Upload
leduong
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Makalah Kapita Selekta Ilmu Sosial
ETIKA BIROKRASI
Penyusun:
Febrian Arif44111010166
Universitas Mercu Buana
Fakultas Ilmu komunikasi
Jakarta
2011
1
Kata Pengantar
Puji Syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME atas begitu banyak limpahan rahmat, taufik,
dan hidayahnya kepada saya. Dan telah memberikan saya petunjuk untuk menyelesaikan
makalah kapita selekta ilmu sosial sebagai persyaratan Ujian Akhir Semester 1 di universitas
tercinta Mercu Buana.
Ucapan terimakasih saya ucapkan pada kesempatan kali ini. Kepada keluarga, teman-teman
rekan mahasiswa, dan siapapun yang pernah terlibat dalam kepengurusan makalah ini hingga
selesai.
Saya meminta maaf apabila dalam makalah ini masih terdapat kesalahan. Karena hal tersebut
tak terlepas dari kodrat saya sebagai manusia biasa.
Jakarta, 10 Januari 2011
Penulis
2
Daftar Isi
Sampul depan ...................................................................... 1
Kata Pengantar ................................................................... 2
Daftar isi ................................................................... 3
BAB I ............................................................................. 4
BAB II ............................................................................. 5
BAB III ............................................................................ 16
Daftar Pustaka ................................................................... 17
3
BAB IPendahuluan
Setiap masyarakat atau bangsa pasti mempunyai pegangan moral yang menjadi landasan
sikap, perilaku dan perbuatan mereka untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dengan
pegangan moral itu dibedakan mana yang baik, dan mana yang buruk, benar dan salah serta
mana yang dianggap ideal dan tidak. Oleh karena itu dimana pun kita bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara peranan etika tidak mungkin dikesampingkan Semua warganegara
berkepentingan dengan etika.
Secara etimologis istilah etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang artinya kebiasaan,
salah satu cabang filsafat yang dibatasi dengan dasar nilal moral menyangkut apa yang
diperbolehkan atau tidak, yang baik atau tidak baik, yang pantas atau tidak pantas pada perilaku
manusia (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1989:205). Dalam kenyataan kehidupan sosial
semua masyarakat mempunyai atuan moral yang membolehkan atau melarang perbuatan
tertentu. Tata kelakuan itu haras diikuti oleh anggota masyarakat dan akan menimbulkan
hukuman bagi pelanggarnya. Namun bisa sebaiknya yang terjadi apabila perilaku yang
dilaksanakan dianggap ideal maka akan mendapat imbalan (reward) yang sesuai. Dengan
demikian maka fungsi etika adalah untuk membina kehidupan yang baik berdasarkan nilai-
nilai moral tertentu. Kehidupan manusia bersifat multi dimensi meliputi berbagai bidang
sosial, ekonomi, politik, kebudayaan yang semuanya memerlukan etika termasuk
didalamnya kehidupan birokrasi.
Kalau dikaitkan dengan pembangunan maka etika sangat erat fungsinya dan menyatu
dengan kegiatan pembangunan. Apa saja yang dilakukan demi mencapai taraf hidup yang lebih
baik, melekat peranan etika. Sistem dan prosedur yang berlaku dalam pembangunan, sarat
dengan nilai-nilai moral yang hams dipegang teguh oleh mereka yang teriibat dalam
pembangunan. Apa yang kita laksanakan dalam pembangunan pada hakekatnya adalah dari,
oleh, dan untuk manusia atau 'people centered development.Dalam rumusan Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN disebut pembangunan manusia se-utuhnya dan masyarakat Indonesia
seluruhnya. Dalam pembangunan yang demikian diusahakan keseimbangan pembangunan fisik
materiil dan mental spiritual dan raang cakupannya meliputi selurah masyarakat bangsa
Indonesia. Uraian berikut mencoba menelusuri jejak birokrasi di Indonesia, memahami nilai-
nilai yang terkandung didalamnya dan bagaimana perilaku birokrasi kita dalam menyongsong
masa depan.
4
BAB II
MAKNA BIROKRASIKalau kita mendengar konsep birokrasi pada umumnnya lalu membayangkan proses
yang berbelit-belit, waktu yang lama, biaya yang banyak dan menimbulkan keluh kesah yang
pada akhimya ada anggapan bahwa birokrasi itu tidak efisien dan bahkan tidak adil. Anggapan
yang demikian tidak seluruhnya benar walaupun mungkin secara subyektif banyak orang. Oleh
karena itu tidak heran kalau banyak terjadi perbedaan pendapat tentang birokrasi bahkan tidak
jarang timbul pro-kontra yang berkepanjangan.
Secara obyektif sebenamya haras diakui bahwa birokrasi juga mempunyai ciri-ciri ideal
dipandang dari aspek formahiya, Kalau dalam kenyataan praktek kerja ciri-ciri
ideal itu luntur dan berabah menjadi sesuatu yang buruk dan merugikan berarti
memerlukan modifikasi serta perubahan dan pengembangan. Menurut Weber (Dalam Albrow,
1989:33) secara rasional birokrasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan
mereka.
