11
MANIFESTASI KLINIS COW’S MILK PROTEIN ALLERGY PADA SALURAN GASTROINTESTINAL, DIAGNOSIS DAN TALAKSANA PADA ANAK Jumat, 27 Maret 2009 by ajick in Pidato Guru Besar Oleh: Prof. Dr. H. B. Subagyo, dr., Sp.A(K) Bismillahirrahmanirrahiim Yang saya hormati, Rektor/Ketua Senat, Sekretaris Senat dan para anggota Senat Universitas Sebelas Maret Surakarta Para Guru Besar Tamu Para Pejabat Sipil dan Militer Para Dekan/Pimpinan Fakultas, Direktur Pascasarjana Kepala Biro, Kepala UPT, Kepala Jurusan, Kepala Bagian serta Kepala Program Studi, Dosen/Staf pengajar, Staf Administrasi dan Mahasiswa serta seluruh pejabat di lingkungan Univer¬sitas Sebelas Maret Surakarta Teman sejawat, peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis, dan mahasiswa Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Para Direktur Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta di Surakarta dan sekitarnya, Para Ketua Lembaga, Para Tamu Undangan, wartawan media masa yang meliput acara ini, sanak keluarga, handai taulan, serta hadirin sekalian yang saya muliakan, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Ibu, Bapak dan Hadirin yang saya muliakan, Pada kesempatan ini, pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, karena limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, kita dapat berkumpul di ruangan ini untuk hadir pada Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Surakarta dalam rangka pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak dengan judul: MANIFESTASI KLINIS COW’S MILK PROTEIN ALLERGY PADA SALURAN GASTROINTESTINAL, DIAGNOSIS DAN TALAKSANA PADA ANAK Diare merupakan penyebab kesakitan dan kematian yang menempati 3 besar pada anak kelompok umur 2-3 tahun. Penyebab utama diare pada anak di bawah usia 2 sampai 3 tahun adalah virus rota. Etiologi diare lainnya adalah malabsorpsi, infeksi bakteri, infeksi parasit, virus. Penyebab yang sering dilupakan adalah adalah alergi makanan khususnya alergi air susu sapi. Saat ini hangat dibicarakan tentang alergi susus sapi atau CMPA ( Cow’s Milk Protein Allergy). Ada beberapa hal mengapa CMPA, perlu dibicarakan. Ada kesan kejadian CMPA meningkat. Beberapa alasan mengapa CMPA meningkat. Diantaranya bahwa adanya teori higiene dimana manifestasi atopi meningkat sejalan meningkatnya sikap perilaku hidup sehat pada sebagian kelompok masyarakat. Di satu sisi kelompok anak sampai usia 2 sampai 3 tahun merupakan kelompok konsumen susu sapi. Pada kelompok usia tersebut enterosit belum matur, lapisan mukus mukosa yang juga belum sempurna. Jumlah SIgA belum cukup. Peran lain adalah faktor genetik (Damayanti W, 2007; Vandenplas, 2007).

MANIFESTASI KLINIS COWMPA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

manifestasi klinis COWMPA

Citation preview

MANIFESTASI KLINIS COWS MILK PROTEIN ALLERGY PADA SALURAN GASTROINTESTINAL, DIAGNOSIS DAN TALAKSANA PADA ANAKJumat, 27 Maret 2009 by ajick in Pidato Guru Besar

Oleh:Prof. Dr. H. B. Subagyo, dr., Sp.A(K)BismillahirrahmanirrahiimYang saya hormati,Rektor/Ketua Senat, Sekretaris Senat dan para anggota Senat Universitas Sebelas Maret SurakartaPara Guru Besar TamuPara Pejabat Sipil dan MiliterPara Dekan/Pimpinan Fakultas, Direktur PascasarjanaKepala Biro, Kepala UPT, Kepala Jurusan, Kepala Bagian serta Kepala Program Studi, Dosen/Staf pengajar, Staf Administrasi dan Mahasiswa serta seluruh pejabat di lingkungan Universitas Sebelas Maret SurakartaTeman sejawat, peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis, dan mahasiswa Kedokteran Universitas Sebelas Maret SurakartaPara Direktur Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta di Surakarta dan sekitarnya, Para Ketua Lembaga, Para Tamu Undangan, wartawan media masa yang meliput acara ini, sanak keluarga, handai taulan, serta hadirin sekalian yang saya muliakan,

