17
1 REVITALISASI PENCIPTAAN BI'AH LUGHAWIYYAH DALAM PENGEMBANGAN KETERAMPILAN BAHASA ARAB Oleh Muhbib Abdul Wahab خص البحث مل إن تكوينلغوية البيئة ال العربية تمكينثر فيلغ ايئة تؤثر بان الب ، ورينامية ضر الدي المدرسين وال علىعمل جو. غير أن ال على أحسن وربعلغوية ارات اللمهاب من تطوير ا طق البيئة،ت إزاء خللتحديا. وثمة بعض ا أمرا سه حيز الوجود ليسقها علين البيئة وتحقي تكوي منولة الجيدلمحا عدم القدوة وا بينهاة رئاسةية من ىيئت المعنلجهاعلة من الفاركة المشا ة واية والمدركل ال د البشرية ذاتلموارلجامعة ثرية بالك فإن ىذه ا ظفين. ورغم ذ الموب و سين والطجياتيرات نضع است وريا أن ىنا، أصبح ضربيلة. ومنغوية النليق ىذه البرامج اللكفاءة لتحق الفعالة، وة العربية الغوييق البيئة الكاملة في تحق متجتماعية ية وا لغوس علمية وك مبني على أس ذل وثقافيةة، إلى جانب توفيرمتواصل البرامج اليع، ورسمركة الجم، ومشا لوية التقديم من وضع أومساعدة على خلقلية اللماليف التكاء ميزانية ادة وإعطائط المتعدلوسات وا المرافق والتسهي البيئة.Kata Kunci: Revitalisasi, penciptaan lingkungan berbahasa Arab, keteladanan dan komitmen bersama. A. Prolog Senin, 3 Oktober 2005, tampaknya merupakan hari yang cukup bersejarah bagi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karena, pada hari itu, para guru besar bahasa Arab dan Inggris, pimpinan fakultas, para dosen dan mahasiswa dari jurusan PBA dan PBI melakukan launching yang pada intinya bahwa lantai IV merupakan "zona wajib berbahasa asing" (Arab dan Inggris). Meskipun ide penciptaan lingkungan berbahasa asing itu bukan hal baru dalam proses pembelajaran bahasa, launching tersebut setidak-tidaknya mempunyai tiga arti penting sebagai berikut. Pertama, pimpinan fakultas dan sivitas akademika FITK, khususnya jurusan PBA dan PBI, mulai menyadari pentingnya pemahiran bahasa asing secara aktif sebagai sebuah nilai kompetetif bagi calon alumninya. Seperti ditegaskan oleh Prof. Dr. Rosyada, MA., Dekan FITK, bahwa seiring dengan otonomi daerah dan tuntutan globalisasi, setiap daerah harus mempunyai lembaga pendidikan bertaraf internasional. Karena itu, calon guru yang nantinya mengabdikan diri pada lembaga Penulis adalah Dosen PBA FITK Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; kini sedang menyelesaikan program S3 pada almamaternya.

MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

  • Upload
    lamtruc

  • View
    235

  • Download
    7

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

1

REVITALISASI PENCIPTAAN BI'AH LUGHAWIYYAH

DALAM PENGEMBANGAN KETERAMPILAN BAHASA ARAB

Oleh Muhbib Abdul Wahab

ملخص البحثالدينامية ضروري، ألن البيئة تؤثر بالغ األثر في تمكين العربية البيئة اللغوية تكوينإن

طالب من تطوير المهارات اللغوية األربع على أحسن وجو. غير أن العمل على المدرسين والتكوين البيئة وتحقيقها علي حيز الوجود ليس أمرا سهال. وثمة بعض التحديات إزاء خلق البيئة،

ة والمشاركة الفاعلة من الجهات المعنية من ىيئة رئاسة بينها عدم القدوة والمحاولة الجيدمن سين والطالب والموظفين. ورغم ذلك فإن ىذه الجامعة ثرية بالموارد البشرية ذات الكلية والمدر

الكفاءة لتحقيق ىذه البرامج اللغوية النبيلة. ومن ىنا، أصبح ضروريا أن نضع استيراتجيات ذلك مبني على أسس علمية ولغوية واجتماعية متكاملة في تحقيق البيئة اللغوية العربية الفعالة، و

من وضع أولوية التقديم، ومشاركة الجميع، ورسم البرامج المتواصلة، إلى جانب توفير وثقافية المرافق والتسهيالت والوسائط المتعددة وإعطاء ميزانية التكاليف المالية المساعدة على خلق

البيئة.

Kata Kunci: Revitalisasi, penciptaan lingkungan berbahasa Arab, keteladanan dan

komitmen bersama.

