Upload
ega-fajar-permana
View
52
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KEADILAN SOSIAL MENURUT JOHN RAWLS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)
Oleh:
Mawardi
NIM: 1030333127753
44
4
Universitas Islam Negeri SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2010
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul KEADILAN SOSIAL MENURUT JOHN RAWLS ini telah diujikan dalam sidang munaqasah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Kamis tanggal 16 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Strata
Satu (S1) pada Jurusan Aqidah Filsafat Faktultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 16 September 2010
Sidang Munaqasah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Agus Darmaji, M. Fils Dra. Tien Rohmatin, MA. NIP. 19610827 199303 1 002 NIP. 19680803 199403 2 002
Penguji I Penguji II
Drs. Agus Darmaji, M. Fils Dr. Sri Mulyati, MA NIP. 19610827 199303 1 002 NIP.19560417 198603 2 001
Pembimbing
Drs. Fakhruddin, MA.
NIP. 19580714 198703 1 002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarihi Hiadayatullah Jakarta
3. Jika di Kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Depok, 25 Agustus, 2010
Mawardi
KATA PENGANTAR
Dalam segala keterbatasan dan ke-dhaif-an penulis, tuntasnya skripsi ini
merupakan nikmat dan karunia terbesar dari Allah subhanahu wa taala. Tanpa
kasih dan sayang, dan tanpa inayah dari-Nya, mustahil penulis mampu menulis,
berpikir, dan menyelesaikan skripsi ini di titik nadir masa studi. Maka, sudah
seharusnya pertama-tama penulis ucapkan rasa puji dan syukur kehadirat Allah
subhanahu wa taala beserta Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam.
Kemudian, tuntasnya skripsi pun merupakan totalitas harmoni kehidupan
sosial. Tanpa bantuan, dorongan, dan motivasi dari orang-orang di sekitar
penulis, mustahil skripsi ini dapat eksis dan tuntas. Kekuatan dan semangat untuk
dapat menuntaskan tugas akhir ini digerakkan oleh berbagai elemen dari hidup
penulis. Utamanya kedua orang tua, keluarga, teman, para dosen dan civitas
akademika fakultas dan UIN , sahabat, dan lain-lain. Maka sebagai rasa hormat
dari lubuk hati terdalam, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Fakruddin, MA., selaku pembimbing skripsi, yang telah
berkenan dan sabar membimbing, menasehati, dan mengarahkan penulis.
Dan juga terima kasih setinggi-tingginya atas kesediaannya menjadi
pembimbing penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini.
2. Bapak Dr. Zainun Kamal, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Bapak Drs. Agus Darmadji, M.Fils, selaku Ketua Jurusan, dan
Ibu Dra. Tien Rahmatin, selaku Sekretaris Jurusan Aqidah Filsafat.
Beserta seluruh staf pengajar di Jurusan Aqidah Filsafat, Fak. Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarih Hidayatullah Jakarta.
3. Kepada Bapak Penguji, Bapak Drs. Agus Darmadji, M. Fils., dan Ibu Dr.
Sri Mulyati, yang telah berkenan dan bersedia untuk meluangkan
waktunya menghadiri sidang ujian skripsi penulis. Utamanya, kepada Ibu
Sri Mulyati ditengah kondisi suaminya yang kurang sehat bersedia untuk
menjadi penguji. Dan juga penulis haturkan terima kasih setinggi-
tingginya atas keikhlasan bapak dan ibu yang telah meluangkan waktunya
untuk membaca, mengkoreksi, mengkritik, dan memberi komentar yang
sangat berharga bagi perbaikan skripsi ini.
4. Kepada Ummi dan Abah, orang tua penulis. Keduanya adalah tiang utama
dan pokok dari eksistensi skripsi ini. Tanpa keduanya, skripsi ini tidak
pernah akan ada. Melalui keduanya, skripsi menjadi tidak sekedar
potensi melainkan bisa mewujud berkat kasih dan sayang dari keduanya
yang tanpa syarat apa pun. Skripsi ini tidak akan pernah ada tanpa jasa
Ummi dan Abah. Semoga Allah selalu melindungi dan memberi kebaikan
kepada keduanya dengan kebaikan yang berlipat dan lebih besar.
5. Kepada Abang penulis: Irfan Fahmi beserta Ka Ita, dan juga Kakak
penulis: Hanna Maria beserta Bang Fadli, dan juga kepada adik penulis
Darul Qutni, yang telah memberi dorongan dan semangatnya dengan
caranya masing-masing.
6. Kepada teman-teman forum kajian Piramida Circle Bung Alawi, Maman,
Hafidz, Ali, Ujang, Mbah Liem, Syauqi, Jenal, Rouf, Mukhlisin, Nafi,
Faiq, Romo, Uci, Bdul, dan lain- lain.
7. Wabil khusus, kepada Fakruddin Mukhtar yang telah berkenan
meminjamkan hardisk komputernya untuk penulis pakai. Tanpa
bantuannya, skripsi ini mungkin masih tetap dalam lembaran-lembaran
virtual dan tidak akan sampai ke meja munaqasah. Wabil khusus juga,
kepada Agus Santoso, yang telah mau memberi ruangan tinggalnya untuk
penulis berkontemplasi, mau berhujan-hujan ria menemani penulis ke
Karawaci dan Serpong, dan bersibuk ria membeli hidangan untuk pada
waktu ujian. Dan juga kepada Bung Hafiz yang telah meminjam dua
bukunya yang amat berharga. Dengan dua buku itu, rimba belukar
pemikiran Rawls menjadi lebih mudah ditelusuri dan dijejak. Terima kasih
atas bantuan yang tulus dan ikhlas, semoga Allah memberi kebaikan yang
berlimpah kepadamu.
8. Kepada teman-teman Aqidah Filsafat 2003: Fakhrul, Ujang, Syamsudin,
Kusna, Tatang, Syamsul, Muni, Yanti, Nadia, Tri, Latifah, Ely, Syafei,
Dedi, Zakaria, Mohalli, Setiawan, dan lain- lain.
9. Juga kepada semua orang-orang yang telah mendorong dan memberi
semangat yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Depok, 16 September 2010
Mawardy
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .... i
LEMBAR PERNYATAAN .. iv
DAFTAR ISI .. v
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah . 1
B. Tinjauan Pustaka ... 14
C. Batasan dan Rumusan Masalah .... 17
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian . 17
E . Metodelogi Penelitian .. 18
F . Sistematika Penulisan 19
BAB II BIOGRAFI JOHN RAWLS ... 21
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan ... 21
B. Karya-Karya Ilmiah dan Pengaruhnya .. 29
C. Latar Belakang Tradisi Pemikiran ... 34
BAB III TINJAUAN UMUM KEADILAN SOSIAL ..... 39
A. Pengertian dan Hakikat Keadilan Sosial .............. 39
B. Tiga Ciri Umum Keadilan ... 43
C. Pembagian Keadilan ... 46
D. Sekilas Tiga Teori Keadilan .... 49
ii
BAB IV KONSEPSI KEADILAN SOSIAL MENURUT JOHN RAWLS
.54
A. Lingkup Masalah Keadilan Sosial ... 55
1. Timbulnya Masalah Keadilan Sosial ... 55
2. Subjek Utama Keadilan Sosial 58
B. Dua Prinsip Keadilan Sosial 60
1. Konsepsi Umum . 60
2. Konsepsi Khusus . 64
a. Prinsip Pertama . 64
b. Prinsip Kedua 67
c. Hubungan antara Dua Prinsip Keadilan .. 70
C. Posisi Asali (Original Position) .. 71
1. Legitimasi Prinsip Moral 72
2. Tabir Ketidaktahuan (a Veil of Ignorance) 73
3. Rasionalitas dan Strategi Maximin .. 75
BAB V PENUTUP 81
DAFTAR PUSTAKA 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pokok pembahasan utama yang hendak penulis ungkapkan dalam skripsi
ini adalah tentang keadilan sosial berdasarkan teori keadilan yang dikembangkan
oleh John Rawls (1921-2002). Pada awalnya, ide awal penulis untuk mengangkat
pembahasan skripsi mengenai John Rawls bermula ketika pada pertengahan tahun
2009 penulis melihat video acara Justice with Michael Sandel di internet. Acara
ini merupakan kuliah umum yang banyak diminati dan diikuti oleh ribuan
mahasiswa Universitas Harvard setiap tahunnya. Materi-materi yang dibahas ialah
berkaitan dengan masalah-masalah keadilan dalam perspektif para filsuf dalam
bidang filsafat politik dan moral, dan kebetulan yang penulis lihat saat itu adalah
tentang pembahasan mengenai keadilan John Rawls.
Penulis sangat terkesan dengan kuliah umum tentang filsafat yang
berlangsung di sebuah auditorium besar Universitas Harvard dengan setting tata
cahaya dan lampu bak layaknya sebuah acara program talk show di televisi yang
penuh gemerlap. Penulis terkesan karena jarang sekali ada sebuah acara yang
membahas tentang filsafat dengan begitu mengasyikkan dan menghibur dan
menarik minat begitu banyak mahasiswa. Program yang dipandu langsung oleh
Michael Sandel, seorang profesor filsafat di Harvard, yang terkenal sebagai tokoh
Neo-Aristotelian Komunitarian, berlangsung interaktif dengan audiens, dialogis,
seru, dan menghibur. Ia membahas berbagai pemikiran para filsuf tentang
2
keadilan, di antaranya John Rawls. Dari sinilah kemudian penulis terdorong dan
tertarik untuk memahami lebih lanjut tentang John Rawls.
Secara khusus, alasan pokok penulis pembahasan mengenai pemikiran
Rawls didasarkan pada arti penting pemikirannya bagi perkembangan kajian
filsafat politik normatif abad ke-20. Rawls, bisa dikatakan, merupakan salah satu
dari pemikir-pemikir penting dalam bidang filsafat politik yang terkemuka
sepanjang pertengahan abad ke-20 hingga sekarang.
Gagasan John Rawls mengenai keadilan tertuang dalam karya utamanya,
A Theory of Justice, yang diterbitkan kali pertama pada tahun 1971. Buku ini oleh
banyak kalangan dianggap sebagai karya terpenting dalam bidang filsafat politik
selama seratus tahun terakhir. Sebelum terbitnya A Theory, kajian filsafat politik
tengah mengalami masa redup dan kelesuan serta tidak menunjukkan suatu
progres yang signifikan. Hal demikian dikarenakan tidak adanya lagi karya-karya
besar berpengaruh yang lahir dan muncul pasca karya John Stuart Mill pada
pertengahan abad ke-19. Akan tetapi, kondisi itu sontak berubah dengan
kehadiran A Theory yang mendorong dan membawa gairah serta semangat baru
dalam perkembangan kajian filsafat politik.
