Upload
muhammad-harir
View
428
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Skripsi MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI
Citation preview
MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam
Oleh:
AKHMAD AZMIR ZAHARA NIM. 05510044
JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2011
ii
NOTA DINAS
Hal : Skripsi Sdr. Akhmad Azmir Zahara Lamp : 1 (satu) lembar Kepada Yth. Dekan Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Di Yogyakarta
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah melakukan beberapa bimbingan, baik dari segi isi, bahasa maupun teknik penulisan, dan setelah membaca skripsi mahasiswa berikut di bawah ini :
Nama : Akhmad Azmir Zahara
NIM : 05510044
Jurusan : Aqidah dan Filsafat
Judul : Manusia Dalam Pemikiran Ali Syari’ati
Maka selaku pembimbing kami berpendapat bahwa skripsi tersebut sudah layak diajukan untuk dimunaqosahkan.
Wassalamu’alaikum Wb. Wr.
iii
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga FM-UINSK-BM-05-07/ RO
PENGESAHAN Nomor: UIN.02/DU/PP.00.9/1219/2011
Skripsi / Tugas Akhir dengan judul : Manusia Dalam Pemikiran Ali Syari’ati Yang dipersiapkan dan disisin oleh : Nama : Aqidah dan Filsafat NIM : 05510044
Telah dimunaqosyahkan pada : Senin, tanggal : 3 Oktober 2011 dengan nilai: 87/ A- dan dinyatakan telah diterima oleh Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga
iv
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya:
Nama : Akhmad Azmir Zahara
NIM : 05510044
Fakultas : Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam
Jurusan/Prodi : Aqidah dan Filsafat
Alamat Rumah : Ds. Karangjambe Rt. 03/II
Kec. Wanadadi
Kab. Banjarnegara
Alamat di Yogyakarta : RT 47/ 10 Keparakan Lor, Yogyakarta
Telp./Hp. : 087 838 244 015
Judul Skripsi : Konsep Manusia menurut Ali Syari’ati
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:
1. Skripsi yang saya ajukan adalah benar asli karya ilmiah yang saya tulis sendiri.
2. Bilamana skripsi telah dimunaqosyahkan dan wajib direvisi, maka saya bersedia dan sanggup merevisi dalam waktu 2 (dua) bulan terhitung dari tanggal munaqosyah. Jika ternyata lebih dari 2 (dua) bulan revisi skripsi belum terselesaikan maka saya bersedia dinyatakan gugur dan bersedia munaqosyah kembali dengan biaya sendiri.
3. apabila dikemudia hari ternyata diketahui bahwa karya tersebut bukan karya ilmiah saya (plagiasi), maka saya bersedia menanggung sanksi dan dibatalkan gelar kesarjanaan saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
v
MOTTO
Dan aku katakan Tidak ; Untuk cinta yang membelenggu kesadaran diri dan
kebebasan Dan aku pilih cinta yang membebaskan!!!
Aku, kau, dia dan mereka Masih disini, dibawah satu matahari
Tak’kan pernah bisa lari Lari dari kenyataan
Perubahan tidak turun dengan sendirinya dari langit
Kekuasaan tidak hanya untuk mereka yang tiran Namun perempuan wajah tuhan
Punya kehendak berkuasa
“Azmiritemdop”
vi
PERSEMBAHAN
SKRIPSI INI SAYA PERSEMBAHKAN KEPADA:
SEMUA MANUSIA PENGHUNI PULAU BIRU
Suatu jalan panjang yang berliku Gelap yang semakin menebal Ialah raksasa yang angkuh
Menyeramkan, terus meneror dan menghancurkan ke-man usia-an Muncul dari dasar bumi menelan cahaya-nya hidup
“Eudenonisme” menjadi merana tak terbayang Setelah penghancuran atas monarki absolut
Menjadikan pengusa dan dengan republik agar dihorma ti Dengan seruan suci, dengan parade bersenjata,
Dengan rumah tempat tumpukan dollar Membuatnya semakin berjaya
Tapi tidak untuk mereka para pekerja-upahan Hidup mereka bukan sepenuhnya miliknya,
Mereka mencipta namun bukan untuknya, Mereka di jauhkan dari orang-orang yang terkasih
Seiring menyesakkan nafas Bersama luka yang semakin menganga
Mereka mulai berkumpul Meraka mulai membusungkan dada
Ribuan semut merah mulai menjarah Mereka sadar akan hukum sejarah
Lantas mereka berseru: “Kamilah pengganti dari kekuasaan leviathan yang ti ran”
“Kami bawa buah tangan anti private property” “Kamilah masa depan yang cerah”
Para pekerja-upahan berkumpul di jalan, di gedung-g edung Peperangan pun telah dimulai
Perang yang tak terdamaikan dan harus dimenangkan Raksasa terjungkal dari singgasananya
Mati di tiang-tiang pusat kota Sorak-sorak kemengan menggemuruh
Panji merah dimana-mana Mereka pun berkuasa Semua merasa nyaman
Sistem kaya-miskin lenyap Mereka benar-benar setara Dan republik pun menguap
Seruan suci, parade bersenjata, Rumah tempat tumpukan dollar menjadi barang antik
Peradaban baru, kebudayaan baru Inilah pulau biru
Senyum dan tawa dari setiap bibir orang-orang yang bebas
vii
ABSTRAKSI
Kajian tentang manusia merupakan wacana yang selalu aktual dibicarakan dan selalu menjadi pembahasan yang menarik. Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perfektif, ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal rasional), Ada yang menyebut manusia pada hakikatnya manusia bukanlah sebagai viator mundi, melainkan sebagai faber mundi. Sedangkan yang lain mengatakan manusia sebagai Insan. Namun pada konteks modern sekarang ini, manusia modern dianggap belum mampu mencapai kesimpulan lengkap mengenai dirinya sendiri. Maka daripada itu, pembahasan secara intensif mengenai manusia, perlu untuk diajukan kembalikan.
Ali Syari’ati (1933-1977) merupakan pemikir Islam yang memberikan perhatian cukup besar terhadap persoalan-persoalan manusia. Dengan pemikiran eklektis yang disandingkan dengan Islam, Syari’ati menegaskan bahwa masalah eksistensi dan proses kemajuan manusia haruslah menjadi tujuan utama setiap peradaban yang ingin membangun manusia dan masyarakatnya. Sayangnya menurut Syari’ati, peradaban modern telah memunculkan tragedi kemanusiaan. Berangkat dengan pernyataan ini penulis mengajukan pertanyaan sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu, bagaimana kategori manusia dan bagaimana konsep manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial menurut Ali Syari’ati?
Dengan mengunakan pendekatan historis dan sosiologis, menggunakan metode deskriptif, Interpretasi dan analisis dapat dihasilkan kesimpulan sebagai berikut: Pertama, manusia dalam pemikiran Syari’ati terdiri dari kategori-kategori, yakni; (a) Khalifah; manusia sebagai wakil Tuhan yang memiliki intelektual (pengetahuan). Dengan ilmu pengetahuan manusia memperoleh kesadaran-diri. (b) Manusia dua dimensional; manusia yang memiliki kebebasan. Hal ini ditunjukan Syari’ati berdasar proses penciptaan manusia dengan dua subtansi yang berbeda (materi dan spritual) yang memiliki dua arah dan kecendungan –yang satu membawa kehakekat yang rendah, dan disisi lain cenderung naik ke puncak spiritual tertinggi. (c) Insa>n; Dimensi manusia “men-jadi” yang menegasikan adanya “basya>r” –dengan memiliki tiga sifat (atribut) yang melekat dan saling berkaitan satu sama lain, ketiga atribut tersebut ialah: kesadaran diri, kemauan bebas dan kreativitas (daya cipta). (d) Manusia tercerahkan; manusia yang sadar akan keadaan kemanusiaan serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatnya. Berkembangnya mazhab pemikirang barat, dianggap Syari’ati telah memberikan kemunduran bagi manusia, oleh karenanya Syari’ati mengkritik mazhab pemikiran barat. Kedua, sebagai manusia tercerahkan, ia memiliki tanggung jawab sosial –dimana masyarakat telah terpolarisasi dan terbelengu oleh penindasan. Manusia tercerahkan membutuhkan ideologi, Syari’ati menegaskan bahwa Islam sebagai ideologi akan menegasikan penindasan menuju persamaan dan keadilan.
Adapun kontribusi dari penelitian ini, diharapkan secara teoritik dapat memberikan sumbangan kajian tentang gagasan-gagasan Ali Syari’ati tentang manusia. Secara praksis dapat memberikan inspirasi bagi gerak mahasiswa maupun civitas akadimika bagi perubahan yang lebih baik lagi.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat beserta
salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi akhir zaman, Muhammad SAW
yang dengan kesabaran dan kegigihanya telah menyelamatkan manusia dari
zaman jahiliyah kepada zaman yang diridhai-Nya.
Dengan terselesaikannya skripsi ini, maka secara formal berarti selesai
juga kegiatan belajar dalam menempuh jenjang Strata Satu (S1) yang penulis
lakukan. Hal ini karena skripsi merupakan pra-syarat bagi setiap mahasiswa Strata
Satu (S1) yang harus diselesaikan agar mahasiswa tersebut memperoleh gelar
sarjana. Ketika pendidikan formal yang penulis tempuh selesai, tentunya
pendidikan baru bersama masyarakat akan segera dijalani guna mengamalkan
hasil dari proses pencarian ilmu selama di kampus.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis merasa ingin menunjukan kekayaan
kaum intelektual muslim yang nama dan kebesarannya sebagai raushanfikr dan
pelopor revolusi Islam Iran 1979. Oleh karena itu, penulis merasa terdorong untuk
mengangkat gagasan Ali Syari’ati dalam sebuah skripsi.
Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan semata-mata atas pertolongan
Tuhan Yang Maha Bijaksana. Di samping itu, dorongan, bimbingan dan bantuan
dari beberapa pihak sangat mempengaruhi penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
secara langsung maupun tidak langsung ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini.
ix
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Prof. Dr. H. Musa
Asy’arie selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Studi
Agama dan Pemikiran Islam. Fahruddin Faiz, S.Ag, M.Ag, selaku Katua jurusan
Aqidah dan Filsafat, Dr. H. Zuhri S. Ag, M. Ag, selaku Sekertaris jurusan dan Dr.
Sudin M. Hum, selaku Penasehat Akademik yang senantiasa membimbing dengan
tulus, terima kasih atas didikan dan kesabaranya sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
Ucapan terima kasih, penulis sampaikan kepada pembimbing, Fahruddin
Faiz, S.Ag, M.Ag dan Dr. Syaifan Nur, yang dengan kesibukan dan keterbatasan
waktunya, tetapi senantiasa memberikan motivasi dan koreksi demi kesempurnaan
skripsi yang penulis susun. Mudah-mudahan apa yang disampaikan menjadi amal
yang senantiasa mengiringi langkah-langkahnya.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Alim
Roswantoro, S. Ag. selaku penguji I, Dr. H. Zuhri S. Ag, M. Ag, selaku penguji II
dan Fahruddin Faiz, S.Ag, M.Ag, selaku ketua sidang yang telah menguji dan
mengkritisi hasil skripsi yang jauh dari sempurna.
Selanjutnya terima kasih kepada keluarga penulis, khususnya kepada
kedua orang tua yang dengan sabar mendo’akan untuk kelancaran anaknya dalam
menuntut ilmu. Terima kasih juga kepada adik tercinta, Hara dan Zay yang selalu
membuat semua menjadi indah, kepada keluarga besar Bani Duryat yang selalu
terpancar persaudaraan abadi. Kepada teman baikku: Tupang (TH-05), Arafat
(PA-05), Ibnu (AF-05), terima kasih untuk tetap teman. Kepada Jazuli (alm): Rest
x
in Peace. Kepada Ngutsman terima kasih atas “gusti” akalnya. Kepada kawan-
kawan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI): Salam Pembebasan Nasional; Cerdas,
Militan, Merakyat. Kepada teman-teman se-angkatan Aqidah dan Filsafat, terima
kasih semuanya: ruang kelas kita menjadi ramai dan ceria.
Akhirnya dengan penuh rendah hati penulis berharap mudah-mudahan
skripsi ini dapat bermanfaat bagi almamater dan segenap rakyat pada umumnya
serta bagi diri penyusun pada khususnya. Penyusun menyadari, dengan
keterbatasan pengatuan masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun senatiasa penulis harapkan guna penyempurnaan
skripsi ini.
Yogyakarta, 02 Agustus 2011
Akhmad Azmir Zahara
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini
berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tertanggal 22 Januari 1988 No:
158/1987 dan 0543b/U/1987.
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
أ
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
Alif
Ba>’
Ta>’
S#a’
Jim
Ha>’
Kha
Dal
Z#al
Ra>’
Zai
Tidak dilambangkan
b
t
s^
j
h}
kh
d
z^
r
z
Tidak dilambangkan
be
te
es (dengan titik di atas)
je
ha (dengan titik di bawah)
ka dan ha
de
zet (dengan titik di atas)
er
zet
xii
س
ش
ص
ض
ط
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
�
ء
ي
Si>n
Syi>n
S~a>d
Da>d
Ta’>
Za>’
‘Ayn
Gayn
Fa>’
Qa>f
Ka>f
La>m
Mi>m
Nu>n
Waw
Ha>’
Hamzah
Ya>
s
sy
s`
d}
t`
z}
‘
g
f
q
k
l
m
n
w
h
'
y
es
es dan ye
es (dengan titik di bawah)
de (dengan titik di bawah)
te (dengan titik di bawah)
zet (dengan titik di bawah)
koma terbalik
ge
ef
qi
ka
‘el
‘em
‘en
w
ha
apostrof
ye
xiii
B. Konsonan rangkap karena syaddahsyaddahsyaddahsyaddah ditulis rangkap
�دة� !
�ة#
ditulis
ditulis
Muta'addidah
‘iddah
C. Ta’Ta’Ta’Ta’ marbu>t}ahmarbu>t}ahmarbu>t}ahmarbu>t}ah di akhir kata ditulis h
$%&'
$(#
آ/ا!$ ا-و,+*ء
ا,12/ زآ*ة
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
H�ikmah
'illah
Karāmah al-auliyā'
Zakāh al-fitri
D. Vokal pendek
_____
4�5
_____
ذآ/
_____
;:ه8
fath �ah
kasrah
d�ammah
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
a
fa'ala
i
żukira
u
yażhabu
xiv
E. Vokal panjang
1
2
3
4
Fathah + alif
��ه���
Fathah + ya’ mati
��
Kasrah + ya’ mati
�� آ
Dammah + wawu mati
5/وض
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ā
jāhiliyyah
ā
tansā
i
karim
ū
furūd�
F. Vokal rangkap
1
2
Fathah + ya’ mati
����
Fathah + wawu mati
��ل
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
ai
bainakum
au
qaul
xv
G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan
apostrofapostrofapostrofapostrof
اا= >
ا#�ت
>?, <@/&A
ditulis
ditulis
ditulis
a’antum
u’iddat
la’in syakartum
HHHH.... Kata sandang Alif + LamAlif + LamAlif + LamAlif + Lam
Diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan
huruf "al".
ا,B/ان
ا,B+*س
ا,C%*ء
D%E,ا
ditulis
ditulis
ditulis
ditulis
al-Qur’ān
al-Qiyās
al-Samā’
al-Syam
I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat
Ditulis menurut penulisannya.
ا,2/وض ذوى
ا,GC$ اه4
ditulis
ditulis
żawi al-furūd�
ahl al-sunnah
xvi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN NOTA DINAS ............................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN ................................................................................. v
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
TRANSLITERASI ARAB .............................................................................. xi
DAFTAR ISI ................................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................. 8
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 9
E. Metode Penelitian ....................................................................... 13
F. Sistematika Pembahasan ............................................................. 16
BAB II BIOGRAFI ALI SYARI’ATI
A. Riwayat Hidup Ali Syari’ati ........................................................ 19
B. Kondisi Sosial Politik Iran ........................................................... 26
C. Paradigma Pemikiran Ali Syari’ati............................................... 29
D. Tokoh-Tokoh yang Mempengaruhi .............................................. 33
xvii
E. Karya-karya Ali Syari’ati ............................................................. 38
BAB III MANUSIA MENURUT ALI SYARI’ATI
A. Kategori Manusia ........................................................................ 43
B. Penjara-penjara Manusia ............................................................. 64
BAB IV MANUSIA TERCERAHKAN DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
A. Manifestasi Dialektika Manusia ................................................... 73
B. Hubungan Manusia Tercerahkan dengan Tanggung Jawab sosial 78
C. Refleksi Tanggung Jawab Manusia Indonesia ............................. 90
D. Catatan Untuk Ali Syari’ati ........................................................ 94
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 97
B. Saran-saran .................................................................................. 99
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 101
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suatu wacana yang selalu aktual dibicarakan dan selalu menjadi
pembahasan yang menarik adalah masalah manusia. Mengutip pendapat
Charris Zubair: “sekalipun kita jenis manusia, “manusia” itu sendiri masih
misteri bagi kita.” Kemudian ditegaskan kembali oleh Alexis Carrel bahwa
manusia adalah makhluk yang misterius1 sehingga perlu adanya usaha-usaha
dalam menemukan definisi manusia. Meskipun manusia adalah sosok misteri
yang mempunyai rahasia besar di balik penampakannya, hal itu tidak
menghalangi para filsuf membongkar selubung kemisterian manusia.
Kenyataannya bahwa pembicaraan mengenai manusia telah mengisi daftar
panjang pemikiran dari zaman Yunani klasik hingga sekarang ini.
Manusia sebagai manusia, alias manusia sebagai dirinya sendiri, inilah
pokok pembahasan yang sangat panjang dalam sejarah pemikiran manusia,
baik di dunia belahan barat maupun di bagian timur. Apabila hendak
mengetahui bagaimana pendapat teks suci (baca: Taurat, Injil dan al-Qur’an)
mengenai apa dan bagaimana manusia, tentu tinggallah membuka-buka
halaman demi halaman teks suci tersebut. Namun apa dan bagaimanakah
manusia menurut manusia itu sendiri? Maka akan menemukan jawaban yang
sangat beragam, lengkap dengan argumentasinya masing-masing. Singkatnya,
1 Ali Syari’ati, Humanisme: Antara Islam Dan Mazhab Barat, cet. II (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996), hlm. 37.
2
manusia –bagi dirinya sendiri— merupakan entitas unik dan misterius sehingga
tidaklah aneh bila seseorang merasa tidak memahami esensi kemanusiaannya
sendiri.
Hakikat manusia dalam ruang lingkup filsafat selalu berkaitan dengan
unsur pokok yang membentuknya, dimana masing-masing aliran memiliki
pandangan tentang hakikat atau esensi manusia. Menurut Zainal Abidin dalam
bukanya berjudul “Filsafat Manusia” terdapat dua aliran tertua dan terbesar
yaitu materialisme dan idealisme. Materialisme adalah paham filsafat yang
menyakini bahwa esensi kenyataan, termasuk esensi manusia bersifat material.
Kebalikan dengan materialisme, idealisme meyakini bahwa kenyataan sejati
adalah bersifat spiritual. Materialisme dan idealisme dapat ditergolong dalam
monisme yang menyatakan bahwa esensi dari realitas, termasuk esensi manusia
adalah tunggal. Sedangkan aliran yang menyatakan esensi dari realitas terdiri
dari dua substansi adalah dualisme. Dualisme memandang kenyataan sejati
pada dasarnya adalah bersifat fisik dan spritual. Menurut aliran ini, manusia
merupakan makhluk yang terdiri dari dua substansi, yakni materi dan ruh.2
Berbicara tentang manusia, maka sekilas tergambar dalam fikiran
adalah berbagai macam perspektif, ada yang mengatakan manusia adalah
hewan rasional (animal rasional) seperti yang dinyakini oleh Aristoteles (384-
322).3 Ada yang menyebut manusia pada hakikatnya manusia bukanlah sebagai
fiator mundi (peziarah di muka bumi), melainkan sebagai faber mundi (pekerja
2 Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 25-30. 3 Donny Gahral Adian, Matinya Metafisika Barat, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2001),
hlm. 20.
3
atau pencipta dunianya).4 Bagi kaum eksistensialis manusia merupakan
kebebasan dengan eksistensinya mendahului esensi.5 Selanjutnya Ibnu ‘Arabi
(1165-1240) seorang filsuf Islam mengatakan manusia sebagai Insan Kamil.
Dari pernyataan di atas, terlihat bahwa konsep yang ditawarkan tentang
manusia terdapat perbedaan-perbedaan yaitu tergantung konteks historisnya
masing-masing.
Dewasa ini, modernisme telah mentransformasikan perubahan sosial
yang begitu kompleks. Perkembangan modernisme telah membuahkan
kemajuan dalam pelbagai bidang kehidupan manusia, seperti bidang ekonomi,
teknologi, budaya, dan sebagainya. Modernisme bukan saja telah membawa
manfaat dalam memudahkan akses pemenuhan kebutuhan bagi manusia, tetapi
juga membawa tragedi bagi manusia itu sendiri. Jika Habert Marcuse
menyatakan modernitas membuat manusia menjadi satu dimensi, Ali Syari’ati
(1933-1977) menunjukan modernitas sebagai peradaban mesinisme telah
membentuk manusia-manusia palsu dan tidak kreatif.6 Sehingga manusia akan
merasa terasing dari dunia sekitarnya. Artinya, manusia terasing merupakan
realitas dimana ia dipaksa untuk membuka pintu selebar-lebarnya bagi
kekuatan eksternal untuk membentuk, mengarahkan, dan mengisi
eksistensinya. Maka daripada itu, cita-cita besar modernisme untuk menjadikan
4 Zainal Abidin, Filsafat Manusia; Memaham, hlm. 16. 5 Dwi Siswanto, Humanisme Eksistensial Jean-Paul, (Yogyakarta: Philosophy Press,
2001), hlm. 58. 6 Ali Syari’ati, Peran Cendikiawan Muslim: Mencari Masa Depan Kemanusiaan, Sebuah
Wawasan Sosiologis, terj. team Naskah Shalahuddin (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985), hlm. 23.
4
manusia sebagai makhluk otonom malah terjatuh pada peng-obyek-an terhadap
manusia itu sendiri.7
Tujuan manusia adalah memperoleh kebahagian sebagaimana yang
dikatakan oleh Aristoteles,8 namun karena tidak memahami peran “beradanya”
manusia, manusia modern terlena dalam eforia ketidakbahagiaan.9 Manusia
modern telah kehilangan kehendak kebebasan dan kesadaran dirinya. Lebih
lagi, zaman modern telah melahirkan tragedi kemanusiaan, yakni adanya
munculnya eksploitasi manusia atas manusia. Ironisnya, para penguasa dan
intelektual Islam memandang bahwa Barat merupakan negeri yang modern
sekaligus beradab, sehingga mereka harus menirunya secara total. Segala
sesuatu yang serba Barat disanjung-sanjung dan diimpor tanpa ragu. Peniruan
semacam ini merupakan “fanatisme buta”,10 yaitu manusia telah kehilangan
kehendak bebas, teralienasi dan hilangnya kreatifitas.
Menurut Muhammad Iqbal tujuan Pendidikan adalah membentuk
manusia.11 Namun pendidikan yang diimpor dari Barat dan belum tentu
mampu menjawab persoalan-persoalan manusia disekitarnya. Oleh karena itu,
intelektual Islam menjadi formalis-birokrat yang tidak mampu menyelesaikan
7 Henry S. Sabari, Dostoevsky: Menggugat Manusia Modern, (Yogyakarta: Kanisius,
2008), hlm. 60. 8 Franz Magnis-Suseno, Menjadi Manusia belajar dari Aristoteles, (Yogyakarta:
Kanisius, 2009), hlm. 4.
9 Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimendi, cet. I, terj. Silvester G. Sukur & Yusup
Priyasudiarja (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm. 7. 10 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amin Rais (Yogyakarta: Shalahuddin
Press, t.t.), hlm. 84. 11 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka,
1985), hlm. 67.
5
persoalan-persoalan manusia sekitarnya. Ali Syari’ati menyatakan bahwa
“ilmuwan juga belum membawa gagasan-gagasannya ke titik permasalahan
akan penderitaan batin masyarakat atau memungkinkannya untuk melahirkan
kesadaran diri dari rakyat, mengarahkan tujuan dan cita-cita bersama
mereka”.12 Sebagai kaum intelektual yang memiliki tanggung jawab sosial,
seharusnya mampu membawa angin perubahan, berjuang melawan
penyimpangan, melawan ketertindasan, dan membela kaum-kaum yang lemah.
