Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 1
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif-Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Yeterina Widi Nugrahanti
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana [email protected]
Abstract: Currently, accounting researchs develop not only using a positive paradigm,
but also using a non-positive paradigm , which consist of interpretive, critical and postmodern.
One approach in the interpretive paradigm is phenomenology. This article aims to describe
the interpretive paradigm, especially phenomenology as one of the approaches that can be
used in financial accounting research. By using the phenomenology approach, understanding,
meaning and awareness of one's experience related to accounting can be deeply explored. The
phenomenological approach allows accounting research, especially financial accounting, not
only limited to numbers, accounts and business’s financial reporting processes to capital
owners. The phenomenological approach also allows accounting research to be carried out in
the real environment by accommodating cultural, custom, and value aspects adopted by
someone who has direct experience of the accounting process.
Keywords: culture, financial accounting, interpretive, local wisdom, phenomenology
1. Pendahuluan
Ilmu sosial pada dasarnya mempelajari manusia dan perilaku manusia dalam bermasyarakat,
sehingga ilmu sosial akan terus mengalami perkembangan mengikuti perubahan manusia dan
masyarakat itu sendiri. Penelitian dalam bidang ilmu sosial akan terus dilakukan untuk mencari
kebenaran dan menjelaskan perilaku manusia serta apa yang terjadi dalam masyarakat. Akuntansi
sebagai bagian dari ilmu sosial juga terus mengalami perubahan. Perkembangan organisasi dan
masyarakat yang semakin kompleks juga membutuhkan akuntansi yang dapat menjawab kebutuhan
organisasi dan masyarakat tersebut. Saat ini, penelitian akuntansi dilakukan bukan hanya sebatas untuk
mengetahui hubungan sebab akibat yang terkadang tidak dapat menjawab persoalan apa yang
sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Penelitian akuntansi untuk menggali makna dan kesadaran dalam
lingkup yang lebih sempit dan spesifik diharapkan dapat menjawab berbagai persoalan yang dialami
masyarakat secara langsung.
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 2
Salah satu rumpun dari ilmu akuntansi adalah akuntansi keuangan. Akuntansi keuangan
dipahami sebagai proses pencatatan, peringkasan, analisis informasi keuangan dan penyajian laporan
keuangan perusahaan kepada pihak eksternal perusahaan (pemegang saham, kreditor, pemerintah, dan
masyarakat), laporan tersebut berupa laporan laba rugi, perubahan modal, neraca dan arus kas
(Weygandt, Kimmel and Kieso, 2015). Dengan demikian dapat dipahami bahwa pada awalnya
akuntansi keuangan menghasilkan produk berupa angka laporan keuangan dan didesain sebagai sarana
akuntabilitas manajemen kepada pemilik modal.
Definisi tersebut juga mempengaruhi perkembangan penelitian akuntasi keuangan, yang pada
awalnya terbatas dilakukan pada perusahaan-perusahaan besar dan pasar modal serta berfokus pada
hubungan antara satu variabel angka akuntansi dengan variabel akuntansi lainnya maupun dengan
variabel non akuntansi. Sebagai contoh, penelitian tentang pengaruh angka-angka dalam laporan
keuangan (laba dan EPS) terhadap pada harga saham, pengaruh manajemen laba terhadap nilai
perusahaan, pengaruh penerapan IFRS terhadap manajemen laba, analisis laporan keuangan dengan
menggunakan rasio-rasio dan sebagainya. Penelitian akuntansi keuangan pada awalnya dilakukan
dengan paradigma positif yang menekankan pada generalisasi, bebas nilai dan obyektifitas tanpa
menggali makna yang lebih dalam mengenai proses akuntansi itu sendiri. Selain itu, dalam paradigma
positif, peneliti juga menjaga jarak dengan obyek yang diteliti sehingga hasil penelitian yang ada hanya
mengupas “kulit”nya saja dan tidak benar-benar menyelami realita yang terjadi. Sehingga pendekatan
positif tersebut banyak dikritik, salah satu kritik diajukan oleh Garfinkel (1996) yang menyatakan
bahwa pendekatan positif merupakan pendekatan yang tidak tepat karena segala sesuatu di dunia ini
memiliki ciri khas tersendiri dan tidak ada sesuatu yang bisa relevan di mana-mana, sehingga
generalisasi tidak selalu diperlukan.
Untuk mengatasi kelemahan paradigma positif, berkembanglah paradigma non positif yaitu
paradigma interpretif, kritis dan pos modern. Paradigma interpretif menekankan pada bahasa,
interpretasi simbol dan pemahaman ilmu sosial serta pemikiran manusia. Salah satu pendekatan dalam
paradigma interpretif adalah fenomenologi. Fenomenologi merupakan sebuah metode untuk
menggambarkan pengalaman hidup dari beberapa orang tentang sebuah konsep atau fenomena.
Penelitian fenomenologi menekankan pada pemberian makna atas suatu pengalaman beberapa orang
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 3
dalam fenomena tersebut (Patty dan Irianto, 2013). Dengan menggunakan paradigma interpretif
pendekatan fenomenologi memungkinkan penelitian akuntansi keuangan dapat dilakukan pada lingkup
yang lebih kecil dan tidak terbatas pada angka-angka laporan keuangan saja. Paradigma interpretif-
fenomenologi memungkinkan peneliti menggali makna terdalam dari pihak yang mengalami
pengalaman terkait akuntansi secara langsung. Dengan demikian paradigma interpretif memperkaya
khasanah ilmu akuntansi keuangan yang tidak terbatas pada proses pelaporan keuangan organisasi
bisnis tetapi juga aspek akuntabilitas dan makna akuntansi keuangan bagi organisasi sektor publik,
organisasi kemasyarakatan bahkan individu.
Paradigma interpretif memungkinkan penelitian akuntansi dapat dilakukan dengan analisis
mendalam. Tetapi pada kenyataanya sampai sekarang ini sebagian besar penelitian akuntansi, masih
didominasi oleh paradigma positif. Lukka (2010) menjelaskan bahwa penelitian akuntansi mengalami
penyempitan dalam hal asumsi filosofis, pendekatan metodologi dan dasar teoretis. Penyempitan
tersebut mungkin disebabkan oleh kecenderungan dominasi penelitian akuntansi positif. Penelitian di
Indonesia yang dilakukan oleh Darmayasa dan Aneswari (2015) mengenai seberapa banyak artikel
kualitatif yang dimuat dalam jurnal terakreditasi nasional dan Simposium Nasional Akuntansi (SNA)
menunjukkan hasil yang serupa. Pada tahun 2015, dari 200 artikel yang diterima di SNA, hanya
sejumlah 23 artikel yang menggunakan pendekatan kualitatif, dan 4 diantaranya yang menggunakan
pendekatan interpretif. Jumlah artikel kualitatif tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan
SNA tahun 2014 yaitu sebanyak 10 artikel dari total 176 artikel. Sedangkan untuk Jurnal Keuangan dan
Perbankan, dari 15 artikel yang diterbitkan selama tahun 2015, hanya terdapat satu penelitian dengan
pendekatan kualitatif. Hal ini berbeda dengan Jurnal Akuntansi Multiparadigma (JAMAL) yang
mengakomodasi lebih banyak penelitian dengan paradigma non positif. Pada tahun 2014, dari total 38
artikel yang diterbitkan di JAMAL, sebanyak 18 artikel merupakan penelitian non positif dan 7
diantaranya menggunakan pendekatan interpretif. Demikian pula sampai pertengahan tahun 2015, dari
13 artikel yang diterbitkan oleh JAMAL, sebanyak 8 artikel merupakan artikel non positif dan 6
diantaranya menggunakan pendekatan interpretif. Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa
walaupun secara umum penelitian positif masih mendominasi, tetapi penelitian dengan paradigma non
positif juga mulai gencar, termasuk paradigma interpretif.