Pasca A Theory, berbagai diskusi, kajian, artikel-artikel dan mimbar-
mimbar ilmiah hingga karya-karya besar semisal Anarchy, State and Utopia karya
Robert Nozick; Liberal Theory of Justice karya Brian Barry, dan sebagainya,
bermunculan sebagai reaksi terhadap karya Rawls. Karya Rawls juga telah
melahirkan berbagai perdebatan filosofis di berbagai universitas, buku-buku
maupun jurnal-jurnal filsafat terkemuka. Di antara debat filosofis antara Rawls
3
dengan para kritikusnya yang paling terkemuka dan riak-riaknya masih
bergelombang hingga kini ialah debat yang dikenal dengan Debat Liberal-
Komunitarian. Debat ini melibatkan para filsuf dalam tradisi liberal yang
mewarisi filsafat Immanuel Kant (Neo-Kantian) dengan kelompok filsuf yang
dikenal dengan sebutan Komunitarian yang sangat dipengaruhi oleh filsafatnya
Aristoteles, karena itu mereka juga disebut Neo Aristotelian, dengan tokoh-
tokohnya seperti Michael Sandel, Charles Taylor dan lain- lain.
Pengaruh A Theory begitu luas. Selang sepuluh tahun sejak diterbitkannya,
karya Rawls ini telah diterjemahkan ke dalam dua puluh tujuh (27) bahasa di
dunia (termasuk bahasa Indonesia), dan juga ada sekitar 2500 artikel yang
membahas tentang karya Rawls tersebut. Samuel Freeman, seorang profesor
filsafat Universitas Pennsylvania, mengatakan bahwa berbagai komentar atas A
Theory yang berlimpah ini menunjukkan betapa kuat dan luasnya pengaruh ide
dan gagasan Rawls yang merangsang berbagai kontroversi intelektual dan
filosofis.1
Secara umum, signifikansi pemikiran John Rawls dalam konteks filsafat
dapat disimpulkan ke dalam sebuah catatan sebagaimana diutarakan oleh Will
Kymlicka berikut ini:
Rawls memiliki arti penting historis tertentu [pertama] dalam mendobrak kebuntutan intusionisme dan utilitarianisme. Tetapi teorinya penting karena alasan yang lain. [Kedua] Teori Rawls mendominasi filsafat
politik, bukan dalam arti disepakati secara luas, sebab hanya sedikit orang yang setuju dengan seluruh teorinya, tetapi dalam arti bahwa para ahli
teori yang muncul belakangan telah mempertegas dirinya berlawanan dengan Rawls. Mereka menjelaskan apa teori mereka dengan
1 Samuel Freeman (ed), The Cambridge Companion to Rawls, (New York: Cambridge
University Press, 2003), h. 1
4
membandingkannya dengan teori Rawls. Kita tidak akan memahami karya
tentang keadilan yang muncul belakangan ini jika kita tidak memahami Rawls.2
Dari deskripsi mengenai arti penting teorinya keadilannya dalam kajian
filsafat politik sebagaiman penjelasan penulis di atas, maka hal tersebut
mendorong minat dan ketertarikan penulis untuk mengangkat dan membahas teori
keadilan Rawls. Hal demikian menjadi alasan mengapa penulis mengangkat
pembahasan keadilan sosial berdasarkan teori keadilan yang dikembangkan oleh
Rawls. Wacana keadilan sosial yang berkembang dewasa ini tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh teori keadilan Rawls, sebagaimana dijelaskan Kymlicka
di atas. Maka penelitian mengenai pemikiran Rawls tentang keadilan menjadi
sebuah usaha dan upaya yang penting dan signifikan dalam rangka memahami
lebih lanjut karya-karya tentang keadilan dewasa ini.
Dalam rangka teori keadilan, keadilan sosial sering disebut juga sebagai
keadilan distributif, di mana keduanya seringkali digunakan secara bergantian.
Keadilan distributif berkenaan dengan pembagian nikmat dan beban dalam
kehidupan sosial. Jenis keadilan satu ini memiliki tradisi pemikiran panjang yang
ditemukan dalam teori keadilan Aristoteles. Keadilan distributif ini berhubungan
dengan masalah membagi yang adil. Keputusan dalam membagi yang adil
haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan, baik
secara intuitif maupun rasional. Artinya, prinsip dalam membagi sesuai dengan
kesadaran intuitif seseorang tentang apa yang adil (sense of justice), sekaligus
sejalan dengan pertimbangan akal sehat (rasional).
2 Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-
Teori Keadilan, terj. Agus Wahyudi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 70. Tanda kurung
dalam kutipan di atas berasal dari penulis.
5
Keadilan sosial dipahami sebagai keadilan yang berkaitan dengan
bagaimana seharusnya hal-hal yang enak untuk didapatkan dan yang menuntut
pengorbanan, keuntungan (benefits) dan beban (burdens) dalam kehidupan sosial
dibagi dengan adil kepada semua anggota masyarakat. Dengan pengertian
sederhana ini, suatu kondisi sosial atau pun kebijakan sosial tertentu dinilai
sebagai adil dan tidak adil ketika seseorang, atau golongan/sekelompok orang
tertentu hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit dari apa yang seharusnya
mereka peroleh, atau beban yang begitu besar dari apa yang seharusnya mereka
pikul.3
Dalam hal ini, pengertian distribusi tidak boleh dipahami secara literal,
yakni seolah-olah diandaikan adanya agen yang bertugas membagikan atau
mendistribusikan barang-barang. Melainkan distribusi, pengertiannya lebih
ditujukan pada cara bagaimana lembaga-lembaga sosial utama menentukan hak
dan kewajiban, dan mengatur pembagian nikmat dan beban dengan layak.4
Pertautan makna keadilan sosial dengan keadilan distributif menjadi
semacam cara praktis untuk membedakan batas lingkup kajian keadilan sosial
dengan keadilan hukum, atau keadilan retributif. Aristoteles membagi tiga
macam keadilan: keadilan umum, keadilan distributif, dan keadilan retributif.
Secara umum, tiga macam keadilan itu bisa disederhanakan menjadi dua saja
3 David Miller, Principles of Social Justice, (London: Harvard University Press, 1999),
h. 1 4 David Miller, Principles of Social Justice, h. 2
6
ditinjau dari segi pokok persoalannya, yaitu: keadilan distributif dan keadilan
retributif.5
Keadilan retributif berkenaan dengan hukuman (punishment). Masalah
pokoknya ialah bagaimana orang yang melakukan kesalahan dihukum dengan
adil. Keadilan retributif berkenaan dengan kontrol bagi pelaksanaan keadilan
distributif, lebih berhubungan dengan keadilan legal atau hukum.6 Adapun
keadilan distributif berkenaan dengan pembagian (distribution). Masalah
pokoknya berkaitan dengan bagaimana membagi dengan adil. Kendati hakikatnya
berbeda, terdapat titik temu antara keduanya, yaitu setiap putusan untuk
menghukum maupun membagi haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang
dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akal sehat.
Dari keduanya, keadilan distributif termasuk jenis keadilan paling penting
karena terbilang banyak menimbulkan kesulitan. Soalnya, bagaimana seharusnya
membagi dengan adil kepada setiap orang, karena setiap orang ingin bagian yang
lebih banyak daripada bagian yang sedikit, sementara itu tidak tersedia barang
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Semakin terbatas dan
langka suatu barang atau nikmat maka ia semakin bernilai dan berharga. Barang-
barang sosial yang berharga itu tidak sekedar yang bersifat immaterial semisal
kekayaan dan pendapatan, tapi juga immaterial seperti kekuasaan, kebebebasan,
kesempatan dan kehormatan, serta lain sebagainya. Barang-barang sosial itu harus
dibagi dengan adil kepada semua orang. Dalam arti, pokok persoalan keadilan
5 John Christman, Social and Political Philosophy: A Contemporary Introduction,
(London: Routledge, 2002), h. 60 6 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas. Dua
Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 6
7
sosial itu mencakup pembagian dalam tiga bidang, yang disebut juga sebagai
masalah standar dalam keadilan sosial: politik (kuasa), ekonomi (uang), dan sosial
(status). Tiga bidang ini dalam skripsi ini kelak akan disebut dengan nilai-nilai
primer sosial.
Secara garis besar, prinsip keadilan sosial dibagi menjadi dua macam. Dua
macam prinsip: prinsip formal dan prinsip substantif atau material. Kedua prinsip
ini juga bisa disebut dengan keadilan formal dan keadilan substantif.7
Prinsip keadilan formal itu hanya ada satu saja, yakni prinsip persamaan.8
Prinsip ini memiliki tradisi pemikiran panjang, di mana Aristoles yang
merumuskannya. Prinsip formal berbunyi: equals ought to be created equally
and unequals may be treated unequally. Prinsip ini bisa dipahami sebagai
orang-orang yang sama atau hal-hal yang sama harus diperlakukan secara
sama, sedang orang atau hal yang tidak sama boleh diperlakukan tidak sama.
Akan tetapi, prinsip formal ini hanya menyajikan bentuk dan tidak mempunyai
isi.9 Memang disebutkan bahwa pada orang-orang atau hal-hal yang sama harus
diperlakukan dengan cara yang sama, tetapi prinsip ini tidak menjelaskan apa
yang harus dimengerti dengan orang-orang yang sama, dan hal-hal yang sama.
Prinsip ini tidak menerangkan pada segi apa manusia atau hal-hal dan kasus-kasus
tertentu harus dianggap sama atau tidak sama.
7 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarakat, (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003), h.
vii. 8 Dalam etika sering dikatakan, ada tiga hal umum yang selalu berkaitan dengan keadilan.
(1) Keadilan selalu tertuju kepada orang lain, (2) Keadilan menuntut untuk ditegakkan
(kewajiban), dan (3) Keadilan menuntut persamaan. 9 9 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarakat;
8
Oleh karena itu, prinsip formal sulit dijadikan pegangan untuk membagi
dengan adil, maka perlu ada prinsip-prinsip substantif yang melengkapi prinsip
formal. Prinsip-prinsip substantif merujuk pada salah satu aspek yang relevan
yang bisa dijadikan untuk membagi hal-hal yang dicari oleh pelbagai orang. Jika
prinsip formal (bentuk) hanya ada satu, prinsip persamaan, maka prinsip
substantif selalu masih dalam perdebatan dan proses. Kendati begitu, ada
pandangan yang dominan dan menjadi pandangan umum yang melandasi berbagai
teori-teori keadilan kontemporer ini ialah egalitarianiasme. Egalitarianisme
adalah nilai dasar bagi wacana keadilan sosial. Dalam hal ini kita patut
mencermati apa yang dikatakan oleh Will Kymlicka mengenai teori
egalitarianisme berikut ini:
Setiap teori memiliki nilai utama yang sama, yaitu persamaan (equalitiy). Semuanya merupakan teori-teori egalitarian. Pernyataan
semacam ini jelas tidak benar, jika yang kita maksudkan adalah dengan teori egalitarian adalah teori yang mendukung distribusi pendapatan yang
merata. Namun ada gagasan lain, yang lebih abstrak dan fundamental, tentang persamaan dalam teori politik, yaitu gagasan mengenai memperlakukan orang secara sama. Ada banyak cara untuk meng-
ungkapkan gagasan tentang persamaan yang lebih mendasar ini. Sebuah teori adalah egalitarian menurut pengertian ini jika teori tersebut menerima
bahwa kepentingan tiap-tiap anggota masyarakat itu penting dan sama-sama penting. Dengan kata lain, teori egalitarian mensyaratkan bahwa pemerintah memperlakukan warga negara dengan pertimbangan yang
samaJadi, gagasan tentang persamaan yang bersifat abstrak dapat ditafsirkan dengan berbagai cara, tanpa harus mendukung persamaan
dalam bidang khusus tertentu, apakah itu pendapatan, kekayaan, kesempatan, atau kebebasan. Mana bentuk khusus persamaannya yang diminta oleh gagasan memperlakukan orang secara sama yang lebih
abstrak, itu merupakan masalah yang menjadi perdebatan berbagai teori...10
10
Will Kymlicka, Pengantar Filsfat Politik Kontemporer, h. 5-6
9
Dengan demikian, prinsip persamaan adalah nilai dasariah dari keadilan
sosial.11 Gagasan persamaan tidak dipahami sebagai persamaan dalam distribusi
atau pembagian, tetapi persamaan dalam memperlakukan manusia dengan sama.
