20
Massa Kongenital pada Hidung ABSTRAK Massa kongenital pada hidung termasuk kista dermoid, glioma dan ensefalokel. Massa kongenital merupakan kasus yang jarang, diperkirakan terjadi pada sekitar 1: 20.000 hingga 40.000 setiap kelahiran. Meski kasusnya jarang, penyakit ini penting secara klinis karena berpotensi memiliki hubungan dengan sistem saraf pusat. Biopsi pada lesi yang berhubungan dengan intrakranial dapat menyebabkan terjadinya meningitis ataupun kebocoran cairan serebrospinal. Penatalaksanaan pada massa ini adalah eksisi pembedahan. Informasi pre-operatif adanya suatu hubungan intrakranial diperoleh dari konsultasi dengan ahli bedah saraf dan direncanakan kraniotomi. Untuk mengetahui perkembangan massa congenital hidung, penting kita ketahui perkembangan embryologi yang normal. Kata kunci : massa kongenital hidung, embriologi, tatalaksana Abstract Congenital nasal masses include nasal dermoids, nasal gliomas, and encephaloceles. are rare congenital anomalies, estimated to occur in 1:20,000 to 40,000 births. Although rare, these disorders are clinically important because of their potential for connection to the central nervous system. Biopsy of a lesion 1

Massa Kongenital Hidung

  • Upload
    ekaefka

  • View
    20

  • Download
    3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Rinologi

Citation preview

Page 1: Massa Kongenital Hidung

Massa Kongenital pada Hidung

ABSTRAK

Massa kongenital pada hidung termasuk kista dermoid, glioma dan ensefalokel.

Massa kongenital merupakan kasus yang jarang, diperkirakan terjadi pada sekitar 1:

20.000 hingga 40.000 setiap kelahiran. Meski kasusnya jarang, penyakit ini penting

secara klinis karena berpotensi memiliki hubungan dengan sistem saraf pusat. Biopsi

pada lesi yang berhubungan dengan intrakranial dapat menyebabkan terjadinya

meningitis ataupun kebocoran cairan serebrospinal. Penatalaksanaan pada massa ini

adalah eksisi pembedahan. Informasi pre-operatif adanya suatu hubungan intrakranial

diperoleh dari konsultasi dengan ahli bedah saraf dan direncanakan kraniotomi. Untuk

mengetahui perkembangan massa congenital hidung, penting kita ketahui perkembangan

embryologi yang normal.

Kata kunci : massa kongenital hidung, embriologi, tatalaksana

Abstract

Congenital nasal masses include nasal dermoids, nasal gliomas, and

encephaloceles. are rare congenital anomalies, estimated to occur in 1:20,000 to 40,000

births.  Although rare, these disorders are clinically important because of their potential

for connection to the central nervous system.  Biopsy of a lesion with an intracranial

connection can lead to meningitis or cerebrospinal fluid leak.  The treatment of these

masses is surgical excision.  Preoperative knowledge of an intracranial connection

allows for neurosurgical consultation and planning for craniotomy.  To understand the

development of congenital nasal masses, knowledge of the normal embryological

development of the nose is important.

Key Word : congenital nasal masses, embryologi, treatment

 

1

Page 2: Massa Kongenital Hidung

PENDAHULUAN

Massa kongenital pada hidung termasuk kista dermoid, glioma dan

ensefalokel. Massa kongenital merupakan kasus yang jarang, diperkirakan terjadi pada

sekitar 1: 20.000 hingga 40.000 setiap kelahiran. Meski kasusnya jarang, penyakit ini

penting secara klinis karena berpotensi memiliki hubungan dengan sistem saraf pusat.

Biopsi pada lesi yang berhubungan dengan intracranial dapat menyebabkan terjadinya

meningitis ataupun kebocoran cairan serebrospinal. Pengobatan pada massa ini adalah

eksisi pembedahan. Informasi pre-operatif adanya suatu hubungan intrakranial diperoleh

dari konsultasi dengan ahli bedah saraf dan direncanakan kraniotomi. Kista sinus dermoid

adalah alah massa pada dorsum nasi atau intranasal, dengan lubang atau traktus sinus

yang terbuka pada dorsum nasi, rambut disekitar muara yang terbuka, dan cairan pus atau

cairan sebaseus yang keluar. Glioma nasal adalah massa jinak dengan karakteristik non

pulsasi, muncul di dorsum nasi atau dari dinding, telagiektasis di permukaan hidung, dan

tidak membesar bila dilakukan kompresi bilateral pada vena jugularis (Furstenberg test).