A. Prolog

Senin, 3 Oktober 2005, tampaknya merupakan hari yang cukup bersejarah bagi

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Karena, pada hari itu, para guru besar bahasa Arab dan Inggris, pimpinan fakultas,

para dosen dan mahasiswa dari jurusan PBA dan PBI melakukan launching yang

pada intinya bahwa lantai IV merupakan "zona wajib berbahasa asing" (Arab dan

Inggris). Meskipun ide penciptaan lingkungan berbahasa asing itu bukan hal baru

dalam proses pembelajaran bahasa, launching tersebut setidak-tidaknya mempunyai

tiga arti penting sebagai berikut.

Pertama, pimpinan fakultas dan sivitas akademika FITK, khususnya jurusan

PBA dan PBI, mulai menyadari pentingnya pemahiran bahasa asing secara aktif

sebagai sebuah nilai kompetetif bagi calon alumninya. Seperti ditegaskan oleh Prof.

Dr. Rosyada, MA., Dekan FITK, bahwa seiring dengan otonomi daerah dan tuntutan

globalisasi, setiap daerah harus mempunyai lembaga pendidikan bertaraf

internasional. Karena itu, calon guru yang nantinya mengabdikan diri pada lembaga

Penulis adalah Dosen PBA FITK Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;

kini sedang menyelesaikan program S3 pada almamaternya.

Page 2: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

2

pendidikan itu disyaratkan mampu berkomunikasi aktif dalam bahasa Arab dan/atau

Inggris. Jurusan PBA dan PBI FITK diharapkan mampu merespon tuntutan tersebut.

Kedua, komitmen untuk serius membenahi kekurangan kita dalam pembela-

jaran bahasa asing selama ini, yaitu minimnya atmosfer bahasa asing di lingkungan

kampus ini, mulai ditumbuh-kembangkan. Momentumnya pun sangat tepat, seiring

dengan suksesi pimpinan fakultas, yang pada umumnya "berjiwa muda dan

dinamis". Karena itu, menjadi harapan kita semua, sikap istiqâmah kita dalam

berbahasa asing, setidak-tidaknya ketika berada di lantai IV gedung FITK dapat

dikembangkan, dipelihara dan dirawat. Tantangan terbesar dalam penciptaan

lingkungan berbahasa asing, biasanya, bermula dari minimnya keteladanan dari

pihak-pihak yang seharusnya diandalkan, seperti: pimpinan fakultas, ketua-ketua

jurusan dan dosen-dosen bahasa Arab dan Inggris, dan kurangnya pembiasaan

sivitas akademika mendayagunakan bahasa asing sebagai perkuliahan, termasuk

pewajiban penggunaan literatur berbahasa asing. Hal ini, antara lain, disebabkan

oleh pandangan yang kurang tepat dari sebagian dosen, bahwa "perkuliahan dengan

bahasa Indonesia saja belum tentu dapat dipahami secara baik, apalagi dengan

bahasa asing". Menurut penulis, bagaimana "mahasiswa akan bisa berbahasa asing,

kalau para pimpinan dan dosen tidak memulai dan memberi contoh yang baik."

Ketiga, launching tersebut juga meneguhkan persemaian benih-benih

penciptaan lingkungan berbahasa asing yang sudah dirintis sebelumnya oleh Muhbib

dan Suwito di kampus ini, seperti: jum'atan dengan tiga bahasa: Arab, Inggris dan

Indonesia di masjid al-Jâmi'ah yang telah di-launching sejak 2000 oleh Direktur

Ditperta saat itu, Dr. Komaruddin Hidayat, MA., dan penerbitan lembaran jum'at al-

Syarîf (dalam bahasa Arab dan Inggris), Akhbâr al-Jâmi'ah, dan UIN News. Bahkan

jurusan PBA sejak 1987 telah menerbitkan majalah bulanan al-Nasyâth1 sebagai

media eskpresi mahasiswa dan dosen PBA, dan pada tahun berikutnya, beberapa

mahasiswa PBA juga membentuk Forum Ulinnuha sebagai wadah diskusi bulanan

dalam bahasa Arab yang dilangsungkan secara bergantian di rumah beberapa dosen

1 Sebelum majalah ini terbit, terlebih dahulu diterbitkan sebuah majalah dinding berbahasa

Arab, "al-Nasyâth". Penerbitan majalah ini sebetulnya dimotivasi oleh Prof. Dr. HD. Hidayat, MA.

(Ketua Jurusan Bahasa Arab saat itu), yang pada masanya juga sudah pernah menerbitkan majalah

dengan nama yang sama. Majalah ini sempat terbit 7 edisi secara berturut-turut (Agustus 1987-

Pebruari 1988), kemudian terbit dua edisi lagi, lalu sempat "mati suri", lalu reinkarnasi satu edisi,

"mati suri" kembali, dan al-hamdulillâh reinkarnasi lagi dalam dua edisi pada 2005 (pada masa Prof.

Dr. Aziz Fachrurrozi, sebagai Ketua Jurusan).

Page 3: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

3

PBA, seperti: Dr. Mohammad Matsna, MA. dan Almarhum Drs. Muhammad

Mansur.

