15
Membaca Teks Sunda Kuna Sanghyang Sasana Maha Guru 1 Aditia Gunawan 2 Huning ma ngaran angin, pengetahuan adalah angin alaeunana ma, basana metu ti barat, manfaatnya itu ketika berhembus dari barat téka hir tiis, leuleus datangna ka awak urang. terasa sejuk, lembut datangnya ke tubuh kita (Sanghyang Sasana Maha Guru:1) Pendahuluan Sanghyang Sasana Maha Guru (selanjutnya disingkat SSMG) adalah sebuah teks prosa Sunda Kuna yang berasal dari masa pra-Islam. Sejauh ini, teks SSMG terdapat dalam dua buah naskah lontar. Naskah pertama tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta dengan nomor koleksi L 621 peti 15 atau biasa disebut kropak 621, sedangkan naskah yang kedua ditemukan pada koleksi Ciburuy bernomor kropak 26. Dari kedua naskah tersebut, naskah yang berada di Jakarta kondisinya jauh lebih baik. Lempir- lempir naskah lengkap dan tidak ada yang hilang, kondisi fisiknya pun masih terawat dengan cukup baik, meski terdapat dua lempir yang patah. Dalam kesempatan ini, uraian yang akan dipaparkan dalam makalah adalah teks SSMG dari naskah yang terdapat di Jakarta. Naskah kropak 621 termasuk dalam koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Alas tulis naskah adalah daun lontar berukuran 34,3 x 3cm, meliputi 36 lempir atau 72 halaman. Satu halaman kosong, sehingga yang ditulisi hanya 71 halaman. Ditulis secara timbal-balik (recto-verso) dengan cara digores menggunakan péso pangot. Susunan lempir naskah telah acak dan tidak berurutan. Penomoran halaman menggunakan angka asli (aksara Sunda Kuna) mulai dari nomor 1 - 34, terletak di sebelah kanan teks setiap halaman verso. Kondisi fisik naskah cukup baik dan terawat, meski terdapat 2 lempir yang patah. Terdapat lubang-lubang kecil akibat ngengat pada banyak bagian naskah, tetapi secara keseluruhan teks masih dapat terbaca dengan jelas. Naskah ini belum dialih- mediakan, baik dalam bentuk mikrofilm maupun digital. Model aksara yang digunakan dalam naskah lontar nomor 621 adalah aksara Sunda Kuna. Ciri khas penggunaan aksara dalam naskah ini adalah hampir tidak ditemukan 1 Disajikan dalam Konferensi Internasional Budaya Sunda II (KIBS II), 19-22 Desember 2011 . 2 Filolog naskah Sunda di Perpustakaan Nasional RI. Dapat dihubungi melalui e-mail: [email protected] atau http://naskah-sunda.blogspot.com .

Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

Citation preview

Page 1: Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

Membaca Teks Sunda Kuna Sanghyang Sasana Maha Guru1

Aditia Gunawan2

Huning ma ngaran angin, pengetahuan adalah angin

alaeunana ma, basana metu ti barat, manfaatnya itu ketika berhembus dari barat

téka hir tiis, leuleus datangna ka awak urang. terasa sejuk, lembut datangnya ke tubuh kita

(Sanghyang Sasana Maha Guru:1)

Pendahuluan

Sanghyang Sasana Maha Guru (selanjutnya disingkat SSMG) adalah sebuah teks

prosa Sunda Kuna yang berasal dari masa pra-Islam. Sejauh ini, teks SSMG terdapat

dalam dua buah naskah lontar. Naskah pertama tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di

Jakarta dengan nomor koleksi L 621 peti 15 atau biasa disebut kropak 621, sedangkan

naskah yang kedua ditemukan pada koleksi Ciburuy bernomor kropak 26. Dari kedua

naskah tersebut, naskah yang berada di Jakarta kondisinya jauh lebih baik. Lempir-

lempir naskah lengkap dan tidak ada yang hilang, kondisi fisiknya pun masih terawat

dengan cukup baik, meski terdapat dua lempir yang patah. Dalam kesempatan ini, uraian

yang akan dipaparkan dalam makalah adalah teks SSMG dari naskah yang terdapat di

Jakarta.

Naskah kropak 621 termasuk dalam koleksi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Alas

tulis naskah adalah daun lontar berukuran 34,3 x 3cm, meliputi 36 lempir atau 72

halaman. Satu halaman kosong, sehingga yang ditulisi hanya 71 halaman. Ditulis secara

timbal-balik (recto-verso) dengan cara digores menggunakan péso pangot. Susunan

lempir naskah telah acak dan tidak berurutan. Penomoran halaman menggunakan angka

asli (aksara Sunda Kuna) mulai dari nomor 1 - 34, terletak di sebelah kanan teks setiap

halaman verso. Kondisi fisik naskah cukup baik dan terawat, meski terdapat 2 lempir

yang patah. Terdapat lubang-lubang kecil akibat ngengat pada banyak bagian naskah,

tetapi secara keseluruhan teks masih dapat terbaca dengan jelas. Naskah ini belum dialih-

mediakan, baik dalam bentuk mikrofilm maupun digital.

Model aksara yang digunakan dalam naskah lontar nomor 621 adalah aksara Sunda

Kuna. Ciri khas penggunaan aksara dalam naskah ini adalah hampir tidak ditemukan

1 Disajikan dalam Konferensi Internasional Budaya Sunda II (KIBS II), 19-22 Desember 2011 .

2 Filolog naskah Sunda di Perpustakaan Nasional RI. Dapat dihubungi melalui e-mail:

[email protected] atau http://naskah-sunda.blogspot.com.