Namun sebaliknya mereka hanya menampakkan arogansi intelektualnya
dengan hanya memahami gagasan-gagasan kaum intelektual lama bahkan
mengimpor dari Barat. Sebagaimana ditulis oleh Kazou Shimogaki bahwa
imitasi Barat akan membawa pada kehancuran peradaban Islam:
Superioritas Barat di bidang ilmu sosial, tetap kokoh, dan bangsa-bangsa Muslim terus mempelajarinya. Mereka mempelajari itu semua tanpa menyadari kaitan antara tali-temali historis Barat dan ilmu-ilmu Barat, sehingga bangsa-bangsa Islam jatuh kedalam pengaruh Barat. Proses ini mengakibatkan esensi peradaban Islam runtuh. Imperialisme kultur Barat berkembang menjadi apa yang disebut kolonialisme peradaban.13
Ternyata, meskipun manusia sudah berkembang sedemikian modern,
tetapi manusia modern belum mendapatkan kebebasan –kebebasan
menuntukan pilihannya, kebebasan dari belenggu penindasan. Usaha-usaha
untuk mengembalikan manusia pada posisi idealnya terus dilakukan. Namun
terkadang ditemukan penyimpangan-penyimpangan dari ilmu pengetahuan
yang justru mengalienasi kesadaran manusia, yaitu pandangan yang
12 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan,
1988), hlm. 33. 13 Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Telaah Kritisatas Pemikiran Hassan Hanafi, terj. M
Imam Aziz (Yogyakarta: LKiS, 1993), hlm. 38.
6
menginkari adanya kehendak bebas (free will) manusia. Sehingga pembahasan
secara intensif mengenai manusia, perlu kiranya ajukan kembalikan sesuai
konteks masyarakat modern sekarang ini.
Ali Syari’ati merupakan pemikir Islam yang memberikan perhatian
cukup besar terhadap persoalan-persoalan manusia. Syari’ati menuturkan
bahwa masalah eksistensi dan proses kemajuan manusia haruslah menjadi
tujuan utama setiap peradaban yang ingin membangun manusia dan
masyarakatnya.14 Sehingga persoalan manusia menjadi sangat penting baginya.
Syari’ati mengungkapkan kegelisahannya tentang persoalan manusia modern
ini:
Manusia sesungguhnya merupakan masalah yang paling rumit di alam semesta; oleh karena itu memerlukan pencurahan perhatian yang besar. Manusia dilihat dari perkembangannya hingga sampai sekarang, manusia modern belum mampu mencapai suatu kesimpulan lengkap mengenai dirinya sendiri, walaupun ia telah dapat memecahkan berbagai masalah kehidupan dan mengatasi banyak rintangan yang ditimbulkan oleh sang alam yang membatasi kemajuan manusia.15
Pernyataan di atas menjelas bahwa dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan, manusia dapat menggunakannya untuk kepentingan memecahkan
pelbagai permasalah manusia. Misalnya, dengan ilmu pengetahuan pertanian
manusia dapat memodernisasi pertanian sehingga menghasilkan panen yang
berlimpah. Adapun dengan pengetahuan otomotif, ia dapat menciptakan alat
transportasi yang memudahkan perjalanan mansuia. Tetapi “keberadaan”
manusia masih menyisakan pertanyakan. Disisi lain masyarakat manusia
terbagi dalam kelas-kelas sosial yang memunculkan kemiskinan dan
14 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 51. 15 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 49.
7
ketidakadilan. Manusia modern tidak sadar bahwa ia terbelunggu oleh sistem
kapitalisme sebagai tatanan masyarakat modern.
Ali Syari’ati senantiasa mengaitkan pembicaran manusia dengan Islam.
Pada teks (al-Qur’an) manusia ditunjuk sebagai khalifah oleh Tuhan di muka
bumi. Dengan pengetahuan intelektualnya, manusia mampu mengetahui segala
fakta yang ada dalam alam semesta. Dengan pengetahuan dari “Guru Pertama”
manusia memiliki kesadaran diri dan memiliki tanggung jawab untuk
memakmurkan dan mengelola alam. Syari’ati tidak berbicara pada hal yang
metafisik saja, akan tetapi ia memanifestasikan pada realitas perkembangan
gerak manusia. Syari’ati sadar bahwa zaman modern melahirkan tragedi
kemanusiaan. Oleh karena itu, manusia modern membutuhkan “manusia
unggul”16 dalam istilah Nietzsche. Lebih tepat, Syari’ati menyebut unggul
sebagai raushan fikr, yakni manusia yang sadar akan kondisi sosial yang ada
dalam masyarakatnya serta memiliki tanggung jawab sosial.
Berdasarkan pembahasan di atas, manusia modern memiliki persoalan
yang begitu kompleks dan kemudian menandakan sebuah tragedi kemanusiaan.
Sebagai diagnosis dari tragedi kemanusiaan tersebut diperlukan adanya sebuah
kajian mendalam tentang manusia. Dimana dimensi manusia yang begitu
kompleks telah mengisi alur kehidupannya, dengan menguraikan pembahasan
manusia harapannya akan didapati pula jati diri manusia. Disini penyusun
hendak memfokuskan kajian terhadap pemikiran Ali Syari’ati mengenai
manusia.
16 Manusia unggul dapat hidup dan bertahan hanya melalui seleksi manusia, melalui perbaikan kecerdasan dan pendidikan yang meningkatkan derajat dan keagungan individu-individu. Lihat Zainal Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 114.
8
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari pemaparan latar belakang masalah di atas, setidaknya
dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti mengenai manusia dalam
pemikiran Ali Syari’ati, yaitu:
1. Bagaimana pandangan Ali Syari’ati tentang manusia?
2. Bagaimana konsep manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial menurut
Ali Syari’ati?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penyusun melakukan penelitian pengenai “Manusia dalam Pemikiran
Ali Syari’ati”, dengan tujuan:
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Penyusun berusaha meneliti pemikiran Ali Syari’ati tentang
manusia, yaitu bertujuan untuk dapat mengetahui kategori manusia
dalam pemikirannya.
b. Penyusun, dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep
manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial dalam pemikiran
Ali Syari’ati.
Hal tersebut penting untuk dilakukan mengingat, pertama, Ali Syari’ati
merupakan tokoh besar yang pemikirannya telah mempengaruhi umat Islam di
belahan dunia, khususnya di Iran dengan pecahnya Revolusi Islam 1979.
Kedua, penyusun termotivasi karena lingkungan akademik yang penuh dengan
tradisi intelektual.
9
2. Kegunaan Penelitian
Berkaitan dengan kegunaan penelitian:
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan kajian tentang gagasan-gagasan Ali Syari’ati tentang
manusia.
b. Secara praktis:
1) Penyusun berharap hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi
terhadap pengembangan jurusan Aqidah dan Filsafat sebagai
ujung tombak kemajuan intelektual.
2) Penyusun juga berharap, hasil penelitian mampu menjadi refrensi
atau acuan bagi peneliti bahkan memberikan inspirasi bagi gerak
mahasiswa maupun civitas akadimika khususnya Fakultas
Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam untuk berjuang
demi perubahan.
Hal ini juga dikarenakan tradisi wacana kritis haruslah tetap terus
dikembangkan dan tentunya sebagai dasar untuk melakukan suatu perubahan
dalam masyarakat luas.
D. Tinjauan Pustaka
Pemikiran Ali Syari’ati memang menarik untuk dikaji, sehingga tidak
jarang para peneliti mengkaji pemikirannya. Dari penyelusuran pustaka,
penyusun mendapati beberapa karya penelitian yang membahas pemikiran Ali
Syari’ati, diantaranya berupa skripsi dan buku.
10
1. Seperti skripsi Iin Martini tentang “Konsep Intelektual Menurut Ali
Syari’ati”, ia menjelaskan yang dimaksud intelektual adalah orang yang
tercerahkan. Orang yang tercerahkan digambarkan Ali Syari’ati sebagai
orang yang memiliki tanggungjawab sosial.17 Ketika orang telah memiliki
kesadaran akan keadaan kemanusiaan serta setting kesejarahannya, maka ia
akan dengan sendirinya memiliki rasa tanggungjawab sosial. Intelektual
yang tercerahkan memiliki peran untuk menggerakkan massa untuk
mengubah dan revolusi serta memerangi penindasan dan ketidakadilan.
Intelektual yang tercerahkan tidak berusaha untuk melarikan diri atau
mengasingkan dirinya, mereka menyadari bahwa mereka telah diutus
dengan sebuah misi bagi rakyatnya. Skripsi Iin hanya menjelaskan tentang
peran intelektual yang tercerahkan sesuai dengan pandangan tokoh semata
(tidak ada yang baru), dan belum menyentuh tentang pandangan manusia,
misalnya bagamana otentisitas manusia?
2. Dalam skripsi Ismulyadi tentang “Sosialisme Islam Ali Syari’ati”,
menurutnya, pandangan Ali Syari’ati dimulai dengan Tauhid tentang
keesaan Tuhan, dilanjutkan dengan menguraikan visi Islam dalam
membicarakan persoalan manusia. Dalam menjelaskan persoalan manusia,
Ismulyadi belum mendalam. Ia hanya menekankan terhadap dehumanisasi
manusia dengan memberikan arah pemikiran sosialisme Islam yang
dibangun diatas tradisi Islam Syi’ah yang revolusioner.18
17 Iin Martini, Konsep Intelektual Menurut Ali Syari’ati (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2007), hlm. 83.
11
3. Skripsi Eko Supriadi tentang “Keterkaitan antara Marxisme dan Islam;
perspektif pemikiran Ali Syari’ati.” Dalam karyanya, ia menjelaskan bahwa
ideologi marxisme adalah ideologi yang tidak memiliki persamaan dengan
ideologi Islam. Islam menempatkan posinya yang antagonistik dengan
marxisme19. Karya peneliti diatas belum cukup komperhensif dengan kaitan
tema yang diajukan oleh penyusun. Skripsi Eko Supriadi dalam menjelaskan
diterminisme hanya terfokus pada Marxisme, yaitu penolakan Ali Syari’ati
pada esensi manusia yang bersifat fisik dan logika manusia ekonomis.
4. Selanjutnya skripsi Khairul Azhar Saragih dengan judul “Pandangan Ali
Syari’ati Tentang Tanggung Jawab Sosial Intelektual Muslim
(Perbandingan Dengan Intelektual Muslim Di Indonesia)” menjelaskan
bahwa intelektual tercerahkan merupakan Individu-individu yang memiliki
rasa tanggung jawab terhadap masyarakat, kondisi sosial, mempunyai misi
sosial, dan memberi arah intelektual dan sosial kepada massa rakyat. Selain
itu, intelaktual muslim adalah seorang guru dari rakyat. Intelektual muslim
bertanggung jawab atas permasalahan yang dihadapi rakyat, sehingga
mereka dituntut untuk merumuskan kebijaksanaan masyarakat demi
perubahan yang berperikemanusiaan, keadilan, dan dapat mendorong
kemajuan dan perkembangan masyarakat secara sempurna yang bisa
dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Intelektual muslim yang
menjalankan misi universal dengan memperhatikan nilai-nilai Islam diminta
18 Ismulyadi, Sosialisme Islam Ali Syari’ati (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2001)
hlm. 119. 19 Eko Supriadi, Kaitan antara Marxisme dan Islam Perspektif Pemikiran Ali Syari’ati
(Yogyakarta: UGM, 2002), hlm. 219.
12
kesediaannya untuk mengorbankan dirinya dalam proses perjalanan hidup
masyarakat.20 Relasi dengan tanggung jawab intelektual Indonesia,
bagamana Intelektual Indonesia mampu memahami, menjelaskan serta
memecahkan berbagai macam persoalan dalam aspek sosial, agama, politik.
Sekripsi Khairul Azhar Saragih ada kesamaan dengan skripsinya Iin
Martini, akan tetapi skripsi Khairul Azhar direlasikan dengan Intelekual
Indonesia belum juga membahas secara mendalam tentang manusia,
misalanya keotentitasan manusia maupun diterminasi manusia.
Selain penelitian yang berbentuk skripsi, terdapat juga penelitian yang
berupa buku. Di antaranya adalah:
1. Buku yang berjudul “Islam Di Tepian Revolusi” karya Sarbini menjelaskan
pandangan Ali Syari’ati tentang Revolusi Islam. Menurutnya, gagasan Ali
Syari’ati; revolusi oleh kaum tertindas (Habil) yang digerakan kaum
intelektual akan terjadi untuk mengakhiri riwayat kaum penindas (Qabil).21
Sehingga didapati bahwa peran intelektual sangat berpengaruh dalam
menciptakan perubahan sosial atau revolusi. Intelektual yang dimaksud
dalam karya Sarbini adalah intelektual tercerahkan yang memiliki ideologi.
Ali Syari’ati merumuskan Islam sebagai agama yang perlu dipahami secara
Ideologis. Karena ideologi menuntur agar kaum intelektual bersikap setia
dan ideologilah yang mampu merubah masyarakat menuju masyarakat
tauhid. Masyarakat tauhid tidak mengenal kontradiksi, diskriminasi antara
20 Khairul Azhar Saragih, Pandangan Ali Syari’ati Tentang Tanggung Jawab Sosial
Intelektual Muslim (Perbandingan Dengan Intelektual Muslim Di Indonesia), (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2010), hlm. 88.
21 Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 99.
13
manusia dan alam, ruh dengan badan, dunia dengan akhirat, dan antara spirit
dengan materi.22 Tetapi buku tersebut belum mengulas tema yang terkait
dengan tema yang diajukan oleh penyusun.
2. Kemudian di dalam bukunya Ali Rahnema yang berjudul “Ali Syariati;
Biografi Politik Intelektual Revolusioner” menjelaskan tentang perjalanan
kehidupan sosial, politik,karir intelektual serta karya-karya Ali Syariati.
Karya tersebut mengenai pokok pembahsan tentang seputar biografi Ali
Syari’ati, sehingga belum menyentuh tentang tema penelitian yang
penyusun ajukan.
Dari hasil penyelusuran pustaka di atas, telah diketahui bahwa belum
ada penelitian komperhensif dengan tema yang diajukan penyusun. Oleh
karena itu, penyusun akan berikhtiar meneliti pandangan Ali Syari’ati
mengenai Manusia secara komperhensif.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan studi tokoh, dengan menggunakan data
kepustakaan (library Research). Penelitian kepustakaan yaitu penelitian
yang dilakukan untuk menghimpun data dari berbagai literatur baik di
perpustakaan maupun di tempat lain terkaiat fokus kajian penelitian.
Sumber literatur dalam penelitian menggunakan sumber berbentuk buku,
jurnal, majalah, koran dan bahan lainnya lainya yang tertulis. Penelitian ini
bermaksud mengeksplorasi pemikiran Ali Syari’ati dengan menggunakan
22 Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi, hlm. 79.
14
metode penelitian kualitatif. Penelitian ini bisa dikatakan sebuah studi
tokoh, dimana studi tokoh merupakan salah satu jenis penelitian
kualitatif.23 Melalui jenis penelitian ini, peneliti akan dapat mengenal lebih
jauh dan mendalam mengenai konsep-konsep atau ide-ide dalam
pemikirannya.24
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini menggunakan dua macam data,
yaitu berupa sumber data primer dan sumber data skunder. Sumber data
primer yang dimaksud merupakan karya-karya yang dikarang atau ditulis
langsung dari Ali Syari’ati atau karya yang sudah diterjemahkan ke bahasa
Indonesia, seperti:
a. Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam
b. Ali Syari’ati, Tugas Cendikiawan Muslim
c. Ali Syari’ati, Peran Cendikian Muslim, Mencari Masa depan
Kemanusian, Sebuah Wacama Sosiologis
d. Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan Islam
Sedangkan data skunder adalah pendukung data primer. Data skunder
didapat dari kutipan sumber lain yang memuat pemikiran Ali Syari’ati, seperti:
a. Rahnema, Ali. Ali Syari’ati Biografi Politik Intelektual
Revolusioner, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002
23 Arief Furchan & Agus Muimun, Studi Tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
hlm. 15. 24 Arief Furchan & Agus Muimun, Studi Tokoh, hlm. 16.
15
b. Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, Ideologi Pemikiran dan Gerakan,
Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
c. Ismulyadi, Sosialisme Islam Ali Syari’ati, Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga, 2001.
d. Martini, Iin. Konsep Intelektual Menurut Ali Syari’ati, Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2007.
e. Supriadi, Eko. Keterkaitan antara Marxise dan Islam: Perspektif
Pemikiran Ali Syari’ati, Yogyakarta: UGM, 2002.
3. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini memakai metode
dokumentasi, yaitu mengumpulkan data dari literatur berupa arsip-arsip,
buku-buku, jurnal, dan hasil penelitian sebelumnya. Pertama-tama dimulai
dengan mengoleksi data-data primer dan data-data skunder. Setelah
terkumpul, mulai mencari key word (kata kunci) untuk memudahkan
penelitian, kemudian dilakukan klasifikasi dan mengurutkan sesuai dengan
pokok bahasan yang telah ditentukan. Berikut ini adalah key word-nya:
a. Khalifah
b. Manusia dua dimensional
c. Manusia tiga dimensional
d. Raushanfikr
4. Analisis Data
Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis data tersebut adalah:
16
a. Pendekatan historis digunakan dalam rangka merunut aspek
kesejarahan (genealogi) yang melatarbelakangi kehidupan Ali
Syari’ati beserta gagasan-gagasannya.
b. Pendekatan sosiologis digunakan dalam rangka menyelusuri
pemikiran Ali Syari’ati mengenai manusia tercerahkan dan tanggung
jawab sosial. Pendekatan ini dilakukan karena Ali Syari’ati sendiri
merupakan salah satu tokoh sosiologi Agama.
c. Metode deskriptif, yakni upaya penulis untuk membahas penelitian
ini secara sistematis dan terperinci terhadap tema dari aspek-aspek
yang dimaksud dalam pemikiran Ali Syari’ati.
d. Penelitian ini juga mengunakan metode Interpretasi, yaitu
menyelami ungkapan-ungkapan Ali Syari’ati serta konsep-konsep
yang berhubungan dengan manusia untuk mengungkap arti dan
implikasi yang ditimbulkanya.
e. Dengan metode Analisis peneliti akan melakukan pemeriksaan
secara konseptual atas makna yang terkandung dalam ungkapan-
ungkapan atau argumen yang digunakan Ali Syari’ati sehingga dapat
memperoleh substansi makna yang dimaksud dari ungkapan
tersebut.
F. Sistematika Pembahasan
Guna memudahkan pembahasan, maka pembahasan ini akan disusun
dengan sistematika sebagai berikut:
17
BAB I, Pendahuluan, di mana dalam pendahuluan itu terdiri dari latar
belakang masalah, yang mencoba membahas sebuah permasalahan untuk
menonjolkan sisi problem yang akan diteliti dalam pembahasan berikutnya
kemudian diteruskan dengan mengambil sebuah perumusan masalah. Setelah
itu, peneliti menentukkan tujuan dan kegunaan penelitian, sehingga penelitian
ini memiliki visi dan misi serta kepentingan yang nyata bagi perkembangan
akademik khususnya di bidang filsafat. Selanjutnya, diteruskan dengan tinjauan
pustaka yang mencoba menelaah setiap kajian yang membahas pemikiran Ali
Syari’ati. Dari beberapa penelitian sebelumnya untuk diambil perbedaaan point
of idea-nya. Sedangkan, untuk metodologi penelitian ini digunakan sebagai
satu cara dan bagaimana peneliti bisa memecahkan suatu permasalahan yang
telah dirumuskan sehingga peneliti dapat membahas secara sistematis sesuai
dengan pendekatan yang telah peneliti tentukan. Terakhir, yakni tentang
sistematika pembahasan ini berguna untuk memetakan tentang pembahasan
secara runtut sesuai dengan dalam aturan penulisan ilmiah dan terutama lebih
khususnya dalam aturan penulisan skripsi akademik pada Fakultas Ushuluddin,
Studi Agama dan Pemikiran Islam.
BAB II, Bab ini penyusun mencoba mendeskripsikan latar belakang
sejarah Ali Syari’ati, meliputi riwayat hidup, kondisi sosial-politik Iran,
Paradigma pemikiran, tokoh yang mempengaruhi, dan karya-karyanya. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum meliputi apa saja yang
berkaitan dengan latar belakang sejarah kehidupan dan pemikirannya.
18
BAB III, Bab ini penyusun mendeskripsikan tentang kategori-kategori
manusia dan belenggu penjara menurut Ali Syari’ati yang terdiri dari dua sub
judul yaitu kategori manusia dan penjara-penjara manusia.
BAB IV, Bab ini penyusun hendak menganalisis manusia tercerahkan
yang terdiri dari empat sub judul yaitu manifestasi dialektika manusia,
hubungan manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial, refleksi tanggung
jawab manusia Indonesia, dan catatan untuk Ali Syari’ati.
BAB V, Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan
dari uraian yang telah dikemukakan dan berisi saran-saran. []
19
BAB II
JEJAK LANGKAH ALI SYARI’ATI
A. Riwayat Hidup
1. Masa Kecil
Ali Syari’ati dilahirkan pada tanggal 24 November 1933 di Mazinan,
yang terletak di pinggiran kota Marshad, tepatnya di sebuah desa kecil di
Kahak, sekitar 70 kilometer dari Sabzevar, anak dari pasangan dari keluarga
kelas menengah bawah Muhammad Taqi (Mazinani) Syari’ati dan Zahra. Ia
merupakan anak pertama dan anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga,
dengan tiga orang saudara perempuan yaitu Tehereh, Tayebeh dan Batul
(Afsaneh). Walau keluarganya hidup sedehana dengan ekonomi yang pas-
pasan, keluarganya sangat dihormati dikalangan masyarakat. Ayahnya,
Muhammad Taqi berprofesi sebagai pengajar dan tokoh spiritual. Taqi
mendedikasikan hidupnya untuk mempertahankan Islam dan
mendefinisikan garis besar Islam ‘yang diperbahuri’ yang sesuai dengan
kondisi modern dan responsif terhadap tuntutan pemuda yang lebih
memiliki kesadaran sosial.1 Sedangkan ibunya, Zahra merupakan seorang
perempuan yang memiliki dedikasi, pekerja keras serta seorang yang
sederhana dan penyabar. Hal itu ditunjukan dalam menerima kehidupan
yang menyedihkan, seringkali makan persediaan makanan yang paling
sederhana, sementara menyiapkan makanan yang cukup bagi anggota
1 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2002), hlm. 18.
20
keluarganya. Kesederhanaan keluarganya pernah dilukiskan Syari’ati
kepada seorang teman bahwa dirumahnya ‘makan besar’ keluarga hanya
disajikan pada hari Jum’at malam, sehari dalam satu minggu.2 Kehidupan
keluarga itulah yang membentuk kepribadian dan pemikiran Syari’ati.
Pada umur 8 (delapan) tahun, Syari’ati sudah mengalami suasana
yang mencekam, yaitu ketika pasukan sekutu menginvansi Iran bulan
Agustus 1941. Dimana kekuasaan Reza Syah yang pro terhadap Jerman
dipaksa mundur dan digantikan oleh putranya yaitu Muhammad Reza.
Setelah sebulan peristiwa itu, Syari’ati memasuki sekolah dasar di Ibnu
Yamin. Di sekolah dasar, Syari’ati tidak terlalu mudah bergaul dan
berhubungan dengan teman-temannya. Sosok yang pendiam, pemalu dan
lebih suka memisahkan diri dari aktivitas-aktivitas teman-temannya
sehingga ia selalu merasa kesepian. Kegiatan yang paling digemari Ali
Syari’ati adalah membaca buku. Ia sering membaca dengan ayahnya sampai
larut malam dan kadang-kadang sampai dini hari, bahkan setelah ayahnya
tidur. Ali Syari’ati juga mengatakan bahwa dirinya telah mengenal koleksi
perpustakaan ayahnya yang memiliki 2000 buku selama tahun pertamanya
di sekolah dasar.3 Kegemaran membaca, menjadikan Syari’ati sebagai sosok
yang memiliki pandangan luas.
Setelah menyelesaikan sekolah dasar pada bulan September 1947,
Syari’ati memasuki sekolah menengah di Firdausi. Berbeda di sekolah
dasar, Syari’ati lebih mudah berinteraksi sehingga memiliki banyak teman.
2 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 54-55. 3 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 58.