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 4
Akuntansi merupakan hasil dari realitas sosial yang dipengaruhi oleh manusia, organisasi,
ideologi, agama dan budaya (Tumirin dan Abdurahim, 2015). Berbagai macam kekayaan budaya dan
kearifan lokal yang ada di Indonesia juga mempengaruhi praktik akuntansi dan pemaknaan seseorang
atas akuntansi di suatu daerah. Dengan menggunakan pendekatan interpretif - fenomenologi, kekayaan
budaya dan kearifan lokal yang dimiliki oleh Indonesia dapat diangkat dalam penelitian akuntansi
keuangan dengan menggali makna yang tersebunyi dari pengalaman orang yang terlibat langsung dalam
proses akuntansi dan kearifan lokal tersebut. Dengan demikian pemikiran konvensional bahwa
akuntansi hanya terbatas pada angka-angka saja dapat dipatahkan. Penelitian akuntansi dalam konteks
budaya lokal diharapkan dapat mengangkat ciri khas Indonesia di mata internasional dan diharapkan
memberikan manfaat langsung bagi masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, peneliti akuntansi
di Indonesia diharapkan membuka diri dan pikiran untuk menerima dan menerapkan metodologi
penelitian di bidang sosiologi dan antropologi, yang mempelajari budaya-budaya tersebut. Kajian
akuntansi dengan menggunakan analisis sosial (sosiologi) berbasis paradigma interpretif merupakan
satu upaya untuk mendekatkan ilmu akuntansi pada realitas budaya, religi dan spiritualitas
(Mulawarman, 2010).
Artikel ini bertujuan untuk menggambarkan dan memberikan pemahaman mengenai paradigma
interpretif, khususnya pendekatan fenomenologi dalam penelitian akuntansi keuangan yang dilakukan
dalam konteks budaya dan kearifan lokal. Bagian berikutnya dalam artikel ini akan membahas
paradigma penelitian, ragam pendekatan paradigma interpretif, sejarah fenomenologi, fenomenologi
transendental Husserl, prosedur pelaksanaan riset fenomenologi, fenomenologi dan akuntansi,
penelitian akuntansi keuangan dengan pendekatan fenomenologi dalam konteks budaya dan kearifan
lokal, peluang penelitian akuntansi keuangan dengan pendekatan fenomenologi dalam konteks budaya
dan kearifan lokal dan penutup.
2. Pembahasan
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 5
2.1. Paradigma Penelitian
Kuhn (1970) dalam Lukka (2010) menyatakan bahwa paradigma penelitian menentukan
masalah apa yang dituju dan tipe penjelasan apa yang dapat diterimanya. Menurut Denzin dan Lincoln
(1994) paradigma merupakan serangkaian keyakinan dasar (basic believes) yang berhubungan dengan
yang pokok atau prinsip. Kamayanti (2016) berpendapat bahwa paradigma merupakan cara pandang
peneliti terhadap realita, dunia, bahkan Tuhan; yang akan mengarahkan seluruh tujuan penelitiannya
dan mengejawantah pada masalah penelitian yang dirumuskan untuk memenuhi tujuan tersebut.
Pemahaman terhadap sifat dari setiap paradigma akan membimbing peneliti untuk menentukan jenis
dan bentuk penelitian yang paling tepat untuk menjawab persoalan penelitian, hal ini disebabkan setiap
paradigma mempunyai ruang lingkup yang berbeda. Burrel dan Morgan (1979) melalui bukunya yang
berjudul Sociological Paradigms and Organisational Analysis mengklasifikasikan empat macam
paradigma, yaitu (a) fungsionalis/ positif, (b) interpretif, (c) humanis radikal dan (d) strukturalis radikal.
Sedangkan Chua (1986), membagi paradigma penelitian akuntansi menjadi tiga, yaitu (a) akuntansi
mainstream/positif, (b) interpretif, dan (c) kritis.
Paradigma positivistik menganggap bahwa realitas berjalan sesuai dengan hukum alam.
Penelitian pada paradigma positif/mainstream berupaya untuk menjelaskan dan memperkirakan,
bersifat obyektif, bebas nilai, menggunakan penalaran deduktif untuk pembuatan kesimpulan yang
nantinya digeneralisasi. Paradigma interpretif menekankan pada peranan bahasa, penafsiran dan
pemahaman dalam ilmu sosial. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada sifat subyektif dari dunia
sosial dan berupaya memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Fungsi teori
dalam paradigma interpretif adalah untuk memaknai. Baik buruknya teori dalam paradigma interpretif
dilihat dari kapasitasnya untuk memaknai dan mengungkapkan temuan yang bersifat lokal (Triyuwono,
2013). Paradigma humanis radikal dan strukturalis radikal menurut Burrel dan Morgan (1979) dapat
digabungkan ke dalam satu paradigma, yaitu paradigma kritis. Menurut Neuman (2003), paradigma
kritis bertujuan untuk memperjuangkan ide peneliti agar membawa perubahan substansial dalam
masyarakat, sehingga paradigma kritis bukan hanya menafsirkan, memahami dan memaknai saja.
Sebuah teori kritis bertujuan untuk membebaskan dan melakukan perubahan. Selain tiga paradigma di
atas, masih terdapat satu paradigma lagi, yaitu paradigma posmodernisme. Paradigma posmodernisme
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 6
merupakan paradigma yang serba relatif, tidak memiliki bentuk pendekatan keilmuan yang baku, tidak
terstruktur dan tidak mutlak (Triyuwono, 2013). Jika dikelompokkan ke dalam dua bagian besar, maka
terdapat paradigma positif dan non positif (interpretif, kritis dan posmodern). Penelitian dengan
paradigma positif dilakukan dengan metode kuantitatif, sedangkan penelitian dengan paradigma non
positif dilakukan dengan metode kualitatif.
2.2. Ragam Pendekatan Paradigma Interpretif
Paradigma interpretif meyakini bentuk mendasar dari dunia sosial pada tingkat pengalaman subjektif
seseorang. Dengan demikian paradigma ini mencari penjelasan dalam realisme tentang subjektivitas
dan kesadaran individu. Pendekatan interpretif bersifat nominalis, anti positivistik, voluntaris,
ideografik, menekankan pada makna dan tidak bebas nilai (Burrell dan Morgan, 1979). Keunggulan
dalam paradigma interpretif adalah: 1) deskripsi yang disajikan secara detail serta mendalam (thick
description), 2) pemahaman yang mendalam murni dari sudut pandang informan (natural) akan
diperoleh dengan baik (Jailani, 2012). Burrel dan Morgan (1979) menyebutkan bahwa pendekatan
dalam paradigma interpretif terdiri dari solipsisme, fenomenologi, hermeneutika, etnometodologi dan
interaksionisme simbolik. Solipsisme diperkenalkan oleh Bishop Berkeley (1685-1753), yang meyakini
bahwa pengalaman pribadi seseorang merupakan satu-satunya fakta yang dapat dipercaya. Bagi
pendukung solipsis, dunia merupakan hasil kreasi dari pikirannya. Penekanan pada pandangan
individualis dan subyektif mengenai realitas memungkinkan munculnya wacana yang tidak memiliki
makna. Fenomenologi sebagai aliran filsafat dan sekaligus sebagai metode berpikir diperkenalkan oleh
Edmund Hussel (1859-1838), yang beranjak dari kebenaran fenomena, seperti yang nampak apa
adanya. Suatu fenomena yang nampak sebenarnya merupakan refleksi realitas yang tidak berdiri sendiri
karena apa yang nampak merupakan obyek yang penuh dengan makna transendental. Sehingga untuk
mendapatkan hakekat kebenaran, seseorang harus menerobos melampaui fenomena yang nampak
(Basrowi dan Sukidin, 2002). Dengan demikian, studi fenomenologi berupaya untuk menjelaskan dan
menggambarkan fenomena yang menjadi pengalaman individu yang merupakan hasil pengaruh
lingkungan. Fenomenologi akan berusaha untuk memahami pemahaman informan terhadap fenomena
yang muncul dalam kesadarannya dan fenomena yang dialami oleh informan (Collin, 1997).