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuhSelamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.Ibu, Bapak dan Hadirin yang saya muliakan,Pada kesempatan ini, pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, karena limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, kita dapat berkumpul di ruangan ini untuk hadir pada Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Surakarta dalam rangka pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak dengan judul:MANIFESTASI KLINIS COWS MILK PROTEIN ALLERGY PADA SALURAN GASTROINTESTINAL, DIAGNOSIS DAN TALAKSANA PADA ANAKDiare merupakan penyebab kesakitan dan kematian yang menempati 3 besar pada anak kelompok umur 2-3 tahun. Penyebab utama diare pada anak di bawah usia 2 sampai 3 tahun adalah virus rota. Etiologi diare lainnya adalah malabsorpsi, infeksi bakteri, infeksi parasit, virus. Penyebab yang sering dilupakan adalah adalah alergi makanan khususnya alergi air susu sapi.Saat ini hangat dibicarakan tentang alergi susus sapi atau CMPA ( Cows Milk Protein Allergy). Ada beberapa hal mengapa CMPA, perlu dibicarakan. Ada kesan kejadian CMPA meningkat. Beberapa alasan mengapa CMPA meningkat. Diantaranya bahwa adanya teori higiene dimana manifestasi atopi meningkat sejalan meningkatnya sikap perilaku hidup sehat pada sebagian kelompok masyarakat. Di satu sisi kelompok anak sampai usia 2 sampai 3 tahun merupakan kelompok konsumen susu sapi. Pada kelompok usia tersebut enterosit belum matur, lapisan mukus mukosa yang juga belum sempurna. Jumlah SIgA belum cukup. Peran lain adalah faktor genetik (Damayanti W, 2007; Vandenplas, 2007). Pemahaman ilmu alergi imunologi semakin bertambah.Atopi merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting, khususnya pada anak. Alergi makanan merupakan tantangan bagi klinisi, oleh karena tidak ada patognomonik untuk CMPA, gejalanya sangat bervariasi, dan tidak ada uji laboratorium tunggal untuk dapat mendiagnosis CMA. Diketahui lebih dari 20 macam makanan penyebab alergi. Penyebab alergi makanan yang sering disebut dalam literatur adalah: susu sapi, putih telur, ikan laut dan kacang (Sampson dan Leung, 2004). Jenis makanan lain penyebab alergi; coklat, kacang tanah, semangka, mentimun dan rambutan (Santosa, 1989).Angka kejadianDi negara Barat, diperkirakan atopi pada anak menempati sekitar 30% dari populasi (Vandenplas, 2007) Angka kejadian CMPA 1,1%-5,2% (Saarinen dkk, 1999; Egesbo dkk, 2001). Pada usia 2 tahun pertama, alergi makanan terjadi kurang lebih 6%. Empat puluh persen diantaranya adalah alergi non-IgE mediated. Alergi makanan dapat melibatkan berbagai organ target, baik di traktus gastrointestinal maupun diluar traktus gastrointestinalis (Wood, 2003)Alergi makanan terjadi pada 0,5-1,6% anak yang minum ASI dan 2-5% pada yang minum susu sapi formula (CM). Penelitian Marzuki dkk (2004) menunjukkan prevalensi diare akibat CMPA sebesar 3%, sebenarnya sangat kecil apabila dibandingkan dengan diare akibat virus Rota pada usia yang sama, yang dapat mencapai lebih dari 60%.Di sisi lain untuk mengurangi kejadian alergi, pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (EBM=exclusive breast feeding) merupakan nutrisi hipoalergenik yang dianjurkan. ASI khususnya kolustrum memacu maturasi sel mukosa saluran cerna. ASI mengandung SIgA yang berfungsi menghalangi absorpsi antigen atau alergen.

Definisi alergi protein susu sapi (CMPA)Istilah alergi protein susu sapi (CMPA) adalah reaksi terhadap susu sapi yang diperantarai respon imunologis. Respon terhadap susu sapi yang tidak diperantarai respon imun disebut intoleransi susu sapi.Pada intoleransi makanan, penyebab reaksi yang timbul merupakan respon fisiologis abnormal terhadap makanan, misalnya intoleransi laktosa, reaksi terhadap toksin bakteri, malabsorpsi laktosa dll.Respon imunologis susu sapi atau disebut CMPA, terdiri dari dua kelompok yaitu; pertama IgE-mediated, reaksi yang diperantarai IgE yang terjadi sesaat atau beberapa jam setelah paparan dengan makanan. Kedua reaksi non-IgE mediated, tidak diperantarai IgE, terjadi lebih lama, mungkin sehari atau beberapa hari setelah paparan dengan makanan (Atkins, 2007; Sampson dan Leung, 2004). IgE-mediated CMPA, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, sedangkan respon imun yang tidak diperantarai IgE adalah reaksi hipersensitivitas tipe III (immun mediated) dan hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated).

Imunopatologi hipersensitivitas1. Reaksi hipersensitivitas tipe IPada individu yang mempunyai predisposisi genetik, paparan antigen makanan menyebabkan produksi IgE. Pada usia penyapihan, apabila supresor sel T tidak berkembang, atau produksi IgA defisien pada saat lahir, maka terjadi proses lebih lanjut yang diawali ikatan IgE spesifik pada sel mast atau basofil. Pemaparan antigen spesifik berikutnya, maka sel mast atau sel basofil akan mengikat antigen kemudian mengeluarkan berbagai macam mediator. Penyebab utama reaksi tipe I adalah protein susu sapi atau protein telur. Protein susu sapi dapat berada di dalam ASI dalam jumlah sedikit, sehingga kasus alergi CMPA pada anak yang minum EBF lebih jarang (Mac Donald dalam Pitono, 2003)

