14
1. Medikamentosa pada Epilepsi a)Karbamazepin Merupakan obat utama untuk epilepsi parsial (sederhana dan kompleks dan epilepsi umum tonik- klonik. Selain mengurangi kejang, obat ini juga berefek pada perbaikan psikis karena rumus kimianya serupa dengan antidepresan trisiklik, maka obat ini sering memberikan perasaan nak dan peningkatan kesadaran. Efek samping karbamazepin cukup sering terjadi. efek idiosinkratik berupa ruam kulit dan diskrasia darah. Gejala intoksikasi berupa diplopia, vertigo, pusing, inkoordinasi, dan kadang-kadang gejala distonik. Akibat pemberian kronik dapat menyebabkan hiponatremia, gangguan fungsi hati dan leukopenia. Umumnya penghentian obat dan pemberian kortikosteroid dapat menghentikan efek samping ini. Dosis pada anak kurang dari 6 tahun adalah 10-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-4 dosis sehari dan akan mencapai kadar terapeutik (8-12 µg/ml) dalam 3-4 hari tanpa loading dose. Untuk 6-12 tahun, 100 mg 2 kali sehari dan untuk 12 tahun, 200 mg 2 kali sehari. Sebaiknya obat ini diberikan dengan dosis rendah dahulu tiga kali sehari, lalu dosisnya dinaikkan perlahan-lahan dalam 2 minggu untuk mencegah timbulnya efek samping. Pemberian dosis terapeutik pada pasien absens atipis atau serangan epilepsy minor lainnya akan

Medikamentosa Pada Epilepsi

Embed Size (px)

Citation preview

1. Medikamentosa pada Epilepsia) Karbamazepin

Merupakan obat utama untuk epilepsi parsial (sederhana dan kompleks dan epilepsi umum tonik-klonik. Selain mengurangi kejang, obat ini juga berefek pada perbaikan psikis karena rumus kimianya serupa dengan antidepresan trisiklik, maka obat ini sering memberikan perasaan nak dan peningkatan kesadaran.Efek samping karbamazepin cukup sering terjadi. efek idiosinkratik berupa ruam kulit dan diskrasia darah. Gejala intoksikasi berupa diplopia, vertigo, pusing, inkoordinasi, dan kadang-kadang gejala distonik. Akibat pemberian kronik dapat menyebabkan hiponatremia, gangguan fungsi hati dan leukopenia. Umumnya penghentian obat dan pemberian kortikosteroid dapat menghentikan efek samping ini.Dosis pada anak kurang dari 6 tahun adalah 10-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-4 dosis sehari dan akan mencapai kadar terapeutik (8-12 g/ml) dalam 3-4 hari tanpa loading dose. Untuk 6-12 tahun, 100 mg 2 kali sehari dan untuk 12 tahun, 200 mg 2 kali sehari. Sebaiknya obat ini diberikan dengan dosis rendah dahulu tiga kali sehari, lalu dosisnya dinaikkan perlahan-lahan dalam 2 minggu untuk mencegah timbulnya efek samping.

Pemberian dosis terapeutik pada pasien absens atipis atau serangan epilepsy minor lainnya akan memperberat serangan ampai status absens atau mioklonus nonepilepsi yang terusmenerus. Pemebrian bersama obat lain misalnya Ca channel blocker, INH, dan eritromisin dapat mempercepat timbulnya toksisitas karena menghambat metabolismenya.Pemeriksaan laboratorium rutin berupa darah lengkap dalam waktu 2 minggu, 1 bulan, dan 2 bulan setelah dimulainya pengobatan, dan kemudian setipa 6 bulan. SGPT juga harus diperiksa setiap 6 bulan. Meskipun karbamazepin mempunyai efek samping yang banyak, ia lebih unggul dibandingkan fenobarbital dan fenitoin karena memperbaiki fungsi kognitif, menjadikan anak lebih sadar dan merasa lebih enak.

