus sunnah), (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), hal. 33-34. Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyah, (Bangil- Jatim: Al-Izzah, 2003), hal 283.Sayyid Sabiq, Op. cit, hal 13.