24
Seperti namanya, “Pajak Tangguhan” adalah pajak yang ditangguhkan alias DITUNDA. Bagaimana perlakuan akuntansinya? Bagaimana cara menghitungnya? Bagaimana cara menjurnalnya? Sesuai request adminnya JAK, kali ini saya akan membahas mengenai cara menghitung dan menjurnal pajak tangguhan (aset maupun kewajiban). Karena materinya lumayan banyak dan cakupannya cukup luas, tulisan dibagi menjadi dua bagian. Ini adalah pajak tangguhan bagian pertama yang diharapkan bisa menjadi awal pengenalan sekaligus pemahaman konsep dasar pajak tangguhan yang nantinya bisa dikembangkan ke hal yang lebih kompleks. Tidak sesederhana mengartikan kata-per-kata secara harfiah, menghitung dan menjurnal pajak tangguhan masih menjadi sumber kebingungan bagi sebagian orang—bahkan yang sudah berpengalaman kerja bertahun-tahun sekalipun, termasuk saya (penulis) tentunya. Sebelum menuliskan ini, saya sudah membaca berbagai publikasi online terkait dengan pajak tangguhan—sebagai pembanding. Saya sudah pernah menulis topik yang sama dalam bahasa Inggris, untuk konsumsi komunitasinternasional . Karena ini untuk kawan-kawan di JAK dan menyangkut pajak, saya pikir pembahasan harus sesuai dengan standard dan dasar hukum yang sesuai dengan wilayah yurisdiksi Indonesia. Untuk itu, secara khusus saya mencari artikel dan jurnal-jurnal mengenai pajak tangguhan yang berbahasa Indonesia. Hasilnya? Sungguh mengagetkan: ternyata topik ini sudah banyak dibahas dari blog-blog sampai ke website universitas. Penulisnyapun bermacam- macam, mulai dari yang memang memiliki latarbelakang akuntansi sampai dengan yang mencantumkan identitas sebagai “internet marketer.” Internet marketer membahas akuntansi? Hmm… well, what a life.. hehe..

Men. Pajak Pajak Tangguhan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Men. Pajak Pajak Tangguhan

Seperti namanya, “Pajak Tangguhan” adalah pajak yang ditangguhkan alias

DITUNDA. Bagaimana perlakuan akuntansinya? Bagaimana cara menghitungnya?

Bagaimana cara menjurnalnya? Sesuai request adminnya JAK, kali ini saya akan

membahas mengenai cara menghitung dan menjurnal pajak tangguhan (aset

maupun kewajiban).

Karena materinya lumayan banyak dan cakupannya cukup luas, tulisan dibagi

menjadi dua bagian. Ini adalah pajak tangguhan bagian pertama yang diharapkan

bisa menjadi awal pengenalan sekaligus pemahaman konsep dasar pajak

tangguhan yang nantinya bisa dikembangkan ke hal yang lebih kompleks.

Tidak sesederhana mengartikan kata-per-kata secara harfiah, menghitung dan

menjurnal pajak tangguhan masih menjadi sumber kebingungan bagi sebagian orang—

bahkan yang sudah berpengalaman kerja bertahun-tahun sekalipun, termasuk saya

(penulis) tentunya.

Sebelum menuliskan ini, saya sudah membaca berbagai publikasi online terkait dengan

pajak tangguhan—sebagai pembanding. Saya sudah pernah menulis topik yang sama

dalam bahasa Inggris, untuk konsumsi komunitasinternasional. Karena ini untuk kawan-

kawan di JAK dan menyangkut pajak, saya pikir pembahasan harus sesuai dengan

standard dan dasar hukum yang sesuai dengan wilayah yurisdiksi Indonesia. Untuk itu,

secara khusus saya mencari artikel dan jurnal-jurnal mengenai pajak tangguhan yang

berbahasa Indonesia. Hasilnya?

Sungguh mengagetkan: ternyata topik ini sudah banyak dibahas dari blog-blog sampai

ke website universitas. Penulisnyapun bermacam-macam, mulai dari yang memang

memiliki latarbelakang akuntansi sampai dengan yang mencantumkan identitas sebagai

“internet marketer.” Internet marketer membahas akuntansi? Hmm… well, what a life..

hehe..

Sayangnya saya tidak menemukan artikel seperti yang saya harapkan. Dari puluhan

artikel yang sempat saya telusuri, ada yang isinya hanya 2 paragraf—yang biasa

dialakukan oleh para blogger untuk sekedar memperkuat keyword density, ada yang

Page 2: Men. Pajak Pajak Tangguhan

lumayan bagus tetapi tidak cukup detail (tanpa disertai contoh kasus), dan yang paling

banyak saya temukan adalah copy+paste isi PSAK.

Kalau PSAK, ya saya tergolong rajin membaca isi PSAK, meskipun setiap kali

membacanya, migraine saya selalu kambuh. Apakah karena bahasanya yang sulit

dipahami? Susunannya yg meloncat-loncat dari satu PSAK ke PSAK yang lain? Atau

karena otak saya yang tidak cukup encer untuk mencerna bahasa ilmiah dan bahasa

hukum? Ah entahlah.

Al hasil, saya gagal menemukan pembanding. Tetapi ya sudahlah. Saya paling malas

kalau harus menghabiskan waktu untuk sesuatu yang sia-sia. Daripada berkutat pada

kepusingan, lebih baik saya tuliskan menurut versi saya sendiri saja. Bagi pembaca

yang ingin strict mengikuti kata-per-kata isi PSAK (terutama untuk keperluan karya

ilmiah atau tugas kampus), silahkan baca PSAK. Jika belum punya, bisa googling

dengan memasukan kata kunci “PSAK 46,” banyak koq—baik yang asli di IAI atau yang

sudah dicopy paste ke blog-blog.

