28
Makalah Kapita Selekta Ilmu Sosial ETIKA BIROKRASI Penyusun: Febrian Arif 44111010166 Universitas Mercu Buana Fakultas Ilmu komunikasi Jakarta 2011 1

Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

  • Upload
    leduong

  • View
    229

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

Makalah Kapita Selekta Ilmu Sosial

ETIKA BIROKRASI

Penyusun:

Febrian Arif44111010166

Universitas Mercu Buana

Fakultas Ilmu komunikasi

Jakarta

2011

1

Page 2: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

Kata Pengantar

Puji Syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME atas begitu banyak limpahan rahmat, taufik,

dan hidayahnya kepada saya. Dan telah memberikan saya petunjuk untuk menyelesaikan

makalah kapita selekta ilmu sosial sebagai persyaratan Ujian Akhir Semester 1 di universitas

tercinta Mercu Buana.

Ucapan terimakasih saya ucapkan pada kesempatan kali ini. Kepada keluarga, teman-teman

rekan mahasiswa, dan siapapun yang pernah terlibat dalam kepengurusan makalah ini hingga

selesai.

Saya meminta maaf apabila dalam makalah ini masih terdapat kesalahan. Karena hal tersebut

tak terlepas dari kodrat saya sebagai manusia biasa.

Jakarta, 10 Januari 2011

Penulis

2

Page 3: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

Daftar Isi

Sampul depan ...................................................................... 1

Kata Pengantar ................................................................... 2

Daftar isi ................................................................... 3

BAB I ............................................................................. 4

BAB II ............................................................................. 5

BAB III ............................................................................ 16

Daftar Pustaka ................................................................... 17

3

Page 4: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

BAB IPendahuluan

Setiap masyarakat atau bangsa pasti mempunyai pegangan moral yang menjadi landasan

sikap, perilaku dan perbuatan mereka untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dengan

pegangan moral itu dibedakan mana yang baik, dan mana yang buruk, benar dan salah serta

mana yang dianggap ideal dan tidak. Oleh karena itu dimana pun kita bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara peranan etika tidak mungkin dikesampingkan Semua warganegara

berkepentingan dengan etika.

Secara etimologis istilah etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang artinya kebiasaan,

salah satu cabang filsafat yang dibatasi dengan dasar nilal moral menyangkut apa yang

diperbolehkan atau tidak, yang baik atau tidak baik, yang pantas atau tidak pantas pada perilaku

manusia (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1989:205). Dalam kenyataan kehidupan sosial

semua masyarakat mempunyai atuan moral yang membolehkan atau melarang perbuatan

tertentu. Tata kelakuan itu haras diikuti oleh anggota masyarakat dan akan menimbulkan

hukuman bagi pelanggarnya. Namun bisa sebaiknya yang terjadi apabila perilaku yang

dilaksanakan dianggap ideal maka akan mendapat imbalan (reward) yang sesuai. Dengan

demikian maka fungsi etika adalah untuk membina kehidupan yang baik berdasarkan nilai-

nilai moral tertentu. Kehidupan manusia bersifat multi dimensi meliputi berbagai bidang

sosial, ekonomi, politik, kebudayaan yang semuanya memerlukan etika termasuk

didalamnya kehidupan birokrasi.

Kalau dikaitkan dengan pembangunan maka etika sangat erat fungsinya dan menyatu

dengan kegiatan pembangunan. Apa saja yang dilakukan demi mencapai taraf hidup yang lebih

baik, melekat peranan etika. Sistem dan prosedur yang berlaku dalam pembangunan, sarat

dengan nilai-nilai moral yang hams dipegang teguh oleh mereka yang teriibat dalam

pembangunan. Apa yang kita laksanakan dalam pembangunan pada hakekatnya adalah dari,

oleh, dan untuk manusia atau 'people centered development.Dalam rumusan Garis-Garis Besar

Haluan Negara (GBHN disebut pembangunan manusia se-utuhnya dan masyarakat Indonesia

seluruhnya. Dalam pembangunan yang demikian diusahakan keseimbangan pembangunan fisik

materiil dan mental spiritual dan raang cakupannya meliputi selurah masyarakat bangsa

Indonesia. Uraian berikut mencoba menelusuri jejak birokrasi di Indonesia, memahami nilai-

nilai yang terkandung didalamnya dan bagaimana perilaku birokrasi kita dalam menyongsong

masa depan.

4

Page 5: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

BAB II

MAKNA BIROKRASIKalau kita mendengar konsep birokrasi pada umumnnya lalu membayangkan proses

yang berbelit-belit, waktu yang lama, biaya yang banyak dan menimbulkan keluh kesah yang

pada akhimya ada anggapan bahwa birokrasi itu tidak efisien dan bahkan tidak adil. Anggapan

yang demikian tidak seluruhnya benar walaupun mungkin secara subyektif banyak orang. Oleh

karena itu tidak heran kalau banyak terjadi perbedaan pendapat tentang birokrasi bahkan tidak

jarang timbul pro-kontra yang berkepanjangan.

