135
MANUAL PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH BERBASIS HAK ASASI MANUSIA BAGIAN HUKUM DAN HAM SETDA KABUPATEN SANGGAU, KALIMANTAN BARAT 2011

MANUAL PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH - …lama.elsam.or.id/downloads/1322736277_Manual_Penyusunan_Perda_Ber... · Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Dinas Kehutanan & Perke-bunan,

  • Upload
    vocong

  • View
    230

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

MANUAL PENYUSUNANPERATURAN DAERAH

BERBASIS HAK ASASI MANUSIA

BAGIAN HUKUM DAN HAMSETDA KABUPATEN SANGGAU,

KALIMANTAN BARAT2011

Manual Penyusunan Peraturan DaerahBerbasis Hak Asasi Manusia

Penyusun :Marina Rona, Yulia Theresia, Laurianus Yoka, Mutmainnah,Ervansius Hendra Gomesdy, Dwi Yuliani, Ariyanto, Henny Lorryda Yuliana, Feri Budi Jayanto, Syafrinal,Bambang Sugiharto

Editor :Melia KaryatiWahyu Wagiman

Desain/layout :Alang-alang

Cetakan I :Oktober, 2011

Penerbit Bagian Hukum dan HAM Setda Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat

Kata Sambutan BupatiKabupaten Sanggau

Assalammu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh...

Penyusunan dan penerbitan buku MANUAL PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH BERBASIS HAK ASASI MANUSIA ini merupakan kerjasama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau dengan Pontianak Institute (PI) dan Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM) melalui Program Penyusunan Peraturan Daerah Berbasis Hak Asasi Manusia yang telah dimulai sejak 2010 lalu.

Dalam rangka pelaksanaan kerjasama tersebut maka dibentuk-lah Tim Penyusun yang anggotanya terdiri atas perwakilan: Bagian Hukum & HAM Pemkab. Sanggau, Sekretariat DPRD, Sekretariat Daerah, DinSosNaKerTrans, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan & Aset Daerah (DP2KAD), Bappeda, Dinas Pendidikan Pemuda & Olahraga, Dinas Kesehatan, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Dinas Kehutanan & Perke-bunan, bersama-sama dengan PI dan ELSAM.

Secara keseluruhan, buku manual ini berisikan panduan/pedo-man bagi para SKPD ataupun legal draft er seluruh instansi yang ada di Kabupaten Sanggau dalam menyusun/merancang Peraturan Daerah di tingkat lokal. Buku Manual ini dilengkapi dengan prinsip dan norma penyusunan Peraturan Daerah yang mengintegrasikan Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Jender ke dalamnya. Harapannya adalah akan ada perbaikan kondisi penikmatan dan penghormatan Hak Asasi

iv

Manusia di Kabupaten Sanggau, karena ini merupakan komitmen poli-tik yang tulus dari Pemerintah Kabupten Sanggau akan peningkatan pemajuan hak asasi manusia di Kabupaten Sanggau.

Publikasi ini dimungkinkan atas dukungan dari PI dan ELSAM yang telah mendukung penyusunan buku manual ini. Ucapan terima kasih tak lupa kami haturkan kepada seluruh anggota Tim Penyusun yang telah bekerja keras dalam menyelesaikan penulisan buku manual ini. Terima kasih juga yang sebesar-sebesarnya kepada Kepala Dinas terkait yang telah memberikan kesempatan dan izin bagi para stafnya untuk terlibat langsung dalam penyusunan buku manual ini.

Kami berharap buku manual ini dapat menjadi pedoman dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat menghasilkan Peraturan Daerah yang menghormati tinggi prinsip dan nilai Hak Asasi Manusia demi terciptanya kehidupan yang lebih bermartabat di Kabupaten Sanggau.

Dengan segala keterbatasan dan kekurangan, kami mengharap-kan buku manual ini bisa memberikan kontribusi yang positif dalam pembangunan yang berkelanjutan dengan berbasis Tata Kelola Pemer-intahan yang semakin baik ke depannya.

Wassalammu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Sanggau, 1 Oktober 2011

BUPATIKABUPATEN SANGGAU

Ir. H. Setiman H. Sudin

DAFTAR ISI

Kata Sambutan Bupati Kabupaten Sanggau ..........................................iiiDaft ar Isi ....................................................................................................... vBab I Pendahuluan ................................................................................... 1-5Bab II Integrasi Hak Asasi Manusia, Kesetaraan Jender ke Dalam Peraturan Daerah peraturan daerah A Hak Asasi Manusia ........................................................................... 5 1 Defi nisi ......................................................................................... 5-7 2 Prinsip-Prinsip Dasar Hak Asasi Manusia ............................ 8-9 3 Hak Asasi Manusia dan Kedaulatan Negara ....................... 9-10 4 Demokrasi, HAM dan Parlementer ..................................... 10-11 5 Kewajiban Negara .................................................................. 11-13 6 Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional .................... 13-16 7 Bolehkah Pemerintah Membatasi Hak Asasi Manusia ....... 16-18 B Kesetaraan Jender ........................................................................... 19Bab III Penyusunan Peraturan Daerah A Peraturan Daerah ............................................................................ 21 1 Defi nisi .......................................................................................... 21 2 Dasar Hukum dan Tanggungjawab Pemda ................................21-24 3 Kedudukan, Fungsi dan Hierarki Peraturan Daerah ..........24-26 4 Asas-Asas Pembentukan Peraturan Daerah ...................... 26-27 5 Proses dan Tahapan Penyusunan Peraturan Daerah ........ 27-32 6 Sistematika Penyusunan Peraturan Daerah ....................... 32-44 B Naskah Akademik ..................................................................... 44-48 C Partisipasi Publik ....................................................................... 49-50Bab IV Peran Parlemen Dalam Perlindungan dan Promosi Hak Asasi Manusia A Meratifi kasi Perjanjian Hak Asasi Manusia ................................ 51 B Memastikan Pelaksanaan Nasional ......................................... 52-53 C Menciptakan dan Dukungan Infrastruktur Kelembagaan ......... 53-55 D Mobilisasi Opini Publik.................................................................. 55 E Berpartisipasi Dalam Upaya Internasional ................................. 56

vi

Daft ar Pustaka ...................................................................................... 57-59Profi l Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau .................................... 60Profi l Tim Penyusun ............................................................................ 61-63

Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 2006Tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah .................... 106-108Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 tahun 2006Tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah ........... 109-116Rancangan Peraturan Daerah Lembaga Adat KabupatenSanggau ............................................................................................. 117-123

Pasca diundangkannya UU Pemerintahan Daerah, ribuan peraturan daerah lahir, baik Perda provinsi maupun perda kabupaten/kota. Pe-rubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mem-berikan perubahan signifi kan terhadap pembentukan Perda. Hal ini disebabkan, karena Undang-Undang ini diatur secara rinci apa yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah. Pengaturan ini bahkan membagi pula kewenangan pemerintahan di tingkat provinsi dan ka-bupaten/kota. Urusan yang menjadi kewenangan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pem-bagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Adanya wewenang untuk membuat Perda sendiri merupakan harapan baru karena pemerintah di tingkat lokal dapat memberdayakan daerah dalam mengatasi persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan, pengangguran, perdagangan perempuan-anak, pengabaian hak-hak minoritas, dan sebagainya. Harapan ini muncul dikaitkan dengan sejumlah asumsi diantaranya adalah daerah lebih mengetahui konteks lokal baik sosial maupun budaya dan juga kebu-tuhan dasar masyarakatnya. Dengan asumsi ini, kehadiran perda di-harapkan dapat memberikan ruang perlindungan yang lebih tepat dan mudah diakses oleh masyarakat di daerah tersebut.

Buku manual ini berisikan panduan/pedoman bagi para SKPD atau-pun legal draft er seluruh instansi yang ada di Kabupaten Sanggau dalam menyusun/merancang Peraturan Daerah di tingkat lokal. Buku Manual ini dilengkapi dengan prinsip dan norma penyusunan Per-aturan Daerah yang mengintegrasikan Hak Asasi Manusia dan Kes-etaraan Jender ke dalamnya. Harapannya adalah, akan ada perbaikan kondisi penikmatan dan penghormatan Hak Asasi Manusia di Kabupat-

viii

en Sanggau, karena ini merupakan komitmen politik yang tulus dari Pemerintah Kabupten Sanggau akan peningkatan pemajuan Hak Asasi Manusia di Kabupaten Sanggau.

Buku manual ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan diper-gunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat menghasilkan Peraturan Daerah yang menghormati tinggi prinsip dan nilai Hak Asasi Manusia demi terciptanya kehidupan yang lebih ber-martabat di Kabupaten Sanggau.

BAB I PENDAHULUAN

Lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan momentum perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintah daerah dari pola sentralisasi ke desentralisasi. Pemerintah daerah diberikan kewenangan yang cukup besar untuk menyelengga-rakan pemerintahan di tingkat lokal. Untuk itu, Pemerintahan Daerah membutuhkan instrumen yuridis yang tepat untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya, yaitu Peraturan Daerah.

Pasca diundangkannya UU Pemerintahan Daerah, ribuan Per-aturan Daerah-pun lahir, baik Peraturan Daerah provinsi maupun Per-aturan Daerah kabupaten/kota. Perubahan Undang-Undang Pemer-intahan Daerah menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga memberikan perubahan signifi kan terhadap pembentukan Peraturan Daerah. Hal ini disebabkan, karena di dalam Undang-undang ini diatur secara rinci apa yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah. Pengaturan ini bahkan membagi pula kewenan-gan pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Urusan yang menjadi kewenangan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerin-tahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerin-tahan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Penyusunan suatu peraturan perundang-undangan dalam hal ini peraturan daerah, harus memperhatikan secara jelas dari mana sumber kewenangannya, yang diberikan berdasarkan atribusi, delegasi/mandat dan tidak boleh melampaui kewenangannya.

2

Kewenangan untuk menyusun Peraturan Daerah setelah otonomi daerah membuat jumlah Peraturan Daerah sampai dengan pertengahan 2002 melonjak tinggi, yakni mencapai 6000-an yang diterbitkan oleh 368 kabupaten/kota di Indonesia. Dari jumlah Peraturan Daerah tersebut, 761 diantaranya dibatalkan dan masih ada 200 Peraturan Daerah yang masih dalam proses review di Kementrian Dalam Negeri. Peraturan Daerah yang dibatalkan tersebut pada umumnya Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah karena dinilai ber-potensi mendistorsi aktifi tas perekonomian. Selain itu, terdapat ber-bagai Peraturan Daerah yang kontroversi dan bermasalah pada tingkat implementasinya di tengah masyarakat terkait dengan Hak Asasi Manusia, diskriminasi, kesetaraan jender, pencemaran lingkungan dan sebagainya.1

Kabupaten Sanggau yang merupakan salah satu daerah kabupaten di Kalimantan Barat (Kalbar) yang termasuk banyak mengeluarkan Peraturan Daerah dalam rangka mengatur pelaksanaan pemerintah-an daerahnya. Sejak 1999 sampai dengan periode 2010, Pemerintah Kabupaten Sanggau telah mengeluarkan setidaknya 110 Peraturan Daerah dari 23 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di kabupaten ini. Dari jumlah tersebut terdapat pula Peraturan Daerah yang bermasalah di tingkat implementasinya, salah satunya Peraturan Daerah masyarakat adat. Padahal di sisi lain, Negara Indonesia mengakui hak-hak Masyarakat Adat beserta Adat Istiadat melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1997 tentang Kehutanan, Negara Indonesia mengakui hak-hak Masyarakat Adat berserta Adat Istiadat. Oleh karena itu, dalam perumusan peraturan perundang-undangan baik di tingkat nasional maupun daerah wajib mempertimbangkan aspek lokal seperti halnya keberadaan Masyarakat Adat.

1 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Menilai Tanggung Jawab Sosial Peraturan Daerah, hal. 3-4, Jakarta, 2009.

3

Adanya wewenang untuk membuat Peraturan Daerah sendiri merupakan harapan baru karena pemerintah di tingkat lokal dapat memberdayakan daerah dalam mengatasi persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat, seperti kemiskinan, pengangguran, perdagangan perempuan-anak, pengabaian hak-hak minoritas, dan sebagainya. Harapan ini muncul dikaitkan dengan sejumlah asumsi diantaranya adalah daerah lebih mengetahui konteks lokal baik sosial maupun budaya dan juga kebutuhan dasar masyarakatnya. Dengan asumsi ini, kehadiran Peraturan Daerah diharapkan dapat memberikan ruang perlindungan yang lebih tepat dan mudah diakses oleh masyarakat di daerah tersebut.

Banyaknya Peraturan Daerah yang dibatalkan dan penolakan dari masyarakat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan terhadap proses pembentukan Peraturan Daerah. Bagaimana proses tersebut berjalan? Apa kekurangan dari proses yang ada saat ini? Dinamika politik seperti apa yang muncul selama proses pembentukan tersebut dilakukan sehingga berakhir dengan pembentukan Peraturan Daerah yang kontroversial dan bermasalah dalam implementasinya sampai dengan terindikasi terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Situasi ini mengakibatkan meningkatnya tuntutan dari banyak pihak untuk mengintegrasikan hak asasi manusia ke dalam Peraturan Daerah. Oleh karenanya, peran pemerintah daerah dalam memenuhi, meng-hormati dan melindungi hak asasi manusia sangatlah penting2.