Ensefalokel dapat muncul sebagai pembesaran massa yang berpulsasi, membiru dekat

nasal bridge, bertransiluminasi, membesar saat pasien menangis ataupun dengan

kompresi bilateral pada vena jugularis interna, atau massa intranasal yang muncul dari

lempeng cribriformis. Untuk mengetahui perkembangan massa congenital hidung,

penting kita ketahui perkembangan embryologi yang normal. 1,2,3

KEKERAPAN

Massa kongenital pada hidung termasuk kista dermoid, glioma dan

ensefalokel. Massa kongenital merupakan kasus yang jarang, diperkirakan terjadi pada

sekitar 1: 20.000 hingga 40.000 setiap kelahiran. Insidensi Ensefalokel sekitar 1:35,000

kelahiran hidup 1:6000 kelahiran hidup di Asia tenggara dan Russia 30-40% Ensefalokel

berhubungan dengan anomali lain yaitu microcephaly, hydrocephalus, microopthalmia,

anopthalmia, agenesis of the corpus callosum, porencephaly, atrofi cortical , dilatasi

ventricular 3,4

2

Page 3: Massa Kongenital Hidung

EMBRIOLOGI HIDUNG

Periode terpenting pada embryologi wajah adalah pada 12 minggu pertama dari

perkembangan fetus. Antara minggu ke tiga dan ke empat perkembangan dari

perkembangan neural fold dan pembentukan tuba neuralis pada aspek dorsal dari embryo.

Penutupan lengkung neuralis dimulai di bagian tengah embryo dan meluas hingga ke

kranial dan kaudal. Elemen kunci dalam pemahaman perkembangan muka, termasuk

hidung, adalah sel-sel neural crest.. Tuba neuralis terbentuk dari penutupan lengkung

neuralis, sel-sel neural crest bermigrasi ke lateral dan anterior mengelilingi mata dan

prosesus frontonasal. Sel-sel neural crest terlibat dalam pembentukan komponen

ektodermal. Meski demikian, sel-sel neural crest pada daerah wajah membentuk sel-sel

mesenkim yang akan membentuk tulang, kartilago, dan otot wajah.

Selama pembentukan dasar tengkorak dan hidung struktur mesenkin dibentuk dari

beberapa pusat yang akan berfusi dan mulai osifikasi. Sebelum terjadi fusi terdapat celah

antar elemen yang penting pada perkembangan massa hidung kongenital. Celah-celah ini

yaitu fonticulus frontalis, ruang pre-nasal, dan foramen caecum. Fonticulus nasofrontalis

adalah jarak diantara Os nasal dan Os frontal. Ruang pre-nasal antara Os nasal dan

kapsula nasalis (prekursor septum dan kartilago nasalis). Selama perkembangan fetus

ruang ini normalnya mengalami penutupan dengan fusi maupun osifikasi. Perkembangan

struktur abnormal yang menyebabkan pembentukan dermoid, glioma dan ensefalokel di

hidung.

Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari dibagi menjadi

dua proses. Pertama, embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian

rongga hidung yang berbeda; kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian

berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate), dan

membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus.

Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu, perkembangan embrional

anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang

terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah

frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung

pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang

3

Page 4: Massa Kongenital Hidung

hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan

perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.

Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai

terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih

sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu

membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu,

mulailah terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus media. Dan pada

saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula ethmoidalis yang

membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris. Pada usia kehamilan

empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel etmoidalis anterior yang berasal

dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel ethmoidalis posterior yang berasal dari

bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu

, dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka.