Langsung ke topik utama… saya mulai dengan konsep dasar pajak

tangguhan. Apa ‘sih’ itu pajak tangguhan yang sesungguhnya? Mengapa ada

pajak tangguhan—bagaimana bisa terjadi? Baru kemudian perlakuan

akuntansinya—sudah pasti disertai contoh kasus dan penjurnalannya.

 

Konsep Dasar Pajak Tangguhan (Deferred Tax)

Seperti sudah saya singgung di preface tulisan ini, “pajak tangguhan” ya pajak yang

ditangguhkan. “Gitu aja koq repot… hehehe,” kata kawan saya Bob—super adminnya

JAK dengan bahas jawa medoknya. (Sudah kenal belum? Jika belum silahkan sapa

dia, he is warm and nice.)

Page 3: Men. Pajak Pajak Tangguhan

Well, saya pribadi seide dengan dia, kalau bisa dibuat mudah kenapa dipersulit. Tetapi

definisi itu saja kan ya tidak cukup—tidak berbau akuntansi, anak SD juga bisa.. iya

tidak? Hahaha.. (Sorry Mas Bob just kidding.)

Okelah, “pajak tangguhan” adalah pajak yang ditangguhkan, lalu APA-nya yang

ditangguhkan? Ya pengakuannya. Sehingga definisi singkatnya Mas Bob di atas

menjadi:

“Pajak tangguhan adalah pajak yang pengakuannya ditangguhkan.”

Dari definisi sederhana di atas, timbul pertanyaan selanjutnya:pengakuan pajak

yang mana yang ditangguhkan? Pajak itu jenisnya kan macam-macam. Iya tidak?

Pajak yang ditangguhkan HANYA Pajak Penghasilan (PPh)—baik penghasilan atas

operasional di dalam maupun di luar negeri.

Pertanyaan berikutnya: Mengapa ditangguhkan?

Jawabannya agak panjang. Perlu kesabaran untuk bisa memahami konsep yang satu

ini. Jika tidak, maka untuk seterusnya tidak akan pernah bisa memahaminya. Saya

akan berusaha agar waktu yang anda pergunakan untuk membaca, tidak tersia-sia.

[quote]Pada dasarnya, pengakuan pajak tangguhan dalam laporan keuangan di

maksudkan untuk mengantisipasi konsekwensi kewajiban pajak penghasilan (utang

PPh) baik di masa kini maupun di masa-masa yang akan datang.[/quote]

Konsekwensi apa (seperti apa)?

Konsekwensi akibat PERBEDAAN PENGAKUAN “Laba Kena Pajak” (baca:laba fiskal)

DENGAN “Laba Akuntansi”—alias laba sebelum pajak (baca: laba komersia).

Seperti diketahui, laporan keuangan fiskal disusun dengan menggunakan undang-

undang Pajak yang ditentukan oleh pemerintah bersama-sama DPR—yang nota

benanya dibuat untuk kepentingan negara berdasarkan pendekatan politis. Sementara

itu, laporan keuangan komersial disusun dengan menggunakan prinsip-prinsip

akuntansi berterima umum (PSAK untuk di Indonsia)—yang nota benanya dibuat untuk

Page 4: Men. Pajak Pajak Tangguhan

kepentingan para pelaku usaha dan stake holders (manajemen, investor, kreditur dan

pemerintah) dengan menggunakan pendekatan bisnis.

Perbedaan kepentingan antara pajak dengan akuntansi kemudian menimbulkan

perbedaan cara memandang suatu transaksi keuangan—baik dalam menentukan

waktu pengakuan maupun besarnya nilai yang diakui.

Perbedaan perlakuan terhadap pendapatan dan biaya (baik itu “saat pengakuan”

maupun “nilai”-nya), sudah pasti akan menimbulkan perbedaan nilai antara “Laba

Sebelum Pajak” dengan “Laba Kena Pajak” (dasar pengenaan pajak penghasilan)

dalam Laporan Laba-Rugi, yang pada akhirnya juga mengakibatkan perbedaan pada

pengakuan “Utang Pajak Penghasilan” di Neraca.

Misalnya:

Kasus-1. PT. JAK adalah perusahaan kontraktor. Untuk laporan komersial, JAK

menggunakan metode “persentase penyelesaian” (percentage-of-completion method)

dimana pendapatan diakui berdasarkan persentase tingkat penyelesaian proyek, dan

untuk tahun 2012 JAK menerima pembayaran sebesar Rp 100,000,000 dari total

kontrak senilai 200,000,000 yang rencananya akan rampung di 2013. Sedangkan untuk

laporan fiskal, JAK menggunakan metode “penyelesaian kontrak” (completed-contract

method) dimana pendapatan baru akan diakui sekaligus ketika seluruh pembayaran

diterima (saat proyek rampung di 2013.) Akibatnya, di 2012 terjadi perbedaan

pengakuan pendapatan. Perbedaan pengakuan pendapatan ini mengakibatkan

perbedaan pengakuan “Laba Kena Pajak” yang otomatis juga akan mengakibatkan

perbedaan pengakuan “Kewajiban Pajak Penghasilan” (Utang PPh) baik di masa kini

maupun yang akan datang.