b) Fenobarbital

OAE ini berguna untuk mengatasi kejang tonik-klonik umum, serang parsial sederhana-kompleks, sebagian besar kejang lain, status epileptikus dan mencegah kejang demam. Kerja obat ini membatasi penjalaran aktifitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang.Fenobarbital merupakan obat antikonvulsi pilihan untuk terapi kejang dan kejang demam pada anak karena cukup efektif, aman, murah, dan dosis efektifnya relative rendah. Fenobarbital diberikan dengan dosis awal 4-5 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis dan akan mencapai kadar terapeutik dalam 2-3 minggu. Dengan loading dose dua kali lipat dosis tersebut kadar terapeutik akan dicapai dalam 4 hari. Kadar terapeutik adalah 15-40 g/ml dan efek toksisk mulai terlihat pada kadar lebih dari 60 g/ml.Efek samping idiosinkratik fenobarbital berupa ruam kulit dan diskrasia darah (jarang), sedangkan efek intoksikasi terbanyak adalah mengantuk dan hiperaktifitas. Kadang-kadang terdapat mual, sakit kepala dan gangguan keseimbangan. Akibat pemberian kronik adalah mengantuk perubahan perilaku, perubahan perasaan, gangguan intelektual, penyakit tulang metabolik, dan gangguan jaringan ikat.

c) Fenitoin

Fenitoin diindikasikan terutama untuk kejang umum tonik-klonik, serangan parsial dan beberapa jenis kejang lainnya. Fenitoin jangan diberikan pada serangan campuran, karena dapat memperberat serangan absens. Banyak ahli penyakit saraf di Indonesia masih menyukai penggunaan fenobarbital karena fenitoin memeiliki batas keamanan yang sempit, efek samping dan efek toksik, sekalipun ringan, sifatnya cukup menganggu terutama pada anak. Selain itu absorpsi dan metabolisme obat mudah terganggu oleh penyakit ringan maupun antikonvulsan lain.Dosis rata-rata 5-7 mg/kgBB/hari dan akan mencapai kadar terapeutik (10-20 g/ml) dalam 7-10 hari. Untuk mencapai kadar terapeutik yang cepat harus diberikan 4 dosis 5-6 mg/kgBB/ setiap 8 jam. Nistagmus dapat timbul pada kadar 15-30 g/ml, ataksia pada kadar diatas 30 g/ml dan perburukan kejang pada kadar 40 g/ml. karena masa paruh yang panjang (10-34 jam pada dewasa, dan 5-18 jan pada anak), maka obat ini cukup diberikan 1-2 kali sehari.Penggunaan bersama fenobarbital, karbamazepin, valproat, INH, dan kloramfenikol dapat meningkatkan kadar bebas fenitoin. Efek samping idiosinkratik berupa ruam kulit, diskrasia darah, dan reaksi imunologis. Efek intoksikasi berupa vertigo, gerakan involunter, pusing, mual, nistagmus, sakit kepala, ataksia,letargi, perubahan perilaku. Efek samping pemberian kronik berupa hirsutisme, hipertrofi ginggiva, gangguan perilaku dan fungsi kognitif. Dapat terjadi peninggian SGOT-SGPT yang secara klinis kurang berarti.Efek samping yang berat adalah kelainan hematologis berupa trombositopenia, leucopenia, anemia) dan sindrom Steven Johnson. Untuk pemeriksaan rutin diperlukan pemeriksaan darah lengkap setiap tahun.d) Asam Valproat

Digunakan pada epilepsy motor minor (mioklonik), absens, tonik-klonik dan serangan parsial sederhana maupun kompleks. Asam valproat dapat meningkatkan efek inhibisi postsinaptik GABA, menghambat pembetukan gelombang paku dan menghambat jaras neuronal eksitatorik. Dosis inisial anak adalah 25-20 mg/kgBB/hari dalam 2-4 dosis (masa paruh 6-15 jam) untuk mencapai kadar terapeutik (40-150 g/ml) dalam 1-4 hari dan disusul oleh dosis rumatan 30-60 mg/kgBB/hari (tanpa loading dose). Pada politerapi dibutuhkan lebih dari 100 mg/kgBB/hari.