Seluruh daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru

lahir, perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama berkembang

adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal. 1,4,6

KISTA DERMOID, MENINGOKEL, ENSEFALOKEL DAN GLIOMA NASAL

Merupakan kelainan bawaan dimana terjadi pemburutan selaput otak dan isi

kepala keluar melalui celah pada tengkorak atau tulang belakang. Etiologinya adalah

karena adanya defek pada penutupan spina bifida yang berhubungan dengan

pertumbuhan yang tidak normal dari korda spinalis atau penutupnya, biasanya terletak

pada garis tengah. Angka kejadiannya adalah 3 dari 1000 kelahiran. 2,6,7

Gambaran klinis: meningokel , biasanya terdapat pada daerah servikal atau daerah

torakal sebelah atas. Kantong hanya berisi selaput otak, sedangkan korda tetap dalam

korda spinalis dalam durameter tidaak terdapat saraf), sedangkan pada ensefalokel terjadi

pada bagian oksipital. Pada bagian ini terdapat kantong berisi cairan, jaringan saraf, atau

sebagian otak.

Ensefalokel nasal dan glioma nasal merupakan suatu anomali kongenital.

Ensefalokel nasal terjadi akibat herniasi meningens dengan ataupun tanpa jaringan otak,

melalui defek pada tengkorak. Lokasinya dapat terjadi di area occipital, basal, ataupun

4

Page 5: Massa Kongenital Hidung

frontoethmoidalis. Semua ensefalokel merupakan defek tengkorak di midline, dengan

hubungan pada tuba neuralis di dekat midlin. Glioma nasal serupa dengan ensefalokel

nasal, kondisi hilangnya koneksi meningeal intrakranial disertai penutupan fontanela

anterior.

Pokok penting dalam diagnosis Ensefalokel nasal dan glioma nasal adalah :

timbulnya penyakit, biasanya sejak lahir, ditandai dengan massa di pertengahan nasal,

obstruksi nasal, hingga kebocoran LCS. Encefalokel nasal bersifat menekan dan meluas

saat pasien menangis. Glioma nasal bersifat tidak menekan. Pemeriksaan MRI dapat

membantu mengetahui perluasan intrakranial dan anomali lainnya.5,8,9

Kista Dermoid Sinus

Kista dermoid di sinus adalah massa hidung kongenital tersering. Beberapa

merupakan bawaan lahir tetapi ada juga yang ditemukan hingga periode akhir kanak-

kanak atau awal masa dewasa muda menjadi simptomatis. Kista ini merupakan suatu

kista terisolasi ataupun dengan pembukaan traktus sinus pada permukaan kulit. Kista ini

meliputi 1-3 % dari semua kista dermoid tetapi hanya 3 – 12 % kista dermoid pada kepala

dan leher. Pada suatu penelitian kista epidermoid dan dermoid yang muncul bersama

terdapat sebanyak 61 % dari massa di hidung dari 109 kasus. Kista dermoid sering

berhubungan dengan kista epidermoid tetapi kista ini mengandung kedua elemen

ektodermal dan mesodermal (struktur adneksa seperti folikel rambut dan kelenjar

keringat).

Kista sinus dermoid di hidung muncul sebagai lubang di garis tengah hidung,

fistula ataupun massa terinfeksi yang berlokasi di area mulai dari glabella hingga ke

nasal columella. Biasanya kista dermoid bermuara pada traktus subkutaneus yang dapat

ditumbuhi rambut pada muara nya. Kista ini dapat mengeluarkan sekret sebaseus ataupun

pus, menjadi peradangan intermitten, membentuk sebuah abses, menyebabkan

osteomyelitis, meluas ke nasal root ataupun nasal bridge, menyebabkan meningitis,

hingga membentuk abses serebri. Hubungannya dengan sistem saraf pusat dilaporkan

bervariasi terjadi sekitar 4-45%. Dugaan keterlibatan intrakranial tetap tinggi. Kita ini

sering berhubungan dengan anomali kongenital yang lain pada 5-14% kasus seperti

atresia liang telinga, retardasi mental, abnormalitas kolumna spinalis, hidrosefalus,

hipertelorisme, mikrosomia hemifasial, albinisme, corpus callosum agenesis, cerebral

5

Page 6: Massa Kongenital Hidung

atrofi, atrofi cerebral, coronary artery anomaly, cleft lip palate,tracheoesofagheal

fistula, anomali cerebri, jantung, dan genital.