2. Ada hirarki jabatan yang jelas. Fungsi-fimgsi jabatan ditentukan secara jelas.
3. Para pelabat diangkat berdasarkan suatu kontrak. Mereka dipilih berdasarkan
kualifikasi profesional, idealnya berdasarkan suatu diploma (ijasah) yang diperoleh
melalui ujian. Mereka memiliki gaji dan biasanya ada hak-hak pensiun, gaji
berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya
dan dalam keadaan-keadaan tertentu ia dapat diberhentikan.
Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya. Terdapat
suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit)
dan menurut pertimbangan keunggulan (superior). Pejabat mungkin tidak sesuai dengan
posnya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di posnya tersebut. la tunduk pada sistem
disiplin dan kontrol seragam. Apabila tipe ideal birokrasi dengan sepuluh ciri tersebut dapat
terlaksana dengan baik maka dampaknya akan positif dalam kehidupan organisasi maupun
dalam masyarakat dan negara. Namun dalam prakteknya, tipe ideal birokrasi itu meleset jauh
ke arah yang berlawanan dan negatif.
Oleh karena itu Blau dan Meyer lebih melihat birokrasi dari sisi gelapnya yaitu adanya
kekakuan (inflexibility) dan kemandegan struktural (structural static). Tata cara yang
berlebihan (ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat yang tidak pribadi 5
(impersonality) dan pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan menutup diri
terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent).
Mouzelis (1974:4) mengemukakan birokrasi sebagai "the existence of a system of Control
based on rational rules, rules with try to regulated the whole organizational structure and
process on the based of tedinical knowledge and the maximun efficiency".
Serupa tetapi tidak sama dengan Weber, Mouzelis mengemukakan bahwa dalam birokrasi
terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan proses berdasar pengetahuan
teknis dan dengan efisiensi yang setinggi-tingginya. Dari pandangan yang demikian tidak
sedikitpun alasan untuk menganggap birokrasi itu jelek dan tidak efisien. Tetapi dalam
praktek yang sesungguhnya jauh panggang dari api. Jarak apa yang terjadi (das sein) dan apa
yang diinginkan (das sollen) masih terlalu jauh. Oleh karena itu dalam pengurusan berbagai
kepentingan yang berkaitan dengan organisasi seringkali mengenyampingkan birokrasi dan lebih
senang menempuh prosedur yang dianggap menguntungkan
Demikian juga Palombara (1971), dan Seitzt (1978) dalam pemyataannya tersurat dan
tersirat bahwa birokrasi itu harus dibuang jauh. Namun mereka juga menyadari apa yang
ditentukan dalam birokrasi belum seluruhnya dapat dicapai. Sebagaimana konsep-konsep yang
lain dalam penerapannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan situasi dan kondisi yang
didalamnya terdapat unsur-unsur etika yang harus diperhatikan.
Satu hal pasti bahwa birokrasi merupakan fenomena yang sudah ada sejak dulu kala
manusia ingin mencapai tujuan bersama dalam berbagai wadah organisasi. Bahkan Blau dan
Meyer menyatakan bahwa birokrasi merapakan organisasi-organisasi yang didirikan secara
resmi yang dibentuk untuk memaksimumkan efisiensi administrasi.
Apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintahan dan pembangunan maka birokrasi
berkenaan dengan kelembagaan, aparat dan sistem serta prosedur dalam kegiatan yang
dilaksanakan demi kepentingan umum atau kepentingan masyarakat Dalam makna birokrasi
yang demikian itu Yahya Muhaimin (1991) mengemukakan birokrasi sebagai keseluruhan
aparat pemerintah, sipil maupun militer yang tugas membantu pemerintah dan
menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.
Dalam kesempatan ini sesuai dengan tema dan judul makalah maka fokus uraian
diarahkan pada keterikatan aparat pemerintah baik sipil maupun militer terhadap etika
birokrasi. Mereka seharasnya mempunyai pedoman dan penuntun dalam sikap, perilaku dan
perbuatan secara jelas dan rinci, sehingga birokrasi menjadi bersih, dinamis dan
bertanggungjawab. Dalam hal ini tidak cukup hanya tanggung jawab yuridis formal tetapi
juga tanggungjawab moral. Sebagai konsekuensi logis dari tanggung jawab yang demikian
itu etika birokrasi mempunyai peran yang strategis dalam pemerintahan dan pembangunan
6
sehingga cita-cita bangsa dapat diusahakan tercapai dengan cara yang benar dan baik
Landasan birokrasi
Semua nonmatip dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan harus
berlandaskan secara idiil Pancasila, konstitusional UUD 1945 dan operasional Garis-
Garis Besar Haluan Negara. Landasan yang demikian menjadi kesepakatan nasional yang
tidak bisa diganggu-gugat. Masalahnya adalah apakah aparat birokrasi kita tetap berada pada
landasan yang demikian dalam kegiatannya (on the right track) ? Dalam kenyataan
sering terjadi aparat birokrasi keluar dari landasan dengan berbagai motivasi. Gejala-gejala
dan fakta kolusi dan korapsi menjadi semakin marak yang menjadi indikator bobroknya
birokrasi.
