Upload
yusup-ebiet
View
222
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
marasmus merupakan salah satu masalah gizi terbesar di indonesia dan merupakan salah satu jenis dari gizi buruk
Citation preview
Marasmus, Kwassiorkor, tipe Kurang Energi Protein
Kurang Energi Protein (KEP) merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang berbeda-beda, pada derajat yang ringan sampai berat. Beberapa pengertian Kurang Energi Protein (KEP):
KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan proteindalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Disebut KEP apabila berat badannya kurang dari 80 % indeks berat badan menurut (BB/U) baku WHO-NCHS.
Istilah Kurang Energi Protein (KEP) digunakan untuk menggambarkan kondisi klinik berspektrum luas yang berkisar antara sedang sampai berat. KEP yang berat memperlihatkan gambaran yang pasti dan benar (tidak mungkin salah) artinya pasien hanya berbentuk kulit pembungkus tulang, dan bila berjalan bagaikan tengkorak (Daldiyono dan Thaha, 1998).
KEP adalah gizi buruk yang merupakan suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk itu sendiri adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun atau kekurangan gizi tingkat berat. Gizi buruk yang disertaidengan tanda-tanda klinis disebut marasmus, kwashiorkor dan kombinasi marasmus kwashiorkor(Soekirman (2000).
KEP terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori dan protein atau keduanya tidak tercukupi oleh diet. Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan bersisian, meskipun salah satu lebihdominan ketimbang yang lain.
Almatsier (2004) mengatakan KEP adalah sindroma gabungan antara dua jenis kekurangan energi dan protein, dimana sindroma ini merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia.
Beberapa tipe Kurang Energi Protein (KEP) dapat disebutkan, bahwa KEP atau gizi buruk pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit. Masih seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai kurus. Sedangkan bagi KEP yang tingkat berat yang disertai dengan gejala klinis disebut marasmus atau kwashiorkor, dimasyarakat lebih dikenal sebagai“busung lapar”.
Jika kondisi KEP cukup berat dikenal dengan istilah marasmus dan kwashiorkor, masing-masing dengan gejala yang khas, dengan kwashiorkor dan marasmik ditengah-tengahnya. Pada semua derajat maupun tipe KEP ini terdapat gangguan pertumbuhan disamping gejala-gejala klinis maupun
biokimiawi yang khas bagi tipenya. Klasifikasi KEP digunakan untuk menentukan prevalensi KEP disuatu daerah dengan melihat derajat beratnya KEP, hingga dapat ditentukan persentase gizi kurang dan berat di daerah tersebut (Pudjiadi, 2005)
Marasmus disebabkan oleh kekurangan energi. Marasmus berasal dari bahasa Yunani yangberarti wasting/merusak. Marasmus pada umumnya merupakan penyakit pada bayi (dua belas bulan pertama), karena terlambat diberimakanan tambahan. Marasmus merupakan penyakit kelaparan dan terdapat pada kelompok sosial ekonomi rendah (Almatsier, 2004).
Gejala klinis dari tipe KEP marasmus menurut Depkes RI, tampak sangat kurus, wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai celana longgar), perut cekung, iga gambang dan sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) serta diare kronik atau konstipasi/susah buang air.
Kwashiorkor. Kwashiorkor lebih banyak terdapat pada usia dua hingga tiga tahun yang sering terjadi pada anak yang terlambat menyapih sehingga komposisi gizi makanan tidak seimbang terutama dalam hal protein. Kwashiorkor dapat terjadi pada konsumsi energi yang cukup atau lebih (Almatsier, 2004).
Adapun gejala klinis dari tipe KEP kwashiorkor adalah ; edema umumnya diseluruh tubuh, terutama pada punggung kaki (dorsum pedis) yang jika ditekan melekuk, tidak sakit, dan lunak ; wajah membulat dan sembab ; pandangan mata sayu ; rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok ; perubahan status mental, apatis dan rewel ; pembesaran hati ; otot mengecil (hipotropi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk ; kelainan kulit berupa bercak merah muda yangmeluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (Crazy pavement dermatosis) dan sering disertai penyakit infeksi, umumnya akut serta anemia dan diare.
Marasmus-Kwashiorkor. Tipe marasmus-kwasiorkor terjadi karena makanan sehari-harinya tidak cukup mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan normal. Pada tipe ini terjadi penurunan berat badan dibawah 60 % dari normal.
Gejala klinis dari tipe marasmus dan kwashiorkor adalah merupakan gabungan antara marasmus dan kwashiorkor yang disertai oleh edema, dengan BB/U < 60
% baku Median WHO NCHS. Gambaran yang utama ialah kwashiorkor edema dengan atau tanpa lesi kulit, pengecilan otot, dan pengurangan lemak bawah kulit seperti pada marasmus. Jika edema dapat hilang pada awal pengobatan, penampakan penderita akan menyerupai marasmus. Gambaran marasmus dan kwashiorkor muncul secara bersamaan dan didominasi oleh kekurangan protein yang parah (Arisman, 2004)
Gizi buruk merupakan keadaan kurang gizi pada tingkatan yang sudah berat, yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari. Secara langsung keadaan gizi dipengaruhi oleh ketidak cukupan asupan makanan dan penyakit infeksi. Sedangkan penyebab tidak langsung karena kurangnya ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga, pola asuh yang tidak memadai serta masih rendahnya akses pada kesehatan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat. Lebih lanjut masalah gizi disebabkan oleh kemiskinan, pendidikan rendah dan minimnya kesempatan kerja (UNICEF, 1998).