Suatu teori yang telah secara luas diterima bahwa kista dermoid berkembang dari

ruang pre-nasal. Berdasarkan teori ini, selama masa perkembangan normal proyeksi

penonjolan dura melalui fontikulus frontalis atau ke inferior masuk ke ruang pre-nasal.

Proyeksi ini secara normal akan mengalami regresi tetapi jika tidak terjadi regresi dura

akan tetap lengket di epidermis dan menyebabkan elemen ektodermal terperangkap. 6,8,10,11,12

Glioma

Glioma terbentuk dari elemen neuroglial yang terdiri dari sel-sel glia pada suatu

matrik jaringan dengan atau tanpa koneksi fibrosa ke duaramater. Tidak ada cairan yang

mengisi ruang yang menghubungkan dengan ruang subarachnoid. Lesi ini biasanya

tampak sebagai tonjolan merah ataupun merah kebiruan di sepanjang sutura nasomaksila,

atau muncul sebagai massa intranasal. Glioma intranasal sering muncul dari dinding

lateral dari hidung, sangat sedikit yang ditemukan berasal dari septum. Enam puluh

persen ekstranasal, 30% intranasal, dan 10% keduanya. Dari semua itu sebanyak 15%

berhubungan dengan dura. Tipe intranasal sering berhubungan dengan lapisan dura

(35%) dibandingkan tipe ekstranasal (9%). Insiden pada laki-laki lebih banyak daripada

perempuan dengan rasio 3:1 meski signifikansi dari insiden ini belum ditetapkan.

Perkembangan embryologi dari nasal glioma mirip dengan dermoid nasal.

Penutupan abnormal dari fontikulus frontalis menyebabkan ectopic rest dari jaringan glial

ke ekstrakranial. Kondisi ini mirip dengan mekanisme pembentukan ensefalokel, meski

tidak semua kasus glioma memiliki keterkaitan dengan intrakranial seperti yang pada

ensefalokel. 10,13,14,15

Ensefalokel

Ensefalokel adalah herniasi ekstrakranial dari meningens dengan ataupun tanpa

jaringan otak yang masih mempertahankan hubungan subarachnoid. Bila itu hanya

mengandung meningens maka disebut meningokel, tetapi bila massa mengandung

jaringan otak disebut meningoensefalokel. Ingraham dan Matson membagi ensefalokel

6

Page 7: Massa Kongenital Hidung

menjadi 3 kategori : occipital, sinsipital dan basal. Occipital adalah yang paling umum

yaitu sekitar 75%. Sinsipital adalah lesi frontonasal yang muncul di atas hidung, glabella

dan dahi. Hubungan intrakranial biasanya di anterior dari lempeng cribriformis.

Swanwela dan swanwela membagi ensefalokel nasal menjadi nasofrontal, nasoethmoid,

dan naso-orbita berdasarkan proyeksi dari massa antara os nasal dan os frontal, sepanjang

sisi dari hidung, ataupun ke dalam medial orbita. Mereka melaporkan bahwa ensefalokel

nasofrontalis terjadi secara langsung di anterior dengan tangkai yang pendek dan

kemungkinan dapat dieksisi secara eksternal semetara nasoethmoidal dan nasoorbitalis

memiliki tangkai yang panjang dan penting untuk menutup intrakranial. Lesi basal terjadi

sekitar 10% dari lesi yang muncul sebagai massa intranasal ataupun nasofaringeal.