Oleh karena itu, tugas praktis untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia adalah terutama tugas nasional dan setiap negara harus bertanggungjawab atasnya. Pada tingkat nasional, hak dapat dilindungi dengan baik melalui peraturan yang cukup, badan peradilan yang mandiri, dan pelaksanaan perlindungan dan pemulihan individu, serta pembentukan institusi yang demokratis. Selain itu, pendidikan dan kampanye informasi yang paling efektif harus dirancang dan di-laksanakan pada tingkat nasional dan lokal, dengan mempertimbang-kan konteks budaya dan tradisi lokal. Ketika negara-negara meratifi kasi

2 Lembar fakta 19 Lembaga Negara untuk memajukan dan melindungi HAM

4

suatu instrumen hak asasi manusia, mereka memasukkan ketentuan-ketentuan instrumen hak asasi manusia itu ke dalam peraturan domestiknya secara langsung atau menggunakan cara-cara lain sesuai dengan kewajiban yang terdapat di dalam instrumen hak asasi manusia tersebut.

Saat ini standar hak asasi manusia dan norma-norma universal tercermin dalam hukum domestik dari hampir seluruh Negara. Dalam konteks nasional, paling tidak ada tiga produk perundang-undangan yang memberikan mandat kepada pemerintah untuk segera memper-baiki kondisi penikmatan hak asasi manusia:

1. UUD 1945 Amandemen ke-2, terutama pasal 28I ayat (5).

2. UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 71 dan 72.

3. UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 22 huruf (a) sampai dengan (o).

4. UU No.40/2008 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, khususnya Pasal 6 dan 7.

BAB IIINTEGRASI HAK ASASI MANUSIA, KESETARAAN

JENDER KE DALAM PERATURAN DAERAH

A. Hak Asasi Manusia1. Defi nisi

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia secara kodrati sebagai anugerah dari Tuhan, mencakup hak hidup, hak kemerdekaan/kebebasan dan hak memiliki sesuatu. Pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan : “All human beings are born free and equal in dignity and rights”. Ini berarti bah-wa sebagai anugerah dari Tuhan kepada makhluknya, hak asasi tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Hak asasi tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lain-nya, karena jika hal itu terjadi maka manusia kehilangan martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan. Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang dipunyai oleh semua orang sesuai dengan kondisi yang manusiawi. Hak asasi manusia ini selalu dipandang sebagai sesuatu yang mendasar, fundamental dan penting.

Hak asasi manusia melalui pendekatan-pendekatan Deskriptif, Hukum dan Filosofi s :

(a) Hak-hak dasar, yang memberdayakan manusia untuk membentuk kehidupan mereka sesuai dengan kemerdekaan, kesetaraan dan rasa hormat pada martabat manusia.

(b) Hak-hak sipil, ekonomi, sosial, budaya dan kolektif yang tertuang dalam berbagai instrumen HAM internasional dan regional serta dalam undang-undang dasar setiap negara.

(c) Satu-satunya sistem nilai yang diakui secara universal dalam hukum internasional saat ini dan terdiri dari elemen

6

liberalisme, demokrasi, partisipasi populer, keadilan sosial, berkuasanya hukum (rule of law) dan good governance.

Hak asasi manusia berlaku setara untuk hak-hak individu maupun kolektif, karena kurang tepat jika mengartikan hak asasi manusia sebagai hak individu saja. Contohnya, perkumpulan-perkumpulan keagamaan yang menikmati kebebasan beragama atau partai-partai politik yang menikmati kebebasan berserikat, kebebasan berekspresi dan lain sebagainya. Beberapa hak pribadi, seperti larangan penyiksaan dan perbudakan, betul-betul meru-pakan hak pribadi, sedangkan hak bangsa-bangsa untuk menen-tukan nasib sendiri adalah murni hak kolektif. Akan tetapi, untuk sebagian besar hak asasi manusia, ada hak-hak individual dan kolektif yang perlu dinyatakan dengan tegas.

7

Box 1 Contoh Hak Asasi Manusia :

Kebebasan, Hak dan Larangan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia

Di Bidang Hak-Hak Sipil dan Politik a) Hak untuk hidup b) Kebebasan dari penyiksaan dan kejam, tidak manusiawi atau perlakuan merendahkan atau

hukuman c) Kebebasan dari perbudakan, penghambaan dan kerja paksa d) Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi e) Hak orang yang ditahan harus diperlakukan dengan kemanusiaan f) Kebebasan bergerak g) Hak atas pengadilan yang adil h) Larangan hukum pidana yang berlaku surut i) Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum j) Hak atas privasi k) Kebebasan berpikir, hati nurani dan agama l) Kebebasan berpendapat dan berekspresi m) Larangan propaganda perang dan hasutan untuk kebencian nasional, rasial atau agama n) Kebebasan berserikat o) Hak untuk menikah dan membentuk keluarga p) Hak untuk mengambil bagian dalam urusan publik, memilih, dipilih dan memiliki akses untuk

jabatan publik q) Hak untuk kesetaraan dan non-diksriminasi di hadapan hukum

Dalam bidang hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

a) Hak untuk bekerja b) Hak untuk kondisi kerja yang adil dan menguntungkan c) Hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh d) Hak atas jaminan sosial e) Perlindungan keluarga f) Hak atas standar hidup yang layak, termasuk cukup makanan, pakaian dan perumahan g) Hak atas kesehatan h) Hak atas pendidikan

Dalam bidang hak-hak kolektif

1. Hak masyarakat untuk: a) Penentuan nasib sendiri b) Pengembangan c) Bebas memanfaatkan kekayaan dan sumber daya alam d) Peraturan daerahmaian e) Lingkungan yang sehat

2. Hak-hak kolektif lainnya: a) Hak berkebangsaan, etnis, agama dan bahasa minoritas b) Hak-hak masyarakat adat

8

2. Prinsip-Prinsip Dasar Hak Asasi ManusiaSebagai salah satu wujud diadopsinya hak asasi manusia ke dalam Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah yang berperspektif hak asasi manusia harus mengadopsi nilai atau prinsip dasar hak asasi manusia, seperti dibawah ini :

a) Universal (Universality)

H ak asasi manusia adalah universal karena mereka didasarkan pada martabat setiap manusia, tidak peduli ras, warna kulit, jenis kelamin, asal-usul etnis atau sosial, agama, bahasa, kewarganegaraan, usia, orientasi seksual, kecacatan, atau karakteristik yang membedakan lainnya. Hal ini karena mereka diterima oleh semua negara dan masyarakat, mereka berlaku dan tanpa pandang bulu untuk setiap orang dan adalah sama bagi semua orang di mana-mana.

b) Tidak dapat dipindahtangankan (Inalienable)

Hak asasi manusia adalah mutlak sejauh haknya tidak dilepaskan, selama di bawah hukum yang jelas. Sebagai contoh, hak seseorang untuk kebebasan mungkin dibatasi jika ia ditemukan bersalah atas kejahatan oleh pengadilan hukum.

c) Tak terpisahkan dan saling ketergantungan (Indivisible and interdependent)

H ak asasi manusia adalah tak terpisahkan dan saling tergantung karena setiap hak asasi manusia memerlukan dan tergantung pada hak asasi manusia lainnya, melanggar salah satu hak tersebut mempengaruhi pelaksanaan dari hak manusia lainnya. Sebagai contoh, hak untuk hidup mengandaikan penghormatan terhadap hak untuk pangan dan standar hidup yang layak. Hak dipilih untuk jabatan publik berarti akses ke dasar pendidikan. Membela

9

hak-hak ekonomi dan sosial mengandaikan kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat. Dengan demikian, hak-hak sipil dan politik dan ekonomi, hak-hak sosial dan budaya saling melengkapi dan sama-sama penting untuk martabat dan integritas setiap orang. Menghormati semua hak merupakan prasyarat bagi peraturan perdamaian berkelanjutan dan pembangunan.

d) Non-Diskriminasi (Non-Dicrimination)

Beberapa pelanggaran hak asasi manusia terburuk telah dihasilkan dari diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Hak untuk kesetaraan dan prinsip non-diskriminasi, secara eksplisit diatur dalam perjanjian internasional dan regional hak asasi manusia, karena itu penting bagi hak asasi manusia. Hak untuk kesetaraan mewajibkan Negara untuk menjamin ketaatan terhadap hak asasi manusia tanpa diskriminasi atas alasan apapun, termasuk jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, kebangsaan, asal-usul etnis atau sosial, keanggotaan nasional minoritas, hak milik, kelahiran, usia, cacat, orientasi seksual dan status sosial atau lainnya. Lebih sering daripada tidak, diskriminatif kriteria yang digunakan oleh Negara dan aktor non-Negara mencegah kelompok-kelompok tertentu dari sepenuhnya menikmati semua atau sebagian hak asasi manusia yang didasarkan pada karakteristik.

3. HAM dan Kedaulatan NegaraD i masa lalu, ketika hak asasi manusia masih dianggap sebagai urusan internal suatu negara, negara dan masyarakat internasional lainnya dicegah dari campur tangan, bahkan di sebagian besar kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia serius, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Bahwa pendekatan, berdasarkan kedaulatan nasional,

10

tertantang pada abad kedua puluh, terutama oleh tindakan Nazi Jerman dan kekejaman yang dilakukan selama Perang Dunia Kedua. Hari ini, promosi hak-hak asasi manusia dan perlindungan dianggap sebagai keprihatinan yang sah dan tanggungjawab masyarakat internasional. Namun, perbedaan antara kewajiban hukum universal dan kedaulatan negara dapat diselesaikan hanya berdasarkan kasus per kasus, sesuai dengan prinsip proporsionalitas. Prinsip mana menurut setiap tindakan yang diambil oleh otoritas sesuai dengan konsep universalitas tidak boleh melampaui apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan sesuai dengan hak asasi manusia.

4. Demokrasi, HAM dan ParlementerD alam dekade terakhir, keterkaitan antara demokrasi dan hak asasi manusia dipelajari secara ekstensif. Demokrasi tidak lagi dianggap hanya sebagai satu perangkat aturan prosedural untuk konstitusi dan pelaksanaan kekuasaan politik, tetapi juga, bersama dengan hak asasi manusia, sebagai suatu cara untuk melestarikan dan mempromosikan martabat manusia. Pada tahun 1995, Uni Antar-Parlemen memulai proses penyusunan Deklarasi Universal Demokrasi untuk memajukan standar internasional dan memberikan kontribusi untuk demokratisasi yang sedang berlangsung di seluruh dunia. Dalam Deklarasi, diadopsi pada tahun 1997, demokrasi dan hak asasi manusia sangat erat terkait untuk dianggap tak terpisahkan.

D emokrasi didasarkan pada gagasan bahwa semua warga negara sama-sama berhak untuk memiliki suara dalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Hak untuk partisipasi dalam pelaksanaan urusan publik diabadikan dalam Pasal 21 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 25 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Namun, agar warga negara bisa

11

efektif menggunakan hak itu, mereka terlebih dahulu harus menikmati hak lain seperti kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat, dan hak-hak ekonomi dan sosial dasar. Parlemen merupakan Badan berdaulat didirikan melalui pemilu biasa, bebas dan adil untuk memastikan pemerintah rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, karena lembaga ini merupakan kunci dalam demokrasi. Sebagai badan yang kompeten untuk mengatur dan menjaga kebij akan dan tindakan eksekutif di bawah pengawasan konstan, parlemen juga memainkan peran kunci dalam promosi dan perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, parlemen menetapkan kerangka hukum yang menjamin independensi peradilan dan, oleh karena itu, aturan hukum, sebuah landasan demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.

5. Kewajiban NegaraM eskipun pada prinsipnya hak asasi manusia dapat dilanggar oleh setiap orang atau kelompok, namun berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional, suatu negara tidak boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan manusia. Sebaliknya negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut3. Apalagi setelah Negara tersebut meratifi kasi atau menjadi pihak pa da perjanjian internasional hak asasi manusia. Dalam kaitan ini, paling tidak Negara memiliki tiga kewajiban utama, yaitu tugas untuk menghormati, melindungi dan memenuhi.

“kewajiban untuk menghormati”Negara memiliki “kewajiban untuk menghormati” obligation to respect) berarti bahwa Negara berkewajiban untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban ini mengandung larangan

3 Hukum Hak Asasi Manusia, Rhona K.M. Smith dkk, PUSHAM UII, 2008

12

tindakan tertentu yang dapat merusak penikmatan hak. Misalnya, berkenaan dengan hak untuk pendidikan, itu berarti bahwa Pemerintah harus menghormati kebebasan orang tua untuk mendirikan sekolah-sekolah swasta dan untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

“kewajiban untuk melindungi”Negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-negara) yang akan mengganggu perlindungan hak asasi manusia. Kewajiban negara untuk menghormati adalah kewajiban paling dasar. Contoh, hak anak-anak atas pendidikan harus dilindungi oleh negara dari gangguan dan indoktrinasi oleh pihak ketiga, termasuk orangtua dan keluarga, guru dan sekolah, agama, sekte, marga dan perusahaan bisnis. Negara memiliki wewenang yang luas sehubungan dengan kewajiban ini. Sebagai contoh, hak atas integritas pribadi dan keamanan mewajibkan Negara untuk memerangi fenomena meluasnya kekerasan domestik terhadap perempuan dan anak-anak. Walaupun tidak setiap tindakan kekerasan dilakukan oleh suami terhadap istrinya, atau oleh orang tua terhadap anak-anak mereka, merupakan pelanggaran hak asasi manusia, yang mungkin Negara bertanggung jawab, Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengambil tindakan positif - untuk mengurangi kejadian kekerasan dalam rumah tangga.

“kewajiban untuk memenuhi”“Kewajiban untuk memenuhi”. Negara-negara diminta untuk mengambil tindakan positif untuk memastikan bahwa hak asasi manusia dapat dilaksanakan. Adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif,

13

yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia. Sehubungan dengan hak atas pendidikan, misalnya, Negara harus memberikan cara dan sarana untuk pendidikan dasar gratis dan wajib untuk semua, pendidikan menengah gratis, pendidikan tinggi, pelatihan kejuruan, pendidikan orang dewasa, dan penghapusan buta huruf (termasuk langkah-langkah seperti mendirikan sekolah umum yang cukup atau menyewa dan menyediakan cukup banyak guru).

6. Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional(a) Deklarasi Universal HAM (DUHAM)

Pasca Perang Dunia II, perjuangan penegakan hak-hak asasi manusia tidak lagi berlangsung dalam tataran nasional di lingkungan negeri-negeri dan negara-negara Barat saja, melainkan diangkat pada tataran internasional, dan terwujud dalam rumusan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (1945) dan Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia (1948). Tak diragukan lagi, deklarasi tersebut dengan lantangnya telah mencanangkan pernyataan internasional yang diharapkan dapat berdampak luas, di tengah kehidupan yang jelas-jelas sudah berubah dan berkembang ke arah formatnya yang baru sebagai suatu world system. Substansi deklarasi itu tetap saja, ialah pengakuan atas martabat dan hak yang melekat pada siapapun yang tergolong ke dalam bilangan umat manusia. Itulah martabat dan hak-hak manusia yang sungguh asasi, dan yang karena asasinya itu tak lalu boleh dicabut atau dialihserahkan kepada siapapun yang berkekuasaan (inalienable) serta tak pula mungkin digugat-gugat keabsahannya (inviolable)4.

4 Hak Asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya Dari Masa Ke Masa, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, Bahan Bacaan Kursus Hak Asasi Manusia, http://www.elsam.or.id/new/index.php?id=263&lang=in&act=view&cat=c/603.

14

Pada tanggal 10 Desember 1948, dengan sebuah resolusi bernomor 217A(III) suatu deklarasi diproklamasikan oleh suatu organisasi antarbangsa yang telah dibentuk seusai selesainya perang Dunia II, ialah Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations). Deklarasi itu mensenaraikan dalam pasal-pasalnya sejumlah hak-hak manusia yang asasi, yang pada dasarnya mencanangkan pengakuan secara umum tentang pentingnya hak-hak itu dihormati dan ditegakkan. Berbeda dengan deklarasi-deklarasi serupa yang ada sebelumnya, deklarasi kali ini bukanlah deklarasi suatu bangsa atau suatu negara bangsa tertentu. Deklarasi kali ini, ialah The Universal Declaration on Human Rights (yang di dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan “Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia”), dikumandangkan melalui suatu kesepakatan antarbangsa, yang dikatakan “sebagai standar umum … semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap individu dan organ masyarakat … mengupayakan -- melalui pengajaran dan pendidikan -- dimajukannya penghormatan kepada hak dan kebebasan (manusia)”5.

Deklarasi yang berjumlah 31 Pasal ini mencantumkan pengakuan hak-hak sipil dan hak politik dalam pasal-pasalnya yang ke-3 sampai ke yang 21. Termasuk dalam hak asasi yang dicantumkan dalam pasal-pasal ini antara lain hak-hak untuk tidak diperbudak, untuk tidak mengalami penganiayaan dan perlakuan atau hukuman yang keji dan merendahkan martabat manusia, dan pula untuk mendapatkan peradilan yang terbuka dan independen serta tidak berpihak. Pasal-pasal berikutnya, dimulai dengan pasal 22 sampai ke pasal 27 mengemukakan pengakuan atas hak-hak asasi manusia dalam kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Termasuk dalam hak-hak

5 Loc Cit

15

kategori kedua ini antara lain hak-hak untuk bekerja, untuk memperoleh pendapatan yang sama atas pekerjaan yang sama, untuk memperoleh stanadar kehidupan yang layak, untuk memperoleh jaminan kesehatan dan layanan pendidikan, dan pula untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya masyaraka

(b) Perjanjian Hak Asasi Manusia UtamaKetentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia telah dilengkapi dengan sejumlah instrumen spesifi k yang mengikat. Beberapa perjanjian berada di bawah pengawasan badan-badan pemantauan, dengan dua Kovenan, seperangkat instrumen biasanya dilihat sebagai perjanjian hak asasi manusia utama. Dibawah ini instrumen- instrumen hak asasi manusia tersebut :

a. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) Tertanggal 16 Desember 1966, Terbuka untuk penandatangan, ratifi kasi dan aksesi, diratifi kasi Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005.

b. Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan, ratifi kasi, dan aksesi, diratifi kasi Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005.

c. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD; adopsi pada tahun 1965; berlakunya pada tahun 1969); Negara Indonesia meratifi kasi konvensi melalui Undang-Undang No. 29 Tahun 1999.

d. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW, adopsi pada tahun 1979; berlakunya pada tahun 1981); Negara Indones ia

16

meratifi kasi konvensi melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984.

e. Konvensi Menentang Penyiksaan yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Hukuman (CAT; adopsi pada tahun 1984; berlakunya pada tahun 1987); Negara Indonesia meratifi kasi konvensi melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1998.

f. Konvensi tentang Hak-hak Anak (CRC; adopsi pada tahun 1989; berlakunya pada tahun 1990); Negara Indonesia meratifi kasi konvensi melalui Undang-Undang No. 36 Tahun 1990.

g. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (yang dikenal sebagai Konvensi Pekerja Migran, atau CMW; adopsi pada tahun 1990; berlakunya pada tahun 2003).

7. Bolehkah Pemerintah Membatasi Hak Asasi Manusia?

Perlindu ngan dan penegakan hak asasi manusia merupakan kewajiban semua pihak, negara dan warga negaranya. Hak asasi manusia tidak hanya berbicara mengenai hak, tetapi berbicara pula mengenai kewajiban, yaitu kewajiban untuk saling menghormati dan menghargai hak asasi manusia orang lain. Setiap hak asasi manusia seseorang akan menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik. Sehingga terdapat pembatasan dan larangan dalam pelaksanaan perlindungan hak asasi manusia. Pembatasan yang ditetapkan melalui undang undang dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, ketertiban umum dan

17

kepentingan bangsa6. Derogasi atau pembatasan HAM adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam kamus hukum hak asasi manusia dikenal dua jenis hak, yakni hak asasi manusia yang bisa dikurangi (derogable rights) dan yang sama sekali tidak bisa dikurangi (non-derogable rights)7. Hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah: (i) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; dan (iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekpresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tulisan).

Hak-hak non-derogable yaitu hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang sama sekali tidak bisa dikurangi antara lain meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk bebas dari perbudakan dan perdagangan budak, hak untuk tidak dipenjara hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban yang muncul dari perjanjian, dan berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama.

Meski demikian, pembatasan hak asasi manusia harus ditempatkan dalam rangka implementasi konsep tanggung jawab negara yang melekat dalam derogasi hak asasi manusia. Dalam hal ini negara harus memenuhi situasi dan persyaratan hukum khusus dan tidak mudah sebelum melakukan derogasi

6 Hukum Hak Asasi Manusia, Rhona K.M. Smith dkk, PUSHAM UII, 20087 Derogasi dan HAM, R Herlambang Perdana, Kompas, 18 Oktober 2007

18

itu, seperti standar Pasal 4 Ayat (1) dan (3) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, yaitu :

a. pembatasan hanya bisa dilakukan bila dalam keadaan darurat mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya;

b. Kepala Negara secara resmi harus mengumumkan kepada publik tentang keadaan bahaya. Dalam konsep hukum pernyataan bahaya;

c. langkah-langkah derogasi itu tidak bertentangan dengan kewajiban lain berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi hanya berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal-usul sosial;

d. Kepala Negara harus segera memberi tahu kepada negara-negara pihak lainnya (yang telah meratifi kasi ICCPR) melalui perantaraan Sekretaris Jenderal PBB tentang aneka ketentuan yang dikurangi dan tentang alasan-alasan pemberlakuannya, serta pemberitahuan tentang saat berakhirnya derogasi itu.

Box 2 PEMBATASAN DAN KETERBATASAN HAM

Beberapa HAM mutlak :

a) Larangan penyiksaan b) Larangan perbudakan c) Pengakuan sebagai seseorang di hadapan hukum d) Kebebasan atas kesadaran

Sebagian besar HAM dapat dibatasi dalam situasi tertentu :

a) Reservasi berdasarkan hukum internasional b) Pengurangan pelaksanaan hak dalam situasi darurat c) Larangan penyalahgunaan d) Klausul-klausul batasan e) Prinsip proporsionalitas

19

B. Kesetaraan JenderMengenal kesetaraan jender pada dasarnya telah tercakup dalam perubahan kedua UUD 1945 yang memberikan penegasan akan penghormatan, pemajuan, perlindungan, penegakan, dan pemenuhan oleh Negara akan Hak Asasi Manusia sebagai hak konstituational warga negara. Pada tanggal 24 Juli 1984 Pemerintah Republik Indonesia telah meratifi kasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. oleh karena itu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kesetaraan jender memuat prinsip-prinsip yang diatur dalam CEDAW.

Terkait ketentuan mengenai jender misalnya, seringkali peraturan secara sadar atau tidak memuat ketentuan-ketentuan yang netral jender. Artinya, ketentuan dimaksud tidak mempertimbangkan bahwa dalam kenyataan sosialnya kapasitas dan peluang yang dimiliki oleh kelompok berjenis kelamin tertentu (umumnya perempuan) tidak sama dengan kelompok lainnya (umumnya laki-laki). Sehingga ketika peraturan tersebut dilaksanakan, ketentuan yang netral jender justru melestarikan kondisi yang tidak seimbang antara kelompok perempuan dan laki-laki bahkan mendiskriditkan perempuan. Contohnya, qanun syariat di Nangroe Aceh Darusalam telah menginspirasi banyak daerah di luarnya untuk mengeluarkan Peraturan Daerah syariat yang diskriminatif terhadap perempuan. Pada rentang 1999 s.d 2010 telah lahir 189 kebij akan diskriminatif, 7 di antaranya diterbitkan di tingkat nasional. 80 di antara 189 kebij akan itu secara langsung menyasar kepada perempuan. Sebanyak 21 merupakan kebij akan aturan busana Islam.8

8 Perempuan dalam Perda Syariat, http://jurnalperempuan.com/2011/05/perempuan-dalam-perda-syariat/.

20

BAB IIIPENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

A. PERATURAN DAERAH1. Defi nisi

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang dimaksud dengan “Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota”. Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, Peraturan Daerah mendapatkan landasan konstitusionalnya di dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945). Kemudian, dalam ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah propinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah9.

2. Dasar Hukum dan Tanggungjawab PemdaPada dasarnya komitmen pemajuan hak asasi manusia Pemerintah Kabupaten Sanggau adalah turunan komitmen nasional bangsa Indonesia di masa reformasi 1998, yang menempatkan langkah-langkah perbaikan kondisi penikmatan hak asasi manusia sebagai agenda reformasi nasional.

9 Pasal 136 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

22

Dan kemudian mendorong lahirnya pelbagai perundang-undangan yang memerintahkan pemerintah nasional dan daerah untuk memajukan penikmatan hak asasi manusia di seluruh Indonesia.

Selain itu, Pemerintah Kabupaten Sanggau juga berkomitmen untuk:

1. Meningkatkan akses masyarakat ke berbagai fasilitas dan layanan kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial, terutama untuk masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan dan terpencil.

2. Meningkatkan kualitas pemerintahan yang bersih dan baik, dan

3. Meningkatkan upaya-upaya pelestarian lingkungannya

Melihat persoalan ekonomi, sosial, dan budaya yang begitu kompleks, tidaklah mudah melaksanakan tiga kewajiban dasar hak asasi manusia yang dibebankan hukum nasional kepada Pemerintah Kabupaten Sanggau. Namun demikian, walaupun ada keterbatasan, setidak-tidaknya ada sejumlah langkah yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Sanggau terkait dengan mandat tiga kewajiban dasar tersebut. Pertama, adalah di tingkat kebij akan. Di tingkat kebij akan Pemerintah Kabupaten Sanggau telah melakukan sejumlah langkah yakni memproduksi pelbagai Peraturan Daerah yang tujuannya untuk melindungi hak dan kebebasan dasar masyarakat Sanggau. Kedua, Pemerintah Kabupaten Sanggau juga melakukan langkah-langkah untuk memastikan bahwa kewajiban memenuhi telah dilaksanakan. Apa saja langkah-langkah tersebut? Berikut ini adalah sejumlah langkah yang telah diambil:

a. Pembentukan Panitia RANHAM Kabupaten Sanggaub. Melakukan Pendidikan HAM bagi Aparatur

23

c. Meng-anggarkan dana untuk Kegiatan RANHAM hingga tahun 2007d. Melakukan kerjasama penyuluhan hukum bagi masyarakat

e. Melakukan Sosialisasi Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah Kab. Sanggau

Dari rencana dan langkah yang telah dilaksanakan oleh Pemda Sanggau tersebut, ada beberapa hal yang menjadi kendala implementasinya, yakni semua hasil-hasil dari program pemenuhan hak asasi manusia di atas dij alankan dengan anggaran yang sangat-sangat terbatas. sehingga harus dipahami jika kebanyakan program lebih diprioritaskan pada inisiatif pembuatan peraturan daerah, ketimbang memberikan tekanan yang sama pada program-program penguatan pengetahuan, pemahaman, dan keahlian hak asasi manusia aparatur pemerintah. Program-program di atas dij alankan oleh Pemkab secara mandiri tanpa proses asistensi yang memadai dari Pemerintah Pusat. Sehingga dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya mengacu pada prinsip dan standar hukum hak asasi manusia nasional dan internasional.