21
Di sekolah menengah, minat baca Syari’ati semakin berkembang. Hal itu
didukung dengan tersedianya fasilitas yang baik seperti perpustakaan,
laboratorium ilmu pengetahuan, fasilitas olah raga dan ruang teater.4
2. Menjadi Dewasa
Dalam usianya yang semakin dewasa, Ali Syari’ati semakin aktif
dalam aktivitas politik. Pada tahun 1940-an bergabung dengan “Gerakan
Sosialis Penyembah Tuhan dan Pusat Penyebaran Islam yang didirikan oleh
ayahnya, Taqi Syari’ati, yang menjadi guru sekolah lanjutan atas, sarjana,
dan Islamolog. Pada tahun 1950 setelah menyelesaikan sekolah
menengahnya, atas permintaan ayahnya, Syari’ati mengikuti ujian masuk di
Institut Keguruan (Danesyara-ye Moqaddamati) yang ketat dan lulus pada
tahun 1952. Syari’ati bekerja di Kementrian Pendidikan dan dikirim ke
sekolah dasar Ketabpur di Ahmadabad untuk mengajar semua mata
pelajaran kepada semua siswa. Syari’ati menjadi mahasiswa sekaligus
menjadi guru ketika melanjutkan studinya ke Universitas Masyhad pada
tahun 1956 dan tetap bekerja penuh sebagai guru di Ketabpur. Semasa
menjadi mahsiswa, Ali Syari’ati bekerja sama dengan kelompok Sosialis
Penyembah Tuhan dan pernah menulis Maktab-e Vasetheh (The Median
School). Ia juga terlibat dalam gerakan politik pro Mossadeq serta tergabung
dibawah Gerakan Resistensi Nasional atau NRM (National Resistence
Movement). Syar’ati menjadi aktivis revolusioner dan aktif dalam
perjuangan untuk nasionalisasi minyak. Akibat akitivitas gerakan politiknya
4 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 59.
22
yang mengancam pemerintahan, Syar’ati ditangkap dan dipenjara di
Teheran.5
Sekeluarnya dari penjara, Ali Syari’ati mengakhiri masa lajangnya
pada 15 bulan Juli 1958 dengan menikahi Puran Syari’at Rezavi (bibi
Fatemeh) putri dari Hajji Ali Akbar seorang pedagang. Pernikahan tersebut
menjadi buah bibir yang hangat di Masyhad tentang Syari’ati yang menikahi
perempuan yang tidak berjilbab. Hal itu terkadang membuat Syari’ati
depresi; Syar’ati menyesalkan mentalitas reaksioner masyarakatnya.6 Pada
Desember tahun 1958, mendapat gelar B.A. dalam bahasa Arab dan Prancis
dengan menerjemahkan skripsi Dar Naqd va Adab (“On Literary
Criticism”), karya pengarang Mesir, Dr. Mandur, sebagai skripsinya.
Kemudian Ali Syari’ati memenangkan beasiswa untuk belajar di Prancis.7
3. Menuju Paris
Setelah menyelesaikan studinya di Universitas Masyhad, Ali Syariati
mendapatkan beasiswa untuk belajar di Prancis, yaitu di Universitas
Sorbonne. Sebagai mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah,
menerima 8000 rial setiap bulan.8 Selama di Perancis, Syari’ati sering
bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran maupun karya seperti Henry
Bergson, Jack Berque, Albert Camus, A.H.D. Chandell, Franz Fanon,
George Gurwitsct, Lois Massignon, Jean-Paul Sartre dan Jacques Schwartz.
5 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 19. 6 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 124-131. 7 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 19. 8 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, hlm. 137.
23
Seperti di Iran, Ali Syari’ati aktif dalam kehidupan politik di Prancis,
yaitu bersama Mustafa Chamran dan Ebrahim Yazdi mendirikan Gerakan
Kebebasan Iran (Nehzat-e Azadi-e Iran, Kharij Az Keshvar), ikut dalam
pembentukan Front Nasional Kedua pada tahun 1962, dan bergabung
dengan gerakan Aljazair serta menyunting jurnal-jurnal berbahasa Persia;
Iran-e Azad dan Nameh-e Pars. Syari’ati berhasil menerjemahkan beberapa
karya seperti karya Che Guevara: Guerrilla Warfare; Sartre: What is
Poetry?; dan Fanon: The Wretched of the Earth.9 Keterlibatan Syari’ati
dalam Aktivitas Politik dan secara aktif memberikan kuliah-kuliah kepada
mahasiswa revolusioner Konggo mengakibatkan dirinya masuk penjara.
Pada tahun 1963, Syari’ati menyerahkan terjemahan yang disertai komentar
kritis atas naskah Persia abad pertengahan Fadha’il Al-Balkh (Les Merites
de Balkh) sebagai Doctorat de L’Universite-nya.10
4. Kembali Ke Iran
Dengan menyandang gelar doktor pada ilmu sosiologi pada tahun
1964, Syari'ati kembali ke Iran, tanah kelahirannya. Dalam perjalanan
kembali ke Iran, Syari’ati ditangkap dan kemudian dipenjara dengan
tuduhan bahwa ketika kuliah di Prancis ia telah berpartisipasi di dalam
aktivitas-aktivitas politik.11 Pada bulan Juli 1964, Syari’ati dibebaskan dari
penjara, disambut oleh keluarga dan teman-temannya. Pertemuan tersebut
9 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 19-20. 10 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 20. 11 Ali Syari’ati, Haji, cet. VII, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 2006), hlm. v.
24
merupakan peretemuan yang bahagia, sebab sudah lima tahun Syari’ati
berpisah dengan keluarga, kerabat dan teman-temannya.
Menurut penuturan Ali Rahnema bahwa sekembalinya ke Masyhad
pada tahun 1964, Syari'ati mengalami keterasingan yang luar biasa karena
teman-teman maupun kenalan-kenalan lamanya sudah tidak dapat “diajak
berkomunikasi”. Syari'ati sampai menggambarkan mereka sebagai oportunis
ompong yang hanya memerhatikan urusan perut dan bawah perut, bahkan
pakaian serta pantat mereka berlipat empat. Luka akan ‘agnostisisme
filosofis’ mulai mencuat justru di ambang puncak kariernya sebagai
intelektual Islam. Kebencian Syari'ati terhadap lingkungan sosialnya saat itu
menyebabkan dirinya bertanya-tanya tentang hakikat kehidupan. Saat itu
Syari'ati memasuki dunia mistik (tasawuf), suatu pengalaman yang pernah
mendatanginya sewaktu masih kanak-kanak. Perdebatan mengenai
eksistensi dan arti kematian memenuhi dirinya selama masa penyendirian
itu. Bahkan akibat frustasi yang berlebihan itu, Syari'ati sempat memutuskan
bunuh diri akan tetapi niatan tersebut dibatalkannya.12
Mengenai pekerjaan, Syari’ati melamar ke Universitas Teheran dan
Universitas Masyhad, namun tidak mendapakan jawaban. Lalu ia
mendatangi Kementrian Pendidikan, dimana ia bekerja sebagai guru
akademik 1964-1965. ia mulai mengajar pada bulan September 1964 di tiga
sekolah menengah yang terletak di lokasi yang berbeda.13 Beberapa tahun
kemudian, ia diminta mengajar di Universitas Masyhad. Dalam waktu yang
12 Ali Rahnema, Ali Syari'ati: Biografi Politik, hlm. 219-225. 13 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 203.
25
singkat ia menjadi popular di kalangan murid-muridnya dan berbagai kelas
masyarakat di Iran sehingga rezim yang sedang berkuasa pada waktu itu
terpaksa menghentikan aktivitasnya di Universitas tersebut.14
Setelah tidak mengajar lagi di Universitas Masyhad, Ali Syari’ati
pergi ke Teheran untuk melakukan aktivas ceramah-ceramah dan kuliah-
kuliah umum serta menulis. Ceramah-ceramah Ali Syari’ati menarik
perhatian dan dihadiri enam ribu mahasiswa, beribu-ribu orang dengan latar
belakang yang berbeda-beda telah mengikuti kuliah-kuliah yang
disampaikannya di musim panas di Istitut Husainiyah Irsyad. Semakin hari,
karir Ali Syari’ati menanjak dan semakin banyak pengikut dari kalangan
anak muda. Karena keberhasilan kuliah-kuliahnya yang sangat
mengagumkan itu, polisi-polisi Iran kemudian mengepung Istitut
Husainiyah Irsyad dan menangkap banyak pengikutnya. Untuk kedua
kalinya ia dipenjarakan selama 18 bulan. Karena desakan-desakan
masyarakat dan protes-protes internasional maka pada 20 Maret tahun 1975
dibebaskan oleh rezim yang berkuasa.15
5. Rest in Peace
Meskipun telah dibebaskan dari penjara, Ali Syari’ati sama sekali
tidak merasa bebas. Itu dikarenakan aktivitas-aktivitasnya selalui diawasi
oleh petugas keamanan Iran. Syari'ati dilarang untuk memberikan ceramah-
ceramah maupun kuliah-kuliah, bahkan dilarang menulis dan tidak
diperbolehkan menghubungi murid-muridnya. Oleh sebab kondisi-kondisi
14 Ali Syari’ati, Haji, hlm. v. 15 Ali Syari’ati, Haji, hlm. vi.
26
yang sangat menekan itu dan sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Muhammad, akhirnya Syari'ati memutuskan berhijrah meninggalkan
Iran. Syari'ati berhasil pergi ke Inggris, akan tetapi tiga minggu kemudian,
tepatnya pada tanggal 19 Juni 1977, meninggal secara misterius di rumah
kerabatnya sebagai seorang syuhada dan jenazahnya dimakamkan di
Damaskus, Syria.
B. Kondisi Sosial Politik Iran
Iran merupakan salah satu negara yang memiliki rentetan historis
panjang, terkenal sebagai bangsa yang besar dan tertua, pusat kerajaan Persia
kuno. Pada tahun 513 SM. bangsa Persia melakukan invasi ke tempat yang
sekarang merupakan Rusia Selatan dan Eropa Tenggara, serta menginvasi
Yunani di tahun 480 SM. Pada tahun 1331 SM. Alexander dari Macedonia
menaklukkan kerajaan Persia dan menjadi bagian dari Kekaisaran Alexander.
Dinasti yang memerintah berturut-turut sejak berdirinya Dinasti Safavid (1501-
1732), Dinasti Qajar (1794-1925), tahun 1920 Sayid Ziauddin Taba Taba’i,
seorang politisi Iran, dan Reza Khan, seorang perwira kavaleri, menggulingkan
dinasti Qajar berganti ke Dinasti Pahlevi (1925-1978) dan akhirnya tumbang
oleh revolusi Islam 1979.
Iran merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama
sumber daya minyak, sehingga banyak negara Barat menginginkan Iran sebagi
daerah kekuasaan seperti Jerman dan Amerika. Kekuasaan Iran di pegang oleh
kekuasaan otoriter dari dinasti Reza Syah Pahlevi (1925-1941). Pada masa
pemerintahan Reza Syah yang memiliki simpati pro Jerman, ingin menjadikan
27
negara Iran sebagai negara maju dengan model Barat. Moderinisasi,
industrialisasi dan sentalisasi kekuasan yang dilakukan dengan tangan besi;
penerapan cara-cara militer yang ‘mengharuskan’ represi brutal terhadap
mereka yang menentang, menjadikan ciri utama pemerintahan Reza Syah.16
Peraturan pemerintah yang ketat dan memaksa serta menunjukan
peraturan dan tindakan yang anti agama, seperti persyaratan mengenai
ketentuan ijazah sarjana hukum diperoleh dari universitas nasional atau luar
negeri (5 Maret 1928), peraturan penggunaan pakaian model barat (28
Desember 1928), mempersempit kekuatan hukum dan sosial pengadilan agama
yang diserahkan kepada kantor-kantor sekuler (1932), merobohkan majid
Gowharsyhad (21 & 22 Juli 1935). Kontroversi kebijakan pemerintah tersebut
tidak menggugah perlawanan dari ulama dan cenderung pasif. Adapun yang
melawan akan di ditangkap dan dibunuh, seperti Sayyed Hasan Modarres,
seorang tokoh ulama yang popular karena dicurigai menentang keras tata cara
mengenakan pakaian (ditangkap, 1929; dibunuh, 1936).17
Di bawah kepemimpinan Reza Syah semua eleman masyarakat dari
oposisi religius maupun sekuler dibungkam. Situasi dan kondisi seperti itu
terberkembang hingga tahun 1941 saat Reza Zyah diturunkan dari tahta. Krisis
kepemimpinan memuncak setelah kekuasaan Reza Syah benar-benar runtuh,
dimana dirinya sebagai kepala negara tidak lagi memeritah sesuai dengan
konstitusi. Pada tahun itu juga, seorang pemimpin nasionalis sekular dari partai
Front Nasional bernama Mossadeq diangkat sebagai perdana menteri yang
16 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 1. 17 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 6-8.
28
mengendalikan Iran. Mulai saat itu kemudian kondisi sosial dan politik negara
tersebut sangat kondusif bagi munculnya kelompok-kelompok keagamaan dan
gerakan politik. Aktivitas keagamaan dan politik publik yang sepenuhnya
terlarang hingga saat itu kembali bergairah.
Di lain pihak, setelah runtuhnya kekuasaan Reza Syah, Sekutu makin
merasa khawatir. Mereka melihat kekuatan politik fron nasional Mossadeq
yang nasionalis dan keberadaan Partai Tudeh yang beraliran Marxis sebagai
ancaman kepentingan Barat, terutama menyangkut minyak. Maka Sekutu mulai
bekerja sama dengan golongan militer Iran serta para pendukung Syah untuk
melakukan kudeta. Pada tahun 1953, kekuasan Mossadeq berakhir dan di
penggatinya oleh putra Reza Syah yaitu Muhammad Syah Pahlevi.
Pemerintahan Syah Pahlevi selalu mengadopsi ide-ide Barat. Hal itu
terlihat dalam melakukan pembahuran besar-besaran dengan mengirim
intelektual ke Barat dengan harapan kembali dengan membawa ide-ide untuk
membangun Iran. Modernisasi yang dilakukan Syah Pahlevi berdampak pada
kehidupan yang ke-Barat-Barat-an. Rezim penguasa semakin lama semakin
otoriter dengan melarang adanya partai independen. Kemudian Syah pada
tahun 1975, Syah Pahlevi membentuk Partai Kebangkitan Tunggal dan
memperlemah kedudukan lembaga keagamaan. Tindakan semena-mena rezim
Syah didukung oleh SAVAK sebuah dinas polisi rahasia yang kejam.
Krisis politik terjadi di Iran ketika ratusan ribu orang turun kejalan
dalam peringatan 10 Muharram18 di kota suci Syi’ah pada 1 Desember 1978
18 Memperingati kematian Imam Hussain di padang pasir Karbala (asy-Syura).
29
dengan tuntutan kepada Syah untuk mundur dari pemerintahan. Peringatan
tersebut menjadi kerusuhan masal setelah tentara memblokir jalan-jalan dan
menembaki para demonstran. Peristiwa berdarah itu memicu terjadinya
pemogokan massal di seluruh Iran, yang menuntut Jendral Azhari dipecat
karena kebrutalannya menembaki masyarakat yang tidak berdosa. Pada tanggal
11-12 Desember 1978, digelar demonstrasi nasional yang diikuti sekitar 3 juta
orang di depan Avenue Syah (Istana tempat kerja Syah) menentang
pemerintahan.19 Keesokan harinya Syah memerintahkan tentaranya untuk
membubarkan massa dengan kekerasan. Perjuangan rakyat Iran berhasil
memaksa mundur Jendral Azhari pada tanggal 31 Desember 1978. Kemudian
Syah mengangkat Shapur Bahtiar sebagai Perdana Menteri.
Diangkatnya Bahtiar, tidak meredakan demonstrasi rakyat Iran. Rakyat
tetap menginginkan berakhirnya pemerintahan rezim Syah Pahlevi dan
menginginkan Khomaeni menjadi pemimpin Iran. Akhirnya, pada 3 Februari
1979, menjadi hari yang bersejarah, Khomaeni mengumumkan pembentukan
“Dewan Revolusi” dan meminta Bahtiar mengundurkan diri. Mundurnya
Bahtiar dari Perdana Menteri, maka berakhirnya dinasti Pahlevi sekaligus
tumbangnya kerajan Persi.20
C. Paradigma Pemikiran Ali Syari’ati
Ali Syari’ati sebagai intelektual sekaligus ideolog Iran ternyata
memiliki banyak paradigma dalam menyusun pemikirannya. Pemikiran
19 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 133-134. 20 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 133-134.
30
Syari’ati cenderung mengarah eklektisisme,21 tidak mentah-mentah mengambil
pemikiran tanpa melakukan seleksi secara kritis.
Selama tinggal di Paris, Ali Syari’ati bertemu dengan banyak orang
yang mempengaruhi persepsinya mengenai kehidupan dan cara pandang dunia:
dari militan, filsuf, akademisi, artis, penyair, musisi dan bahkan penjaga toko.22
Dengan sikap eklektiknya mampu memahami Iman Ali, Imam Hussain, Abu
Dzar, Jean Paul Sartre, Frantz Fenon, massignon dan Karl Marx. Oleh karena
itu, Syari’ati sering dikatakan banyak wajah, yang pada gilirannya membuat
orang keliru memahaminya.23
Ali Syari’ati dalam kepribadiannya memiliki tiga karakter yang
berbeda. Pertama, Ali Syari’ati seorang sosiolog yang tertarik pada dialektika
antara teori dan praktik; antara ide dengan kekuatan-kekuatan sosial; antara
kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Kedua, Ali Syari’ati seorang penganut
Syi’ah yang fanatik yang percaya bahwa Syi’ah revolusioner berbeda dengan
seluruh ideologi radikal lainnya. Ketiga, Ali Syari’ati seorang penceramah
umum (public speaker) yang memukau banyak orang, terutama kaum muda.24
Karakter tersebut memperjelas bahwa pemikiran Ali Syari’ati memiliki
paradigma yang multidimensi.
21 Eklektisme merupakan suatu sikap berfilsafat dengan seleksi, yakni dengan
menyelaraskan apa yang benar dari beberapa filsuf sambil membuang ajaran-ajaran yang keliru. Eklektisme dapat mengarah pada sinkretisme apabila dalam meminjam ide-ide filosofis tersebut tidak melakukan pengujian terlebih dahulu serta tidak dilihat dalam konteksnya. Lorens Bangus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 182.
22 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 181. 23 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 58. 24 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 58.
31
Paradigma Marxisme banyak digunakan Syari’ati untuk menjelaskan
perkembangan masyarakat. Perlawanan dan kritisisme terhadap kemapanan
politik dan agama hampir seluruhnya didasarkan pada pendekatan dan analisis
Marxisme meskipun Syari'ati memiliki sikap yang cenderung ambivalensi
terhadap Marxisme. Di satu sisi Syari'ati datang sebagai pembela Marxisme
namun disi lain membencinya. Salah satu pembelaannya terhadap Marxisme
ialah dengan membantah anggapan bahwa Marx merupakan seorang materialis
tulen yang memandang manusia sebagai makhluk yang tertarik kepada hal-hal
bersifat materi. Menurut Syari’ati, Marx jauh dari materialistik ketimbang
orang-orang idealis atau orang yang memandang diri orang beriman dan
relegius.25
Melalui Jabr-e Tarikh, Syari’ati membedakan pemikiran Marx sebagai
berikut:
1. Marx muda, sebagai seorang filosof atheistik yang mengembangkan
materialisme dialektis, menolak eksistensi Tuhan, Jiwa, dan
kehidupan akhirat.
2. Marx dewasa, seorang ilmuan sosial yang ingin membongkar
kepalsuan tentang bangaimana penguasa maupun pemilik modal
mengeksploitasi rakyat tanpa memikirkan kesejahteraan.
25 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 59.
32
3. Marx tua, seorang politisi yang mendirikan partai komunis. Marx tua
inilah yang dikritik Syari’ati sebagai “Marxisme Vulgar” yang
mengaburkan Marxisme ilmiah.26
Dari ketiga fese pemikiran Marx, Syari’ati cenderung menerima yang
kedua, yaitu gagasan Marx tentang perjuangan kelas. Syari’ati menerapkan
pemikiran marxis dalam melihat persoalan dalam masyarakat. Masyarakat
terbagi dalam kelas-kelas yang saling berkontradiksi, yaitu antara yang
menindas dan tertindas. Pemikiran marxis juga terlihat dalam pandangan
Syari’ati mengenai manusia dua dimensional yang terus berkontradiksi.
Melalui pemikiran kritis, Syari’ati melakukan kritik terhadap agama
statis (fatalisme) yaitu agama sebagai tradisi, ritual, simbol yang kaku yang
dikondisikan oleh para pemimpin keagamaan. Doktrin agama yang kaku
tersebut telah menciptakan suatu alienasi, yaitu dengan berlindung di balik
eksistensi keyakinan agama dan upacara-upacara yang sama-sama dijalankan
telah menciptakan suatu hubungan palsu antara yang diperas dan yang
memeras.27 Syari’ati memandang bahwa agama semacam itu tidaklah
revolusioner dalam menegakan keadilan dan pembelaan terhadap kaum
tertindas.
Ali Syari’ati menyatakan bahwa Islam yang benar adalah Islam yang
diwariskan Imam Ali, Hussain serta Abu Dzar. Sebagai penganut mazhab
Syi’ah, Syari'ati percaya bahwa Syi’ah-lah yang revolusioner dibandingkan
26 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 60. 27 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 42.
33
dengan Islam yang lain. Sejarah mazhab Syi’ah adalah sejarah semangat Islam,
jiwa yang telah menjadi korban badannya sendiri.28
Ali Syari’ati memandang bahwa teks-teks dilihat sebagai bahasa
simbolik yang selalu hidup dan memberikan pesan-pesan yang baru. Sehingga
Syari’ati sering berbicara simbol, misalnya Syari'ati menyimbolkan perjuangan
kelas sebagai konflik antara Qabil dengan Habil. Simbol Qabil sebagai kelas
penindas sementara Habil sebagai kelas yang tertindas. Syari'ati juga
menyimbolkakan penguasa tiran sebagai Fir’aun, orang yang memiliki
kekayaan dan memiliki watak kikir sebagai Karun, serta orang cerdik-pandai
religius gadungan sebagai Bal’am.
Dalam konsep manusia yang “menjadi” (human becoming), Syari’ati
banyak terpengaruhi oleh filsafat eksistensialisme. Syari'ati menaruh rasa
kagum terhadap eksistensialisme yang berbicara tentang kebebasan manusia,
dengan kesadaran diri dan kebebasan, manusia yang menjadi selalu bergerak
maju menuju kesempurnaan. Syariati mengemukakan bahwa masalah manusia
merupakan yang paling penting dari segala masalah.29
D. Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi
Ketika di Paris, Ali Syari’ati menghadiri kuliah-kuliah beberapa
profesor, yang karena satu alasan atau yang lain, dia katakan sebagai seseorang
yang menarik dan berguna.30
1. Louis Massignon
28 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 65. 29 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 3. 30 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 182.
34
Antara tahun 1960 dan 1962 Ali Syari’ati menjadi asisten Louis
Massignon seorang peneliti Islamologis beragama katolik. Bagi Massignon,
agama samawi merupakan anak dari ayah yang sama, yakni Ibrahim.
Sehingga monoteisme adalah agama-agama Ibrahim, seperti Yahudi,
Kristen, dan Islam, hanya terdapat perbedaan dalam landasan agamanya.