Manusia itu pada hakikatnya sama, dalam arti martabatnya.
Pandangan egalitarianisme ini mendapat simpati luas. Semua manusia
pada hakikatnya memang sama dari segi martabat. Tidak ada martabat manusia
satu lebih tinggi daripada manusia lainnya. Pemikiran ini merupakan keyakinan
umum sejak zaman modern, artinya sejak Revolusi Perancis menumbangkan
monarki absolut dan feodalisme. Dalam artikel pertama dari Deklarasi Hak
Manusia dan Warga Negara (1789) yang dikeluarkan pada waktu Revolusi
Perancis dapat dibaca: manusia dilahirkan bebas serta sama haknya, dan mereka
tetap tinggal begitu.
Dalam konteks filsafat, pandangan ini umumnya didasarkan pada paham
deontologis dalam etika Immanuel Kant. Kant beranggapan bahwa manusia itu
menduduki wilayah ciptaan yang istimewa. Menurut pandangannya, manusia
mempunyai nilai instrinsik, yakni martabat, yang membuatnya bernilai
mengatasi segala harga. Manusia adalah tujuan pada dirinya sendiri, tidak boleh
diperlakukan sebagai alat.12 Dalam konteks keadilan sosial, pandangan
deontologis tidak mengijinkan martabat manusia dikorbankannya demi
kepentingan atau pun manfaat ekonomi, politik dan lainnya. Hal inilah yang
membuat prinsip utilitarianisme ditolak sebagai landasan bagi konsep keadilan
11
Agus Wahyudi, Filsafat Politik Barat dan Masalah Keadilan: Catatan Kritis atas Pemikiran Will Kymlicka dalam Jurnal Filsafat, April 2004, Jilid 36, Nomor 1
12 Onora Oneil, Catatan Sederhana Tentang Etika Kant, dalam Etika Terapan I, ed.
Lary May, dkk, terj. Sinta Carolina, dkk, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 51-54
10
sosial, karena menempatkan mengorbankan hak dan martabat manusia demi
kepentingan umum.
Lebih lanjut, kesepakatan bersama mengenai apa yang tidak adil,
ketidakadilan sosial, lebih sering tercapai ketimbang sebaliknya. Masyarakat
umumnya memiliki perasaan keadilan (sense of justice) yang cukup peka untuk
menilai suatu hubungan-hubungan sosial atau kondisi sosial tertentu sebagai tidak
adil. Tapi berbeda halnya untuk menentukan kondisi atau hubungan sosial
sebagai adil. Karena kesadaran keadilan masyarakat bukan sesuatu yang sudah
jadi melainkan terus berproses dalam kerangka dialogis.
Dalam arti, keadilan sosial, secara negatif, relatif mudah ditentukan,
namun penentuan positif mengenai kondisi sosial dan hubungan-hubungan sosial
mana yang dapat disebut adil seringkali sulit dicapai kesepakatan. Untuk itu,
kesadaran intuitif masyarakat mengenai apa yang adil dan tidak adil saja tidak
cukup dalam membangun konsep keadilan sosial, maka kita perlu teori untuk
memperjelas kesadaran moral atau sentimen moral mengenai apa yang adil
tersebut dalam bentuk yang lebih jelas. Inilah tugas teori keadilan.
Sebagaimana penulis jelaskan bahwa putusan moral mengenai pembagian
yang adil itu haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara intuitif maupun rasional. Inilah peran teori
keadilan untuk menyelaraskan apa yang secara intuitif disebut adil, kemudian
mempertanggungjawabkan, membenarkan atau menjustifikasinya di hadapan
argumen rasional. Dalam teori keadilan Rawls, hal ini disebut dengan reflective
equilibrium, keseimbangan antara argumen intuitif dengan argumen rasional.
11
Itulah poin-poin penting yang penulis anggap patut dicermati dalam
analisis keadilan sosial di dalam skripsi ini.
Bagi Rawls, kesepakatan bersama mengenai keadilan sosial, atau apa yang
adil dan tidak adil, dalam kehidupan sosial masyarakat modern yang pluralistik
adalah sesuatu hal yang menjamin integritas sosial, stabilitas, dan keberlanjutan
sebuah masyarakat. Prinsip keadilan sosial dibutuhkan untuk mengatur cara
bagaimana lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban,
nikmat dan beban hasil kerja sama sosial masyarakat itu dengan adil kepada
semua anggota masyarakat. Prinsip-prinsip keadilan sosial itu hanya dapat secara
efektif mengatur masyarakat hanya apabila ia dapat diterima oleh semua orang.
Akseptabiltias publik atau penerimaan semua orang terhadap prinsip keadilan
sosial yang akan mengatur mereka apabila prinsip-prinsip itu mampu menjamin
dan mengakomodasi kepentingan semua orang, khususnya orang-orang yang
lemah secara ekonomi dan sosial.
Bagi Rawls, prinsip keadilan sosial bagi Rawls tidak sekedar
mendistribusikan nilai-nilai sosial primer dengan adil, melainkan juga bagaimana
prinsip-prinsip distributif itu bisa diterima oleh semua orang. Lebih jauh, prinsip-
prinsip keadilan sosial Rawls diposisikan landasan dasar bagi sebuah kerja sama
sosial sebuah masyarakat yang tertata dengan baik (well-ordered society).
Masyarakat tertata dengan baik dalam studi filsafat politik merupakan sebuah
konsepsi ideal mengenai bagaimana seharusnya masyarakat diatur dengan baik.
Sebagaimana diketahui, filsafat politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk
12
mengatur masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar.
Dalam hal ini, keadilan adalah prinsip moral dasar.
Rawls adalah seorang pendukung egalitarianisme. Dalam arti, ia setuju
bahwa nilai dasariah keadilan sosial adalah prinsip persamaan. Kendati begitu,
Rawls bukan seorang egalitarian radikal dalam arti ia juga menerima prinsip
ketidaksamaan. Prinsip persamaan baginya bukan persamaan dalam distribusi
atau pembagian, melainkan persamaan manusia dari segi martabatnya. Hal ini
menunjukkan bahwa prinsip keadilan sosialnya menempatkan manusia sebagai
tujuan utama, bukan sekedar alat. Hal ini dapat dipahami karena ia merupakan
seorang Neo-Kantian. Dengan ini, utilitarianisme ditolak olehnya sebagai basis
bagi keadilan sosial, karena sifatnya yang teleologis yang-manfaat (the good)
prioritas yang-hak (the right) konsekuensinya utilitarianisme meletakkan
manusia sebagai alat dan sarana belaka untuk mencapai kesejahteraan dan
kebahagian. Karena itulah keadilan sosial tidak dapat dijamin oleh utilitarianisme.
Sementara itu, basis keadilan sosial Rawls sendiri didasarkan pada landasan
deontologis, yakni yang-hak prioritas atas yang manfaat. Manusia adalah tujuan
pada dirinya sendiri. Martabat manusia itu harus dihormati, tapi martabat
manusia itu ditandai dari segi apa? Tegasnya Rawls berusaha mereflesikan inti
persamaan itu dalam kehidupan sosial. Karena itu, prinsip keadilan sosial adalah
prinsip substantif, bukan prinsip formal.
Dengan demikian, Rawls mengakomodasi prinsip persamaan sebagai nilai
dasariah bagi keadilan sosial, tapi juga sekaligus menerima prinsip
ketidaksamaan. Tegasnya konsep keadilan sosialnya menyusur pada dua tepi:
13
kesamaan dan ketidaksamaan. Akan tetapi, apa yang harus dibagi secara sama,
dan juga apa yang boleh dibagi dengan tidak sama. Yang paling penting ialah
sebatas mana ketidaksamaan itu diperbolehkan. Lalu, hal-hal apa saja yang harus
dibagi dengan adil kepada semua orang. Apakah terbatas pada nikmat-nikmat
sosial, atau juga mencakup nikmat alamiah semisal, kecerdasan, kepintaran dan
sebagainya. Kemudian, juga penting ialah bagaimana ia menemukan prinsip-
prinsip keadilan sosial itu? Karena sebagaimana diketahui, prinsip keadilan sosial
adalah prinsip moral. Dalam arti, prinsip keadilan adalah perkara moral, jadi tidak
dideduksi dari prinsip yang terbukti benar begitu saja, sebagaimana prinsip
Cartesian.
Tegasnya, prinsip moral itu harus sesuai dengan kesadaran moral intuitif
(subjektif), tapi bagaimana prinsip keadilan sosialnya dapat dipertanggung-
jawabkan secara rasional (objektif) tanpa harus bertentangan dengan intuisi. Ini
tak lepas dari tujuannya bahwa integritas sosial dan stabiltas masyarakat hanya
tercapai apabila prinsip keadilan sosial itu adalah manifestasi kehendak umum,
hasil kesepakatan bersama. Ini mengungkapkan gagasan utamanya teorinya yang
disebut dengan justice as fairnees. Maksudnya, prinsip-prinsip keadilan sosial
merupakan hasil kesepakatan orang-orang yang rasional, bebas, dan setara dalam
situasi awal persamaan yang fair.
Alhasil, dengan berbagai latar belakang masalah dan pertimbangan yang
ada, maka skripsi ini penulis beri judul: Konsep Keadilan Sosial Menurut John
Rawls. Pijakan sederhananya, keadilan sosial adalah keadilan yang berkaitan
dengan pembagian nikmat dan beban dalam masyarakat sebagai sebuah bentuk
14
kerja sama sosial, di mana manifestasi kerja sama sosial itu termanifestasi dalam
lembaga yang disebut negara. Konsep keadilan sosial berkaitan dengan prinsip-
prinsip yang mengatur pembagian tersebut. Dengan demikian, teori keadilan
berusaha merumuskan prinsip-prinsip dasar bagi terwujudnya masyarakat yang
adil, di mana nilai-nilai sosial primer bisa terbagi dengan adil kepada semua
anggota masyarakat. Bagi Rawls, hal demikian sama dengan mempertanyakan apa
prinsip-prinsip dasar bagi terwujudnya masyarakat yang adil.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Pemikiran John Rawls memiliki pengaruh besar dan arti penting dalam
memengaruhi perkembangan wacana filsafat abad ke-20. Maka tak heran apabila
ada banyak karya atau buku-buku yang juga mengupas dan menjelaskan
pemikiran Rawls. Di antara penulis Indonesia yang telah mengupas pemikirannya
antara lain: (1) Bur Rasuanto dengan bukunya yang berjudul Keadilan Sosial:
Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas (2004); dan (2) Andre Ata Ujan
dengan bukunya, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politiik John Rawls
(2001).