Herniasi lesi basal melalui lempeng cribriformis ataupun posterior yang dapat

menjelaskan presentasi mereka pada hidung secara eksternal. Insindensinys jarang,

terjadi sekitar 1: 35.000 kelahiran hidup di Eropa barat, Amerika, Australia, Jepang, Cina,

dan India, namun lebih sering terjadi sekitar 1: 6000 kelahiran hidup pada penduduk Asia

tenggara dan Russia. Ensefalokel sering berupa massa kebiruan, lembut, bersifat

menekan dan dapat ditransiluminasikan. Ensefalokel membesar saat pasien menangis

maupun dengan manuver Valsava. Tanda karakteristik Fursteinberg test, yang membesar

dengan kompresi vena jugularis interna. Massa ini juga dapat menyebabkan pelebaran

hidung ataupun vhipertelorismw. Ensefalokel intranasal biasanya medial di cavitas nasal

berlawanan dengan glioma yang sering lateral.

Perkembangan embriologi dari ensefalokel sama dengan glioma. Kegagalan

fonticulus frontalis untuk menutup dengan sempurna dapat menyebabkan herniasi

komponen intrakranial dengan tetap mempertahankan hubungan dengan ruang

subarachnoid. Massa ini berhubungan dengan susunan saraf pusat dan kemungkinan

mengandung jaringan otak, dan penting untuk menentukan apakah itu suatu ensefalokel

ketika kita menemukan massa di garis tengah hidung. 15,16

Evaluasi

Evaluasi dan penatalaksanaan dari massa hidung kongenital ini dimulai dengan

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Banyak lesi muncul pada awal kehidupan

tetapi dapat juga ditemukan pada masa dewasa bila tidak terdiagnosis pada masa kanak-

7

Page 8: Massa Kongenital Hidung

kanak. Kista dermoid sering disertai infeksi berulang ataupun drainase, traktus sinus yang

tampak, lebih solid, tidak menekan, dan tidak bertransiluminasi. Glioma nasal juga jinak,

tidak menekan, dan tidak bertransiluminasi tetapi dapat muncul sebagai telagiektasia.

Ensefalokel dapat berwarna kebiruan atau merah, lunak, menekan, membesar saat

menangis, dan Furstenberg test positif. Dengan lesi intranasal glioma muncul dari dari

dinding lateral sedangkan ensefalokel muncul lebih lateral. Berdasarkan Haafiz, suatu

probe intranasal dapat melewati sisi medial glioma tetapi tidak pada ensefalokel.

Perbedaan antara glioma dan ensefalokel penting karena hanya 15% glioma yang

memiliki hubungan dengan intrakranial semua ensefalokel memiliki hubungan dengan

intrakranial.

Pada kista dermoid, glioma, ataupun ensefalokel bila masih diduga maka biopsi

sebaiknya tidak dilakukan sebelum hubungan intrakranial disingkirkan karena berisiko

dapat menyebabkan meningitis ataupun kebocoran liquor cerebrospinal. Mayoritas lesi

ditemukan pada anak-anak, dan indeks dugaan harus tetap tinggi, khususnya pada massa

intranasal yang unilateral. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah CT-scan

ataupun dengan MRI. Hasil pencitraan yang ditemukan termasuk massa jaringan lunak,

kista yang berisi cairan, massa intrakranial, pembesaran foramen caecum, dan distorsi

dari crista galli. CT-scan dapat menggambarkan abnormalitas tulang sementara MRI

berguna untuk mengidentifikasi adanya hubungan intrakranial. Penemuan CT konsisten

dengan keterlibatan intrakranial dengan pembesaran foramen caecum ataupun crista galli

yang bifida. Meski penemuan ini konsisten dengan keterlibatan intrakranial yang tidak

didiagnostik. Berdasarkan Pensler dkk, pencitraan dengan CT-scan maupun MRI

diperlukan untuk menyingkirkan dugaan keterlibatan intrakranial. MRI memberikan

gambaran soft tissue yang lebih baik dan dapat memvisualisasikan potongan sagital.

Denoyelle meneliti 36 pasien anak dengan kista dermoid dan merekomendasikan MRI

untuk pencitraan dengan MRI untuk mengkonfirmasi dugaan keterlibatan intrakranial

mengikuti pencitraan dengan CT- scan. Pada serial kasusnya sebanyak 2 pasien

didapatkan hasil CT-scan positif palsu adanya hubungan dengan intrakranial dan pada

intra-operasi tidak ditemukan. Bloom dkk meneliti 10 pasien dengan kista dermoid nasal,

melaporkan hasil CT scan dengan hasil positif palsu adanya perluasan ke intrakranial

pada 1 dari 6 kasus. Karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk kedua

8

Page 9: Massa Kongenital Hidung

pemeriksaan ini, tertundanya diagnosis, dan bertambahnya risiko dari anestesi tambahan

saat pencitraan, mereka merekomendasikan MRI sebagai studi pencitraan awal.