Secara obyektif sebenamya haras diakui bahwa birokrasi juga mempunyai ciri-ciri ideal

dipandang dari aspek formahiya, Kalau dalam kenyataan praktek kerja ciri-ciri

ideal itu luntur dan berabah menjadi sesuatu yang buruk dan merugikan berarti

memerlukan modifikasi serta perubahan dan pengembangan. Menurut Weber (Dalam Albrow,

1989:33) secara rasional birokrasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan

mereka.

2. Ada hirarki jabatan yang jelas. Fungsi-fimgsi jabatan ditentukan secara jelas.

3. Para pelabat diangkat berdasarkan suatu kontrak. Mereka dipilih berdasarkan

kualifikasi profesional, idealnya berdasarkan suatu diploma (ijasah) yang diperoleh

melalui ujian. Mereka memiliki gaji dan biasanya ada hak-hak pensiun, gaji

berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya

dan dalam keadaan-keadaan tertentu ia dapat diberhentikan.

Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya. Terdapat

suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit)

dan menurut pertimbangan keunggulan (superior). Pejabat mungkin tidak sesuai dengan

posnya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di posnya tersebut. la tunduk pada sistem

disiplin dan kontrol seragam. Apabila tipe ideal birokrasi dengan sepuluh ciri tersebut dapat

terlaksana dengan baik maka dampaknya akan positif dalam kehidupan organisasi maupun

dalam masyarakat dan negara. Namun dalam prakteknya, tipe ideal birokrasi itu meleset jauh

ke arah yang berlawanan dan negatif.

Oleh karena itu Blau dan Meyer lebih melihat birokrasi dari sisi gelapnya yaitu adanya

kekakuan (inflexibility) dan kemandegan struktural (structural static). Tata cara yang

berlebihan (ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat yang tidak pribadi 5

Page 6: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

(impersonality) dan pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan menutup diri

terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent).

Mouzelis (1974:4) mengemukakan birokrasi sebagai "the existence of a system of Control

based on rational rules, rules with try to regulated the whole organizational structure and

process on the based of tedinical knowledge and the maximun efficiency".

Serupa tetapi tidak sama dengan Weber, Mouzelis mengemukakan bahwa dalam birokrasi

terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan proses berdasar pengetahuan

teknis dan dengan efisiensi yang setinggi-tingginya. Dari pandangan yang demikian tidak

sedikitpun alasan untuk menganggap birokrasi itu jelek dan tidak efisien. Tetapi dalam

praktek yang sesungguhnya jauh panggang dari api. Jarak apa yang terjadi (das sein) dan apa

yang diinginkan (das sollen) masih terlalu jauh. Oleh karena itu dalam pengurusan berbagai

kepentingan yang berkaitan dengan organisasi seringkali mengenyampingkan birokrasi dan lebih

senang menempuh prosedur yang dianggap menguntungkan

Demikian juga Palombara (1971), dan Seitzt (1978) dalam pemyataannya tersurat dan

tersirat bahwa birokrasi itu harus dibuang jauh. Namun mereka juga menyadari apa yang

ditentukan dalam birokrasi belum seluruhnya dapat dicapai. Sebagaimana konsep-konsep yang

lain dalam penerapannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan situasi dan kondisi yang

didalamnya terdapat unsur-unsur etika yang harus diperhatikan.

Satu hal pasti bahwa birokrasi merupakan fenomena yang sudah ada sejak dulu kala

manusia ingin mencapai tujuan bersama dalam berbagai wadah organisasi. Bahkan Blau dan

Meyer menyatakan bahwa birokrasi merapakan organisasi-organisasi yang didirikan secara

resmi yang dibentuk untuk memaksimumkan efisiensi administrasi.

Apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintahan dan pembangunan maka birokrasi

berkenaan dengan kelembagaan, aparat dan sistem serta prosedur dalam kegiatan yang

dilaksanakan demi kepentingan umum atau kepentingan masyarakat Dalam makna birokrasi

yang demikian itu Yahya Muhaimin (1991) mengemukakan birokrasi sebagai keseluruhan

aparat pemerintah, sipil maupun militer yang tugas membantu pemerintah dan

menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.

Dalam kesempatan ini sesuai dengan tema dan judul makalah maka fokus uraian

diarahkan pada keterikatan aparat pemerintah baik sipil maupun militer terhadap etika

birokrasi. Mereka seharasnya mempunyai pedoman dan penuntun dalam sikap, perilaku dan

perbuatan secara jelas dan rinci, sehingga birokrasi menjadi bersih, dinamis dan

bertanggungjawab. Dalam hal ini tidak cukup hanya tanggung jawab yuridis formal tetapi

juga tanggungjawab moral. Sebagai konsekuensi logis dari tanggung jawab yang demikian

itu etika birokrasi mempunyai peran yang strategis dalam pemerintahan dan pembangunan

6

Page 7: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

sehingga cita-cita bangsa dapat diusahakan tercapai dengan cara yang benar dan baik

Landasan birokrasi

Semua nonmatip dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan harus

berlandaskan secara idiil Pancasila, konstitusional UUD 1945 dan operasional Garis-

Garis Besar Haluan Negara. Landasan yang demikian menjadi kesepakatan nasional yang

tidak bisa diganggu-gugat. Masalahnya adalah apakah aparat birokrasi kita tetap berada pada

landasan yang demikian dalam kegiatannya (on the right track) ? Dalam kenyataan

sering terjadi aparat birokrasi keluar dari landasan dengan berbagai motivasi. Gejala-gejala

dan fakta kolusi dan korapsi menjadi semakin marak yang menjadi indikator bobroknya

birokrasi.

