Upload
stefany-fany
View
200
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
syok hipovolemik ec rupture hepar
Citation preview
Syok Hipovolemik et causa Ruptur Hepar
Stefany
102008111
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna Utara no 6, Jakarta Barat
PENDAHULUAN
Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi
darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel. Kematian
karena syok terjadi bila keadaan ini menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolisme
sel. Terapi syok bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan
faktor penyebab.
Syok sirkulasi dianggap sebagai rangsang paling hebat dari hipofisis adrenalis
sehingga menimbulkan akibat fisiologi dan metabolisme yang besar. Syok
didefinisikan juga sebagai volume darah sirkulasi tidak adekuat yang mengurangi
perfusi, pertama pada jaringan non vital (kulit, jaringan ikat, tulang, otot) dan
kemudian ke organ vital (otak, jantung, paru-paru, dan ginjal). Syok atau renjatan
merupakan suatu keadaan patofisiologis dinamik yang mengakibatkan hipoksia
jaringan dan sel.
1
Klasifikasi Syok
Syok secara umum dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Syok Hipovolemik
Syok yang disebabkan karena tubuh :
Kehilangan darah/syok hemoragik
Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal
Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks
Kehilangan plasma : luka bakar
Kehilangan cairan dan elektrolit
Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih
Internal : asites, obstruksi usus
2. Syok Kardiogenik
Kegagalan kerja jantungnya sendiri. Gangguan perfusi jaringan yang disebabkan
karena disfungsi jantung misalnya : aritmia, AMI (Infark Miokard Akut).
3. Syok Distributif (berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer)
Syok Septik
Syok yang terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya didalam tubuh
yang berakibat vasodilatasi.
Syok Anafilaktif
Gangguan perfusi jaringan akibat adanya reaksi antigen antibodi yang mengeluarkan
histamine dengan akibat peningkatan permeabilitas membran kapiler dan terjadi dilatasi
arteriola sehingga venous return menurun.
2
Misalnya : reaksi tranfusi, sengatan serangga, gigitan ular berbisa
Syok Neurogenik
Pada syok neurogenik terjadi gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena
disfungsi sistim saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi.
Misalnya : trauma pada tulang belakang, spinal syok.
4. Syok Obstruktif (gangguan kontraksi jantung akibat di luar jantung)
Ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama diastol sehingga secara nyata
menurunkan volume sekuncup dan endnya curah jantung.
Misalnya : tamponade kordis, koarktasio aorta, emboli paru, hipertensi pulmoner primer.
PEMBAHASAN
ANAMNESIS
Anamnesis adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara baik
langsung pada pasien (Auto anamnese) atau pada orang tua atau sumber lain (Allo
anamnese). 80% untuk menegakkan diagnosa didapatkan dari anamnesis. Tujuan
anamnesis yaitu untuk mendapatkan keterangan sebanyak-banyaknya mengenai kondisi
pasien, membantu menegakkan diagnosa sementara.1,2
• Kapan peristiwa kecelakaan terjadi?
• Bagaimana persitiwa kejadiannya?
• Apakah yang terjadi setelah kecelakaan ?
• Apakah sudah dilakukan tindakan di tempat kejadian?
• Apakah sebelum tidak sadar pasien mengeluh nyeri? dimana?
3
• Apakah ada pendarahan pada pasien?
• Sejak kapan pasien tidak sadar?
• Apakah pasien memiliki riwayat gangguan pencernaan?
• Apakah pasien memliki riwayat nyeri abdomen?
• Apakah pasien memiliki riwayat operasi abdomen?
• Apakah pasien minum obat-obatan tertentu?
• Apakah pasien merokok atau minum alkohol?
• Apakah pasien terdapat alergi obat?
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit
penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan lansung.
Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah
didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya
mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan status mental.
Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan kebingungan,
sebaiknya dinilai pada semua pasien. Pada pasien trauma, menentukan mekanisme
cedera dan beberapa informasi lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera
tertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan
kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor). Jika sadar,
pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri. Tanda vital, sebelum dibawa ke unit
gawat darurat sebaiknya dicatat.