Efek samping idiosinkratik brupa ruam kulit, gagal hati akut, pancreatitis akut dan diskrasia darah. Gejala intoksikasi berupa mengantuk, vertigo, dan perubahan perilaku. Efek pemberian kronik adalah mengantuk, perubahan perilaku, tremor, hiperamonia, brtambahnya berat badan, rambut rontok, pernyakit perdarahan dan gangguan lambung.

Kerana efek sampingnya yang banyak, maka American Academy of Pediatrics dan Committee on Drugs memutuskan sebagai berikut:

Jangan memberikan valproat sebagai politerapi pada anak kurang dari 3 tahun, kecuali bila monoterapi tidak berhasil.

Gubakan OAE yang lain pada kejang demam dan serangan absens

Jangan berikan valproat pada anak dengan penyakit hati, penyakit berat, atau yang sedang menggunakan obat yang mempengaruhi koagulasi. Melaporkan secepatnya bila timbul efek samping.

Usahakan memberikan dosis minimal

Pemeriksaan fungsi hati sebelum dan setelah pemberian valproat (pemeriksaan darah lengkap, dan SGOT-SGPT 2 minggu setelah pengobatan dimulai dan setiap 2 bulan selama 6 bulan dan kemudian tiap 4 bulan2. Strategi Pemberian ObatTujuan utama terapi farmakologi untuk epilepsy adalah mengendalikan serangan epilepsy dengan satu jenis obat (monoterapi). Setelah serangan peilepsi benar-benar terkendali dengan dosis yang konstan dalam periode tertentu, serangan epilepsi dapat muncul kembali. Hal demikian ini sering disebabkan oleh induksi enzim yang dapat diperlihatkan dengan menurunnya kadar obat dalam serum. Oleh karena itu dosis obat harus dinaikkan, bukan membri obat baru. Peningkatan dosis diizinkan sampai mendekati dosis toksik. Dengan demikian pemberian obat jenis kedua tidak diperlukan, karena dapat meningkatkan induksi enzim dan akan mengakibatkan kadar subterapeutik kedua jenis OAE yang digunakan. Ditambah lagi efek anti-epilepsi kedua jenis OAE biasanya tidak saling menguatkandan efek sampingnya justru dapat lebih nyata. Akibatnya penderita dapat mengalamiserangan yang lebih sering atau lebih hebat dan dapat pula mengalami intoksikasi.

Apabila obat piliha pertama jelas-jelas tidak efektif, maka obat jenis kedua harus diberikan. Pemberian obat kedua ini harus memenuhi ketentuan sebagaimana diberlakukan terhadap pilihan pertama. Apabila terjadi efek toksik maka keadaan ini dapat disebabkan oleh inhibisi enzim terhadap obat kedua yang kemudian menaikkan obat pertama dalam serum. Apabila memang demikian, maka dosis obat pertama harus diturunkan dengan segera dan obat kedua tetapa diberikan. Begitu obat kedua benar-benar efektif maka dosis obat pertama diturunkan secara bertahap dan kemudian dihentikan.

Penghentian obat pertama secara mendadak tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan serangan ulang. Penurunan dosis dianjurkan 20% dari dosis total harian setiap 5 kali waktu paruh. Srrangan ulang sebagai akibat penghentian obat secara mendadak biasanya terjadi pada pemberian barbaiturat, primidon, dan benzodiazepine. Walaupun demikina bukan berarti bahwa obat-obat tadi cocok untuk pemeliharaan kendali serangan. Apabila serangan muncul pada saat penurunan dosis obat pertama, maka penurunan dosis obat tadi dapat diundur tetapi tidak perlu dibatalkan.

Untuk melengkapi pendekatan monoterapi, ada beberapa petunjuk umum sebagai berikut:

Apabila dalam 3 bulan serangan tidak dapat terkendali, penderita harus dikirim ke spesialis saraf. Berikutnya, apabila terapi yang diberikan sudah sesuai dengan keadaan dan tidak member hasil dalam waktu satu tahun. Maka akan muncul masalah epilepsy yang rumit dan demikina penderita hrus dikirim ke pusat epilepsy (epilepsy centre). Tearpi farmakologi terhadap kejang umum dan parsial komplek harus ditujukan untuk mengandalikan serangan sepenuhnya, sebab serangan epilepsy ini dapat mengakibatkan cedera, kerusakan struktur otak atau kematian.