Landasan idiil Pancasila menimbul-kan cita-cita yang ideal dalam kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Cita-cita ini dikonsepsikan dan disistimatisir
menjadi suatu faham / ideologi. Kemudian dikembangkan dan diajarkan melalui berbagai
metode sebagai doktrin bagi semua penyelenggara negara atau aparat birokrasi dan warga
negara. Kristalisasi dari ajaran-ajaran itu menjadi asas-asas (Principles) yang dijadikan
pedoman dan pegangan hidup. Dalam penerapannya secara teras menerus dan konsekuen
menimbulkan tradisi atau kebiasaan yang menjelma menjadi cara hidup atau way of life dalam
penyelenggaraan kegiatan mencapai tujuan atau cita-cita.
Dalam way of life demikian terdapat sistem nilai (value system), kepentingan
(interest), dan sikap tertentu (attitude). Namun demikian perlu didasari bahwa unsur-unsur
way of life yang demikian perlu disosialisasikan sehingga dari waktu ke waktu nampak
kemanfaatannya dalam kehidupan, khususnya bagi aparat birokrasi. Dengan kata lain
dinamika pemerintahan dan pembangunan haras selalu mengacu kepada butir-butir
Pancasila sebagai penuntun sikap dan perilaku para penyelenggara negara dan seluruh
warga negara. Untuk itu aparat birokrasi dalam proses kegiatannya harusnya mampu
menciptakan strategi untuk menentukan garis-garis besar tindakan (courses of action).
Disamping dan bersama-sama dengan itu selalu diperhatikan mengenai tujuan dan sasaran
(goal and objective), lingkungan (environment), tantangan-tantangan yang dihadapi
(challenges), sumberdaya yang dimiliki (resources) dan juga tahap-tahap waktu yang
diperlukan (time framework).
Dengan demikian maka kebijaksanaan - kebijaksanaan birokrasi, baik yang bersifat
administratif maupun operasional selalu mengacu pada landasan idiil (Pancasila).
Selanjutnya tujuan, tugas pokok dan fungsionalisasi lembaga-lembaga birokrasi
masing-masing mencerminkan penerapan Pancasila secara murni dan konsekuen
7
sebagaimana diikrarkan oleh Orde Baru.
Kemudian landasan konstitusional UUD 1945 yang dilaksanakan secara mumi dan
konsekuen berarti asas legalitas yang digunakan oleh aparat birokrasi selalu mengacu
kepada "batang-tubuh" UUD 1945. Dalam praktek ketatanegaraan semua aturan perundang-
undangan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu lembaga-
lembaga birokrasi yang ada, dalam kegiatannya bersifat konstitusional atau mentaati asas
legalitas. Apabila dalam sikap, perilaku dan perbuatan aparat birokrasi tidak mengingat lagi
asas legalitas yang demikian maka apa yaiig dilaksanakan dalam pemerintahan dan
pembangunan bersifat "inconstitutional dan sudah tentu tidak memperhatikan etika birokrasi.
Bahkan dapat menimbulkan despotisme yang pada akhimya mengorbankan kehidupan negara
dan bangsa.
Kemudian landasan operasional yang dilaksanakan dalam pembangunan berupa
GBHN yang disusun melalui mekanisme lima tahunan mengikuti dinamika masyarakat
dengan tuntatan dan harapannya yang selalu meningkat. Trilogi pembangunan yang
tercantum di dalamnya yaitu :
- Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya
keadilan social bagi seluruh rakyat
- Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
- Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Ketiga tumpuan pembangunan itu mempunyai peran yang sama-sama penting dan
saling mempengaruhi satu sama lain. Namun dalam kenyataan kadang-kadang yang satu
dianggap lebih penting daripada yang lain. Fenomena demikian kebanyakan muncul dari
aparat birokrasi baik sipil maupun militer. Kalau Stabilitas nasional ditonjolkan melebihi
yang lain maka pendekatan keamanan (security approach) menjadi berlebihan
sedangkan pemerataan dan keadilan serta demokrasi tertinggal jauh.
Memang dengan Stabilitas yang sehat dan dinamis, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi
namun diimbangi dengan pemerataan dan keadilan secara memadai. Dalam keadaan
demikian aspek etika dalam birokrasi pembangunan menjadi "crucial point" yang harus
diperhatikan.
Kemudian pertanyaannya seberapa jauh etika agama dalam birokrasi. Etika atau moral
atau akhlak dalam arti agama ialah suatu daya yang positif dan aktif yang diperolehnya untuk
mengalihkan situasi batinnya (Mukti Ah, 1969: 8). Agama bukan hanya memberikan dasar dan
sanksi saja terhadap moral tetapi menjadi landasan dan penuntun berbagai macam latihan
rohani dan jasmani supaya para pemeluk agama setapak demi setapak menjadi orang yang
bermoral tinggi. Apabila orang tersebut menjadi aparat birokrasi maka iman dan taqwanya 8
akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya.