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Tanda-Tanda Vital
Yang diperiksa ialah tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas dan suhu tubuh.4
Pemeriksaan Kesadaran
Secara sederhna, tingkat kesadaran dapat dibagi atas ; kesadaran yang normal (kompos mentis),
somnolen, sopor, koma ringan, koma.
a. Somnolen
Keadaan mengantuk, kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen disebut juga
sebagai letargi atau obtundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya penderita
dibangunkan, mampu memberikan jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
b. Sopor
Kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, namun
kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti suruhan yang singkat, dan
masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri, penderita tidak dapat dibangunkan
secara sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh
jawaban verbal dari penderita. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
c. Koma ringan
Pada keadaan ini, tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Refleks (kornea, pupil) masih
baik. Gerakan terutama timbul sebagai respon terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap
rangsang nyeri tidak terorganisir. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.
d. Koma
Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang
bagaimanapun kuatnya.
Untuk menggikuti tingkat perkembangan kesadaran dapat digunakan skala koma Glasgow seperti
gambar di bawah ini.3
5
Inspeksi
Dilakukan pada pasien dengan posisi tidur terlentang dan diamati dengan seksama dinding
abdomen. Yang perlu diperhatikan adalah:
• Keadaan kulit; warnanya (ikterus, pucat, coklat, kehitaman), elastisitasnya
(menurun pada orang tua dan dehidrasi), kering (dehidrasi), lembab (asites), dan
adanya bekas-bekas garukan (penyakit ginjal kronik, ikterus obstruktif), jaringan
parut (tentukan lokasinya), striae (cushing syndrome), pelebaran pembuluh darah
vena (obstruksi vena kava inferior & kolateral pada hipertensi portal).
• Besar dan bentuk abdomen; rata, menonjol, atau scaphoid (cekung).
• Simetrisitas; perhatikan adanya benjolan local (hernia, hepatomegali,
splenomegali, hidronefrosis).
• Gerakan dinding abdomen pada peritonitis terbatas.
• Pembesaran organ atau tumor, dilihat lokasinya dapat diperkirakan organ apa
atau tumor apa.
• Peristaltik; gerakan peristaltik usus meningkat pada obstruksi ileus, tampak pada
dinding abdomen dan bentuk usus juga tampak (darm-contour).
• Pulsasi; pembesaran ventrikel kanan dan aneurisma aorta sering memberikan
gambaran pulsasi di daerah epigastrium dan umbilikal.
Palpasi
Palpasi superficial dilakukan untuk melihat ada ketegangan otot, nyeri tekan lepas
atau tidak (prinsipnya dilakukan pada area yang diduga tidak nyeri/normal dulu), masa
dengan ujung jari bersamaan dengan lembut semua kuadran. Nyeri pada abdomen ada yang 6
sifatnya visceral (hilang timbul, tidak bisa ditunjuk dengan jelas), ada yang somatik (bisa
ditunjuk dengan jelas). Kelainan pada dinding ditandai dengan hilangnya nyeri apabila ada
ketegangan perut jika masih nyeri berarti ada kelainan dari dalam dinding perut.
Palpasi adanya masa, dilihat konsistensinya apakah padat keras (seperti tulang), padat
kenyal (seperti meraba hidung), lunak (seperti pangkal pertemuan jempol dan telunjuk), atau
kista (ditekan mudah berpindah seperti balon berisi air, berisi cairan). Adanya tumor pada
abdomen diperkirakan dari 9 regio anatominya. Ukuran massa ditentukan dengan pasti yakni
dengan meteran/jangka sorong mengenai panjang, lebar, tebal (kalau tidak ada peralatan, bisa
dengan ukuran jari penderita).2
• Palpasi hati
Palpasi hepar dilakukan dengan meletakkan tangan kiri dibelakang penderita menyangga
costa ke-11/12 sejajar, minta penderita rileks. Hepar didorong ke depan, diraba dari
depan dengan tangan kanan (bimanual palpasi). Tangan kanan ditempatkan pada lateral
otot rektus kanan, jari di batas bawah hepar dan tekan lembut ke arah atas. Pasien
diminta bernafas dalam sehingga terasa sentuhan hepar bergerak ke bawah (tangan
dikendorkan agar hepar meluncur dibawah jari sehingga meraba permukaan yang lunak
tidak berbenjol, tepi tegas/tajam, tidak ada pembesaran).