2. Reaksi hipersensitivitas tipe IIIAntibodi (IgG atau IgM) bereaksi dengan antigen yang berlebih, diikuti perlekatan komplemen, dengan akibat respon keradangan lokal. Reaksi berlangsung dalam beberapa jam sesudah pemaparan antigen. Dikemukakan reseptor Fc untuk imunoglobulin dan bukannya komplemen yang penting dalam kerusakan jaringan. Reaksi gastrointestinal dapat terjadi 6 jam setelah pemaparan berupa muntah, diare dan kolik, serta peningkatan lokal dari IgM dan sel plasma IgA. Dalam jangka 24 jam berikutnya akan terlihat sembab lokal, reaksi endotel, penebalan membran dasar, penimbunan serat kolagen dan infiltrasi lekosit polimorf. Terjadi pula peningkatan lokal IgG dan C3 di dalam jaringan ikat subepitelial yang menunjukkan adanya reaksi kompleks imun. Pada tahap ini mulai terlihat kerusakan enterosit yaitu mikrovili yang menjadi tidak teratur, peningkatan lisosom dan pembengkakan mitokondrial. Selain penimbunan lokal, kompleks imun yang mengandung antigen makanan dan imunoglobulin (IgG dan IgE) terlihat pula dalam serum penderita alergi makanan (Mac Donald dalam Pitono, 2003)

3. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (Delayed type hypersensitivity reaction=DTH) yang akan menghasilkan berbagai metaloproteinase yang merusak mukosa (Mowatt, 1994 dalam Pitono, 2003) dan IL-1 ini menyebabkan keradangan dan kerusakan mukosa usus. Sitokin lainnya adalah TNF-. IFN-. Sel akan bermigrasi pada lamina propria yang juga memacu Th1 lebih banyak dan menghasilkan IFN-DTH mencerminkan fenomena imunitas dengan perantaraan sel CMI (cell-mediatedimmunity). DTH merupakan mekanisme imunologik yang paling jelas perannya terhadap kerusakan mukosa usus yang berat. DTH adalah reaksi yang ditimbulkan oleh antigen dengan limfosit T spesifik terhadap antigen tersebut dikenal sebagai sel DTH (Pitono S dkk, 2003, Siti Boedina Kresna, 1996) Antigen menembus mukosa usus melalui Plaques Peyeri, ditangkap sel APC, sel dendritik atau makrofag. Selanjutnya disajikan pada sel T yang mengikat MHC II, akan memacu Th1 menghasilkan IFN-

CMPASebagian kecil penderita CMPA akan menetap, sebagian besar akan menjadi toleran. Penelitian menunjukkan bahwa anak dengan Radio allergosorbent test (RAST), Uji kulit, skin prict test (SPT). negatif, CMPA akan mengalami toleransi lebih awal apabila dibandingkan pada penderita dengan RAST dan SPT positif. Pada anak CMPA dengan riwayat IgE positif, akan lebih sering muncul gejala seperti asma, rinokonjungtivitis, atopi dermatitis, apabila dibandingkan pada anak dengan IgE negatif. Anak dengan IgE negatif kemungkinan menderita alergi berbagai macam makanan juga lebih kecil. Pada saat diagnosis CMPA ditegakkan dengan eliminasi diet dan uji provokasi, disarankan untuk memeriksa IgE (Vandenplas dkk, 1997).-laktalbumin dan imunoglobulin merupakan komponen yang paling alergenik (Wido, 2006; Mc Bean, 2006). Selain CMA sebagai penyebab, maka CMPA dipengaruhi faktor genetik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa atopi terjadi pada anak 20-40% apabila salah satu orang tua atopi. Riwayat atopi pada saudara maka risiko atopi pada anak 25-35%. Apabila kedua orang tua ada riwayat atopi, anak akan mengalami atopi sekitar 40-60%. Apabila didalam keluarga tidak ada riwayat atopi, anak mengalami atopi 5-15% (Sawitri, 2007).-lactoglobulin, -bovine serum albumin dan imunoglobulin. Komponen -laktalbumin, bovin imunoglobulin. Komponen kasein yaitu -lactoglobulin, Diketahui ada sekitar 40 macam protein penyebab alergi. Protein-protein tersebut yang menginduksi respon imun sehingga menyebabkan alergi. Komponen whey terdiri dari Waktu manifes CMPA dapat bervariasi, pada umumnya setelah satu minggu mendapatkan CM. Lebih muda anak menderita CMPA, lebih cenderung anak mengalami gangguan pertumbuhan. Pemberian EBF akan memperlambat terjadinya CMPA akan tetapi EBF tidak menurunkan kejadian atopi (Snijder, Thijs dkk, 2008).Tidak ada gejala CMPA yang patogpnomonik untuk diagnosis CMPA. Variasi gejala klinis meliputi; pada gastrointestinal mencapai 50-60%, kulit 50-60%, saluran nafas 20-30%. Gejala dapat ringan, sedang sampai berat yang dapat mengancam jiwa seperti anafilaksis, udem laring, asma berat. Diagnosis banding CMPA antara lain kelainan metabolisme, kelainan anatomis, penyakit celiac, enteropati, insufisiensi pankreatik (cystic fibrosis), reaksi non-imunologi terhadap makanan seperti malabsorpsi fruktose, intoleransi laktosa.Perlu mendapat perhatian adanya gejala klinik yang mirip, misalnya refluk gastroesofagus pada CMPA yang dapat terjadi pada 15-21%. CMPA juga dapat terjadi kolik infantil.Demikian juga hubungan antara CMPA dengan gejala dermatitis atopi. Semakin berat dermatitis, semakin muda anak maka sangat mungkin ada kaitan antara CMPA dengan dermatitis atopi.CMPA dapat bersamaan dengan alergi makanan lain seperti telur, ikan, kacang, sehingga pada saat diagnosis, perlu dipertimbangkan untuk melakukan eliminasi bahan-bahan makanan tersebut (Vandenplas, 1997).