Dalam kehidupan birokrasi dimensi religius berada diatas landasan idiil.
konstistusional dan operasional. Ini berarti agama mempunyai tingkatan yang lebih tinggi
dari semuanya itu. Di negara-negara modernpun pada umumnya ajaran-ajaran agama
termasuk kedalam kehidupan bernegara. Demikian juga dalam UUD 1945 yang dalam
pembukaan alenea ketiga sudah mencantumkan aspek religius yaitu "berkat
rakhmat Allah Yang Maha Kuasa" Demikian juga dalam Pasal 29 UUD 1945 dinyatakan:
1. Negara berdasar atas KeTuhanan Yang MahaEsa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Oleh karena itu ajaran-ajaran agama yang diterima para pemeluknya menjadi
landasan moral yang tinggi dan menjamin kehidupan yang baik duniawi dan ukhrowi.
Dimensi religius yang demikian itu seharusnya menggejala dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan. Apabila aparat birokrasi bermoral tinggi sesuai dengan
agamanya maka mustahil terjadi penyelewengan yang meragikan semua pihak.
Birokrasi Patrimonial
Di negara-negara berkembang pada umumnya tipe ideal birokrasi tampak tidak
sepenuhnya dapat dicapai bahkan tidak jarang jauh bedanya antara harapan dan kenyataan.
Pemerintah dan pembangunan yang bersih, dinamis dan bertanggungjawab masih sangat sulit
diwujudkan. Bahkan tidak jarang yang terjadi adalah sebaliknya yaitu timbulnya kolusi
dan korupsi yang dibarengi dengan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Keadaan
demikian merupakan penyakit birokrasi tetapi anehnya justru birokrasinya yang sering
dijadikan "kambing hitam".
Sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia sekarang tidak dapat dilepaskan dari
sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan kolonial dan
pemerintahan Orde Lama. Masing-masmg tahap tersebut membawa corak birokrasi
sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan birokrasi maka
dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para punggawa kerajaan,
sebagai kelompok elit pemerintahan. Kepatuhan harus diwujudkan dengan
melaksanakan segala peraturan dan perintah kerajaan dan tidak untuk mempertimbangkan
untung ragi dan dampaknya. Sikap atau perilaku yang demikian dibarengi dengan
timbulnya perasaan dan kepercayaan rakyat bahwa pihak kerajaan akan melindungi para
9
kawula dari segala macam gangguan dan ancaman. Timbullah hubungan ketergantungan
pelindung dan yang dilindungi. Hubungan demikian dikategorikan sebagai "patron-client
relationship" (James C. Scott, 1972:27). Dalam birokrasi timbul hubungan "bapak-anak buah"
secara khusus sebagaimana berlaku di Indonesia setelah kemerdekaan (Ismani, 1992:171).
Demikian juga "patrimonial of leadership" (Stogdill, 1974:328) timbul dalam
kondisi yang demikian. Didalamnya terdapat "traditional authority" dimana kepatuhan dan
kesetiaan terhadap pemimpin karena ditopang oleh kewenangan yang bersumber pada tradisi.
Birokrasi dalam kerajaan-kerajaan khususnya di Jawa atau birokrasi patrimonial dalam
banyak hal masih terasa sampai kini.
Pada jaman kolonial kedaaan birokrasi kerajaan yang demikian itu tidak mengalami
perubahan yang berarti tetapi justru dimanfaatkan dan dimodifikasi sedemikian rupa
sehingga lebih efisien demi kepentingan penjajah. Dibuat peratuan-peraturan yang memaksa
dan dalam pelaksanaannya memperalat elit pribumi (para bangsawan) dengan
keuntungan sebesar-besamya. Pembentukan elit birokrasi yang demikian itu sangat
menonjol di Jawa (Sutherland, 1972). Oleh karena itu birokrasi patrimonial yang berakar
pada budaya Jawa tidak diubah tetapi ditambah bebannya oleh penjajah.
Kemudian setelah Indonesia merdeka sampai dengan runtuhnya Orde Lama birokrasi
patrimonial masih tetap melekat erat pada pemerintahan dan pembangunan. Pengaruh
feodalisme dan kolonialisme masih terus berlanjut dan pola hubungan "patron-client
menjadi referensi utama dalam birokrasi. Dalam Orde Lama orientasi keatas sangat kuat
dan menentukan semua "Bapak" harus dihormati, ditaati dan pantang ditentang. Berbeda
pendapatpun sebaiknya jangan. Oleh karena itu pada jaman Orde lama sang pemimpin
atau birokrat menjadi tumpuan segala-galanya.
Benih-benih tirani hidup subur dan puncak penyelewengannya menimbulkan segala
macam kesengsaraan yang mendorong lahimya Orde Baru.