Sumaryono (1993) mengatakan bahwa istilah hermenutika berasal dari nama Dewa Yunani, Hermes,
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 7
yang bertugas menyampaikan pesan dari para Dewa kepada manusia. Ilmu ini berkembang pada awal
abad ke 19 dalam kajian penafsiran naskah-naskah hukum dan kitab suci. Hermenutik diartikan sebagai
suatu proses penelaahan isi dan maksud yang nampak dari sebuah teks sampai pada makna yang
terdalam dan tersembunyi. Hermeneutika merupakan ilmu yang menginterpretasikan dan memahami
hasil pemikiran manusia yang menandai dunia (Burrel dan Morgan, 1979). Etnometodologi
diperkenalkan oleh Harold Garfinkel pada tahun 1967. Etnometodologi merupakan sebuah studi empiris
mengenai bagaimana seseorang merespon pengalaman dunia sosialnya sehari-hari. Etnometodologi
berupaya menggambarkan dan memahami masyarakat dalam keseharian mereka, misalnya bagaimana
pola pikir, pola interaksi, perasaan dan bagaimana cara mereka berbicara (Burrel dan Morgan, 1979).
Analisis yang dilakukan dengan etnometodologi sangat mengandalkan hasil wawancara yang
mendalam serta ekspresi yang nampak dari informan yang diwawancara. Basrowi dan Sukidin (2002)
menyatakan bahwa interaksionisme simbolik diperkenalkan oleh Herbert Blumer pada tahun 1969.
Dasar pemikiran pendekatan ini adalah adanya hubungan yang terjadi secara alami antara individu
dalam masyarakat dan hubungan antara individu dengan masyarakat. Interaksi tersebut berkembang
melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Interaksionisme simbolik berkaitan dengan gerak tubuh,
antara lain suara, gerakan fisik dan ekspresi tubuh, yang semuanya itu mempunyai maksud dan disebut
dengan “simbol”. Interaksionisme simbolik berfokus pada 'interpretasi' atas makna subjektif yang
berasal dari interaksi orang dengan orang lain dari lingkungannya dan menekankan pada pertukaran
antara simbol dan interaksi.
2.3. Sejarah Fenomenologi
Salah satu pendekatan interpretif yang banyak digunakan dalam penelitian bisnis dan akuntansi adalah
fenomenologi. Menurut Kuswarno (2009), fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai yang
berarti “menampak”. Fenomena berarti fakta yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia.
Fenomena bukanlah dirinya seperti tampak kasat mata, melainkan ada di depan kesadaran dan disajikan
dengan kesadaran pula. Sehingga fenomenologi merefleksikan pengalaman langsung manusia. Tujuan
utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana subjektivitas fenomena dialami dalam kesadaran,
pikiran dan tindakan. Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia
mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting dalam kerangka intersubjektivitas.
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 8
Istilah fenomenologi muncul pada abad 18, yang menjadi dasar pengetahuan empiris
(penampakan yang diterima secara inderawi). Sebelum abad ke -18, pemikiran filsafat terbagi menjadi
dua kubu yang bertolak belakang. Aliran yang pertama adalah aliran empiris yang meyakini bahwa
pengetahuan muncul dari penginderaan. Bagi penganut empiris, pengalaman merupakan sumber
pengetahuan yang memadai itu. Akal manusia berfungsi untuk mengatur dan mengolah materi yang
ditangkap oleh panca indera.
Aliran kedua, yaitu rasionalisme meyakini bahwa pengetahuan berasal dari pikiran manusia
(rasio). Sebuah pengetahuan dapat diakui sebagai pengetahuan ilmiah jika didapatkan melalui akal.
Pengalaman diyakini sebagai sebatas pengukuhan kebenaran yang telah didapatkan oleh rasio. Akal
tidak membutuhkan pengalaman untuk mendapatkan pengetahuan yang benar karena akal dapat
menurunkan kebenaran tersebut dari dirinya sendiri.
Dari dua aliran yang bertentangan tersebut, Immanuel Kant muncul untuk menengahi keduanya
dan berpendapat bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang tampak (fenomena). Sedangkan
fenomena sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang tampak dengan sendirinya dan merupakan hasil
sintesis antara penginderaan dan bentuk konsep dari objek. Sejak pemikiran tersebut, fenomena menjadi
titik awal pembahasan para filsafat pada abad ke-18 dan 19 terutama tentang bagaimana sebuah
pengetahuan dibangun.
Franz Brentano (1874) meletakkan dasar fenomenologi lebih tegas lagi dengan mendefinisikan
fenomena sebagai sesuatu yang terjadi dalam pikiran. Sedangkan fenomena mental adalah tindakan
yang dilakukan secara sadar. Ia kemudian membedakan antara fenomena mental dengan fenomena fisik
(objek atau persepsi eksternal yang dimulai dari warna dan bentuk. Jadi bagi Brentano, fenomena fisik
ada karena “kesengajaan ” dalam tindakan sadar (intentional in existence).
Selanjutnya Kuswarno (2009) menjelaskan bahwa Husserl mengembangkan fenomenologi
pertama kali dengan menggabungkan antara psikologi deskriptif dengan logika. Fenomena semestinya
dipertimbangkan sebagai muatan objektif yang disengaja (intentional objects) dari tindakan sadar
subjektif. Fenomena adalah noema, noema dari tindakan sadar disebut sebagai makna ideal.
Fenomenologi menjelaskan dan menganalisis tipe-tipe aktivitas mental subjektif, pengalaman dan
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 9
tindakan sadar. Fenomenologi mempelajari kesadaran tanpa mereduksi objektivitas dan makna yang
mengisi pengalaman ke subjektivitas yang disengaja.
Fenomenologi muncul sebagai reaksi terhadap metode positif Auguste Comte yang dinilai
gagal memanfaatkan kesempatan membuat hidup menjadi lebih bermakna, karena tidak
mempertimbangkan masalah nilai dan makna. Paradigma positif selalu menekankan serangkaian realita
sosial yang obyektif atas gejala yang tampak mengemuka, sehingga cenderung melihat fenomena dari
permukaannya saja, tidak mampu memahami makna di balik fenomena tersebut. Sedangkan
fenomenologi dimulai dari pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang dari suatu gejala yang
tampak, akan tetapi berusaha menggali makna di balik setiap gejala tersebut.
Pada tahun -tahun berikutnya, fenomenologi berkembang tidak hanya pada tataran
“kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran sementara, intersubjektivitas, kesengajaan
praktis, dan konteks sosial dari tindakan manusia. Tulisan -tulisan Husserl berperan penting dalam hal
ini. Menurut Husserl, sebuah pengalaman (tindakan sadar) mengacu pada suatu objek dalam pengertian
noema dan noematic. Dua pengalaman dapat mengacu pada objek yang sama, tetapi memiliki
pengertian noematic yang berbeda.
Sekarang ini fenomenologi diketahui sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena
memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai
pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu alam, yang mempelajari struktur tipe -tipe kesadaran yang
dinamakan dengan “kesengajaan” oleh Husserl. Struktur kesadaran dalam pengelaman pada akhirnya
membuat makna dan menentukan isi dari penampakannya (Kuswarno, 2009).
2.4. Fenomenologi Transendental Husserl
Dalam perkembangannya, fenomenologi banyak dibahas oleh beberapa tokoh dam filsuf, diantaranya
adalah Edmund Husserl, Alfred Schutz, dan Berger. Beberapa artikel akuntansi dengan pendekatan
fenomenologi yang ditemukan oleh penulis, semuanya menggunakan pendekatan fenomenologi
Husserl yang disebut juga fenomenologi transendental. Sehinggapada bagian ini hanya akan membahas
fenomenologi Husserl. Pemikiran Husserl (1859-1938) diawali dengan ajakan kembali pada
sumber/realitas yang sesungguhnya. Untuk itu, dibutuhkan metode yang disebut dengan “reduksi”.