Kasus-2. PT. JAK adalah perusahaan retail. Dalam Neraca komersial tahun 2012,

PT. JAK mengakui adanya utang penukaran point belanja yang belum dibayar sebesar

Rp 25,000,000 yang kemungkinan akan diklaim oleh pelanggan di 2013. Di sisi lainnya,

PT. JAK juga mengakui “Harga Pokok Penjualan” handuk (sebagai penukar point)

sebesar yang sama dalam Laporan Laba-Rugi. Sedangkan dalam Laporan Laba-Rugi

Page 5: Men. Pajak Pajak Tangguhan

fiskal, Harga Pokok Penjualan (HPP) handuk yang belum sungguh-sungguh terjadi

tidak boleh diakui di 2012 (sesuai ketentuan pajak). Akibatnya, terjadi perbedaan

pengakuan HPP antara laporan laba-rugi komersial dengan fiskal. Perbedaan

pengakuan HPP tersebut mengakibatkan “laba kena pajak” (laba fiskal) dan “laba

sebelum pajak” (laba komersial) juga berbeda, yang pada akhirnya akan membuat

“Kewajiban Pajak Penghasilan” (utang PPh) juga menjadi berbeda.

Kasus-3. PT. JAK adalah perusahaan manufaktur. Selama periode 2012, PT. JAK

mengeluarkan uang makan untuk beberapa orang pegawai sebesar Rp 2,000,000. Di

laporan komersial, semua jenis pengeluaran diakui sebagai beban (atau biaya)

termasuk uang makan tersebut—yang akan mengurangi “Laba Kena Pajak”.

Sedangkan menurut aturan perpajakan, uang makan tersebut tidak boleh diakui

sebagai biaya. Sehingga, besanya laba kena pajak antara laporan fiskal dengan

komersial akan berbeda.

Perhatikan kembali contoh kasus pertama di atas. Menurut laporan fiskal 2012

pendapatan JAK nol sehingga TIDAK ADA “Laba Kena Pajak” (laba fiskal), otomatis

juga tidak ada utang pajak penghasilan)—karena pendapatan baru akan diakui

sekaligus di 2013 sebesar Rp 200,000,000, sehingga laba kena pajak dan utang pajak

penghasilan akan terjadi sekaligus di 2013. Sedangkan menurut laporan komersial

untuk 2012 adalah Rp 100,000,000, sehingga ADA Laba Kena Pajak (laba komersial)

dan Utang Pajak Penghasilan—sisanya yang Rp 100,000,000 akan diakui di 2013.

Total pengakuan pendapatan, laba kena pajak dan utang pajak, sejak 2012 hingga

2013, akan sama. Perbedaan hanya terjadi pada “waktu pengakuan”-nya, oleh

sebab itu perbedaan yang seperti ini diistilahkan dengan “beda waktu” (timing

difference). Dengan kata lain: perbedaan yang terjadi di 2012 hanya bersifat sementara

—pada titik tertentu nanti akan menjadi sama, itu sebabnya belakangan ini istilah beda

waktu (timing difference) sudah jarang dipakai, digantikan dengan istilah “beda

sementara” (temporary difference.)

Demikian juga dengan contoh kedua, yang terjadi hanya beda sementara (temporary

difference). Di tahun 2012 pengakuan HPP laporan fiskal lebih besar dibandingkan

Page 6: Men. Pajak Pajak Tangguhan

laporan komersial, akan tetapi di 2013 yang terjadi adalah sebaliknya—laporan

komersial akan mengakui HPP lebih besar dibandingkan laporan fiskal. Sehingga, saat

semua point diklaim oleh pelanggan, total HPP antara laporan fiskal dan komersial akan

sama, total laba fiskal dan laba komersial sama, dan total utang PPh juga sama.

Contoh kasus yang ketiga tidak sama dengan dua contoh sebelumnya. Pada

kasus ini, perbedaan yang terjadi bersifat tetap. Dari aspek pajak, pengeluaran untuk

uang makan beberapa orang pegawai TIDAK AKAN PERNAH BISA diakui sebagai

beban—artinya juga tidak akan pernah bisa dijadikan faktor pengurang laba kena pajak

dan tidak akan pernah mengurangi utang pajak di masa-masa yang akan datang.

Sedangkan dari prinsip akuntansi, pengeluaran yang sama akan tetap diakui sebagai

beban. Dengan kata lain, utang pajak antara yang di laporan fiskal dengan komersial

tidak akan pernah sama. Perbedaan yang seperti ini disitilahkan dengan “Beda Tetap”

(Permanent Different.)

“Lalu, apa hubungannya dengan pajak tangguhan?” Mungkin ada yang berpikir

seperti itu.

Ya jelas ada hubungannya. Jika tidak, untuk apa saya capek-capek menuliskannya

sampai panjang lebar. Justru yang di atas itulah kunci pemahaman dari konsep pajak

tangguhan. Tanpa pemahaman yang cukup mengenai temporary dan permanent

different, mustahil bisa memahami konsep pajak tangguhan. Kalau perlu, baca

berulang-ulang hingga benar-benar paham maksudnya. Itu kalau benar-benar ingin

menguasai permasalahan pajak tangguhan. Jika tidak, buat apa buang-buang waktu.

Iya kan?

Jika sudah paham, kita masuk ke pajak tangguhan…. Lanjut….

 

Jenis-Jenis Pajak Tangguhan dan Penyebabnya

Page 7: Men. Pajak Pajak Tangguhan

Seperti sudah disampaikan diatas: definisi menurut saya (tidak usah dijadikan

referensi), sederhananya, pajak tangguhan adalah pengakuan pajak yang

ditangguhkan.

Mengapa ditangguhkan? Ada 2 faktor penyebab yang mengakibatkan timbulnya

pengakuan pajak tangguhan, yaitu:

Penyebab-1. Karena adanya pengakuan “Laba Kena Pajak” (laba fiskal) yang

UNTUK SEMENTARA lebih kecil dibandingkan “Laba Sebelum Pajak” (laba

komersial) di masa kini—sudah pasti akan mengakibatkan timbulnya “Utang Pajak

penghasilan” di masa depan. Selisih inilah yang diakui sebagai “Kewajiban Pajak

Tangguhan” (Deferred Tax Liability—biasa disingkat dengan “DTL”.)