Page 2: Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

vokalisasi o (panolong) dalam naskah. Penulis (penyalin) teks menggunakan aksara

pasangan wa pada setiap suku kata yang bagi pembaca moderen tentu beranggapan

mestinya di situ bunyi o. Dalam teks kita temukan kata bwagwah untuk bogoh, bwarang

untuk borang „takut‟, cwacwaoan untuk cocooan „hewan ternak‟ dan banyak lagi contoh

lainnya. Gejala ini hampir sama ejaan yang kita temukan dalam teks Amanat

Galunggung (Danasasmita, [et al.], 1987). Perbedaannya, naskah Amanat Galunggung

(kropak 632) ditulis di atas daun gebang menggunakan tinta hitam, dan model aksaranya

aksara Buda/Gunung.

Bahasa yang digunakan dalam naskah adalah bahasa Sunda Kuna, meski pada

beberapa bagian dalam teks ditemukan pula bahasa Jawa Kuna, terutama pada bagian

akhir teks, dan Sansekerta (Nusantara) terutama dalam siloka. Menurut Krom (1914),

naskah ini berasal dari Bandung yang diberikan oleh bupati Bandung, R.A.A.

Wiranatakusumah IV sekitar tahun 1875. Tampaknya akuisisi naskah ini bersamaan

dengan naskah lontar Sunda Kuna bernomor 620-626 dan 630-642.3

Naskah Sanghyang Sasana Maha Guru (L 621 Peti 15)

Koleksi Perpustakaan Nasional RI

Teks SSMG ditulis dalam bentuk prosa didaktis keagamaan. Dalam tradisi literasi

Jawa secara umum, bentuk karya demikian dikenal dengan istilah tutur, sebuah teks

prosa yang berisi wejangan.4 Tetapi, Goris (1926:35) membedakan istilah tutur dan

sasana berdasarkan naskah-naskah yang terdapat di Bali. Tutur lebih menekankan

kepada aspek kosmologi dan mistis, sedangkan sasana menekankan pada aturan tingkah

3 Mengenai asal usul naskah Sunda Kuna di PNRI, lihat Krom (1914) dan Holil dan Gunawan (2010).

4 Mengenai pengertian tutur, bandingkan Van der Tuuk (1897-1912: 657-658), Pigeaud (1924:4),

Hooykaas (1964:34) dan Zoetmulder (2006:1307).

Page 3: Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

laku dalam bermasyarakat.5 Sulit ditentukan apakah teks SSMG termasuk teks tutur atau

sasana. Pada bagian awal teks ini ciri teks sasana lebih menonjol, sedangkan bagian

akhir lebih cenderung bersifat tutur. Klasifikasi yang ketat atas naskah-naskah lontar di

Bali lebih memungkinkan karena banyaknya naskah yang tersedia. Keadaan ini kiranya

berbeda dengan naskah-naskah lontar yang dihasilkan di Tatar Sunda. Jumlah naskah

Sunda Kuna sangat sedikit dan tidak memungkinkan untuk diklasifikasikan secara ketat

layaknya di Bali.

Di hampir seluruh bagiannya, teks SSMG berisi wejangan dari Sang Pandita

kepada muridnya, Sang Séwaka Darma. Di dalamnya terdapat siloka-siloka pendek

dalam bahasa Sansekerta (Nusantara), seringkali berupa parafrase dan keterangan dari

parafrase tersebut.

Waktu dan tempat penulisan (penyalinan)

Pada bagian kolofon terdapat keterangan bahwa teks SSMG selesai ditulis (atau

disalin?) pada bulan kapat (antara bulan September sampai Oktober) tanpa penyebutan

angka tahun. Identitas penulis secara jelas tidak disebutkan. Ia hanya menyebut dirinya

seorang bocah yang sedang bertapa menimbang emas. Suasana yang melatarinya jelas

suasana pra-Islam. Petunjuk tentang kapan teks ini dihasilkan kiranya dapat dirujuk

dengan cara membandingkan teks-teks Sunda Kuna lain yang telah diumumkan. Menarik

untuk dicatat upaya C.M. Pleyte6 (1914) ketika membandingkan teks Sanghyang Siksa

Kandang Karesian (SSKK, 1518 M) dan Prasasti Kebantenan yang dikeluarkan oleh Sri

Baduga Maharaja. Perbandingan tersebut mengarah pada kesimpulan bahwa teks SSKK

dapat dianggap sejaman dengan prasasti yang ditemukan di desa Kebantenan itu. Hal

yang ditunjukkan Pleyte terutama penggunaan istilah pangurang, dasa, dan calagara

dalam SSKK (bag.X) dan istilah dasa, calagara, upeti, dan panggeres dalam Prasasti

Kebantenan III. Semua istilah-istilah tersebut merupakan istilah perpajakan pada waktu

itu. Istilah yang sama juga terdapat dalam SSMG (bag.15)7. Lagipula, istilah siksa

5 Mengenai pembagian kelompok naskah lontar di Bali, Gedong Kirtya membaginya secara sistematis

(Mededeelingen, 1935). Hal ini dibicarakan juga oleh Windu Sancaya (2003). 6 Cornelis Marinus Pleyte (1863-1917), sarjana berkebangsaan Belanda yang menaruh minat yang besar

terhadap kebudayaan Sunda. Biografi dan daftar karyanya, lihat N.J. Krom dalam Jaarboek van de

Maatschappij der Nederlandse Letterkunde (1919) yang dapat diakses di

http://www.dbnl.org/tekst/_jaa003191901_01/_jaa003191901_01_0011.php (terakhir dilihat tanggal 27

November 2011). 7 “...Wang kalésa ma na dasa, si manaréma calagara, si manaréka ma na pangurang...”