Gejala Klinik.Organ target CMPA meliputi: kulit, saluran cerna, saluran nafas, sistim kardio vaskuler, mata. Gejala klinik pada kulit berupa eczema, rash, urticaria, swelling, dryness.Gejala pada saluran cerna dimulai dari mulut; gatal atau udema pada bibir, mulut, lidah, faring. Gejala klinik lainnya berupa mual, muntah. Sakit perut di daerah ulu hati selama dan setelah minum CM, kembung, konstipasi, nyeri perut, diare, rectal bleeding, anemia defisiensi besi, berak berdarah dan berlendir, diare kronik, gangguan pertumbuhan. Muntah maupun diare kronik dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang, maupun diare akut berat.Gejala di saluran nafas berupa batuk, rhinitis, wheezing, reaksi alergi yang berat dapat menyebabkan; asma berat, edema laring akut, dermatitis atopi disertai eksudasi, anafilaksis.

DiagnostikAdanya riwayat atopi dalam keluarga (ayah & ibu, ayah saja, atau ibu saja, saudara, kakek, nenek, usia penderita). Gejala klinik atopi bervariasi misalnya adanya rhinitis, dermatitis atopi, asma, GER dan diare kronik. Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis; eliminasi dan provokasi bahan yang diduga sebagai alergen.Endoskopi, pemeriksaan biopsi yang dilanjutkan pemeriksaan patologi anatomi. Diagnostik lainnya adalah RAST, SPT. Pemeriksaan IgE total, IgE spesifik. Uji SPT menggunakan ekstrak komersial memberikan 58,8% positif, sedangkan pemakaian alergen fresh food dapat memberikan positifitas sebesar 91,7%. Hal ini menunjukkan fresh food memberikan hasil yang lebih baik daripada pemakian ektrak komersial. SPT dan RAST bermanfaat dalam penentuan progosis dan lama penyakitProporsi Eosinofil darah tepi lebih dari 3% dan jumlah eosinofil absolut lebih dari 300/mL.Eliminasi dan provokasi merupakan baku emas diagnostik CMPA (Vandenplas, Bruiton dan Dupon, 2007).

Uji provokasiSetelah dilakukan eliminasi selama 2-4 minggu dan gejala klinis membaik, seharusnya dilakukan uji provokasi dengan CMP. Hendaknya provokasi dilakukan di bawah pengawasan dokter, dapat dilakukan di luar rumah sakit, akan tetapi perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya reaksi berat seperti anafilaksis, hal ini mungkin terjadi setelah periode eliminasi. Dapat pula terjadi awalnya muncul gejala klinis ringan diikuti gejala klinis berat. Sehingga provokasi hendaknya dilakukan di rumah sakit, dengan peralatan resusitasi, persiapan pemberian cairan intravena dan obat-obat lainnya. Langkah selanjutnya dilakukan pemeriksaan SPT dan IgE. Adanya dugaan gejala klinis berat, uji provokasi hendaknya dipertimbangkan untuk tidak dilakukan kecuali uji SPT atau IgE menunjukkan perbaikan. Prosedur provokasi dilakukan dalam dosis kecil, awalnya diteteskan susu formula pada bibir, timbul reaksi sekitar 15 menit. Kalau tidak ada reaksi maka dimulai pemberian CMP yang ditingkatkan bertahap selang waktu setiap 30 menit dari 0,5 ml sampai 100 ml yang diberikan secara bertahap. Lihat reaksi pada kulit atau saluran nafas. Setelah 2 jam tidak ada reaksi, anak boleh pulang. Orang tua dipesankan untuk melihat reaksi lambat yang mungkin timbul setelah anak diberikan CMP. CMP dari susu formula dapat diberikan sebanyak 250 ml/hari pada minggu berikutnya.

Uji provokasi positif:Apabila dengan melakukan uji provokasi gejala muncul lagi, maka diagnosis adalah suspek CMPA. Langkah selanjutnya adalah eliminasi CMP, diberikan eHF atau AAF selama 9 s/d 12 bulan. Uji provokasi dilakukan lagi, kalau dimungkinkan dilakukan pemeriksaan SPT dan IgE spesifik. Perbaikan uji SPT atau IgE, dapat dilakukan pemberian provokasi CMP. Apabila negatif, maka secara bertahap diberikan CM.Uji provokasi negatif= bukan CMPAPada anak dengan uji provokasi negatif, selama 1 minggu diberikan diet normal dengan observasi kemungkinan timbulnya reaksi atopi. Orang tua dipesankan untuk melihat kemungkinan timbulnya reaksi atopi lambat, setelah beberapa hari.