Babak baru dalam pemerintahan dan pembangunan dimulai dengan tekad
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun demikian
corak "birokrasi patrimonial" masih tetap menjadi warna yang dominan (Liddle, 1977;
Robinson, 198 1; Hein, 1982; Muhaimin, 1982). Menurut Hein hubungan "Bapak-Anak
buah" mempengaruhi hampir setiap segi penting kehidupan politik di Indonesia (termasuk
strategi pembangunan ekonomi-penulis). Sedangkan Liddle mengemukakan bahwa regim
Orde Baru bersandar pada jaringan pribadi antara patron-client dan pendukungnya.
Adanya patrionalisme dalam birokrasi merapakan peninggalan sejarah politik dan
ekonomi di Indonesia yang sampai sekarang tidak lekang panas dan tidak lapuk karena hujan.
Hanya penerapannya yang berbeda sesuai dengan jamannya, prinsip dasarnya tetap sama.
10
"Bagaimanapun juga munculnya birokrasi patrimonial dalam sistem administrasi negara dan
sistem politik tidak dikarenakan masih kuatnya ikatan kultur tradisional yang paternalistik."
(Miftah Thoha, 1991:45). Masalahnya adalah bagaimana kita mampu memanfaatkannya dalam
birokrasi pembangunan dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif yang
ditimbulkannya.
Sikap Mental dan Etos Kerja Di Kalangan Birokrasi
Sikap mental selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang menjadi landasan etos kerja.
Sedangkan nilai-nilai yang dianut berasal dari berbagai sumber antara lain agama, filsafat dan
kebudayaan yang diamit oleh suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Nilai-nilai mana yang lebih
dominan untuk menimbulkan etos kerja yang tinggi sangat ditentukan oleh proses adopsi dan
adaptasi serta pengahayatannya. Sikap mental yang positif dan ideal sangat diperlukan sebagai
aparat birokrasi.
Myrdal (1968) mengajukan tiga belas ciri-ciri sikap mental yang seharusnya dimiliki
bangsa-bangsa Asia kalau mau berhasil dalam pembangunan yaitu: efisiensi, kerajinan,
kerapian, tepat waktu, mengikuti rasio dalam mengambil keputusan dan tindakan, kesediaan
untuk berubah, kegesitan dalam mempergunakan kesempatan yang muncul, bekerja sama
energetis, bersandar pada kekuatan sendiri, mau kerjasama dan kesediaan untuk
memandang jauh ke depan. Sikap mental yang demikian memang baik dan berguna di kalangan
birokrasi dan sekaligus menumbuhkan etos kerja modern yang menuju pada efektifitas dan
efisiensi yang optimal. Namun masih perlu ditambah sikap dan taqwa serta penguasaan ihnu dan
teknologi.
Pertanyaannya adalah bagaimana sikap mental aparat birokrasi kita? Berbagai jawaban
dengan bermacam argumen dapat dikemukakan namun satu hal yang pasti bahwa sikap mental
aparat birokrasi sebagian besar masih belum sesuai dengan tuntutan pembangiman. Masih
nampak gejala-gejala sikap mental yang negatif antara lain kurang bertanggungjawab, suka
mencari jalan pintas, mengabaikan mutu, bergaya hidup yang memiru-niru budaya Barat. Sikap-
sikap yang demikian menimbulkan etos kerja yang rendah dan produktifitas kerja rendah pula
baik kuantitas maupun kualitasnya.
Di kalangan pegawai negeri atau aparat birokrasi masih dominan mentalitas "priyayi"
yang tidak sesuai dengan fungsinya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Mereka pada
umumnya bekerja untuk mengejar pangkat dan jabatan serta kedudukan dan simbol-simbol
prestise tertentu. Oleh karena itu bagi mereka prestasi tidak diutamakan bahkan tidak
sedikit yang menganggap prestasi bukan kebutuhan. Sehingga "need for achievement"'
sebagaimana yang dikemukakan oleh Me Clelland (1977) masih rendah.
11
Di samping itu mentalitas lain yang masih cukup menonjol adalah sikap konservatif
dan tidak mampu memandang jauh ke depan. Timbul perasaan yang selalu tidak puas (ngresulo),
tidak kreatif, kurang inisiatif, mudah mencela orang dan sebagainya.
Orientasi vertikal aparat birokrasi juga masih sangat kuat. Mereka memandang para
pemimpin atau atasan haras dipatuhi dan dihormati. Dampaknya yang segera kelihatan adalah
sikap menunggu perintah dan juga restu sang pemimpin. Sikap mental demikian tidak hanya
berlaku dikalangan "priyayi" Jawa tetapi sudah melanda mereka yang bukan Jawa. Mentalitas
"priyayi" tersebut banyak disebabkan oleh pengaruh Kolonialisme dan feodalisme dan pada
umunmya menimpa kalangan elit birokrasi bukan pegawai kecil.