Buku pertama, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan
Habermas, merupakan disertasi Bur Rasuanto yang diterbitkan oleh penerbit
Gramedia. Pokok kajian dalam buku ini kajian komparatif antara teori keadilan
kontrak John Rawls dan teori diskurus Jurgen Habermas. Rasuanto menggunakan
istilah keadilan sosial sebagai judul bukunya, namun ia menerangkan bahwa
istilah keadilan sosial digunakan sebagai istilah umum. Lebih lanjut, buku ini
berusaha menjelaskan perbandingan kedua teori tersebut dalam upaya
15
membangun persetujuan konsensus bersama tentang prinsip-prinsip dasar bagi
masyarakat modern. Titik tekan buku ini ialah mengelaborasi titik persamaan dan
perbedaan serta posisi antara teori diskursus Habermas dalam hubungannya
dengan teori keadilan kontrak Rawls. Dalam hasil penelitiannya itu, Rasuanto
menjelaskan bahwa teori keadilan kontrak Rawls merupakan justifikasi bagi teori
diskursus Habermas.
Dalam menerangkan teori keadilan Rawls, Rasuanto berpegang dan
bertolak dari pertanyaan yang diajukan Rawls dalam bukunya, Political
Liberalism (1993). Rasuanto menulis rumusan masalah bukunya, bagaimanakah
suatu masyarakat stabil dan adil yang warganya bebas dan sederajat namun
secara mendalam terpecah dalam doktrin-doktrin moral, filsafat, dan agama yang
saling berkonflik bahkan tidak dapat didamaikan itu mungkin.13 Pertanyaan ini
adalah pertanyaan dasar yang diajukan Rawls dalam Political Liberalism (1993).
Buku Rawls ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari ide-ide dan gagasan
yang dikemukakannya dalam A Theory of Justice (1971), di mana ia melihat
toleransi merupakan salah satu ciri atau nilai yang harus ada dalam masyarakat
modern. Jadi, Rasuanto membicarakan teori keadilan Rawls berikut pergeseran
pemikirannya dari dalam A Theory of Justice ke konsepsi keadilan politik dalam
Political Liberalism.
Sementara buku kedua, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik
John Rawls, merupakan karya tesis Andre Ata Ujan yang diterbitkan oleh penerbit
Kanisus tahun 2001. Di buku ini, Ata Ujan mengelaborasi teori keadilan Rawls
13
Bur Rasuanto, Keadilan Sosia, h. 21.
16
dalam hubungannya dengan masalah demokrasi, dan juga bagaimana implikasi
teori tersebut dalam penataan politik dan ekonomi. Kajian buku ini berusaha
mencari dan menemukan elemen-elemen fundamental dari teori keadilan Rawls
yang dapat diterapkan pada masalah-masalah dalam masyarakat demokrasi.
Dalam kaitannya dengan skripsi ini, pembahasan skripsi ini tidak
mengelaborasi masalah-masalah yang diungkapkan Rawls dalam bukunya
Political Liberalism, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasuanto. Kemudian,
penulis juga tidak membahas bagaimana implikasi dan penerapan teori Rawls
dalam penataan ekonomi dan politik dalam masyarakat demokrasi. Penulis dalam
dalam hal ini, membatasi pembahasan skripsi ini lebih kepada teorinya yang
dikembangkan oleh Rawls dalam A Theory of Justice (1971), dan juga tidak
berusaha membahas mengenai pergeseran pemikirannya dalam Political
Liberalism. Hal ini dikarenakan masalah yang berusaha penulis kaji di sini fokus
pada bagaimana Rawls merefleksikan substansi keadilan sosial. Penulis juga lebih
condong menggunakan logika pembahasan yang digunakan Rawls sendiri dalam
menerangkan teorinya dalam A Theory of Justice, di mana ia membagi teori
keadilan-nya menjadi dua bagian, isi (content) dan metode (method). Menurut
Paul Graham, teori keadilan Rawls membagi teorinya menjadi dua bagian. Bagian
pertama membahas mengenai metode (method) Rawls menemukan prinsip-
prinsip keadilan sosial. Bagian kedua membahas mengenai isi atau substansi
dari prinsip-prinsip keadilan sosial. Dua bagian ini bukan dua hal yang terpisah,
17
melainkan satu kesatuan yang membentuk konsepsinya tentang keadilan sosial
ideal. 14
C. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
Dari uraian dalam latar belakang masalah dan tinjauan pustaka di atas,
maka agar pembahasan mengenai keadilan sosial di sini tidak terlalu melebar,
penulis akan membatasi pembahasan ini pada konsepsi keadilan sosial yang
ditawarkan John Rawls dengan mengurai teorinya dan perspektif yang
diajukannya.
Dengan pembatasan masalah seperti ini, maka permasalahan yang akan
menjadi objek dan fokus penulisan ini adalah bagaimana konsepsi keadilan sosial
menurut John Rawls.
D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami secara lebih
jelas konsepsi ideal yang ditawarkan oleh John Rawls mengenai keadilan sosial.
Serta melakukan analisis kritis terhadapnya. Sementara kegunaan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimana timbulnya masalah keadilan sosial, sumber
ketidakadilan sosial, dan apa saja yang harus dibagi dengan adil
kepada semua anggota masyarakat?
2. Mengetahui prinsip-prinsip dasar bagi terwujudnya sebuah masyarakat
yang adil
14
Paul Graham, Rawls, (Oxford: OneWorld Publication, 2007), h. 15
18
3. Mengetahui metode dalam membangun sebuah konsensus rasional
dalam merumuskan prinsip-prinsip keadilan substantif.
4. Mengetahui konsepsi ideal mengenai keadilan sosial bagi terciptanya
sebuah masyarakat yang tertata dengan baik, atau mengetahui
bagaimana seharusnya masyarakat diatur dengan baik dan benar?
E. METODOLOGI PENELITIAN DAN TEKNIK PENULISAN
Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan satu metodelogi
penelitian, yaitu studi kepustakaan. Studi kepustakaan bertujuan untuk
memperoleh data melalui sumber bacaan meliputi buku-buku dan artikel yang
ditulis oleh John Rawls, khususnya buku A Theory of Justice15 yang memuat
secara lengkap teorinya. Selain itu studi kepustakaan ini akan diperkaya dengan
sejumlah data yang ditulis oleh penulis lain mengenai Rawls atau mengenai
teorinya, atau juga mengenai keadilan sosial secara umum dan lain sebagainya
yang berkenaan dengan pembahasan skripsi.
Sementara teknik penulisan dalam karya tulis ini, analisis data yang
digunakan bersifat kualitatitf dengan teknik pembahasan deskriptif analitis yang
bertujuan menggambarkan konsep keadilan sosial ideal menurut John Rawls.
Tentu saja, pengumpulan data, pembahasan masalah, dan penulisan dalam
skripsi ini disesuaikan dengan Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis,
Dan Disertasi) yang diterbitkan Center for Quality Development and Assurance
(CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
15
Dalam skripsi ini penulis menggunakan A Theory of Justice edisi terjemahan bahasa
Indonesia, dengan judul Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara , terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001)
19
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Setelah penulis memaparkan latar belakang masalah, pokok-pokok
masalah, tujuan, metode, serta sistematika penulisan, pada bab BAB II penulis
mencoba memaparkan dengan jelas riwayat hidup, latar belakang pendidikan,
karya-karya tulis ilmilahnya, dan latar belakanng tradisi pemikirannya.
Pada BAB III, penulis akan menyajikan tinjauan umum atas teori
keadilannya. Penjelasan pada ini bertujuan memberikan pemahaman umum
mengenai teorinya sebelum memasuki konsepsinya mengenai keadilan sosial. Di
BAB III ini, penulis sudah mulai memasuki bagian teorinya. Kendati demikian,
poin-poin yang dijelaskan lebih pada pokok-pokok atau gambaran besar dari
teorinya. Dengan demikian, tidak ada terjadi tumpang tindih dengan bab
setelahnya, dan justru menjadi batu pijakan awal yang lebih mudah dalam
memahami pembahasan bab selanjutnya. Pokok-pokok teorinya yang akan
dibahas adalah tujuan dan latar belakang teorinya, gagasan utama teorinya,
Justice as Fairness, dan metode yang digunakan dalam teori keadilannya.
Uraian dalam BAB IV dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama
penulis menguraikan lebih dahulu mengenai lingkup masalah keadilan sosial.
Pembahasan ini mencakup timbulnya masalah keadilan sosial, subjek utama
keadilan sosial, dan nilai-nilai sosial primer, yakni hal-hal yang harus dibagi
dengan adil kepada semua orang.
Lalu bagian kedua menguraikan mengenai isi dari prinsip-prinsip keadilan
sosial yang dikemukan secara intuitif oleh Rawls, yakni dua prinsip keadilan
sosial. Uraian di sini meliputi prinsip pertama, prinsip kedua, dan hubungan atau
20
aturan prioritas antara kedua prinsip tersebut. Dan bagian ketiga, uraiannya
mengenai syarat prinsip keadilan sosial yang harus disepakati oleh semua orang.
Dalam hal ini penulis menjelaskan posisi asali, yakni metode yang digunakan
dalam menjustifikasi prinsip keadilan sosialnya.
21
BAB II
BIOGRAFI JOHN RAWLS
A. Riwayat Hidup Dan Pendidikan John Rawls
John (Jack) Bordley Rawls lahir pada 21 Februari 1921 di Balltimore,
Maryland, Amerika Serikat. Dia anak kedua dari pasangan William Lee dan
Anna Abell Stump. William Lee dan Anna Rawls memiliki lima orang putra:
William Stowe (Bill), John Bordley (Jack), Robert Lee (Bobby), Thomas
Hamilton (Tommy), dan Richard Howland (Dick). Kedua orang tuanya berasal
dari keluarga yang mapan. Kakek-nenek Rawls dari garis ibunya adalah keluarga
kaya yang tinggal di Greenspring Valley, sebuah daerah elit pinggiran kota
Balltimore. Kekayaan yang begitu banyak itu berasal harta warisan, seperti
tambang minyak dan batubara di Pennsylvania. Mereka dikaruniai empat orang
putri: Lucy, Anna (ibu Rawls), May, dan Marnie.1
Keluarga Rawls berasal dari Utara, dimana nama Rawls masih cukup
lazim digunakan. Kakek dari garis ayahnya, William Stowe Rawls, adalah
seorang bankir di sebuah kota kecil dekat Greenville, Carolina Utara. Karena
menderita penyakit TBC (tuberculosis), William Stowe pindah bersama istri
beserta ketiga anaknya ke Balltimore pada tahun 1895 agar lebih dekat dengan
Rumah Sakit Universitas Johns Hopkins. Pasca pindah ke Balltimore, Ayah
Rawls, William Lee menderita TBC selama beberapa tahun, dan kesehatannya
yang tidak baik itu terus berlanjut hingga masa mudanya. Karena tidak cukup
1 Thomas Pogge, John Rawls: His Life and Theory of Justice, transl. Michlle Kosch,
(New York: Oxford University Press, 2007), h. 4
22
biaya, William Lee terpaksa putus sekolah. Di usia 14 tahun, ia telah bekerja
sebagai pembantu di sebuah kantor hukum. Pekerjaannya itu pun membuka jalan
kesempatan bagi William Lee muda untuk membaca buku-buku hukum yang ada
di situ pada malam harinya. Ia mendidik dirinya sendiri dengan cukup baik
sehingga berhasil lulus ujian pengacara tanpa pendidikan formal apa pun. Dan ia
pun akhirnya menjadi seorang pengacara kondang, memiliki kantor hukum sendiri
dan terpilih menjadi ketua asosasi pengacara di Balltimore pada tahun 1919.2
Kedua orang tua Rawls memiliki minat yang kuat terhadap politik.