Perkusi
Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara keseluruhan,
menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massa padat atau massa berisi
cairan (kista), adanya udara yang meningkat dalam lambung dan usus, serta adanya udara
bebas dalam rongga abdomen. Suara perkusi abdomen yang normal adalah timpani (organ
berongga yang berisi udara), kecuali di daerah hati (redup; organ yang padat). Dilakukan
perkusi ringan pada seluruh dinding abdomen secara sistematis untuk mengetahui distribusi
daerah timpani dan daerah redup (dullness). Pada perforasi usus, pekak hati akan menghilang.
Adanya cairan bebas dalam rongga abdomen (asites) akan menimbulkan suara
perkusi timpani di bagian atas dan dullness dibagian samping atau suara dullness dominant.
Karena cairan itu bebas dalam rongga abdomen, maka bila pasien dimiringkan akan terjadi
perpindahan cairan ke sisi terendah. Lakukan perkusi di empat kuadran dan perhatikan suara
yang timbul pada saat melakukannya dan bedakan batas-batas dari organ dibawah kulit.
Organ berongga seperti lambung, usus, kandung kemih berbunyi timpani, sedangkan bunyi
pekak terdapat pada hati, limfa, pankreas, ginjal.
Auskultasi
Kegunaan auskultasi ialah untuk mendengarkan suara peristaltik usus dan bising
pembuluh darah. Dilakukan selama 2-3 menit.
7
• Mendengarkan suara peristaltik usus
Diafragma stetoskop diletakkan pada dinding abdomen, lalu dipindahkan ke seluruh
bagian abdomen. Suara peristaltik usus terjadi akibat adanya gerakan cairan dan udara
dalam usus. Frekuensi normal berkisar 5-34 kali/ menit. Bila terdapat obstruksi usus,
peristaltik meningkat disertai rasa sakit (borborigmi). Bila obstruksi makin berat,
abdomen tampak membesar dan tegang, peristaltic lebih tinggi seperti dentingan keeping
uang logam (metallic- sound).Bila terjadi peritonitis, peristaltik usus akan melemah,
frekuensinya lambat bahkan sampai hilang.
• Mendengarkan suara pembuluh darah
Bising dapat terdengar pada fase sistolik dan diastolik, atau kedua fase. Misalnya pada
aneurisma aorta, terdengar bising sistolik (systolic bruit). Pada hipertensi portal,
terdengar adanya bising vena (venous hum) di daerah epigastrium. Pemeriksaan
auskultasi abdomen berguna untuk memperkirakan gerakan usus dan adanya gangguan
pembuluh darah. Bunyi usus akan terdengar tidak teratur seperti orang berkumur dengan
frekwensi 5 – 35 kali permenit. Normal tidak terdengar bunyi vaskuler disekitar aorta,
ginjal, iliaka atau femoral, apabila terdapat desiran mungkin suatu aneurisma.2,3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain:
1. Hemoglobin dan hematokrit
Pada fase awal renjatan syok karena perdarahan kadar Hb dan hematokrit masih
tidak berubah, kadar Hb dan hematokrit akan menurun sesudah perdarahan
berlangsung lama, karena proses autotransfusi. Hal ini tergantung dari kecepatan
hilangnya darah yang terjadi. Pada syok karena kehilangan plasma atau cairan
tubuh seperti pada dengue fever atau diare dengan dehidrasi akatn terjadi
haemokonsentrasi.
Usia Kadar Hb
Pra Sekolah 11 g/dL
Usia Sekolah 12 g/dL
Wanita Hamil 11 g/dL
26 bulan Post Partum 12 g/dL
Wanita Dewasa 12 g/dL
8
Pria Dewasa 13 g/dL
Tabel 1. Batas bawah kadar Hb untuk penduduk Indonesia
Kadar Hb Hematokrit Jumlah eritrosit
Pria dewasa 14-17 g/dL 42-53% 4,6-6,2 juta/uL
Wanita dewasa 12-15 g/dL 38-46% 4,2-5,4 juta/uL
Anak- anak 10-14,5 g/dL 31-43% 3,8-5,8 juta/uL
Tabel 2. Kadar Hb, Hematokrit, Jumlah Eritrosit Normal
2. Kadar SGOT, SGPT dan bilirubin.
Peningkatan kadar SGOT dan SGPT dapat menunjukkan adanya kebocoran
dari sel yang mengalami kerusakan. Bilirubin dikeluarkan melalui empedu dan
dibuang melalui feses. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan adanya penyakit hati
atau saluran empedu.