Melalui reduksi, kita menunda menyimpulkan sesuatu dari setiap prasangka terhadap realitas. Reduksi
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 10
yang dimaksud terdiri dari reduksi eidetic, reduksi fenomenologi dan reduksi transendental (Abidin,
2000 dalam Basrowi dan Sukidin, 2002).
Dalam reduksi transendental, Husserl menemukan esensi kesadaran yang disebut dengan
intensionalitas. Setiap aktivitas intensionalitas adalah aktivitas menyadari sesuatu. Pengertian
kesadaran selalu dihubungkan dengan kutub objektifnya, yaitu objek yang disadari. Penyelidikan
Husserl berhasil menemukan adanya dunia yang dihayati oleh subjek atau kesadaran. Dunia yang
dihayati dan struktur-strukturnya hanya dapat diamati dengan cara melepaskan diri dari prasangka-
prasangka teoretis yang berasal dari ilmu yang dimiliki sebelumnya (Collin, 1997).
Menurut Abidin (2000) ,pengamatan Husserl mengenai stuktur intensionalitas kesadaran
merumuskan empat aktivitas yang inheren dalam kesadaran, yaitu objektifikasi, indentifikasi, korelasi
dan konstitusi. Intensionalitas objektifikasi berarti mengarahkan data kepada objek-objek intensional,
fungsi intensionalitas adalah menghubungkan data yang sudah terdapat dalam aliran kesadaran.
Intensionalitas sebagai identifikasi merupakan suatu intensi yang mengarahkan berbagai data dan
peristiwa kemudian pada objek hasil objektifikasi. Identifikasi banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek
dari dalam seperti motivasi, minat, keterlibatan emosional maupun intelektual. Intesionalitas korelasi
menghubung-hubungkan setiap aspek dari objek yang identik menunjuk pada aspek-aspek lain yang
menjadi horisonnya. Bagian depan sebuah objek menunjuk pada bagian samping, muka, bawah, dan
belakang. Aspek yang menjadi horison dari objek memberi pengharapan pada subjek untuk
mengalaminya kembali di kemudian hari. Intensionalitas konstitusi melihat bahwa aktivitas-aktivitas
intensional berfungsi mengkonstitusikan objek-objek intensional. Objek intensional tidak dipandang
sebagai sesuatu yang sudah ada, melainkan diciptakan oleh aktivitas-aktivitas intensional itu sendiri.
Untuk memahami fenomenologi, terdapat beberapa konsep dasar yang harus dipahami, yaitu
fenomena, epoche, konstitusi, kesadaran dan reduksi. Fenomena adalah suatu tampilan
objek/peristiwa/apa saja yang muncul dalam kesadaran/realitas yang tampak tanpa terselubung.
Fenomena merupakan titik permulaan yang tepat bagi suatu investigasi dan menjadi objek yang dikaji
dalam fenomenologi (Moustakas, 1994). Kesadaran merupakan pemberian makna yang aktif, kesadaran
merupakan keterbukaan dan kelangsungan hubungan dengan yang lain, dimana dirinya dengan yang
lainnya tidak memiliki pemisahan yang tegas. Intensionalitas merupakan keyakinan bahwa semua
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 11
tindakan kesadaran memiliki kualitas, atau seluruh kesadaran akan objek. Manusia menampakkan
dirinya sebagai sesuatu yang transenden, sintesis dari subjek dan objek. Intensionalitas berkaitan dengan
kesadaran, pengalaman internal mengenai kesadaran akan sesuatu (Hasbiansyah, 2008). Bertens (1981)
menyebutkan bahwa konstitusi merupakan proses tampaknya fenomena/ proses konstruksi ke dalam
kesadaran manusia. Konstitusi merupakan hal yang dilihat dari sudut pandang subjek, memaknakan
dunia dan alam semesta yang dialaminya. Epoche (bracketing) merupakan proses penundaan penilaian
untuk memunculkan pengetahuan. Peneliti mengesampingkan pemahaman dan pengetahuan sehari-hari
mengenai fenomena yang diteliti untuk mendapatkan gambaran murni dari subjek (Creswell, 2007).
Epoche berarti membiarkan fenomena berbicara apa adanya, tanpa intervensi penilaian baik-buruk,
positif-negatif, bermoral-tidak bermoral dan sebagainya. Setelah proses epoche, peneliti akan
melakukan reduksi.
Terdapat tiga tahap reduksi, yaitu reduksi fenomenologis, reduksi eidetic dan reduksi
transendental (Basrowi dan Sukidin, 2002). Reduksi fenomenologi, dalam mengamati objek, yang
nampak adalah gejala dari objek tersebut. Gejala terus-menerus dipandang seolah-olah dengan
kecurigaan. Gejala tersebut tidak dinyatakan, tetapi ditangguhkan untuk mencapai subjektivitas
transenden. Rapar (1996) dalam Irianto et al (2014) menyatakan bahwa reduksi fenomenologis
ditujukan untuk membangun ilmu pengetahuan yang rigorous, yang tidak terdapat keraguaan di
dalamnya. Reduksi eiditis bertujuan ingin menemukan struktur dasar untuk sampai pada hal-hal yang
hakiki. Semua aspek yang aksidensial (ruang, waktu dan sebagainya) ditangguhkan terlebih dahulu.
Reduksi eidetic bertujuan untuk menemukan hakekat atau makna yang tersembunyi dalam fenomena
yang diamati. Pada tahap ini, makna yang dimaksud sudah mulai disusun dan disajikan dalam bentuk
topik yang khusus, dan dilakukan melalui observasi yang seksama. Melalui reduksi eidetic ini, deskripsi
tekstural (pengalaman informan) dan deskripsi struktural (penjelasan konteks penelitian) dapat
dihasilkan (Irianto et al,2014). Reduksi transendental menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan yang
dimiliki, seolah-olah pengetahuan dan empirik ditangguhkan, sampai pada kesadaran murni. Subjek
kembali kepada diri secara sadar, bersih pada diri, kembali pada jiwa yang bersih dan kesadaran murni
(transenden). Menurut Creswell (2007), reduksi transendental bertujuan untuk menemukan hakekat/
makna yang sesungguhnya, murni dan menyeluruh. Hal ini merupakan puncak dari seluruh proses
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 12
dalam fenomenologi transendental Hussrel, yang merupakan esensi dari makna pengalaman yang
sesungguhnya. Fenomenologi transendental terdiri dari komponen-komponen konseptual (unit
analisis), yaitu (Kuswarno, 2009):
a. Kesengajaan (Intentionality)
Menurut Husserl, objek boleh berwujud maupun tidak berwujud. Dengan demikian kesengajaan adalah
proses internal dalam diri manusia yang berhubungan dengan objek tertentu. Karena diawali kesadaran,
maka faktor yang berpengnaruh terhadap kesengajaam antara lain minat, penilaian awal, dan harapan
terhadap objek. Dengan konsep kesengajaan ini, Husserl menunjukkan bahwa untuk menciptakan
makna harus ada kerjasama antara “aku” dengan dunia di luar “aku”. Sehingga untuk satu objek “real”
bisa menghasilkan bermacam-macam objek dalam persepsi. Hal ini bergantung pada siapa yang
mempersepsi, kapan waktu dipersepsi, dari sudut pandang bagaimana, latar belakang proses presepsi,
harapan, penilaian dan titik terbaik pengambilan makna.
b. Noema dan Noesis
Noesis merupakan bahan dasar pikiran dan roh (mind and spirit) manusia. Noesis yang
menyadarkan kita akan makna ketika kita mempersepsi, mengingat, menilai, merasa dan berpikir.