Landasan idiil Pancasila menimbul-kan cita-cita yang ideal dalam kehidupan

bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Cita-cita ini dikonsepsikan dan disistimatisir

menjadi suatu faham / ideologi. Kemudian dikembangkan dan diajarkan melalui berbagai

metode sebagai doktrin bagi semua penyelenggara negara atau aparat birokrasi dan warga

negara. Kristalisasi dari ajaran-ajaran itu menjadi asas-asas (Principles) yang dijadikan

pedoman dan pegangan hidup. Dalam penerapannya secara teras menerus dan konsekuen

menimbulkan tradisi atau kebiasaan yang menjelma menjadi cara hidup atau way of life dalam

penyelenggaraan kegiatan mencapai tujuan atau cita-cita.

Dalam way of life demikian terdapat sistem nilai (value system), kepentingan

(interest), dan sikap tertentu (attitude). Namun demikian perlu didasari bahwa unsur-unsur

way of life yang demikian perlu disosialisasikan sehingga dari waktu ke waktu nampak

kemanfaatannya dalam kehidupan, khususnya bagi aparat birokrasi. Dengan kata lain

dinamika pemerintahan dan pembangunan haras selalu mengacu kepada butir-butir

Pancasila sebagai penuntun sikap dan perilaku para penyelenggara negara dan seluruh

warga negara. Untuk itu aparat birokrasi dalam proses kegiatannya harusnya mampu

menciptakan strategi untuk menentukan garis-garis besar tindakan (courses of action).

Disamping dan bersama-sama dengan itu selalu diperhatikan mengenai tujuan dan sasaran

(goal and objective), lingkungan (environment), tantangan-tantangan yang dihadapi

(challenges), sumberdaya yang dimiliki (resources) dan juga tahap-tahap waktu yang

diperlukan (time framework).

Dengan demikian maka kebijaksanaan - kebijaksanaan birokrasi, baik yang bersifat

administratif maupun operasional selalu mengacu pada landasan idiil (Pancasila).

Selanjutnya tujuan, tugas pokok dan fungsionalisasi lembaga-lembaga birokrasi

masing-masing mencerminkan penerapan Pancasila secara murni dan konsekuen

7

Page 8: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

sebagaimana diikrarkan oleh Orde Baru.

Kemudian landasan konstitusional UUD 1945 yang dilaksanakan secara mumi dan

konsekuen berarti asas legalitas yang digunakan oleh aparat birokrasi selalu mengacu

kepada "batang-tubuh" UUD 1945. Dalam praktek ketatanegaraan semua aturan perundang-

undangan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu lembaga-

lembaga birokrasi yang ada, dalam kegiatannya bersifat konstitusional atau mentaati asas

legalitas. Apabila dalam sikap, perilaku dan perbuatan aparat birokrasi tidak mengingat lagi

asas legalitas yang demikian maka apa yaiig dilaksanakan dalam pemerintahan dan

pembangunan bersifat "inconstitutional dan sudah tentu tidak memperhatikan etika birokrasi.

Bahkan dapat menimbulkan despotisme yang pada akhimya mengorbankan kehidupan negara

dan bangsa.

Kemudian landasan operasional yang dilaksanakan dalam pembangunan berupa

GBHN yang disusun melalui mekanisme lima tahunan mengikuti dinamika masyarakat

dengan tuntatan dan harapannya yang selalu meningkat. Trilogi pembangunan yang

tercantum di dalamnya yaitu :

- Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya

keadilan social bagi seluruh rakyat

- Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi

- Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Ketiga tumpuan pembangunan itu mempunyai peran yang sama-sama penting dan

saling mempengaruhi satu sama lain. Namun dalam kenyataan kadang-kadang yang satu

dianggap lebih penting daripada yang lain. Fenomena demikian kebanyakan muncul dari

aparat birokrasi baik sipil maupun militer. Kalau Stabilitas nasional ditonjolkan melebihi

yang lain maka pendekatan keamanan (security approach) menjadi berlebihan

sedangkan pemerataan dan keadilan serta demokrasi tertinggal jauh.

Memang dengan Stabilitas yang sehat dan dinamis, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi

namun diimbangi dengan pemerataan dan keadilan secara memadai. Dalam keadaan

demikian aspek etika dalam birokrasi pembangunan menjadi "crucial point" yang harus

diperhatikan.

Kemudian pertanyaannya seberapa jauh etika agama dalam birokrasi. Etika atau moral

atau akhlak dalam arti agama ialah suatu daya yang positif dan aktif yang diperolehnya untuk

mengalihkan situasi batinnya (Mukti Ah, 1969: 8). Agama bukan hanya memberikan dasar dan

sanksi saja terhadap moral tetapi menjadi landasan dan penuntun berbagai macam latihan

rohani dan jasmani supaya para pemeluk agama setapak demi setapak menjadi orang yang

bermoral tinggi. Apabila orang tersebut menjadi aparat birokrasi maka iman dan taqwanya 8

Page 9: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya.