Setiap agama memiliki keimanan yang menyatukan tujuan manusia
seutuhnya. Massignon tetap mempertahankan pandangannya mengenai
kesatuan agama-agama Ibrahim sampai pada batasan bahwa dia dianggap
pecinta Islam dan mata-mata bagi Eropa dan Kristen.31
Massignon sangat mengutamakan perhatiannya terhadap kelompok
miskin, ketertindasan, dan keadilan. Masignon berkeyakinan bahwa
keadilan merupakan sebuah prinsip agama yang mendasar. Dan Syari’ati
memiliki pemahaman yang sama terhadap agama Islam yang membahwa
perubahan dan memiliki suatu prinsip keadilan. Dengan konsep monoteisme
dari Massignon, Syari’ati menelurkan makna monoteisme menjadi agama
yang memiliki satu tuhan (tauhid), agama yang dimaksud adalah Islam,
sedangkan agama-agama yang memiliki kepercayaan ganda atau banyak
disebut sebagai multiteisme atau Syirik dan Kufr.32
2. George Gurvitch
George Gurvitch seseorang profesor sosiologi di Universitas
Sorbonne. Selain sebagai profesor, Gurvitch juga termasuk sebagai seorang
komunis muda yang merupakan kader Lenin dan Trotsky. Sehingga dalam
31 Ali Rahnema, Ali Syari’ati Biografi Politik, hlm. 185. 32 Khairul Azhar Saragih, Pandangan Ali Syari’ati, hlm. 41-42.
35
kuliahnya, Gurvitch selalu menerangkan kontruksi-kontruksi ideologi dunia
dan pajang-lebar menerangkan tentang Marxisme. Meski bagi Gurvitch
definisi kelas sosial yang dirumuskan Marx tidak sempurna karena hanya
berdasarkan faktor ekonomi, sedangkan bagi Gurvitch definisi kelas harus
lebih komprehensif dan memiliki karakter yang banyak bukan sekedar
faktor ekonomi semata. Dalam hal lain, Gurvitch masih menggunakan
kerangka metodologis umum dari Marx dan juga mengkritisi beberapa
aspek kontruksinya.33
Dari Gurvitch-lah Syaria’ti belajar banyak tentang metodologi
Marxisme. Syari’ati ingin menginterpretasi kembali pengetahuan yang telah
diperoleh menurut persepsinya sendiri. Syari'ati berargumentasi bahwa kelas
sosial merupakan dampak dari kondisi ekonomi dan material kehidupan
sosial serta dampak keyakinan religius dan populer. Religius dan populer
dalam model kelas sosial yang dilakukan Syari’ati dapat dipandang sebuah
variasi konsep Gurvitch mengenai “psikologi sosial” dan “kekhususan
budaya’.34
3. Jacques Berque
Jaquer Berque adalah seorang Islamolog. Berque mengajarkan Ali
Syari’ati tentang permasalahan agama yang tidak hanya dilihat dari
normatifitasnya saja. Karena masalah tersebut bisa ditinjau dari perspektif
sosiologisnya. Selain itu, konsep Berque tentang degree de signification
(tingkat signifikansi), atau makna-makna yang nyata, membuat Syari’ati
33 Khairul Azhar Saragih, Pandangan Ali Syari’ati, hlm. 41-42. 34 Ali Rahnema, Ali Syari’ati Biografi Politik, hlm. 189.
36
lebih radikal mereintrepretasikan konsep–konsep yang terdapat dalam ajaran
Islam. Bagi Bebrque, kata-kata bisa membuat orang tertidur, maka perlulah
menginterpretasikan ulang agar makna dalam kata-kata bisa
ditransformasikan dari sebuah instrumen pasif menjadi instrumen yang
massif menuju perubahan sosial yang terarah.
Dalam hal lain, dia memberikan interpretasi ulang dalam kosa-kata
setiap muslim, yang selama ini telah meninabobokkan umat muslim dan
berupaya untuk membangunkan dari tidurnya, agar ia sadar terhadap
permasalahan yang ia hadapi. Kata-kata yang selama ini yang menimbulkan
kemalasan dengan konsep intidzor, atau menunggu Imam Mahdi secara
pasif, diubah menjadi makna menunggu secara massif. Begitu juga dengan
kata-kata dan konsep yang semakna dengan penyerahan, fatalisme,
kesalehan pribadi dalam doktrin penganut Syi’ah Iran, tiba-tiba
ditransformasikan kedalam konsep aksi yang dinamis dan berkekuatan.35
Dengan itulah, dari Jacques Berque, Ali Syari’ati menyerap wawasan
sosiologi Islam.
4. Frantz Fanon
Dalam kata pengantar untuk bukunya The Wretched of The Earth,
Sartre mengatakan:
“.... Fanon adalah orang pertama setelah Engels yang menerangkan proses sejarah dengan sangat terang benderang. Sartre mengibaratkan karya Fenon tersebut sebagai bom yang dipersiapkan oleh seorang manusia dari Dunia Ketiga- seorang yang berbicara tanpa izin kita, tanpa aturan-aturan kita, dan tanpa suara slogan-slogan kita. Namun kini dia berbicara, dan kita diam membisu. Alangkah hebatnya bahasa yang ia gunakan!. Ia membangkitkan rakyatnya melawan kita. (“Kaum
35 Ali Rahnema, Ali Syari’ati Biografi Politik, hlm. 192.
37
pribumi dan seluruh negara terbelakang, bersatulah!”). Fenon adalah pembuat bom ini, tetapi biarlah saya yang meledakannya di jantungnya abad yang kotor, memuakan, malang, dan korup - di jantungnya kota ini (Paris) sehingga dengan musnahnya jatung ini dunia dapat memperoleh kembali kebebasan dan kemanusiaannya!”.36
Pada saat bergejolaknya permasalahan di negara Aljazair, Fanon
aktif dalam revolusi tersebut. Semangat dan pemikiran cemerlang Fanon
merupakan landasan inspirasi bagi Syari’ati. Syari’ati mengatakan bahwa
dibawah pengaruh pemimpin yang memiliki jiwa pioner seperti Fanon, telah
memunculkan gerakan untuk “kembali kepada diri sendiri” 37 melawan
dominasi budaya Barat.
5. Jean-Paul Sartre
Konsep Sartre mengenai kebebasan kebebasan manusia yang
menimbulkan tanggung jawab untuk bangkit melawan segala bentuk
penindasan dan menjadikan bagian yang integral dari diskursus dan ideologi
baginya. Di Eropa dengan sistem kapitalisme yang berdampak pada
pembatasan terhadap potensi manusia, Satre hadir dan membawa
gelombang suara pembrotakan terhadapnya. Syari’ati mengatakan bahwa
masyarakat Barat pada umumnya membutuhkan revolusi gaya Sartre dalam
membebaskan manusia dari nafsu konsumerisme dan perilaku hedonistis.38
Maka Syari’ati kagum terhadap konsep eksistensialisme yang di
36 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 102. 37 Semboyan yang sering kemukakan oleh banyak intelektual Afrika adalah sebagai
berikut: “Kembali kepada diri sendiri dan bersadar kepada tradisi bangsa dan sejarah.” Inilah cara untuk melawan dunia Barat yang menganggap ras kulit hitam menyatu dengan ketidakkreatifan budaya dan yang tidak pernah menjadi pencipta bagi kebudayaannya sendiri. lihat catatan kaki: Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hal. 92.
38 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 33.
38
ungkangkan oleh Sartre. Ia begitu menghormati Sartre sebagai manusia
yang tercerahkan. Syari’ati mengemukakan bahwa Sartre, yang filsafat dan
kepribadianya sangat dihormati tidak akan dikecam berdasarkan keyakinan
ideologinya sendiri.39
Sebagai tokoh yang kontroversial, Syari'ati tidak sepenuhnya meniru
konsep eksistensialisme gaya Sartre. Syari'ati mengangap pandangan Sartre
masih berdasarkan materialisme dan ateis meski terdapat kebebasan.
Syari’ati beranggapan eksistensialisme tersebut akan gagal untuk mencapai
tujuannya untuk kesejahteraan masyarakatnya sehingga Syari'ati
merekonsiliasikan konsep eksistenislisme yang di dalamnya terdapat
keimanan kepada Tuhan, agar adanya arahan moral dan etika untuk tindakan
individu yang bebas dan memiliki kesadaran.40
E. Karya-karya Ali Syari’ati
Mengenal seorang Intelektual Muslim progresif seperti Ali Syari’ati
belumlah cukup memadai dengan mempelajari dan membaca biografinya.
Untuk mengenal lebih jauh tentang sosok Syari’ati, perlulah menganalisis
karya-karya dan buah pikirannya yang bermanfaat sebagai bahan refleksi sosial
kehidupan masyarakatnya. Di samping karyanya yang sangat banyak baik
dalam bentuk tulisan maupun hasil ceramah, karya Syari’ati termasuk karya
serius yang memerlukan analisis tajam untuk dapat mencapai pemahaman
sebagaimana yang dikehendaki peneliti sendiri. Di bawah ini, beberapa karya
Syari’ati yang peneliti uraikan secara singkat.
39 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 33. 40 Ali Rahnema, Ali Syari’ati Biografi Politik, hal. 194.
39
Abu Dzar: Suara Parau Menentang Penindasan, sebuah karya biografi
seorang pencari kebenaran, pembela hak-hak kaum tertindas, organiser kaum
jelata untuk berjuang melawan tirani, para pemuja uang dan para aristokrat.
Syari’ati hendak menciptakan simbol perjuangan kaum tertindas dalam tradisi
Islam. Abu Dzar seorang muslim yang revolusioner yang memiliki garis utama
perjuangannya yaitu perjuangan melawan diskriminasi golongan dan
menegakan keadilan.41
Agama versus Agama, sebuah karya yang yang berani untuk
menjelaskan bahwa sepanjang sejarah, agama selalu berperang dengan agama.
Yakni, monoteisme sebagai agama yang percaya bahwa Tuhan itu Esa
berjuang melawan multiteisme yang meyakini bahwa banyak Tuhan. Syari’ati
dengan persepktif sosiologis, menyatakan bahwa agama multiteisme menyakini
Tuhan itu harus banyak sehingga banyak pula golongan dalam masyarakat.
Multeisme memiliki misi membuat rakyat bersikap fatalis sehingga ketika ia
menjadi golongan miskin, ia menerimanya dengan sepenuh hati. Berbeda
dengan agama multiteisme, monoteisme mengumandangkan bahwa Tuhan
adalah pendukung orang-orang yang tertindas dan tertekan.42
Tugas Cendikiawan Muslim, karya ini merupakan rujukan utama dalam
penelitian. Pembicaraan seputar manusia dan persoalannya mengisi bab-bab
dalam karya ini. Diantaranya bab mengenai manusia dan Islam yang
menjelaskan manusia sebagai makhluk dua dimensional. Manusia dua
41 Ali Syari’ati, Abu Dzar: Suara Parau Menentang Penindasan, cet. I (Bandar Lampung:
Penerbit YAPI, 1987), hlm. 39.
42 Ali Syari’ati, Agama versus Agama, cet. I, terj. Afif Muhammad dan Abdul Syukur
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 39.
40
dimensional memiliki dua kutub dan kecendrungan yang saling berlawanan,
yang satu membawa ke arah kehinanan dan satunya membawa kearah
kebaikan. Di sinilah letak kebebasan manusia, dalam arti bebas memilih ke
mana akan bergerak. Pada bab lain, Ali Syari’ati menjelaskan bahwa untuk
menjadi manusia yang bebas ternyata membutuhkan perjuang melepaskan diri
dari pelbagai penjara manusia. Untuk terbebas dari penjara manusia, manusia
harus memiliki ideologi (Islam). Karya ini ditutup dengan peran intelektual
dalam masyarakat, bahwa kaum inteltual harus memiliki tanggung jawab
sosial, membangkitkan dan membangunkan kesadaran masyarakat yang
tertindas.
Membangun Masa Depan Islam, karya ini memuat dua pertanyaan
besar dalam strategi sosial untuk membebaskan masyarakat dari pengaruh
dominan tata sosial dan status quo. Yakni pertanyaan “dari mana kita mesti
mulai dan apa yang harus dilakukan?”. Syari’ati mengemukakan bahwa untuk
membebasakan dan membimbing rakyat harus dimulai dengan “agama”
(gerakan pembaharuan Islam). Kemudian yang harus dilakuakan adalah
revolusi intelektual dan kebangkitan kembali Islam, suatu gerakan budaya dan
ideologis yang berdasarkan atas landasan-landasan terdalam dari keyakinan.
Karya Ali Syari’ati juga telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Diantaranya karya-karyanya ialah:
1. Abu Dzar: Suara Parau Menentang Penindasan, Bandar Lampung:
Penerbit YAPI, 1987.
41
2. Agama Versus Agama, terj. Afif Muhammad dan Abdul Syukur,
Bamdung: Pustaka Hidayah, 1994.
3. Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amien Rais, Yogyakarta: Shalahuddin
Press, t.t.
4. Membangun Masa Depan Islam, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan,
1989.
5. Haji, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1997.
6. Islam Agama Protes, terj. Satrio Pinandito, Bandung: Pustaka Hidayah,
1996.
7. Pemimpin Mustad’afin, Sejarah Panjang Melawan Penindasan dan
Kezaliman, Bandung: Muthahhari Paperbacks, 2001.
8. Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya, Husain Anis
Al-Habsy, Bandung: Mizan, 1989.
9. Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. Nasrullah dan Afif Muhammad,
Bandung: Mizan, 1995.
10. Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, terj. Syafiq Basri dan
Haidar baqir, Bandung: Mizan, 1992.
11. Peran Cendekiawan Muslim, Mencari Masa Depan Kemanusiaan, Sebuah
Wacana Sosiologis, Tim Jama’ah Shalahuddin, Yogyakarta: Shalahuddin
Press, 1985.
12. Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat, terj. Afif Muhammad,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
42
13. Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, terj. Afif Muhammad,
Bandung: Pustaka Hidayah. 1995.
14. Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Muhyudin, Yogyakarta: Ananda,
1982.
15. Fatimah Az-Zahra: Pribadi Agung Putri Rasulullah SAW, terj.
Muhammad Hashem Assegaf, Jakarta: Yayasan Fatimah, 2001.
16. Panji Syahadah, Tafsir Baru Islam: Sebuah Pandangan Sosiologis, Tim
Shalahuddin, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1986.
17. Rasulullah SAW, Sejak Hijrah Hingga Wafat: Tinjauan Kritis Sejarah
Nabi Periode Madinah, terj. Nasrullah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
18. Do’a Sejak Ali Zainal Abidin Hingga Alexis Carrel, terj. Husain Anis Al-
Habsy, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995. []
43
BAB III
MANUSIA MENURUT ALI SYARI’ATI
A. Kategori Manuisia
Pada umumnya, manusia sebagai pribadi memiliki dua unsur yang
esensial, yaitu ruh dan badan. Secara sistematis pandangan-pandangan
demikian memang telah ada semenjak zaman Yunani klasik, sampai kemudian
diadopsi oleh para pemikir muslim Arab. Tentu saja konsep manusia yang
mereka paparkan merupakan usaha menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
berkaitan dengan manusia. Ajaran-ajaran filsafat Yunani klasik, terutama
Aristotelianisme, Platonisme dan Neo-platonisme oleh para filosof muslim
dikembangkan sedemikian rupa guna menjelaskan konsep-konsep dasar Islam,
seperti: hakikat manusia, asal manusia, tubuh, ruh dan sebagainya. Seperti
halnya Ibnu ‘Arabi (1165-1240) yang terkenal dengan konsep insa>n kamil,
dimana manusia mencankup dua salinan, yakni salinan lahir dan salinan batin.1
Menurutnya perpaduan dari dua substansi (Tuhan dan citra alam semesta)
tersebut melekat pada Adam.
Ali Syari’ati telah mencurahkan segala usaha dan pikirannya untuk
memahami apa dan bagaimana manusia. Sebagai seorang muslim, tentu
pemikirannya tidak terlepas dari paradigma Islam sehingga ketika mengkaji
manusia Syari’ati beranjak dari teks (al-Qur’an) mengenai penciptaan manusia.
Syari’ati menambahkan bahwa semua ajaran yang terdapat dalam kitab suci
1 Mesataka Takeshita, Insan Kamil; Pandangan Ibnu ‘Arabi, terj. Harir Muzakki,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hlm. 55.
44
(al-Qur’an) dan suhuf Ibrahim tertulis dalam bahasa simbolik, suatu
komunikasi yang menyatakan maknanya lewat simbol-simbol dan imaji.
Muhammad Iqbal dalam bukunya, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam, menjelaskan bahwa Adam merupakan sebuah konsep dan
bukan manusia pertama.2 Kejatuhan Adam dari surga mereupaka era
kebangkitan manusia, yakni kebangkitan dari keadaan primitif secara naluriah
menuju ke pemikiran sadar tentang diri manusia.3 Artinya, pendapat Iqbal
mengenai sosok Adam merupakan simbol tentang kebangkitan manusia
sebagai makhluk bebas dan kreatif.
Seperti halnya Iqbal, Syari’ati beranggapan bahwa pemeluk suatu
keyakinan tidak terbatas pada suatu generasi, sehingga bahasa yang digunakan
untuk menyampaikan pesan-pesannya harus memakai bahasa simbolik yang
tidak akan pernah kehabisan makna. Penciptaan Adam sebagai manusia
pertama juga memiliki makna simbolik, karena hingga sekarang kisahnya tetap
memiliki nilia (value). Syari’ati mempunyai beberapa kategori seputar konsep
manusia, yaitu: khalifah, manusia dua dimensional, insan dan manuisa
tercerahkan. Keempatnya memiliki makna berbeda namun saling berhubungan
satu sama lain.
1. Khalifah
Ali Syari’ati mengajukan pertanyaan “bagaimanakah Islam
memandang penciptaan Adam” dalam usahanya mendefinisikan manusia.
2 Muchasin, Asal Usul Manusia Sebuah Pengantar dalam Muhammad Muhyidin, Asal
Usul Manusia (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), hlm. 15.
3 Muhammad Muhyidin, Asal Usul Manusia (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), hlm. 130.
45
Menurut Syari’ati, Islam menempatkan posisi manusia sebagai makhluk
yang sempurna dibandingkan makhluk yang lain, manusia merupakan
makhluk paling superior diantara makhluk-makhluk ciptaan Tuhan.4 Sifat
superior tersebut dibuktikan dengan terplihnya Adam sebagai khalifah di
bumi, dan sesungguhnya manusia dihimbau agar “menyesuaikan sifatnya
dengan sifat-sifat Tuhan”.5 Tuhan telah memberikan pengetahuan kepada
manusia yang tidak diberikan kepada malaikan maupun setan agar
menyesuaikan diri dengan Tuhan Yang Maha Tahu. Dengan ilmu
pengetahuan manusia memperoleh kesadaran-diri, posisi manusia di alam
semesta, dan filsafat –yakni, penyelidikan terhadap hakekat pokok dari
realitas. Oleh karena itu hanya manusia yang berilmu –berpengetahuan yang
mengetahui keagungan Tuhan.
Pengetahuan pertama dari “Guru Pertama” (Tuhan) bagi manusia,
yakni ketika Tuhan mengajarkan kepada Adam mengenai nama-nama
benda. Syari’ati menyatakan bahwa pengetahuan menjadi sumber
keunggulan unik manusia.6 Sebagaimana yang dikatakan oleh Musa
Asy’arie: “nama-nama benda adalah konsep-konsep mengenai benda dan
konsep-konsep itu merupakan produk dari kegiatan kefilsafatan.”7
Dikatakan unik karena manusia dengan pengetahuan berpotensi mengenal
4 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 9. 5 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm.59. 6 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm.10. 7 Musa Asy’arie, “Filsafat Islam Suatu Tinjauan Ontologis” dalam Irma Fatimah (ed.),
Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif (Yogyakarta: LESFI, 1992), hlm. 20.
46
Tuhan lebih dalam –Charris Zubair mengutip Hamdani untuk menjalaskan
hal itu;
Fitra rasio, berfungsi sebagai instrumen insan di dalam mengembangkan dan memelihara hak-hak Allah, memberikan pertimbangan-pertimbangan konstruktif dalam menyesejahterakan ciptaan-ciptaan Allah di alam semesta. Memikirkan serta merenungkannya secara seksama betapa besar dan agung-nya yang sempurna, indah dan agung. Sempurna mengandung segala ilmu dan pengetahuan yang berasal dari sifat kamal-Nya; mengandung aneka keindahan yang berasal dari sifat jamal-Nya; serta mengandung kebesaran yang tidak terhingga, yang berasal dari sifat jalal-Nya.8
Pengetahuan tersebut diperoleh dari persepsi-persepsi yang didapat
sepanjang hidup manusia melalui indera maupun pengalaman yang
diperoleh dan dikumpulkan oleh akal. Dan selanjutnya, manusia kemudian
tampil sebagai pemberi nama bagi dunianya sendiri. Ilmu pengetahuan
dibutuhkan bagi manusia tidak lain untuk menopang peradaban dan
kebudayaannya. Tuhan telah memberi amanat kepada manusia untuk
mengelola dan memberdayakan alam untuk mencari tahu tentang hukum-
hukum alam semesta dan kebenaran umunya yang berlaku di dunia serta
mensejahterakan umat manusia –dengan melakukan semua itu –manusia
semakin dekat dengan Tuhan. Syari’ati menyatakan bahwa: “dalam memilih
manusia sebagai penggantiNya di atas bumi, Tuhan menganugrahkan status
spiritual tertinggi bagi manusia dan dengan demikian mempercayakan
padanya suatu misi suci di alam raya ini.”9
8A. Charris Zubair,Aktualitas Filsafat Islam Di Masa Kini Dan Masa Depan, dalam Irma
Fatimah (ed.), Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif (Yogyakarta: LESFI, 1992), hlm. 112.
9 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,hlm. 6-7.
47
Islam tidak menggolongkan manusia dalam kelompok binatang
(animal) yang tidak memiliki pengetahuan, selama manusia
mempergunakan akalnya. Namun sebaliknya, apabila manusia tidak mampu
mempergunakan akal dan berbagai potensi pemberian Tuhan dengan
optimal, secara otomatis derajatnya turun menjadi hewan bahkan lebih
rendah dengan darinya. Karunia intelektual inilah yang menempatkan
manusia sebagai makhluk sempurna dibandingkan makhluk yang lain
termasuk para malaikat. Karena kecerdasan intelektual manusia, Tuhan
memerintahkan kepada seluruh malaikat untuk sujud kepadanya. Sujudnya
para malaikat di hadapan Adam membuktikan bahwa dalam pandangan
Islam keluhuran esensial manusia dan keunggulannya atas para malaikat
terletak pada ilmu pengetahuan, bukan pada pertimbangan rasial. Hal inilah
yang menurut Ali Syari’ati merupakan arti sebenarnya dari humanisme.10
2. Manusia Dua Dimensional
Dalam Islam, penciptaan Adam dimulai ketika Tuhan menyatakan
kepada para malaikat bahwa Dia ingin menciptakan wakil-Nya di muka
bumi. Kebijakan Tuhan menempatkan manusia sebagai makhluk superior
10 Menurut Lorens Bangus dalam “Kamus Filsafat” , Humanisme mempunyai arti: a) menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi; b) menganggap individu sebagai nilai terakhir bagi manusia; c) mengabdi terhadap perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional tanpa berpacu pada konsep-konsep adikodrati. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 295. Sementara menurut Syari'ati sendiri, humanisme ialah aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimiliki manusia ialah keselamatan dan kesempurnaan hidup. Humanisme mendasarkan prinsip-prinsipnya atas pemenuhan kebutuhan pokok hidup manusia. Dewasa ini, lanjut Syari'ati, terdapat empat cabang dalam humanisme, yaitu: Liberalisme Barat, Marxisme, Eksistensialisme dan Agama. Ali Syari'ati, Humanisme antara Islam dan Mazhab Barat, terj. Afif Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1992), hlm. 39.
Lebih lanjur Syari'ati menyatakan bahwa alasan kuat mengapa agama termasuk dalam kategori humanisme, pasalnya agama telah “memberi petunjuk terhadap manusia menuju kebahagiaan abadi. Dengan demikian agama terbukti memiliki falsafah tersendiri mengenai manusia. Ali Syari'ati, Humanisme antara Islam, hlm. 44.
48
diantara ciptaan-Nya, yang kemudian membuat para malaikat bertanya
apakah Tuhan akan menciptakan makhluk yang akan menumpahkan darah,
berbuat kejahatan, menyebarkan kebencian dan balas dendam. Namun
Tuhan mengatakan bahwa Ia lebih mengetahui apa-apa yang mereka tidak
ketahui. Kemudian Tuhan mulai menciptakan manusia dari bentuk yang
paling rendah yaitu tanah liat dan kemudian Ia tiupkan sebagian ruh-Nya
sendiri sebagai bentuk yang paling tinggi. Dengan kata lain, manusia terdiri
atas dua hakikat, yaitu material dan spiritual. Setidaknya ada tiga referensi
yang dikutip oleh Syari’ati dalam kitab suci al-Qur’an untuk menunjukan
desain penciptaan manusia, yaitu sebagai berikut:
“Kami telah menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari sekepal daging, yang sempurna kejadiannya atau yang tidak sempurna kejadiannya, agar Kami dapat menerangkan kekuasaan Kami padamu” (Qur’an, XXII: 5).
“Bukankah Kami telah menjadikanmu dari air yang hina? Dan meletakannya di tempat penyimpanan yang teguh?” (Qur’an, LXXVII: 20).
“Dialah yang telah menyempurnakan segala sesuatu yang diciptakannya dan ia telah memulai pembuatan manusia dari tanah, kemudian ia jadikan turunan (manusia) itu dari air mani, kemudian ia sempurnakan kejadiannya dan ia tiupkan padanya sebagian dari ruh (spirit)Nya ... ”(Qur’an, XXXII: 7).11
Syari’ati hendak menyelusuri misteri manusia melalui pendekatan
simbolik. Analisis Syari’ati terhadap teks menunjukkan bahwa penciptaan
manusia sebagai wakil-Nya dari tanah yang merupakan bentuk yang paling
rendah, kotor dan hina. Sedangkan sebagian ruh Tuhan yang ditiupkan
merupakan Spirit Maha Sempurna, paling suci diantara seluruh entitas yang
ada dalam alam semesta. Dengan demikian manusia memiliki dua hakikat
11 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,hlm. 7.