Contoh Kasus Pengakuan Kewajiban Pajak Tangguhan:

Melanjutkan contoh kasus pertama di atas. Perbedaan metode pengakuan pendapatan

PT. JAK antara laporan fiskal dan komersial menyebabkan terjadinya perbedaan

pengakuan pendapatan, di 2012. Perbandingan laporan fiskal dan komersial PT. JAK

untuk 2012 dan 2013 akan nampak sebagai berikut:

 

Page 8: Men. Pajak Pajak Tangguhan

Dari perbandingan laporan fiskal dan komersial di atas jelas terlihat bahwa, perbedaan

pengakuan pendapatan di 2012 mengakibatkan terjadinya perbedaan laba kena pajak

sebesar Rp 50,000,000. Perbedaan laba fiskal dan komersial tersebut akan

mengakibatkan peningkatan Utang PPh di 2013 nanti sebesar:

Tarif efektif PPh x Selisih Laba Kena Pajak = 30% x 50,000,000 = Rp 15,000,000.

Peningkatan Utang PPh inilah yang diakui sebagai “Kewajiban Pajak Tangguhan”

(Deferred Tax Liability) di tahun 2012. Bagaimana caranya JAK menjurnal pengakuan

kewajiban pajak tangguhan?

Mungkin anda sudah tahu bahwa pengakuan jurnal pengakuan Biaya dan Utang PPh

biasanya, sbb:

Page 9: Men. Pajak Pajak Tangguhan

[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 15,000,000

[Kredit]. Utang PPh Badan = Rp 15,000,000

Tetapi karena laporan fiskal mengakui utang PPh nihil—dan sebagai gantinya PT.

JAK mengakui adanya kewajiban pajak tangguhan, maka jurnalnya menjadi sbb:

[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 15,000,000

[Kredit]. Utang PPh Badan = 0

[Kredit]. Kewajiban Pajak Tangguhan = Rp 15,000,000

(Catatan: Untuk mengakui kewajiban pajak tangguhan)

Dengan dimasukannya jurnal ini, maka di Laporan Laba-Rugi komersial PT JAK akan

menunjukan biaya PPh sebesar Rp 15,000,000 di satu sisinya, dan di Neraca akan

menunjukan Utang PPh = 0 dan Kewajiban Pajak Tangguhan sebesar Rp 15,000,000,

di sisi lainnya.

Saat proyek rampung di tahun 2013 nanti, jurnal yang dimasukan oleh PT. JAK di

penutupan buku adalah sebagai berikut:

[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 15,000,000 (pengkuan biaya untuk 2013 saja)

[Debit]. Kewajiban Pajak Tangguhan = Rp 15,000,000

[Kredit]. Utang PPh Badan = Rp 30,000,000

(Catatan: Untuk mengakui Utang PPh Badan sebesar 15,000,000 untuk 2013 saja,

sekaligus memulihkan Utang PPh yang ditangguhkan di 2012 sebesar Rp 15,000,000,

sehingga total utang PPh menjadi Rp 30,000,000).

Penyebab yang pertama sudah. Selanjutnya kita lihat penyebab yang kedua.. Lanjut…

Penyebab-2. Karena adanya pengakuan laba fiskal yang UNTUK SEMENTARA

lebih besar dibandingkan laba komersial di masa kini—yang nantinya bisa menjadi

faktor pengurang “Utang PPh” di masa depan. Selisih inilah yang diakui sebagai “Aset

Pajak Tangguhan” (Deferred Tax Asset—biasa disingkat dengan “DTA”)

Contoh Kasus Pengakuan Aset Pajak Tangguhan:

Page 10: Men. Pajak Pajak Tangguhan

Melanjutkan contoh kasus kedua yang sebelumnya (silahkan dilihat kembali).

Perbedaan saat pengakuan “utang point belanja yang belum dibayar” dalam neraca

fiskal dan neraca komersial PT. JAK mengakibatkan perbedaan pengakuan harga

pokok penjualan (HPP) handuk (sebagai penukar point) dalam laporan laba-ruginya.

Perbedaan saat pengakuan HPP ini menyebabkan laba pajak yang LEBIH BESAR Rp

25,000,000 jika dibandingkan dengan laporan komersial di 2012. Selisih Rp 25,000,000

ini akan bisa dipulihkan di 2013—saat pelanggan mengklaim point belanja. Jika tarif

efektif PPh di 2013 nanti 30%, maka PT. JAK dapat mengakui adanya “Aset Pajak

Tangguhan” (deferred tax asset) sebesar:

Tarif efektif PPh x Selisih Laba Kena Pajak = 30% x 25,000,000 = 7,500,000

Pengakuan aset pajak tangguhan dijurnal dengan cara sbb:

[Debit]. Aset Pajak Tangguhan = 7,500,000

[Kredit]. Utang Pajak Penghasilan = 7,500,000

Setelah jurnal ini dimasukan, maka Utang PPh PT JAK di 2012 akan bertambah

sebesar Rp 7,500,000—sehingga utang yang diakui di laporan komersial menjadi sama

dengan laporan fiskal, dan sebagai pengimbang disajikan “Aset Pajak Tangguhan”

sebesar Rp 7,500,000 yang nantinya akan dijadikan faktor pengurang Utang PPh di

tahun 2013.

Anggap total klaim point belanja yang ditukarkan oleh pelanggan, di 2013,

memang mencapai Rp 25,000,000 seperti yang di perkirakan, dan ada laba fiskal

sebesar Rp 20,000,000 di periode 2013, maka aset pajak tangguhan yang diakui di

2012 dihapuskan (istilahnya “dipulihkan”) denganmengkreditkannya (melawankannya)

dengan Utang PPh 2013. Jurnalnya adalah sbb:

[Debit]. Biaya PPh = 20,000,000

[Kredit]. Aset Pajak Tangguhan = 7,500,000

[Kredit]. Utang PPh = 12,500,000

(Catatan: Utang PPh = Utang PPh 2013 – Aset Pajak Tangguhan 2012 = 20,000,000 –

7,500,000 = Rp 12,500,000.)

Page 11: Men. Pajak Pajak Tangguhan

Jika saya rangkum semua, maka bisa disimpulkan bahwa:

1. Pajak tangguhan adalah pajak yang ditangguhkan, sebagai antisipasi terhadap

konsekwensi utang pajak penghasilan, baik yang timbul di masa kini maupun masa

depan.

2. Salah satu penyebab terjadinya pajak tangguhan adalah adanya perbedaan

sementara antara laba fiskal dengan laba komersial, yang pada ujungnya menimbulkan

perbedaan antara “Utang PPh” dalam laporan fiskal dengan laporan komersial.

3. Jika laba pajak lebih besar dibandingkan dengan laba komersial, maka selisih

tersebut diakui sebagai “Aset Pajak Tangguhan” (Deferred Tax Asset), sebesar selisih

tersebut dikalikan tarif efektif PPh, yang nantinya bisa dikreditkan (dijadikan pengurang)

di tahun fiskal berikutnya.

4. Jika laba pajak lebih kecil dibandingkan dengan laba komersial, maka selisih tersebut

diakui sebagai “Kewajiban Pajak Tangguhan” (Deferred Tax Liability), sebesar selisih

tersebut dikalikan tarif efektif PPh, yang nantinya dihapuskan ketika bisa dipulihkan di

masa depan.

Ada beberapa catatan penting yang ingin saya sampaikan, antara lain:

[-]. Kasus yang sering saya temui adalah adanya pajak tangguhan (baik berupa

aset maupun kewajiban) yang menumpuk. Itu artinya keputusan untuk

menagguhkan, kemungkinan besar diambil dengan pertimbangan dan alasan yang

tidak cukup kuat, sehingga pajak tangguhannya tidak pernah mengalami pemulihan.

Ada 2 kemungkinan penyebab:

Pengakuan kewajiban pajak tangguhan telah dilakukan, akan tetapitemporary

difference yang dijadikan dasar pertimbangan ternyata tidak memiliki potensi

pemulihan yang cukup—alias tidak pernah bisa menghapus—dimasa depannya.

Pengakuan aset pajak tangguhan telah dilakukan, akan tetapi temporary

difference yang dijadikan dasar pertimbangan ternyata tidak boleh dikurangkan

(tidak setujui oleh otoritas pajak) sehingga, tidak pernah bisa dikreditkan.

Page 12: Men. Pajak Pajak Tangguhan

Agar ini tidak terjadi, pajak tangguhan sebaiknya hanya diakui jika potensi pemulihan

hampir bisa dipastikan (most probably) akan terjadi di masa depan. Jika tidak terlalu

yakin sebaiknya jangan mengakui pajak tangguhan.

[-]. Aset pajak tangguhan tidak selalu berasal dari “temporary difference”—

dimana laba fiskal lebih besar dibandingkan dengan laba komersial. Sesuai

dengan PSAK 46, asset pajak tangguhan juga bisa terjadi akibat adanya:

Akumulasi rugi pajak belum dikompensasi, yang biasa disebut dengan istilah “Loss

Carry Forward” (LCF); dan

Akumulasi kredit pajak belum dimanfaatkan (jika peraturan perpajakan

mengizinkan.)

Demikian halnya dengan kewajiban pajak tangguhan, juga tidak selalu berasal dari

“temporary differenece”—dimana laba fiskal lebih kecil dibandingkan laba komersial.

Masih ada beberapa kemungkinan penyebab selain “temporary difference”.

Lagipula, pada prakteknya ragam penyebab temporary difference juga sangat banyak—

yang tentunya perlu penghitungan dan pernjurnalan yang berbeda. Tetapi untuk

sementara, seperti sudah saya sampaikan, di tulisan ini saya hanya membahas konsep

dasarnya. Anggaplah ini pengenalan awal.

Di posting-posting berikutnya, saya akan bahas berbagai kemungkinan temporary

difference yang bisa timbul antara laba pajak dengan laba komersial—beserta tips cara

menentukan apakah suatu temporary difference akan menimbulkan deferred tax asset

atau deferred tax liability. Juga kemungkinan proses pemulihan dan penghapusan yang

melewati beberapa tahun fiskal, dengan variasi tarif efektif pajak yang berbeda antara

satu tahun denga tahun lainnya. Tentunya dengan contoh kasus dan penjurnalannya.

Untuk sementara, silahkan pahami konsep dasarnya terlebih dahulu, asah pola pikir

anda agar setiap timbul Utang PPh, pikiran anda otomatis merespon dengan

pertanyaan: (a) apakah ada temporary difference; (b) apakah temporary differencenya

memiliki potensi pemulihan yang tinggi di masa depan; (c) apakah perlu mengakui

Page 13: Men. Pajak Pajak Tangguhan

pajak tangguhan; (d) jika iya, jurnal seperti apa yang diperlukan; (e) bagaimana nanti

proses penghapusannya; (f) dan seterusnya. Itu dulu yang penting.

Untuk variasi dan kompleksitas kasus pajak tangguhan (aset pajak tangguhan

dan kewajiban pajak tangguhan), bisa dikembangkan pelan-pelan. Dan seperti

biasa, JAK selalu ada untuk itu. JAK juga masih suka dan perlu belajar lebih

banyak lagi. Dan akan sangat menyenangkan jika kemampuan teknis dan

manajerial akuntansi, keuangan dan pajak kita terus berkembang. Untuk

sementara, semoga sukses dalam karir dan kehidupan lainnya. Salam dari jauh.

Pengakuan pajak tangguhan (deferred tax), aslinya konsep yang bagus, untuk

memenuhi prinsip kehati-hatiannya akuntansi. Namun, jika kurang hati-hati,

pengakuan ini justru menjadi sumber kerumitan yang berlarut-larut

kebelakangnya. Salah-salah, laporan keuangan menjadi tidak bisa diperaya.

Ada 2 macam Pajak tangguhan:

Liabilitas pajak tangguhan (deferred tax liability); dan

Aset pajak tangguhan (deferred tax asset).

Keduanya bisa menimbulkan konflik berkepanjangan, di dalam laporan keuangan, jika

pengakuan pajak tangguhan tidak didahului oleh pertimbangan yang matang.

Mengapa pengakuan pajak tangguhan berisiko? Apa saja risikonya? Bagaimana

caranya meminimalkan risiko akibat pengakuan pajak tangguhan?Itulah yang akan

saya bahas melalui tulisan ini.

Namun sebelum itu, mari kita overview sedikit mengenai bagaimana proses timbulnya

pajak tangguhan. Dari sana anda bisa melihat potensi konfliknya—sehingga (mudah-

mudahan) bisa menemukan solusi yang bagus.

Page 14: Men. Pajak Pajak Tangguhan

 

Proses Timbulnya Pajak Tangguhan

Pajak tangguhan timbul akibat adanya perbedaan sementara (temporary difference),

antara standar akuntansi dan undang-undang pajak mengenai pengakuan nilai pajak

penghasilan (PPh) perusahaan.

Kemungkinan selisihnya ada 2:

1. Jika PPh menurut standar akuntansi (untuk sementara) LEBIH

BESARdibandingkan dengan yang menurut UU pajak, maka selisihnya diakui

sebagai‘liabilitas pajak tangguhan’ (deferred tax liability). Misalnya:

Laporan komersial PT. JAK (yang disusun berdasarkan standar akuntansi) untuk tahun

2012, nampak sebagai berikut:

Penjualan              = Rp 50,000,000

HPP                          = (Rp 10,000,000)

Biaya-biaya           = (Rp 10,000,000)

Laba Kena Pajak =  Rp 30,000,000

Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 30,000,000 x 10% = Rp 3,000,000

Sedangkan laporan fiskal (yang disusun dengan mengikuti ketentuan UU Pajak),

nampak sebagai berikut:

Penjualan             = Rp 50,000,000

HPP                         = (Rp 15,000,000)

Biaya-biaya           = (Rp 10,000,000)

Laba Kena Pajak = Rp   25,000,000

Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 25,000,000 x 10% = Rp 2,500,000

Sehingga pengakuan PPh menurut standar akuntansi lebih besar Rp 500,000

dibandingkan dengan menurut UU pajak (=3,000,000 – 2,500,000). Selisih yang

Page 15: Men. Pajak Pajak Tangguhan

sebesar Rp 500,000 ini dianggap sebagai potensi kewajiban di masa yang akan datang.

Dalam pengertian, di periode berikutnya kewajiban pajak akan meningkat (ketika HPP

yang saat ini belum diakui menjadi diakui). Prinsip kehati-hatiannya akuntansi

menyebutkan bahwa: “kewajiban yang masih berupa potensi-pun sebaiknya diakui.”

Oleh sebab itu maka selisih tersebut diakui sebagai ‘liabilitas pajak tangguhan’

(deferred tax liability) pada kelompok ‘Liabilitas’ di Neraca.

2. Jika PPh menurut standar akuntansi (untuk sementara) LEBIH

KECILdibandingkan dengan yang menurut UU pajak, maka selisihnya diakui sebagai

‘aset pajak tangguhan’ (deferred tax asset). Misalnya:

Laporan komersial PT. JAK (yang disusun berdasarkan standar akuntansi), nampak

sebagai berikut:

Penjualan              = Rp 50,000,000

HPP                          = (Rp 15,000,000)

Biaya-biaya           = (Rp 10,000,000)

Laba Kena Pajak =   Rp 25,000,000

Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 25,000,000 x 10% = Rp 2,500,000

Sedangkan laporan fiskal (yang disusun dengan mengikuti ketentuan UU Pajak),

nampak sebagai berikut:

Penjualan              = Rp 50,000,000

HPP                         = (Rp 10,000,000)

Biaya-biaya           = (Rp 10,000,000)

Laba Kena Pajak =   Rp 30,000,000

Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 30,000,000 x 10% = Rp 3,000,000

Sehingga pengakuan PPh menurut standar akuntansi lebih kecil Rp 500,000

dibandingkan dengan menurut UU pajak (=3,000,000 – 2,500,000). Selisih yang

sebesar Rp 500,000 ini dianggap sebagai potensi pengurang kewajiban pajak di masa

yang akan datang. Kewajiban pajak berkurang, maka aset meningkat. Oleh sebab itu

Page 16: Men. Pajak Pajak Tangguhan

maka diakui sebagai ‘aset pajak tangguhan’ (deferred tax asset) pada kelompok

“Aset” di Neraca.

Begitulah proses bagaimana pajak tangguhan bisa timbul.

Catatan: Pada contoh kasus di atas kebetulan saya hanya memakai HPP yang menjadi

penyebab selisih PPh. Itu hanya satu contoh kasus. Pada prakteknya, selisih PPh yang

bisa mengakibatkan pengakuan pajak tangguhan juga bisa disebabkan oleh adanya

perbedaan sementara pengakuan penjualan atau biaya-biaya.