Dalam kehidupan birokrasi dimensi religius berada diatas landasan idiil.

konstistusional dan operasional. Ini berarti agama mempunyai tingkatan yang lebih tinggi

dari semuanya itu. Di negara-negara modernpun pada umumnya ajaran-ajaran agama

termasuk kedalam kehidupan bernegara. Demikian juga dalam UUD 1945 yang dalam

pembukaan alenea ketiga sudah mencantumkan aspek religius yaitu "berkat

rakhmat Allah Yang Maha Kuasa" Demikian juga dalam Pasal 29 UUD 1945 dinyatakan:

1. Negara berdasar atas KeTuhanan Yang MahaEsa.

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.

Oleh karena itu ajaran-ajaran agama yang diterima para pemeluknya menjadi

landasan moral yang tinggi dan menjamin kehidupan yang baik duniawi dan ukhrowi.

Dimensi religius yang demikian itu seharusnya menggejala dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan. Apabila aparat birokrasi bermoral tinggi sesuai dengan

agamanya maka mustahil terjadi penyelewengan yang meragikan semua pihak.

Birokrasi Patrimonial

Di negara-negara berkembang pada umumnya tipe ideal birokrasi tampak tidak

sepenuhnya dapat dicapai bahkan tidak jarang jauh bedanya antara harapan dan kenyataan.

Pemerintah dan pembangunan yang bersih, dinamis dan bertanggungjawab masih sangat sulit

diwujudkan. Bahkan tidak jarang yang terjadi adalah sebaliknya yaitu timbulnya kolusi

dan korupsi yang dibarengi dengan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Keadaan

demikian merupakan penyakit birokrasi tetapi anehnya justru birokrasinya yang sering

dijadikan "kambing hitam".

Sistem birokrasi yang berlaku di Indonesia sekarang tidak dapat dilepaskan dari

sejarah masa lalu dalam pemerintahan kerajaan, pemerintahan kolonial dan

pemerintahan Orde Lama. Masing-masmg tahap tersebut membawa corak birokrasi

sendiri. Dalam zaman kerajaan dimana feodalisme menjadi landasan birokrasi maka

dituntut kesetiaan dan kepatuhan sepenuhnya terhadap raja dan para punggawa kerajaan,

sebagai kelompok elit pemerintahan. Kepatuhan harus diwujudkan dengan

melaksanakan segala peraturan dan perintah kerajaan dan tidak untuk mempertimbangkan

untung ragi dan dampaknya. Sikap atau perilaku yang demikian dibarengi dengan

timbulnya perasaan dan kepercayaan rakyat bahwa pihak kerajaan akan melindungi para

9

Page 10: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

kawula dari segala macam gangguan dan ancaman. Timbullah hubungan ketergantungan

pelindung dan yang dilindungi. Hubungan demikian dikategorikan sebagai "patron-client

relationship" (James C. Scott, 1972:27). Dalam birokrasi timbul hubungan "bapak-anak buah"

secara khusus sebagaimana berlaku di Indonesia setelah kemerdekaan (Ismani, 1992:171).

Demikian juga "patrimonial of leadership" (Stogdill, 1974:328) timbul dalam

kondisi yang demikian. Didalamnya terdapat "traditional authority" dimana kepatuhan dan

kesetiaan terhadap pemimpin karena ditopang oleh kewenangan yang bersumber pada tradisi.

Birokrasi dalam kerajaan-kerajaan khususnya di Jawa atau birokrasi patrimonial dalam

banyak hal masih terasa sampai kini.

Pada jaman kolonial kedaaan birokrasi kerajaan yang demikian itu tidak mengalami

perubahan yang berarti tetapi justru dimanfaatkan dan dimodifikasi sedemikian rupa

sehingga lebih efisien demi kepentingan penjajah. Dibuat peratuan-peraturan yang memaksa

dan dalam pelaksanaannya memperalat elit pribumi (para bangsawan) dengan

keuntungan sebesar-besamya. Pembentukan elit birokrasi yang demikian itu sangat

menonjol di Jawa (Sutherland, 1972). Oleh karena itu birokrasi patrimonial yang berakar

pada budaya Jawa tidak diubah tetapi ditambah bebannya oleh penjajah.

Kemudian setelah Indonesia merdeka sampai dengan runtuhnya Orde Lama birokrasi

patrimonial masih tetap melekat erat pada pemerintahan dan pembangunan. Pengaruh

feodalisme dan kolonialisme masih terus berlanjut dan pola hubungan "patron-client

menjadi referensi utama dalam birokrasi. Dalam Orde Lama orientasi keatas sangat kuat

dan menentukan semua "Bapak" harus dihormati, ditaati dan pantang ditentang. Berbeda

pendapatpun sebaiknya jangan. Oleh karena itu pada jaman Orde lama sang pemimpin

atau birokrat menjadi tumpuan segala-galanya.

Benih-benih tirani hidup subur dan puncak penyelewengannya menimbulkan segala

macam kesengsaraan yang mendorong lahimya Orde Baru.