49
yang berbeda, yaitu tanah liat dan ruh Tuhan. Dua hakikat tersebut memiliki
dimensi yang berbeda dan cenderung saling bertentangan. Kemudian
Syari’ati menyimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk dua
dimensional yang memiliki dua arah dan kecendungan –yang satu
membawa ke hakikat yang rendah –dimana seluruh dorongan dan gerak
kehidupan yang membeku. Tetapi dimensi spiritualnya, cenderung naik ke
puncak spiritual tertinggi, yaitu ke Dzat Yang Maha Suci.12 Gabungan dua
kutub ini berpadu dalam ke-diri-an makhluk yang bernama manusia, yaitu
kutub yang satu dipertentangkan dengan kutub yang lain. Syari’ati dalam
memunculkan gagasan mansuia dua dimensional, ia menggunakan metode
dialektika13 yang segala sesuatu terdapat hukum kontradiksi sebagai titik
sentralnya. Syari’ati berpandangan bahwa karena selalu ada pertentantang
diantara dua kutub, maka manusia dua dimensional memiliki potensi
terjatuh pada lubang kehinaan atau menuju kearah kemuliaan. Di sinilah
terlihat bahwa manusia dua dimensional memiliki kebebasan dalam memilih
kutub mana yang akan dituju. Kebebasan ini juga yang membedakan
manusia dengan makhluk-makhluk yang lain dan kebebasan inilah pula
yang akan menentukan masa depan manusia. Ali Syari’ati mengungkapkan
sebagai berikut:
12 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,hlm. 8. 13 Dalam logika klasik, dialektika berarti suatu metode diskusi dan cara berdebat yang
didalamnya ide-ide kontadiktif dan pandangan-pandangan yang bertentangan dilontarkan. Dalam dialektika modern menjadi suatu metode untuk menerangkan realitas dan hukum umum alam yang berlaku di pelbagai realitas dan macam-macam eksistensi. Lihat dalam Baqir ash-Shadar, Filsafatuna, cei. II, terj. Nur Mufid (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), hlm. 149.
50
Pada hakekatnya dua kutub itu memungkinkan untuk memiliki kebebasan memilih antara dua pilihan, yaitu antar kutub suci dan kutub kehinaan, yang keduanya berada dalam dirinya, dengan kekuatan potensial yang mengubah dan kekuatan yang menarik. Perjuangan tanpa henti, perjuangan dan perperangan terus-menerus yang dilakuakan oleh kedua kutub itu dalam diri manusia akhirnya akan memaksa manusia untuk memilih salah satu kutub tersebut dan pilihan inilah yang akan menentukan nasibnya. 14
Setiap pilihannya merupakan cermin kebebasan yang akan
menentukan nasibnya sendiri. Dengan demikian kata “bebas” menunjuk
kepada manusia sendiri yang mempunyai kemungkinan untuk memberi arah
dan isi kepada perbuatannya. Manusia dua dimensional merupakan makhluk
yang memiliki kehendak bebas dan kemampuan menentukan pilihan dan
menciptakan masa depan sebagai usaha menentang nasib yang ditentukan
oleh alam.
Dalam konsep manusia dua dimensional ini, Syari’ati lebih dekat
dengan aliran dualisme. Dualisme memandang bahwa kenyataan sejati
merupakan perpaduan antara materi dan ruh. Yang menarik adalah Syari’ati
memposisikan dua substansi tersebut selalu dalam keadaan berdialektika –
salaing berkontradiksi, saling menegasikan sehingga memunculkan suatu
kualitas. Kualitas inilah yang disebut Syari’ati sebagai kebebasan.
3. Insa>nInsa>nInsa>nInsa>n
Ali Syari'ati membagi manusia menjadi basya>r dan insa>n. Dalam
cerita fiksi, Syari’ati memberi gambaran menarik tentang basya>r. Dalam
cerita itu disebutkan sarjana dari bumi datang ke planet Mars dan mengikuti
seminar profesor tentang hasil penelitian di bumi. Diktakan oleh profesor
Mars bahwa manusia merupakan makhluk yang sangat aneh, ia sangat
14 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,hlm 8.
51
kejam, dan gemar berperang. Mengenai makanan, manusia memakan
makanan enak dan segar, ketika sakit ia mendatangi dokter. Menurut Ali
Syari’ati, walaupun gambaran terlihat nista, tetapi ini adalah gambaran atau
definisi sebenarnya dari basya>r.15
Konsep basya>r nampaknya memiliki kesamaan dengan konsep
being-in-itself (ada-dalam-dirinya), dalam filsafat eksistensialisme Jean-Paul
Sartre. Sartre menyebutkan being-in-itself tidak mempunyai masa silam,
masa depan, tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Dengan
demikian being-in-itself merupakan sesuatu yang serba tak berarti apa-apa
dan serba sia-sia dalam dirinya sendiri.16 Being-in-itself sebagaimana basya>r
tidak akan mengalami perubahan, seperti benda yang tidak memiliki
kehendak dan kebebasan. Artinya, basya>r memiliki definisi yang sama
sepanjang sejarah yaitu memiliki karakteristik dan perilaku yang sama, tidak
berkembang dan tidak mengalami kemajuan secara kualitatif. Syari’ati
mengemukakan pendapatnya sebagai sebagai gambararan perilaku basya>r,
sebagai berikut:
Dewasa ini kejahatan, kepalsuan, kelancungan, pembunuhan sadisme dan kekejaman di muka bumi tidak saja sama, tetapi malahan lebih banyak dari masa lampau. Semua ini kelihatannya merupakan pengejawantahan basyar pada bentuk yang sudah begitu pasti, makhluk manusia dalam dimensi fisisnya yang tidak berubah-ubah.17
15 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 66-67. 16 Dwi Siswanto, Humanisme Eksistensial Jean-Paul Sartre, (Yogyakarta: Philosophy
Press, 2001), hlm. 40.
17 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 68.
52
Sementara dimensi insa>n didefinisikan sebagai kualitas-kualitas ideal
dan luhur. Kemudian untuk mencapai kualitas ideal ini manusia senantiasa
harus “men-jadi” (becoming) yang terus bergerak maju menuju
kesempurnaan. Syari’ati menjelaskan bahwa tidak semua manusia adalah
insa>n, walaupun dalam batas tertentu mereka memiliki potensi meng-
insa>n.18 Ali Syari’ati menjalaskan gagasan men-jadi sebagai proses evolusi
dengan menafsirkan kata “illahi ” yang membedakan dengan tafsiran
sufisme:
Dalam ayat Qur’an “bahwa segalanya sesuatu kembali ke asalnya”, azas men-jadi ini menunjukan evolusi tanpa henti dari manusia ke arah Yang Tanpa Batas. Kata “illahi ” pada asalnya berarti kepadaNya, bukan di dalam-Nya. Dan ini adalah gagasan pokok saya tentang men-jadi: yakni bergeraknya manusia secara permanen ke arah Tuhan, ke arah kesempurnaan Ideal. Sedangkan sufisme yang menafsirkan illahi sebagai di dalamNya, menyatakan bahwa manusia dapat menjangkau Tuhan, sebagaimana di teriakan oleh Hallaj: “Saya Kebenaran”. Sufisme nampaknya memandang Tuhan sebagai suatu titik yang pasti, suatu wilayah tertentu, di mana kaum sufi merindukan dan berusaha menyatu.19
Menurut Syari'ati, insa>n merupakan kebalikan dari basya>r, yakni
manusia yang menggugat takdirnya sebagai manusia. Konsep insa>n menurut
Syari'ati, merupakan cara beradanya manusia (eksistensi) di muka bumi.
Insa>n dalam istilah Sartre adalah being-for-itself –yang menunjuk cara
beradanya manusia atau eksistensi manusia di muka bumi –ada yang
berkesadaran.20 Lebih lanjut Sartre menjelaskan, bahwa sadar-diri yang
demikian itu mengandung arti bahwa ia telah meniadakan dirinya sendiri,
18 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 64. 19 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 68-69. 20 Dwi Siswanto, Humanisme Eksistensial Jean-Paul Sartre, hlm. 41.
53
sebab ia telah bergerak menuju kemungkinan lain dari dirinya.21 Sehingga
eksistensi manusia harus di isi dengan esensi melalui proses perkembangan
dari "being" (basya>r) ke "becoming" (insa>n).
Pasalnya dengan berkesadaran, manusia memiliki kehendak dan
kebebasan dalam menentukan pilihan serta terus bergerak aktif sebagai
makhluk yang “men-jadi”. Dimensi manusia “men-jadi” yang menegasikan
adanya “basya>r” –dengan memiliki tiga sifat (atribut) yang melekat dan
saling berkaitan satu sama lain, ketiga atribut tersebut ialah: kesadaran diri,
kemauan bebas dan kreativitas (daya cipta). Berikut ini penjelasan singkat
Syari’ati mengenai ketiga atribut insa>n, yakni:
a. Kesadaran Diri
Ali Syari’ati menampilkan tiga formula untuk menunjukan
kesadaran diri pada manusia. Pertama, gagasan Descartes tentang cogito
ergo sum (saya berfikir, karena itu aku ada) yang mendasarkan prinsip
kesadaran pada pikiran. Kedua, gagasan Ander Gide yang mendasarkan
azas kesadaran pada perasaan: “saya merasa, karena itu saya ada”.
Kemudian konsep yang terakhir yang mendasarkan pada prinsip
kesadaran, Ali Syari’ati menunjukan gagasan Albert Camus: “saya
memberontak, karena itu saya ada”. Menurut Syari’ati, formula dari
Albert Camus telah memperlihatkan proses men-jadi secara dramatis.22
Dengan membrontak, manusia ingin menyatakan bahwa dirinya ada
(eksis) dan berbeda dengan makhluk lain yang statis. Lebih lanjut,
21 Dwi Siswanto, Humanisme Eksistensial, hlm. 40. 22 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 69-70.
54
Syari’ati menjelaskan definisi tentang kesadaran sebagai berikut:
“manusia adalah satu-satunya makhluk di dalam alam yang telah meraih
kesadaran. Kesadaran itu adalah pengalamannya tentang kualitas dan
esensi dirinya, dunia dan hubungan dengan dirinya dengan dunia dan
alam.”23
Ali Syari’ati berpendapat bahwa hanya manusialah yang
berpotensi memiliki kesadaran diri. Hanya manusia sendiri yang mampu
menyelami esensi dari mana mereka berasal. Manusia mampu memahami
realitas dunia dan hubungan antara keduanya. Dengan kesadaran ini,
telah membawa proses evolutif manusia dari tingkat terendah menuju
spritual yang tinggi. Syari’ati menyebutkan bahwa kesadaran diri dengan
demikian adalah ciri pertama manusia yang memungkinkannya pergi
melampaui insting hewaniahnya.24
b. Kehendak Bebas
Untuk menjelaskan bahwa manusia memiliki kebebasan, Syari’ati
mengambil peristiwa kejatuhan Adam di bumi. Keutamaan Adam yang
membedakan dengan makhluk lain adalah kebebsasan dan iradahnya.
Adam merupakan satu-satunya makhluk yang dapat melawan dorongan
insting, memberontak sebuah ketetapan dan mampu memilih apa pun
yang ia inginkan. Kemudian Syari’ati mengatakan bahwa:
Adam adalah satu-satunya malaikat yang dapat melakukan “dosa” dan “bertaubat”; ia dapat “membrontak” atau “patuh” kepada Allah. Di
23 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 71-72. 24 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 72.
55
dalam hal ini “membrontak” berarti memiliki kebebasan, termasuk kebebasan untuk mengambil keputusan-keputusan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Bersamaan dengan kebebasan itu ia pun memiliki rasa “tanggung jawab” dan “kesadaran”.25
Kejatuahan Adam di bumi merupakan era baru kebangkitan
manusia, Syari’ati sependapat dengan Maulana al-Din Rumi, bahwa
manusia memiliki kehendak bebas (free will).26 Yakni ketika Tuhan
menawarakan kepada seluruh makhluk siapakah yang sanggup
mengemban amanat-Nya, seluruh makhluk terdiam dan mengatakan
tidak sanggug hanya manusia saja yang sanggup mengembannya. Sifat
kehendak bebas Tuhan mengalir pada diri manusia, yaitu kemauan dan
keberanian yang agung dari manusia dalam mengemban amanat Tuhan.
Kehendak bebas yang dimiliki manusia itulah yang dapat menjadi potensi
penghubung kedekatannya kepada Tuhan, tetapi pada saat yang lain
dapat terjerembab dalam lembah yang hina. Kebebasan bagi manusia
memiliki fungsi signifikan, yakni untuk memilih jalan hidup, baik jalan
Tuhan maupun jalan setan.
Sejatinya kebebasan merupakan wujud dari tidak adanya paksaan
dari pihak di luar dirinya dan berhak untuk memilih mana yang ia
kehendaki. Manusia dalam menuju proses men-jadi, kebebasan
merupakan suatu keharusan. Dengan demikian kebebasan merupakan
kegiatan aktif dalam menentukan dan memberi arah pada masa
25 Ali Syari’ati, Haji, hlm. 62-63. 26 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,hlm. 10.
56
depannya. Bagi Syari’ati, manusia merupakan makhluk satu-satunya
yang memiliki kebebasan.
Menurut Syari’ati, manusia berbeda dengan hewan yang hanya
mengandalkan dan mengikuti instingnya. Dengan instingnya, hewan
terus-menerus mengikuti kemauan dirinya dan alam. Insting dikatakan
bukan sebagai kebebasan dikarenaka tidak terdapat peran kehendak.
Berbeda dengan hewan, manusia memiliki kebebasan untuk memilih
yang berlawanan dengan dorongan insting. Manusia memiliki kempuan
untuk memberontak pada tatanan alam yang menguasainya. Ia juga
mampu melawan keinginan-keinginan biologis maupun psikologisnya
sendiri.27 Apa yang manusia pilih juga dapat berlawanan dengan
masyarakat sosial. Misalnya dalam kasus dewasa ini marak terjadi
korupsi, suap, penyalahgunaan kekuasaan yang melahirkan penderitaan.
Disisi lain ada yang tertindas, menderita, terpinggirkan yang
menginginkan keadilan dan kesejahteraan. Ia dapat memilih kutub mana
yang ia kehendaki.
Kesadaran dan kebebasan yang dimiliki oleh mansuia akan
membawa konsekuensi-konsekuensi padanya. Manusia disebut bebas
kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab
atas perbuatannya. Syari’ati menegaskan bahwa di atas bumi ini ia
(manusia) merasakan tanggung jawab atas diri dan kehidupannya.
Artinya, manusia mempunyai tanggug jawab besar atas kebebasan yang
27 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 72.
57
telah ia miliki. Magnis-Suseno dalam buku “Etika Dasar” menyatakan,
bahwa kesadaran dan tanggung jawab pribadi terhubung dengan sikap
dan tindakan manusia dalam mengisi ruang kebebasan yang
dimilikinya.28 Kerena setiap orang terikat (bertanggung jawab) atas apa
yang dilakukannya. Dan seandainya tidak ada kebebasan, maka sirnalah
tanggung jawab tersebut. Sehingga Ali Syari’ati menegaskan bahwa
kebebasan manusia untuk memilih adalah ciri kedua yang unik.29
c. Kreativitas (Daya Cipta)
Dimensi ketiga yang melekat pada insa>n menurut Syari’ati adalah
daya cipta. Dengan daya cipta manusia mulai mencipta apa-apa yang
belum tersedia di alam. Dan dengan kreativitas, manusia selalu
memperbaharui seni pembuatannya. Ali Syari’ati mengemukakan sebagai
berikut:
Manusia lebih dari sekedar makhluk pembuat alat, sebagaimana ia sering didefinisikan; ia pencipta dan pembuat barang-barang yang belum terdapat di dalam alam. Sebabnya mengapa ia membuat dan menyempurnakan seni membuat barang-barang adalah karena ia mengetahui bahwa tidak semua keinginannya dapat dipuaskan dengan apa yang telah terdapat pada alam.30
Dimasa lalu untuk mempertahankan hidup, manusia harus
berjuang melawan keganasan alam. Dengan alat sederhana dari batu dan
tongkat ia menggali ubi-ubian dan melakukan perburuan. Namun,
semakin lama ubi-ubian dan binatang semakin berkurang. Dengan situasi
28 Dwi Siswanto, Humanisme Eksistensial, hlm. 77. 29 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 73. 30 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 73.
58
seperti itu, kesadaran terhadap kenyataan adanya kelangkaan, manusia
membuat alat-alat yang canggin dari sebelumnya dan selalu
memperbaharuinya sehingga mampu menundukan alam. Dengan
kemampuan kreativitas mencipta, manusia telah membuat karya-karya
yang megah seperti pramida, tembok Cina, dan candi borobudur. Pada
zaman ini terdapat alat-alat dan barang-barang ciptaan manusia yang
tidak dijumpai pada masa lalu, seperti mesin pengebor, mesin pemotong,
mobil, kapal laut, kereta bawah tanah dan pesawat terbang yang selalu
berkembang. Dengan demikian manusia sebagai pencipta yang
dilengkapi kreativitas itulah yang membuat manusia lebih dari sekedar
pembuat.
Singkatnya, insa>n adalah manusia yang senantiasa bergerak maju
atau “men-jadi”, itulah sosok manusia ideal menurut Ali Syari'ati. Insa>n
dalam pengertian Syari'ati, bukanlah sekedar manusia yang “men-jadi”
secara lahiriah semata, melainkan juga berproses “men-jadi” secara
spiritual. Syari'ati menambahkan bahwa segala sesuatu akan kembali ke
asalnya, manusia yang berasal dari Tuhan pasti harus kembali kepada
Tuhan. Demikianlah gagasan pokok Syari'ati tentang men-jadi: yakni
bergeraknya manusia secara permanen ke arah Tuhan, ke arah
kesempurnaan Ideal.31
4. Manusia Tercerahkan
31 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 68-69.
59
Pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan manusia. dalam
ruang-ruang kelas pelajar –mahsiswa disuguhi daftar menu filsafat, teologi,
sosiologi, sejarah, teknik, matematika, fisika dan sebagainya. Namun
realitasnya, ribuan lulusan sarjana masih banyak dalam keseharianya
terpisah dari kehidupan sosial masyarakat. Apakah orang berpendidikan
atau yang memiliki gelar adalah manusia tercerahkan? Menurut Syari’ati
manusia tercerahkan tidak berarti intelektual. Manusia tercerahkan itulah
dalam bahasa Syari'ati disebut raushanfikr.32 Sayangnya raushanfikr sering
disalah-pahami banyak orang sebagai orang memiliki ilmu pengetahuan,
gelar sarjana dan orang yang melakukan tugas mental.33 Syari’ati
menekankan bahwa raushanfikr tidak semata-mata intelektual atau mereka
yang berpendidikan. Namun menurut Syari’ati, raushanfikr sebagai Orang
yang sadar “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya, serta
setting kesejarahannya. Kesadaran semacam itu dengan sendirinya akan
memberinya rasa tanggung jawab sosial. Tujuan manusia yang tercerahkan
adalah memberi kepada manusia suatu keyakinan bersama yang dinamis dan
membantu mereka untuk mencapai kesadaran-diri dan merumuskan cita-cita
mereka.34
Pada prinsipnya, tanggung jawab sosial yakni mendorong
terwujudnya perubahan-perubah struktural yang mendasar, seperti tanggung
32 Kata raushanfikr merupakan bahasa Persia yang diambil dari berasal dari bahasa Arab
munawwar al-fikr, artinya orang yang tercerahkan. Lihat catatan kaki dalam Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 24.
33 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 27. 34 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam: hlm. 28-31.
60
jawab yang pernah diemban oleh para nabi terdahulu. Mereka harus berada
di tengah-tengah rakyat yang tertindas dan berupaya: Pertama,
membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri”.
Kebangkitan kesadaran diri suatu masyarakat rakyat akan menjadi suatu
kekuatan revolusioner, dinamis dan kreatif. Kedua, mengajarkan kepada
masyarakat bagaimana caranya “berubah” dan akan mengarah ke mana
perubahan itu. Ketiga, menentukan sebab-sebab yang sesungguhnya dari
keterbelakangan masyarakatnya dan menentukan penyebab sebenarnya dari
kemandekan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya.35
Syari’ati berpendapat bahwa sepanjang ketaatan kepada imam,
“orang-Syi’ah yang sadar” adalah bertanggungjawab untuk memilih orang
yang paling adil dan terpelajar untuk memimpin mereka dalam
perjuangannnya.36 Dengan kata lain, Ali Syari’ati menjelaskan bahwa
raushanfikr bukan seorang guru normal dari para pelajar, akan tetapi orang
yang bijaksana dalam memilih sesuatu, baik tindakan maupun sikap.
...ia adalah guru dari rakyat. Pengetahuannya bukanlah platonis (sepenuhnya spiritual), pengetahuan akademis, melainkan pengetahuan dari mandat nabi. Orang-orang terpelajar inilah yang akan menjadi ahli waris para nabi. Pengetahuan tentang yang ma’ruf (yang diketahui) adalah semacam kekuatan dan pengetahuan tentang cahaya adalah petunjuk. Orang bijaksana yang arif adalah cendekiawan dengan pandangan yang jelas. Para cendekiawan haruslah pemikir yang merasakan tanggung jawab bila mengungkapkan pikiran mereka sehubungan dengan kepercayaan-kepercayaan mereka sehubungan dengan kepercayaan-kepercayaan mereka sendiri atau kepercayaan rakyat mereka.37
35 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 29-42. 36 Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 482.
61
Jalaluddin Rahmat, dalam pengantar “Ideologi Kaum Intelektual”,
mengemukakan perbedaan antara ilmuwan (intelektual) dan raushanfikr,
bahwa seorang ilmuwan menemukan kenyataan sementara seorang
raushanfikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta
sebagaimana adanya sementara raushanfikr memberi penilaian sebagaimana
seharusnya. Ilmuwan berbicara menggunakan bahasa universal sementara
raushanfikr berbicara menggunakan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap
netral menjalankan pekerjaannya sementara raushanfikr harus melibatkan
diri pada suatu ideologi. Singkatnya, raushanfikr ialah seorang intelektual
dalam arti sebenarnya.38 Raushanfikr merupakan nabi sosial yang
meneruskan perjuangan para nabi terdahulu. Kesadaran dirinya meletakan
beban tanggung jawab di atas pundaknya. Dengan penuh tanggung jawab
dan kesadaran diri ia mengantar rakyat ke arah tindakan ilmiah, sosial dan
revolusioner.39 Jika diperumpamakan, ia merupakan obor di kegelapan dan
setitik api yang membakar padang rumput kering kezaliman.
Dalam rangka menuntun masyarakat menuju kehidupan yang lebih
dinamis, seorang raushanfikr harus memiliki formula-formula. Sebagaimana
yang dirumuskan oleh Syari’ati sebagai berikut:40
37Ali Syari’ati, Fatimah az-Zahra Pribadi Agung Putri Rasulullah SAW, terj. Muhammad
Hashem Assagaf, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hal.61 38 Jalaluddin Rahmat, “Ali Syari'ati:Panggilan untuk Ulil Albab” dalam Ideologi Kaum
Intelektual, hlm. 14-15. 39 Ali Syari’ati, Membangun Ideologi Kaum, hlm. 138. 40 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 52-53
62
1. Menyaring dan menyuling sumber-sumber daya masyarakat kita dan
mengubah penyebab kebobrokan dan kemandekan menjadi kekuatan atau
gerakan.
2. Mengubah konflik antar kelas dan sosial yang ada menjadi suatu
kesadaran akan tanggung jawab sosial, yaitu dengan cara pemanfaatan
kekuatan kesenian, menulis dan berbicara, serta kemungkinan-
kemungkinan lain yang ada.
3. Menjembatani kesenjangan yang semakin lebar antara “pulau yang
dihuni oleh orang yang tercerahkan” dengan “pantai rakyat kebanyakan”
dengan menjalin hubungan kekeluargaan dan pemahaman diantara
mereka, dan dengan demikian menempatkan agama-yang datang untuk
membangkitkan dan melahirkan gerakan-untuk kepentingan rakyat.
4. Mencegah agar senjata agama tidak jatuh kepada mereka yang tidak patut
memilikinya dan yang tujuannya adalah memanfaatkan agama untuk
tujuan-tujuan pribadi, yang dengan cara itu memperoleh energi yang
diperlukan untuk menggerakkan rakyat.