Penyebab lain timbulnya masalah gizi buruk, disamping kemiskinan dan kurangnya ketersediaan pangan, juga karena kurang baiknya sanitasi dan pengetahuan tentang gizi, serta tidak tercukupinya menu seimbang pada konsumsi. Banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa faktor sosio-budaya sangat berperan dalam proses konsumsi pangan dan terjadinya masalah gizi. Kebiasaan makan keluarga dan susunan hidangannya merupakan salah satu manifestasi kebudayaan keluarga yang disebut gaya hidup. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan yang kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi.
Sementara pendapat lain menyebutkan, bahwa faktor- faktor penyebab gizi buruk jika dilihat dari tingkatan penyebab gizi buruk, dibagi menjadi penyebab langsung, penyebab tidak langsung dan penyebab mendasar.
1. Penyebab langsung merupakan faktor yang langsung berhubungan dengan kejadian gizi buruk dan adanya penyakit. Interaksi antara asupan gizi dan infeksi akan saling menguatkan untuk memperburuk keadaan. Sehingga akan berakibat fatal penyebab kematian dini pada anak-anak.
2.
3. Penyebab tidak langsung merupakan faktor yang mempengaruhi penyebab langsung. Seperti akses mendapatkan makanan yang kurang, perawatan dan pola asuh anak kurang dan pelayanan kesehatan serta lingkungan buruk atau tidak mendukung kesehatan anak-anak. Faktor inilah yang akan mempengaruhi buruknya asupan makanan atau gizi anak dan terjadinya infeksi pada anak-anak.
4.
5. Penyebab mendasar terjadinya gizi buruk terdiri dari dua hal, yakni faktor sumber daya potensial dan yang menyangkut sumber daya manusia. Pengelolaan sumber daya potensial sangat erat kaitannya dengan politik dan idiologi, suprastruktur dan struktur ekonomi. Sementara sumber daya berkaitan erat dengan kurangnya pendidikan rakyat.
Masalah gizi tidak terbatas pada gizi buruk, namun juga gizi kurang. Masalah gizi sering terjadi pada anak–anak khususnya pada balita.
Sebagian besar balita yang menderita masalah gizi kurang, cenderung cepat berkembang menjadi gizi buruk setelah disapih atau pada masa transisi. Pada kondisi ini, resiko kematian lebih tinggi dari pada anak–anak yang berstatus gizi baik. Keadaan gizi kurang, terutama gizi buruk menurunkan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit, terutama infeksi. Keadaan ini juga dapat mangganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan jaringan otak yang akan mengurangi kualitas sumber daya manusia Indonesia, selain itu kita ketahui bahwa anak merupakan tunas bangsa yang kelak menjadi sumber daya manusia yang dapat diandalkan.
Masalah gizi, sebagian besar menimpa pada keluarga miskin. Hingga saat ini, selain kasus gizi buruk yang masih ditemukan, juga kasus gizi buruk lama yang sudah dilakukan penanganan, penting untuk tetap diperhatiakn agar kemungkinan kondisi status gizi tidak kembali memburuk. Beberapa penelitian menyimpulkan, bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan asupan protein. Semakin tinggi pendapatan asupan protein pada balita cenderung tinggi, demikian sebaliknya. Kondisi ini sangat mempermudah penjelasan, hubungan kemiskinan dengan gizi buruk ini.
Keadaan ekonomi keluarga berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan miskin. Hal ini disebabkan karena penduduk golongan miskin menggunakan sebagian besar pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Dua peubah ekonomi yang cukup dominan sebagai determinan konsumsi pangan yaitu pendapatan keluarga dan harga. Apabila pendapatan meningkat berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Pendapatan rendah pada keluarga gizi buruk tentu mengalami kesulitan dalam mengatur keuangan rumah tangga dalam pemenuhan gizi balita. Pendapatan yang kurang, sebenarnya dapat ditutupi jika keluarga tersebut mampu mengolah sumberdaya yang terbatas, antara lain dengan kemampuan memilih bahan makanan yang murah tetapi bergizi dan distribusi makanan yang merata dalam keluarga.
Penyebab langsung KEP adalah kurang makanan dan infeksi penyakit. KEP pada anak timbul tidak hanya karena kurang makanan, tetapi juga karena infeksi penyakit. Pada kenyataan di lapangan, kombinasi keduanya (kurang makanan dan infeksi penyakit) merupakan penyebab KEP. Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan di tingkat keluarga, pola asuh anak serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Pola pengasuhan sangat dibutuhkan oleh anak dalam memberikan perhatian, penyediaan waktu dan memberi dukungan anak agar tumbuh berkembang dengan baik.
Krisis ekonomi sangat terasa di pedesaan, sehingga status gizi balita di pedesaan lebih buruk dibandingkan dengan balita di perkotaan Masyarakat desa yang tempat
tinggalnya di pelosok desa berbeda secara bermakna dengan masyarakat di pinggir jalan besar dalam hal kunjungan mereka ke posyandu.
Hal ini sangat berpengaruh terhadap status gizi balita mereka Tingkat ekonomi masyarakat yang rendah merupakan penyebab gizi buruk Akibat lanjut dari gizi buruk adalah timbulnya berbagai penyakit ikutan. Salah satu faktor risiko terjadinya pneumonia pada anak balita adalah gizi buruk. Anak balita dengan status gizi buruk mempunyai faktor risiko terkena pneumonia 4 kali lipat dibandingkan dengan anak anak balita balita dengan status gizi baik.
Alternatif Penyelesaian Masalah
Upaya penanggulangan yang telah dilakukan oleh pemerintah antara lain seperti peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi melalui program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) atau Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), tatalaksana gizi buruk di puskesmas perawatan dan rumah sakit, serta Kadarzi atau pemberdayaan masyarakat melalui keluarga sadar gizi.