Ayahnya merupakan pendukung Liga Nasional, dan kawan akrab sekaligus
penasehat pribadi Albert Ritchie, seorang Gubernur Maryland dari Partai
Demokrat (1924-1936). Ia juga pernah menjadi penasehat hukum Franklin D.
Roosevelt. Adapun ibu Rawls adalah perempuan pendukung0020gerakan
feminisme. Ia pernah menjabat sebagai presiden dari League of Women Voters di
daerah kediamannya. Karena latar belakang kedua orang tuanya itu, Rawls
disebut memiliki darah biru oleh sebagian sahabatnya. Hal itu membuat Rawls
memiliki sense of noblese oblige.3
Pengalaman tragis di masa kecil Rawls yang sangat menggoncang keadaan
jiwanya adalah ketika ia harus kehilangan dua orang adiknya, Bobby dan Tommy
, akibat tertular penyakit yang diderita oleh Rawls. Bobby usianya lebih muda
21 bulan- meninggal pada tahun 1928 setelah tertular penyakit diphteria dari
Rawls yang saat itu justru kondisinya justru semakin berangsur pulih. Sementara
itu, Tommy meninggal pada tahun berikut, tepatnya di bulan Febuari 1929, juga
2 Thomas Pogge, John Rawls, h. 4-5
3 Thomas Pogge, John Rawls..
23
setelah tertular penyakit pheunomia yang diderita oleh John Rawls. Sebagaimana
yang terjadi pada Bobby, Tommy juga meninggal ketika Rawls tengah berangsur
pulih dari penyakitnya. Menurut penuturan ibunya, kejadian tragis itu telah
mengoyak batin Rawls dan memicu bicara Rawls menjadi tidak lancar (gagap),
dan hal itu semakin bertambah parah di masa tuanya. 4 Demikian riwayat masa
kecilnya.
Di samping itu, ada beberapa pengalaman masa kecil Rawls yang
memengaruhi kesadarannya akan keadilan. Kepekaan Rawls terhadap masalah
keadilan dan sesamanya tidak terlepas dari berbagai pengalaman masa kecilnya.
Pengaruh itu antara lain berasal dari ibunya yang merupakan seorang pejuang hak-
hak kaum perempuan. Selain itu, semasa kecil ia mengalami secara langsung
berbagai bentuk diskriminasi ras dan kelas sosial, di kota tempat ia tinggal.
Hampir 40 persen kota Balltimore itu penduduknya adalah orang-orang berkulit
hitam.
Rawls melihat langsung perlakuan yang membeda-bedakan manusia dari
warna kulitnya. Perlakuan berbeda atas para warga kulit hitam tampak jelas
baginya. Anak-anak berkulit hitam belajar di sekolah yang berbeda dan terpisah
dari anak-anak berkulit putih. Bahkan ibunya sendiri pun melarang dirinya
bergaul dengan anak-anak kulit hitam. Ibunya sempat marah besar kepadanya
ketika ia bermain ke rumah temannya yang berkuli hitam di daerah perkumuhan.
Hal itu karena Rawls sering bermain ke rumah anak itu yang berada di daerah
4 Thomas Pogge, John Rawls., h. 5-6
24
perumahan kumuh dan sempit yang menjadi ciri khas tempat tinggal orang-orang
berkulit hitam.5
Di samping itu, masih ada lagi peristiwa yang membuka kesadarannya
akan keadilan, yakni ketika ia melihat langsung kehidupan kaum miskin kulit
putih di desa Brooklin, tidak jauh dari rumah singgahnya selama musim panas.
Hampir kebanyakan masyarakat desa tersebut berprofesi sebagai nelayan dan
penjaga dari rumah-rumah musim panas yang banyak di daerah itu.
Pergaulannya yang luas dengan anak-anak miskin setempat membuka
kesadarannya bahwa kemiskinan yang dialami sebagian besar mereka telah
mempersempit peluang mendapat pendidikan dan masa depan yang lebih baik.
Kondisi yang amat berbeda dengan kota di mana ia tinggal.6 Pengalaman masa
kecilnya tersebut meninggalkan kesan yang begitu kuat sehingga telah
menggoreskan dan membangkitkan serta menumbuhkan sense of justice dalam
dirinya.
Lebih lanjut, mengenai pendidikan Rawls. Pendidikan dasar Rawls
dimulai di sekolah umum di kota Balltimore, tempat tinggalnya. Selesai di
sekolah itu, ia pun melanjutkan sekolah menengahnya di Kent, sebuah lembaga
pendidikan swasta di Connecticut, yang terkenal dengan mutu dan disiplinnya
yang tinggi. Di Connecticut ini pula Rawls memasuki suatu fase religius dalam
pengalaman hidupnya. Meski fase ini tidak berlangsung lama dan juga tidak
mendorong Rawls untuk menjadi seorang religius dalam arti konvensionalnya.
Kendati begitu, fase ini telah membawa pengaruh yang besar di dalam hidupnya.
5 Thomas Pogge, John Rawls, h. 6-7
6 Thomas Pogge, John Rawls, h. 7
25
Nilai-nilai religius bahkan cukup kuat tertanam di dalam dirinya. Oleh karena itu,
Rawls dikenal memiliki kepekaan religius yang relatif lebih tinggi dibanding
dengan rekan-rekannyanya sesama liberal.7
Pada tahun 1939, Rawls melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas
Princeton. Disini ia bertemu dan berkenalan dengan Norman Malcolm salah
seorang sahabat dan pengikut Wittgenstein. Perkenalannya dengan tokoh inilah
yang menimbulkan minat Rawls terhadap filsafat. Rawls menyelesaikan studinya
di Universitas Princeton dalam waktu singkat.
Selepas itu, ia masuk wajib militer dan ikut terlibat pertempuran pertama
kali dalam Perang Pasifik. Rawls juga sempat ditempatkan di Papua Nugini,
Filipina, dan Jepang. Selama masa tugas milter ini Rawls mengalami pengalaman
paling buruk sepanjang hidupnya. Tujuh belas temannya satu angkatan di
Universitas Princeton mati terbunuh, dan dua puluh tiga orang lainnya dari
angkatan di bawahnya juga meninggal karena keganasan perang.
Inilah mungkin, menurut kesaksian teman-temannya, alasan kenapa Rawls
tidak pernah mau bercerita mengenai pengalamannya sebagai tentara. Masa
perang, khususnya peristiwa pengeboman kota Hiroshima pada bulan Agustus
1945, telah menggoreskan pengalaman yang mengerikan bagi Rawls. Ketika
pesawat-pesawat tempur Amerika Serikat menjatuhkan bom untuk mengakhiri
perlawanan Jepang, Rawls tengah bertugas di Pasifik.8
Selama kariernya, Rawls hampir tidak pernah menulis tentang
pengalamannya pada masa perang dunia tersebut. Setelah lima puluh tahun
7 Andre Ata Ujan,: Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), h.14
Andre Ata Ujan,: Keadilan dan Demokrasi., h.15
26
kemudian, Rawls menulis artikel dalam jurnal politik Amerika, Dissent, terkait
pengalaman buruknya semasa perang. Dalam artikel tersebut, Rawls mengecam
keras penguasa Amerika Serikat atas keputusannya mem-bom atom Jepang. Ini
adalah satu-satunya artikel yang pernah ditulis Rawls sebagai tanggapannya atas
situasi politik konkret.9
Menurutnya, keputusan yang pada akhirnya membawa akibat jatuhnya
banyak korban dari warga sipil itu adalah suatu kesalahan terbesar yang tidak
pernah bisa diterima. Pada waktu itu, sesungguhnya tidak ada krisis sedemikian
gawat yang dapat dijadikan dasar. Meski demikian, bom atas kota Nagasaki dan
Hiroshima sesungguhnya membawa nasib baik juga bagi Rawls. Seandainya
keputusan membom atom kota tersebut tersebut tidak diambil, Rawls bersama-
sama temannya besar kemungkinan juga akan segera dikirim untuk berperang di
Jepang. Dan Rawls sendiri pun mungkin akan menjadi salah satu korban
keganasan perang.10
Pengalaman perang bagi Rawls sedemikian buruknya hingga ia lebih
memilih mundur ketika pangkatnya akan dinaikkan menjadi perwira. Ia bahkan
menjadi sangat benci pada perang. Pada tahun 1946, Rawls keluar dari dinas
militer dan memilih menjadi orang sipil. Rawls pun kemudian ikut bergabung
dengan kelompok Harvard yang menentang perang Vietnam, dan menolak
pengiriman mahasiswa untuk ikut wajib militer.
Kemudian, Rawls akhirnya menjalani hidupnya dengan kembali ke dunia
kampus untuk belajar kembali di almamater sebelumnya. Ia menulis disertasi
9 Joe Mandle, Rawlss A Theory of Justice an Introduction, (New York: Cambridge
University Press, 2009) , h. 6-7 10
Joe Mandle, Rawlss A Theory of Justice.
27
untuk menjadi doktor dalam bidang filsafat moral. Pada tahun 1945-1950, tahun
terakhir kuliahnya, Rawls sempat mengambil mata kuliah teori politik.
Pengetahuannya dalam bidang inilah yang kemudian mendorongnya lebih jauh
untuk menulis sebuah risalah mengenai keadilan. Oleh karena itu, apabila dihitung
dari tahun pertama munculnya ide untuk menulis risalah tersebut, maka boleh
dikatakan bahwa Rawls memerlukan 20 tahun untuk mempersiapkan lahirnya A
Theory of Justice.11
Pasca studi doktoralnya, ia mengajukan diri untuk menjadi pengajar.
Meski Rawls adalah seorang yang brilian, tetapi Princeton rupanya tidak terarik
untuk meliriknya. Karena itu, Rawls akhirnya menerima tawaran untuk memberi
kuliah di Oxford. Di universitas inilah Rawls mulai merumuskan konsep the
original position, meskipun konsep tersebut secara matang baru muncul ketika ia
memperbaiki gagasannya mengenai "the veil of ignorance. Di Universitas
Oxford, Rawls setahun memberi perkuliahan. Pada tahun 1953, Rawls menulis
artikel Justice as Fairness yang merupakan gagasan inti teori keadilannya.