Babak baru dalam pemerintahan dan pembangunan dimulai dengan tekad

melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun demikian

corak "birokrasi patrimonial" masih tetap menjadi warna yang dominan (Liddle, 1977;

Robinson, 198 1; Hein, 1982; Muhaimin, 1982). Menurut Hein hubungan "Bapak-Anak

buah" mempengaruhi hampir setiap segi penting kehidupan politik di Indonesia (termasuk

strategi pembangunan ekonomi-penulis). Sedangkan Liddle mengemukakan bahwa regim

Orde Baru bersandar pada jaringan pribadi antara patron-client dan pendukungnya.

Adanya patrionalisme dalam birokrasi merapakan peninggalan sejarah politik dan

ekonomi di Indonesia yang sampai sekarang tidak lekang panas dan tidak lapuk karena hujan.

Hanya penerapannya yang berbeda sesuai dengan jamannya, prinsip dasarnya tetap sama.

10

Page 11: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

"Bagaimanapun juga munculnya birokrasi patrimonial dalam sistem administrasi negara dan

sistem politik tidak dikarenakan masih kuatnya ikatan kultur tradisional yang paternalistik."

(Miftah Thoha, 1991:45). Masalahnya adalah bagaimana kita mampu memanfaatkannya dalam

birokrasi pembangunan dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif yang

ditimbulkannya.

Sikap Mental dan Etos Kerja Di Kalangan Birokrasi

Sikap mental selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang menjadi landasan etos kerja.

Sedangkan nilai-nilai yang dianut berasal dari berbagai sumber antara lain agama, filsafat dan

kebudayaan yang diamit oleh suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Nilai-nilai mana yang lebih

dominan untuk menimbulkan etos kerja yang tinggi sangat ditentukan oleh proses adopsi dan

adaptasi serta pengahayatannya. Sikap mental yang positif dan ideal sangat diperlukan sebagai

aparat birokrasi.

Myrdal (1968) mengajukan tiga belas ciri-ciri sikap mental yang seharusnya dimiliki

bangsa-bangsa Asia kalau mau berhasil dalam pembangunan yaitu: efisiensi, kerajinan,

kerapian, tepat waktu, mengikuti rasio dalam mengambil keputusan dan tindakan, kesediaan

untuk berubah, kegesitan dalam mempergunakan kesempatan yang muncul, bekerja sama

energetis, bersandar pada kekuatan sendiri, mau kerjasama dan kesediaan untuk

memandang jauh ke depan. Sikap mental yang demikian memang baik dan berguna di kalangan

birokrasi dan sekaligus menumbuhkan etos kerja modern yang menuju pada efektifitas dan

efisiensi yang optimal. Namun masih perlu ditambah sikap dan taqwa serta penguasaan ihnu dan

teknologi.

Pertanyaannya adalah bagaimana sikap mental aparat birokrasi kita? Berbagai jawaban

dengan bermacam argumen dapat dikemukakan namun satu hal yang pasti bahwa sikap mental

aparat birokrasi sebagian besar masih belum sesuai dengan tuntutan pembangiman. Masih

nampak gejala-gejala sikap mental yang negatif antara lain kurang bertanggungjawab, suka

mencari jalan pintas, mengabaikan mutu, bergaya hidup yang memiru-niru budaya Barat. Sikap-

sikap yang demikian menimbulkan etos kerja yang rendah dan produktifitas kerja rendah pula

baik kuantitas maupun kualitasnya.

Di kalangan pegawai negeri atau aparat birokrasi masih dominan mentalitas "priyayi"

yang tidak sesuai dengan fungsinya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Mereka pada

umumnya bekerja untuk mengejar pangkat dan jabatan serta kedudukan dan simbol-simbol

prestise tertentu. Oleh karena itu bagi mereka prestasi tidak diutamakan bahkan tidak

sedikit yang menganggap prestasi bukan kebutuhan. Sehingga "need for achievement"'

sebagaimana yang dikemukakan oleh Me Clelland (1977) masih rendah.

11

Page 12: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

Di samping itu mentalitas lain yang masih cukup menonjol adalah sikap konservatif

dan tidak mampu memandang jauh ke depan. Timbul perasaan yang selalu tidak puas (ngresulo),

tidak kreatif, kurang inisiatif, mudah mencela orang dan sebagainya.

Orientasi vertikal aparat birokrasi juga masih sangat kuat. Mereka memandang para

pemimpin atau atasan haras dipatuhi dan dihormati. Dampaknya yang segera kelihatan adalah

sikap menunggu perintah dan juga restu sang pemimpin. Sikap mental demikian tidak hanya

berlaku dikalangan "priyayi" Jawa tetapi sudah melanda mereka yang bukan Jawa. Mentalitas

"priyayi" tersebut banyak disebabkan oleh pengaruh Kolonialisme dan feodalisme dan pada

umunmya menimpa kalangan elit birokrasi bukan pegawai kecil.