TatalaksanaPenatalaksanaan CMPA pada prinsipnya adalah eliminasi CMP dan makanan yang mengandung susu sapi.Pada ibu hamil dan menyusui, disarankan untuk diet bebas CM dan produk makanan yang bebas CMP. Keluarga penderita seharusnya perlu diberitahu untuk dapat memilih produk makanan yang tidak mengandung CMP.EBF sampai usia 4 bulan-6 bulan. Kejadian CMPA minimal pada bayi yang minum EBF apabila dibandingkan bayi minum CMP atau kombinasi ASI dan CMP. Sekitar 0,5% penderita CMPA pada bayi minum ASI eksklusif dan gejala klinik yang timbul ringan sampai sedang. Klinik CMPA berat seperti dermatitis atopi berat, hilang protein enteropati disertai gangguan tumbuh kembang, anemia akibat enterokolitis dan perdarahan rektum. Komponen protein ada pada ASI seperti susu sapi, telur, kacang yang dapat menyebabkan efek samping selama bayi minum ASI pada anak yang sensitif. Pada ibu yang menyusui, diet ibu bebas susu sapi.Rekomendasi pemberian bertahap CMP dengan partially hydrolised formula(pHF), extensively hydrolised formula (eHF), atau diet bebas CMP. Pada anak yang mengalami CMPA berat, pemberian eHF pun masih memberikan reaksi alergi. Pada kasus anak ini diberikan amino acid-derived elemental formula (AAF). Perlu dipertimbangkan harga eHF dan AAF sangat mahal. Rasa susu formula pHF dan eHF tidak enak.Pemberian susu kedelai masih menjadi kontroversi, oleh karena anak yang alergi CMP, 17-47% juga alergi susu kedelai. Di sisi lain sudah diketahui susu kedelai mengandung fitat yang menghambat penyerapan zat besi dan zink. Pemberian susu kedelai menjadi pertimbangan.Air susu kambing (GMP=goats milk protein, atau sheeps milk=SMP), susu unta dan susu kuda tidak dianjurkan, oleh karena komponen protein di dalam susu-susu tersebut juga mengandung komponen protein alergen, sehingga susu formula dari GMP tidak direkomendasikan sebagai pengobatan CMPA.Proses pasteurisasi, pemanasan, evaporasi tidak menghilangkan tetapi hanya mengurangi efek antigen atau CMPA. Pada umumnya CMPA akan menghilang pada usia 2-3 tahun, maka untuk menghindari diet bebas CMP berkepanjangan, serta pengobatan yang berlebihan, maka perlu dilakukan uji ulang terhadap reaksi alergi dari CMP pada usia 6-12 bulan. Uji ulang dilakukan selang 1-2 tahun setelah anak berusia diatas 3 tahun (Host, 1997).Saat ini dikembangkan immunoterapi spesifik (ITS) atau vaksinasi alergen, untuk memicu desensitisasi alergen spesifik (dalam Rengganis I, 2008). Beberapa waktu ini prebiotik dan probiotik, dipergunakan mengurangi efek alergi (Bindels, 2008).

Algoritma diagnostik dan tatalaksana CMPA pada anak dengan EBFASI eksklusif merupakan nutrisi pada bayi yang paling baik, setidaknya diberikan sampai 4-6 bulan. Pada anak yang mendapatkan ASI eksklusif apakah kejadian CMPA akan lebih rendah daripada anak mendapatkan susu sapi? Masalah ini yang menjadi kontroversial. Snijders dkk (2008) melakukan penelitian dan menemukan pemberian EBF tidak menurunkan angka kejadian CMPA pada usia selanjutnya, hanya menunda.Gejala klinis CMPA yang berat jarang terjadi pada anak yang minum ASI eksklusif. Kejadian anak dengan ASI eksklusif sekitar 0,5% dan umumnya akan mendapatkan CMPA ringan atau sedang. Perbedaan ini menyangkut masalah imunomodulator dan flora ususAnak dengan CMPA berat dapat menyebabkan anemia oleh karena perdarahan rektum akibat kolitis ataupun adanya losing enteropathy. Kondisi ini jarang, tetapi perlu pemeriksaan yang lebih teliti.Bayi dengan dermatitis atopi, cenderung mendapatkan alergi lebih sering akibat pemberian susu (Vance GH dkk, 2005) maupun telur pada ibu dari pada anak yang tidak menderita dermatitis atopi (Scoetzou dkk, 2002).Potensi penyebab alergi susu sapi dan telur, pada anak tersebut cenderung juga mengalami alergi terhadap alergen lain seperti gandum atau ikan laut. Eliminasi diet pada dermatitis atopi atau kolitis hendaknya dilanjutkan sampai 2-4 minggu. Ibu diberikan kalsium 1000 mg/hari dan pemberiannya dibagi dalam beberapa dosis, selama eliminasi diet. Apabila dengan diet makanan yang diduga sebagai penyebab alergi, maka makanan ibu kembali dapat diberikan seperti semula sebelum dilakukan eliminasi. Apabila dengan elimonasi diet, gejala tidak timbul, maka secara bertahan diet satu persatu diberikan setiap minggu, sampai semua diberikan seperti sebelum diperlakukan eliminasi diet.Apabila gejala tetap ada, maka diet diperlakukan selama anak minum ASI. Pemberian makanan solid juga harus diperhatikan adanya komponen alergen. Penyapihan pada anak setelah ASI dihentikan, diberikan susu pHF atau eHF dan diikuti gejala klinisnya yang mungkin timbul.