Ketika itu, Rawls berusia 30-an tahun dan artikel tersebut merupakan
artikelnya yang ketiga. Pada tahun 1960, draft A Theory of Justice
diperkenalkannya di dalam sebuah seminar. Draft awal teori keadilan ini terus
digumulinya secara tekun sampai pada akhirnya siap diterbitkan sebagai bukunya
pada tahun 1971. Pada awal tahun 1960-an, Rawls mendapat sebuah kedudukan
penting di Massachussets Institute of Technology (MIT). Akan tetapi, dua tahun
kemudian ia pindah ke universitas Harvard dan menjadi guru besar di universitas
11
Joe Mandle, Rawlss A Theory of Justice, h. 16
28
tersebut hingga akhir hidupnya. Setelah terbit A Theory of Justice, Rawls masih
terus rajin menulis berbagai artikel. Dalam arti tertentu, artikel-artikel ini
menjelaskan lebih lanjut bahkan mengoreksi sebagian gagasannya di dalam A
Theory of Justice, sebuah master piece yang telah menghantarnya menjadi filsuf
terkemuka di dalam bidang filsafat moral dan politik. Pelbagai karangan itulah
yang kemudian di-edit dan diterbitkan dalam bukunya Politcal Liberalism,
1993.12
Rawls menikah dengan Margaret Fox, seorang pelukis yang baru lulus dari
bangku Universitas Brown, pada tahun 1949. Rawls sendiri juga dikenal sebagai
seorang pengamat dan kritikus seni, khususnya seni Amerika. Pandangannya
mengenai seni ini juga banyak membantu karya seni istrinya. Sebaliknya, istrinya
pun sangat mendukung kariernya. Pada saat menghabiskan bulan madunya,
mereka bersama-sama menyusun indeks sebuah buku mengenai Nietzsche yang
ditulis oleh Walter Kauffman.
Hingga menjelang masa pensiunnya, Rawls masih mengajar di Universitas
Harvard. Aktivitas itu akhirnya berhenti setelah ia terkena serangkaian stroke
yang membuat diri makin lemah hingga tidak lagi mampu mengajar. Dan pada
tahun 2002, Rawls meninggal dunia akibat gagal jantung di rumahnya di
Lexington, Mass. Dia meninggalkan istrinya, Margaret Warfield Fox Rawls,
empat anak - Anne Warfield, Robert Lee, Alexander Emory, dan Elizabeth Fox -
dan empat cucu.13
***
12
Joe Mandle, Rawlss A Theory of Justice. 13
Ken Gewertz, John Rawls, Influental Political Philosopher Dead at 81, artike l diakses pada 1 Maret 2009 dari http://www.news.harvard.edu/gazette/2002/11. 21/99- rawls.html
29
B. Karya-Karya Ilmiah Dan Pengaruhnya
Rawls adalah seorang pemikir yang produktif dalam menuangkan
gagasannya ke dalam tulisan. Gagasan Rawls tersebar dalam bentuk artikel ilmiah
maupun buku. Artikel-artikel tersebar di berbagai jurnal filsafat terkemuka seperti
Philosophical Review,dan Journal Philosophy, maupun di dalam buku-buku yang
membahas tema-tema tertentu. Oleh karena itu, karya-karya Rawls disini dibagi
dalam dua bagian: buku dan artikel. Karya-karya Rawls yang berupa artikel antara
lain:
1. Review of An Examination of The Place of Reason in Ethics, artikel
dalam jurnal Philosophical Review, 1951
2. Justice as Fairness, 1954. Artikel Rawls dalam jurnal Philosophical
Review yang merupakan gambaran dan ide dasar awal tentang gagasan
utama tentang keadilan yang kemudian secara komprehensif dijelaskan
dalam bukunya A Theory of Justice.14
3. Replay to Lyon and Teitleman, artikel dalam Journal of Philosophy,
1972
4. Fairness to Goodness. Artikel dalam jurnal Philosophical Review,
1975.15
5. Kantian Constructivism in Moral Theory. Artikel Rawls dalam Journal
of Philosophy, 1980.
6. Basic Liberties and Their Priority. Artikel Rawls dalam buku Liberty,
Equality and Law, 1987.
14
Bur Rasuanto, Keadilan Sosial,Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas: (Jakarta,
Gramedia, 2004), h. 25 15
Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, h. 11
30
7. Themes in Kants Moral Philosophy, artikel Rawls dalam buku Kants
Trancendental Deductions: The Three Critiques and Opus Postumum,
1989.16
8. Roderick Firth, His Life and Work, artikel Rawls dalam buku
Philosophy and Phenomenological Research, 1991.
9. Reconciliaton through The Public Use of Reason (Reply to Jurgen
Habermas), artikel Rawls dalam Journal Philosophy, 1992.17
Sedangkan karya-karya Rawls yang berbentuk buku antara lain:
1. A Study in the Ground of Ethical Knowledge, Considered with Reference
to Judgement on the Moral Worth of Character. Ini merupakan disertasi
Rawls untuk meraih gelar Phd.
2. A Theory of Justice, 1971
3. Political Liberalism, 1993
4. The Law of Peoples, withThe Idea of Public Reason Revisen, 1999
5. Collected Papers, buku ini merupakan kumpulan 27 artikel yang ditulis
oleh Rawls dari tahun 1951 hingga 1998.
6. Lectures on History of Moral Philosophy, buku ini merupakan kumpulan
perkuliahan Rawls yang dikumpulkan oleh Barbara Herman, 2001.
7. Justice as Fairness: A Restatement, 2001.
16
Thomas Pogge, John Rawls, h. 199-200 17
Thomas Pogge, John Rawls.
31
8. Lectures on Political Philosophy, buku ini juga merupakan kumpulan
perkuliahan Rawls ketika ia menjadi dosen yang dikumpulkan oleh
Samuel Freeman.18
Di antara sekian karya-karya John Rawls tersebut, A Theory of Justice -
terbit pertama kali pada tahun 1971- adalah master piece yang membuat Rawls
dikenal sebagai pemikir terkemuka dalam bidang filsafat politik pada abad ke-20.
Buku ini merupakan salah satu buku paling berpengaruh dalam filsafat moral dan
filsafat politik sepanjang seratus tahun terakhir. Buku ini tidak hanya dibaca oleh
para pengkaji dan peminat filsafat, tetapi juga oleh orang-orang yang bekerja di
berbagai bidang, semisal ilmu politik, hukum, dan kebijakan sosial.19 Tidak
mengherankan apabila A Theory of Justice yang tebalnya mencapai 600 halaman
hingga saat ini telah diterjemahkan ke 23 bahasa dari berbagai macam bahasa di
dunia.
Buku ini dianggap telah membangkitkan dan mensemarakkan kembali
gairah kajian filsafat politik yang sebelumnya sempat meredup. Sampai lebih
separuh pertama abad ke-20, filsafat politik tidak mengalami perkembangan
istimewa karena tidak ada lagi karya-karya besar yang lahir sejak karya John
Stuart Mill. Keadaan itu berubah setelah terbit A Theory of Justice, 1971. A
Theory segera mendapat sambutan luas, dan dibicarakan di berbagai jurnal filsafat
dan mimbar akademi, khususnya di wilayah berbahasa Inggris. Buku ini telah
melahirkan sejumlah tanggapan, sambutan dan perdebatan di berbagai jurnal
18
Untuk semua sumber informasi pada bagian karya berbentuk buku yang ditulis Rawls,
penulis merujuk seluruhnya pada buku Thomas Pogge sebagai telah disebut diatas. Thomas
Pogge, John Rawls, h.200 19
Paul Graham, Rawls, (Oxford: OneWorld, 2007), h. vii
32
maupun mimbar akademik. Setelah A Theory terbit, wacana filsafat politik
mengalami perkembangan dan orientasi baru, bahkan bergerak meluas dari tema
sentral keadilan sosial ke masalah hak, kebebasan, human subject, komunitas, dan
teori moral sendiri, memperkaya tema-tema tradisional seperti masalah legitimasi,
kekuasaan, hakikat hukum dan lainnya.
Arti penting A Theory of Justice dalam kajian filsafat setidaknya
mencakup dua hal, sebagaimana diutarakan Will Kymlicka. Kymlicka
mengatakan A Theory memiliki dua arti penting. Pertama, Rawls memiliki arti
penting historis tertentu dalam mendobrak intusionisme dan utilitarianisme.
Sebagaimana diketahui, utilitarianisme adalah pandangan moral yang
mendominasi seluruh periode filsafat modern, sekaligus menjadi doktrin moralitas
politik paling dominan. Berbagai kritik ditujukan kepada utiltarianisme karena
dianggap tidak mampu menjamin keadilan sosial, dan menempatkan manusia
sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan.
Sejumlah pandangan dan teori muncul dari berbagai pemikir untuk
mengatasi pandangan utilitarianisme. Satu di antaranya adalah John Rawls. Teori
keadilannya salah satu tujuannya adalah mengatasi dan membersihkan
utilitarianisme dari teori-teori keadilan. Kedua, teori Rawls mendominasi filsafat
politik, bukan dalam arti disepakati secara luas, tetapi dalam arti bahwa para ahli
teori yang muncul belakangan harus mempertegas dirinya sebagai dirinya
berlawanan dengan Rawls atau tidak. Mereka menjelaskan apa teori mereka
dengan membandingkannya dengan teori Rawls. Kita tidak akan dapat
33
memahami karya tentang keadilan yang muncul belakang ini jika kita tidak
memahami Rawls, kata Kymlicka.20
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Will Kymlicka, polemik sekitar
buku Rawls membawa dampak positif dalam merangsang dilakukannya
penelitian-penelitian luas dan mendalam dalam filsafat praktis, baik dari sisi
filsafat politik maupun dari sisi filsafat moral. Hal itu juga diikuti suburnya karya-
karya baru baik berupa artikel di jurnal-jurnal dan rangkaian publikasi besar yang
langsung maupun tidak langsung membahas tema-tema di atas. Publikasi-
publikasi filsafat praktis setelah terbitnya A Theory of Justice umumnya bertolak
dari, mengacu kepada, dirangsang oleh, atau bahkan mengarahkan sasaran
terhadap tesis Rawls.
Karya Rawls lainnya yang juga penting adalah Political Liberalism, terbit
pertama kali pada tahun 1993. Isi buku ini di samping mengoreksi beberapa aspek
teori yang sudah dikemukakannya, juga memperjelas pikiran-pikiran pokok yang
mendasari status teorinya justice as fairness sebagai konstruktivisme politik. Di
buku ini, Rawls mengemukakan bahwa teori keadilannya berada dari latar tradisi
politik tertentu, yakni tradisi politik liberalisme. Hal ini menegaskan bahwa
prinsip keadilannya didasarkan pada landasan politik bukan landasan metafisis
dari nilai atau kepercayaan tertentu dalam kelompok masyarakat.