Masalah rendahnya etos kerja di kalangan birokrasi rapa-rapanya bukan masalah

"orang kecil" atau pegawai rendahan tetapi lebih merajalela di kalangan elit birokrasi. Bagi

pegawai rendahan asal mereka dihargai sebagai manusia dengan nilai-nilai, pandangan-

pandangan dan kebutuhan-kebutuhannya, mereka dengan sendirinya akan bekerja dengan

rajin, teliti, setia dan inovatif. Yang mengkorupsikan kualitas moral manusia ialah struktur-

stuktur kekuasaan yang eksploitatif dimana orang hanya maju asal "ikut main". Yang kita

butuhkan adalah etos tanggung jawab dari kalangan elit birokrasi, suatu etos kerendahan hati

dan tahu diri agar bisa menghormati setiap insan otonomi dalam masyarakat termasuk

didalamnya "orang kecil" dan merasa selalu terhadap perbedaan-perbedaan sosial yang

sedemikian mencolok. (Franz von Magnis, 1978).

Banyak kalangan elit birokrasi yang ingin tampil beda dengan berbagai fasilitas glamour

yang sebenamya tidak sesuai dengan penghasilannya sebagai pegawai negeri. Bagi mereka yang

demikian itu sudah pasti etos kerja dan disiplinnya rendah. Kesetiaan dan kepatuhan pada

profesinya pantas diragukan dan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat

ditelantarkan Oleh karena itu usaha meningkatkan disiplin dan etos kerja di kalangan birokrasi

perlu diintensifkan di tingkat atas karena mereka menjadi panutan bagi kalangan bawah.

Etos kerja, disiplin dan motivasi tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam

menngkatkan produktifitas kerja. Masalahnya saling terkait dan menjadi perhatian utama dalam

pembangunan sumberdaya manusia. Apabila etos kerja rendah disiplin kerja merosot, motivasi

dan produktifitas kerja berkurang.

Disiplin merupakan suatu sikap yang menunjukkan kesediaan untuk menepati atau

mematuhi dan mendukung ketentuan, tata tertib, peraturan, nilai serta kaidah yang berlaku.

Sikap yang demikian tidak dibawa oleh seseorang sejak lahir tetapi ditentukan oleh

keberhasilan pendidikan dan pelatihan, serta pengalaman-pengalaman yang diperoleh.

Di kalangan birokrasi pemerintah banyak menunjukkan kurangnya disiplin kerja. Ada

kecenderugan pelanggaran peraturan serta nilai-nilai dan kode etik, juga lemahnya tanggung

12

Page 13: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

jawab. Motivasi mereka untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, dinamis dan

bertanggung jawab, kurang memadai. Produktifitasnya relatif tetap atau seperti berjalan kaki

ditempat. Bahkan dalam bidang-bidang tertentu malahan merosot. Praktek-praktek kolusi dan

korupsi serta penyelewengan masih cukup menggejala sehingga merupakan "red-tape"

birokrasi. Oleh karena itu gerakan disiplin nasional seyogyanya ditanamkan lebih intensif

di kalangan birokrasi. Bagaimanapun juga sikap, perilaku dan perbuatan aparat birokrasi akan

menjadi acuan disiplin masyarakat pada umumnya.

Konsekuensi logisnya Pemerintah harus berlaku adil memberi imbalan yang sesuai

(reward) bagi mereka yang penuh disiplin dan berprestasi. Sebaiknya memberikan hukuman

(punishment) terhadap mereka yang melanggar dan menyeleweng. Di kalangan aparat birokrasi

dapat juga timbul "disiplin semu" artinya seolah-olah timbul suasana disiplin tetapi hanya saat

tertentu dimana pengawasan yang ketat sedang berjalan. Kepatuhan dan kesetiaan mereka

palsu sehingga merugikan pemanfaatan sumberdaya manusia dan produktifitasnya rendah.

Motivasinya juga rendah karena tidak didorong oleh kehendak yang murni tetapi karena rasa

takut.

Apabila orang mempunyai motivasi maka ia akan mempunyai keinginan untuk

mencapainya, Dalam kehidupan birokrasi sering dijumpai orang-orang yang selalu

mengembangkan keinginan, tuntutan dan harapan sehingga sulit untuk merasa puas. Tetapi

tidak sedikit pula orang yang cepat merasa puas sehingga sulit untuk berkembang lagi.

Keinginan yang timbul dari dalam diri manusia memmbulkan dorongan dan semangat atau

motivasi hakiki (intrinsic) dan motivasi yang tumbuh dari luar atau pihak lain merapakan

motivasi ekstrinsic. Dalam meningkatkan etos kerja di kalangan birokrasi dua model motivasi

itu sangat diperlukan sehingga dedikasinya meningkat dan produktifitasnya berkembang dan

dengan demikian etika birokrasi dalam pemerintahan dan pembangunan berjalan baik.

Penerapan Kekuasaan Dalam Birokrasi

Sistem pemerintahan Negara Indonesia atau Birokrasi Pemerintah sebagaimana

dirumuskan dalam Penjelasan UUD 1945 merapakan pedoman dasar dan kerangka mekanisme

bagi penyelenggaraan sistem administrasi negara Indonesia. Dalam sistem pemerintahan negara

itu antara lain telah ditetapkan berbagai perangkat Pemerintahan yang berapa lembaga-

lembaga negara / lembaga birokrasi dengan tugas, wewenang dan kewajiban masing-masing serta

mekanisme hubungan kerja antar lembaga negara dalam rangka menjalankan tugas negara untuk

mencapai tujuan nasional atau cita-cita bangsa.