Dengan noesis, suatu objek dibawa dalam kesadaran, muncul dalam kesadaran, dan secara rasional
ditentukan. Deskripsi noesis adalah deskripsi subjektif karena sudah ada pemberian makna padanya.
Lawan dari noesis adalah noema, yaitu sesuatu yang diterima oleh panca indera manusia. Deskripsi
noema adalah deskripsi objektif, berdasarkan pada bagaimana objek tersebut nampak dalam panca
indera kita. Ajakan Husserl untuk kembali kepada yang sebenarnya dari fenomena adalah melihat
fenomena tersebut sebagai noesis (berdasarkan makna yang ada padanya), bukan berdasarkan ciri
fisiknya
c. Intuisi
Menurut Husserl, intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan, yang bebas
dari kesan sehari-hari dan perilaku ilmiahnya. Dengan kata lain, intuisi merupakan alat untuk mencapai
esensi dengan memisahkan yang biasa dari objek, untuk menemukan “kemurnian” yang ada padanya.
Intuisi adalah proses kehadiran esensi fenomena dalam kesadaran. Intuisilah yang menghubungkan
noema dan noesis. Dengan kata lain intuisilah yang mengubah noema menjadi noesis. Inilah sebabnya
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 13
mengapa fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri
individu secara mental (transenden).
d. Intersubjektivitas
Menurut Husserl, makna yang kita berikan pada objek turut dipengaruhioelh empati yang kita miliki
tehadap orang lain. Karena secara alamiah, kita memiliki kecenderungan untuk membandingkan
pengalaman kita dengan pengalaman milik orang lain. Husserl megnatakan bahwa “orang lain” itu ada
dalam diri “aku”. “Aku” dan “orang lain” memiliki kedudukan yang sama. Keduanya saling
berhubungan dalam kesengajaan. Singkatnya, persepsi yang kita miliki adalah persepsi kita yang utama,
namun dalam persepsi ini termasuk juga persepsi terhadap orang lain sebagai analogi.
Fenomenologi transendental merupakan studi mengenai penampakan dan fenomena, seperti
yang kita lihat dan muncul dalam kesadaran. Fenomenologi transendental memberikan kesempatan
untuk menjelaskan fenomena dalam term pembentuknya dan makna yang mungkin. Fenomenologi
membedakan ciri-ciri utama kesadaran, hingga sampai pada pemahaman yang hakiki dari pengalaman.
Unit-unit analisis dalam fenomenologi transendental digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1: Unit Analisis Fenomenologi Husserl
2.5. Prosedur Pelaksanaan Riset Fenomenologis
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 14
Seorang peneliti ketika melakukan penelitian dengan pendekatan fenomenologi membutuhkan
serangkaian prosedur mulai dari perumusan masalah sampai dengan pembuatan kesimpulan. Creswell
(2015) mengidentifikasi beberapa langkah yang harus dilakukan oleh seorang fenomenolog, yaitu:
a. Peneliti menentukan apakah problem risetnya paling baik dipelajari dengan menggunakan
pendekatan fenomenologis. Tipe permasalahan yang paling sesuai adalah permasalahan untuk
memahami pengalaman dari individu pada fenomena.
b. Fenomena yang menarik untuk dipelajari diindentifikasi, dalam akuntansi keuangan misalnya
fenomena tentang akuntabilitas laporan keuangan dana desa, fenomena manajemen laba,
fenomena perubahan standar akuntansi, dan sebagainya.
c. Peneliti mengenali dan menentukan asumsi filosofis yang luas dari fenomenologi. Misalnya,
seseorang dapat menulis tentang kombinasi dari realitas objektif dan pengalaman individual.
Untuk dapat menggambarkan secara utuh bagaimana para partisipan melihat fenomena tersebut,
para peneliti harus menyingkirkan pengalaman mereka sejauh mungkin (bracketing/epoche).
d. Data dikumpulkan dari individu yang telah mengalami fenomena tersebut. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara mendalam kepada informan.
e. Para informan diberi dua pertanyaan umum yaitu: Apakah yang telah anda alami terkait dengan
fenomena tersebut? dan Konteks atau situasi apakah yang biasanya mempengaruhi pengalaman
anda dengan fenomena tersebut?
f. Analisis data fenomenologis secara umum sama untuk semua fenomenolog. Analisis data
dilakukan dengan memeriksa data tersebut (misalnya transkrip wawancara) dan menyoroti
beberapa “pernyataan penting”, kalimat yang menyediakan pemahaman bagaimana informan
mengalami fenomena. Berikutnya peneliti mengembangkan berbagai kelompok makna dari
pernyataan penting ini menjadi berbagai tema.
g. Pernyataan penting digunakan untuk menulis deskripsi tentang apa yang dialami oleh partisipan
(deskripsi tekstural). Pernyataaan tersebut juga digunakan untuk menulis deskripsi tentang
konteks/latar belakang yang memengaruhi bagaimana partisipan mengalami fenomena tersebut
(deskripsi struktural).
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 15
h. Dari deskripsi tekstural dan struktural tersebut, peneliti kemudian menulis deskripsi gabungan
yang mempresentasikan esensi dari fenomena yang disebut struktur invarian esensial. Bagian ini
berfokus pada pengalaman yang sama dari informan.
2.6. Fenomenologi dan Akuntansi
American Accounting Association mendefinisikan akuntansi sebagai proses
pengidentifikasian, mengukur dan melaporkan informasi ekonomi, untuk memungkinkan adanya
penilaian dan keputusan yang jelas dan tegas bagi mereka yang menggunakan informasi tersebut. Dari
definisi tersebut dapat dilihat bahwa akuntansi merupakan aktivitas rutin yang berkaitan dengan
informasi ekonomi/keuangan yang identik dengan angka. Pada awalnya banyak pihak yang meyakini
bahwa penelitian akuntansi, khususnya akuntansi keuangan hanya dapat dilakukan dengan paradigma
mainstream karena paradigma itulah yang dapat mengakomodasi angka-angka keuangan. Dengan
mengggunakan paradigma mainstream, teori yang ada akan diuji menggunakan data-data empiris yang
obyektif. Peneliti akan merumuskan hipotesis, mengolahnya secara statitistik dan kemudian membuat
kesimpulan berdasarkan hasil pengolahan statistik tersebut. Peneliti paradigma positif menjaga jarak
dengan obyek yang diteliti, sehingga analisis yang dibuat dengan menggunakan pendekatan ini tidak
dapat menggali makna yang ada dibalik angka-angka keuangan tersebut. Kejenuhan akan paradigma
ini mendorong munculnya paradigma lain, yaitu paradigma non positif.
Chariri (2009) mengemukakan beberapa alasan yang mendorong mengapa ilmu ekonomi,
manajemen dan akuntansi membutuhkan penelitian dengan pendekatan non positif (kualitatif). Alasan
pertama adalah bidang kajian ekonomi dan bisnis bukan merupakan bidang kajian dan disiplin ilmu
yang “value free”. Dengan demikian aktivitas bisnis nilai-nilai dan akuntansi sangat dipengaruhi oleh
nilai-nilai, budaya, ideologi, norma dan perilaku tertentu yang terjadi di suatu lingkungan bisnis. Hal
ini disebabkan bisnis dan akuntansi merupakan realitas yang terbentuk secara sosial melalui interaksi
individu dan lingkungannya (socially constructed reality); merupakan kegiatan yang diciptakan oleh
manusia (human creation); merupakan wacana simbolik yang dibentuk oleh individunya (symbolic
discourse) dan merupakan hasil dari kreatifitas manusia (human creativity). Alasan kedua adalah tidak
semua perilaku, nilai dan interaksi antara aktor sosial dapat dihitung dengan angka. Pandangan
seseorang atas suatu hal sangat dipengaruhi oleh budaya, nilai dan pengalaman yang dimiliki oleh orang
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 16
tersebut. Sebagai contoh, jika orang ditanya berapa hasil dari 4x6, maka orang tersebut akan menjawab
24. Tetapi, jika pertanyaan tersebut diajukan kepada orang yang berprofesi sebagai tukang cetak foto,
maka dia akan menjawab 4x6 adalah Rp 1500 atau Rp 2000 atau angka yang lain terkait dengan harga
cetak foto tersebut. Jawaban atas pertanyaan yang sama bisa jadi berbeda karena seseorang menanggapi
sesuatu berdasarkan pengalaman, budaya dan nilai-nilai yang mereka yakini. Dimana pengalaman dan
nilai –nilai yang diyakini antara satu orang dengan orang lain pasti berbeda-beda dan sangat subyektif.
Hal ini berimplikasi bahwa penggunaan angka tertentu untuk mewakili perilaku, nilai maupun
fenomena sosial yang lain dapat menghasilkan sesuatu yang menyesatkan dan tidak merepresentasikan
kondisi riil yang sebenarnya. Dengan demikian, pemahaman terhadap bisnis dan akuntansi sebagai
realitas yang terbentuk secara sosial hanya dapat dilakukan dalam setting lingkungan tertentu.
Pemahaman atas makna dibalik fenomena-fenomena akuntansi dapat digali dengan menggunakan
paradigma interpretif.
Ludigdo (2007) menjelaskan bahwa paradigma interpretif merupakan paradigma yang penting
dalam akuntansi dalam upaya untuk memahami suatu konteks praktik profesional yang bersifat
kompleks, sehingga bagaimana first-hand knowledge didapatkan secara efektif dari subyek yang
diinvestigasi menjadi sangat penting. Untuk itu penelitian ini perlu memperhatikan karakteristik ilmu
kemanusiaan. Karena sifatnya yang demikian maka metode yang sangat mendasar dalam ilmu
kemanusiaan adalah metode pemahaman (verstehen). Dengan demikian maka paradigma interpretif
lebih tepat digunakan.
Dalam praktiknya, akuntansi dipengaruhi oleh perilaku manusia, lingkungan, budaya dan nilai
yang dianutnya. Penelitian akuntansi yang membahas sebatas aspek teknis dan rutin mengakibatkan
pengetahuan mengenai kontribusi sosial dan organisasional akuntansi menjadi sulit untuk diterapkan
pada lingkungan yang sebenarnya (Wirajaya dan Gde, 2012). Penelitian akuntansi tidak hanya
memerlukan jawaban-jawaban teknis. Setiap organisasi, kelompok masyarakat memiliki sifat masing-
masing. Perbedaan budaya, nilai, agama, dan kebiasaan dapat merubah pemahaman, pemaknaan dan
praktik akuntansi yang dilakukan oleh seseorang. Dengan mendalami pemaknaan seseorang atas
akuntansi dan melihat permasalahan akuntansi dalam lingkungan yang sebenarnya memungkinkan
adanya solusi yang tepat atas permasalahan akuntansi yang ada.
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 17
Untuk dapat memahami makna realitas sosial (termasuk akuntansi) dari pengalaman seseorang
dalam lingkungan tertentu dapat dilakukan dengan paradigma interpretif, yaitu pendekatan
fenomenologi. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, pemahaman, pemaknaan dan
kesadaran seseorang atas pengalamannya terkait dengan akuntansi dapat digali pada secara mendalam.
Pendekatan fenomenologi memungkinkan penelitian akuntansi, khususnya akuntansi keuangan tidak
terbatas pada angka-angka, akun dan proses pelaporan keuangan organisasi bisnis untuk pemilik modal
saja. Tetapi pendekatan fenomenologi juga dapat melihat aspek akuntabilitas, proses pelaporan dan
makna akuntansi keuangan bagi organisasi sektor publik, organisasi kemasyarakatan bahkan individu.
Pendekatan fenomenologi juga memungkinkan penelitian akuntansi dilakukan pada lingkungan
sebenarnya dengan mengakomodasi aspek budaya, adat istiadat, nilai yang diadopsi seseorang yang
berpengalaman langsung atas proses akuntansi tersebut.
2.7. Penelitian Akuntansi Keuangan dengan Pendekatan Fenomenologi dalam Konteks Budaya dan
Kearifan Lokal
Secara geografis, Indonesia terdiri dari berbagai pulau dan kepulauan yang disatukan oleh
lautan dan samudera. Kondisi geografis tersebut merupakan salah satu faktor penyebab beragamnya
budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Budaya adalah cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya seni. Sedangkan kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat
yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal biasanya diwariskan
secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut (Mulyana dan
Rakhmat, 2006).
Penelitian dengan pendekatan fenomenologi memungkinkan menggali makna terkait dengan
akuntansi keuangan dari pengalaman individu, yang dapat mengakomodasi aspek budaya dan kearifan
lokal yang diyakini individu tersebut. Untuk memberikan pemahaman, berikut ini akan dibahas
beberapa contoh penelitian tersebut yang dimuat dalam jurnal nasional maupun jurnal internasional.
Darmada, Atmadja dan Sinarwati (2016) meneliti mengenai kearifan lokal pade gelahang dalam
mewujudkan integrasi akuntabilitas pengelolaan keuangan organisasi subak. Kearifan lokal pade
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 18
gelahang dan organisasi subak merupakan kebudayaan yang berasal dari Bali. Subak merupakan
organisasi tradisional yang bergerak dalam sistem pengelolaan air untuk pertanian, sedangkan pade
gelahang merupakan suatu nilai yang berlandaskan pada Tri Hita Karana, yang berarti memiliki secara
bersama-sama. Penelitian tersebut dilakukan dengan paradigma interpretif-fenomenologi. Peneliti
menggunakan informan kunci yang terdiri dari kepala desa, kelihan (kepala) subak, tokoh adat/agama
serta krama (anggota ) subak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 1) proses pengelolaan keuangan
melibatkan prajuru (bendahara) subak; 2) proses pengelolaan keuangan terbagi internal dan eksternal,
sumber pendanaan internal berasal dari peturunan (iuran) krama subak, sedangkan pendanaan eksternal
berasal dari bantuan Pemda Bali; 3) proses pertanggungjawaban keuangan kepada seluruh anggota
dilakukan secara sederhana, yaitu dilakukan ketika sangkep (rapat) dan 4) praktik akuntabilitas tidak
lepas dari kearifan lokal Pade Gelahang, yaitu pade gelahang telah menumbuhkan rasa saling percaya
diantara sesama krama. Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa budaya dan kearifan lokal
dapat mempengaruhi praktik akuntansi keuangan, dalam hal ini adalah pengelolaan dan pelaporan
keuangan kepada anggota subak.
Penelitian lain dilakukan oleh Tumirin dan Abdurahim (2015) mengenai makna biaya dalam
upacara Rambu Solo. Dalam akuntansi keuangan dikenal konsep matching principle, dimana konsep
tersebut mengharuskan penandingan antara biaya dan pendapatan dalam periode yang sama. Upacara
rambu solo merupakan upacara kematian masyarakat Tana Toraja, yang membutuhkan dana yang
sangat besar. Ada hal yang lebih besar dan bernilai diperoleh dari perayaan tersebut jika dibandingkan
dengan pengeluaran biaya yang dilakukan. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi
transendental dan memperoleh data dari dua orang informan yang berpengalaman langsung melakukan
upacara tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan konsep matching,
terungkap bahwa pengorbanan biaya dalam upacara rambu solo tidak memiliki keterkaitan dengan
upaya untuk memperoleh pendapatan. Masyarakat Toraja memiliki pandangan tersendiri dalam
memaknai pengorbanan biaya upacara rambu solo, yaitu (1) untuk mengumpulkan keluarga, karena
biaya ditanggung bersama-sama oleh keluarga sehingga meningkatkan ikatan keluarga; (2) untuk
menunjukkan strata sosial dalam masyarakat, semakin tinggi strata masyarakat akan membutuhkan
upacara yang semakin mewah, (3) untuk membayar utang, sumbangan yang diterima dari orang lain
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 19
akan dicatat dan dikembalikan ketika orang lain tersebut melakukan upacara rambu solo. Dari hasil
penelitian tersebut dapat dilihat bahwa nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat Toraja
mempengaruhi pemaknaan mereka atas konsep biaya.