Di tengah keterbatasan sumberdaya dan anggaran, Pemerintah Kabupaten Sanggau memiliki komitmen yang kuat untuk meningkatkan kualitas kebij akan daerah di masa mendatang, yakni dengan mencoba mengintegrasikan prinsip dan standar norma hukum hak asasi manusia nasional ke dalam kebij akan daerah, termasuk melakukan penguatan-penguatan atas sejumlah Peraturan Daerah yang ada, sehingga bisa selaras dan sejalan dengan prinsip dan norma hukum hak asasi manusia. Meningkatkan proses upgrading pengetahuan dan pemahaman hak asasi manusia di lingkup aparat pemerintah, dari tingkat kabupaten hingga desa. Pelatihan dan pendidikan tentunya akan diupayakan mampu menjangkau seluruh pejabat dan

24

pegawai negeri sipil sehingga memudahkan mereka untuk menjalankan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia masyarakat Sanggau.

3. Kedudukan, Fungsi dan Hierarkhi Peraturan DaerahPeraturan Daerah merupakan salahsatu jenis Peraturan Perundang-undangan dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Saat ini, Peraturan Darah mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena diberikan landasan konstitusional yang jelas sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat (6) yang menyatakan Pemerintahan daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi, yaitu :

a. Sebagai instrumen hukum adalah alat untuk melaksanakan kebij akan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan;

b. Sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

c. Sebagai alat penangkap dan penyalur aspirasi masyarakat daerah;

d. Sebagai alat tranformasi daerah untuk mengubah institusi dan perilaku bermasalah dari obyek yang coba diaturnya, dan;

e. Sebagai harmonisator ataupun produk dari berbagai kepentingan.

UUD 1945 sebagai hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan, sebagaimana di atur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ada beberapa kaidah hukum yang harus diketahui sebagai langkah penyusunan suatu perundang-undangan, yakni:

25

Lex Superiori Derogat Legi Inferiori (dalam hal mengatur suatu yang sama, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi, jika bertentangan, perauran yang lebih tinggi akan mengalahkan yang lebih rendah)

Lex Posteriori derogate Legi Priori (Dalam hal mengatur sesuatu yang sama, peraturan yang lebih baru akan mengalahkan peraturan yang lebih lama)

Lex Specialis derogate Legi Generalis ( Dalam hal mengatur hal yang sama, peraturan yang lebih khusus akan mengalahkan peraturan yang lebih umum).

Demikian juga dengan asas peraturan perundang-undangan yang harus diketahui pembentuk undang-undang, sebagai berikut; asas persamaan dan tidak memihak, motif dan tujuan yang sah, kepastian hukum, Kepentingan umum, dapat dilaksanakan dan Non retroaktif (tidak berlaku surut).

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Sehingga, setiap jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan muatan materinya berbeda satu sama lain. Demikian juga dengan kekuatan hukum peraturan perundang-undangan tersebut yang disesuaikan dengan hierarkinya10. Sebagai contoh, materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi 11:

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

10 Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan11 Pasal 10 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

26

d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Sementara materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang undangan yang lebih tinggi12.

Hierarki Peraturan Perundang-Undangan13

4. Asas-Asas Pembentukan Peraturan daerah

Peraturan Daerah dibuat berdasarkan asas-asas:

1. Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, meliputi; kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat (SKPD yang berkaitan), kesesuaian antara jenis dan materi muatan ( antara judul dan isi yang dij abarkan benar), dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.

12 Pasal 14 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

13 Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

27

2. Asas materi muatan peraturan perundang-undangan, yaitu; pengayoman, kemanusian, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, Bhineka Tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintah, ketertiban dan kepastian hukum, dan atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan.

3. Asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain: asas hukum pidana, asas hukum peraturan daerah, asas tata urutan/susunan (hierarki peraturan perundang-undangan, dan serta asas-asas hukum umum yang secara khusus dapat diterapkan juga pada pembentukan peraturan perundang-undangan.

5. Proses dan Tahapan Penyusunan Peraturan DaerahDalam upaya membangun administrasi legislasi yang baik serta peningkatan kualitas produk hukum daerah, dibutuhkan suatu mekanisme atau prosedur yang jelas tentang pembentukan suatu Peraturan Daerah agar lebih terarah dan terkoordinasi.

Bagan 1. Mekanisme dan Prosedur Penyusunan Peraturan daerah

28

(a) PerencanaanPerencanaan legislasi di tingkat daerah dilakukan dengan menyusun sebuah Program Legislasi Daerah (Prolegda), sehingga tahap ini sering pula disebut sebagai tahap penyusunan Prolegda. Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. Keberadaan Prolegda Kabupaten/Kota ini telah diatur dalam Pasal 39 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. yang mengatur bahwa perencanaan penyusunan legislasi daerah dilakukan dalam suatu Prolegda. Penyusunan Prolegda Kabupaten/Kota antara DPRD Kabupaten/Kota dan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Kabupaten/Kota melalui alat kelengkapan DPRD Kabupaten/Kota yang khusus menangani bidang legislasi. Sementara Penyusunan Prolegda Kabupaten/Kota di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh Bagian Hukum dan HAM dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait14.

Bagi masyarakat, Prolegda berfungsi untuk :

mengetahui Peraturan Daerah yang masuk dalam prioritas pembahasan di tingkat DPRD;

mengetahui arah kebij akan legislasi di tingkat daerah;

mengetahui Peraturan Daerah apa saja yang sedang dibahas oleh DPRD, dan;

mengukur beban legislasi pada kurun waktu tertentu.

(b) PersiapanPada tahapan ini, aktivitas yang dilakukan adalah perancangan penyusunan naskah akademik dan

14 Pasal 36 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

29

Peraturan daerah. Proses persiapan bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) maupun DPRD.

Proses penyiapan Rancangan Peraturan Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah

Usul inisiatif DPRD

Selanjutnya tahap yang lebih bersifat administratif yakni tahap penyampaian Rancangan Peraturan Daerah yang telah selesai. Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah

30

merupakan usul prakarsa DPRD, maka pimpinan DPRD akan mengirimkan surat kepada Gubernur atau Bupati/Walikota disertai dengan naskah Rancangan Peraturan Daerah yang terkait. Sementara itu, apabila Rancangan Peraturan Daerah merupakan usul inisiatif Pemerintah Daerah, maka Gubernur untuk Peraturan Daerah Provinsi atau Bupati/Walikota untuk Peraturan Daerah Kabupaten/Kota akan mengirimkan surat pengantar Gubernur atau Bupati/Walikota kepada Pimpinan DPRD.

(c) Pembahasan;Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah di DPRD baik atas inisiatif Pemerintah Daerah maupun atas inisitiaf DPRD, dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur/Bupati/Walikota. Pembahasan suatu Pemerintah Daerah dilakukan melalui empat tingkat pembicaraan seperti bagan berikut ini.

Bagan 2. Proses Pembahasan Peraturan Daerahdi DPRD

(d) Penetapan dan Pengundangan;

31

Bagan 3. Proses Penetapan dan Pengundangan

(e) PenyebarluasanSuatu tahapan yang juga sangat penting adalah mengenai pernyebarluasan Peraturan Daerah. Dalam hal ini Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah agar semua masyarakat di daerah setempat dan pihak terkait mengetahuinya. Penyebarluasan ini bisa dimaknai sebagai upaya mendistribusikan naskah Peraturan Daerah yang sudah diundangkan dan upaya sosialisasi kepada masyarakat yang dilakukan menyeluruh.

(f) PengawasanSatu tahapan yang membedakan pembentukan Peraturan Daerah dengan pembentukan Undang-Undang adalah tentang pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu pertama, pengawasan dilakukan sesudah Peraturan Daerah disahkan. Dalam hal ini melakukan klarifi kasi, pengkajian dan penilaian

32

terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah untuk mengetahui ada tidaknya unsur yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (pengawasan represif). Yang kedua, sebelum Peraturan Daerah disahkan atau masih dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah, melakukan evaluasi pengkajian dan penilaian terhadap Rancangan Peraturan Daerah dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah dan Peraturan Kepala Daerah untuk mengetahui ada tidaknya unsur yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (pengawasan preventif). Evaluasi preventif dilakukan terhadap empat jenis Rancangan Peraturan Daerah, yaitu : (1) APBD/Perubahan APBD; (2) Pajak Daerah; (3) Retribuasi Daerah; dan (4) Rencana Tata Ruang. Sementara itu pengawasan represif dilakukan terhadap seluruh Peraturan Daerah diluar empat jenis Rancangan Peraturan Daerah di atas.

6. Sistematika Peraturan DaerahSistematika teknik penyusunan peraturan perudang-undangan sesuai dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diatur secara lebih lengkap dalam sistematika teknik penyusunan peraturan perudang-undangan pada lampiran UU No. 12 tahun 2011, yaitu sebagai berikut:

A. JUDULJudul peraturan perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapannya, dan nama peraturan perundang-undangan. Nama peraturan perundang-undangan dibuat secara singkat dan mencerminkan isi peraturan perundang-undangan. Judul ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.

33

Contoh:

B. PEMBUKAAN1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

Pada pembukaan tiap jenis peraturan perundang-undangan sebelum nama jabatan pembentuk peraturan perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakan di tengah marjin.

2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan

Jabatan pembentuk peraturan perundang-undangan di tulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma (,).

Contoh:

GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ... (Nama Provinsi/Kabupaten/Kota)

3. Konsiderans

a. Konsideran diawali dengan dengan kata Menimbang.

b. Konsideran memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan Perundang-undangan atau Peraturan Daerah.

34

c. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Peraturan Daerah memuat unsur Filosofi s, Yuridis dan Sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.

Filosofi s : menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat berlandaskan pada kebenaran dan cita rasa keadilan serta ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, kelestarian ekosistem, dan supremasi hukum.

Sosiologis : Menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan sosial masyarakat setempat.

Yuridis : Menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat mempunyai keterkaitan dengan peraturan yang telah ada, yang akan diubah atau yang akan dicabut.

d. Pokok–pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan dianggap perlu untuk dibuat adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan tentang latar belakang dan alasan dibuatnya peraturan-perundang-undangan tersebut.

e. Jika konsideran memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian.

f. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.

Contoh:

Menimbang : a. bahwa...; b. bahwa...; c. bahwa...;

35

g. Jika konsideran memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut:

Contoh:

Menimbang : a. bahwa…; a. bahwa…; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk Peraturan Bupati tentang...;

h. Konsideran Peraturan Bupati pada dasarnya cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan, ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Peraturan perundang-undangan/Peraturan Daerah yang memerintahkan pembuatan peraturan Bupati tersebut.

Contoh :bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal…. Peraturan Daerah Nomor… Tahun. Tentang... perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang…

4. Dasar Hukum

a. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.

b. Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan peraturan perundang-undangan / Peraturan Daerah tersebut.

c. Peraturan perundang-undangan/Peraturan Daerah yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan

36

Perundang-undangan yang tingkatnya sama atau lebih tinggi.

d. Peraturan perundang-undangan/Peraturan Daerah yang akan di cabut dengan Peraturan perundang-undangan/Peraturan Daerah yang akan di bentuk atau Peraturan perundang-undangan/Peraturan Daerah yang sudah ditetapkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum.

e. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan/ Peraturan Daerah yang dij adikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantumannya perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang-undangan dan jika tingkatannya sama, disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.

f. Dasar hukum yang diambil dari pasal (pasal) dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang berkaitan dengan frase Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.

Contoh:

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-

Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

g. Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama, judul Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah.

37

Penulisan Undang-undang/ Peraturan Daerah, ditulis dengan huruf kapital Peraturan Perundang-undangan perlu dilengkapi dengan pencantuman Lembar Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakan diantara tanda baca kurung.

Contoh :Mengingat : 1. …;

2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi(Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 4316);

h. Dasar hukum yang berasal dari Peraturan perundang-undangan jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dan kemudian judul asli Bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staadblad yang dicetak miring diantara tanda baca kurung.

Contoh :Mengingat: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Peraturan daerahta (Burgerlij k Wetboek, Staatsblad 1847:43); 2. ...;

i. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah, tiap dasar hukum diawali dengan angka arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma.

38

Contoh:Mengingat : 1. ...; 2. …; 3. …;

5. Diktum

Diktum terdiri atas;a. Kata memutuskan;

Kata MEMUTUSKAN ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi diantara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakan di tengah marjin.

Sebelum kata memutuskan dicantumkan frase Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH… (nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA… (nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf capital dan diletakan di tengah marjin.

Contoh:

Dengan Persetujuan BersamaDEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

KABUPATEN SANGGAUdan

BUPATI SANGGAUMEMUTUSKAN:

b. Kata menetapkan;

Kata MENETAPKAN dicantumkan sesudah kata MEMUTUSKAN yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua (:).

39

c. Nama Peraturan Perundang-undangan / Peraturan Daerah.

Nama yang dicantumkan dalam judul Peraturan Perundang-undangan / Peraturan Daerah dicantumkan lagi setelah kata “Menetapkan” dan didahului dengan pencantuman jenis Peraturan Perundang-undangan / Peraturan Daerah tanpa frase Republik Indonesia/Kabupaten Sanggau, serta di tulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diahiri dengan tanda baca titik.

Contoh:

MEMUTUSKANMenetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG

RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK KARTU TANDA PENDUDUK DAN AKTA CATATAN SIPIL.

Pembukaan Peraturan perundang-undangan/Peraturan Daerah yang tingkatannya lebih rendah dari Peraturan perundang-undangan/Peraturan Daerah seperti Peraturan Bupati, Keputusan Bupati secara mutatis mutandis berpedoman pada pembukaan Peraturan perundang-undangan/Peraturan Daerah.