Schlossser dkk melaporkan 3 kasus yang memakai CT scan 3 dimensi. Mereka

menemukan manfaat pemeriksaan ini pada kasus ensefalokel dengan defek pembesaran

di anterior dasar kranial untuk menunjukkan perluasan defek dan menyediakan gambaran

CT scan dua dimensi yang tepat untuk dapat digunakan dalam memberikan penjelasan

pada orang tua pasien. 17,18,19

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kista dermoid nasal, glioma dan ensefalokel adalah dengan eksisi

pembedahan komplet. Intervensi pembedahan lebih awal direkomendasikan untuk

mencegah distrosi lebih jauh dari hidung dan atrofi tulang yang disebabkan pertumbuhan

massa dan inflamasi rekuren. Komplikasi yang lain adalah terbentuknya abses,

osteomyelitis, dan meningitis dengan karena adanya hubungan intrakranial. Masuknya

lesi diantara traktus fistula harus dieksisi dengan tujuan untuk mencegah rekurensi.

Denoyelle dll, dilaporkan angka rekurensi 5.5 % ( 20-36 pasien) untuk kista dermoid

nasal pada kasus serial mereka, keduanya dengan pendekatan rhinoplasti eksternal.

Informasi penting untuk rencana pembedahan adalah adanya suatu koneksi intrakranial

pada massa itu.

Pollock menulis terapi pembedahan pada kasus kista dermoid dan

merekomendasikan 4 kriteria untuk pendekatan pembedahan. Pertama, pendekatan

pembedahan harus dilakukan pada kista dermoid dan harus dilakukan pendekatan

osteotomi medial maupun lateral, jika diperlukan. Kedua, pemaparan bedah harus

dilakukan untuk mempercepat repair dari defek Cribriformis, harus dilakukan

pembedahan dan dikontrol kemungkinan adanya rinorrhoe CSF, jiks diperlukan. Ketiga,

ini diperlukan untuk melakukan rekonstruksi dorsum nasi, jika diperlukan. Ke-empat

pendekatan harus dilakukan pencegahan terbentuknya scar. Pendekatan rhinotomi

transversal dapat dilakukan dengan vertical zig-zag rhinotomy, tripod-eversi rhinotomy.

Rhinotomi transversal digunakan dengan ukuran lesi yang kecil hingga sedang dengan

tanpa bukti perluasan intrakranial. Keuntungan pendekatan ini adalah terbentuknya

sedikit scar tanpa splaying yang biasa terjadi pada rhinotomi vertical. Pembukaan fistula

9

Page 10: Massa Kongenital Hidung

dengan cara eksisi dengan segmen transversal kulit yang berfusi dan traktus di kanulasi

dengan probe lakrimalis. Insisi transversal kemudian dibuat sedikit di bawah dermoid,

dan memasuki traktus yang dieksisi. Osteotomi lateral mapun medial dapat dilakukan jika

diperlukan untuk pemaparan. Dengan lesi yang lebih besar, khususnya pada area kedua-

ketiga dari hidung saat dilakukan rhinotomi tripod eversi. Incisi transversal dibuat untuk

mengurangi columella, insisi transfiksi dibuat dan disapu ke lateral antara antara kartilago

atas dan bawah. Incisi para alar dilakukan rotasi ke atas hidung. Beberapa traktus fistula

yang terbuka dikurangi dengan incisi yang menyatu dan kanulasi traktus dengan probe

lacrimal. Operasi dengan menggunakan mikroskop digunakan untuk menambah

visualisasi. Lesi yang cukup luas, dimana pada masa dewasa tulang dan kartilago telah

dirusak oleh prosedur pembedahan maupun karena erosi dan pada pasien dengan

komplikasi intrakranial dapat dilakukan prosedur rhinotomy zig-zag yang digunakan