Masalah rendahnya etos kerja di kalangan birokrasi rapa-rapanya bukan masalah
"orang kecil" atau pegawai rendahan tetapi lebih merajalela di kalangan elit birokrasi. Bagi
pegawai rendahan asal mereka dihargai sebagai manusia dengan nilai-nilai, pandangan-
pandangan dan kebutuhan-kebutuhannya, mereka dengan sendirinya akan bekerja dengan
rajin, teliti, setia dan inovatif. Yang mengkorupsikan kualitas moral manusia ialah struktur-
stuktur kekuasaan yang eksploitatif dimana orang hanya maju asal "ikut main". Yang kita
butuhkan adalah etos tanggung jawab dari kalangan elit birokrasi, suatu etos kerendahan hati
dan tahu diri agar bisa menghormati setiap insan otonomi dalam masyarakat termasuk
didalamnya "orang kecil" dan merasa selalu terhadap perbedaan-perbedaan sosial yang
sedemikian mencolok. (Franz von Magnis, 1978).
Banyak kalangan elit birokrasi yang ingin tampil beda dengan berbagai fasilitas glamour
yang sebenamya tidak sesuai dengan penghasilannya sebagai pegawai negeri. Bagi mereka yang
demikian itu sudah pasti etos kerja dan disiplinnya rendah. Kesetiaan dan kepatuhan pada
profesinya pantas diragukan dan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat
ditelantarkan Oleh karena itu usaha meningkatkan disiplin dan etos kerja di kalangan birokrasi
perlu diintensifkan di tingkat atas karena mereka menjadi panutan bagi kalangan bawah.
Etos kerja, disiplin dan motivasi tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam
menngkatkan produktifitas kerja. Masalahnya saling terkait dan menjadi perhatian utama dalam
pembangunan sumberdaya manusia. Apabila etos kerja rendah disiplin kerja merosot, motivasi
dan produktifitas kerja berkurang.
Disiplin merupakan suatu sikap yang menunjukkan kesediaan untuk menepati atau
mematuhi dan mendukung ketentuan, tata tertib, peraturan, nilai serta kaidah yang berlaku.
Sikap yang demikian tidak dibawa oleh seseorang sejak lahir tetapi ditentukan oleh
keberhasilan pendidikan dan pelatihan, serta pengalaman-pengalaman yang diperoleh.
Di kalangan birokrasi pemerintah banyak menunjukkan kurangnya disiplin kerja. Ada
kecenderugan pelanggaran peraturan serta nilai-nilai dan kode etik, juga lemahnya tanggung
12
jawab. Motivasi mereka untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, dinamis dan
bertanggung jawab, kurang memadai. Produktifitasnya relatif tetap atau seperti berjalan kaki
ditempat. Bahkan dalam bidang-bidang tertentu malahan merosot. Praktek-praktek kolusi dan
korupsi serta penyelewengan masih cukup menggejala sehingga merupakan "red-tape"
birokrasi. Oleh karena itu gerakan disiplin nasional seyogyanya ditanamkan lebih intensif
di kalangan birokrasi. Bagaimanapun juga sikap, perilaku dan perbuatan aparat birokrasi akan
menjadi acuan disiplin masyarakat pada umumnya.
Konsekuensi logisnya Pemerintah harus berlaku adil memberi imbalan yang sesuai
(reward) bagi mereka yang penuh disiplin dan berprestasi. Sebaiknya memberikan hukuman
(punishment) terhadap mereka yang melanggar dan menyeleweng. Di kalangan aparat birokrasi
dapat juga timbul "disiplin semu" artinya seolah-olah timbul suasana disiplin tetapi hanya saat
tertentu dimana pengawasan yang ketat sedang berjalan. Kepatuhan dan kesetiaan mereka
palsu sehingga merugikan pemanfaatan sumberdaya manusia dan produktifitasnya rendah.
Motivasinya juga rendah karena tidak didorong oleh kehendak yang murni tetapi karena rasa
takut.
Apabila orang mempunyai motivasi maka ia akan mempunyai keinginan untuk
mencapainya, Dalam kehidupan birokrasi sering dijumpai orang-orang yang selalu
mengembangkan keinginan, tuntutan dan harapan sehingga sulit untuk merasa puas. Tetapi
tidak sedikit pula orang yang cepat merasa puas sehingga sulit untuk berkembang lagi.
Keinginan yang timbul dari dalam diri manusia memmbulkan dorongan dan semangat atau
motivasi hakiki (intrinsic) dan motivasi yang tumbuh dari luar atau pihak lain merapakan
motivasi ekstrinsic. Dalam meningkatkan etos kerja di kalangan birokrasi dua model motivasi
itu sangat diperlukan sehingga dedikasinya meningkat dan produktifitasnya berkembang dan
dengan demikian etika birokrasi dalam pemerintahan dan pembangunan berjalan baik.
Penerapan Kekuasaan Dalam Birokrasi
Sistem pemerintahan Negara Indonesia atau Birokrasi Pemerintah sebagaimana
dirumuskan dalam Penjelasan UUD 1945 merapakan pedoman dasar dan kerangka mekanisme
bagi penyelenggaraan sistem administrasi negara Indonesia. Dalam sistem pemerintahan negara
itu antara lain telah ditetapkan berbagai perangkat Pemerintahan yang berapa lembaga-
lembaga negara / lembaga birokrasi dengan tugas, wewenang dan kewajiban masing-masing serta
mekanisme hubungan kerja antar lembaga negara dalam rangka menjalankan tugas negara untuk
mencapai tujuan nasional atau cita-cita bangsa.