Algoritma dan tatalaksana CMPA pada anak minum susu formulaPenderita alergi dengan gejala berat, seperti gejala saluran nafas atau anafilaksis/syok sebaiknya segera dirawat bagian gawat darurat rumah sakit. Diagnostik CMPA sama dengan penderita yang minum ASI eksklusif, mencari riwayat adanya alergi di dalam keluargaAlgoritma tergantung berat ringan gejala. Apabila gejalan ringan sedang, maka langkah awal untuk mendiagnosis CMPA adalah eliminasi diet CMP. Anak dengan angioudem pada bibir, mata, urtikaria, muntah terus menerus, cenderung akibat alergi tipe Ig-E. Pada bentuk ini pertama harus diberikan penanganan sebelum dilakukan provokasi. SPT yang positif, tampaknya akan memberikan reaksi positif pada provokasi, tidak memberi informasi beratnya alergi. Penelitian Celic Belgili (dalam Vandeplas, 2005), reaksi RST, 60% menunjukkan provokasi klas 1, 50% klas 2, 30% provokasi klas 3 dan selebihnya 20% provokasi negatif atau kelompok klas 4.

Diagnostik CMPA dengan gejala ringan sedangAdanya kecurigaan adanya gejala alergi CMPA, langkah awal dilakukan eliminasi CMP, dan kedua diberikan susu formula eHF, atau AAF. Selama dilakukan eliminasi, maka semua macam makanan yang mengandung CM dihentikan. Pada anak usia diatas 6 bulan mungkin tidak dapat dilakukan eliminasi jenis makanan, maka pilihan makanan yang diberikan harus minimalis, setidaknya makanan yang tidak mengandung CMP, protein telur, protein kedelai atau kacang. Menghindari makan ikan, gandum yang umumnya diberikan 2 minggu-4 minggu khususnya yang menyangkut gejala gastrointestinal dan dermatitis atopi.Susu eHF merupakan pilihan utama, apabila eHF anak tidak mau oleh karena rasanya yang kurang enak maka pilihannya adalah AAF. Kegagalan pemberian eHF pada CMPA mencapai 10%. Kegagalan pemberian eHF dapat dijumpai juga bersamaan dengan kegagalan pemberian AAF. Akan tetapi ada laporan bahwa sisa alergen eHF dapat disebabkan reaksi IgE. Apabila pemberian AAF tidak memberikan hasil perlu dipikirkan diagnosis lainnya. Masalah yang lain yaitu harga AAF sangat mahal.

Uji diagnostik CMPATidak ada diagnostik pasti yang memberikan bukti anak penderita CMPA. Eliminasi dan provokasi pada formula nutrien CMP, merupakan baku emas untuk menegakkan diagnosis CMPA baik yang ringan, sedang atau berat (Vandenplas dkk, 2007). Pada uji SPT, maka pemberian CMP segar akan memberikan hasil yang lebih baik dari pada pemberian parsial CMP. Penelitian menunjukkan bahwa perbandingan antara hasil SPT antara alergen komersial dibandingkan dengan CMP segar 58,8 % dibanding 91,7%. Pada SPT pemberian alergen dengan makanan segar memberikan hasil yang lebih baik, seperti pada alergi telur, susu sapi, ikan dan kacang (Rance dkk, 1997).Uji SPT dan RAST bermanfaat untuk menentukan prognosis atopi. RAST dan SPT negatif, cenderung menunjukan toleransi pada usia yang lebih awal dan tidak menunjukkan gejala berat pada uji provokasi. Anak yang menunjukkan reaksi cepat pada angioedema, udema pada bibir, kelopak mata, maka umumnya IgE positif. Apabila diameter SPT lebar > 7 mm, atau titer RAST tinggi, kemungkinan 90% anak akan bereaksi positif apabila dilakukan uji provokasi.

Penderita CMPA beratPada penderita dengan CMPA yang berat dapat menimbulkan diare kronik yang berakibat malnutrisi. Adanya riwayat gejala klinis berat dan mengancam jiwa, merupakan kontraindikasi untuk dilakukan provokasi atau bila dilakukan harus dilakukan dengan sangat hati-hati.Penderita diberikan pemberian eHF atau diet AAF.

Proctitis/ProctocolitisAnak kelihatan sehat. Gejala muncul pada usia beberapa bulan, sekitar 2 bulan. Di dalam tinja ditemukan bercakan darah dan mukus. Darah yang hilang minimal, jarang menyebabkan anemia. Pada umumnya anak masih minum ASI. Sebagai pemicu proctocolitis adalah CMP dan jarang susu kedelai. Gejala berasal dari diet ibu yang mengandung CMP. Pemeriksaan biopsy dan PA menunjukkan infiltrasi eosinofil dan hiperplasia limfonoduler. Mekanisme hipersensitivitas tidak berkaitan dengan IgE. Hasil PST negatif. Perdarahan pada umumnya akan berhenti dalam waktu 72 jam setelah CMP yang diduga sebagai penyebab di eliminasi. Pada umumnya gejala akan menghilang pada usia 1-2 tahun

Cows Milk Protein sensitive Enteropathy (CMPSE)CMPSEP pada anak usia 6 bulan dan jarang setelah 3 tahun reaksi alergi bisa terjadi di usus dengan gejalanya mual, muntah, dapat disertai urtikaria, dermatitis atopi, wheezing, dan kadang kadang gagal tumbuh karena proses kronik. Diare dapat menyebabkan dehidrasi berat. Pada bayi, awal reaksi bisa terjadi di kolon dan rektum CMPSE akan timbul setelah minum susu beberapa hari atau minggu, dengan gejala perdarahan kolon dan rektum, diare disertai lendir dan darah (Chong S et al, 1984). Protein-losing enteropathy dapat menyebabkan edema, distensi abdomen, anemia, malnutrisi (dalam Hegar B, 2007). Tatalaksana yaitu eliminasi nutrisi alergen CMP, koreksi anemia dan malnutrisi.