untuk eksisi luas. Insisi dibuat dengan perluasan ke arah superior dari sumbu tubuh pada

sudut 40-90°. Beberapa fistula yang terbuka dieksisi dengan eksisi fusiform. Prognosis

terbentuknya scar lebih kecil dibanding incisi lurus karena incisi zig-zag dapat

mengurangi garis ketegangan kulit dengan membentuk sudut 90° yang horisontal

menyeberangi hidung. Rochich dkk merekomendasikan pendekatan Open rhinoplasty

dengan incisi Columelar bertingkat dengan beberapa alasan utama yaitu : memudahkan

pemaparan, pemaparan yang luas pada dorsum nasi, mengontrol osteotomi eksternal,

memudahkan rekonstruksi dorsal dan memudahkan pemaparan sis lateral atas dari

kartilago dan septum.

Lesi intranasal dilakukan dengan rinotomi lateral atau dapat juga dilakukan

dengan teknik endoskopi. Weiss dkk mendeskripsikan penggunaan teknik endoskopi

untuk mengangkat dermoid nasal pada 2 kasus. Mereka merekomendasikan teknik ini

untuk mengangkat dermoid yang berada dalam cavum nasi dengan keterlibatan kutaneus

yang minimal. Teknik ini dapat dikombinasikan dengan midline minimal dari titik

kutaneus. Mereka merekomendasikan teknik teknik endoskopi dengan perluasan pada

anterior fossa cranii direkomendasikan dengan kombinasi pendekatan ekstra-intrakranial

pada massa yang telah meluas ke Falk cerebri.

Peneliti lain mendeskripsikan eksisi nasal glioma yang diisolasi dari cavitas nasi

tanpa bukti keterlibatan intrakranial yang tampak pada pencitraan.

10

Page 11: Massa Kongenital Hidung

Massa di daerah midline yang memiliki keterlibatan intrakranial memerlukan

kerjasama dengan ahli bedah. Kraniotomi frontalis dilakukan, bagian massa di

intrakranial dieksisi dan defek dura-tulang direkonstruksi, kemudian massa ekstrakranial

diangkat. Beberapa peneliti telah menyarankan penggunaan teknik Intraoperative frozen

section untuk mengidentifikasi tangkai dermoid yang tidak dapat ditelusuri dasarnya.

Ketika telah ditemukan jaringan fibrosa tangkai dapat diligasi, namun bila yang

ditemukan adalah jaringan dermoid maka perlu dilakukan pendekatan intrakranial. 20,21,22,23,24,25

Kesimpulan

Diagnosis dari massa kongenital nasal midline memerlukan indeks persangkaan

yang tinggi. Kelainan ini jarang ditemukan, meski demikian komplikasi yang mengancam

nyawa akibat adanya hubungan intrakranial patut diperhatikan. Ketika pasien datang

dengan massa berupa dermoid nasal, glioma, ataupun ensefalokel, khususnya pada

pasien-pasien anak, biopsi sebaiknya ditunda hingga bukti tidak adanya keterlibatan

intrakranial didapatkan dengan pencitraan CT-scan maupun MRI. CT-scan dapat

dilakukan sebagai langkah pencitraan awal dengan follow up MRI untuk mendapatkan

bukti yang meyakinkan adanya keterlibatan intrakranial atau dengan pencitraan MRI

sebagai studi pencitraan tunggal.

Penatalaksanaan lesi ini adalah eksisi pembedahan dengan pendekatan eksternal

intrakranial ataupun kombinasi keduanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bloom DC,  Carvalho DS, Dory C, Brewster DF, Wickersham JK, Kearns DB.  Imaging and surgical approach of nasal dermoids.  International J. Pediatric Otorhinolaryngology 2002;62:111-122.

2. Bradley PJ.  Nasal dermoids in children.  International J. Pediatric Otorhinolaryngology 1981;3:63-70.

3. Burckhardt W, Tobon D.  Endoscopic approach to nasal glioma.  Otolaryngology-Head and Neck Surgery 1999;120:747-748.

11

Page 12: Massa Kongenital Hidung

4. Brown K, Brown OE.  Congenital Malformations of the nose.  In: Cummings CW, ed. Pediatric Otolaryngology Head & Neck Surgery   3rd edition, St. Louis, Mosby; 1998:92-98.