C. BATANG TUBUHBatang tubuh Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah yang memuat semua substansi Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah yang dirumuskan dalam pasal-pasal. Pada umunya substansi dalam batang tubuh dikelompokan ke dalam:

1) Ketentuan Umum2) Materi Pokok yang Diatur3) Ketentuan Pidana (Jika diperlukan)

40

4) Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan)5) Ketentuan Penutup

Dalam pengelompokan substansi sedapat mungkin dihindari adanya bab ketentuan lain atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakan untuk masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur.

Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi perdata. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi keperdataan dan sanksi administratif dalam satu bab. Sanksi administratif dapat berupa, antara lain pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat berupa antara lain ganti kerugian.

Pengelompokan materi Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian dan paragraph. Jika Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah mempunyai materi yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal-pasal tersebut dapat dikelompokan menjadi buku (jika merupakan kodifi kasi), bab, bagian dan paragraf. Pengelompokan materi dalam buku, bab, bagian dan

41

paragraph dilakukan atas dasar kesamaan materi. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut:

bab dengan pasal (-pasal) tanpa bagian dan paragraph

bab dengan bagian dan pasal (-pasal) tanpa paragraph, atau

bab dengan bagian dan paragraph yang berisi pasal (-pasal).

Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.

Contoh:

BUKU KETIGAPERIKATAN

Bab di berikan nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.

Contoh:

BAB IKETENTUAN UMUM

Bagian diberikan nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberikan judul.

Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase.

Contoh:

Bagian KelimaPersyaratan Teknis Kendaraan Bermotor, Kereta

Gandengan, dan Kereta Tempelan

Paragraph diberi nomor urut dengan angka Arab dan di berikan judul. Huruf awal dari kata paragraph dan

42

setiap kata pada judul paragraph ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase.

Contoh:

Paragraf 1Ketua, Wakil Ketua dan Hakim

Pasal merupakan satu aturan dalam Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah yang memuat satu norma, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas dan lugas. Materi Peraturan Perundang-undangan/Peraturan Daerah lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab, dan huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital.

Contoh:

Pasal 34Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.

Pasal dapat dirinci kedalam beberapa ayat. Ayat diberikan nomor urut dengan angka Arab diantara tanda baca kurung tanpa diakhiri dengan tanda baca titik. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam kalimat utuh, huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil.

43

Contoh:

Pasal 8(1). Satu permintaan pendaft aran merek hanya dapat

diajukan untuk 1 (satu) kelas barang.

(2). Permintaan pendaft aran merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan.

(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai kelas barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

D. PENUTUPPenutup merupakan bagian akhir peraturan yang memuat :1. Penunjukan organ atau kelengkapan yang melaksanakan peraturan;2. Nama singkat;3. Status peraturan yang ada;4. Saat mulai berlaku peraturan;5. Penempatan dalam Lembaran Daerah atau Berita

Daerah.

Contoh :

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah

ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota).

Ditetapkan di ...................

Pada tanggal ....................

PROVINSI/KABUPATEN/KOTA

NAMA GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA

Diundangkan di ...................

Pada tanggal ........................

Sekretaris Daerah ................

44

E. PENJELASAN (Jika diperlukan)

F. LAMPIRAN (Jika diperlukan)

B. Naskah Akademika) Defi nisi

Naskah Akademik (NA) merupakan naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat15. Naskah Akademik berisi latar belakang pemikiran serta hasil kajian yang menyertai dibuatnya suatu rancangan undang-undangan atau peraturan daerah. Naskah akademik biasanya berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek atau arah pengaturan rancangan undang-undang atau peraturan daerah.

b) Pentingnya Naskah Akademik dalam Peraturan Perundang-undangan

Pentingnya Naskah Akademik dalam menyertai suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan karena di dalam Naskah Akademik itulah paradigma kehidupan kemasyarakatan yang hendak dituju oleh Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk dirumuskan secara terperinci melalui pendekatan ilmiah. Lain daripada

15 Pasal 1 angka 11 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

45

itu, keberadaan Naskah Akademik yang menyertai suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan dapat juga dikatakan sebagai sumber inspirasi bagi Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang akan diperjuangkan oleh pihak pemrakarsa agar memenuhi kriteria akademik, sehingga perdebatan mengenai materi muatan yang nantinya akan dituangkan ke dalam sebuah Rancangan Peraturan Perundang-undangan dapat dieliminir seminimal mungkin. Ketentuan mengenai Naskah Akademik juga diatur dalam Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 Pasal 5 ayat (1) bahwa “Pemrakarsa dalam menyusun Rancangan Undang-undang dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik mengenai materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang-undang”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi (Kabupaten/Kota) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik16. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Presiden tersebut dinyatakan bahwa “Naskah Akademik paling sedikit memuat dasar fi losofi s, sosiologis, yuridis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur”.

c) Siapa saja yang membuat Naskah Akademik

Naskah Akademik disamping disusun oleh pakar hukum, juga harus melibatkan pakar ilmu lain yang sesuai dengan bidang yang akan diatur dalam Peraturan Perundang-

16 Berdasarkan ketentuan Pasal 63 Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutan-dis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

46

undangan. Perumusan Naskah Akademik merupakan kerja kolaboratif antara Bagian Hukum dan HAM, SKPD dan pakar ilmu lainnya yang memiliki kedekatan dengan materi muatan yang akan diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.

Namun, dalam perkembangannya kemudian Naskah Akademik tidak selalu merupakan produk perguruan tinggi. Naskah Akademik bisa dibuat oleh siapa pun sepanjang metodologinya bisa dipertanggungjawabkan. Cukup dengan penelitian sederhana serta dengan melibatkan kelompok-kelompok sosial yang berkompeten dan berkaitan dengan tema yang akan menjadi sasaran pengaturan. Kajian peraturan yang ada ditambah dari pengalaman empirik yang dialami kelompok sosial tertentu sebagai pelaku dari masalah yang akan diatur dalam peraturan daerah, serta pemangku kepentingan lainnya, sudah cukup menjadi argumentasi ilmiah sebuah naskah akademik.17

d) Apa saja isi dalam Naskah Akademik

Naskah Akademik memuat gagasan pengaturan suatu materi perundang-undangan (materi hukum) bidang tertentu yang telah ditinjau secara sistematik-holistik-futuristik dan dari berbagai aspek ilmu dilengkapi dengan referensi yang memuat urgensi, konsepsi, landasan, atas hukum dan prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-norma yang telah dituangkan ke dalam bentuk pasal-pasal dengan mengajukan

17 Komnas Perempuan, Pedoman Peraturan Daerah tentang Perlindungan Buruh Migran Indonesia Berperspektif Hak Asasi Manusia dan Keadilan Jender, hal. 15, 2006.

47

beberapa alternatif, yang disajikan dalam bentuk uraian yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan sesuai dengan politik hukum yang telah digariskan. Unsur-unsur yang perlu ada dalam suatu Naskah Akademik adalah urgensi disusunnya pengaturan baru suatu materi hukum yang menggambarkan :

1. Hasil inventarisasi hukum positif;

2. Hasil inventarisasi permasalahan hukum yang dihadapi;

3. Sebab-sebab diperlukannya Peraturanya Perundang-undangan yang baru;

4. Gagasan-gagasan tentang materi hukum yang dituangkan ke dalam Rancangan Undang-Undang dan/atau Rancangan Peraturan Pemerintah;

5. Konsepi landasan, alas hukum dan prinsip yang akan digunakan;

6. Pemikiran tentang norma-norma yang telah dituangkan kedalam bentuk pasal-pasal; dan

7. Gagasan awal naskah Rancangan Peraturan Undang-Undang dan/atau Rancangan Peraturan Pemerintah yang disusun secara sistematis sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Peraturan Perundang-undangan : bab demi bab, serta pasal demi pasal untuk memudahkan dan mempercepat penggarapan RUU/RPP selanjutnya oleh instansi yang berwenang menyusun RUU/RPP.

48

e) Sistematika Naskah Akademik

NASKAH AKADEMIK PERATURANPERUNDANG-UNDANGAN

TENTANG……………………………………………………………….

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang Identifikasi Masalah Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Metode.

II. KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Kajian teoretis. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TERKAIT Bab ini memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundangundangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang- Undang atau Peraturan Daerah yang baru.

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Landasan Filosofis Landasan Sosiologis Landasan Yuridis

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI

MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI,

ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

PENUTUP

Kesimpulan Saran

49

C. Partisipasi PublikSuatu Peraturan Daerah dapat dikatakan berbasis hak asasi manusia jika telah menerapkan nilai dan prinsip hak asasi manusia itu sendiri. Salah satu yang penting adalah ketika dalam proses penyusunan sebuah Peraturan Daerah telah memperhatikan prinsip akses informasi dan partisipasi. Partisipasi tidak bisa dipahami sekedar sebagai sosialisasi, karena partisipasi menitikberatkan proses menjaring dan mengartikulasikan gagasan dan ide untuk kemudian ditindaklanjuti secara konkret dalam sebuah policy. Keterlibatan partisipasi publik idealnya ada di semua tahapan penyusunan sebuah peraturan daerah. Jaminan akan kebebasan berpartisipasi ini termuat dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik adalah “asas keterbukaan “ (huruf g) yang selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa : “dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pengesahan atau penetapan, pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan”.

1. PerencanaanPerencanaan yang dilakukan harus dilalui dengan penerapan partisipasi publik. Proses perumusannya tidak dimonopoli oleh DPRD dan Pemda, namun aspirasi masyarakat harus diakomodasi dalam penyusunan Prolegda. Salah satu forum yang bisa digunakan adalah musyawarah perencanaan pembangunan daerah (musrenbangda). Penyusunan Prolegda bisa dij adikan salah satu agenda dalam musrenbangda.

2. Persiapan Dalam tahap ini juga harus mengoptimalkan partisipasi publik. Hal ini dapat dilakukan melalui : (i) pelibatan elemen masyarakat dalam penyusunan naskah akademik dan

50

perancangan dan (ii) penyelenggaraan forum-forum baik formal maupun non-formal yang bertujuan menampung aspirasi masyarakat.

3. PembahasanTahap pembahasan merupakan tahap paling krusial dalam membentuk peraturan daerah. Hal ini karena dalam tahap ini proses politik untuk merumuskan ketentuan mulai dilakukan melalui rapat antara komisi/gabungan, komisi/alat kelengkapan lainnya dengan perwakilan pemda. Sehingga, pada tahap ini juga publik harus aktif dalam berpartisipasi. Bentuk partisipasi yang dapat dilakukan antara lain: (i) Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), (ii) audiensi dengan pimpinan DPRD, perwakilan alat kelengkapan DPRD yang membahas Peraturan daerah, dan unsur fraksi baik pimpinan maupun anggota. Disisi lain, pihak pembahas yaitu DPRD dan pemda juga harus aktif untuk menggali aspirasi masyarakat antara lain dengan cara mendatangi masyarakat.

4. Penyebarluasan atau sosialisasiPenyebarluasan atau sosialisasi tidak hanya sebagai kegiatan pendistribusian naskah peraturan daerah, namun juga sebagai aktifi tas untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat atas ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan daerah. Sehingga, sosialisasi ini memerlukan metode yang mampu mempertemukan antara warga dengan pembentuk Peraturan Daerahuntuk memaparkan dan berdiskusi tentang Peraturan Daerah yang telah disusun. Berbagai forum baik formal maupun non-formal dapat dioptimalkan untuk sosialisasi.

BAB IVPERAN PARLEMEN dalam PERLINDUNGAN dan

PROMOSI HAK ASASI MANUSIA

Bicara mengenai promosi dan pelindungan hak asasi manusia, anggota parlemen adalah aktor penting: kegiatan parlemen secara ke-seluruhan - legislatif, mengadopsi anggaran dan mengawasi eksekutif meliputi seluruh elemen politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya dan tentunya memiliki dampak langsung terhadap penikmatan hak asa-si manusia oleh masyarakat. Sebagai lembaga negara yang mewakili rakyat dan melalui mana mereka berpartisipasi dalam pengelolaan urusan publik, parlemen memang penjaga hak asasi manusia. Par-lemen harus menyadari peran ini sepanjang waktu karena peraturan daerahmaian di negara itu, harmoni sosial dan pembangunan stabil sangat tergantung pada sejauh mana hak asasi manusia menembus semua kegiatan parlemen.

A. Meratifi kasi Perjanjian Hak Asasi Manusia Ratifi kasi perjanjian hak asasi manusia adalah sarana penting untuk menunjukkan kepada masyarakat internasional dan opini publik domestik komitmen Negara untuk hak asasi manusia. Ratifi kasi – tindakan Negara untuk melaksanakan kewajiban berdasarkan Perjanjian dan untuk memungkinkan pengawasan internasional atas kemajuan dalam promosi hak asasi manusia dan perlindungan - memiliki konsekuensi yang luas bagi Negara yang meratifi kasi.

Perjanjian Hak Asasi Manusia ditandatangani dan diratifi kasi oleh eksekutif, biasanya kepala Negara atau Pemerintah atau menteri untuk urusan luar negeri. Namun, keputusan akhir, apakah perjanjian internasional harus diratifi kasi atau tidak di sebagian besar negara tergantung dengan parlemen, yang harus menyetujui ratifi kasi.

52

B. Memastikan Pelaksanaan Nasional Mengadopsi Anggaran

Menjamin pemenuhan hak asasi manusia oleh semua bukanlah tanpa biaya. Langkah- langkah efektif bagi perlindungan hak asasi manusia dan, terutama, untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia memerlukan cukup dana. Dalam menyetujui anggaran nasional, dengan menetapkan prioritas nasional, parlemen harus memastikan bahwa tersedia dana yang cukup untuk pelaksanaan hak asasi manusia. Kemudian, dalam pemantauan belanja Pemerintah, parlemen bisa, jika perlu, terus memantau kinerja Pemerintah di lapangan terhadap pemenuhan hak asasi manusia.