3. Albumin dan globulin
Kadar albumin yang rendah mencerminkan kemampuan sel hati yang
berkurang. Sintesisnya terjadi di hati, dan kadarnya akan menurun sesuai dengan
perburukan sirosis. Kadar globulin konsentrasinya akan meningkat pada sirosis.
4. Kadar ureum dan keratinin
Perbandingan BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin serum dapat dipakai
untuk memperkirakan asal perdarahan. Nilai puncak biasanya dicapai dalam 24-48
jam sejak terjadinya perdarahan. Normal perbandingannya adalah 20. Bila di atas 35,
kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna bagian atas (SCBA). Di bawah
35, kemungkinan perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB).4 Azotemia sering
terjadi pada perdarahan saluran cerna. Derajat azotemia tergantung pada jumlah darah
yang hilang, lamanya perdarahan, dan derajat integritas fungsi ginjal. Azotemia
terjadi tidak tergantung pada penyebab perdarahan. BUN mempunyai kepentingan
untuk menentukan prognosis. BUN sampai setinggi 30mg/100ml mempunyai
9
prognosis yang baik. 50 – 70 mg/100 ml mempunyai mortalitas setinggi 33%. Nilai di
atas 70 mg/100 ml mengakibatkan keadaan fatal. BUN = 2,14 x nilai ureum darah.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan rontgen
Servikal lateral, toraks anteroposterior (AP) dan pelvis adalah pemeriksaan yang
harus dilakukan penderita multitrauma. Pada penderita yang hemodinamik normal maka
pemeriksaan ronsen abdomen dalam keadaan terlentang dan berdiri (sambil melindungi
tulang punggung) mungkin nerguna untuk mengetahui udara ektra luminal di retroperitoneum
atau udara bebas dibawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera.
Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow) juga menandakan adanya cedera
retroperitoneum. Bila tegak dikontraindikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung,
dapat digunakan foto samping sambil tidur ( left lateral decubitus) untuk mengetahui udara
bebas intraperitoneal.
Ultrasonografi
Beberapa dokter telah menganjurkan penggunaan ultra sonografi untuk
menyelidiki abdomen bagi trauma abdomen. Tetapi pengalaman dengan
ultrasonografi setelah trauma tumpul abdomen cukup terbatas serta memerlukan
adanya teknikus dan interpreter yang berpengalaman.is pemeriksaan yang sama sekali
non invasif yang memerlukan hanya 10 menit sampai 15 menit untuk mencapai
seluruh layar abdomen, tetapi sensitivitas seluruh metode ini belum diketahui pada
saat sekarang. Kerugian lebih lanjut dari penggunaan ultrasonografi adalah sering
adanya gas usus berlebih setelah trauma abdomen yang menggangu pemeriksaan
sonografi.2
Tomografi dekomputerisasi
Selama setengah desawarsa yang lalu, gambaran CT telah lebih luas
digunakan untuk penyaringan abdomen setelah trauma tumpul. Tomografi
dekomputerisasi sangat spesifik untuk cedera pada limpa, hati, ginjal, pankreas,
duodenum, diagfragma, dan retroperitoneal. Banyak ahli di amerika serikat
mengusulkan bahwa CT menggantikan bilas peritoneal sebagai metode terpilih untuk
10
mengevaluasi trauma tumpul abdomen. Harus ditekankan bahwa, bila menggunakan
CT maka bilas peritoneal tidak boleh dilakukan. Keuntungan utama adalah jumlah
perdarahan intraabdomen dapat dinilai secara kunatitatif dan pasien dengan laserasi
organ padat ringan tetapi dengan sedikit hemoperitoneum atau tidak dapat dilakukan
bedah.perdarahan abdomen bisa diklasifikasikan ringan atau sedang,dan penemuan ini
bisa dikorelasikan dengan penilaian klinik. Hematoma kecil cenderung terkumpul
dekat tempat asal, sedangkan perdarahan intraperitoneal bebas sering ditunjukan oleh
akumulasi darah di dalam parit (gutter) pericolica dan pelvis.