5. Mengusahakan suatu kebangkitan kembali agama yang-dengan kembali
kepada agama yang hidup, dinamis, kuat, dan adil-melumpuhkan agen-
agen reaksioner dalam masyarakat sekaligus menyelamatkan rakyat dari
unsur-unsur yang digunakan untuk membius mereka.
6. Menghilangkan semangat peniruan dan kepatuhan yang merupakan ciri
agama biasa, dan menggantinya dengan semangat pemikiran bebas
(ijtihad) yang kritis, revolusioner, dan agresif.
63
Menurut Sarbini, gerakan-geraka dan aksi-aksi yang dilakukan Ali
Syari’ati sebenarnya mewakili pendirian intelektual, bahwa manusia
tercerahkan akan memanfaatkan potensi yang ada untuk perubahan.41 Bagi
syari’ati, manusia tercerahkan adalah kunci dalam melakukan perubahan
sosial. Pendek kata, tanggung jawab manusia tercerahkan adalah untuk
revolusi menuju persamaan dan keadilan.
Dari paparan diatas Syari’ati telah membentangkan kategori-kategori
manusia, yakni kategori khalifah, manusia dua dimensional, insa>n, dan
manusia tercerahkan yang akan didapati pengertian atau esensi manusia.
Syari’ati melakukan “pengurungan”42 terhadap kategori-kategori tersebut dan
kemudian menggali esensi-esensinya. Selanjutnya Syaria’ati mengemukakan
esensi dari kategori tersebut, bahwa manusia memiliki intelekutal yang
dilengkapi dengan atribut kesadaran, kebebasan dan kretivitas serta memiliki
moral yang agung yaitu tanggung jawab sehingga manusia dituntut untuk
menjadi manusia sempurna. Dengan kata lain manusia berdialektika menuju
kesempurnaan.
Untuk menjelaskan makna sempurna Syari'ati menulis, “Saya mencari
esensi saya dan tidak dapat menemukannya, saya adalah bayangan-Nya.
Dimanakah Dia?” Menurut Syari'ati, berdasarkan kisah penciptaan Adam,
bahwasanya manusia berasal dari surga dan pada akhirnya manusia harus
kembali ke surga, karena surga telah ditinggalkannya. Dalam surga itulah
41 Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi, hlm. 88. 42 Pengurungan merupakan istilah Edmund Husserl yang meletakan dalam tanda kurung
sebagai sikap awal dalam menedekati persoalan eksistensi sambil menggali “esensi-esensi” setiap fenomen. Lihat dalam Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 235.
64
manusia mendapatkan kebahagiaan sejati setelah bersatu dengan Tuhannya, di
sana semua dimensi kehidupan (natural dan supranatural, tubuh dan spirit,
permasalahan dan makna) akan diintegrasikan sebab masing-masing
merupakan sebuah dimensi alias aspek dari ‘satu kebenaran yang ada’.43 Jadi,
dapat disimpulkan bahwa kesempurnaan yang diraih oleh manusia
sesungguhnya merupakan usaha menuju “Proses Menjadi”.
B. Penjara-penjara Manusia
Insa>n sebagaimana yang disebut Syari’ati sebagai manusia tiga
dimensional selalu berperang melawan kekuatan-kekuatan determinisme atau
penjara-penjara manusia. Dalam karya yang berjudul “Haji” Syari'at
menyimpulkan penjara-penjara menjadi empat macam: “Engkau” adalah
penghuni empat buah penjara yang besar. Keempat penjara ini adalah alam
(biologisme), “sejarah (historisisme), masyarakat (sosiologisme), dan dirimu
sendiri (ego).44 Empat penjara manusia tersebut bukanlah hal yang determinan
bagi manusia. Manusia masih memiliki kesempatan untuk membebaskan
dirinya dari cengkeraman empat penjara tersebut. Ali Syari’ati berkeyakinan
bahwa manusia dalam perjalanan evolusinya menuju “peninggian” ruhaninya,
sesungguhnya mampu melepaskan diri dari penjara-penjara tersebut.
1. Penjara Alam (Biologisme)
Biologisme berpendirian bahwa manusia merupakan komposisi dari
organ-organ yang kompleks dan maju yang menentukan watak fisiologis
43 Ali Rahnema, Ali Syari'ati: Biografi Politik, hlm. 228-230. 44 Ali Syari’ati, Haji, hlm. 94.
65
dan psikologis.45 Secara psikologis manusia tergantung pada keadaan
biologis. Misalnya orang dikatakan pemberani jika memiliki tubuh besan
dan berotot, serta orang yang bergaya urakan ketika memiliki rambut
panjang. Menurut Syari’ati, watak tersebut bukan disebabkan oleh
kepribadiaannya, akan tetapi oleh bentuk biologisnya. Maka ketika
biologisme menunjukan perkembangan manusia, akan mendasarkan pada
kemajuan perubahan biologisnya. Struktur biologisnya sebagai penentu
tindakan telah mengingkari adanya kebebasan manusia. Syari’ati
mengungkapkan: “ini adalah determinisme dari biologisme yang tidak mau
mengakui kenyataan bahwa manusia memiliki kualitas-kualitas lebih tinggi
yang mirip Tuhan yang melampaui susunan biologis, fisiologis, bahkan
psikologisnya.”46
Paling menyesatkan dari biologisme menurut Syari’ati adalah
melihat manusia sebagai makhluk yang sama sekali tidak berbeda dengan
binatang. Sehingga biologisme merupakan sebuah mazhab berfikir yang
mendistorsi manusia “tiga dimensional”. Untuk membebaskan diri dari
penjara alam, manusia harus berusaha “menundukkan” alam dengan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian
diharapkan manusia akan dapat membawa alam semesta beserta semua sifat
dan hukum dasarnya untuk berada dalam pengawasan manusia. Syari’ati
mengatakan: “dengan penuh kesadaran engkau harus menemukan takdir
alam semesta dengan mempelajari sain-sain. Dan dalam waktu yang
45 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 84. 46 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 84-85.
66
bersamaan engkau harus membebaskan dirimu dari penjara alam tersebut.”47
Menurutnya juga ilmu telah dapat menegtahui rahasia-rahasia alam. Dengan
menggunakan pikirannya yang kritis, manusia memanfaatkan ilmu untuk
menghasilkan teknologi. Teknologi punya suatu misi fundamental;
membebaskan manuia dari genggaman determinisme alam.48
Hal itu ditunjukan dengan berbagai macam penemuan, seperti
penemuan lampu listrik, kendaraan bermotor, pesawat ruang angkasa dan
penemuan lainnya. Para ilmuan telah menciptakan hujan buatan untuk
melawan kekeringan. Para insinyur pertanian menciptakan teknologi
pertanian dan mendisain pertanian agar berkembang pesat. Dengan
demikian alam bukan lagi merupakan kendala dalam menghambat kemajuan
manusia.
2. Penjara Sejarah (Historisme)
Determinisme historis memandang manusia sebagai produk sejarah.
Sejarah telah menentukan gerak manusia ke mana dan bagaimana harus
mengarah.49 Melalui gerak sejarah, manusia telah ditentukan posisi dan
karakteristiknya. Syari’ati menyatakan; “alasan mengapa saya berbahasa
dengan satu bahasa tertentu, memeluk suatu agama, ikut pada kelas sosial
dan kultur ini, dan memiliki identitas serta personalitas ini –semua ini dan
seluruh ciri-ciri yang saya miliki ditentukan oleh sejarah.”50
47 Ali Syari’ati, Haji, hlm. 94. 48 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 88. 49 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 82.
67
Dapat dikatakan, bahwa sesorang yang lahir dan memiliki latar
belakang Jawa, akan berbahasa Jawa, memiliki moral “nrimo” dan memiliki
keyakinan “kejawen” dalam pandang historisme merupakan suatu
keniscayaan. Artinya, sejarah masa lalunya yang akan membentuk dan
mendisain seseorang. Syari’ati menegaskan, historis menyodorkan
peristiwa-peristiwa sebagai sesuatu yang deterministik-materialis, yang
disela-sela perjalanan sejarah –sejalan dengan hukum pergerakan
determinisme historis –telah menciptakan unsur-unsur yang bernama
manusia.51 Manusai sebagai produk sejarah akan bertentangan dengan
manusia men-jadi. Manusia men-jadi adalah produk dari kesadaran,
kebebasan memilih dan daya ciptanya.
Syari’ati menunjukan bagaimana manusia dapat keluar dari penjara
sejarah yaitu dengan penuh kesadaran dalam menemukan takdir sejarah
dengan mempempelajari filsafat dan sains-sains sejarah.52
Jika ia dapat merasakan dan menyadari bahwa ia menjadi mainan kekuatan hebat yang bernama sejarah; jika ia dapat, dengan bantuan ilmu dan filsafat sejarah, menemukan gerak sejarah dan hukum-hukum yang berjalan di belakangnya; jika ia dapat memahami bahwa faktor-faktor itu mempengaruhi struktur mental, persepsional, moral dan kesadarannya – jika ia dapat memahami semua ini secara menyeluruh, ia pasti dapat membebaskan dirinya dari jeratan sejarah.53
Dengan mempelajari tahapan-tahapan historis dan hukum-hukum
deterministik yang terjadi dalam perjalanan sejarah umat manusia. Hukum-
50 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 82. 51 Ali Syari’ati, Humanisme, hlm. 59. 52 Ali Syari’ati, Haji, hlm. 94. 53 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 89.
68
hukum deterministik dan tahapan-tahapan historis ini kemudian
dikembangkan untuk membangun kemajuan sejarah masa. Tipe kesadaran
sosial historis ini menolong masyarakat bergerak sangat efektif sehingga
dapat melompati tahap perkembangan historis yang lebih tinggi.54
3. Penjara Masyarakat (Sosiologisme)
Dalam padangan sosiologi, manusia telah ditentukan oleh faktor-
faktor sosial. Sosiologi memang menekankan pada peranan masyarakat
dibanding dengan peran individu. Manusia diukur ciri-ciri atau
karakteristiknya berdasarkan data-data yang terdapat dalam suatu
masyarakat. Individu-individu dalan tatanan masyarakat dinilai tidak
memiliki kesadaran dan kehendak, karena semuanya berlandaskan kelas-
kelas dalam masyarakat. Sebagai contoh, bila seseorang nampakya
darmawan, berani dan kesatria, hal tersebut disebabkan ia telah dibesarkan
dalam suatu masyarakat bertipe feodalistik. Begitu pula orang yang
memiliki kekayaan atau aset perusahaaan, ia telah dibesarkan dalam
masyarakat borjuis. Nampaknya individu-individu tidak memiliki tanggung
jawab atas tindakannya, karena lingkungan sosial yang telah membentuk
watak, kepribadian dan tindakannya.
Maka jelaslah bagi Ali Syari’ati bahwa sosiologisme telah
menginkari peran individu, yaitu mengingkari individu dalam proses men-
jadi. Bahkan pada evolusi menuju kesempurnaan dalam sosilogisme pun
mendasarkan pada tatanan yang ada pada masyarakat. Pendek kata,
54 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 91.
69
sosioligisme adalah sistem sosial manusia yang menentukan sesuatu
untuknya, mempola watak dan perilakunya, dan mencetaknya di bawah
aneka ragam faktor dan kekuatan masyarakat.55
Kemudian untuk membebaskan diri dari kungkungan masyarakat,
manusia bisa mengatasinya dengan mempelajari ilmu-ilmu sosial, hukum-
hukum dan karakteristik yang ada di masyarakat. Dengan mempelajarinya,
seseorang dapat mengetahui secara pasti belenggu diterministiknya.
Syari’ati mengatakan: “dengan penuh kesadaran engkau harus menemukan
takdir masyarakatmu dengan mempelajari sosiologi dan cara penerapan
aturan-aturannya agar engkau terbebas dari penjaranya.”56
Ketika manusia memahami bahwa dalam masyarakatnya terdapat
unsur-unsur yang membelenggu maka ia akan membrontak dalam upaya
mengubahnya.57 Misalnya Indonesia yang di dalam masyarakatnya terdapat
unsur-unsur budaya korup, budaya kekerasan dan kondisi kemiskinan.
Dengan mempelajari unsur-unsur tersebut, kemudian dengan kesadaran ia
pembrotakan, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ia sedang berjuang
dalam membebaskan dirinya dari penjara masyarakatnya.
4. Penjara Ego
Determinisme ego merupakan penjara terburuk bagi manusia.
Dikatakan penjara terburuk karena berada dalam diri mansuai. Ego selalu
mendorong manusia dalam pemenuhan kepuasan dan kepentingan sendiri
55 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 82-83. 56 Ali Syari’ati, Haji, hlm. 94. 57 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 90.
70
setiap saat. Walaupun secara eksternal manusia sudah mampu menguasai
kebutuhan hidupnya, akan tetapi dalam internalnya masih miskin dan
terbelenggu oleh egonya. Syari’ati mengungkapkan:
Dan disebabkan oleh pemenjaraan intern manusia itulah ia merasa terlalu banyak absurditas dan kesia-siaan dalam kehidupan dan peradaban modern. walaupun ia sudah menjadi mansuia modern yang telah membebaskan dirinya dari genggaman alam, sejarah, dan masyarakat, ia masih tetap terbelenggu di dalam penjara ego, tanpa mengetahui bagaimana cara keluar dari penjara tersebut.58
Manusia dengan kehidupan materialistik (keduniawian) akan
membawa kepada absurditas dan kesia-siaan, tidak bisa merasakan
kepuasan yang sebenarnya dalam kehidupan material. Walaupun sudah
memiliki segalanya (kekayaan, rumah mewah, beberapa mobil, dan
beberapa perusahan), namun ketika egonya masih terpenjara ia akan terus
menumpuk kekayaan, menghamburkan uang dengan membeli barang-
barang mewah, dan terus mengesploitasi alam dan manusia yang lainnya.
Keadaan seperti ini sangat disesalkan oleh Syari’ati, yaitu dengan kemajuan
ilmu pengetahuan telah memperkuat dan memperkasa manusia, akan tetapi
ia secara moral tetap lemah.59 Ilmu pengetahuan telah membuat manusia
sangat cerdas, namun untuk mengejar materi semata. Kemudian ia lebih
memilih menjadi budak modern dengan menggadaikan dirinya pada
kapitalis dan agen-agen korporasi. Meskipun ia memiliki kecerdasan
intelektual, namun ia masih miskin moral.
58 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 93. 59 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 96.
71
Melepaskan diri dari penjara ego adalah hal yang paling sulit bagi
manusia, karena antara “penjara” dan “tawanan” tidak terpisahkan. Penjara
ini ada pada diri manusia yang senantiasa hadir. Jika membebaskan diri dari
tiga penjara yang lain cukup hanya dengan mengembangkan pengetahuan
dan kesadaran, namun untuk membebaskan diri dari penjara ego begitu sulit
karena ilmu pengetahun tidak dapat membatunya. Hal itu di utarakan oleh
Ali Syari’ati sebagi berikut:
Karena penjara ini berada di dalam dirimu maka sains tidak dapat membebaskan engkau daripadanya.... Engkau harus memiliki pengetahuan tertentu untuk mengenal dan menemukan “dirimu sendiri”. engkau harus memiliki kekuatan tertentu untuk dapat mengatasi kelemahan-kelemahanmu dan membrontak melawan dirimu sendiri.60
Pengetahuan atau kekuatan menurut Syari’ati adalah cinta. Cinta
yang dimaksud oleh Syari’ati, bukanlah cinta dalam arti sufistik, Platonik,
mistik dan abstrak. Sebab bentuk-bentuk cinta seperti itu adalah bentuk-
bentuk penjara itu sendiri bagi manusia. Bagi Syari’ati cinta dimaknai
sebagai berikut:
Sebagai misal, seseorang duduk di atas lututnya, menyirami badanya dengan bensin dan kemudian membakar dirinya secara sengaja dan sadar agar negaranya dapat diselamatkan dari api yang lebih besar. Ini adalah perbuatan yang tidak logis karena ia melakukan tanpa menuntut suatu imbalan, ganjaran atau kopensasi. Inilah prinsif moral dan makna dari apa yang saya maksudkan dengan cinta; cinta sebagai suatu kekuatan yang mendambakan pengorbanan, yang menghasung manusia yang sedang dirasuknya untuk mengorbankan seluruh miliknya, keuntungannya, kepentingannya, bahkan hidupnya sendiri demi mereka yang ia cintai dan demi cita-cita yang ia perjuangkan.61
60 Ali Syari’ati, Haji, hlm. 94. 61 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 98.
72
Dengan demikian cinta yang dimaksud Syari’ati sebagai pembebas
dari penjara ego adalah cinta dalam arti substantif, cinta yang harus
melahirkan kekuatan bagi setiap pencinta untuk mengorbankan apa-apa
yang dimilikinya. Menurut Syari'ati , inilah arti yang sebenarnya dari
pengorbanan sebagai tahapan “menjadi” yang tertinggi dan sempurna bagi
manusia. []
73
BAB IV
MANUSIA TERCERAHKAN DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
A. Manifestasi Dialektika Manusia
Pemikiran Syari’ati nampaknya ada kesamaan dengan insa>n kamil
milik Ibnu ‘Arabi. ‘Arabi menyebut Adam sebagai perpaduan dari citra Tuhan
dan citra alam semesta.1 Sebagaimana Syari’ati menunjukan dua substansi
pembentuk manusia, yakni tanah dan ruh Tuhan. Namun tidak semua manusia
dapat dikatakan sebagai insan kamil, karena menurut ‘Arabi hanya mereka
yang memperoleh tingkat kesempurnaan, sebaliknya mereka tidak mencapai
tingkat kesempurnaan sama dengan manusia binatang.2 Manusia dalam
pemikiran Syari’ati pun terdabat pengolongan anatara basya>r dan insa>n. Akan
tetapi yang membuat mereka berbeda adalah ‘Arabi meletakan manusia pada
sisi metafisik dan imagener saja. Sedangkan Syari’ati meletakan manusia diatas
realitasnya, meminjam istilah Hasan Hanafi; “dari Tuhan ke lahan (bumi)”,
Syari’ati hendak memanifestasikan manusia yang abstrak menjadi manusia
yang konkrit.
Telah disebutkan pada bab terdahulu, bahwa manusia merupakan
makhluk dua-dimensional dengan dua kutub yang saling bertentangan.
Syari’ati hendak memanifestasikan wajah manusia dua-dimensional dalam
kesejarahan manusia. Di dalam kehidupan manusia pun bergerak dua kutub
1 Mesataka Takeshita, Insan Kamil; Pandangan Ibnu ‘Arabi, terj. Harir Muzakki,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hlm. 54.
2 Mesataka Takeshita, Insan Kamil, hlm. 130-131.
74
saling berkontradiksi dan saling menegasikan satu sama lainnya. Kemudian
Syari’ati menyatakan pandangannya mengenai sejarah manusia sebagai
berikut:
Sejak awal sejarah, di kala manusia berperan di muka bumi, senantiasa terdapat masyarakat manusia dan bergerak kedua arah atau kutub yang saling berlawanan, dua front yang saling bermusuhan. Tergantung pada keadaan sosial dan historis, perang dua fihak tersebut mengambil berbagai bentuk dan gambaran. 3
Pertentangan yang terus-menurus antara dua kutub selau terjadi dalam
sejarah perkembangan umat manusia. Pertentangan tersebut mengambil bentuk
yang berbeda sesuai perkembangan masyarakatnya. Kedua kutub tersebut
selalu berebut ruang dominasi dalam mengisi ruang sejarah umat manusia dan
menjadikan kualitas-kualitasnya. Pertentangan antagonisme tersebut sejatinya
tidak bisa didamaikan, dimana kutub yang satu mempertahankan dominasinya
sedangkan kutub yang lain ingin menghancurkannya. Selanjutnya Syari’ati
menjelaskan sifat dan karakter dari masing-masing kutub sebagai berikut:
Kutub pertama merupakan kutub negatif diwakili oleh mereka yang menghambat kemajuan dan evolusi dengan melakukan perbuatan-perbuatan kejahatan, dekadensi, dan penyelewengan dengan jalan menindas, perbudakan, dan memperbodoh massa kemanusian; dengan jalan menegakkan tirani atas rakyat, dan merampok hak-hak serta keperluan-keperluan mereka serta menanamkan benih-benih rasisme, segregasi, dan fanatisme dalam masyarakat, keluarga, suku, ras dan lembaga-lembaga mereka. ..... Kutub kedua, kutub positif kemanusiaan, yang selalu menentang tirani dan ketidakadilan serta korupsi demi tegaknya perdamaian dan keadilan serta persaudaraan di muka bumi, terus menerus berada dalam pertempuran melawan kutub pertama yang negatif tersebut.4
Yang menarik atas manifestasi antara pertarungan dua kutub tersebut
adalah Syari’ati menyajikan dengan mengambil narasi historis pertarungan
3Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 37. 4Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 37-38.
75
antara Qabil dan Habil dalam al-Qur’an. Qabil dan Habil merupakan anak-anak
dari Adam. Dalam kisah tersebut berakhir dengan terbunuhnya Habil ditangan
Qabil yang menandakan awal sejarah pertarungan antara manusia dan manusia.
Syari’ati mengemukakan sumber konflik Qabil dan Habil sebagai berikut:
Mereka telah dipertunangkan dengan saudara perempuan mereka masing-masing. Tetapi Qabil tidak puas; ia lebih saudara perempuan yang telah dipertunangkan bagi Habil, daripada tunagannya sendiri. Ketidakpuasannya berubah menjadi pemberontakan, dan ia menemukan dirinya telah melanggar apa yang menjadi milik saudaranya.5
Dimensi ketidakpuasan Qabil yang diekspresikan dengan merampas
hak Habil merupakan cermin kutub negatif yang mengarah kepada perbuatan
hina. Pilihan Qabil tersebut telah membawa pada pertentangan manusia dengan
manusia pertama dalam sejarah umat manusia. Pertentangan antara Qabil dan
Habil terus berlanjut, dan tidak dapat didamaikan. Syari’ati menafsirkan
konflik tersebut berbeda dengan kebanyakan ulama, yakni mengenai jenis
pekerjaan mereka sebagai berikut;
Orang tidak dapat mengatakan bahwa lingkungan Qabil, keluarga, pendidikan dan masyarakatnya berbeda dengan Habil. Namun perbedaan apakah yang mengubah Qabil menjadi seorang pembunuh dan Habil menjadi seorang yang saleh dan cinta damai? Perbedaan ini terletak pada pekerjaan mereka: persembahan Qabil yang berupa seonggok gandum menunjukan bahwa ia seorang petani. Sedangkan persembahan Habil yang berujud seekor onta menunjukan bahwa ia seorang penggembala. Habil nampaknya mewakili tahap sejarah ketika eksistensi manusia tergantung pada alam – berburu, mencari ikan dan menjinakan binatang-binatang buas. Sebaliknya Qabil mewakili zaman pemilikan pribadi dan tahap pertanian ketika sumber-sumber produksi dimonopoli oleh kelas penguasa.6
Tafsir Syari’ati di atas sangat kental dengan paradigama marxisme,
yakni kepemilikan pribadi sebagai akar kemunculan kelas-kelas dalam
5Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 39. 6Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 40-41.
76
masyarakat. Dengan demikian Syari’ati menempatkan pekerjaan Habil sebagai
pengembala mewakili zaman komunal, dimana hubungan produksi dilakukan
secara bersama-sama dan alat produksi pun dikuasai secara bersama. Mereka
dalam memenuhi kebutuhan hidup dilakukan secara subsisten. Sedangkan
Qabil mewakili masyarakat berkelas, kelas penguasa menguasi alat produksi
dan melahirkan hubungan produksi yang timpang. Sarbini mengutip penjelasan
Syari’ati dalam bukunya “Islam Di Tepian Revolusi”:
“Peristiwa itu mengandung Tafsif yang sangat mendasar secara ilmiah, sosiologis dan berkenaan dengan kelas sosial. Kisah itu merupakan akhir komunisme primitif. Lenyapnya sistem asli manusia berupa persamaan dan persaudaraan, yang terpantul pada sistem produktivitas perburuan dan penangkapan ikan (ditamsilkan dengan Habil sang penggembala), digantikan oleh produksi pertanian, terciptanya milik pribadi, terbentuknya masyarakat kelas, sistem diskriminasi dan eksploitasi, pemujaan harta, dan kemerosotam iman bermulanya kerusuhan, persaingan dan pembunuhan saudara sendiri (ditamsilkan dengan Qabil sang petani). Kematian Habil dan kelangsungan hidup Qabil adalah realitas objektif dan historis.7
Sebagaimana yang dikatakan Engels: “...kelas-kelas dalam masyarakat
selalu merupakan produk dari corak produksi dan pertukaran, atau produk dari
kondisi ekonomi pada zamannya.”8 Dengan munculnya kelas sosial, terdapat
hubungan produksi yang menguntungkan segelintir orang yang memiliki alat
produksi. Kelas pemilik akan menjalin aliansi dengan kekuatan-kekuatan lain
yang saling mendukung. Syari’ati menyebutkan bahwa kutub Qabil memiliki
tiga wajah yang menentukan peradaban umat manusia sesuai dengan
keinginan-keinginannya, berikut penjelasan Syari’ati:
Di dalam masyarakat-masyarakat modern sementara mempertahankan kekuatan-kekuatannya di tiga buah basis Qabil menyembunyikan wajahnya
7 Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi, hlm. 97.