Page 4: Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

kandang secara tersurat terdapat pada teks SSMG bagian ke-2. Jelaslah bahwa baik

SSMG, SSKK, dan Prasasti Kebantenan berada dalam konteks keagamaan dan suasana

kehidupan masyarakat yang sama. Mungkin dapat dipertimbangkan, bahwa teks ini

dihasilkan sekitar akhir abad 15 sampai awal abad ke-16.

Pengarang (penyalin) juga mencatat bahwa teks ini selesai dikerjakan di sebuah

wilayah yang disebut Desa Mahapawitra di Gunung Jedang. Perlu diketahui, bahwa

penyebutan Desa Mahapawitra sebagai tempat karya Sunda Kuna dihasilkan, juga

disebut dalam teks Sunda Kuna yang lain, yaitu pada teks Sanghyang Hayu (kropak 634

dan 637) yang telah disunting oleh Undang A. Darsa dalam tesisnya (1998) dan

Siksaguru (kropak 642) (belum diumumkan).

Secara harfiah, mahapawitra berarti „sangat suci, sangat murni‟ (Zoetmulder,

2006: s.v maha dan pawitra). Mungkin sebutan ini hanyalah sebuah julukan untuk

wilayah yang disucikan dan tidak merujuk wilayah tertentu. Tetapi, Bujangga Manik

sempat mencatat nama Mahapawitra ketika ia berada di puncak Gunung Papandayan

(Panénjoan). Matanya menerawang jauh, sambil menyebut nama-nama gunung yang ia

lihat dari tempatnya berdiri.

Itu ta na gunung Raksa, „Itulah Gunung Raksa,

Gunung Sri Mahapawitra, Gunung Sri Mahapawitra,

tanggeran na Panahitan poros di Panahitan (baris 1260-1262)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa Sri Mahapawitra merupakan nama lain

(atau julukan) dari Gunung Raksa, yang masih dikenal dewasa ini sebagai sebuah

gunung di Pulau Panaitan. Pulau Panaitan adalah sebuah pulau yang menghubungkan

Banten dan Sumatera. Pertanyaan yang kiranya dapat diajukan adalah, mengapa Gunung

Raksa disebut sebagai gunung yang sangat suci (mahapawitra)? Pertanyaan tersebut

paling tidak dapat dijawab dengan membandingkan keterangan dari teks-teks Sunda

Kuna yang lain. Dalam Carita Radén Jayakeling (kropak 407), Panaitan juga disebut

sebagai wilayah kabuyutan. Pada bagian awal teks tersebut diterangkan bahwa

pengarang perlu meyakinkan pembacanya bahwa karya yang dihasilkannya bukanlah

karya sembarangan, tetapi hasil dari mencari ilmu dan bertanya kemana-mana.8

8 Panaitan eusi pikabuyutan, susuhunan Hujungkulan, Akiing bagawat Sang Gasri, beunanging nanya tilu

lawé, ti nu séda ti patala, beunang[h]ing nyiar ti Jampang, beunanging ti Pulasari, beunanging ti

Jakah Barat (kropak 407: 6 verso)”.

Page 5: Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

Demikian halnya dengan keterangan yang terdapat dalam Tutur Bwana (kropak

620) (Wartini, dkk., 2010). Pada bagian awal teks diceritakan proses penciptaan alam

dunia oleh Haro. Ada tiga tempat di Tatar Sunda yang dianggap sebagai bagian penting

dari dunia, yaitu Hujungkulan (Ujung Kulon sekarang), Panahitan, dan Bukit

Langlayang.9

Selain keterangan dalam teks Sunda Kuna, bukti arkeologis pun kiranya dapat

diajukan. Di Panaitan, tepat di Gunung Raksa, ditemukan arca Siwa dan Ganesha. Para

ahli arkeologi berkesimpulan bahwa arca-arca tersebut tercipta dari abad ke-7 sampai ke-

8 Masehi. Arca yang ditemukan di Panaitan memiliki ciri khas tersendiri yang dapat

dibedakan dengan arca yang sama yang ditemukan di Jawa Tengah atau Jawa Timur

(Ensiklopedi Sunda, 2000: 59). Batara Gana (Ganesha) adalah istadewata yang disebut

dalam manggala teks SSMG. Batara Gana dianggap sebagai dewa pelindung bagi

pengarang, karena dari Batara Gana lah terciptanya lontar dan gebang yang digunakan

pengarang untuk menuliskan kitabnya (SSMG. III).

Besar kemungkinan teks SSMG ditulis di sebuah kabuyutan di Gunung Raksa,

Panaitan. Meski demikian, diperlukan penelitian lebih mendalam tentang skriptorium

naskah-naskah Sunda Kuna demi mendapatkan gambaran yang cukup jelas mengenai

pusat-pusat kegiatan intelektual masyarakat Sunda di masa lalu.

Penelitian sebelumnya

Perlu dikemukakan terlebih dahulu, bahwa setidaknya teks SSMG telah dibaca

oleh C.M. Pleyte, sarjana kebangsaan Belanda yang banyak melakukan kajian budaya

Sunda, pada awal abad ke-20. Hasil transkripsinya atas teks ini telah dipublikasikan,

meski secara fragmentaris, dalam dua artikel. Artikel pertama berjudul Jaartal op den

Batoe-Toelis Nabij Buitenzorg, dimuat dalam lampiran 2 (hlm. 197). Pada lampiran

tersebut terdapat cuplikan teks SSMG bagian ke-15 (pañcakapataka). Dalam artikel ini,

Pleyte tidak membahas secara khusus teks SSMG, tetapi memanfaatkan data-data yang

terdapat dalam SSMG untuk membuktikan bahwa teks Sanghyang Siksa Kandang

Karesian (SSKK) dan Prasasti Kebantenan dibuat pada periode yang sama, yaitu ketika

Pajajaran dipimpin Sri Baduga Maharaja (1478-1521). Data yang dicuplik oleh Pleyte

9 “...huluna bwana inya na Hujungkulan, buuk na inya na Panahitan, halis na bwana inyana bukit

Langlayang” „Kepala dunia ialah Hujungkulon, rambutnya ialah Panaitan, alisnya dunia ialah Gunung

Langlayang‟ (37 recto).

Page 6: Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

pada artikel ini terutama istilah-istilah pajak seperti: dasa, calagara, upeti, dan

panggeres reuma yang terdapat dalam teks SSMG, SSKK, dan Prasasti Kebantenan

sebagaimana dijelaskan di bagian awal tulisan ini.

Selain dalam artikel di atas, Pleyte juga menampilkan teks SSMG, juga secara

fragmentaris, pada lampiran artikelnya yang berjudul Poernawidjaja’s Hellevaart of de

Volledige verlossing (1914: 439). Bagian teks yang ditampilkan Pleyte sama dengan

artikel sebelumnya, yaitu bagian ke-15 dari teks SSMG (pañcakapataka) dengan tujuan

yang berbeda. Dalam artikel ini, Pleyte berusaha menjelaskan keterkaitan antara teks

Purnawijaya dan SSMG terutama pada bagian pañcakapataka.

Pleyte pun rupanya telah membuat transkripsi naskah SSMG secara keseluruhan.

Hasil transkripsinya itu masih dalam bentuk tulisan tangan serta ditulis menggunakan

aksara Latin. Transkripsi tersebut saat ini disimpan di Perpustakaan Nasional di Jakarta,

termasuk dalam naskah koleksi C.M. Pleyte dengan nomor koleksi Plt 07 peti 121. Jika

melihat hasil transkripsi Pleyte, dapat dipastikan bahwa pembacaannya atas teks SSMG

dilakukan ketika susunan lempir naskah masih berurutan. Keadaannya jauh berbeda

dengan saat ini. Susunan lempir lontar naskah SSMG telah acak.

Tanpa mengurangi peran penting Pleyte, penting untuk dicatat bahwa, transkripsi

tersebut memuat cukup banyak kesalahan pembacaan. Kesalahan umum yang paling

mencolok adalah aksara khusus tra dibaca sebagai dya sehingga secara konsisten, Pleyte

membaca sastra sebagai sasdya; aksara vokal o seringkali dibaca dada sehingga omas

„emas‟ kerap dibaca dadamas.

Sarjana lain yang mengutip teks SSMG, meski hanya sedikit bagian dari teks,

adalah Noorduyn dan Teeuw (2006). Kutipannya termuat dalam glosarium atas ketiga

teks Sunda Kuna yang diumumkannya, yaitu Kisah Para Putera Rama dan Rahwana

(PRR), Pendakian Sri Ajnyana (SA), dan Perjalanan Bujangga Manik (BM). Dalam

glosari tersebut, Noorduyn dan Teeuw mengutip bagian pertama teks SSMG untuk

memperjelas makna dari kata Sunda Kuna hir. Kalimat yang dikutipnya ialah:

“...basana metu ti barat, téka hir tiis, leuleus datangna ka awak urang

„when the wind rises from the west, it blows coolness, it comes softly to

our bodies‟ (ms. KBG 621:1)...” (Noorduyn & Teeuw, 2006: 361)

Ms KBG 621 yang dimaksud Noorduyn dan Teeuw tentu merujuk pada teks SSMG yang

terdapat di PNRI.

Page 7: Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

Dalam artikelnya, Pleyte memberi judul Sanghyang Pustaka atas kropak 621 yang

kita bicarakan kali ini. Kiranya anggapan Pleyte mendasarkan uraian pada bagian awal

teks yang berbunyi:

“Ndah Sanghya(ng) Sasana Maha Guru ngaran Sanghyang Pustaka.

Sasana ma ngaranya urut nu ti heula. Maha ma nu leuwih ti leuwih, ti na

dunya. Guru ma ngara(n)na puhun nikang rat kabéh.”

“Inilah Sanghyang Sasana Maha Guru nama dari sanghyang pustaka.

Sasana berarti peninggalan para leluhur. Maha berarti yang lebih dari yang

lebih, dari dunia. Guru berarti sumber dari semua manusia.” (SSMG:1)

Dari kutipan di atas, jelas bahwa pengarang hendak menerangkan tentang isi buku

suci (sanghyang pustaka) yaitu Sanghyang Sasana Maha Guru dengan memerinci setiap

katanya. Dengan demikian, judul Sanghyang Sasana Maha Guru kiranya layak untuk

dipertimbangkan.

Konsepsi keagamaan

Secara keseluruhan teks SSMG merupakan teks keagamaan, tertuang dalam istilah-

istilah keagamaan yang pada umumnya berasal dari bahasa Sansekerta. Teks SSMG

kiranya termasuk teks paling rinci dan sistimatis yang membahas konfigurasi agama

masyarakat Sunda setidaknya pada waktu teks ini dihasilkan. Teks SSMG terbagi atas 48

bab yang tersusun sebagai berikut:

1. Pancawédani

2. Siksa Kandang, Siksa Kurung Siksa

Dapur

3. Manggala

4. Dasawredi

5. Trimala & Trimala Wisésa

6. Dasakalésa

7. Dasamala

8. Dasanaraka

9. Pañcaiyatna

10. Caturupaya

11. Pañcabyakta

12. Caturpangabakti

13. Pañcapreyana

14. Tributa

15. Caturpasanta

16. Pañcakapataka

17. Pañcatriyak

18. Caturmula

19. Caturwirya

20. Caturkalepa

25. Dasaindriya

26. Dasapangaku

27. Dasautama

28. Dasapasanta

29. Dasabumi

30. Dasawisésa

31. Dasamahawisésa

32. Dasa-tankawisésa

33. Caturmulia (Caturutama)

34. Caturnermala

35. Sanghyang Hayu

36. Tigaajñana

37. Ajñanajati

38. Katunggalan

39. Bayu, Sabda, Hidep

40. Wungawari

41. Wuku Sandi

42. Sembawa

43. Tigarahasya

44. Kaleupaseun

45. Si Krataka lawan Si Dum

Page 8: Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

21. Trikaya Mandala Parisuda

22. Caturrahayu

23. Dasasila

24. Dasamarga

46. Tangkes

47. Rahasya Pandita

48. Sabdapadésa

Bagi pembaca modern, banyak segi dari teks ini yang menarik untuk dicatat. Awal

teks uraiannya lebih sederhana dan mudah dimengerti karena ajaran-ajaran keagamaan

tertuang dalam angka-angka dan disajikan dengan sangat sistimatis. Hal tersebut ditandai

dengan penyebutan kata bilangan seperti tri, tiga (tiga), catur (empat), panca (lima), dan

dasa (sepuluh). Tetapi, mulai bagian ke-35 sampai 48 uraiannya lebih rumit dan banyak

sekali mengandung perumpamaan ajaran ketuhanan yang cenderung sukar dipahami.

Perbedaan yang mencolok antara bagian awal dan akhir juga adalah bahasanya. Bagian

awal teks ini berbahasa Sunda Kuna, sedangkan bagian akhir berbahasa Jawa Kuna.

Mengenai corak keagamaan yang terdapat dalam teks dapat diterangkan sebagai

berikut. Pangarang mempersembahkan hasil tulisannya kepada Sri Batara Gana

(Ganesha), yang atas karunianya, menjadikan gebang dan lontar sebagai sarana

penulisan pengarang, tercipta di dunia. Atas karunianya pula, empat unsur yang

mewujudkan sebuah tulisan, yaitu: asta (tangan), gangga (air), wira (pena dan kuas) tanu

(tinta) terwujud, sehingga penulis dapat menyelesaikan karyanya. Pengarang pun

memuja Swaraswati, Dewi yang keluasan ilmu pengetahuannya bagaikan permata yang

bersinar.

Setiap manusia memiliki potensi dalam dirinya. Secara kasat mata, potensinya itu

terdapat dalam sepuluh alat persepsi (dasaindriya). Tetapi, terdapat potensi lain yang

tidak kasat mata, mencakup tiga unsur dalam diri manusia, yaitu bayu „tenaga‟, sabda

„ucapan‟, dan hedap „pikiran‟. Pada bagian lain diterangkan bahwa bayu, sabda, dan

hedap tidak ada tetapi ada. Ia tidak terlihat, maka ia tidak ada. Tetapi ia terasa dalam diri

kita, maka ia ada (SSMG.38).

Penjelasan mengenai bayu, sabda, dan hedap diterangkan oleh Sang Pandita dalam

uraiannya tentang Tiga Ajnyana (SSMG.35). Yang dimaksud tiga dalam Ajnyana adalah

suku kata yang membentuk kata ajnyana, yaitu A, NYA, dan Na. Suku kata itu terpisah,

tetapi merupakan satu kesatuan. Demikian halnya dengan bayu sabda dan hedap. A

terdapat dalam bayu, NYA terdapat dalam sabda, dan Na terdapat dalam hedap. Bayu

adalah sumber kehidupan yang masuk dan keluar melalui hidung atau inti pernapasan.

Sifatnya tetap, benar, dan jelas dan selalu bergerak dalam diri. Sabda terdapat pada

Page 9: Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

ucapan, baik ucapan yang baik maupun yang buruk, yang menjadikan nama dari semua

suara, dan yang dijadikan perkataan. Sedangkan hedap terdapat dalam pikiran dan angan-

angan, yang menjadikan jarak, jauh ataupun dekat. Bayu, sabda, dan hedaplah yang

menjadikan dan menggerakkan semua di dunia (SSMG.35). Bayu, sabda, dan hedap

adalah tiga kekayaan (tiga sadana) yang didatangkan ke dunia untuk dijadikan pegangan

bagi seluruh manusia.

Dalam teks Tutur Bwana10

, dasaindria disebut juga dora sapuluh (sepuluh

gerbang), sedangkan tiga serangkai bayu, sabda, dan hedap disebut juga dora tilu (tiga

gerbang). Dalam teks tersebut diceritakan bagaimana Darmajati pada akhirnya dapat

membunuh Sang Kalasakti dengan cara mencabut dorasapuluh dan doratilu Sang

Kalasakti. Karena itu, unsur-unsur yang dimiliki oleh setiap manusia itulah yang harus

senantiasa dijaga.

Dalam uraian tentang dasanaraka (SSMG.7) secara tegas disebutkan, bahwa

penyalahgunaan terhadap dasaindria yang terdiri dari telinga, mata, hidung, lidah, mulut,

kulit, tangan, anus, kelamin, dan kaki akan mengakibatkan kesengsaraan, yaitu berbagai

penyakit yang menimpa setiap bagian dari dasaindriya tersebut. Hal ini dipertegas pula

dalam dasamarga „sepuluh cara‟ untuk mengatasi dimensi buruk dari sepuluh indra itu

(SSMG.23) agar mendapatkan dasautama „sepuluh keutamaan‟ (SSMG.26).

Bayu, sabda, dan hedap sebagai potensi manusia diwujudkan secara nyata dalam

trirahayu yang mencakup ulah „perbuatan‟, sabda „ucapan‟, dan ambek „pikiran‟. Jika

semuanya dilaksanakan dengan baik, maka manusia tersebut telah mencapai pencerahan,

ibarat permata yang digosok (diga manik inisuhan), layaknya air di daun sulang (kadi

banyu di ron sulang) (SSMG.20).

Siksa Kandang, Siksa Kurung, Siksa Dapur

Siksa kandang dalam teks SSMG disebut berdampingan dengan siksa kurung dan

siksa dapur. Kata siksa kandang mengingatkan kita pada Sanghyang Siksa Kandang

Karesian (1518 M), sebuah teks penting dari masa Sunda kuna.11

Di belakang kata siksa

terdapat kata kandang, kurung dan dapur. Kandang dan kurung memiliki makna yang

sama dengan maknanya baik dalam bahasa Sunda moderen maupun bahasa Indonesia.

10

Lihat Wartini, et al. (2010). 11

Alih aksara dan terjemahan dalam bahasa Indonesia atas teks telah diumumkan oleh Atja dan

Danasasmita (1981) yang disempurnakan kembali oleh Danasasmita, et al. (1987).

Page 10: Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

Kata dapur dalam bahasa Jawa Kuna bermakna „wilayah, daerah‟ (Zoetmulder: s.v ).

Kiranya makna kata dapur di sini lebih mengarah pada pengertian dapuran „kelompok‟

sebagaimana dapat dirujuk dalam bahasa Sunda Moderen (LBSS, 1976: 104). Baik

kandang, kurung, dan dapur menunjukkan adanya dimensi ruang, bahkan terkesan

„elitis‟. Dengan kata lain, tiga ajaran (siksa) dalam bagian kedua teks ini ditujukan

kepada kelompok khusus dalam masyarakat Sunda kuna. Mungkinkah salah satu dari

ketiga siksa yang disebut di atas, yaitu siksa kandang, diuraikan dengan lebih rinci dalam

teks tersendiri, yaitu dalam teks siksa kandang karesian? Jika demikian, kata kandang

dalam siksa kandang karesian sebaiknya dibaca „kandang‟ (ng disatukan), bukan „kanda

ng‟ (ng dipisah) sebagaimana lazim digunakan.

Ketiga siksa di atas dapat diterangkan sebagai berikut. Siksa kandang lebih

menekankan etika pada tataran praktis kehidupan sehari-hari yang mengatur hubungan

antar manusia, seperti aturan ketika berpergian, hak dan kepemilikan, dan lain-lain. Siksa

kurung menekankan kehidupan beragama secara formal dan tekstual sebagaimana telah

disebutkan dalam kitab-kitab suci. Siksa kurung pun mengatur manusia untuk

mengetahui batas-batas yang telah digariskan sebelumnya dalam kitab-kitab sebelumnya,

layaknya Hyang Brahma dan Wisnu, ketika membatasi dunia. Diatas siksa kandang dan

siksa dapur adalah siksa dapur. Siksa dapur adalah jalan menuju kepada hakikat, inti,

sumber segala aturan dengan cara membaktikan diri sepenuhnya kepada sang pandita

(SSMG.2).

Konsepsi sastra

Istilah sastra sebetulnya lazim ditemukan dalam teks-teks Sunda Kuna. Pada

umumnya, istilah ini muncul dalam kolofon naskah. Para pengarang Sunda yang

cenderung „rendah hati‟ seringkali memohon maaf dengan menyebut karyanya sebagai

sastra yang rocék „acak-acakan‟ dan lotér „kotor‟, bahkan buah tangannya itu kerapkali

diibaratkan seperti jejak kepiting di pesisir.12

Tetapi, dalam teks SSMG, kata sastra mendapat perhatian khusus dari

pengarangnya. Istilah ini diperinci pada bagian ketiga teks, yaitu dalam uraian tentang

dasawredi. Pengarang memerinci sastra menjadi sepuluh jenis. Menariknya, pembagian

12

Bandingkan kolofon yang terdapat dalam teks Sri Ajnyana (dalam Noorduyn & Teeuw, 2006),

Sanghyang Hayu (Darsa, 1998), Sanghyang Swawarcinta (kropak 626, belum diterbitkan).

Page 11: Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

jenis-jenis sastra didasarkan atas alas tulisnya, yaitu emas, perak, tembaga, baja, besi,

batu, papasan kayu, pejwa (bambu?), taal (lontar), dan gebang.

Yang layak dicatat terutama dua alas tulis yang disebut terakhir, yaitu lontar dan

gebang. Kutipan yang terdapat di dalamnya setidaknya dapat menjawab bagaimana

sebuah alas tulis pada masa Hindu-Buda di Tatar Sunda berpengaruh terhadap

kedudukan sebuah tulisan. Tulisan di atas daun lontar secara tegas disebut carik

„goresan‟. 13

Sebagaimana diketahui, bahwa pada kenyataannya lontar ditulisi dengan

cara digores dengan sejenis pisau yang oleh masyarakat Sunda disebut péso pangot.

Menariknya, tulisan di atas daun gebang disebut ceumeung „hitam‟.14

Keterangan ini

mengarahkan kita pada dugaan bahwa yang disebut gebang tak lain adalah nipah. Antara

gebang (Corypha utan) dan nipah (Nypa fructican) sebenarnya merupakan dua jenis

tanaman yang berbeda, meski sama-sama diklasifikasikan sebagai palm. Pada

kenyataannya naskah gebang memang berwarna hitam (ceumeung), karena ditulis

menggunakan tinta. Menurut Holle (1882:12), tinta tersebut berasal dari hasil olahan

nagasari dan damarsela. Lagipula masyarakat Sunda lebih mengenal istilah gebang

dibanding nipah.

Selain dibedakan penyebutan istilah, tulisan yang tertera di atas lontar dan gebang

pun dibedakan fungsinya. Naskah di atas lontar berfungsi sebagai sarana memperoleh

keutamaan dan bukan diperuntukkan bagi kabuyutan “aya éta meunang utama, kénana

lain pikabuyutaneun”, sedangkan naskah gebang ditulis untuk kabuyutan “ini ma inya

pikabuyutaneun”. Keterangan ini memberi petunjuk, bahwa tulisan di atas daun lontar

digunakan bukan untuk kabuyutan, tetapi masyarakat lebih luas. Dugaan ini diperkuat

oleh kenyataan bahwa naskah-naskah dari daun lontar, meski ada sedikit pengecualian,

banyak yang berbentuk puisi, seperti Bujangga Manik, Pendakian Sri Ajnyana, Para

Putera Rama dan Rahwana, Carita Purnawijaya, Séwaka Darma, Kawih Paningkes, dan

lain-lain yang lebih memungkinkan untuk dibacakan atau disajikan dalam bentuk carita

pantun. Jangkauan pembaca atau pendengarnya tentu lebih luas.

Lain halnya dengan naskah gebang yang, setidaknya sampai penelitian paling

mutakhir, hampir seluruhnya ditulis dalam bentuk prosa keagamaan. Pada umumnya

teks-teks yang tertera di atas daun gebang berisi ajaran Sang Pandita kepada Sang

13

Sastra munggu ring taal, dingaranan ta ya carik. Aya éta meunang utama, kénana lain pikabuyutaneun

(SSMG.2) 14

Sastra munggu ring gebang, dingaranan ta ya ceumeung. Ini ma inya pikabuyutaneun (SSMG.2)

Page 12: Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

Séwaka Darma, muridnya, seperti yang terdapat pada teks Sanghyang Hayu, Siksa

Kandang Karesian, Siksaguru, Amanat Galunggung, dan teks-teks prosa lainnya.

Mungkin ini dapat menjadi petunjuk mengapa naskah gebang disebut „Ini ma iña

pikabuyutaneun’ (inilah yang digunakan untuk kabuyutan). Singkatnya, digunakan di

wilayah yang lebih khusus, yaitu di wilayah-wilayah khusus keagamaan.

Gambaran Kehidupan Masyarakat Sunda Kuna

Meski secara umum teks SSMG berisi teks keagamaan, tetapi pada beberapa bagian

terdapat perluasan-perluasan yang memungkinkan bagi kita untuk mendapat gambaran

tentang kehidupan masyarakat Sunda pada waktu teks ini ditulis, seperti etika, tatakrama,

prilaku sosial, dan lain-lain.

Dalam teks SSMG, terdapat aturan-aturan yang rupanya hanya diperuntukkan untuk

laki-laki. Pria tidak boleh tergoda oleh perempuan apabila sedang dalam perjalanan

(SSMG.2), menyelinap ke rumah perempuan yang terlarang (SSMG.4), tergila-gila

terhadap perempuan (SSMG.6) atau menginginkan gadis yang sudah bertunangan

(SSMG.6). Menjalin asmara dengan sanak saudara pun merupakan hal yang tabu

(SSMG.7).

Hak dan kepemilikan harta benda juga mendapat sorotan. Masyarakat dilarang

mencuri dan mengganggu ladang atau kebun milik orang lain (SSMG.2). Tidak boleh

pula menurunkan hasil sadapan dari kebun orang lain (SSMG.2).

Banyak bagian yang mengatur tentang etika. Buang air besar di pinggir jalan

(SSMG.2) adalah prilaku yang tercela. Berbicara harus dengan aturan (SSMG.5).

Berpakaian harus lengkap „cangcut pangadwa‟ dan sopan (SSMG.2). Memakai wangi-

wangian dan tercium oleh orang banyak (SSMG.10) adalah perbuatan yang berlebihan.

Bersenandung kidung atau kawih di hadapan orang banyak termasuk perbuatan yang

tidak sopan (SSMG.9). Menatap mata orang tua ketika bertatap muka atau berjalan

mendahuluinya juga termasuk perbuatan yang lancang (SSMG.10&12). Meringis

kesakitan di depan orang banyak adalah perbuatan yang memalukan (SSMG.9).

Sikap sombong, tidak mau menyapa orang lain, dan merasa diri pintar harus dijauhi

(SSMG.5&8). Demikian halnya dengan berbohong dan besar mulut dalam berbicara

(SSMG.9). Ketika sedang berpunya, tidak baik memamerkan barang miliknya di

hadapan orang banyak (SSMG.8). Tidak baik pula memiliki sifat iri dan cemburu

Page 13: Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

melihat kesenangan orang lain (SSMG.5). Menuruti hawa nafsu dengan makan, minum,

dan tidur tanpa aturan termasuk perbuatan yang menyebabkan kesengsaraan

(SSMG.5&6). Malas bertanya karena merasa diri tua dan bodoh, tidak mau berbakti

padahal sudah kaya, serta menunda-nunda pekerjaan adalah sifat-sifat ternoda „mala‟

(SSMG. 6) dan harus dibersihkan.

Tiga sosok orang tua yaitu ibu (ambu), ayah, dan guru serta tiga sosok penguasa,

yaitu prebu, rama, dan resi patut dihormati (SSMG.4&5) sehingga tidak pantaslah

menyebut nama ibu, ayah, dan guru juga prabu, rama, dan resi (SSMG.12).