Dalam kaitan inilah maka sistem administrasi negara atau sistem birokrasi
pemerintahan diselenggarakan dan dikembangkan untuk melaksanakan tugas negara.
13
Dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana dirumuskan
dalam Penjelasan UUD 1945 terdapat tujuh kunci pokok sebagai berikut:
1. Indonesia ialah negara berdasarkan atas hukum (rechstaat) Indonesia ialah negara
berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(machstaai).
2. Sistem konstitusional
Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas). HI. Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
3. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan Negara yang tertinggi di bawah Majelis.
4. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
5. Menteri Negara ialah pembantu Presiden. Menteri Negara tidak bertanggung
jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
6. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Tujuh kunci pokok tersebut seharasnya dipahami secara bulat dan diterapkan
sepenuhnya sehingga masing-masing lembaga birokrasi menyadari dan membatasi diri pada
kewenangannya. Demikian juga hubungan antar lembaga juga terdapat rambu-rambu yang tidak
boleh dilanggar sehingga timbul kerjasama yang harmonis.
Dalam implementasi tujuh kunci pokok tersebut terdapat lembaga-lembaga birokrasi
pemerintah yang secara struktural bersifat vertikal dan horisontal. Struktur organisasi yang
merapakan kerangka yang menunjukkan hubungan antar satuan kerja serta tugas, wewenang dan
tanggung jawabnya masing-masing merapakan landasan mekanisme kerja. Oleh karena itu
pendekatan "structural functionalism" mau atau tidak mau seharasnya dipakai untuk memahami
penerapan etika kekuasaan dalam birokrasi.
Melalui struktur dan fungsi itulah dapat dilihat adanya hubungan kesejajaran dan
kewajaran antar instansi sehingga tidak menimbulkan perasaan bahwa pihaknya yang terpenting.
Gejala "self Centered" muncul dalam birokrasi bukan karena sistem birokrasinya tetapi lebih
banyak disebabkan oleh aparat birokrasi. Pelanggaran etika
birokrasi yang demikian menjalar dari atas ke bawah dan menimbulkan "arrogance of power"
atau kecongkakan kekuasaan. Dampak negatifnya antara lain menimbulkan rasa
kecewa bagi pihak lain, frustrasi, stress dan lebih lanjut kepercayaan pada para elit birokrasi
(pemimpin) merosot dan akhimya dapat kehilangan kekuasaan.
Penyalahgunaan kekuasaan juga dapat menyebabkan melunturnya "power" pejabat
atau aparat birokrasi. Dalam hal ini yang dmaksud penyalahgunaan kekuasaan adalah
14
"semua tindakan penguasa, baik yang positif (Belanda: doen) maupun yang negatif (Belanda:
nietdoen, nalaten) yang menyebabkan seseorang atau suatu badan hukum atau
masyarakat mengalami kerugian lahir dan batin (Yap Thiam Hien, 1973). Dalam "perbuatan1
atau "tindakan" ini termasuk pula tindak perbuatannya, kelalaiannya untuk melakukan
sesuatu yang wajib dilakukannya yang bisa merugikan penduduk atau orang-orang yang
dipimpin.
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan yang
dilakukan aparat birokrasi atau para pejabat antara lain:
- Tidak ada atau kurangnya perumusan serta rincian yang tegas dan jelas tentang
kekuasaan dan wewenang serta kewajiban dan tanggungjawab.
- Berlakunya sistem yang tidak atau terbuka dalam merumuskan kebijakan-kebijakan
(policies) dalam manajemen.
- Komunikasi yang kurang lancar atau macet.
- Tindakan yang kurang tegas terhadap penyimpangan dan penyelewengan.
Untuk mencegah dan menghindari dan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan yang
demikian diperlukan keterbukaan dalam organisasi dan manajemen sehingga tidak
menimbulkan "powerless" bagi pemimpin dan tidak timbul "voiceless"' bagi yang dipimpm.
Landasannya adalah demi "public interest" dan bukan kepentingan individu atau kelompok
tertentu.
Para birokrat yang dengan berbagai cara mendapatkan kedudukan tertentu itu
berdasarkan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang mempunyai
"legitimate power". Tetapi belum tentu dia mampu menggunakan kekuasaannya secara benar
dan baik, efektif dan efisien. Mungkin saja Surat Keputusan itu diperoleh tidak berdasarkan
kecakapan dan kemampuan serta kepakarannya tetapi semata-mata ada "hubungan
tertentu" dengan pejabat yang mengangkatnya. Orang yang demikian akan merusak citra
birokrasi dan pasti pola perilakunya tidak memperhatikan etika birokrasi. Oleh karena itu
dalam mencermati kekuasaan harus dipahami bagaimana kekuasaan itu diperoleh,
bagaimana cara menggunakannya dan bagaimana penguasa mempertahankan serta
mengembangkan kekuasaannya.