8 Frederick Engels, Anti-Dühring, terj. Oeyhaydjoen (Hasta Mitra-Ultimus, 2005), hlm.
37.
77
yang asli di balik topeng politik, ekonomi dan agama. Qabil menciptakan tiga buah kekuatan untuk menindas: kekayaan dan kemunafikan yang melahirkan despotisme; eksploitasi; dan teknik-teknik indoktrinasi.9
Personifikasi ketiga kekuatan tersebut disimbolkan oleh Ali Syari’ati
dengan nama tokoh-tokoh dalam sejarah Islam baik Taurat maupun al-Qur’an.
Kekuasan politik disimbolkan dengan tokoh Fir’aun, kekuasaan ekonomi
disimbolkan oleh tokoh Qarun (Croesus), dan kekuatan religius di lambangkan
oleh tokoh Balaam Bauri. Tiga wajah ini merupakan manifestasi dari wajah
Qabil.10
Ketiga poros kekuasaan tersebut saling menunjang dan menguatkan.
Firaun yang memiliki kekuasaan memberi restu perampokan sistematis dan
prosedural yang dilakukan Karun. Kemudian, Karun pun mendukung kerja
intelektual Balaam dengan sarana finansial kekayaannya. Firaun menyokong
Balaam dengan jaminan politisnya. Sedangkan Balaam menyediakan basis
doktrin untuk melegitimasikan kekuasaan Fir'aun. Ketiga wajah itu menyatu
dalam satu wajah penindas yang mengorbankan eksistensi kaum Habil.
Melalui pengalaman pribadi, Ali Syari’ati merasa kekecewan yang amat
mendalam melihat piramida megah yang kebanyak orang memujinya. Piramida
merupakan simbol penindasan terhadap kelas Habil, yaitu para budak. Dalam
sistem perbudakan, jiwa dan tubuhnya merupakan milik Firaun. Sehingga para
budak pun dipaksa untuk menuruti kehendaknya termasuk membangun makam
para Firaun. Dengan nada yang sinis, Ali Syari’ati berkata:
9 Ali Syari’ati, Haji, hlm. 124. 10 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 43.
78
Lalu aku layangkan pandanganku pada piramida besar itu, dan aku sadari, di balik kemegahan dan keagungan bangunan itu, aku betul-betul merasa asing dan jauh darinya! Dengan kata lain, ada rasa kebencian yang dalam pada monumen-monumen peradaban megah sepanjang sejarah yang dibangun di atas tulang-belulang para pendahuluku!11
Syari’ati berpandangan bahwa jika ingin membebaskan kaum Habil
dibukuhkan suatu perubahan yang fundamental –yakni revolusi –yang
digerakan oleh raushanfikr (manusia tercerahkan) untuk mengakhiri
penindasan kaum Qabil.12 Cara-cara untuk menyingkirkan kejahatan sosial
(penindasan, pen) yang ada, Engels berkata: “mesti ditemukan dalam kondisi-
kondisi material yang ada, tidak dibuat penemuan oleh seseorang reformer
sosial.” Artinya, bahwa dalam melakukan usaha-usaha diagnosis persoalan
sosial tidak boleh dipasrahkan kepada opurtinisme intelektual. Berikut ini
pernyataan Syari’ati tentang kepercayaannya akan revolusi yang menandakan
berakhirnya zaman Qabil:
Bisa saja hari esok atau lain waktu, revolusi dunia demi kaum mustadh’afin, kebenaran dan keadilan akan meletus, dan didalamnya saya akan berpartisipasi.......dan saya percaya bahwa revolusi ini pasti menang; maka, saya percaya kepada hukum-hukum sejarah yang tak dapat dihindari, dan tidak percaya kepada kebetulan, kekacau-balauan (chaos) dan perpecahan historis.13
B. Hubungan Manusia Tercerahkan Dan Tanggung Jawab Sosial
1. Islam sebagai Ideologi
Ideologisasi Syari'ati diawali dari pembahasannya mengenai
kehidupan manusia yang dikungkungi oleh berbegai belenggu. Manusia,
11 Ali Syari’ati, Para Pemimpin Mustadh’afin: Sejarah Panjang Perjuangan Melawan
Penindasan dan Kezaliman, (Bandung: Muthahhari Paperbacks, 2001, hlm. 3.
12 Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi, hlm. 99. 13 Ali Syari’ati, Islam Agama Protes, hlm. 68-69.
79
meskipun memiliki kesadaran diri, kehendak bebas dan daya cipta
(kreativitas) untuk menentukan pilihan hidupnya, akan tetapi tidak
sepenuhnya sebab berbagai penjara kehidupan selalu mengungkunginya.
Tambah lagi penjara-penjara tersebut tidak mudah diidentifikasi, pasalnya
telah terselubung dalam ideologi. Oleh karena itu, kesadaran, kebebasan dan
kreativitas manusia hanya dapat diartikan sebagai pilihan menentukan jalan
hidup setelah berhasil melalui berbagai kesulitan (penjara-penjara) yang
melingkupinya. Sekali lagi, penjara-penjara kehidupan yang terselubung
dalam ideologi memang tidak mudah dilawan, namun tidaklah demikian
bagi Syari'ati. Melawan ideologi harus menggunakan ideologi,14 demikian
menurut Syari'ati.
Syari’ati telah melakukan tinjauan ulang bahwa ilmu dan filsafat tak
cukup efektif untuk mengantarkan seseorang sampai pada suatu tujuan
tertentu yang dicita-citakan. Apalagi dalam kenyataan sejarah, baik ilmu
maupun filsafat tak pernah dapat melahirkan revolusi. Karena ideologi
meneuntut agar kaum intelektual bersikap setia (commited). Ideologilah
yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan filsafat tidak, karena
sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan dan tanggung jawab.
Meskipun demikian, bukan berarti filsafat tidak berguna, walaupun antara
14 Ideologi berasal dari kata “ideo” yang berarti pemikiran, gagasan, konsep, keyakinan
dan lain-lain; dan kata “logi” yang berarti logika, ilmu, atau pengetahuan. Jadi ideologi didefinisikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan cita-cita. Syari'ati memberi definisi ideologi dalam arti lebih luas yakni mencakup keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan, dan komitmen. Dalam konteks tersebut, Syari’ati menegaskan bahwa ideologi pada hakikatnya menuntut kaum intelektual bersikaf setia (commited) sebab ideologilah yang mampu mengubah masyarakat. Sementara ilmu (sekuler) bahkan filsafat sekalipun tidak mampu mengubah masyarakat. Ali Syari'ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, terj. Safiq Basri dan Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 72.
80
ilmu dan idiologi memiliki perbedaan yang cukup fundamental tetapi tetap
memiliki titik temu. Titik temu itu terdapat pada tahap evaluasi yang
merupakan tahap akhir dari setiap rangkaian aktivitas keilmuaan, dimana
baik ilmu dan filsafat berusaha memahami dan membuka tabir apa yang
belum diketahui.
Islam adalah agama universal, di dalamnya terdapat berbagai ajaran
mengenai humanitas. Humanisme Islam adalah humanisme universal
sehingga bila Islam dijadikan ideologi maka ideologi Islam merupakan
ideologi universal. Syari’ati merumuskan, sesungguhnya jiwa agama yang
menancap sebagai ideologi adalah ketahanan yang membentengi pribadi dan
masyarakatnya, untuk selalu terikat dengan esensinya, tegak di atas kaki-
kaki kemanusiaan dan berjalan membina lahirnya generasi yang tangguh,
serta menciptakan para pembela kemajuan, budaya dan kepribadian yang
sejati.
Sebagai seorang muslim, Syari'ati memandang bahwa Islam tidak
cukup hanya dimaknai sebagai ritual semata, melainkan Islam pun perlu
dijadikan sebagai ideologi. Syari'ati memang telah lama merindukan adanya
ideologi yang Islami, pasalnya ideologi yang selama ini berkembang dinilai
tidak cukup rahmatan li al-alami>n. Bagi Syari'ati ideologi Islam merupakan
rumusan istimewa sebab menekankan adanya korelasi antara ideologi
ketuhanan (wahyu) dan ideologi kemanusiaan, yakni: akal (rasional) dan
empirisme. Peran fundamental agama pada akhirnya harus mampu
menumbuhkan dan menggerakkan kehidupan sosial yang lebih beradab.
81
Syari’ati memandang agama (baca: Islam) dalam maknanya yang universal.
Agama tidak cukup hanya dimaknai sebagai kumpulan tradisi atau konversi
sosial, atau bahkan semangat kolektif suatu kelompok. Menurutnya, agama
harus mampu menjadi lokomotif kesadaran masyarakat sehingga agama
semestinya dipahami sebagai ide bukan sebagai sekumpulan ilmu. Syari’ati
menegaskan bahwa;
Islam adalah agama yang dengan segera melahirkan gerakan, menciptakan kekuatan, menghadirkan kesadaran diri dan pencerahan, dan menguatkan kepekaan politik dan tanggung jawab sosial yang berkaitan dengan nasib diri sendiri.15
Kemudian Syari’ati menjelaskan:
“Islam akan membantu dalam memutuskan bentuk perjuangan melawan kekuasaan tirani. Ia tidak akan pernah berbaiat (berpihak) dengan kekejaman. Ia akan merancang kontinuitas sejarah berkesinambungan. Ia akan menegaskan perjuangan tak kenal henti antara pewaris Adam dan pewaris setan. As syura mengingatkan kembali akan ajaran ikhwal kenyataan bahwa Islam dewasa ini adalah Islam kriminal dalam jubah “tradisi” dan bahwa Islam sejati adalah Islam yang tersembunyi dalam jubah merah kesyahidan”.16
Syari’ati mengemukakan suatu rumusan bahwa agama itu
mempunyai makna lebih luas, yakni sebagai ideologi. Ini dikarenakan sifat
dan keharusan dari ideologi itu meliputi keyakinan, tanggung jawab, dan
keterlibatan untuk dijadikan “pijakan dasar komitmen” bagi seseorang
dalam hidup –merubah tatanan sosial yang timpang. Munculnya agama
sebagai ideologi, papar Syari’ati, dimulai ketika para Nabi muncul di
tengah-tengah suku-suku dan pemimpin gerakan-gerakan historis untuk
membangun dan menyadarkan masyarakat. Ketika para nabi itu
15 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 73. 16 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hml.68
82
memproklamirkan semboyan-semboyan tertentu dalam membantu massa
kemanusiaan, maka para pengikut Nabi kemudian mengelilingi nabi dan
menyatakan untuk turut bersama-sama Nabi dengan sukarela. Dari sinilah,
menurut Syari’ati, munculnya agama sebagai ideologi. Namun kemudian,
agama itu kehilangan semangat aslinya dan mengambil bentuk agama
sebagai institusi sosial.17 Syari’ati berupaya menegaskan perbedaan Islam
dengan pemahaman umum tentang agama yang dikonsepsikan oleh
Durkheim. Dalam bentuk yang tidak ideologis, agama seperti dikemukakan
Durkheim sebagai “suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan
perasaan-perasaan pribadi; suatu peniru terhadap modus-modus, agama-
agama, ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek
yang secara sosial telah mantap selama generasi demi generasi. Ia tidak
harus merupakan menifestasi dari semangat ideal kemanusiaan yang
sejati”.18 Agama Islam merupakan agama revolusioner, yang memberi
seseorang; individu yang beriman padanya, yang didik dalam pemikiran
aliran agama ini, kemampuan untuk mengkritik kehidupan dalam seluruh
aspek materiil, spiritual dan sosial.19
Dalam konteks masyarakat modern, Syari’ati melihat perlbagai
problem kemanusiaan yang disebabkan oleh adanya kolonialisme dan
imperialisme Barat. Akibat yang timbul dari hal itu adalah munculnya
bentuk-bentuk korporasi multi-nasional, rasisme, penindasan kelas,
17 Ali Syari’ati, Islam mazhab pemikiran dan aksi, hlm.154-155. 18 Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, hlm. 81. 19 Ali Syari’ati, Agama Versus Agama, hlm. 36.
83
ketidakadilan, dan melahirkan para pemuja Barat. Bagi Syari’ati, Islam
merupakan satu-satunya solusi yang akan menyelamatkan negeri Muslim
dari segala bentuk tekanan dan penindasan. Upaya Syari’ati dalam
merekonstruksi Islam sebagai ideologi dengan menyajikan tahapan-tahapan
ideologi secara detail:
1. Ali Syari’ati meletakan pandangan dunia tauhid sebagai pandangan
dasar. Pendangan ini menyatakan secara langsung bahwa kehidupan
merupakan bentuk tunggal, organisme yang hidup dan sadar,
memiliki kehendak, intelejen, perasaan dan tujuan. Hal demikian
berbeda dengan pandangan dunia yang membagi kehidupan dalam
kategori yang berpasangan: dunia dan alam kekal; fisik dan ghaib;
substansi dan arti; rohani dan jasmani. Karena itu diskriminasi
manusia atas dasar ras, kelas, darah, kekayaan, kekuatan dan lainnya
tidak bisa dibiarkan, karena ia dianggap berlawanan dengan nilai-
nilai Ketuhanan.
2. Pada tahap selanjutnya adalah berkenaan dengan bagaimana
memahami dan mengevaluasi pemikiran dan segala sesuatu yang
membentuk lingkungan sosial dan mental. Bagi Syari’ati, Islam
adalah pandangan dunia yang bisa dipahami dengan mempelajari al-
Qur’an sebagai kumpulan ide-ide dan mempelajari sejarah Islam
sebagai ringkasan kemajuan yang pernah dialami dari permulaan
misi Nabi sampai pada dunia kontemporer.
84
3. Pada tahap terakhir, diperlukan suatu ikhtiar bagaimana mencari dan
menerapkan jalan yang praktis untuk menumbangkan status quo.
Caranya ialah melengkapi masyarakat dengan tujuan dan cita-cita
yang diinginkan, langkah-langkah praktis berdasarkan kondisi
masyarakat, serta upaya menciptakan perubahan dan kemajuan
dalam aksi-aksi revolusioner. Ideologi harus mengejawantah sebagai
suatu amanat yang sedang dihidupkan kembali untuk
membangkitkan kaum yang menderita, bodoh dan lamban, agar
bangun dan menegaskan hak-hak serta identitasnya.20
Ali Syari'ati sendiri demikian konsisten dengan gagasannya, terbukti
tatkala menyaksikan kondisi lingkungan sosialnya demikian carut-marut
karena propaganda dan kekejaman rezim Syah Pahlevi. Melihat kebekuan
masyarakat akibat ilusi ulama dengan doktrin “Juru Selamat yang gaib”21,
bahkan para intelektual bangga dengan produk-produk pemikiran yang
diimpor bulat-bulat, Syari'ati langsung turun lapangan. Seluruh daya upaya
–mulai dari mengajar, ceramah bahkan sampai lerlibat dalam protes-
protes— telah dikerahkan untuk menyelamatkan masyarakatnya yang
tertindas. Syari'ati telah melakukan ideologisasi dengan cara-cara yang
memungkinkan baginya. Dengan demikian Syari’ati menggagas Islam
sebagai ideologi.
20 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 70-71. 21 Menurut Syari’ati konsep Juru Selamat merupakan senjata yang ampuh untuk
mempertahankan status quo dan merupakan cara yang terbaik untuk menyakinkan agar umat tunduk kepada kezaliman. Lihat dalam Ali Syari’ati, Para Pemimpin Mustadh’afin, hlm. 85.
85
Ali Syari’ati menegaskan kembali bahwa ideologi dan kesadaran
kelas itulah yang menolongnya mencapai kesadaran istimewa tentang
kehidupan dan jalan bertindak yang jelas, jalan hidup, dan jalan berfikir
dengan cita-cita jelas yang membentuk filsafat hidupnya.22 Jadi, dengan
ideologi, manusia akan menghindarkan dari sifat oportinis, reaksioner dan
ragu-ragu dalam menentukan arah perubahan sosial.
2. Mewujudkan Tatanan Masyarakat Baru
Didunia ini pernah dihuni oleh para pemikir besar pada zamannya.
Dalam tradisi pemikiran Yunani Klasik, terdapat sederet pemikiran
termasyur seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Tetapi sepanjang hidup
mereka, masyarakat Yunani tetap merasakan perbudakan yang sangat
kejam. Begitu pula di Timur memiliki Ibnu Arabi, Ibnu Sina dan al-
Ghazali berada dalam masyarakat yang korup. Menurut Syari’ati mereka
bukanlah manusia yang tercerahkan. Bahkan Syari’ati menilai akan
menjadi bahaya besar jika para pemikir terpisah dari masyarakat. Karena
Jika seorang pemikir memisahkan diri dari masyarakat, ia tidak peduli
dengan perbudakan dan penguasa yang korup serta tidak memiliki
tanggung jawab sosial untuk meningkatkan drajat martabat kemanusiaan.
Dalam buku “Membangun Masa Depan Islam” memuat analisis
Syari’ati mengenai kaum cerdik pandai yang terbagi dua, yaitu kaum
intelektual yang memanfaatkan pengetahuan teoritis dan praktis mereka –
seperti para pemikir diatas, dan kaum yang tercerahkan yang memikul
22 Ali Syari’ati, Tugas Cendiakiawan Muslim, hlm. 223.
86
tanggung jawab sosial dan memainkan perannya sebagai nabi-nabi sosial.
Pendeknya, tugas manusia tercerahkan adalah memwujudkan tatanan
masyarakat baru tanpa penindasan. Hal inilah yang kemudian menjadi
fokus sorotan tokoh revolusioner Iran, Ali Syari’ati yang dengan lantang
menyatakan bahwa:
“Perbedaan antara cendekiawan Timur yang bebas dan cendekiawan Timur yang berfikir kebarat-baratan adalah bahwa yang pertama tidak pernah ingin membatasi dirinya pada norma-norma intelektual yang diimpor dari barat, sedangkan yang kedua menganggap Barat sebagai model yang harus ditiru. Tipe yang berorientasi ke Barat mungkin seorang intelektual, sangat terpelajar dan seorang sarjana, walaupun demikian dia terlalu terasing atau terpisah dari masyarakatnya untuk dapat mempengaruhi masyarakat secara konstruktif. Tipe ini tidak dapat menjadi pemimpin rakyatnya yang sadar dan faham, karena ia tidak mengenal kenyataan-kenyataan dan kebutuhan–kebutuhan nyata dari masyarakatnya.....”.23
Dalam konteks peradaban modern yang telah membuat manusia
lebih “beradab” –dengan pelbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah memberikan kemudahan-kemudahan manusia dalam
memenuhi kebutuhannya. Namun sebaliknya, Syari’ati berbeda pandangan,
ia menganggap bahwa peradaban modern sedang mengalami kemerosotan.
Syari’ati menyatakan, bahwa malapetaka umat manusia di zaman modern
ini, pertama-tama dan yang paling utama adalah mapetaka kemanusiaan.24
Seperti halnya teori marxisme, Syari’ati menyatakan bahwa akar persoalan
dari malapetaka kemanusiaan adalah kepemilikan pribadi. Syari’ati
menegaskan bahwa “munculnya kepemilikan pribadi merupakan sumber
23 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 87 24 Ali Syari’ati, Humanisme, hlm. 65.
87
datangnya bermacam-macam penyakit, termasuk gangguan terhadap tata-
hubungan kemasyarakatan dan pengingkaran atas nilai-nilainya.”25
Telah diterangkan pada bab terdahu, Syari’ati menyebutkan bahwa
konflik antara Habil dan Qabil dilandasi adanya kepemilikan pribadi.
Dengan demikian, masyarakat telah terpolarisasi menjadi dua kutub yang
saling berlawanan sepanjang sejarah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Marx dan Engels bahwa sejarah semua masyarakat hingga sekarang ini
adalah sejarah perjuangan kelas.26 Dewasa ini, sistem ekonomi yang
dikuasai oleh kapitalisme sebagai pemilik sah dari alat-alat produksi telah
menguasai kehidupan masyarakat. Sehingga manusia berada dalam
belenggu penindasan, penghisapan oleh segelintir orang. Ilustrasi
percakapan Syari’ati dengan Imam Ali menunjukan betapa dahsyatnya
penindasan di zaman modern, berikut ini kutipannya:
Kami bekerja untuk sistem, kekuasaan, mesin, dan istana-istana yang dipelihara melalui kerja keras kami. Kekayaan dikumpulkan dari hasil keras kami, tapi bagian yang kami terima hanya potongan yang terkecil; kami diharuskan bekerja kembali pada hari berikutnya. Kini kami lebih tersiksa daripadamu! Kekejaman dan diskriminasi yang kini terjadi jauh lebih menyakitkan dari zamanmu!27
Syari’ati melihat bahwa sistem kapitalisme yang ditopang oleh
kemajuan teknologi dan perkembangan mesin-mesin industri telah
mengingkari eksistensi manusia dengan mengeksploitasi begitu kejam.
Peradaban modern dalam jerat kapitalisme membuat manusia merasa cemas
25 Ali Syari’ati, Peranan Cendiakiawan Muslim,hlm. 14-15. 26 Marx dan Engels, Manifesto Partai Komunis, dalam Jurnal Kiri no. I, Juli 2000, hlm.
43-44. 27 Ali Syari’ati, Para Pemimpin Mustadh’afin, hlm. 11-12.
88
dan gelisah dalam setiap mengambil keputusan –ia tidak tahu apa yang
sebenarnya yang diinginkan. Syari’ati menyatakan “mesin-mesin yang
semula menjadi alat bagi manusia untuk menjadikan penguasa atas alam dan
dibebaskan dari perbudakan kerja, kini berubah menjadi sistem mekanis
yang membelenggu manusia.”28
Peradaban modern terus melaju dan sistem kapitalisme pun berupaya
memperbaiki dan memperkokoh diri. Menurut Syari’ati, “kaum kapitalisme
kini telah mempekerjakan para ahli sosiologi, para filsuf, bahkan mereka
menggaji pakar-pakar sosialis dan marxis”.29 Tidak lain, kaum kapitalis
menggunakan jasa mereka untuk memuluskan jalan penindasan secara
ilmiah. Hal itu telah membuktikan bahwa kapitalisme telah
mentransformasikan “sesat pikir” terhadap intelektual-intelektual dan
sayangnya mereka menerima dengan bangga. Kemudian Ali Syari’ati
mengatakan:
Fungsi mereka adalah menyebarkan pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan Eropa yang dicomot dan dipilih terlebih dahulu, dan juga menyebarkan gaya hidup, hubungan sosial, dan pola-pola moral, serta prilaku barat. Intelektual-palsu itu diharapkan dapat menjadikan rakyat “modern” dan meniru golongan elit dan progresif dan mendidik para pemuda dari masyarakat-masyarakat non-Eropa agar menyerap budaya Eropa sehingga tersedialah dasar untuk penyusupan dan kedatangan Barat.30
Dalam kondisi di atas manusia sering disebut sedang mengalami
keterasingan. Dimana manusia tidak lagi mengenali dirinya sendiri dan
terjatuh pada kekuatan-kekuatan diluar dirinya, karena mau tidak mau harus
28 Ali Syari’ati, Humanisme, hlm. 65. 29 Ali Syari’ati, Peranan Cendiakiawan Muslim,hlm. 67. 30 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 73.
89
mengikuti alur kebudayaan dan pola pikir yang telah dipaksakan oleh
kapitalis. Syari’ati mengungkapkan hal itu dengan begitu mendalam, yakni;
“konsepsi saya mengenai diri saya tidak seperti saya sebenarnya dalam
realitas, tetapi sebagaimana adanya “mereka”; yaitu saya yang terasing.”31
Dari situ, intelektual dipandang gagal memberikan kontribusi dalam
menjembatani masyarakat untuk menemukan jati dirinya.