Roekhudin, Triyuwono, Suharsono dan Rosidi (2015) meneliti tentang penolakan pengukuran
nilai wajar (Fair Value Measurement) dan rekonstruksinya dengan menggunakan konsep kearifan lokal
ruwatan sukerto. Penelitian tersebut bertujuan untuk mellihat respon akuntan internal terhadap konsep
pengukuran menggunakan nilai wajar, mengungkap makna fenomena nilai wajar tersebut dan
melakukan rekonstruksi pengukuran nilai wajar dalam laporan keuangan dengan menggunakan ruwatan
sukerto sebagai metode untuk merekonstruksi. Dalam budaya Jawa, ruwatan sukerto merupakan upaya
yang dilakukan untuk membebaskan seseorang dari penderitaan. Untuk melakukan ruwatan,
masyarakat Jawa melakukan pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwa Kala. Ruwatan sukerto
merupakan ritual pemurnian atau pembebasan dari kejahatan tanpa harus menghilangkan sifat jahat itu
sendiri, tetapi sifat jahat tersebut dilemahkan. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan
fenomenologi transendental dan data diperoleh dari 6 orang informan yang merupakan akuntan internal.
Peneliti merekonstruksi laporan keuangan menggunakan nilai wajar, yang terdiri dari 4 okolom
informasi akun, yaitu (1) nama akun, (2) laporan keuangan historis, (3) perbedaan antara historical dan
nilai wajar, (4) laporan keuangan berdasarkan nilai wajar. Dengan menyajikan laporan keungan 4 kolom
tersebut, sama seperti melakukan ruwatan untuk mengurangi gangguan dalam penyajian laporan
keuangan. Penelitian ini menunjukkan bahwa konsep laporan keuangan dapat dikontruksi dengan
menggunakan kearifan lokal.
2.8. Peluang Riset Akuntansi dengan Pendekatan Interpretif-Fenomenologi dengan Konteks Budaya
dan Kearifan Lokal Indonesia
Selain penelitian yang dibahas di atas, masih banyak penelitian yang menggunakan paradigma
interpretif dengan konteks budaya dan kearifan lokal yang dipublikasikan di jurnal nasional
terakreditasi maupun di jurnal internasional bereputasi. Sehingga dapat dikatakan penelitian
menggunakan konsep tersebut masih memiliki banyak peluang.
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 20
Adapun peluang yang dapat diindentifikasi oleh penulis antara lain:
1. Semakin terbukanya peluang untuk melakukan publikasi di jurnal ilmiah terakreditasi nasional
dan internasional. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya pengakuan dari dunia
akademis terhadap penggunaan paradigma non positif dalam bidang akuntansi. Sebagai contoh,
dalam lingkup nasional, khususnya Simposium Nasional Akuntansi (SNA) jumlah penelitian
kualitatif yang diterima dibandingkan total artikel yang diterima semakin meningkat dari tahun
ke tahun, yaitu sebesar 5,6 % pada tahun 2013; 5,7% pada tahun 2014 dan meningkat pesat
menjadi 12% pada tahun 2015. Selain itu jurnal nasional terakreditasi yang sangat kental
dengan nuansa positif juga mulai mempertimbangkan artikel dengan paradigma non positif.
Misalnya Jurnal Keuangan dan Perbankan Universitas Merdeka Malang mulai memuat artikel
non positif sebanyak 3 artikel pada tahun 2013 dan 1 artikel pada tahun 2014 dan 2015
(Darmayasa dan Aneswari, 2015). Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia juga mulai memuat artikel non positif, hal ini dibuktikan
dimuatnya artikel Efferin dan Rudiawarni (2014) mengenai perilaku stakeholders Indonesia
dalam adopsi IFRS menggunakan pendekatan interpretif. Dalam lingkup internasional juga
semakin banyak jurnal bereputasi yang mengakomodasi penelitian akutansi dengan paradigma
non positif, diantaranya Jurnal Critical Perspective on Accounting, Accounting Auditing and
Accountability Journal, Accounting Organizations and Society Journal serta Social and
Behavioral Sciences Journal.
2. Penelitian menggunakan paradigma interpretif dengan pendekatan fenomenologi yang berhasil
ditemukan oleh penulis semuanya menggunakan pendekatan fenomenologi transendental
Husserl. Hal ini membuka peluang bagi penggunaan ragam fenomenologi yang lain sepanjang
ragam fenomenologi tersebut sesuai dengan persoalan penelitian yang dibahas. Adapun ragam
fenomenologi lain yang dapat diterapkan bagi penelitian akuntansi antara lain:
a) Fenomenologi Schutz, yang menekankan pada hubungan pengetahuan ilmiah dengan
pengalaman sehari-hari dan dari kegiatan dimana pengalaman dan pengetahuan berakar.
(b) Fenomenologi Berger yang menekankan pada interaksi antar individu. Berger
memperkenalkan dua varian fenomenologi, yaitu fenomenologi hermeneutic (berfokus
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 21
pada aspek kolektif dari budaya yang concern dengan bahasa) dan fenomenologi
eksistensial (berorientasi pada level individu dari budaya yang meliputi internalisasi
kesadaran subjektif dari individu) (Basrowi dan Sukidin,2002)
(c) Pos fenomenologi / fenomenologi instrumentasi Ihde-Heidegger, yang melibatkan
menubuhnya (embodied) teknologi dalam budaya. Persepsi yang selama ini dipandang
sebagaimana adanya dan dapat dipisahkan secara mental oleh fenomenologi Husserl,
bagi Ihde merupakan ketertanaman teknologi dalam budaya. Manusia saat ini telah
“menubuh”/embodied dengan alat-alat teknologi, yaitu instrumen. Embodied disini
memiliki arti bahwa alat teknologi merupakan sebagian dari cara persepsi manusia, dan
melalui alat tersebut, manusia menjelani kegiatannya dalam dunia kehidupan.
(d) Hyper fenomenologi, yaitu fenomenologi yang melampaui fenomenologi itu sendiri
yang tidak hanya terpaku pada paradigma interpretif. Pemaknaan values pada hyper
fenomenologi lebih dari memaknai bentuk subyektifitas materi dan mental, budaya
bahkan historis (Mulawarman, 2006).
3. Peluang berikutnya bagi penelitian akuntansi keuangan dalam konteks budaya dan kearifan
lokal adalah kekayaan budaya dan kearifan lokal yang dimiliki Indonesia. Indonesia terdiri dari
berbagai pulau dan kepulauan yang dihuni oleh berbagai suku bangsa. Suku bangsa yang ada
di Indonesia memiliki budaya dan kearifan lokal masing-masing. Sensus yang dilakukan oleh
BPS pada tahun 2010 menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 1.331 suku bangsa yang
memiliki budaya dan kearifan lokal sendiri-sendiri (www.bps.go.id). Hal ini memungkinkan
peneliti untuk mengeksplorasi topik-topik akuntansi keuangan dengan menggunakan konteks
budaya dan kearifan lokal yang sangat beragam. Satu suku bangsa tersebut dapat tersebar di
berbagai wilayah yang dapat membentuk sub-sub suku, dimana setiap sub suku dapat memiliki
lebih dari satu budaya dan kearifan lokal. Dengan demikian dapat dibayangkan betapa kaya
budaya dan kearifan lokal Indonesia yang dapat dieksplor dan diperkenalkan kepada dunia
internasional. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, dapat dipastikan bahwa individu,
masyarakat maupun organisasi mempraktikkan akuntansi keuangan, walaupun mungkin dalam
bentuk yang sederhana dan non formal.