Kerugiaan utama pada scanning CT untuk mendeteksi cedera intraabdomen
berhubungan dengan fasilitas dan kemampuan lembaga. Scanner tubuh diperlukan
dalam tempat yang sangat dekat dengan kamar gawat darurat serta interpretasi ahli
atas bayangan CT diperlukan berdasarkan 24 jam sehari.
Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga
perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik. Bila ada
keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).
Diagnostic Perotoneal Lavage dilakukan pada trauma abdomen perdarahan
intra abdomen, tujuan dari DPL adalah untuk mengetahui lokasi perdarahan intra
abdomen. Indikasi untuk melakukan DPL, antara lain:
• Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
• Trauma pada bagian bawah dari dari dada
• Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
• Pasien cidera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat, alkohol, cedera
otak)
• Pasien cedera abdominalis dan cidera bmedula spinalis (sumsum tulang
belakang)
• Patah tulang pelvis
11
Pemeriksaan DPL dilakukan melalui anus, jika terdapt darah segar dalm BAB
atau sekitar anus berarti trauma non-penetrasi (trauma tumpul) mengenai kolon atau
usus besar, dan apabila darah hitam terdapat pada BAB atau sekitar anus berarti
trauma non-penetrasi (trauma tumpul) usus halus atau lambung. Apabila telah
diketahui hasil Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL), seperti adanya darah pada
rektum atau pada saat BAB. Perdarahan dinyatakan positif bila sel darah merah lebih
dari 100.000 sel/mm³ dari 500 sel/mm³, empedu atau amilase dalam jumlah yang
cukup juga merupakan indikasi untuk cedera abdomen. Tindakan selanjutnya akan
dilakukan prosedur laparotomi
Kontra indikasi dilakukan Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL), antara lain:
• Hamil
• Pernah operasi abdominal
• Operator tidak berpengalaman
• Bila hasilnya tidak akan merubah penata-laksanaan
DIAGNOSIS
Syok Hipovolemik ec Ruptur Hepar
Syok hipovolemik merupakan salah satu jenis syok yang disebabkan oleh
hilangnya darah, plasma, atau cairan interstitiel dalam jumlah yang besar. Hilangnya
darah dan plasma menyebabkan hipovolemia secara langsung. Hilangnya cairan
interstitiel menyebabkan hipovolemia secara tidak langsung dengan memicu
terjadinya difusi plasma dari intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Syok hipovolemik
mulai berkembang ketika volume intravaskuler berkurang sekitar 15 %. Syok
hipovolemik pada anak merupakan tipe syok yang paling sering terjadi, berhubungan
dengan pengurangan volume intravaskuler. Dehidrasi dan trauma merupakan
penyebab yang paling sering pada syok hipovolemik.
Berdasarkan mekanisme traumanya, trauma hepar terbagi menjadi :
• Trauma Tumpul
12
Mekanisme yang menimbulkan kerusakan hepar pada trauma tumpul adalah
efek kompresi dan deselerasi. Trauma kompresi pada hemithorax kanan dapat
menjalar melalui diafragma, dan menyebabkan kontusio pada puncak lobus kanan
hepar. Trauma deselerasi menghasilkan kekuatan yang dapat merobek lobus hepar
satu sama lain dan sering melibatkan vena cava inferior dan vena-vena hepatik
• Trauma Tajam
Trauma tajam terjadi akibat tusukan senjata tajam atau oleh peluru. Berat
ringannya kerusakan tergantung pada jenis trauma, penyebab, kekuatan, dan arah
trauma. Karena ukurannya yang relatif lebih besar dan letaknya lebih dekat pada
tulang costa, maka lobus kanan hepar lebih sering terkena cidera daripada lobus kiri.
Sebagian besar trauma hepar juga mengenai segmen hepar VI,VII, dan VIII. Tipe
trauma ini dipercaya merupakan akibat dari kompresi terhadap tulang costa, tulang
belakang atau dinding posterior abdomen.4,5
Adanya trauma tumpul langsung pada daerah kanan atas abdomen atau di
daerah kanan bawah dari tulang costa, umumnya mengakibatkan pecahan bentuk
stellata pada permukaan superior dari lobus kanan. Trauma tidak langsung atau
contra coup biasanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian dengan bagian kaki atau
bokong yang pertama kali mendarat. Jenis trauma ini menyebabkan efek pecahan
pada penampang sagital hepar dan kadang-kadang terjadi pemisahan fragmen hepar.
Gambaran trauma hepar mungkin dapat seperti:
• Subcapsular atau intrahepatic hematom
• Laserasi
• Kerusakan pembuluh darah hepar
• Perlukaan saluran empedu.
Saat ruptur hepar mengenai kapsul Glissoni maka akan terjadi ekstravasasi darah dan
empedu ke dalam cavum peritoneal. Bila kapsul tetap utuh, pengumpulan darah di
antara kapsul dan parenkim biasanya ditemukan pada permukaan superior dari hepar.
Ruptur sentral meliputi kerusakan parenkim hepar.
ETIOLOGI6
Syok Hipovolemik
13
a. Perdarahan (syok hemoragik), misalnya taruma.
b. Kehilangan plasma, misalnya luka bakar, peritonitis.
c. Kehilangan air dan elektrolit, misalnya muntah, diare.
Syok hipovolemik
hipovolemia ringan (<20 % volume darah): takikardia ringan.
hipovolemia sedang (20-40% volume darah): lebih cemas dan takikardia lebih jelas
dan bisa ditemukan pada posisi berbaring.
hipovolemia berat: tekanan darah menurun drastis dan tidak stabil walau posisi
berbaring, takikardia hebat, oliguria dan agitasi (bingung).
Trauma Hepar
• Kecelakaan
• Jatuh
• Benturan
• Dengan adanya kompresi berat hepar bisa tertekan ke tulang belakang
PATOFISIOLOGI6
Pendarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan
menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan
curah jantung. Curah jantung yang rendah dibawah normal akan menimbulkan
beberapa kejadian pada beberapa organ:
Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung
dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus
gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan
otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan
energy. Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi
14
tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi
kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean arterial
pressure/MAP) jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan
fungsi sel di semua organ akan terganggu.
Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan
kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonomi tubuh
yang mengatur perfusi serta substrak lain.
Kardiovaskular
Tiga variable seperti ; pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi)
ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam menontrol volume sekucup.
Curah jantung.Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali
volume sekuncup dan frekuensi jantung.Hipovolemia menyebabkan penurunan
pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume sekuncup.Suatu
peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.
Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi
peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negative yang
mati di dalam usus. Hal ini memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan
metabolisme dan bukan memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.
Ginjal
Gagal ginjal akut adalah salah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi,
frekuensi terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti.Yang
banyak terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan
pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras
angiografi.Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam
dan air.Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk
15
mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosterone dan
vasopressin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi urin.
PENATALAKSANAAN
Syok Hipovolemik:
Tujuan utama dalam mengatasi syok hipovolemik adalah :
(1) Memulihkan volume intravascular untuk membalik urutan peristiwa sehingga
tidak mengarah pada perfusi jaringan yang tidak adekuat.
(2) Meredistribusi volume cairan, dan
(3) Memperbaiki penyebab yang mendasari kehilangan cairan secepat mungkin.
Medika mentosa:7
Pemberian obat-obat suportif:
a. Vasodilator: diberikan setelah terdapat perbaikan keadaan umum, sambil terus
diberikan cairan dengan tujuan bila terjadi penurunan tekanan darah berarti tubuh
masih kekurangan cairan. Serta untuk memperbaiki perfusi organ penting dengan
membuka pre- dan post-capilalry sphincter. Vasodilator yang dapat diberikan, berupa:
- Isoproterenol
- Dopamine
- α adrenergic blockers: Fenoksibenzamin atau Nacl, Klorpromazin
b. Vasokonstriktor
c. Kortikosteroid: bila secara klinis derajat syok tidak sesuai dengan perdarahan, atau
bila dengan penggantian cairan yang adekuat tidak terlihat perbaikan.
Non Medika mentosa:
Pengobatan penyebab yang mendasar
Jika pasien sedang mengalami hemoragi, upaya dilakukan untuk menghentikan
perdarahan. Mencakup pemasangan tekanan pada tempat perdarahan atau
mungkin diperlukan pembedahan untuk menghentikan perdarahan internal.
Penggantian Cairan dan Darah
16
Pemasangan dua jalur intra vena dengan jarum besar dipasang untuk membuat
akses intra vena guna pemberian cairan. Maksudnya memungkinkan pemberian
secara simultan terapi cairan dan komponen darah jika diperlukan.
Contohnya : Ringer Laktat dan Natrium clorida 0,9 %, Koloid (albumin dan
dekstran 6 %).
Redistribusi cairan
Pemberian posisi trendelenberg yang dimodifikasi dengan meninggikan tungkai
pasien, sekitar 20 derajat, lutut diluruskan, trunchus horizontal dan kepala agak
dinaikan. Tujuannya, untuk meningkatkan arus balik vena yang dipengaruhi
oleh gaya gravitasi
Trauma hepar
Penatalaksanaan Non Operatif:
Trauma hepar dengan hemodinamik stabil dan tidak ada tanda pendarahan serta
defans muscular dilakukan perawatan non-operatif dengan observasi ketat selama
minimal 2x24 jam.
Harus dilakukan pemeriksaan CT Scan serial, USG maupun Hb serial.
Penatalaksanaan Operatif:
Desinfeksi lapangan operasi dengan antiseptik → dipersempit dengan linen steril.
Insisi midline, darah dan bekuan darah segera dievakuasi. Lakukan packing pada
masing-masing quadrant abdomen untuk hemostasis dan memberikan kesempatan
kepada anaestesi untuk melakukan resusitasi intra operatif. Pada trauma hepar yang
berat lakukan kontrol perdarahan dengan menekan secara langsung pada hepar
dan packing dapat ditinggalkan dalam abdomen dan diangkat sesudah 48-72 jam.
Perdarahan yang sudah berhenti begitu cavum abdomen dibuka tidak perlu dilakukan
tindakan penjahitan.8
Mobilisasi hepar
17
Pada trauma hepar yang tidak jelas sumber perdarahan hepar dapat dimobilisasi
dengan memotong ligamentum inferior dan anterior dilanjutkan dengan memotong
ligamentum falciforme.
Untuk mobilisasi lebih luas dapat dipotong ligamentum triangular sinistra dan dextra.
Pringle Maneuver
Untuk mencegah perdarahan hebat pada trauma hepar dan memudahkan tindakan
pada parenkim hepar, aliran darah ke hepar dapat dihentikan dengan
melakukan manuver pringle yakni dengan menutup triad portal di ligamentum
hepatoduodenale dengan vascular clamp dan dibuka setiap 15-20 menit pada foramen
winslow.
Penjahitan Hepar
Hepar dapat dijahit dengan chromic 2.0 dengan menggunakan jarum hepar yang
panjang dan ini direkomendasikan pada cedera parenchym hepar yang berat.
Jahitan secara matrass menyilang permukaan hepar yang cedera dan jangan terlalu
tegang karena dapat merobek hepar.8,10
Hepatoraphy dan finger fracture tehnik
Perdarahan persisten dari trauma hepar dapat dilakukan hepatoraphy untuk
mengkontrol perdarahan.
Lakukan Pringle Maneuver dan parencym hepar diinsisi dengan electrocauter.
Pembuluh darah dan bile duct diligasi.
Hindarkan cedera dari ductus hepaticus kanan dan kiri. Lepaskan klem perlahan lahan
dan apabila masih ada perdarahan ligasi kembali.
Permukaan luka dijahit tanpa meninggalkan dead space. Bila ada dead space biarkan
luka terbuka dan dilakukan omental patch.
Reseksi Hepar18
Reseksi Hepar pada trauma hepar sangat jarang dilakukan. Reseksi hepar
diindikasikan pada trauma hepar dengan kerusakan parenchym hepar yang sangat
berat, perdarahan yang sangat sulit diatasi dengan berbagai maneuver dan hpotensi.