Ali Syari’ati menekankan manusia tercerkan harus menganalisa
keadaan objektif masyarakat dan mencari akar persoalan dari ketertindasan
serta mempelopori gerakannya. Maka daripada itu, seperti yang telah
dibahas sebelumnya –manusia tercerahkan membutuhkan ideologi, yakni
Islam. Menurut Syari’ati, manusia tercerahkan merupakan agen perubahan,
motor radikalisasi massa dalam melawan penindasan. Syari’ati menegaskan
bahwa orang tercerahkan adalah aktivitas radikal yang meyakini sungguh-
sungguh dalam ideologi dan menginginkan syahid demi perjuangan.
Syari’ati menyatakan esensi tanggung jawab adalah ‘Amr ma’ruf nahi
munkar.32 Misi yang dibawa orang tercerahkan adalah membangkitkan
“massa yang tertidur” dengan mengidentifikasi persoalan riil berupa (1)
kemunduran masyarakat dan Islam, (2) agama dan keadilan –sebagai solusi
rasional untuk menggeluti persoalan yang mencual dalam masyarakat.33
Walaupun Syari’ati sering bicara kelas, namun dalam hal ini –kesadaran
31 Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, hlm. 141. 32 Ali Syari’ati, Agama Versus Agama, hlm. 38. 33 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 89.
90
untuk bergerak tidak selalu muncul dari kesadaran kelas, namun bisa
berangkat dari kesadaran agama Islam.
Manusia tercerahkan dalam perjuangannya akan membawa
masyarakat yang terpolarisasi menuju masyarakat tauhid. Di dalam
masyarakat tauhid tidak mengenal kontradiksi legal, sosial, politik, rasial,
nasional, teritorial, maupun genitika.34 Konsepsi ekonomi yang ditawarkan
Syari’ati dibangun diatas dasar persamaan dan keadilan serta hak milik yang
diberikan di tangan rakyat.35 Pandangan Syari’ati tentang masyarakat masa
depan tidak terlalu berbeda dengan masyarakat tanpa kelas (komunisme)
dalam paradigma marxisme. Inilah tanggung jawab utama manusia
tercerahkan untuk menegasikan penindasan menuju masyarakat baru, yakni
masyarakat tauhid dengan prinsip persamaan dan keadilan.
C. Refleksi Tanggung Jawab Manusia Indonesia
Ke-modern-an Eropa yang dipelopori oleh gerakan renaisans membawa
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Industri-industri raksasa –ditopang
teknologi canggih telah melahirkan kolonialisme sebagai tragedi kemanusiaan.
Tragedi kemanusiaan pun terjadi di Indonesia. Pada konteks ini, kemanusiaan
lahir dari pengalaman manusia Indonesia itu sendiri.
Periode kolonialisme, manusia Indonesia tidak memiliki kebebasan dan
cenderung merendahkan. Tidak dipungkiri bahwa praktek kolonial bertindak
semena-mena dengan menindas, membunuh dan menciptakan budaya-budaya
yang sesungguhnya asing bagi masyarakat Indonesia. Pendidikan Barat di
34 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm.79. 35 Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 92.
91
bawah kekuasaan kolonial merupakan pem-Barat-an yang bersifat peniruan.
Namun pengalaman ketertindasaan ini melahirkan kesadaran para intelektual
yang melahirkan tanggung jawab untuk melakukan perjuangan menjadi
manusia merdeka. Sebagaimana menurut Syari’ati, manifestasi manusia
dialektika selalu mengambil bentuk yang saling berlawanan, yakni antara yang
ditindas dan yang menindas. Sehingga para intelektual Indonesia merumuskan
gagasan tentang kemerdekaan dan melakukan pemberontakan terhadap
kolonial hingga tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Perjuangan intelektual Indonesia, nampaknya selaras dengan ungkapan
syari’ati bahwa “anti-kolonialisme tidak hanya melawan kolonialisasi tetapi
juga menjalankan revolusi untuk menentang dan berusaha untuk bebas
darinya.”36
Namun, berbeda dengan Syari’ati, revolusi Indonesia bukan berpegang
dengan ideologi Islam, melaiankan penyatuan ideologi Nasionalisme, Agama
dan Komunisme (Nasakom). Sehingga Indonesia tidak melahirkan negara
Islam seperti di Iran, tetapi memfasilitasi ketiga ideologi besar tersebut dengan
Pancasila. Bisa dibilang tujauan revolusi Indonesia tidak hanya melepaskan diri
dari imperialisme dan sisa-sisa feodal, tetapi revolusi tahap selanjutnya menuju
sosialisme ala Indonesia. Soekarno menjelaskan hakikat revolusi ini dalam
pidatonya “Djalannja Revolusi Kita (Djarek) yakni:
Perombakan, penjebolan, penghancuran, pembasmian dari semua apa yang kita tidak sukai, dan membangun segala apa yang kita sukai. Revolusi adalah perang melawan keadaan yang tua untuk melahirkan yang muda dan revolusi Indonesia adalah bagian yang tak terpisahkan daripada revolusi dunia, karena tiga perempat dari umat manusia di muka bumi ini berada dalam kondisi
36 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 82-83.
92
mengalami revolusi. Berbicara tahap revolusi dan tujaunnya ada dua macam tahap revolusi yaitu: pertama, tahap mencapai Indonesia merdeka penuh, bersih dari imperialisme dan yang demokratis serta bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap ini masih harus diselesaikan dan disempurnakan. Kedua, tahap mencapai Indonesia ber-Sosialisme Indonesia, bersih dari kapitalisme dan dari expoitation de l’homme par l’homme. Tahap ini bisa dilaksanakan dengan sempurna setelah tahap pertama sudah diselesaikan seluruhnya.37
Manusia tercerahkan dan tanggung jawabnya selanjutnya adalah
menuikan tugas revolusi tersebut yang luntur dibawah kekuasan orde baru.
Pada masa orde baru, dengan sistem pemerintahan yang tidak jauh beda dengan
rezim Pahlevi di Iran, yakni otoriter dan dibawah kekuasan imperialisme.
Dengan kekuatan militer, rezim orde baru melahirgan berbagai tragedi
kemanusiaan, yakni tragedi 1965, tragedi Malari tahun 1974, tragedi Tanjung
Priok dan tragedi Tri Sakti dan Semanggi.
Senada dengan tindakan Pahlevi, orde baru mengimpor budaya dan
memiliki kegemaran mengirim intelekutal ke Barat, kemudian mempraktekan
ilmu yang didapat di Indonesia. Intelektuan dimanjakan oleh orde baru
sehingga para intelektual orportunis mendukung dan membela kebijakan status
quo. Hasilnya adalah pemerintah orde baru menjalankan kebijakan-
kebijakannya sangat pragmatis. Hal demikian itu, tidak dipungkiri akibat
modernisasi yang dijadikan sebagai titik tolak pembangunan. Dimana
perekonomian Indonesia bersandarkan pada perekonomian Barat. Sehingga
para pemodal Barat dan kalangan elit (bourjuasi) saja yang menikmati
perekonomian di Indonesia.
37 Penetapan Tujuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, (Bandund: cv. Dua-R, 1961),
hlm.61-62.
93
Kemudian paska reformasi, tragedi kemanusiaan semakin besar.
Pemerintahan dengan mazhab neoliberal, menjalankan kebijakan privatisasi
dan perjanjian perdagangan bebas yang menguntungkan kapitalisme global.
Perkembangan kapitalisme global membutuhkan adanya masyarakat konsumen
yang akan melahap semua produk kapitalisme tersebut. Masyarakat konsumen
dengan budaya kunsumsi telah menjadikan eksistensi manusia modern.
Fenomena masyarakat konsumen, yang hidupnya diatur oleh logika
kapitalisme global dimana makna hidup dan identitas diri mereka ditentukan
dalam kegiatan konsumsi. Hal itu sebenarnya merupakan fenomena yang
menunjukkan bahwa dunia sedang mengarah pada situasi yang tidak menentu.
Meminjam istilah Syari’ati, manusia Indonesia telah menjadi “hewan-hewan
konsumen.”
Tindakan sewenang-wenangan status quo selalu mengunakan alat-alat
lain untuk memperkuat posisi dan melegitimasi. Seringkali lembaga-lembaga
sosial maupun lembaga agama dipolitisir oleh para elit kedua lembaga tersebut.
Di mana lembaga sesungguhnya bukan lagi hanya sebagai wadah untuk
memperjuangkan hak-hak kelompok, namun menjadi alat untuk meraih
kekuasan. Dengan kata lain, kedua lembaga itu saat ini telah ternodai oleh
kepentingan pragmatis, sehingga melupakan tujuan dan misinya. Terbukti,
dengan terciptanya lembaga-lembaga agama dibawah pengawasan pemerintah
telah menjadi alat untuk meninabobokan masyarakat melalui fatwa-fatwa para
elit agama yang berada di dalam lembaga pemerintahan. Misalnya kasus
terbaru tentang fatwa haram bagi orang mampu dalam mengakses BBM
94
bersubsidi. Pertanyaanya, bagi pemerintah yang tidak menjalankan amanat
UUD 1945 pasal 33, malah yang terjadi pemerintah gemar melakukan
privatisasi sehingga kekayaan alam Indonesia dirampok terang-terangan oleh
korporasi raksasa internasional tidak lebih haram?.
Dari parodi persoalan tersebut, maka manusia (Indonesia) tercerahkan
harus berada di tengah-tengah masyarakatnya, harus menunjukkan tanggung
jawabnya untuk mencari akar permasalahan yang menyebabkan
keterbelakangan masyarakat serta berupaya menemukan solusi yang tepat bagi
kemandekan dan kebobrokan yang menimpa rakyat yang ada di sekitarnya.
Terlebih, ia harus mendidik masyarakatnya yang masih bodoh ataupun masih
tertidur, mengenai alasan-alasan mendasar yang membuat nasib masyarakatnya
yang secara sosio-historis terlihat amat tragis dan dilematis.38 Kemudian tugas
manusia tercerahkan adalah menciptakan revolusi sosial yang membawa
manusia Indonesia menuju persamaan dan keadilan.
D. Catatan Untuk Ali Syari’ati
Pemikiran Ali Syari’ati tentang manusia terkesan ambigu. Hal itu
dikarenakan Syari’ati sosok pemikir yang cenderung eklektis –yang
mengakibatkan “rasa ragu” terhadap orisinalitan pemikirannya. Syari’ati sangat
kental dengan kombinasi antara Islam dan marxisme, bahkan paradigma
kerangka dan analisis menggunakan marxisme.
Di dalam manusia dua dimensional yang sejatinya merupakan simbol
kebebasan, Syari’ati menggunakan metode dialektika –yang menunjukan
38 Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 42
95
adanya kontradiksi (pertentangan). Namun pertentangan yang muncul terkesan
pada realitas penampakan saja –dialektika termanifestasi dalam perjaungan
kelas (Habil vs Qabil). Hal ini karena orientasi pemikiran Syari’ati tentang
manusia adalah jembatan untuk melakukan revolusi. Sehingga lebih jauh
daripada itu, dialektika Syari’ati mengenai esensi manusia belum begitu
mendalam. Syari’ati terkadang juga tidak konsisten dalam melihat akar
persoalan terjadinya pertentangan dalam realitasnya. Disalah satu sisi, Syari’ati
menyebutkan terjadinya pertentangan karena adanya kepemilikan, namun disisi
lain adalah keyakinan. Syari’ati mengembangkan konsep “kelas keyakinan”
dalam rangka menjelaskan kemunculan apa yang ia anggap sebagai kelas
ulama –yang menghasilkan “institusi ulama” yang terpusat dan berpikiran
sempit.39
Berkaitan dengan kebebasan, kesadaran dan kreatifitas manusia dalam
pandangan Syari’ati harus lepas dari belenggu determinisme. Namun disisi
lain, Syari’ati menyatakan bahwa pengetahuanlah yang membuat manusia
memiliki kesadaran-diri diperoleh dari Tuhan sebagai guru pertama bagi
manusia. Jika berbicara mazhab determinisme, Syari’ati telah terjatuh pada
fatalisme, yakni segala sesuatu tindakan atau yang melekat pada manusia
ditentukan oleh kehendak Tuhan. Dengan demikian, manusia dalam pemikiran
Syari’ati akan berbeda dengan Jean-Paul Sartre yang menolak determinisme
secara mutlak. Menurut Syari’ati eksistensialisme Sartre merupakan
kemunduran yang disayangkan dari eksistensialisme yang agung, dari puncak
39 Lihat dalam Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual, hlm. 313-314.
96
manusia-tuhan ke gurun kecemasan yang sia-sia. Nihilis eksistensialisme tidak
memiliki tujuan hidup yang pasti. Kemudian Syari’ati menghadirkan esensi
dari segala realitas yakni Tuhan.
Islam sebagai ideologi ketika terlembagakan menjelma sebagai negara
yang sifat dan perannya represif akan menjadi kontraproduktif. Ideologi
haruslah evaluatif dan dinamis, karena kenyataan gagasan dan struktur
kesadaran dan konsep itu bersifat dinamis –dimana kenyataan berada dalam
perubahan yang terus-menerus. Di dalam dialektika, proses kritis hanya
berlangsung supaya sebuah tafsir realitas tidak berubah menjadi alat
pembenaran status quo.40 Islam sebagai idelogi sebagaimana tawaran Syari’ati
harus terus dinamis dengan kondisi sosial yang terus berkembang dengan
tujuan pembebasan manusia dari belenggu penindasan. []
40 Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi, hlm. 91.
97
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian di atas, ada beberapa hal yang menjadi
kesimpulan dari pembahasan kajian manusia dalam pemikiran Ali Syari’ati,
sebagai berikut:
1. Pandangan Ali Syari’ati tentang manusia
Pandangan Ali Syari’ati mengenai manusia terdapat pelbagai
kategori, yakni; khalifah, manusia dua-dimensional, insa>n, dan manusia
tercerahkan. Kategori khalifah: Syari’ati memahami bahwa manusia
sebagai khalifah yang bertugas supaya menyesuaikan sifatnya dengan sifat-
sifat Tuhan. Bagian pokok yang menjadikan manusia lebih superior di
antara semua makhluk ciptaan-Nya ialah akal –anugerah tertinggi itulah
yang menyebabkan malaikat dan iblis harus bersujud di hadapan Adam.
Kategori Manusia dua-dimensional: berdasarkan kisah penciptaan Adam
diketahui bahwa manusia terdiri dari dua dimensi, yakni material (tanah)
dan spiritual (ruh Tuhan). Lebih lanjut Syari'ati memaknai bahwa dimensi
material merupakan simbol kehinaan, sementara dimensi spiritual sebagai
simbol kemuliaan. Sebagai manusia dua dimensional, manusia diberi
tanggung jawab berupa kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya, yakni
pilihan kepada jalan kehinaan maupun jalan kemuliaan. Kategori insa>n:
Syari'ati berpendapat bahwa manusia secara kualitas terdiri dari basya>r dan
98
insa>n. Manusia yang dalam hidupnya tinggal menjalani takdir (being), itulah
basya>r, sedangkan insa>n ialah manusia yang hidupnya selalu men-jadi
(becoming) menuju kesempurnaan. Oleh karena proses itulah, insa>n
memiliki tiga ciri khas utama, antara lain: kesadaran diri, kehendak bebas
dan daya cipta. Syari’ati menyebutnya sebagai manusia tiga dimensional.
Kategori yang terakhir yakni manusia tercerahkan: Syari’ati berpandangan
manusia tercerahkan adalah orang yang sadar akan keadaan kemanusiaan
(human condition) di masanya, serta setting kesejarahannya dan
kemasyarakatnya. Pada prinsipnya tanggung jawab sosial yakni mendorong
terwujudnya perubahan-perubah struktural yang mendasar, seperti tanggung
jawab yang pernah diemban oleh para nabi terdahulu.
Dari katagori manusia diatas Syari’ati hendak mengatakan bahwa
manusia sejatinya adalah manusia yang berdialektika menuju
kesempurnaan. Dengan karunia intelekutal dilengkapi dengan atribut
kesadaran, kebebasan dan kretivitas serta memiliki moral yang agung yaitu
tanggung jawab manusia dituntut menjadi manusia sempurna.
2. Konsep manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial
Selanjutnya sebagai manifestasi manusia dua dimensional, manusia
dihadapkan pada polarisasi dalam masyarakat. Polarisasi tersebut
mengambil bentuk antagonisme yang menghasilkan penindasan-penindasan,
Syari’ati menyebut kutub Qabil menindas Habil. Syari’ati berpandangan
bahwa jika ingin membebaskan kaum Habil dibukuhkan suatu perubahan
yang fundamental –yakni revolusi –yang digerakan manusia tercerahkan
99
untuk mengakhiri penindasan kaum Qabil. Sebagai orang yang sadar akan
keadaan kemanusiaan serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatnya
membutuh ideologi. Jadi, dengan ideologi, manusia akan menghindarkan
dari sifat oportinis, reaksioner dan ragu-ragu dalam menentukan arah
perubahan sosial. Syari’ati menawarkan Islam sebagi Ideologi. Agama Islam
merupakan agama revolusioner, yang memberi seseorang; individu yang
beriman padanya, yang didik dalam pemikiran aliran agama ini, kemampuan
untuk mengkritik kehidupan dalam seluruh aspek materiil, spiritual dan
sosial. Dengan ideologi inilah tanggung jawab utama manusia tercerahkan
untuk menegasikan penindasan menuju masyarakat baru, yakni masyarakat
tauhid dengan prinsip persamaan dan keadilan.
B. Saran -saran
1. Penyusun menyadari betul dalam penulisan skripsi ini masih banyak sekali
terdapat kekurangan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Saran untuk
penelitian selanjutnya, penyusun melihat bahwa pemikiran Syari’ati
cenderung mengarah ke sebuah paham eklektisisme, yang pada gilirannya
membuat orang keliru memahaminya. Sehingga perlu kiranya untuk berhati-
hati dalam membedah pemikiran Ali Syari’ati.
2. Keterbatasan kemampuan penyusun dalam meneliti pemikiran Ali Syari’ati
tentang manusia, harapannya dapat diperdalam oleh penyusun berikutnya.
Tema manusia yang penyusun paparkan mungkin terlalu luas, sehingga
perlu juga memfokuskan pada salah satu kategori manusia agar lebih
mendalam.
100
3. Karena Ali Syari’ati seorang intelektual sekaligus tokoh yang revolusioner,
perlu juga kirannya bagi penyusun berikutnya dapat membedah manusia
tertindas Indonesia. Ketika kita berkaca pada masyarakat Indonesia,
mayoritas masih mengalami kemiskinan. Penyusunan tema tersebut
berpotensi besar terhadap kemajuan rakyat Indonesia. []
101
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. Filsafat Manusia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006. Adian, Gahral. Matinya Metafisika Barat. Jakarta: Komunitas Bambu, 2001. Asy’arie, Musa. “Filsafat Islam Suatu Tinjauan Ontologis” dalam Irma Fatimah
(ed.), Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif. Yogyakarta: LESFI, 1992.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000. Bakker, Anton & Charris Zubair, Achmad. Metodologi Penelitian Filsafat, cet.
XIV, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010. Engels, Frederick. Anti-Dühring. terj. Oeyhaydjoen. Hasta Mitra-Ultimus, 2005. Fakultas Ushuluddin. Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi. Yogyakarta:
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2008. Indonesia. Penetapan Tujuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi. Bandund: Cv.
Dua-R, 1961. Ismulyadi, Sosialisme Islam Ali Syari’ati. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan
Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001. Magnis-Suseno, Franz. Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta:
Kanisius, 2009. Marcuse, Herbert. Manusia Satu-Dimendi, terj. Silvester G. Sukur & Yusup
Priyasudiarja, cet. I. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000. Marx dan Engels, “Manifesto Partai Komunis”, dalam Jurnal Kiri. I. Neuron,
2000. Martini, Iin. Konsep Intelektual Menurut Ali Syari’ati. Skripsi Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007. Muchasin, Asal Usul Manusia Sebuah Pengantar dalam Muhammad Muhyidin,
Asal Usul Manusia. Yogyakarta: IRCiSoD, 2006. Muhyidin, Muhammad. Asal Usul Manusia. Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.
102
Nasution, Muhammad Yasir. Manusia menurut Al-Ghazali. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Plekhanov, G. Masalah-Masalah Dasar Marxisme. Jakarta: Hasta Mitra, 2002. Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad. Bandung:
Pustaka, 1985. Rahnema, Ali. Ali Syari'ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. Dien
Wahid, dkk., Jakarta: Erlangga, 2002. Rais, Amien. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, 1994. Sabari, Henry S. Dostoevsky: Menggugat Manusia Modern. Yogyakarta:
Kanisius, 2008. Saragih, Khairul Azhar. Pandangan Ali Syari’ati Tentang Tanggung Jawab
Sosial Intelektual Muslim: Perbandingan Dengan Intelektual Muslim Di Indonesia, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.
Sarbini, Islam Ditepian Revolusi Ideologi Pemikiran dan Gerakan. Yogyakarta:
Pilar Media. Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam: Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, terj.
M Imam Aziz. Yogyakarta: LKiS, 1993. Sarwar. H.G., Filsafat AL-Quran, terj. Zaenal Muhtadin Mursyid. Jakarta:
Rajawali Pers, 1990. Siswanto, Dwi. Humanisme Eksistensial Jean-Paul Sartre. Yogyakarta:
Philosophy Press, 2001. Supadjar, Damardjati. “Sosok dan Perspektif Filsafat Islam: Tinjauan Aksiologis”
dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif. Yogyakarta: LESFI, 1992.
Supriadi, Eko. Kaitan antara Marxisme dan Islam Perspektif Pemikiran Ali
Syari’ati. Skripsi Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, 2002. Syari'ati, Ali. Peran Cendekiawan Muslim: Mencari Masa Depan Kemanusiaan,
Sebuah Wawasan Sosiologis, terj. Team Naskah Shalahuddin Press. Yogyakarta: Shaahuddin Press, 1985.
--------- Abu Dzar: Suara Parau Menentang Penindasan, cet. I. Bandar Lampung:
YAPI, 1987.
103
--------- Membangun Masa Depan Islam, terj Rahmani Astuti. Bandung: Mizan,
1988. --------- Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, terj. Safiq Basri dan
Haidar Bagir. Bandung: Mizan, 1994. --------- Humanisme: Antara Islam dan Mazhab Barat, cet. II. Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996. ------- Agama versus Agama, cet. I, terj. Afif Muhammad dan Abdul Syukur.
Bandung: Pustaka Hidayah, 1994. --------- Humanisme antara Islam dan Mazhab Barat, cet. II. Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996. --------- Islam Agama Protes, cet. II, terj. Satrio Pinandito. Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996. --------- Para Pemimpin Mustadh’afin; Sejarah Panjang Perjuangan Melawan
Penindasan dan Kezaliman, cet. I. Bandung: Muthahari Paperbacks, 2001. --------- Fatimah az-Zahra Pribadi Agung Putri Rasulullah SAW, terj. Muhammad
Hashem Assagaf. Jakarta: Pustaka Zahra, 2003. --------- Haji, cet. VII. Bandung: Pustaka, 2006. --------- Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amin Rais. Yogyakarta: Shalahuddin
Press, t.t. Takeshita, Mesataka. Insan Kamil; Pandangan Ibnu ‘Arabi, terj. Harir Muzakki.
Surabaya: Risalah Gusti, 2005. Takwin, Bagus. Akar-akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari
Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra, 2009. Titus (dkk.), Persoalan-persoalan Filsafat. terj. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan
Bintang, 1984. van der Weij, P. A. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens,
Yogyakarta: Kanisius, 2006. Widyastini, Filsafat Manusia menurut Confucius dan al-Ghazali. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999
104
Z, T. Lavine, Marx Konflik Kelas dan Orang Yang Terasing. Yogyakarta: Jendela, 2003.
CURRICULUM VITAE
Nama : Akhmad Azmir Zahara
Tempat / Tanggal Lahir : Banjarnegara, 12 Mei 1985
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Golongan Darah : O
Orang Tua Ayah : Suwaryono
Ibu : Salmini Spd. SD
Pekerjaan : PNS
Alamat Asal : Ds. Karangjambe RT 03/ II, Wanadadi,
Banjarnegara, Jawa Tengah
No Telepon : 087838244015
Alamat Yogyakarta : RT 47/ 10 Keparakan Lor, Yogyakarta
Jenjang Pendidikan Formal:
1. SD N II Karangjambe Lulus 1996
2. SLTP II Wanandadi Lulus 1999
3. SMU N I Batur, Banjarnegara Lulus 2002
Pengalaman Organisasi :
1. Anggota organisasi kepemudaan AC Kopak (Komplek Ngablak)
2. Anggota Sanggar 28 Terkam (Teater Kampus)
3. Pengurus Harian SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia)