1
T AHUN 2010 bisa dibilang sebagai tahun kebangkitan seni pertunjukan. Keha- diran drama musikal Onrop karya sineas Joko Anwar dan Diana besutan Garin Nugroho yang berhasil mencuri perhatian khalayak disebut- sebut sebagai momentumnya. Keberhasilan itu tentu tidak da- pat dilepaskan dari sosok Eko Su- priyanto. Dialah yang menangani koreografer dua drama musikal tersebut. Namun, terlepas dari kesuksesan itu, sebagai orang yang telah lama malang melintang dalam seni per- tunjukan, Eko melihat sesuatu yang lain. Sebuah kegairahan yang kini sedang merambah sendi-sendi dunia pertunjukan Tanah Air. “Menurut saya, ini sangat menggembirakan. Di satu pihak seniman seperti saya akhirnya me- miliki kesempatan untuk berbuat di kesenian lain. Di pihak lain, pe- nonton juga dapat menikmati sajian pertunjukan yang lebih beragam,” kata Eko dalam pebincangan lewat dunia maya kepada Media Indonesia, Rabu (22/12). Situasi itu, lanjut Eko, akan se- makin membuka lebar kesempatan bagi kesenian untuk mendapatkan penonton dari kalangan umum. Pe- nari yang juga dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu men- contohkan Onrop dan Diana. Seperti halnya yang terjadi pada era Teater Koma, dua drama musikal tersebut akhirnya mendapatkan penonton baru. Apa yang kini sedang terjadi dalam dunia per- tunjukan Tanah Air, menurutnya, tidak jauh berbe- da dengan yang terjadi di Barat. Namun di Barat, khususnya Amerika, itu didahului dengan beragam pertunjukan musikal, baik drama musikal opera hingga Broadway, baru ke- mudian ke pertunjukan yang lebih eksperimental. Di Indonesia justru kebalikannya. Begitu pun ini bukan pula sesuatu yang baru. Puluhan tahun lalu sudah ada pertunjukan musikal, seperti Langendriyan dan Langenmondrowa- nanran dari Yogyakarta. Fenomena itu, menurut Eko, me- narik dikaji karena merupakan sebuah gejala pembauran antar- seniman dari berbagai latar be- lakang. “Sudah saatnya seniman berkolaborasi, terutama di saat tari, film, dan seni yang lain menga- lami penurunan. Ajang musikal ini mampu membuka dialog kreatif dan ini juga yang terjadi di masa muncul- nya Broadway,” kata Eko yang saat dihubungi sedang menjalankan misi kesenian di Belgia. Selain masih kurangnya kolabo- rasi, Eko melihat belum maksimal- nya perkembangan seni pertunjukan karena kurangnya perhatian dari pemerintah. Padahal, pria yang te- lah menari di berbagai panggung di Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Jepang itu menilai seni dan budaya dapat menjadi inspirasi bangsa dan membangkitkan nasionalisma di saat negara sedang terpuruk. “Lewat seni kita dapat berdialog tentang arti hidup dan losoke- beragaman perbedaaan yang jadi sumber kekuatan Indonesia,” ia menegaskan. Cita-cita pegawai bank Berbincang mengenai perkembangan dunia seni pertunjukan bersama Eko ibarat mengarungi sa- mudra luas. Ia bukan hanya seorang profesional, ia juga pemikir dan pe- merhati dunia seni. Sosoknya yang seperti ini nyatanya buah ketekunan sejak kecil. Eko yang di kalangan teman kuliahnya dijuluki ‘Pece’ karena selalu berkacamata hitam akrab dengan tari sejak usia tujuh tahun. Tepatnya semenjak pria kelahiran Banjarmasin ini tinggal di rumah kakeknya di Magelang. Tapi, anehnya meski suka tari, Eko mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi seniman tari. “Saya dulu bercita-cita jadi sekretaris atau pe- gawai bank yang dengan jelas akan mendapatkan income secara reguler,” tutur ayah dua anak ini. Namun, cita-cita pe- gawai bank nyatanya makin jauh. Garis hidupnya bersinar di dunia tari. Setelah lulus ISI Surakarta, Eko menda- pat beasiswa melanjutkan gelar master bidang seni di University of California, Los Angeles, (UCLA), AS. Dengan ti- dak melupakan akarnya, se- telah empat tahun di sana, ia memutuskan untuk kembali ke almamaternya un- tuk berbagi pengalaman dan jaringan kepada sesama pengajar dan maha- siswa. “Ini panggilan nurani. Lagi pula saya merasa bidang akademik adalah ruang yang sangat tidak terbatas un- tuk berdialog dan mengembangkan kreativitas dan keilmuan,” kata pria kini tengah menjalani studi S-3 bi- dang pengkajian seni di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Faktor Madonna Di antara sederet karya dan presta- sinya, bisa dibilang ada satu penca- paiannnya yang begitu diingat orang. Itu apa lagi kalau bukan prestasinya yang pernah menjadi penari latar Madonna. Bekerja sembilan bulan dengan salah satu diva Hollywood itu jelas suatu prestasi besar. Madonna terkenal dengan aksi pang- gung yang hebat, termasuk tarian yang spektakuler. Selain itu, tidak sembarang penari bisa terpilih menjadi anggota timnya. Di sisi lain, begitu se- ringnya Eko dikaitkan dengan pengalaman- nya pada 2001 seo- lah seperti mengecilkan penca- paiannya yang lain. Begitu pun Eko mengaku ia tetap menganggap pengalaman itu sebagai sesuatu yang disyukuri hingga kini. Apalagi ke- mudian, pengalaman itu membawa kebaikan bagi kariernya. Eko menuturkan selama menjadi penari latar di tur dunia itulah ia banyak belajar bagaimana sebuah kedisiplinan dan kesempurnaan teknik koreogra. Selama bersama Madonna itu pula Eko mengaku ba- nyak belajar bagaimana menghargai beragam perbedaan dari berbagai macam teknik tari, musikalitas, juga ruang dan waktu koreogranya. Satu hal lain yang dirasakannya sebagai anugerah dalam proyek kerja itu adalah kebangkitan nasio- nalisme dalam dirinya. Bekerja di negara orang dan bersama penari dari berbagai negara justru membuat kecintaannya pada Indonesia makin besar. Menurut Eko, semakin ia dikeli- lingi teman dari berbagai negara dan menemukan berbagai hal baru dalam setiap kunjungannya, justru semakin ia merindukan rumah. Pe- ngalaman latihan silat di Kali Progo hingga makanan serenek (sup khas Magelang) dan tempe penyet seolah memanggil-manggil untuk kembali ke Tanah Air. Eko juga merindukan tari-tarian Indonesia. “Itu semua membuat saya ingin terus belajar dan menjadi penari Jawa atau penari Indonesia yang mumpuni,” kata pendiri Solo Dance Studio ini. Kini, pengabdian Eko di dunia tari makin besar dengan du- kungan ke- luarga. Istrinya, Astri Kusuma Wardani, yang juga seorang penari, sangat mengerti kesibukan suaminya seba- gai penari, pengajar, dan koreograitu. “Mereka (istri dan anak-anak) yang menginspirasi saya untuk terus berkarya,” tandas pria yang sering menciptakan tarian berdasar penga- laman hidup ini. (M-7) [email protected] Sosok | 11 SENIN, 27 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Setelah dahulu dikenal sebagai penari latar Madonna, Eko Supriyanto kini salah satu sosok di balik kebangkitan drama musikal Indonesia. Ia yakin seni bisa membangkitkan nasionalisme. Ferdinand Membangkitkan Nasionalisme lewat Seni EKO SUPRIYANTO Nama: Eko Supriyanto S.Sn, MFA Tempat/tanggal lahir: Banjarmasin, 26 November 1970 Alamat: Perum RC Palur, Jl Renyeb nomor 64, Ngringo, Jawa Tengah Riwayat pendidikan: • SD Muhammadiah I Magelang • SMP Negeri 10 Magelang • SMEA Negeri Magelang • ISI Surakarta, S-1 • UCLA, AS, S-2 • UCLA, AS, S-3 (PhD) • UGM, Yogyakarta, S-3 (masih dijalani) Pekerjaan: Dosen ISI Surakarta, penari, dan koreografer Isteri: Astri Kusuma Wardani S.Sn Anak: • Candra Suryavimala Prabhashri, 6 • Lintang Hinepukohu Ataahua, 9 bulan Karya koreografi • 2010, Koreografer drama musikal Onrop dan Diana • 2009, Flowering Tree di AS; Tawur di Jawa Tengah; Without Body di Bandung; Possible Dewa Ruci di Prancis; Tempest di Selandia Baru, dan lain-lain. Beasiswa dan penghargaan 1. Ford Foundation (1999-2002) 2. Fulbright Presidential (2007) 3. Lucky Strike Award (2004) 4. Indonesia Berprestasi Award (XL) kategori seni dan budaya (2010) FOTO-FOTO: WWW.SOLODANCESTUDIO.ORG

Membangkitkan Nasionalisme lewat Seni filekelahiran Banjarmasin ini tinggal di rumah kakeknya di Magelang. Tapi, anehnya meski suka tari, Eko mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Membangkitkan Nasionalisme lewat Seni filekelahiran Banjarmasin ini tinggal di rumah kakeknya di Magelang. Tapi, anehnya meski suka tari, Eko mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi

TAHUN 2010 bisa dibilang sebagai tahun kebangkitan seni pertunjukan. Keha-diran drama musikal Onrop

karya sineas Joko Anwar dan Diana besutan Garin Nugroho yang berhasil mencuri perhatian khalayak disebut-sebut sebagai momentumnya.

Keberhasilan itu tentu tidak da-pat dilepaskan dari sosok Eko Su-priyanto. Dialah yang menangani koreografer dua drama musikal tersebut.

Namun, terlepas dari kesuksesan itu, sebagai orang yang telah lama malang melintang dalam seni per-tunjukan, Eko melihat sesuatu yang lain. Sebuah kegairahan yang kini sedang merambah sendi-sendi dunia pertunjukan Tanah Air.

“Menurut saya , in i sangat menggembirakan. Di satu pihak seniman seperti saya akhirnya me-miliki kesempatan untuk berbuat di kesenian lain. Di pihak lain, pe-nonton juga dapat menikmati sajian pertunjukan yang lebih beragam,” kata Eko dalam pebincangan lewat dunia maya kepada Media Indonesia, Rabu (22/12).

Situasi itu, lanjut Eko, akan se-makin membuka lebar kesempatan bagi kesenian untuk mendapatkan penonton dari kalangan umum. Pe-nari yang juga dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu men-contohkan Onrop dan Diana. Seperti halnya yang terjadi pada era Teater Koma, dua drama musikal tersebut akhirnya mendapatkan penonton baru.

Apa yang kini sedang terjadi dalam dunia per-tunjukan Tanah Air, menurutnya, tidak jauh berbe-da dengan yang terjadi di Barat. Namun di Barat, khususnya Amerika, itu didahului dengan beragam pertunjukan musikal, baik drama musikal opera hingga Broadway, baru ke-

mudian ke pertunjukan yang lebih eksperimental. Di Indonesia justru kebalikannya.

Begitu pun ini bukan pula sesuatu yang baru. Puluhan tahun lalu sudah ada pertunjukan musikal, seperti Langendriyan dan Langenmondrowa-nanran dari Yogyakarta.

Fenomena itu, menurut Eko, me-narik dikaji karena merupakan sebuah gejala pembauran antar-seniman dari berbagai latar be-lakang. “Sudah saatnya seniman berkolaborasi, terutama di saat tari, film, dan seni yang lain menga-lami penurunan. Ajang musikal ini mampu membuka dialog kreatif dan ini juga yang terjadi di masa muncul-nya Broadway,” kata Eko yang saat dihubungi sedang menjalankan misi kesenian di Belgia.

Selain masih kurangnya kolabo-rasi, Eko melihat belum maksimal-nya perkembangan seni pertunjukan karena kurangnya perhatian dari pemerintah. Padahal, pria yang te-lah menari di berbagai panggung di Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Jepang itu menilai seni dan budaya dapat menjadi inspirasi bangsa dan membangkitkan nasionalisma di saat negara sedang terpuruk.

“Lewat seni kita dapat berdialog tentang arti hidup dan fi losofi ke-beragaman perbedaaan yang jadi sumber kekuatan Indonesia,” ia menegaskan.

Cita-cita pegawai bankBerbincang mengenai

perkembangan dunia seni pertunjukan

bersama Eko ibarat mengarungi sa-mudra luas. Ia bukan hanya seorang profesional, ia juga pemikir dan pe-merhati dunia seni.

Sosoknya yang seperti ini nyatanya buah ketekunan sejak kecil. Eko yang di kalangan teman kuliahnya dijuluki ‘Pece’ karena selalu berkacamata hitam akrab dengan tari sejak usia tujuh tahun. Tepatnya semenjak pria kelahiran Banjarmasin ini tinggal di rumah kakeknya di Magelang.

Tapi, anehnya meski suka tari, Eko mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi seniman tari. “Saya dulu bercita-cita jadi sekretaris atau pe-gawai bank yang dengan jelas akan mendapatkan income secara reguler,” tutur ayah dua anak ini.

Namun, cita-cita pe-gawai bank nyatanya makin jauh. Garis hidupnya bersinar di dunia tari.

Setelah lulus ISI Surakarta, Eko menda-pat beasiswa melanjutkan gelar master bidang seni di University of California, Los Angeles, (UCLA), AS. Dengan ti-dak melupakan akarnya, se-t e l a h

empat tahun di sana, ia memutuskan untuk kembali ke almamaternya un-tuk berbagi pengalaman dan jaringan kepada sesama pengajar dan maha-siswa.

“Ini panggilan nurani. Lagi pula saya merasa bidang akademik adalah ruang yang sangat tidak terbatas un-tuk berdialog dan mengembangkan kreativitas dan keilmuan,” kata pria kini tengah menjalani studi S-3 bi-dang pengkajian seni di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Faktor MadonnaDi antara sederet karya dan presta-

sinya, bisa dibilang ada satu penca-paiannnya yang begitu diingat orang. Itu apa lagi kalau bukan prestasinya

yang pernah menjadi penari latar Madonna.

Bekerja sembilan bulan dengan salah satu diva

Hollywood itu jelas suatu prestasi besar. Madonna terkenal dengan aksi pang-gung yang hebat, termasuk tarian yang spektakuler. Selain itu, t idak

sembarang penari bisa terpilih menjadi

anggota timnya.Di sisi lain, begitu se-ringnya Eko dikaitkan

dengan pengalaman-nya pada 2001

s e o -

lah seperti mengecilkan penca-paiannya yang lain. Begitu pun Eko mengaku ia tetap menganggap pengalaman itu sebagai sesuatu yang disyukuri hingga kini. Apalagi ke-mudian, pengalaman itu membawa kebaikan bagi kariernya.

Eko menuturkan selama menjadi penari latar di tur dunia itulah ia banyak belajar bagaimana sebuah kedisiplinan dan kesempurnaan teknik koreografi . Selama bersama Madonna itu pula Eko mengaku ba-nyak belajar bagaimana menghargai beragam perbedaan dari berbagai macam teknik tari, musikalitas, juga ruang dan waktu koreografi nya.

Satu hal lain yang dirasakannya sebagai anugerah dalam proyek kerja itu adalah kebangkitan nasio-nalisme dalam dirinya. Bekerja di negara orang dan bersama penari dari berbagai negara justru membuat kecintaannya pada Indonesia makin besar.

Menurut Eko, semakin ia dikeli-lingi teman dari berbagai negara dan menemukan berbagai hal baru dalam setiap kunjungannya, justru semakin ia merindukan rumah. Pe-ngalaman latihan silat di Kali Progo hingga makanan serenek (sup khas Magelang) dan tempe penyet seolah memanggil-manggil untuk kembali ke Tanah Air.

Eko juga merindukan tari-tarian Indonesia. “Itu semua membuat saya ingin terus belajar dan menjadi penari Jawa atau penari Indonesia yang mumpuni,” kata pendiri Solo

Dance Studio ini. Kini, pengabdian Eko di

dunia tari makin besar dengan du-

kungan ke-luarga.

Istrinya, Astri Kusuma Wardani, yang juga seorang penari, sangat mengerti kesibukan suaminya seba-gai penari, pengajar, dan koreografi itu.

“Mereka (istri dan anak-anak) yang menginspirasi saya untuk terus berkarya,” tandas pria yang sering menciptakan tarian berdasar penga-laman hidup ini. (M-7)

[email protected]

Sosok | 11 SENIN, 27 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA

Setelah dahulu dikenal sebagai penari latar Madonna, Eko Supriyanto kini salah satu sosok di balik kebangkitan drama musikal Indonesia. Ia yakin seni bisa membangkitkan nasionalisme.

Ferdinand

Membangkitkan Nasionalisme lewat SeniE K O S U P R I Y A N T O

Nama: Eko Supriyanto S.Sn, MFA

Tempat/tanggal lahir: Banjarmasin, 26 November 1970

Alamat: Perum RC Palur, Jl Renyeb nomor 64, Ngringo, Jawa Tengah

Riwayat pendidikan: • SD Muhammadiah I Magelang• SMP Negeri 10 Magelang• SMEA Negeri Magelang• ISI Surakarta, S-1 • UCLA, AS, S-2 • UCLA, AS, S-3 (PhD) • UGM, Yogyakarta, S-3 (masih dijalani)

Pekerjaan: Dosen ISI Surakarta, penari, dan koreografer

Isteri: Astri Kusuma Wardani S.Sn

Anak: • Candra Suryavimala Prabhashri, 6 • Lintang Hinepukohu Ataahua, 9 bulan

Karya koreografi • 2010, Koreografer drama musikal Onrop dan Diana• 2009, Flowering Tree di AS; Tawur di Jawa Tengah; Without Body di Bandung; Possible Dewa Ruci di Prancis; Tempest di Selandia Baru, dan lain-lain.

Beasiswa dan penghargaan1. Ford Foundation (1999-2002) 2. Fulbright Presidential (2007)3. Lucky Strike Award (2004)4. Indonesia Berprestasi Award (XL) kategori seni dan budaya (2010)

FOTO-FOTO: WWW.SOLODANCESTUDIO.ORG