 

Mengapa Pengakuan Pajak Tangguhan Berisiko, Dimana Letak Risikonya?

Di satu sisi konsep mengakui pajak tangguhan, terutama yang ‘liabilitas pajak

tangguhan’, sangat bagus, karena laporan keuangan menjadi patuh (compliant)

terhadap prinsip kehati-hatiannya akuntansi. Namun di sisi lainnya, perlu di sadari

bahwa, pengakuan pajak tangguhan bersifat SPEKULATIF.

Bahwa pengakuan pajak tangguhan telah didahului oleh proses kalkulasi, IYA. Tetapi,

bagaimanapun juga, kalkulasi yang dibuat masih berupa estimasi, menggunakan

penilaian (judgment) sendiri—berdasarkan hasil interpretasi mengenai UU pajak—

masih dalam fase self-assessment.

Sementara itu, status pajak (mengenai berapa besarnya kewajiban PPh) baru akan

pasti bila sudah ada ketetapan hukum, setelah official-assessment dari kantor pajak

(DJP). Dan ketetapan pajak dari pihak DJP belum tentu sama dengan perhitungan yang

dipakai dalam menentukan pajak tangguhan.

Lalu, apa risikonya?

Ada 3 risiko utama yang bisa timbul akibat pengakuan pajak tangguhan:

1. Repot – Pajak tangguhan (baik yang liabilitas maupun aset) jelas merepotkan,

karena pengakuan pajak tangguhan bersifat sementara. Artinya, suatu saat nanti—

Page 17: Men. Pajak Pajak Tangguhan

ketika liabilitas atau aset itu benar-benar timbul—harus dihapus. Misalnya: Pada contoh

kasus PT. JAK yang pertama di atas, liabiliast pajak tangguhan Rp 500,000 diakui di

2012, dengan jurnal:

[Debit]. Biaya PPh Badan = Rp 500,000

[Kredit]. Liabilitas Pajak Tangguhan = Rp 500,000

Nantinya, apabila di tahun 2013 (atau setelahnya) selisih tersebut benar-benar menjadi

kewajiban PPh yang harus dibayar, maka liabilitas pajak tangguhan tersebut harus

diakui sebagai utang PPh, dengan jurnal:

[Debit]. Liabilitas Pajak Tangguhan = Rp 500,000

[Kredit]. Utang PPh = Rp 500,000

Nah, dua kali posting bukan?

2. Menggantung dan Menumpuk – Apa ya istilahnya yang lebih bagus? Mungkin

‘nyangsang’ ya bahasa sehari-harinya. Ini yang paling banyak terjadi. Terutama ketika

peusahaan mengakui adanya aset pajak tangguhan (pajak tangguhan yang masuk

kelompok aset). Misalnya: Melanjutkan contoh kasus PT. JAK kedua yang sebelumnya,

aset pajak tangguhan sebesar Rp 500,000 diakui dengan jurnal:

[Debit]. Aset Pajak Tangguhan = Rp 500,000

[Kredit]. Utang PPh = Rp 500,000

Iya kalau di 2013 nantinya benar-benar timbul perbedaan yang mengakibatkan

kewajiban PPh menurun, iya kalau setelah diperiksa oleh DJP memang menghasilkan

ketetapan pajak yang benar-benar lebih kecil, bimana jika tidak? Dibiarkan nyangsang

di Neraca. Yang paling parah, bila penentuan aset pajak tangguhan tidak dilakukan

dengan hati-hati, bisa menggantung bertahun-tahun. Lebih celaka lagi jika bila di 2013

ada pengakuan aset pajak tangguhan yang baru, maka akan semakin menumpuk.

3. Laporan Keuangan Menjadi Tidak Dipercaya – Pengakuan pajak tangguhan (baik

yang berupa liabilitas maupun aset) yang numpuk-numpuk dan tak kunjung terhapus ini

sudah sangat sering saya temui. Jangan salah, pembaca laporan keuangan yang jeli

Page 18: Men. Pajak Pajak Tangguhan

(pemegang saham/kreditur) bisa menangkap keanehan ini. Ini bisa menggerus

kepercayaan pemegang saham dan kreditur terhadap laporan keuangan yang disajikan.

Pengakuan aset atau liabilitas yang menggunakan estimasi, rata-rata, memang

berpotensi mengakibatkan ketidakhandalan laporan keuangan. Terlebih-lebih ketika

estimasi dibuat secara gegabah—tanpa melalui pertimbangan yang matang.

 

Meminimalkan Risiko Akibat Pengakuan Pajak Tangguhan

Sebagai akuntan—terutama yang menyusun laporan keuangan—memang sering

berada di posisi yang serba-salah. Pada kasus pengakuan pajak tangguhan ini

misalnya; di satu sisi kita diharapkan untuk patuh terhadap prinsip-prinsip akuntansi

yang pada dasarnya memang baik. Di sisi lainnya, ada risiko yang bisa timbul ketika

perlakuan akuntansi tidak diterapkan secara hati-hati dan bijak.

Dalam kondisi seperti itu, saya selalu menganjurkan agar berhati-hati, jangan grasa-

grusu. Bagaimanapun juga, trade-off selalu diperlukan; ‘antara menerapkan prinsip-

prinsip akuntansi secara ketat’ dengan ‘risiko yang bisa timbul’. Sebisa mungkin, tentu

kita berusaha agar gap ini bisa diminimalkan—sehingga prinsip akuntansi tidak

dilanggar, risiko juga bisa diminimalkan.

Bagaimana caranya meminimalkan ketiga risiko di atas?