Kerusakan bilateral dari hepar dapat dilakukan total reseksi dan dilakukan hepar
transplantasi.
Prehepatic Packing
Tehnik prehepatic packing diindikasikan pada:
trauma hepar dengan coagulopathy akibat tansfusi,
trauma hepar bilobar dengan perdarahan yang tidak dapat dikontrol,
subkapsular hematom yang meluas dan rupture dan hypothermia.
Packing dapat berupa kasa tebal yang luas diletakkan langsung pada permukaan anterior dan
posterior hepar dan cavum abdomen ditutup.
Pengangkatan packing dilakukan 24-48 jam kemudian. Cavum abdomen dicuci dan dipasang
drain intra peritonial.4,5
KOMPLIKASI
Sebagian besar pasien dengan trauma hepar berat mempunyai komplikasi,
khususnya jika tindakan operasi dilakukan. Knudson dkk, mencatat komplikasi terjadi
pada 52% pasien trauma hepar Grade IV-V merupaka hasil dari trauma tajam.
Komplikasi signifikan setelah trauma hati termasuk adalah perdarahan post
operatif, koagulopati, fistula bilier, hemobilia, dan pembentukan abses. Perdarahan
post operasi terjadi sebanyak < 10% pasien. Hal ini terjadi mungkin karena
hemostasis yang tidak adekuat, koagulopati post operatif atau karena keduanya. Jika
pasien tidak dalam keadaan hipotermi, koagulopati atau asidosis, maka tindakan
eksplorasi ulang haruslah dilaksanakan. Pembuluh darah yang tampak mengalami
perdarahan harus secara langsung di visualisasi dan ligasi, meskipun kerusakan lebih
luas diperlukan untuk eksplorasi yang adekuat.8,9
PROGNOSIS
Syok Hipovolemik selalu merupakan darurat medis. Namun, gejala-gejala dan hasil
dapat bervariasi tergantung pada:19
• Jumlah volume darah yang hilang
• Tingkat kehilangan darah
• Cedera yang menyebabkan kehilangan
• Mendasari pengobatan kondisi kronis, seperti diabetes dan jantung, paru-paru,
dan penyakit ginjal
Secara umum, pasien dengan derajat syok yang lebih ringan cenderung lebih baik
dibandingkan dengan syok yang lebih berat. Dalam kasus-kasus syok hipovolemik
berat, dapat menyebabkan kematian sehingga memerlukan perhatian medis segera.
Orang tua yang mengalami syok lebih cenderung memiliki hasil yang buruk.7
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiyohadi B. Anamnesis. Dalam: buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I edisi ke-4.
Jakarta: pusat penerbitan departemen IPD FKUI; 2007.h.20-1.
2. Lumbantobing SM. Neurologi klinik. Pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2010.h.7-10.
3. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates; Guide to physical examination and history taking.
10th ed. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.p.434-69.
4. Simadibrata M. Pemeriksaan abdomen, urogenital dan anorektal. Dalam: buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jilid I edisi ke-4. Jakarta: pusat penerbitan departemen IPD
FKUI; 2007.h.51-5.
5. Purwadianto Agus, Sampurna Budi. Trauma Perut. Dalam: Kedaruratan Medik. Edisi
Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara; 2013.h.148-920
6. Wijaya IP. Syok hipovolemik. Dalam: buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I edisi ke-4. Jakarta: pusat penerbitan departemen IPD FKUI; 2007.h.180-1.
7. Purwadianto Agus, Sampurna Budi. Syok Hipovolemik. Dalam: Kedaruratan Medik. Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara; 2013.h.52-5
8. Lindseth GN. Gangguan hati, kandung empedu dan pankreas. Dalam: Patofisiologi.
Konsep klinis proses-proses penyakit. Volume I edisi ke-6. Jakarta: EGC;
2005.h.493-8.
9. Jurnalis YD, Sayoeti Y, Hernofialdi. Sirosis hepatis dengan hipertensi portal dan
pecahnya varises esofagus. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas: Majalah
Kedokteran Andalas; 2007.
10. Adi P. Pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas. Dalam: buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid I edisi ke-4. Jakarta: pusat penerbitan departemen IPD FKUI;
2007.h.289-92.
21