Apabila serangan epilepsy parsial terus berlanjut selama 2 tahun, penderita haus diealuasi untuk terapi operatif.

3. Pemeriksaan EEG

Pemeriksaan EEG merupakan sarana penunjang diagnostik utama untuk menilai pasien dengan bangkitan epilepsi atau suspek suatu bangkitan epilepsi. Gambaran EEG dapat membantu menegakkan diagnosis, mengklasifikasikan bangkitan, dan mengidentifikasi suatu sindroma epilepsi..Beberapa sindroma epilepsi mempunyai gambaran yang khas. Evaluasi, diagnosis, dan pengobatan epilepsi pada anak memerlukan pertimbangan khusus. Pemeriksaan EEG merupakan salahsatu sarana penunjang yang informatif dalam diagnosis epilepsi. Manifestasi klinis yang dikombinasikan dengan pola EEG yang epileptiform sangat menunjang diagnosis epilepsi. Selain itu pula, gambaran EEG dapat membantu mengklasifikasikan jenis bangkitan, membantu pemilihan obat antiepilepsi (OAE) yang tepat, dan meramalkan prognosis. Diagnosis merupakan langkah awal dalam penatalaksanaan pasien.Teknik perekaman EEG juga memegang peranan penting untuk mendapatkan hasil yang signifikan pada pasien yang telah didiagnosis epilepsi. Elemen yang penting saat perekaman seperti reaksi dan respon, perubahan fisiologi (bangun-tidur), penggunaan premedikasi dan adanya provokasi (hiperventilasi dan stimulasi fotik) membantu memberikan informasi dalam interpretasi EEG.

Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut (Duncan, Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni 2004)

1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis, mebgklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.

2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti 3-Hz spike-wave complexes adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik.

3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat menjelaskan manifestasi klinis daripadaaura maupun jenis serangan kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan cermat.Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :

1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.

2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.

3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien epilepsi anak.

4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.

PEMERIKSAAN VIDEO-EEG

Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi (Kirpatrick, Sisodiya, Duncan 2000, Stefan, 2003).4. Klasifikasi EpilepsiKLASIFIKASI ILAE 1981

Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005).

Serangan parsial

Serangan parsial sederhana (kesadaran baik).

Motorik

Sensorik

Otonom

Psikis Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)

Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.

Gangguan kesadaran saat awal serangan.

Serangan umum sekunder

Parsial sederhana menjadi tonik klonik.

Parsial kompleks menjadi tonik klonik

Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.

Serangan umum.

Absans (lena)

Mioklonik

Klonik

Tonik

Atonik.

Tak tergolongkan.

Klasifikasi berkaitan dengan letak fokus

Idiopatik (primer)

Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik benigna)

Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

Primary reading epilepsy.

Simptomatik (sekunder)

Lobus temporalis

Lobus frontalis

Lobus parietalis

Lobus oksipitalis

Kronik progesif parsialis kontinua

Kriptogenik

Umum

Idiopatik (primer)

Kejang neonatus familial benigna

Kejang neonatus benigna

Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

Epilepsi absans pada anak

Epilepsi absans pada remaja

Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga.

Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.

Kriptogenik atau simptomatik.

Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia).

Sindroma Lennox Gastaut.

Epilepsi mioklonik astatik

Epilepsi absans mioklonik

Simptomatik

Etiologi non spesifik

Ensefalopati mioklonik neonatal

Sindrom Ohtahara

Etiologi / sindrom spesifik.

Malformasi serebral.

Gangguan Metabolisme.

Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.

Serangan umum dan fokal

Serangan neonatal

Epilepsi mioklonik berat pada bayi

Sindroma Taissinare

Sindroma Landau Kleffner

Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

Epilepsi berkaitan dengan situasi

Kejang demam

Berkaitan dengan alkohol

Berkaitan dengan obat-obatan

Eklampsi.

Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)