Solusi#1. Gunakan Pertimbangan Yang Matang – Agar tidak terjebak dalam masalah

berlarut-larut di kemudian hari, pertimbangkan masak-masak; antara mengakui atau

tidak mengakui pajak tangguhan. Minimal bisa menggunaka 2 pertimbangan berikut ini:

Materialitas – Seberapa besar potensi kewajiban PPh yang akan timbul di periode

berikutnya (sehingga anda merasa perlu mengakui liabilitas pajak tangguhan),

seberapa besar potensi penurunan PPh yang diperkirakan akan timbul di periode

berikutnya (sehingga anda merasa perlu mengakui aset pajak tangguhan)? (a) Jika

besar, tentu sebaiknya diakui, sebab jika tidak akan mengakibatkan

peningkatan/penurunan PPh yang begitu drastis—sehingga laporan keuangan

Page 19: Men. Pajak Pajak Tangguhan

menjadi nampak aneh; (b) jika kecil, sebaiknya tidak usah diakui—toh tidak terlalu

berpengaruh.

Tingkat kepastiannya – Jika standar akuntansi menggunakan ‘probabilitas’, untuk

amannya pergunakan ‘kepastian’. Dengan kata lain, seberapa pasti timbulnya

kenaikan/penurunan PPh-nya di periode berikutnya? (jangan memakai seberapa

mungkin). Betul, namanya juga belum terjadi, tentu sulit mencari kepastian. Jika

memang demikian, saran saya: Jika tingkat kepastiannya belum mencapai 90%

sebaiknya, jangan mengakui pajak tangguhan. Caranya menentukan tingkat

kepastian? Pindah ke solusi#2

Solusi#2. Libatkan Profesional – Dalam hal ini, konsultan pajak bersertifikat (BKP)

yang sesuai. Menggunakan jasa Trusted Business Advisor (TBA) yang biasanya

disediakan oleh KAP besar, juga bisa. Bagaimanapun juga, mereka lebih mampu

menginterpretasikan isi Undang-Undang PPh dengan lebih baik. Dengan menggunaka

jasa professional, anda bisa memagari diri dari risiko-risiko di atas. Katakanlah ternyata

saran mereka tidak sesuai, anda bisa meminta pertanggungjawaban mereka. Dan

kesalahan menjadi tidak ada pada perusahaan/anda sepenuhnya.

Solusi#3. Sertakan Penjelasan Yang Memadai – Jika pada akhirnya anda mengakui

adanya pajak tangguhan di Laporan Keuangan (Neraca), cara yang paling bagus

adalah menyertakan penjelasan pada lembar “Rincian dan Penjelasan” atau sertakan

Footnote jika penjelasannya singkat. Dengan demikian, pembaca laporan keuangan

(pemegang saham dan kreditur) menjadi tahu mengapa ada pengakuan pajak

tangguhan, dan yang paling penting menjadi tahu bahwa pengakuan pajak tangguhan

menggunakan estimasi—masih berupa potensi kenaikan atau penurunan pajak—yang

bisa mengalami perubahan sesuai dengan faktanya nanti. Sehingga mereka tidak

melihat adanya kecurangan—baik yang disengaja atau tidak.

Itulah, sejauh yang saya tahu, solusi untuk meminimalkan risiko yang bisa timbul akibat

pengakuan pajak tangguhan.

 

Page 20: Men. Pajak Pajak Tangguhan

Rangkuman

Pajak tangguhan adalah potensi kenaikan atau penurunan PPh di masa yang akan

datang, yang diakui di periode pelaporan—akibat adanya perbedaan (selisih) PPh

antara laporan komersial (versi standar akuntansi) dengan fiskal (versi UU Pajak).

Jika potensi itu berupa kenaikan PPh, maka diakui sebagai “liabilitas pajak

tangguhan” (deferred tax liability)—dengan kata lain: diperkirakan akan timbul

kenaikan utang PPh di masa yang akan datang, sebesar liabilitas pajak tangguhan

yang diakui—akibat PPh pada laporan fiskal lebih kecil dari laporan komersial

Jika potensi itu berupa penurunan PPh, maka diakui sebagai “aset pajak

tangguhan” (deferred tax asset)—dengan kata lain: diperkirakan akan terjadi

pengurangan kewajiban PPh di masa yang akan datang, sebesar aset pajak

tangguhan yang diakui—akibat PPh pada laporan fiskal lebih besar dari laporan

komersial.

Karena masih menggunakan penilaian sendiri (self-assessment), maka pengakuan

pajak tangguhan bisa dikatakan bersifat spekulatif, yang bisa saja tidak sesuai

dengan ketetapan dari DJP (setelah dilakukan pemeriksaan).

Pengakuan Pajak tangguhan yang tidak melalui perimbangan yang matang bisa

menimbulkan berbagai risiko bagi akuntan yang menyusun laporan keuangan,

diantaranya: repot (karena harus posting 2 kali), menggantung karena tidak

kunjung terselesaikan (saat kenaikan/penurunan PPh tidak terealisasi), dan bisa

menimbulkan ketidakpercayaan dari pengguna laporan keuangan.

Solusi untuk meminimalkan risiko akibat pengakuan pajak tangguhan: tidak

mengakui pajak tangguhan bila nilainya immaterial atau tingkat kepastiannya tidak

cukup tinggi, libatkan konsultan untuk menilai kelayakan pengakuan, nyatakan

dengan jelas dalam penjelasan laporan keuangan.

Lebih teknis mengenai penghitungan dan penjurnalan pajak tangguhan bisa dibaca di

artikel JAK sebelumnya (Cara Menghitung dan Menjurnal Pajak Tangguhan –

Bagian Pertama).