Dalam kaitan inilah maka sistem administrasi negara atau sistem birokrasi

pemerintahan diselenggarakan dan dikembangkan untuk melaksanakan tugas negara.

13

Page 14: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

Dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana dirumuskan

dalam Penjelasan UUD 1945 terdapat tujuh kunci pokok sebagai berikut:

1. Indonesia ialah negara berdasarkan atas hukum (rechstaat) Indonesia ialah negara

berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka

(machstaai).

2. Sistem konstitusional

Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme

(kekuasaan yang tidak terbatas). HI. Kekuasaan Negara yang tertinggi di tangan Majelis

Permusyawaratan Rakyat.

3. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan Negara yang tertinggi di bawah Majelis.

4. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

5. Menteri Negara ialah pembantu Presiden. Menteri Negara tidak bertanggung

jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

6. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Tujuh kunci pokok tersebut seharasnya dipahami secara bulat dan diterapkan

sepenuhnya sehingga masing-masing lembaga birokrasi menyadari dan membatasi diri pada

kewenangannya. Demikian juga hubungan antar lembaga juga terdapat rambu-rambu yang tidak

boleh dilanggar sehingga timbul kerjasama yang harmonis.

Dalam implementasi tujuh kunci pokok tersebut terdapat lembaga-lembaga birokrasi

pemerintah yang secara struktural bersifat vertikal dan horisontal. Struktur organisasi yang

merapakan kerangka yang menunjukkan hubungan antar satuan kerja serta tugas, wewenang dan

tanggung jawabnya masing-masing merapakan landasan mekanisme kerja. Oleh karena itu

pendekatan "structural functionalism" mau atau tidak mau seharasnya dipakai untuk memahami

penerapan etika kekuasaan dalam birokrasi.

Melalui struktur dan fungsi itulah dapat dilihat adanya hubungan kesejajaran dan

kewajaran antar instansi sehingga tidak menimbulkan perasaan bahwa pihaknya yang terpenting.

Gejala "self Centered" muncul dalam birokrasi bukan karena sistem birokrasinya tetapi lebih

banyak disebabkan oleh aparat birokrasi. Pelanggaran etika

birokrasi yang demikian menjalar dari atas ke bawah dan menimbulkan "arrogance of power"

atau kecongkakan kekuasaan. Dampak negatifnya antara lain menimbulkan rasa

kecewa bagi pihak lain, frustrasi, stress dan lebih lanjut kepercayaan pada para elit birokrasi

(pemimpin) merosot dan akhimya dapat kehilangan kekuasaan.

Penyalahgunaan kekuasaan juga dapat menyebabkan melunturnya "power" pejabat

atau aparat birokrasi. Dalam hal ini yang dmaksud penyalahgunaan kekuasaan adalah

14

Page 15: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

"semua tindakan penguasa, baik yang positif (Belanda: doen) maupun yang negatif (Belanda:

nietdoen, nalaten) yang menyebabkan seseorang atau suatu badan hukum atau

masyarakat mengalami kerugian lahir dan batin (Yap Thiam Hien, 1973). Dalam "perbuatan1

atau "tindakan" ini termasuk pula tindak perbuatannya, kelalaiannya untuk melakukan

sesuatu yang wajib dilakukannya yang bisa merugikan penduduk atau orang-orang yang

dipimpin.

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan yang

dilakukan aparat birokrasi atau para pejabat antara lain:

- Tidak ada atau kurangnya perumusan serta rincian yang tegas dan jelas tentang

kekuasaan dan wewenang serta kewajiban dan tanggungjawab.

- Berlakunya sistem yang tidak atau terbuka dalam merumuskan kebijakan-kebijakan

(policies) dalam manajemen.

- Komunikasi yang kurang lancar atau macet.

- Tindakan yang kurang tegas terhadap penyimpangan dan penyelewengan.

Untuk mencegah dan menghindari dan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan yang

demikian diperlukan keterbukaan dalam organisasi dan manajemen sehingga tidak

menimbulkan "powerless" bagi pemimpin dan tidak timbul "voiceless"' bagi yang dipimpm.

Landasannya adalah demi "public interest" dan bukan kepentingan individu atau kelompok

tertentu.

Para birokrat yang dengan berbagai cara mendapatkan kedudukan tertentu itu

berdasarkan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang mempunyai

"legitimate power". Tetapi belum tentu dia mampu menggunakan kekuasaannya secara benar

dan baik, efektif dan efisien. Mungkin saja Surat Keputusan itu diperoleh tidak berdasarkan

kecakapan dan kemampuan serta kepakarannya tetapi semata-mata ada "hubungan

tertentu" dengan pejabat yang mengangkatnya. Orang yang demikian akan merusak citra

birokrasi dan pasti pola perilakunya tidak memperhatikan etika birokrasi. Oleh karena itu

dalam mencermati kekuasaan harus dipahami bagaimana kekuasaan itu diperoleh,

bagaimana cara menggunakannya dan bagaimana penguasa mempertahankan serta

mengembangkan kekuasaannya.