Lalu ada Law of Peoples yang terbit pada tahun 1996. Buku ini membahas
mengenai pandangan Rawls tentang masalah keadilan dalam konteks hubungan
internasional. Di sini Rawls membahas mengenai prinsip-prinsip keadilan dalam
20
Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus Teori -Teori
Keadilan, terj. Agus Wahyudi, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 70
34
kontek hubungan internasional. Hal ini merupakan perluasan dan kelanjutan dari
gagasannya sebelumnya mengenai prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar
masyarakat.
C. Latar Belakang Tradisi Pemikiran
Lingkup pemikiran ataupun teori seorang filsuf tidak lahir begitu saja dari
ruang hampa. Seringkali teori ataupun pemikiran lahir sebagai kritik,
pengembangan, perluasan dan sebagainya, atas teori ataupun tradisi pemikiran
yang telah ada sebelumnya. Begitu juga halnya dengan pemikiran John Rawls. Di
sini, penulis hanya menulis secara singkat tradisi-tradisi pemikiran yang berkaitan
dengan teori keadilannya. Antara lain, tradisi politik liberalisme egalitarian, tradisi
kontrak sosial semisal John Locke, JJ. Rousseau, dan pandangan utilitarianisme.
Pertama, tradisi politik liberalisme. Liberalisme adalah doktrin moralitas
politik normatif, atau filsafat politik normatif, yakni seperangkat argumen moral
mengenai justifikasi tindakan politik dan institusi-institusi. Rawls sendiri
memahami liberalisme sebagai produk zaman Reformasi abad ke-16 di Eropa
yang melahirkan pluralitas agama, berkembangnya negara modern dengan
administrasi pusat yang menggeser kekuasaan raja, dan berkembangnya sains
modern pada abad ke-17.21
Liberalisme menuntut masyarakat ditata secara netral dan adil, tanpa acuan
pada nilai dan kepercayaan masing-masing kelompok. Masyarakat yang tertata
dengan baik ialah masyarakat yang diatur dengan adil. Dalam arti, masyarakat
tertata baik atau gambaran mengenai masyarakat ideal ialah apabila ia didasarkan
21
John Rawls, Political Liberalism, (New York: Columbia University Press, 1993), h.
xxii-xxiii
35
pada prinsip moral dasar. Dan keadilan adalah prinsip moral dasar. Para filsuf
yang berada dalam tradisi ini antara lain Jurgen Habermas, John Rawls, Karl Otto
Apel, dan sebagainya. Dalam tradisi Immanuel Kant, mereka mencari prinsip-
prinsip moral dasar kehidupan masyarakat. Dan karena prinsip moral dasar adalah
keadilan, maka mereka mencari pendasaran suatu prinsip universal. 22 Karena itu,
filsuf ini juga sering disebut filsuf Neo-Kantian.
Dengan demikian, teori keadilan Rawls yang dikembannyak berasal dalam
tradisi liberalisme. Konsekuensinya, teorinya hanya cocok diterapkan dalam
masyarakat yang tradisi politiknya adalah demokrasi liberal, atau demokrasi
konstitusional. Tetapi perlu dilihat bahwa liberalisme Rawls berbeda dengan
liberalisme klasik yang justru dikritik olehnya. Bahkan bisa dikatakan liberalisme
Rawls melampaui titik perjuangan liberalisme itu sendiri dan juga sosialisme.
Karena teorinya berhasil menyatukan dua nilai dasar, kebebasan dan
kesamaan, yang selama ini sulit disatukan, bahkan seolah mustahil. Dalam prinsip
keadilannya, Rawls menempatkan persamaan dalam kerangka persamaan hak-hak
dan kebebasan fundamental. Oleh karena itu, liberalisme Rawls harus dililhat
liberalisme egalitarian, bukan dalam kerangka liberalisme klasik. Karena
masyarakat yang diatur menurut prinsip kebebasan saja, justru yang terjadi adalah
ketidakbebasan, sementara jika didasarkan pada prinsip kesamaan saja, yang
terjadi justru ketidaksamaan.
Kedua, tradisi kontrak sosial. Tujuan Rawls menggunakan teori kontrak
sosial karena, menurutnya, masyarakat tertata dengan baik (well-ordered society)
22
Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan,
dari Adam Muller ke Postmodernisme, (Yogyakarta, Kanisius, 2005) h.198
36
apabila ada kesepakatan bersama dari semua orang mengenai apa yang adil dan
tidak adil dalam masyarakat. Secara tradisional, teori kontrak sosial dilihat
sebagai alat konseptual untuk menjelaskan munculnya masyarakat, atau untuk
melegitimasi kekuasaan negara. Tapi bagi Rawls, kontrak sosial digunakan Rawls
untuk melegitimasi prinsip-prinsip keadilan sosial yang akan mengatur struktur
dasar masyarakat. Agar pengaturan bisa efektif maka prinsip-prinsip itu harus
diterima semua orang.
Oleh karena itu, ia menggunakan pendekatan kontrak sosial untuk
menjustifikasi prinsip-prinsip keadilannya. Prinsip-prinsip keadilan Rawls
didasarkan pada dua argumen dasar, intuitif dan teoritik atau rasional. Nah, teori
kontrak sosial itu digunakan sebagai argumen rasional Rawls dalam membenarkan
argumen intutif. Kontrak sosial yang telah dimodifikasi oleh Rawls dalam
teorinya dikenal dengan nama original position, atau kira-kira sama state of
nature pada kontrak tradisional.
Tetapi ada perbedaan antara kontrak sosial Rawls dengan kontrak
tradisional. Rawls bersifat hipotetis, lainnya bersifat historis; kontraktor Rawls
adalah setara, bebas, dan rasional, lainnya justru kontraktornya tidak dalam
keadaan sama, semisal pada Hobbes yang kesepakatan agar tidak terjadi perang
semua lawan semua. Orang-orang dalam kontrak Rawls adalah mahluk moral,
yakni tahu mana yang baik bagi dirinya, dan tahu apa yang adil sehingga
kesepakatan mengenai apa yang adil sebagai dasar kerja sama sosial masyarakat
mereka menjadi mungkin.
37
Ketiga, Utilitarianisme dan Intusionisme. Secara khusus, Rawls melihat
teorinya sebagai suatu kritik terhadap teori-teori keadilan sebelumnya yang
menurutnya gagal memberikan suatu konsep keadilan sosial yang tepat bagi kita.
Kegagalan teori-teori terdahulu itu, disebabkan oleh substansinya yang sangat
dipengaruhi oleh utiltarianisme atau oleh intusionisme. Utilitarianisme sebagai
dicatat pada kata pengantar A Theory of Justice,23 telah menjadi pandangan moral
yang sangat dominan pada seluruh periode filsafat moral modern.
Secara umum, utilitarianisme mengajarkan bahwa benar salahnya
peraturan atau tindakan manusia tergantung pada konsekuensi langsung dari
peraturan atau tindakan tertentu yang dilakukan. Dengan demikian, baik buruknya
tindakan manusia secara moral sangat tergantung pada baik buruknya konsekuensi
tindakan tersebut bagi manusia. Tegasnya, apabila akibatnya baik, maka sebuah
peraturan atau tindakan dengan sendirinya akan menjadi baik. Demikian pula
sebaliknya. Utilitarianisme ditolak karena dianggap gagal untuk menjamin
keadilan sosial. Karena kegagalan ini, maka utiltiarianisme tidak tepat bila
dijadikan basis untuk membangun konsep keadilan sosial.24
Rawls juga mengkritik intusionisme karena tidak memberi tempat
memadai pada asas rasionalitas. Intusionisme dalam proses pengambilan
keputusan (moral) lebih mengandalkan kemampuan intuisi manusia. Oleh karena
itu, pandangan ini juga tidak memadai apabila dijadikan pegangan dalam
mengambil keputusan, terutama ketika terjadi konflik di antara norma-norma
moral. Di sini, prioritas nilai akan menjadi problem yang sulit ditemukan
23
John Rawls, Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. v 24
Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi, h. 21
38
pemecahannya apabila setiap orang cenderung menggunakan intuisi daripada akal
sehat dalam melakukan pertimbangan dan mengambil keputusan. Dalam
perspektif itu juga, pelbagai generalisasi etis dapat disebut benar meskipun tidak
didukung oleh argumen yang sungguh-sunguh dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan dan keputusan moral akan
menjadi subjektif atau kehilangan objektivitas.25
Dari latar belakang tradisi pemikiran singkat sebagaimana penulis jelaskan
di atas, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut. Belajar dari teori-teori
keadilan sebelumnya, maka Rawls berusaha membangun teori keadilan yang
mampu menegakkan dan menjamin keadilan sosial (kritik atas utilitarianisme) dan
sekaligus dapat dipertanggungjawabkan secara objektif (kritik atas intusionisme).
Tegasnya, Rawls hendak membangun sebuah konsep keadilan sosial dalam
perspektif demoraksi (tradisi politik liberalisme). Oleh karena itu, teori keadilan
yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak (tradisi kontrak sosial),
di mana prinsip-prinsip keadilan sosial yang dipilih sebagai pegangan bersama
sungguh-sungguh merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang
bebas, sederajat, dan rasional
Demikian ini pembahasan dalam bab kedua yang membahas mengenai
riwayat hidup dan pendidikan, karya-karya dan pengaruhnya serta latar tradisi
pemikiranya yang memengaruhi pemikirannya, khususnya teori keadilannya.
Sebagaiman hal itu akan kita lihat pada bab ketiga yang hendak memberikan
gambaran umum atas teorinya.
25
Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi;
39
BAB III
TINJAUAN UMUM KEADILAN SOSIAL
A. Pengertian dan Hakikat Keadilan
Banyak definisi tentang keadilan yang telah dikemukakan oleh para
pemikir dalam kajian filsafat moral. Bahkan diskursu mutakhir filsafat politik
bermuara pada masalah ini sesuai dengan kecenderungan dasar pemikir
bersangkutan. Namun setiap definisi tentang keadilan selalu terjebak pada
persoalan yang sama, yaitu pembatasan atau penyempitan keadilan itu sendiri.
Sementara keadilan merupakan wilayah yang sangat luas bahkan tersembunyi
karena berkenaan dengan nilaisehingga nyaris tak dapat didefinisikan. Pada
posisi ini, menentukan atau menunjukkan ketidakadilan relatif lebih mudah
daripada mendefinisikan keadilan. Oleh sebab itu, kebanyakan para pemikir lebih
berkonsentrasi pada prinsip-prinsip yang menentukan terwujudnya keadilan
ketimbang mendefinisikannya.