Mengawasi EksekutifMelalui fungsi pengawasan mereka, menundukkan kebij akan dan tindakan eksekutif untuk pengawasan yang konstan, parlemen dan anggota parlemen dapat dan harus memastikan bahwa hukum benar-benar dilaksanakan oleh administrasi dan setiap badan lainnya yang bersangkutan. Dibawah prosedur parlemen, tersedia sarana untuk anggota parlemen untuk meneliti tindakan Pemerintah meliputi:

Pertanyaan tertulis dan lisan kepada menteri, pegawai negeri

sipil dan pejabat-pejabat eksekutif lainnya;

Interpelasi;

Fakta-temuan atau pemeriksaan komite atau komisi;

Suara tidak percaya, jika upaya di atas gagal.

Menindakla njuti Rekomendasi dan KeputusanRekomendasi yang dirumuskan oleh PBB dan badan-badan pengawasan pelapor khusus dan oleh badan lainnya pemantauan internasional atau regional dapat secara efektif digunakan oleh anggota parlemen untuk meneliti kepatuhan tindakan eksekutif dengan kewajiban hak asasi manusia dari Negara.

53

Parlemen M embentuk Badan-Badan Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia secara menyeluruh harus menyatu dengan kegiatan parlemen. Dalam kompetensi wilayahnya, setiap komite parlemen harus secara konsisten mempertimbangkan hak asasi manusia dan menilai dampak dari norma hukum yang diusulkan pada penikmatan hak asasi manusia. Untuk memastikan bahwa hak asasi manusia sepatutnya diperhitungkan dalam pekerjaan parlemen, parlemen mengatur badan khusus hak asasi manusiaatau komite mempercayakan tugas yang ada dengan mempertimbangkan isu-isu HAM. Banyak parlemen juga telah membentuk komite untuk spesifi k isu-isu hak asasi manusia, seperti kesetaraan jender atau hak-hak minoritas. Dalam beberapa badan kasus tersebut kompeten untuk menerima petisi individu.

Mengadopsi Undang-Undang Jika kewajiban hukum internasional tidak diterapkan di tingkat domestik, masing-masing perjanjian menjadi surat mati. Parlemen dan anggota parlemen memiliki peran penting untuk mengadopsi undang-undang pelaksanaan yang diperlukan dalam setiap daerah (peraturan daerahta, pidana, administratif atau hukum perburuhan, pendidikan, perawatan kesehatan atau undang-undang jaminan sosial).

C. Menciptakan dan Dukungan Infrastruktur Kelembagaan

Institusi Hak Asasi Manusia Nasional (National Human Rights Institution/NHRI)

Selama 20 tahun terakhir, telah ada kesadaran akan kebutuhan untuk memperkuat institusi hak asasi manusia nasional. Aksi ini bertujuan untuk menerapkan dan memastikan kepatuhan dengan standar hak asasi manusia. Salah satu cara yang digunakan untuk adalah pendirian lembaga nasional hak asasi manusia. Sementara istilah ini mencakup berbagai badan hukum yang status, komposisi, struktur, fungsi dan mandat berbeda, semua

54

badan seperti ditetapkan oleh Pemerintah untuk beroperasi secara independen - seperti lembaga peradilan - dengan maksud untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia.

NHRI, sering disebut komisi hak asasi manusia, harus memiliki kapasitas dan otoritas untuk:

1. Menyerahkan rekomendasi, proposal dan laporan kepada Pemerintah atau parlemen di setiap hal yang berhubungan dengan hak asasi manusia;

2. Mempromosikan kesesuaian hukum nasional dan praktek dengan standar internasional;

3. Menerima dan bertindak atas keluhan individu atau kelompok pelanggaran hak asasi manusia;

4. Mendorong ratifi kasi dan penerapan standar HAM internasional dan berkontribusi untuk prosedur pelaporan di bawah perjanjian internasional hak asasi manusia;

5. Meningkatk an kesadaran hak asasi manusia melalui informasi dan pendidikan, dan melakukan penelitian di bidang hak asasi manusia;

6. Bekerja sama dengan PBB, lembaga-lembaga regional, lembaga nasional lain negara dan LSM.

Kantor Omb udsmanKantor Ombudsman adalah suatu lembaga nasional yang ditemukan di banyak negara. Ada beberapa tumpang tindih antara kegiatan kantor ombudsman dan orang-orang komisi hak asasi manusia nasional tetapi peran ombudsman biasanya agak lebih terbatas, yang umumnya terdiri dari memastikan keadilan dan legalitas dalam administrasi publik. Ombudsman umumnya laporan kepada parlemen. Hanya ombudsman dengan mandat hak asasi manusia tertentu dapat digambarkan sebagai lembaga nasional hak asasi manusia.

55

Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia

Tidak ada Negara di dunia memiliki rekor hak asasi manusia yang sempurna. Selain itu, karena setiap negara harus mengembangkan kebij akan hak asasi manusia yang spesifi k dalam politik, budaya, sejarah dan keadaan hukum, tidak ada pendekatan tunggal bagi negara-negara untuk mengatasi masalah hak asasi manusia. Oleh karena itu, Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia, yang diselenggarakan pada tahun 1993, mendorong Negara untuk membuat aksi nasional hak asasi manusia merencanakan untuk mengembangkan strategi hak asasi manusia sesuai dengan situasi mereka sendiri. Penerapan Rencana aksi nasional harus merupakan upaya nasional yang sesungguhnya, bebas dari pertimbangan politik partisan. Sebuah rencana aksi nasional harus didukung oleh Pemerintah dan melibatkan semua sektor masyarakat, karena keberhasilannya sangat tergantung pada sejauh mana penduduk mengambil kepemilikan itu.

D. Memobilisasi Opini PublikParlemen dapat memberikan kontribusi besar terhadap meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia dan memobilisasi opini publik tentang isu-isu terkait – lebih-lebih sejak perdebatan politik sering berfokus pada pertanyaan seperti diskriminasi terhadap berbagai kelompok, kesetaraan gender, hak minoritas atau masalah sosial. Parlemen harus selalu peka terhadap dampak bahwa pernyataan-pernyataan publik mereka pada isu hak asasi manusia dapat memiliki persepsi pada isu publik tersebut.

Untuk meni ngkatkan kesadaran umum hak asasi manusia di negara mereka, anggota parlemen harus bekerja dengan aktor-aktor nasional lainnya yang terlibat dalam kegiatan hak asasi manusia, termasuk LSM.

56

E. Berpartisipasi dalam Upaya InternasionalParlemen dan anggota parlemen dapat memberikan kontribusi yang signifi kan terhadap perlindungan dan upaya promosi hak asasi manusia di tingkat internasional. Penghormatan dan perhatian masyarakat internasional terhadap hak asasi manusia dan, di bawah hukum internasional, Negara pihak dalam perjanjian hak asasi manusia memiliki kepentingan hukum dalam pemenuhan kewajiban oleh Negara-negara Pihak lainnya. Sesuai dengan prosedur pengaduan antar Negara disediakan untuk di beberapa inti perjanjian hak asasi manusia, suatu Negara karena itu dapat meminta perhatian untuk tindakan yang dilakukan oleh Negara lain melanggar perjanjian. Parlemen, melalui badan hak asasi manusia mereka, dapat mengangkat isu-isu hak asasi manusia yang melibatkan adanya kemungkinan pelanggaran tersebut dan dengan demikian meningkatkan kepatuhan dengan norma-norma hak asasi manusia di seluruh dunia.

Daft ar Pustaka

PeraturanUndang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentuan Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah

Instrumen Hak Asasi Manusia Deklarasi Universal HAM (DUHAM)

Kovenan Internasional tentang Ekonomi Sosial dan Budaya (EKOSOB; yang diratifi kasi oleh Negara Indonesia dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2005).

Kovenan Internasional tentang Sipil Politik (SIPOL); yang diratifi kasi oleh Negara Indonesia dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2005).

58

Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.

(CERD; adopsi pada tahun 1965; berlakunya pada tahun 1969); yang diratifi kasi oleh Negara Indonesia dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 1999.

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW, adopsi pada tahun 1979; berlakunya pada tahun 1981); yang diratifi kasi oleh Negara Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984.

Konvensi Menentang Penyiksaan yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Hukuman (CAT; adopsi pada tahun 1984; berlakunya pada tahun 1987); yang diratifi kasi oleh Negara Indonesia dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1998.

Konvensi tentang Hak-hak Anak (CRC; adopsi pada tahun 1989; berlakunya pada tahun 1990); yang diratifi kasi oleh Negara Indonesia dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 1990.

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (yang dikenal sebagai Konvensi Pekerja Migran, atau CMW; adopsi pada tahun 1990; berlakunya pada tahun 2003).

BukuCipto Handoyo, B. Hestu. Prinsip-Prinsip Legal Draft ing dan Desain Naskah Akademik. Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2008.

Departemen Hukum dan HAM dan United Nation Development Programme (2007), Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah. 2008.

Jason M. Patlis. Pedoman Umum Penyusunan Peraturan Daerah Pengelolaan Hutan. Penerbit Center for International Forestry Research. 2004.

59

Sholikin, M Nur. Awasi Peraturan daerah, Berdayakan Daerah. Penerbit Pusat Studi Hukum dan Kebij akan Indonesia (PSHK). 2009.

Rawasita, Reny. Menilai Tanggung Jawab Sosial Peraturan Daerah. Penerbit Pusat Studi dan Kebij akan Indonesia (PSHK). 2009

Rhona K.M. Smith dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, 2008

MakalahProses Penyusunan Peraturan DaerahDalam Teori dan Praktek, htt p://www.huma.or.id

Setyadi, S. Bambang, Drs, M.Si, Pembentukan Peraturan Daerah. Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel “Kajian Terhadap Kebij akan-Kebij akan Yang Perlu Dimuat Dalam Peraturan DaerahDalam Rangka Mendorong Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)”di Bank Indonesia, Maret, 2007.

Sriyana, SH, LLM, DFM. Memahami Landasan Hukum, Asas dan Substansi dalam Penyusunan Peraturan Daerahserta Prosedurnya. Makalah disampaikan dalam Workshop Penyusunan Manual Draft ing Peraturan DaerahBerbasis Hak Asasi Manusia di Pontianak, Juli, 2010.

Artikel R Herlambang Perdana, Derogasi dan HAM, Kompas, 18 Oktober

PROFIL PEMERINTAH DAERAHKABUPATEN SANGGAU

Kabupaten Sanggau berjarak ± 267 Km dari ibukota Provinsi Kalimantan Barat (Pontianak) dan merupakan salah satu dari 5 (lima) kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Sarawak (Malaysia Timur), dengan garis perbatasan sepan-jang ±129,50 Km (15%) dari panjang garis perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Sarawak sepanjang ± 877 Km. Dari 15 kecamatan di Ka-bupaten Sanggau, terdapat 2 (dua) kecamatan yang berbatasan lang-sung (kawasan perbatasan lini 1) dengan Sarawak (Malaysia Timur) yaitu Kecamatan Entikong dan Sekayam.

Luas Kabupaten Sanggau adalah 12.857,70 Km2 merupakan uru-tan ke-4 (12,47%) dari kabupaten/ Kodya di Propinsi Kalimantan Barat. Kemudian jika dilihat kecamatan terluas adalah Kecamatan Jangkang dengan luas 1.589,20 Km2 kemudian Kecamatan Meliau yaitu 1.495,70 Km2. Sedangkan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Balai dengan luas 395,60 kemudian Kecamatan Beduwai dengan luas 435,00 Km2.

Kabupaten Sanggau dengan luas wilayahnya 12.857,0 Km2 atau 8,67% dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Barat mempunyai jumlah penduduk 455.334 jiwa, dengan rincian penduduk laki – laki 235.810 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 219.524 jiwa18 yang menyebar di 15 kecamatan dengan kepadatan penduduk 29 jiwa per Km2 , penye-baran ini tidak merata antara daerah kecamatan satu dengan lainnya.

Saat ini Kab. Sanggau dipimpin oleh Bupati Ir. H. Setiman H. Su-din dan Wakil Bupati Paolus Hadi, S.IP, M.Si. Kab. Sanggau memiliki 23 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan telah melahirkan sekitar 110 Peraturan Daerahperiode tahun 2007 – 2010.

18 Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Per 24 Oktober 2011

62

PROFIL TIM PENYUSUN

MARINA RONA, lahir di Sengoret pada tanggal 15 Maret 1977. Menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan lulus Sarjana Hukum pada tahun 1998. Kemudian menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana (S2) di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak. Saat ini berkarir sebagai Kasubbag BanKum dan HAM di Bagian Hukum dan HAM Pemkab. Sanggau sejak Februari 2005.

LAURIANUS YOKA, lahir di Karangan pada tanggal 04 Juli 1984. Menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, dan lulus Sarjana Hukum pada tahun 2002. Saat ini berkarir sebagai staf di Sekretariat DPRD Kab. Sanggau.

MUTMAINNAH, lahir di Nanga Bunut pada tanggal 04 Juni 1981. Menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, dan lulus Sarjana Hukum pada tahun 2004. Saat ini berkarir sebagai staf di Bagian Hukum dan HAM di Sekretariat Daerah Pemkab. Sanggau sejak tahun 2006.

64

ERVANSIUS HENDRA GOMESDY, lahir di Sanggau pada tanggal 18 April 1983. Menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Panca Bakti Pontianak, dan lulus Sarjana Hukum pada tahun 2006. Saat ini berkarir sebagai staf di DINSOSNAKERTRANS Pemkab. Sanggau.