Kolik infantileBeberapa bukti menunjukkan hubungan CMPA dengan kolik infantile. CMP pada bayi mengalami kolik sekitar 44%. Pemberian eHF atau pHF, lebih memberikan efek daripada pemberian formula rendah laktosa.

Immediate Gastrointestinal HypersensitivityGejalanya akut, mulai beberapa menit hingga 1-2 jam. Gejala berupa nausea, muntah, beberapa menit setelah makan/minum, akan timbul abdominal pain. Beberapa jam kemudian dapat disertai diare. Mekanisme imun terjadi akibat IgE-mediated. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dehidrasi. dan eliminasi CMP.

Eosinophilic GastroenteropathiesTerdiri dari; eosinophilic, Esophagitis dan Gastritis. Diagnosis dan tatalaksana yang sulit adalah allergic eosinophylic esophagitis. Penyakit ini mirip dengan GER (gastroesophageal reflux), gastritis. Pada Esophagitis dan gastritis, sangat dianjurkan dilakukan endoskopi dan biopsi, selanjutkan dilakukan pemeriksaan patologi anatomi. Eosinophilic primer merupakan 1% dari esophagitis. Pengobatan ditujukan pada reflux esophagitis memberikan respon pada pengobatan GER.

Konstipasi kronikCM menyebabkan gangguan motilitas usus, menyebabkan konstipasi. Sitokin dan proses inflamasi dari syaraf dan sistim motorik, mengakibatkan konstipasi. Infiltrasi limfosit dan eosinofil pada lamina propria dan peningkatan eosinofil intraepithelial dan infiltrasi pada kripta, ditemukan pada CMP disertai konstipasi. Eliminasi CMP akan memperbaiki konstipasi kronik, dan apabila dilakukan provokasi akan memberikan relap.

Anafilaksis-agonis dan kortikosteroid inhalasi albuterol. Menghindari penyebab alergen dan semua makanan yang mengandung makanan penyebab alergen (Leung, 2004).CM sebenarnya jarang menimbulkan anafilaksis. Anafilaksis merupakan keadaan klinik, yang diakibatkan pelepasan secara mendadak mediator aktif dari sel mast dan basofil yang mengakibatkan urtikaria kulit, angioedema, kulit memerah (flushing), spamus bronchus, edema laring, kardiovaskuler seperti hipotensi, disritmia iskemia miokardial dan gejala gastrointestinal seperti nausea, pain abdomen kolik, muntah, diare. Di USA diperkirakan kejadian anafilaksis terjadi 30 kasus per 100.000 orang per tahun. Di Australia, 0,59% anak usia 3-17 tahun mengalami anafilaksis. Penyebab anafilaksis dapat disebabkan bahan makanan yang berasal dari kacang, telur, susu sapi, ikan, bahan makanan yang mengandung susu sapi seperti keju, yoghurd, es krim. Tatalaksana anafilaksis harus dilakukan secara agresif dengan pemberian epinefrin intra-muskuler atau antihistamin H1 dan H2 secara intravaskuler, pemberian oksigen, cairan intravena. Pada asma maka pemberian

Di bawah ini disalin algoritma diagnostik dan tatalaksana CMPA dari Vandenplas dkk (2007)Suspecion of cow milk protein allergy (CMPA)

Suspician of cows milk allergy (CMPA)PencegahanPencegahan primerPencegahan primer dilakukan pada ibu berisiko alergi yang sedang hamil, dianjurkan untuk menghindari makanan dan minuman seperti susu, telur, ikan laut, dan kacang-kacangan. Pemberian susu hipoalergenik, diharapkan terjadi respon toleransi pada bayi di kemudian hari. Pencegahan primer ini masih menjadi kontroversial (Wido, 2006; Mc Bean, 2006)

Pencegahan sekunderPada anak yang sudah diketahui terjadi CMPA. Diketahui dengan pemeriksaan IgE spesifik dalam darah perifer atau tali pusat atau SPT. Menghindari CMP. Dengan pemberian pHF atau eHF atau susu kedelai akan menghindari sensitisasi lebih lanjut (Wido, 2006; Mc Bean, 2006).

Pencegahan tertierPada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan manifestasi alergi ringan seperti dermatitis, rhinitis pada anak usia 6 bulan sampai 4 tahun, diberikan eHF atau pHF. Bila gejala berat terjadi, maka anak diberikan susu AAF (Wido, 2006). Pemberian susu soya masih merupakan kontroversi. Pengalaman beberapa pengamat, pemberian susu soya memberikan perbaikan klinis.