Penghormatan terhadap penguasa dapat ditunjukkan dengan selalu berada di sebelah kiri

dan berjongkok jika kebetulan berpapasan (SSMG.2). Tetapi pemimpin tersebut tidak

boleh pula semena-mena, menjual, memperbudak, merampas, dan membunuh orang

sesuka hatinya (SSMG.4). Aturan terhadap penguasa dipertegas dalam dasabumi

(SSMG.28). Di situ disebutkan bahwa kekuasaan yang baik (kusalah wisésa) dapat

dilakukan dengan cara: asih „mencintai‟, bakti „berbakti‟, greyatna „berhati lembut‟,

gorawa „menghormati‟, duga-duga „jujur‟, santa „ramah‟, karuna „berbelas kasih‟,

anumwada „menunjukkan simpati‟, anumana „menunjukkan perhatian‟, alemba?, dan

ateuang „sopan‟.

Penutup

“Penelitian dan penulisan sejarah Sunda masih sangat kurang. Banyak naskah

Sunda baik yang tersimpan di dalam negeri maupun di luar negeri belum terungkap

isinya karena kurangnya tenaga dan dana.” Kalimat tersebut merupakan salah satu

rumusan di bidang sejarah, filologi, dan arkeologi pada Konferensi Internasional Budaya

Sunda pertama (KIBS I) yang diselenggarakan tahun 2001 silam. Apakah keadaannya

sama atau mengalami perubahan pada KIBS II tahun 2011 ini? Jawabannya sulit

dipastikan. Semoga saja uraian tentang teks SSMG dalam tulisan ini dapat menjadi

sumbangan dalam rangka “mengungkap isi” dari naskah Sunda Kuna yang selama ini

kurang mendapat perhatian. Isi teks yang kaya akan informasi keagamaan dan etika

masyarakat Sunda pada masa lalu ini kiranya dapat dijadikan semacam sumber „baru‟

dari periode „lama‟ yang kelak akan bermanfaat kajian literasi Sunda Kuna.

Pun. Leuwih luangan, kurang wuwuhan.

Depok, November - Desember 2011

Page 14: Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

Daftar Bacaan

1. Naskah

Carita Radén Jayakeling (L 407 peti 88) koleksi Perpustakaan Nasional RI.

Siksaguru (L 642) koleksi Perpustakaan Nasional RI.

2. Buku

Atja dan Saleh Danasasmita, 1981, Sanghyang Siksa Kandang Karesian; naskah Sunda

Kuno tahun 1518 Masehi. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa

Barat.

Danasasmita, Saleh, et al., 1987, Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksa

Kandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632):

Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan

Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Darsa, Undang Ahmad, 1998, Sanghyang Hayu; Kajian filologis naskah bahasa Jawa

Kuno di Sunda pada abad XVI. Tesis. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Ensiklopedi Sunda; Alam, manusia, dan budaya. Jakarta: Pustaka Jaya.

Goris, R., 1926, Bijdragen tot de Kennis der Oud-Javaansche en Balineesche Theologie.

Thesis. Leiden.

Gunawan, Aditia, 2009, Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: suntingan

dan terjemahan. Jakarta: Perpustakaan Nasional.

Holil, Munawar dan Aditia Gunawan, 2010, „Membuka Peti Naskah Sunda Kuna koleksi

Perpustakaan Nasional RI: Upaya Rekatalogisasi‟ dalam Perubahan Pandangan

Aristokrat Sunda. Seri Sundalana No. IX. Bandung: Pusat Studi Sunda.

Holle, K.F., 1882, Tabel van Oud-en Nieuw Indische Alphabetten. Bijdrage tot de

Paleographie van Nederlandsch-Indie. Batavia: s‟Hage.

Hooykaas, C., 1964, „Āgama Tirtha: Five Studies in Hindu-Balinese Religion‟.

Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen,

Afdeling Leterkunde (VKNAWL) 70.4

Kamus Umum Basa Sunda, 1976, disusun ku Panitia Kamus Lembaga Basa & Sastra

Sunda. Cetakan pertama. Bandung: Tarate.

Page 15: Membaca Teks Sunda Kuna Sasana Maha Guru

Krom, N.J. & F.D.K. Bosch, 1914, Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in

Nederlandsch Indie. Weltevreden: Albrecht & co.

Mededeelingen van de Kirtya Liefrinck -- Van Der Tuuk, Aflevering 4. 1935. Singaradja

- Solo.

Noorduyn, J. dan A. Teeuw, 2006, Three old Sundanese Poems. Leiden: KITLV Press.

[KITLV, Bibliotheca Indonesia no.29].

Pigeaud, Th., 1924, De Tangtu Panggelaran, uitgegeven, vertaald en toegelicht. Thesis.

Leiden: „s-Gravenhage.

Pleyte, C.M., 1911, „Het jaartal op den Batoe-Toelis nabij Buitenzorg; Een bijdrage tot

de kennis van het oude Soenda, met een kaartje, drie fotolithografieen en drie

facsimilé‟s‟, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG)

54:215-425.

id., 1914. „Poernawidjaja‟s hellevaart, of de Volledige verlossing; „Vierde bijdrage tot de

kennis van het oude Soenda‟, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en

Volkenkunde (TBG) 56:365-441.

Sancaya, I Dewa Gede Windu, 2003, „Teks-teks mantra dalam manuskrip lontar dan

fungsinya dalam masyarakat Bali‟, makalah seminar nasional naskah kuno

Nusantara, Jakarta 2-3 September 2003, Perpustakaan Nasional RI.

Tuuk, H.N. van der, 1897-1912, Kawi-Balineesch-Nederlandsch Woordenboek. 4 Vols.

Batavia: Landsdrukkerij.

Wartini, Tien, [et al], 2010, Tutur Bwana dan Empat Mantra Sunda Kuna. Jakarta:

Perpustakaan Nasional RI bekerja sama dengan Pusat Studi Sunda.

Zoetmulder, P.J., 2006, Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Cetakan kelima. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.