DWI YULIANI, lahir di Lampung pada tanggal 11 Januari 1980. Menyelesaikan studi di Fakultas Teknik Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta dan lulus Sarjana Teknik Informatika pada tahun 2004. Saat ini berkarir sebagai Staf Keuangan di Dinas Kependudukan & Pencatatan Sipil Pemkab. Sanggau sejak tahun 2010.

ARIYANTO, lahir di Lubuk Antuk pada tanggal 9 Desember 1979. Menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Samata Dharma Yogyakarta, dan lulus Sarjana Ekonomi Akuntansi pada tahun 2004. Saat ini berkarir sebagai staf di Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (DP2KAD) Pemkab. Sanggau sejak tahun 2009.

HENNY LORRYDA YULIANA, lahir di Semitau pada tanggal 09 Juli 1975. Menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawij aya dan lulus Sarjana Administrasi Publik pada tahun 2003. Saat ini menjabat sebagai Kasubbid. Kesehatan, Pendidikan, Penerangan Komunikasi di Bappeda Pemkab. Sanggau sejak tahun 2008.

65

FERI BUDI JAYANTO, lahir di Yogyakarta pada tanggal 13 Oktober 1964. Menyelesaikan studi di Fakultas Pendidikan di IKIP Yogyakarta Jurusan Geografi dan lulus Sarjana Pendidikan pada tahun 1989. Saat ini berkarir sebagai Pengawas SMP & SMA di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Pemkab. Sanggau sejak tahun 2004.

YULIA THERESIA, lahir di Setawar pada tanggal 09 Juli 1964. Menyelesaikan studi di Fakultas Pertanian Jurusan Agronomi Universitas Tanjungpura Pontianak, dan lulus Sarjana Pertanian pada tahun 1992. Saat ini berkarir sebagai sebagai sekretaris Dinas Kesehatan kab. Sanggau sejak tahun 2010. Sebelumnya beliau pernah tugas di Bappeda (1993-2005), Dinas Pertanian (2005-2007), BP4K (2008), dan HUBKOMINFO (2009).

SYAFRINAL, lahir di Pontianak pada tanggal 21 Juli 1970. Menyelesaikan studi di STM 2 Jurusan Elektronika Komunikasi, Padang pada tahun 1989. Saat ini berkarir sebagai Staf di Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkab. Sanggau sejak tahun 2003.

BAMBANG SUGIHARTO, lahir di Anjungan pada tanggal 23 September 1970. Menyelesaikan studi di Fakultas Kehutanan Jurusan Manajemen Kehutanan Universitas Winaya Mukti, Jatinangor, Jawa Barat, dan lulus Sarjana Kehutanan pada tahun 2006. Saat ini berkarir sebagai Kasi. Perlindungan Tanaman Perkebunan di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pemkab. Sanggau sejak Maret 1992.

66

LampiranUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 12 TAHUN 2011TENTANG

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum,

negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan;

c. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti;

68

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan BersamaDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

danPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan

Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.

2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

3. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.

69

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

5. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

6. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

7. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.

8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

9. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.

10. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.

11. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

70

12. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.

13. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

14. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

15. Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 2Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.

Pasal 3

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.

(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

(3) Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya.

71

Pasal 4

Peraturan Perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.

BAB IIASAS PEMBENTUKAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Pasal 5

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;d. dapat dilaksanakan;e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;f. kejelasan rumusan; dang. keterbukaan.

Pasal 6

(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:

a. pengayoman;b. kemanusiaan;c. kebangsaan;d. kekeluargaan;e. kenusantaraan;f. bhinneka tunggal ika;g. keadilan;

72

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atauj. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

BAB IIIJENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATANPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Pasal 7

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;d. Peraturan Pemerintah;e. Peraturan Presiden;f. Peraturan Daerah Provinsi; dang. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan

hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 8(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank

73

Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Pasal 9

(1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

(2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Pasal 10

(1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-

Undang;c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/ataue. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.

74

Pasal 11Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.

Pasal 12Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

Pasal 13Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Pasal 14Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pasal 15(1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat

dalam:

a. Undang-Undang;b. Peraturan Daerah Provinsi; atauc. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda

75

selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.

BAB IVPERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Bagian KesatuPerencanaan Undang-Undang

Pasal 16Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas.

Pasal 17Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.

Pasal 18Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daft ar Rancangan Undang-Undang didasarkan atas:a. perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;c. perintah Undang-Undang lainnya;d. sistem perencanaan pembangunan nasional;e. rencana pembangunan jangka panjang nasional;f. rencana pembangunan jangka menengah;g. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; danh. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.

Pasal 19(1) Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program

pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.

76

(2) Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi:

a. latar belakang dan tujuan penyusunan;b. sasaran yang ingin diwujudkan; danc. jangkauan dan arah pengaturan.

(3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.

Pasal 20

(1) Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.

(2) Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang.

(3) Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.

(4) Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan.

(5) Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 21

(1) Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.

77

(2) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.

(3) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.

(4) Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan DPR.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 22

(1) Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR.

(2) Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPR.

Pasal 23

(1) Dalam Prolegnas dimuat daft ar kumulatif terbuka yang terdiri atas:

a. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi;

c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan

e. penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

78

(2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:

a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konfl ik, atau bencana alam; dan

b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Bagian Kedua

Perencanaan Peraturan Pemerintah

Pasal 24

Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Pemerintah.

Pasal 25

(1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 memuat daft ar judul dan pokok materi muatan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

Pasal 26

(1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

(2) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

79

Pasal 27

Rancangan Peraturan Pemerintah berasal dari kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang tugasnya.

Pasal 28

(1) Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian dapat mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah di luar perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah.

(2) Rancangan Peraturan Pemerintah dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan kebutuhan Undang-Undang atau putusan Mahkamah Agung.

Pasal 29

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian KetigaPerencanaan Peraturan Presiden

Pasal 30

Perencanaan penyusunan Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Presiden.

Pasal 31

Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Presiden.

Bagian Keempat

Perencanaan Peraturan Daerah Provinsi

Pasal 32

Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi.

80

Pasal 33

(1) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 memuat program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dengan judul Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.

(2) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi:

a. latar belakang dan tujuan penyusunan;b. sasaran yang ingin diwujudkan;c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dand. jangkauan dan arah pengaturan.(3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah

melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.

Pasal 34

(1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi.

(2) Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi.

(3) Penyusunan dan penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.

Pasal 35

Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), penyusunan daft ar rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan atas:a. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi;b. rencana pembangunan daerah;

81

c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dand. aspirasi masyarakat daerah.

Pasal 36

(1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.

(2) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.

(3) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Pasal 37

(1) Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi.

(2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi.

Pasal 38

(1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daft ar kumulatif terbuka yang terdiri atas:

82

a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.

(2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi:

a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konfl ik, atau bencana alam;

b. akibat kerja sama dengan pihak lain; dan

c. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum.

Bagian KelimaPerencanaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 39

Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/Kota.

Pasal 40

Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 41

Dalam Prolegda Kabupaten/Kota dapat dimuat daft ar kumulatif terbuka mengenai pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Kecamatan atau nama lainnya dan/atau pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Desa atau nama lainnya.

83

Bagian KeenamPerencanaan Peraturan Perundang-undangan Lainnya

Pasal 42

(1) Perencanaan penyusunan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kewenangan dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga, komisi, atau instansi masing-masing.

(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga, komisi, atau instansi masing-masing untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

BAB VPENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Bagian KesatuPenyusunan Undang-Undang

Pasal 43

(1) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden.

(2) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari DPD.

(3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang mengenai:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau

c. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

84

(5) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.

Pasal 44

(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.

(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Pasal 45

(1) Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta Rancangan Undang-Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas.

(2) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan:

a. otonomi daerah;b. hubungan pusat dan daerah;c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dane. perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Pasal 46

(1) Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD.

(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.

85

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan DPR.

Pasal 47

(1) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.

(2) Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian terkait membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.

(3) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 48

(1) Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik.

(2) Usul Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang.

(3) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang

86

perancangan Undang-Undang untuk membahas usul Rancangan Undang-Undang.

(4) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan laporan tertulis mengenai hasil pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna.

Pasal 49

(1) Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.

(2) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.

(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Pasal 50

(1) Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.

(2) Surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang bersama DPR.

(3) DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima.

(4) Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan.

87

Pasal 51

Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden menyampaikan Rancangan Undang-Undang mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Undang-Undang yang disampaikan oleh DPR dan Rancangan Undang-Undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

Bagian KeduaPenyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang

Pasal 52

(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.

(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.

(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.

(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.

(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud

88

pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

(8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Pasal 53

Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian KetigaPenyusunan Peraturan Pemerintah

Pasal 54

(1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian.

(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antar kementerian dan/atau antar non kementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.

89

Bagian KeempatPenyusunan Peraturan Presiden

Pasal 55

(1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa

membentuk panitia antarkementerian dan/atau antar non kementerian.

(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antar kementerian dan/atau antar non kementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Presiden diatur dalam Peraturan Presiden.

Bagian KelimaPenyusunan Peraturan Daerah Provinsi

Pasal 56

(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur.

(2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik.

(3) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi;

b. pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau

c. perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.

90

Pasal 57

(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.

(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Pasal 58

(1) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.

(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Pasal 59

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 60

(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi.

91

Pasal 61

(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disiapkan oleh DPRD Provinsi disampaikan dengan surat pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur.

(2) Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan oleh Gubernur disampaikan dengan surat pengantar Gubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi.

Pasal 62

Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

Bagian KeenamPenyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 63

Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

92

BAB VITEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

Pasal 64

(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

(3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB VIIPEMBAHASAN DAN PENGESAHANRANCANGAN UNDANG-UNDANG

Bagian KesatuPembahasan Rancangan Undang-Undang

Pasal 65

(1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi.

(2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan:a. otonomi daerah;b. hubungan pusat dan daerah;c. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya; dane. perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan

mengikutsertakan DPD.

93

(3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I.

(4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan Rancangan Undang-Undang yang dibahas.

(5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Pasal 66Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.

Pasal 67Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 terdiri atas:a. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi,

rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan

b. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.

Pasal 68(1) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:

a. pengantar musyawarah;b. pembahasan daft ar inventarisasi masalah; danc. penyampaian pendapat mini.

(2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan

pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR;b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD

94

menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR;

c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; atau

d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden.

(3) Daft ar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:a. Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; ataub. DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden

dengan mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2).

(4) Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh:a. fraksi;b. DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan

kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2); dan

c. Presiden.

(5) Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan.

(6) Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.

95

Pasal 69

(1) Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan:

a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;

b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap- tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan

c. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.

(2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.

(3) Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Pasal 70

(1) Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden.

(2) Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPR.

Pasal 71

(1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.

96

(2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang.

(3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:

a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden;

b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan

c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.

Bagian KeduaPengesahan Rancangan Undang-Undang

Pasal 72

(1) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

(2) Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

97

Pasal 73(1) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal

72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.

(2) Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

(3) Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Pasal 74

(1) Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut.

(2) Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak atas perintah suatu Undang-Undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

98

BAB VIIIPEMBAHASAN DAN PENETAPAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

Bagian KesatuPembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi

Pasal 75(1) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan

oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur.

(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan.

(3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.

Pasal 76

(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.

(2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.

99

Bagian KeduaPembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 77

Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dan Pasal 76 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Bagian KetigaPenetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi

Pasal 78

(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi.

(2) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Pasal 79

(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.

(2) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan.

100

(3) Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.

(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah.

Bagian KeempatPenetapan Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota

Pasal 80

Ketentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

BAB IXPENGUNDANGAN

Pasal 81

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam:

a. Lembaran Negara Republik Indonesia;b. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;c. Berita Negara Republik Indonesia;d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;e. Lembaran Daerah;f. Tambahan Lembaran Daerah; ataug. Berita Daerah.

101

Pasal 82

Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi:

a. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

b. Peraturan Pemerintah;c. Peraturan Presiden; dand. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Pasal 83

Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia meliputi Peraturan Perundang-undangan yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Pasal 84

(1) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

(2) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Pasal 85

Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dan Pasal 83 dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

102

Pasal 86

(1) Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam Berita Daerah.

(3) Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.

Pasal 87

Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

BAB XPENYEBARLUASAN

Bagian Kesatu

Penyebarluasan Prolegnas, Rancangan Undang-Undang,dan Undang-Undang

Pasal 88

(1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang.

(2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.

103

Pasal 89

(1) Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.

(2) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.

(3) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa.

Pasal 90

(1) Penyebarluasan Undang-Undang yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dilakukan secara bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah.

(2) Penyebarluasan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh DPD sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Pasal 91

(1) Dalam hal Peraturan Perundang-undangan perlu diterjemahkan ke dalam bahasa asing, penerjemahannya dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

(2) Terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan terjemahan resmi.

104

Bagian KeduaPenyebarluasan Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Provinsi atau

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Pasal 92

(1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, hingga Pengundangan Peraturan Daerah.

(2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan.

Pasal 93

(1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.

(2) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPRD.

(3) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.

Pasal 94

Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.

105

Bagian KetigaNaskah yang Disebarluaskan

Pasal 95

Naskah Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus merupakan salinan naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah.

BAB XIPARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 96

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:

a. rapat dengar pendapat umum;b. kunjungan kerja;c. sosialisasi; dan/ataud. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

106

BAB XII

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 97

Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat.

Pasal 98

(1) Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengikutsertakan Perancang Peraturan Perundang-undangan.

(2) Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 99

Selain Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), tahapan pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli.