5. Cauchois R, Laccourreye O, Bremond D, Testud R, Kuffer R, Monteil JP.  Nasal dermoid sinus cyst.  Ann Otol Rhinol Laryngol 1994;103:615-618.

6. Denoyelle F, Ducroz V, Roger G, Garabedian EN. Nasal dermoid sinus cysts in children.  The Laryngoscope 1997;107:795-800.

7. Dimov P, Rouev P, Tenev K, Krosneva R, Valkanov P.  Endoscopic surgery for removal of a nasal glioma: case report.  Otolaryngol Head  Neck Surg1991;124:690.

8. Frodel JL, Larrabee WF, Raisis J.  The nasal dermoid.  Otolaryngol Head Neck Surg 1989;101:392-396.

9. Haafiz AB, Sharma R, Faillace WJ.  Congenital Midline Nasofrontal Mass.  Clinical Pediatrics September 1995:482-486.

10. Knudsen SJ, Bailey BJ.  Midline nasal masses.  In: Bailey BJ, ed., Head & Neck Surgery- Otolaryngology, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2001:309-313.

11. Pensler J, Bauer B, Naidich T. Craniofacial dermoids.  Plast Reconstr Surg 1988;82:953-958.

12. Pollock RA.  Surgical approaches to the nasal dermoid cyst.  Annals of Plastic Surgery.  1983;10:498-501.

13. Posnick JC, Bortoluzzi P, Armstrong DC.  Nasal dermoid sinus cysts: An unusual presentation, computed tomographic scan findings, and surgical results. Annals of Plastic Surgery 1994;32:519-523.

14. Rohrich RJ, Lowe JB, Schwartz MR.  The role of open rhinoplasty in the management of nasal dermoid cysts.  Plastic and Reconstructive Surgery1999;104(7):2163-2170.

15. Schlosser RJ, Faust RA, Phillips CD, Gross CW.  Three dimensional computed tomography of congenital nasal anomalies.  International J. Pediatric Otorhinolaryngology 2002;65:125-131.

16. Sessions RB, Picken C.  Congenital Anomalies of the nose.  In: Bailey BJ, ed., Head & Neck Surgery- Otolaryngology, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2001:941-948.

17. Suwanwela C, Suwanwela N.  A morphological classification of sincipital encephalomeningoceles.  J. Neurosurgery 1972;36:201-211.

18. Swift AC, Singh SD.  The presentation and management of the nasal glioma.  International J. Pediatric Otorhinolaryngology 1985;10:253-261.

19. Tewfik TL, Yoskovitch A.  Congenital malformations, nose.  2002 available at www. emedicine.com.

20. Turgut M, Ozcan OE, Benli K, Ozgen T, Gurcay O, Saglam S, Bertan V, Erbengi A.  Congenital nasal encephalocele: a review of 35 cases. Journal of Cranio Maxillo-Facial Surgery 1995;23:1-5.

21. Ward RF, April MM.  Congenital Malformations of the Nose, Nasopharynx, and Sinuses. In:  Wetmore RF, ed.,  Pediatric   Otolaryngology , New York, Thieme,  2000:453-460.

12

Page 13: Massa Kongenital Hidung

22. Weiss DD, Robson CD, Mulliken JB.  Transnasal endoscopic excision of midline nasal dermoid from the anterior cranial base.  Plastic and Reconstructive Surgery 1998;101(6):2119-2123.

23. Whitaker SR, Sprinkle PM, Chou SM.  Nasal glioma.  Arch Otolaryngol 1981;107:550-554.

24. Yokoyama M, Inouye N.  Endoscopic management of nasal glioma in infancy.  International J. Pediatric Otorhinolaryngology 1999;51:51-54.

25. Younus M, Coode PE.  Nasal glioma and encephalocele: two separate entities: report of two cases.  J Neurosurg 1986;64:516-519.

13