15
BAB III
PenutupSebagai penutup dalam makalah ini ada baiknya kalau dikemukakan pokok-pokok
pikiran sebagai berikut: Setiap masyarakat atau bangsa mempunyai tatanan moral atau etika
dalam proses kegiatan untuk meningkatkan hidupnya. Oleh karena itu etika mempunyai
peranan strategis yang harus diperhatikan dalam proses pemerintahan dan pembangunan.
Nilai-nilai moral diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan politik ekonomi,
kebudayaan, pertahanan dankeamanan.
Birokrasi berada dimana saja dan kapan saja (existence) baik intra maupun antar
lembaga dengan perangkat, sistem dan prosedur kegiatannya. Tipe ideal birokrasi
tidak sepenuhnya dapat diwujudkan namun bukan berarti birokrasi itu tidak penting.
Aspek negatif atau "red-tape" birokrasi seringkali muncul karena perilaku yang tidak
etis dari aparat birokrasi, bukan karena sistem birokrasinya. Etika berasal dari agama,
filsafat dan kebudayaan. Ketiganya tidak saling bertentangan tetapi saling melengkapi
dan secara komprehensif saling menunjang. Oleh karena pelaksanaan dan pembinaannya
untuk para birokrat dilakukan terns meneras dan - berkesinambungan. Model birokrasi
patrimonial masih nampak menggejala di Indonesia dengan segala dampaknya. Dalam hal
tertentu nampak positif tetapi tidak jarang pula dampak negatifhya. Model hubungan "Bapak -
Anak Buah" dalam kepemimpinan (patrimonial form of leadership) sangat memerlukan etika
sehingga "tidak asal bapak senang" tetapi merugikan kepentingan umum. Dimensi-dimensi
religius perlu lebih ditonjolkan dalam birokrasi sehingga menyentuh peningkatan iman dan taqwa
para birokrat. Keseimbangan kehidupan duniawi dan ukhrowi masih belum sepenuhnya
menggejala. Para birokrat pada umumnya lebih mementingkan kepentingan materi yang
kelihatan dari penampilannya.
Dalam proses birokrasi masih sangat kelihatan jalan pintas yang dilalui demi kepentingan
tertentu walaupun melanggar etika. Prestasi belum menjadi orientasi utama para birokrat tetapi
prestise yang ditopang oleh simbol-simbol tertentu lebih ditonjolkan.
Gejala-gejala penyalahgunaan kekuasaan dan kecongkakan kekuasaan muncul di kalangan para
birokrat. Sadar atau tidak mereka merusak citra birokrasi, memerosotkan peradaban dan
melecehkan etika. Mereka haras kembali kepangkal jalan kearah pembangunan manusia
seutuhnya dan masyarakat Indonesia selurahnya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Albrow, Birokrasi Alihbahasa M. Rusli Karim dan Totok Daryanto, Tiara Wacana, Yogyakarta,
1989.
Barnard, Chester I., The Function of Executive Harvard University Press, Cambridge-
Massachusets, 1971.
Hein, Gordon R., Partisipasi Dan Stabilitas. Diterjemahkan oleh Kirdi Dipoyudo, Dalam
ANALISA, CSIS, Jakarta, 1991.
Ihsan Ali-Fauzi, "Nilai-nilai Asia Versus Nilai-nilai Barat Yang Diagungkan Dan Dijadikan
Dalih?", Dalam Harian REPUBLIKA. TanggalSlDesember 1995.
Ismani, "Hubungan Patron-Client Dalam Birokrasi, Dalam Majalah ADMINISTRATOR.
No. 1,1988.
Me Clelland, David C., "Dorongan Hati Menuju Modernisasi", Dalam Myron Weyner,
Modernisasi Dinamika Pertumbuhan. Gajahmada University Press, Yogyakarta, 1977.
Oetojo Oesman dan Alfian (penyunting), Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai
Bidang Kehidupan Bermasvarakat. Berbangsa dan Bernegara. BP- 7 Pusat, Jakrta, 1991.
Priyo Budi Santoso, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Rajawali Press, Jakarta, 1983.
Riggs, Fred W., Administrasi Pembangunan : Sistem Administrasi Dan Birokrasi,
Diterjemahkan oleh Luqman Hakim, Rajawali Press, Jakarta, 1989.
Rosantini, "Etos Kebudayaan' Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia. PT. Cipta Adi Pustaka,
Jakarta, 1989.
GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA, Ketetapan MPR No. H /MPR/1993, BP-7
Pusat, Jakarta, 1994.
Stogdill, Ralph M., Handbook of Leadership. A Survey of Theory And Research The Free Press,
A Division of Mac Millan Publishing Co., Inc., New York, 1974.
Sutherland, Heather, The Making Bureaucratic Elite. The Colonial Transformation of
Javanese Priyayi. Heineman Education Books, Singapore, 1972.
Stanislav Andreski, Max Weber: Kapitalisme Birokrasi Dan Agama. Alih bahasa Hartomo
H., PT. Tiara Wacana, Yogya, 198
17