PrognosisCMPA pada umumnya tidak berlangsung seumur hidup. Pada usia sekitar 1-3 tahun gejala klinis akan menghilang. Gejala alergi akan menghilang pada usia 1 tahun sekitar 80-90%. Sekitar10-33% berlanjut sampai usia 3 tahun. Sisanya akan berlangsung sampai usia 9-14 tahun (Hugh A, Sampson dan Leung D, 2004).KESIMPULANGejala klinis alergi makanan sangat bervariasi. Eliminasi dan provokasi merupakan baku emas diagnostik. Untuk menegakkan diagnosis perlu secara cermat di telusuri adanya faktor risiko, adanya riwayat atopi di dalam keluarga. CMPA perlu mendapat perhatian khususnya pada usia dibawah 3 tahun, terutama lagi usia dibawah 1 tahun. Gejala klinik CMPA dari saluran cerna dapat berupa muntah, CMPSE, konstipasi, kolik infantil, proktitis, Immediate Gastrointestinal Hypersensitivity, eosinophilic gastroenteropathy, diare kronik yang dapat menyebabkan malnutrisi dan anemia. Pada masa penyapihan, CMPA gejala ringan-sedang, pemberian pHF, eHF maupun eliminasi CMP perlu dipertimbangkan. Penderita CMPA dengan anafilaksis jarang terjadi, dan bila terjadi tatalaksana sesuai tatalaksana anfilaksis pada umumnya, disertai eliminasi penyebab alergi. Perlu dilakukan pencegahan. Promosi pemberian EBF. Penderita penderita CMPA perlu dilakukan evaluasi berkala setiap 6 bulan sampai usia 3 tahun dengan melakukan provokasi CM, perlu dilakukan dengan hati-hati.

Ilustrasi Kasus1. Seorang bayi laki-laki, usia 2 bulan, BB 4.5 kg. Suhu 37,00C, RR 32 x/menit, nadi 120x/menit. CRT < 2 detik. Sejak 24 jam mengalami muntah-muntah dan diare frekuen, tanpa panas. Bayi minum susu formula sejak lahir oleh karena ASI tidak keluar. Penderita terdiagnosis diare akut dehidrasi sedang. Diberikan cairan rehidrasi. Dalam 1 x 24 jam, muntah setiap diberikan susu dan diare berlanjut, cair tanpa lendir dan darah. Pemeriksaan laboratorium darah tepi tidak menunjukkan kelainan. AL 7.400/mm3, AE 4.000/mm3. Eosinofil 2%, basofil 0%, staf 2%, segment 62%, limfosit 30%, monosit 4%. Trombosit 360.000/mm3 Pemeriksaan tinja dan urin, tidak menunjukkan kelainan. Ditelusuri dari ayah dan ibu ada riwayat atopi yaitu rinitis alergika. Setelah pemberian pHF gejala tidak membaik, bahkan gejala muntah dan diare semakin memberat. Susu diganti dengan eHF, tetapi anak menolak. Kemudian diberikan susu soya, dan muntah dan diare mengalami perbaikan. Pada pemberian CM, anak mengalami muntah dan diare lagi. Diare dan muntah mengalami perbaikan setelah diberikan susu soya lagi.2. Seorang anak perempuan, usia 2.5 tahun dengan berat badan 20 kg. Suhu 37,20C. RR 30 x/menit. Nadi 110 x/menit. CRT < 2 detik. Diagnosis klinis diare akut dehidrasi ringan. Anak minum ASI sampai usia 2 tahun. AL 8.400/mm3, AE 5.000/mm3. Eosinofil 3%, basofil 0%, staf 2%, segment 61%, limfosit 30%, monosit 3%. Trombosit 360.000/mm3 Pemeriksaan tinja dan urin, tidak menunjukkan kelainan. Selama pemberian ASI, anak secara berselang mendapat susu formula. Beberapa bulan sudah ada gejala gatal dikulit, yang tidak hilang secara total. Pada suatu saat gatal meningkat disertai muntah dan diare cair berulang. Tanpa panas, tanpa lendir dan tanpa darah dalam tinja. Keluarga ibu, kakek, nenek ada riwayat atopi. Eliminasi susu formula segera menghentikan muntah dan diare, dermatitis atopi bertahap menghilang. Oleh karena itu CMP perlu dieliminasi seterusnya, sedangkan kebutuhan nutrisi sudah terpenuhi dari makanan yang lain karena anak mau makan dengan berbagai variasi makanan. Perlu dipikirkan untuk melakukan provokasi CM atau makanan yang mengandung CM untuk meyakinkan apakah anak masih menderita CMPA yang terdapat pada makanan yang mengandung CM.

Dari gambaran 2 kasus tersebut, gejala klinis atopi pada kasus pertama muncul lebih awal, sedang kasus kedua gejala klinis muncul lebih lama. Pada kasus ke-2, keluarga tidak menyadari adanya atopi pada anaknya meskipun dermatitis atopi sudah berlangsung lama. Dermatitis atopi dianggap akibat perubahan suhu tempat tinggal, dari daerah dingin ke daerah dengan suhu lebih panas. Kedua kasus diatas bila tidak terdiagnosis, dapat memberikan risiko diare kronik dan malnutrisi. Pemeriksaan RAST, SPT dan IgE bermanfaat untuk menentukan prognosis selanjutnya.Sesuai penelitian di Eropa (Sneiyder dkk, 2008), penangguhan pemberian susu formula, tidak akan menurunkan kejadian CMPA.