107

BAB XIIIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 100

Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 101

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 102

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 103

Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

108

Pasal 104

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 12 Agustus 2011PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONODiundangkan di Jakarta

pada tanggal 12 Agustus 2011MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAREPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERINOMOR 15 TAHUN 2006

TENTANGJENIS DAN BENTUK PRODUK HUKUM DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAMENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka tertib administrasi penyusunan produk hukum daerah, perlu dilakukan penyeragaman jenis dan bentuk produk hukum daerah;

b. bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 2001 tentang Bentuk Produk-Produk Hukum Daerah tidak sesuai lagi dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga perlu diganti;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor Republik Indonesia 4389);

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menjadi

110

Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

3. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG JENIS DAN BENTUK PRODUK HUKUM DAERAH.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:1. Kepala Daerah adalah Gubernur atau Bupati/Walikota.2. Daerah adalah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Pasal 2

Jenis Produk Hukum Daerah terdiri atas:a. Peraturan Daerah;b. Peraturan Kepala Daerah;c. Peraturan Bersama Kepala Daerah;d. Keputusan Kepala Daerah; dane. Instruksi Kepala Daerah.

Pasal 3

Bentuk produk hukum daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, tercantum dalam lampiran Peraturan ini.

Pasal 4

Pada saat peraturan ini mulai berlaku, maka Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 2001 tentang Bentuk Produk-Produk Hukum Daerah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

111

Pasal 5Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal MENTERI DALAM NEGERI,TtdH. MOH. MARUF, SE

Salinan Sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO HUKUM, P E R W I R A

112

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERINOMOR 16 TAHUN 2006

TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka tertib administrasi penyusunan produk hukum daerah perlu dilakukan penyeragaman prosedur secara terpadu dan terkoordinasi;

b. bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk-Produk Hukum Daerah tidak sesuai lagi dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga perlu diganti;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor Republik Indonesia 4389);

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

114

Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

3. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri;

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG

PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Prosedur penyusunan produk hukum daerah adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak perencanaan sampai dengan penetapan.

2. Produk hukum daerah adalah peraturarj daerah yang diterbitkan oleh kepala daerah dalam rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

3. Kepala daerah adalah gubernur atau bupati/walikota.

4. Daerah adalah provinsi dan kabupaten/kota.

5. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan pembentukan produk hukum daerah yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis.

115

BAB IIPRODUK HUKUM DAERAH

Pasal 2

Produk hukum daerah bersifat pengaturan dan penetapan.

Pasal 3

(1) Produk hukum daerah bersifat pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: a. Peraturan Daerahatau sebutan lain; b. Peraturan kepala daerah; dan c. Peraturan bersama kepala daerah.

(2) Produk hukum daerah bersifat penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:

a. Keputusan kepala daerah; dan b. Instruksi kepala daerah.

BAB IIIPROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM

Bagian PertamaProduk Hukum Bersifat Pengaturan

Pasal 4 Penyusunan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan dilakukan berdasarkan Prolegda.

Pasal 5 (1) Pimpinan satuan kerja perangkat daerah menyusun rancangan

produk hukum daerah. (2) Penyusunan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat didelegasikan kepada Biro Hukum atau Bagian Hukum.

116

(3) Penyusunan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibentuk Tim Antar Satuan Kerja Perangkat Daerah.

(4) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diketuai oleh Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah pemrakarsa atau pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah dan Kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum berkedudukan sebagai sekretaris.

Pasal 6 (1) Rancangan produk hukum daerah dilakukan pembahasan dengan

Biro Hukum atau Bagian Hukum dan satuan kerja perangkat daerah terkait.

(2) Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menitikberatkan permasalahan yang bersifat prinsip mengenai objek yang diatur, jangkauan, dan arah pengaturan.

Pasal 7

Ketua Tim Antar Satuan Kerja Perangkat Daerah melaporkan perkembangan rancangan produk hukum daerah dan/atau permasalahan kepada Sekretaris Daerah untuk memperoleh arahan.

Pasal 8

(1) Rancangan produk hukum daerah yang telah dibahas harus mendapatkan paraf koordinasi Kepala Biro Hukum dan Kepala Bagian Hukum dan pimpinan satuan kerja perangkat daerah terkait.

(2) Pimpinan satuan kerja perangkat daerah atau pejabat yang ditunjuk mengajukan rancangan produk hukum daerah yang telah mendapat paraf koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.

117

Pasal 9 (1) Sekretaris Daerah dapat melakukan perubahan dan/atau

penyempurnaan terhadap rancangan produk hukum daerah yang telah diparaf koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).

(2) Perubahan dan/atau penyempurnaan rancangan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada pimpinan satuan kerja perangkat daerah pemrakarsa.

(3) Hasil penyempurnaan rancangan produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Sekretaris Daerah setelah dilakukan paraf koordinasi oleh Kepala Biro Hukum dan Kepala Bagian Hukum dan pimpinan satuan perangkat daerah terkait.

Pasal 10 Produk hukum daerah berupa rancangan Peraturan Daerahatau sebutan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, yang diprakarsai oleh Kepala Daerah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dilakukan pembahasan.

Pasal 11Dalam rangka pembahasan Peraturan Daerahatau sebutan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibentuk Tim Asistensi yang diketuai oleh Sekretaris Daerah atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.

Pasal 12 Pembahasan rancangan Peraturan Daerahatau sebutan lainnya atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau Pimpinan satuan Kerja perangkat daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya.

118

Pasal 13 Pembahasan rancangan Peraturan Daerahdi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik atas inisiatif pemerintah maupun atas inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dibentuk tim asistensi dengan sekretariat berada pada Biro Hukum atau Bagian Hukum.

Bagian KeduaProduk Hukum Bersifat Penetapan

Pasal 14 (1) Pimpinan satuan kerja perangkat daerah penyusun produk hukum

daerah yang bersifat penetapan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.

(2) Produk hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada sekretaris daerah setelah mendapat paraf koordinasi dari Kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum.

Pasal 15 (1) Produk hukum daerah yang bersifat penetapan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 14 ditandatangani oleh Kepala Daerah. (2) Penandatanganan produk hukum daerah yang bersifat penetapan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada Sekretaris Daerah.

BAB IVPENOMORAN AUTENTIFIKASI, PENGGANDAAN,

PENDISTRIBUSIAN DANPENDOKUMENTASIAN PRODUK HUKUM DAERAH

Pasal 16 (1) Penomoran produk hukum daerah dilakukan oleh Kepala Biro

Hukum atau Kepala Bagian Hukum sekretariat daerah. (2) Penomoran produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) yang bersifat pengaturan menggunakan nomor bulat.

119

(3) Penomoran produk hukum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat penetapan mengggunakan nomor kode kiasifi kasi.

Pasal 17

Produk hukum dalam bentuk Peraturan Daerahatau sebutan lainnya yang telah ditetapkan dan diberikan nomor harus diundangkan dalam lembaran daerah.

Pasal 18

Produk hukum dalam bentuk peraturan kepala daerah dan peraturan bersama kepala daerah serta produk hukum yang bersifat penetapan tertentu yang telah ditetapkan dan diberikan nomor harus diumumkan dalam berita daerah.

Pasal 19

(1) Pengundangan Peraturan Daerahatau sebutan lainnya dan pengumuman peraturan kepala daerah serta peraturan bersama kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 dilakukan oleh Sekretaris Daerah.

(2) Pengundangan Peraturan Daerah atau sebutan lainnya dan pengumuman peraturan kepala daerah serta peraturan bersama kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum.

Pasal 20

(1) Produk hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 sebelum disebarluaskan harus terlebih dahulu dilakukan autentifi kasi.

(2) Autentifi kasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Biro Hukum atau Kepala Bagian Hukum.

120

BAB VPEMBIAYAAN

Pasal 21Pembiayaan berkaitan dengan penyusunan produk hukum daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

BAB VIKETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 22Penggandaan, pendistribusian dan pendokumentasian produk hukum daerah dilakukan oleh Biro Hukum atau Bagian Hukum dan satuan kerja perangkat daerah pemrakarsa.

Pasal 23Sosialisasi produk hukum dilakukan secara bersama-sama Biro Hukum atau Bagian Hukum dengan satuan kerja perangkat daerah pemrakarsa.

BAB VIIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 24Dengan berlakunya Peraturan ini, maka Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk-Produk Hukum Daerah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 25Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Mei 2006 MENTERI DALAM NEGERI,TtdH. MOH. MA’RUF, SE

RANCANGANPERATURAN DAERAHKABUPATEN SANGGAU

NOMOR……..TAHUN 2006TENTANG

LEMBAGA ADAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESABUPATI SANGGAU

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, wajib mengakui, menghormati, dan melindungi hak asal-usul, adat istiadat dan sosial budaya masyarakat setempat;

b. Bahwa pengakuan dan penghormatan tersebut diputuskan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi keberdayaan, kelestarian dan perkembangan adat istiadat dan hukum adat, khususnya lembaga adat dalam rangka menjadikan adat istiadat dan hukum adat sebagai pedoman perilaku Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sanggau;

c. Bahwa berhubungan dengan huruf a dan b di atas, perlu menetapkan Lembaga Adat di Kabupaten Sanggau dengan Peraturan Daerah

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 27 tahun 1959 tentang Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun

122

1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 352);

2. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4493) yang telah ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun200 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4587);

123

6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat di Daerah;

7. Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau Nomor 11 tahun 2000 tentang Kewenangan Kabupaten Sanggau sebagai Daerah Otonom.

Dengan Persetujuan BersamaDEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

KABUPATEN SANGGAUDan

BUPATI SANGGAU

MEMUTUSKAN:Menetapkan : PERATURAN DAEARAH KABUPATEN SANGGAU

TENTANG LEMBAGA ADAT.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam Peraturan Daerahini yang dimaksud dengan:

a. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah;

b. Daerah adalah Kabupaten Sanggau;

c. Bupati adalah Bupati Sanggau;

d. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daearh sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah;

e. Lembaga Adat adalah organisasi kemasyarakatan yang dibentuk,

124

dikelola dan dikontrol oleh masyarakat hukum adat sesuai dengan hak asal usul dalam suatu Masyarakat Hukum Adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku;

f. Hukum Adat adalah seperangkat aturan dan atau kesepakatan yang hidup dan berlaku dalam Masyarakat Hukum Adat yang diwariskan secara turun-temurun;

g. Adat Istiadat adalah seperangkat nilai atau normal, kaidah dan keyakinan sosial yang tumbuh, berkembang dan ditaati oleh masyarakat hukum adat dan atau satuan masyarakat lainnya sebagaimana terwujud dalam pola kelakuan dalam kehidupan sehari-hari;

h. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang masih terikat adat istiadat, hukum adat dan kelembagaan adat yang masih ditaati, memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri;

i. Wilayah Adat adalah tempat tumbuh dan berkembangnya adat istadat;

j. Hak Adat adalah hak yang melekat pada Masyarakat Hukum Adat;

k. Kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat adalah pola-pola kegiatan atau perbuatan yang dilakukan oleh para warga masyarakat, yang merupakan sebuah kesatuan hukum tertentu yang pada dasarnya dapat bersumber pada hukum adat atau adat istiadat sebagaimana diakui keabsahannya oleh warga masyarakat tersebut dan atau oleh warga masyarakat lainnya, dan masih berlaku dalam kehidupan masyarakat tersebut;

l. Pengakuan adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah daerah Kabupaten Sanggau untuk mengakui keberadaan lembaga Adat;

125

m. Perlindungan adalah suatu upaya hukum yeng dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau terhadap lembaga adat dari tindakan yang dapat mengancam keutuhan lembaga adat beserta hak adatnya;

BAB IIMAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 2

(1) Maksud dilakukan pengakuan, penghormatan dan perlindungan lembaga adat adalah untuk meningkatkan peranan lembaga adat dalam mengembangkan nilai-nilai adat istiadat, hukum adat, sosial, ekonomi, politik, dan budaya demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat hukum adat.

(2) Tujuannya untuk menciptakan kehidupan Masyarakat Hukum Adat yang berdaulat.

BAB IIIKEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANG

Bagian PertamaPasal 3

Kedudukan

Lembaga Adat berkedudukan di wilayah Kabupaten Sanggau.

Bagian KeduaPasal 4

Tugas, Fungsi, dan Wewenang

(1) Lembaga Adat mempunyai tugas, fungsi dan wewenang sesuai dengan kesepakatan Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan dan atau sukunya yang diwariskan secara turun temurun demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan Masyarakat Hukum Adat;

126

(2) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya lembaga adat dikontrol oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan;

BAB IVHAK DAN KEWAJIBAN

Bagian PertamaPasal 5

Hak

Lembaga Adat berhak:a. Mendapat pengakuan dan perlindungan dari Pemerintah Daerah;b. Mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan

kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.

Bagian KeduaPasal 6

KewajibanLembaga Adat mempunyai kewajiban antara lain:a. Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;b. Melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara

murni dan konsekuen;c. Berperan serta dalam menciptakan susasana aman dan tenteram

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan menjalankan tugas dan fungsi secara benar.

BAB VPENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN LEMBAGA ADAT

Pasal 7(1) Lembaga Adat yang diakui dan dilindungi adalah lembaga adat yang

hidup dan berkembang dalam masyarakat hukum adat berdasarkan asal-usul dan diakui keberadaannya oleh masyarakat hukum adat di mana lembaga adat tersebut menjalankan tugas dan fungsinya;

127

(2) Pengakuan terhadap Lembaga Adat mencakup hal-hal yang berhubungan dengan kelangsungan hidup lembaga adat itu sendiri seperti wilayah adat, masyarakat hukum adat, adat istiadat, hukum adat dan hak adatnya;

(3) Pemerintah Daerah wajib memberi perlindungan kepada Lembaga Adat dari tindakan dan ancaman yang dapat membahayakan keutuhannya.

(4) Perlindungan dapat juga berupa jaminan kepastian hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

BAB VIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 8Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati.

Pasal 9Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkanAgar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Praturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembar Daerah Kabupaten Sanggau.

Ditetapkan di : SanggauPada tanggal : ...........................2006

Bupati Sanggau

YANSEN AKUN EFFENDY

128