Dalam al-Quran, misalnya, tidak ada definisi yang komprehensif
mengenai keadilan kecuali hanya disebutkan kata adil (adl) saja. Hal ini menuntut
penelusuran lebih jauh untuk mengetahui keadilan dan penerapannya dalam
konteks kehidupan bermasyarakat. Menurut Muhammad Baqir al-Shadr, intuisi
dan pikiran dapat mengetahui nilai-nilai umum yang akan memerintah setiap
tindakan seseorang. Melalui itu, perilaku benar dan salah, baik dan buruk dapat
ditemukan, demikan pula keadilan. Ia menyatakan:
Ini (nilai-nilai umum yang diperoleh dari intuisi dan pikiran) adalah nilai-nilai yang menegaskan adalah kebenaran dan kebaikan, dan perbuatan
40
salah (ketidakadilan) adalah batil dan jahat. Kami juga percaya bahwa
barang siapa yang berurusan secara adil dengan orang lain layak dihormati dan dipuji dan barang siapa yang berbuat kesalahan dan pengkhianatan layak mendapat sebalik.1
Lebih lanjut, dalam literatur filsafat politik, keadilan sosial secara umum
seringkali didefinisikan sebagai keadilan yang berkaitan dengan pembagian
nikmat dan beban dari kerja sama sosial, khususnya yang termanifestasi dalam
lembaga yang disebut negara. Keadilan sosial adalah pokok persoalan filsafat
politik, yakni bagian dari filsafat praktis yang mengkaji dimensi moral yang
mengendalikan tindakan-tindakan politik. Konsep keadilan sosial berkenaan
dengan prinsip-prinsip yang mengatur pembagian nikmat dan beban. Dan teori
keadilan merupakan teori yang berusaha merumuskan prinsip-prinsip keadilan
sosial atau lebih khusus lagi, prinsip-prinsip bagi pembagian yang adil, dalam
konteks keadilan distributif.2
Adapun hakikat keadilan itu sendiri memilliki memiliki tradisi yang
panjang. Keadilan adalah salah satu keutamaan yang menjadi tujuan manusia.
Keadilan, bisa dikatakan, merupakan keutamaan terpenting yang mendasari
seluruh dimensi kehidupan sosial dan politik. Keadilan adalah salah satu topik
yang sejak lama hampir selalu mengiringi sejarah peradaban manusia. Salah satu
peradaban tua yang menjunjung tinggi keadilan adalah Imperium Romawi Kuno.
Di mana Justicia, Sang Dewi Keadilan yang kita kenal dewasa ini sebagai
lambang keadilan merupakan warisan dari peradaban kuno tersebut.
1 Muhammad Baqir al-Shadr, The Revieveler, the Messanger, the Message, terj.
Mahmoed M Ayoub. (Tehran: Word Organization for Islamic Service, 1986), h. 75 2 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas.Dua
Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 8
41
Suatu definisi keadilan sederhana sudah diberikan sejak di zaman Romawi
Kuno dan malah mempunyai akar-akar lebih tua lagi. Definisi keadilan
digambarkan dengan singkat sekali sebagai tribuere cuique suum. Atau kalimat
Latin itu juga dalam bahasa Inggris bisa diartikan sebagai : to give everybody his
own, atau dalam bahasa Indonesia: memberikan kepada setiap orang yang
menjadi miliknya.3
Definisi keadilan kuno itu bisa diterjemahkan juga sebagai memberikan
kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Sebagai terjemahan, kalimat
terakhir ini sebenarnya tertalu bebas dan mengandung semacam anakronisme,
karena hak merupakan suatu pengertian modern yang belum dikenal dalam teks-
teks kuno. Istilah hak mengalami suatu perkembangan yang berbelit-belit dan
baru diterima dalam arti seperti kita kenal sekarang pada akhir abad ke-18. tetapi
apa yang belum bisa dikatakan oleh ahli hukum Roma itu karena belum
mempunyai pengertiannya, sebetulnya sudah dmaksudkan olehnya. Dalam hal ini,
titik tolak refleksi tentang keadilan memang sebaiknya menjadi demikian:
keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. 4
Lebih lanjut, perdebatan mengenai hakikat keadilan secara rasional telah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah manusia, khususnya sejak
sekitar abad ke-5 SM. Hakikat keadilan diperdebatkan oleh para filsuf pada zaman
Yunani. Karena itu, sering disebut bahwa keadilan sebagai kajian filsafat boleh
dikatakan sudah sejak awal sejarah filsafat itu sendiri. Karya terkenal Plato
Republic bahkan biasa diberi anak judul Tentang Keadilan. Di sana Plato,
3 Morris Ginsberg, Keadilan dalam Masyarakat, (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2001),
h. 6 4 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Gramedi, 1987), h.54
42
misalnya menampilkan perdebatan mengenai hakikat keadilan antara Socrates
dengan para tokoh antara lain seperti Thrasymachos dan Glaucon.5
Thrasymachos, tokoh Sofis radikal, mengatakan keadilan adalah apa yang
menguntungkan yang lebih kuat. Lihatlah undang-undang dan peraturan, semua
dibuat sesuai dengan keperluan dan kepentingan yang lebih kuat. Socrates dengan
gayanya yang khas bereaksi kalau seorang atilit memerlukan banyak makan
daging agar tetap kuat, apakah itu artinya keadilan? Glaucon, adik Plato, tampil
dengan pendapat keadilan adalah kompromi. Dalam masyarakat ada yang mampu
berbuat tak adil lolos tanpa hukuman, dan ada pula mereka yang menderita
perlakuan tak adil tanpa dapat membela diri; keadilan letaknya di tengah antara
kedua eksterm itu. Pendapat hampir sejalan dikemukan oleh Chepalus, seorang
hartawan terkemuka Athena, bahwa adil tak lain dari apabila orang bersikap fair
dan jujur dalam membuat kesepakatan. Hasil kompromi ditaati bukan sebagai
yang secara moral bernilai baik atau buruk, melainkan sebagai keharusan menaati
kesepakatan namun menguntungkan, karena alternatifnya adalah, perang semua
melawan semua, sebagai kata Thomas Hobbes.6 Pemikiran ini merupakan benih
teori kontrak sejak Thomas Hobbes.
Plato menolak konsep keadilan amoral atau non moral itu. Bagi Plato,
keadilan bukanlah konvensi melainkan konsep yang dapat diperoleh dan
dirumuskan oleh rasio yang tercerahkan. Plato berkeyakinan bahwa negara ideal
apabila didasarkan atas keadilan, dan keadilan baginya adalah keseimbangan atau
harmoni. Harmoni di sini artinya bahwa warga hidup sejalan dan serasi dengan
5 Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral.
6 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, h. 7-8
43
tujuan negara (polis), di mana masing-masing warga menjalani hidup secara baik
sesuai kodrat dan posisi sosialnya. Raja memerintah dengan bijaksana, tentara
hanya memusatkan perhatian selalu siap untuk perang, budak mengabdi sebaik-
baiknya sebagai buda. Negara akan jadi kacau kalau misalnya tentara ingin,
apalagi sudah, merangkap jadi pedagang, atau budak berusaha jadi tuan. Wawasan
mengenai perubahan sosial tidak dikenal di sini. Paham keadilan Yunani klasik
masih dalam kerangka etika keutamaan atau kebijaksanaan.7
B. Tiga Ciri Umum Keadilan
Secara umum, ada tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan : keadilan
tertuju pada orang lain, keadilan harus ditegakkan, dan keadilan menuntut
persamaan. Tiga unsur hakiki yang terkandung dalam pengertian keadilan ini
perlu dijelaskan lebih lanjut.
Pertama, keadilan selalu tertuju pada orang lain atau keadilan selalu
ditandai other directness. Corak sosial ini sudah ditunjukkan Aristoteles.
Aristoteles menyebut keadilan sebagai kebajikan utama. Lebih dari itu ia
berpendapat bahwa keadilan begitu utamanya sehingga di dalam keadilan termua
semua kebajikan. Dengan demikian, keadilan merupakan kebajikan yang lengkap
dalam arti seutuhnya karena keadilan bukanlah nilai yang harus dimiliki dan
berhenti pada taraf memiliknya bagi diri sendiri. Melainkan keadilan keadilan
juga harus merupakan pelaksanaan aktif, dalam arti harus diwujudkan dalam
relasi dengan orang lain.8
7 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik
dari Zaman Kuno hingga Sekarang, cet. ke-2, terj., (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 ), h. 241 8 Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawl ,s
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 23
44
Kedua, keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan. Tuntutan ini
bermakna bahwa keadilan menuntut ketidakadilan dihapuskan, sekaligus juga
menuntut keadilan untuk ditegakkan. Dua dimensi makna ini: positif dan negatif
bukan dua hal terpisah, melainkan satu kesatuan. Umumnya, kesepakatan bersama
mengenai ketidakadilan atau apa yang tidak adil lebih mudah tercapai, ketimbang
menentukan sebaliknya. Tuntutan keadilan adalah kewajiban merupakan
pengertian modern tentang keadilan.
Paham keadilan dalam konteks Yunani Klasik masih dalam kerangka etika
keutamaan atau kebijaksanaan. Pertanyaan etika Yunani Klasik: apa yang harus
saya lalukan agar bernilai baik? Keadilan baru mendapat pendasaran normatifnya
pada etika deontologis Kant: hanya tindakan yang didasarkan atas kewajiban yang
bernilai moral. Bagi pemikiran Yunani, keadilan adalah kebaikan, tapi bagi
perspektif modern keadilan adalah kewajiban. Paham kewajiban atau tanggung
jawab dalam arti modern masih belum dikenal dalam etika Yunani klasik.9
Jadi keadilan tidak diharapkan saja atau dianjurkan saja. Keadilan
mengikat individu sehingga individu mempunyai kewajiban. Ciri kedua ini
disebabkan karena keadilan berkaitan dengan hak yang harus dipenuhi. Kalau ciri
pertama tadi mengatakan bahwa dalam konteks keadilan kita selalu berurusan
dengan orang lain, maka ciri kedua ini menekankan bahwa dalam konteks
keadilan selalu berkaitan dengan hak orang lain. Kita bisa memberikan sesuatu
pada orang lain karena rupa-ruap alasan. Kalau kita memberikan sesuatu karena
9 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, h. 9
45
alasan keadilan, kita selalu harus atau wajib memberikannya. Sedangkan kalau
kita memberikan sesuatu karena alasan lain, kita tidak wajib memberikannya.
Misalnya, kita memberi minuman kepada tamu untuk menghormatinya.
Kita tidak wajib memberikannya. Atau kita memberi derma kepada pengemis
karena kemurahan hati. Satu kali kita berikan, lain tidak kita berikan. Kita tidak
mempunyai kewajiban untuk memberikan derma kepada pengemis tertentu.
Tetapi kalau memberikan karena alasan keadilan, kita wajib memberikannya.
Majikan harus memberikan gaji yang adil kepada karyawan. Apa yang dipinjam
harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Karena itu dalam konteks keadilan bisa dipakai bahasa hak atau bahasa
kewajiban, tanpa mengubah artinya. Bila dikatakan orang A berhak mendapat
benda X dari orang B, kalimat yang dirumuskan dalam bahasa hak ini bisa
diterjemahkan ke dalam bahasa kewajiban sebagai orang B wajib memberi benda
X kepada orang A. Dari segi tata bahasa, dua kalimat ini tidak sama, tapi dari
segi etika artinya persis sama, karena korelasi antara hak dan kewajiban
Ketiga, keadilan menuntut persamaan (equality).10 Atas dasar keadilan,