15

Page 16: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

BAB III

PenutupSebagai penutup dalam makalah ini ada baiknya kalau dikemukakan pokok-pokok

pikiran sebagai berikut: Setiap masyarakat atau bangsa mempunyai tatanan moral atau etika

dalam proses kegiatan untuk meningkatkan hidupnya. Oleh karena itu etika mempunyai

peranan strategis yang harus diperhatikan dalam proses pemerintahan dan pembangunan.

Nilai-nilai moral diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan politik ekonomi,

kebudayaan, pertahanan dankeamanan.

Birokrasi berada dimana saja dan kapan saja (existence) baik intra maupun antar

lembaga dengan perangkat, sistem dan prosedur kegiatannya. Tipe ideal birokrasi

tidak sepenuhnya dapat diwujudkan namun bukan berarti birokrasi itu tidak penting.

Aspek negatif atau "red-tape" birokrasi seringkali muncul karena perilaku yang tidak

etis dari aparat birokrasi, bukan karena sistem birokrasinya. Etika berasal dari agama,

filsafat dan kebudayaan. Ketiganya tidak saling bertentangan tetapi saling melengkapi

dan secara komprehensif saling menunjang. Oleh karena pelaksanaan dan pembinaannya

untuk para birokrat dilakukan terns meneras dan - berkesinambungan. Model birokrasi

patrimonial masih nampak menggejala di Indonesia dengan segala dampaknya. Dalam hal

tertentu nampak positif tetapi tidak jarang pula dampak negatifhya. Model hubungan "Bapak -

Anak Buah" dalam kepemimpinan (patrimonial form of leadership) sangat memerlukan etika

sehingga "tidak asal bapak senang" tetapi merugikan kepentingan umum. Dimensi-dimensi

religius perlu lebih ditonjolkan dalam birokrasi sehingga menyentuh peningkatan iman dan taqwa

para birokrat. Keseimbangan kehidupan duniawi dan ukhrowi masih belum sepenuhnya

menggejala. Para birokrat pada umumnya lebih mementingkan kepentingan materi yang

kelihatan dari penampilannya.

Dalam proses birokrasi masih sangat kelihatan jalan pintas yang dilalui demi kepentingan

tertentu walaupun melanggar etika. Prestasi belum menjadi orientasi utama para birokrat tetapi

prestise yang ditopang oleh simbol-simbol tertentu lebih ditonjolkan.

Gejala-gejala penyalahgunaan kekuasaan dan kecongkakan kekuasaan muncul di kalangan para

birokrat. Sadar atau tidak mereka merusak citra birokrasi, memerosotkan peradaban dan

melecehkan etika. Mereka haras kembali kepangkal jalan kearah pembangunan manusia

seutuhnya dan masyarakat Indonesia selurahnya.

16

Page 17: Web viewPejabat mungkin tidak sesuai dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang ... ideal dalam kehidupan bermasyarakat ... butir-butir Pancasila sebagai penuntun

DAFTAR PUSTAKA

Albrow, Birokrasi Alihbahasa M. Rusli Karim dan Totok Daryanto, Tiara Wacana, Yogyakarta,

1989.

Barnard, Chester I., The Function of Executive Harvard University Press, Cambridge-

Massachusets, 1971.

Hein, Gordon R., Partisipasi Dan Stabilitas. Diterjemahkan oleh Kirdi Dipoyudo, Dalam

ANALISA, CSIS, Jakarta, 1991.

Ihsan Ali-Fauzi, "Nilai-nilai Asia Versus Nilai-nilai Barat Yang Diagungkan Dan Dijadikan

Dalih?", Dalam Harian REPUBLIKA. TanggalSlDesember 1995.

Ismani, "Hubungan Patron-Client Dalam Birokrasi, Dalam Majalah ADMINISTRATOR.

No. 1,1988.

Me Clelland, David C., "Dorongan Hati Menuju Modernisasi", Dalam Myron Weyner,

Modernisasi Dinamika Pertumbuhan. Gajahmada University Press, Yogyakarta, 1977.

Oetojo Oesman dan Alfian (penyunting), Pancasila Sebagai Ideologi dalam Berbagai

Bidang Kehidupan Bermasvarakat. Berbangsa dan Bernegara. BP- 7 Pusat, Jakrta, 1991.

Priyo Budi Santoso, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Rajawali Press, Jakarta, 1983.

Riggs, Fred W., Administrasi Pembangunan : Sistem Administrasi Dan Birokrasi,

Diterjemahkan oleh Luqman Hakim, Rajawali Press, Jakarta, 1989.

Rosantini, "Etos Kebudayaan' Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia. PT. Cipta Adi Pustaka,

Jakarta, 1989.

GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA, Ketetapan MPR No. H /MPR/1993, BP-7

Pusat, Jakarta, 1994.

Stogdill, Ralph M., Handbook of Leadership. A Survey of Theory And Research The Free Press,

A Division of Mac Millan Publishing Co., Inc., New York, 1974.

Sutherland, Heather, The Making Bureaucratic Elite. The Colonial Transformation of

Javanese Priyayi. Heineman Education Books, Singapore, 1972.

Stanislav Andreski, Max Weber: Kapitalisme Birokrasi Dan Agama. Alih bahasa Hartomo

H., PT. Tiara Wacana, Yogya, 198

17