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 22
3. Penutup
Penelitian akuntansi keuangan saat ini telah berkembang menjadi penelitian akuntansi yang
multi paradigma. Penelitian dilakukan bukan hanya menggunakan paradigma positif, tetapi juga
menggunakan paradigma interpretif, kritis dan posmodern. Paradigma interpretif menekankan pada
peranan bahasa, penafsiran dan pemahaman dalam ilmu sosial. Pendekatan ini memusatkan perhatian
pada sifat subyektif dari dunia sosial dan berupaya memahaminya dari kerangka berpikir objek yang
sedang dipelajarinya (Triyuwono, 2009).
Salah satu pendekatan dalam paradigma interpretif adalah fenomenologi Husserl. Champbell
(1994) menyebutkan bahwa metode Husserl ditujukan untuk menganalisis kehidupan batiniah individu,
yakni pengalamannya mengenai fenomena sebagaimana terjadi dalam “arus kesadaran”. Untuk
menggali makna yang murni dari pengalaman, akan dilakukan reduksi yang meliputi reduksi
fenomenologis, reduksi eidetic dan reduksi transendental (Dimyati, 2000 dalam Basrowi dan Sukidin,
2002).
Dalam praktiknya, akuntansi dipengaruhi oleh perilaku manusia, lingkungan, budaya dan nilai
yang dianut oleh pihak yang mempraktikkan akuntansi. Dengan menggunakan pendekatan
fenomenologi, pemahaman, pemaknaan dan kesadaran seseorang atas pengalamannya terkait dengan
akuntansi dapat digali pada secara mendalam. Pendekatan fenomenologi memungkinkan penelitian
akuntansi, khususnya akuntansi keuangan tidak terbatas pada angka-angka, akun dan proses pelaporan
keuangan organisasi bisnis untuk pemilik modal saja. Tetapi pendekatan fenomenologi juga dapat
melihat aspek akuntabilitas, proses pelaporan dan makna akuntansi keuangan bagi organisasi sektor
publik, organisasi kemasyarakatan bahkan individu. Pendekatan fenomenologi juga memungkinkan
penelitian akuntansi dilakukan pada lingkungan sebenarnya dengan mengakomodasi aspek budaya di
Indonesia, adat istiadat, nilai yang diadopsi seseorang yang berpengalaman langsung atas proses
akuntansi keuangan tersebut.
Peluang yang tersedia bagi penelitian akuntansi keuangan dengan menggunakan paradigma
interpretif dan dalam konteks budaya dan kearifan lokal Indonesia antara lain (1) Semakin terbukanya
peluang untuk melakukan publikasi di jurnal ilmiah terakreditasi nasional dan internasional. Hal ini
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 23
dibuktikan dengan semakin banyaknya pengakuan dari dunia akademis terhadap penggunaan
paradigma non positif dalam bidang akuntansi. (2) Banyaknya ragam fenomenologi yang dapat digali
sebagai metode penelitian akuntansi keuangan, yang meliputi fenomenologi Schutz, fenomenologi
Berger (fenomenologi hermeneutic dan fenomenologi eksistensial), (c) pos fenomenologi /
fenomenologi instrumentasi Ihde-Heidegger, dan (d) hyper fenomenologi (Mulawarman, 2006). (3)
Banyaknya ragam budaya dan kearifan lokal di Indonesia yang dapat digali sebagai konteks penelitian
akuntansi keuangan, sekaligus memperkenalkan budaya Indonesia pada dunia internasional. Karena
dapat dipastikan bahwa individu, masyarakat maupun organisasi mempraktikkan akuntansi keuangan,
dalam kehidupan sehari-hari, walaupun mungkin dalam bentuk yang sederhana dan non formal.
Referensi
Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Insan Cendekia Surabaya.
Burrell, G dan G. Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organisational Analysis: Elements of The Sociology
of Corporate Life. Heinemann Educational Books. London.
Chariri, Anis. 2009. Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif. Materi Workshop Metodologi
Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
Creswell. J.W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design. Second Edition. Sage Publication, USA.
Creswell. J.W. 2015. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset: Memilih diantara Lima Pendekatan. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Collin, Finn. 1997. Social Reality, USA and Canada: Roudledge Simultaneously Published.
Chua, W.F. 1986. Radical Development in Accounting Thought. The Accounting Review 61 (4): 601–632.
Darmada, Dewa Kadek., Anantawikrama Atmadja dan Ni Kadek Sinarwati. 2016. Kearifan Lokal Pade Gelahang
dalam Mewujudkan Integrasi Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Organisasi Subak. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma 7 (1): 51-60.
Darmayasa, I Nyoman dan Yuyung Aneswari. 2015. “Paradigma Interpretif pada Penelitian Akuntansi Indonesia.”
Jurnal Akuntansi Multiparadigma 6 (3): 350-361.
Denzin, NK dan Lincoln. 1994. Introduction :Entering the Field of Qualitative Research. Thousand Oaks : Sage
Publications.
Garfinkel, H. 1996. Ethnomethodology’s Program. Social Psychology Quarterly 59 (1): 5–21.
Irianto, Gugus. Nurlita Novianti dan Putu Prima Wulandari. 2014. Kamuflase Dalam Praktik Rotasi Auditor.
Jurnal Akuntansi Multi Paradigma 5 (3): 393-408.
Membingkai Penelitian Akuntansi Keuangan dalam Bingkai Interpretif Fenomenologi dengan Konteks Budaya dan Kearifan Lokal Indonesia
Simposium Nasional Akuntansi XX, Jember, 2017 24
Hasbiansyah.2008. Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi.
Jurnal Mediator 9 (1): 163-180.
Jailani, M.S. 2012. Interaksi Simbolik, Konstruktivisme, Teori Kritis, Postmodernisme Dan Post-Strukturalisme
(Telaah Basis Teoritis Paradigma Penelitian Kualiatatif ). Edu-Bio 3:1–13.
Kamayanti, Ari. 2016. Metode Penelitian Kualitatif Akuntansi. Yayasan Rumah Peneleh: Malang.
Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi :Metode Penelitian Komunikasi. Widya Padjajaran: Bandung.
Ludigdo, Unti. 2007. Paradoks Etika Akuntan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Lukka, Karl. 2010. The Roles and Effects of Paradigms in Accounting Research.Management and Accounting
Research Vol 21 Issue 2.
Moustakas, Clark. 1994. Phenomenological Research Method. Sage publication.
Mulawarwan, A.D. 2006. From Phenomenology toward Post and Hyper Phenomenology. Materi Accounting
Research Training Jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya.
Mulawarman, A.D. 2010. Integrasi Paradigma Akuntansi: Refleksi Atas Pendekatan Sosiologi Dalam Ilmu
Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma 1(1): 155-171.
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan
Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Neuman, W.L. 2003. Social Research Methods; Qualitative and Quantitative Approach. A Pearson Eduacation
Company, USA.
Patty, Agustina Christina dan Gugus Irianto. 2013. Akuntabilitas Perpuluhan Gereja. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma 4 (2): 177-187.
Roekhudin., Iwan Triyuwono., Eko Ganis Sukoharsono dan Rosidi. 2015. Fair Value Measurement Rejection and
Reconstruction: a Phenomenological Study of Internal Accountant Response towards FV Accounting
and Reporting. Procedia-Social and Behavioral Sciences 211: 880-889.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Triyuwono, Iwan . 2013. Makrifat Metode Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif Untuk Pengembangan Disiplin
Akuntansi. Proceding Simposium Nasional Akuntansi ke-16 Manado.
Tumirin dan Ahim Abdurahim. 2015. Makna Biaya dalam Upacara Rambu Solo. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma 6 (2): 175-340.
Weygandt, Jerry. Paul D. Kimmel and Donald Kieso. 2015. Financial Accounting: IFRS 3 rd Edition .Wiley.Com.