Dengan demikian, benih-benih penciptaan lingkungan berbahasa Arab di FITK

ini sesungguhnya sudah lama ditanam, namun pertumbuhan dan perkembangannya

mengalami pasang-surut. Persoalananya kemudian adalah: "Bagaimana upaya

penciptaan lingkungan bahasa Arab di FITK maupun di UIN ini dapat direvitalisasi

dan dikembangkan menjadi sebuah model yang dapat memahirkan sivitas

akademika PBA dan lainnya, sehingga jurusan ini dapat menjadi percontohan dalam

pengembangan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia?" Tulisan ini dimaksudkan

untuk menjawab permasalahan tersebut dengan dilandasi oleh sebuah asumsi dasar

bahwa "kita belum terlambat untuk menciptakan suasana lingkungan berbahasa

Arab di kampus ini, jika kita semua berkomitmen untuk itu."

B. Lingkungan sebagai Subsistem Pembelajaran

Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan menentukan keberhasilan

proses pembelajaran adalah lingkungan (environment, bî’ah), tak terkecuali

lingkungan berbahasa. Keberadaan lingkungan berbahasa Arab menjadi sangat

penting karena ia selalu hadir, melingkupi, memberi nuansa dan konteks

pembelajaran bahasa Arab itu sendiri. Jika lingkungan tempat pembelajaran bahasa

Arab itu kondusif, niscaya proses pembelajaran juga berlangsung kondusif.

Sedemikian pentingnya lingkungan pembelajaran itu, sehingga Nabi Muhammad

saw. mengilustrasikan bahwa lingkungan keluarga itu dapat merubah keyakinan dan

agama seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan itu. Sabda Nabi saw.:

―Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah (lingkungan

keluarga) yang kemudian menjadikan anak itu beragama Yahudi, Nashrani, atau

Majusi…” (HR Muslim).2

Menurut hasil penelitian Ahmad ibn Abd al-Rahmân al-Sâmarra'î, tingkat

pencapaian pengetahuan melalui indera penglihatan mencapai 75%, sementara

melalui indera pendengaran hanya 13%. Sedangkan melalui indera lain, seperti

pengecapan, sentuhan, penciuman, pengetahuan hanya dapat diperoleh sebesar 12%.

2Lihat Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj, Mukhtashar Shahîh al-Muslim, Tahqîq

Muhammad Nâshir al-Dîn al-Bânî, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 2000), Cet. I, hadîts No. 1803.

Page 4: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

4

Lingkungan pembelajaran yang dilengkapi dengan gambar-gambar memberikan

dampak 3 (tiga) kali lebih kuat dan mendalam daripada kata-kata (ceramah).

Sementara jika gambar dan kata-kata dipadukan, maka dampaknya enam kali lebih

kuat daripada kata-kata saja.3 Karena itu, lingkungan pendidikan yang berbahasa

Arab diyakini memainkan peran penting dalam menunjang efektivitas pembelajaran

bahasa Arab di lembaga pendidikan. Lingkungan berbahasa Arab tidak hanya dapat

menjadi sumber dan motivasi belajar, melainkan juga menjadi aset dan kebanggaan

lembaga pendidikan itu sendiri dalam menunjukkan citra positif dan keunggulan

kualitasnya.

Beberapa penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan ('alâqah dâllah) antara lingkungan bahasa dan kemampuan

berbahasa kedua. Carol, Upshur, dan Mason meneliti sejumlah mahasiswa asing di

Amerika Serikat yang mengikuti kuliah tambahan bahasa Inggris dan yang tidak

mengikuti kuliah tambahan. Ternyata pada akhir semester, kemampuan berbahasa

Inggris kedua kelompok mahasiswa itu hampir sama. Penelitian Krashen juga

membuktikan bahwa lingkungan formal dan informal mempengaruhi kemampuan

berbahasa asing dalam cara yang berbeda. Lingkungan informal memberikan

masukan bagi pemerolehan bahasa (iktisâb al-lughah, language acquisition),

sedangkan lingkungan formal memberikan masukan bagi monitor (menyunting dan

memperbaiki wacana kebahasaan yang telah dimiliki melalui pemerolehan). Akan

tetapi, kontak dengan suatu bahasa dalam lingkungan informal tidak menjamin

kemampuannya dalam berbahasa itu bertambah, kecuali kalau mahasiswa terlibat

dalam penggunaan bahasa itu.4

Ibarat sebuah komplek perumahan, lingkungan bisa menjadi salah satu ―nilai

jual‖ yang tinggi. Sebelum dibentuk dan diciptakan sedemikian rupa, lahan yang

menjadi pemukiman itu semula boleh jadi rawa, tempat ―jin buang anak‖, atau

tempat yang ―menyeramkan‖. Namun, setelah diolah, ditata dan dikembangkan

dengan berbagai nuansa, seperti: nuansa Bali, nuansa Espanyola, nuansa Belanda

dan sebagainya, lingkungan perumahan itu -sebut saja misalnya: Pondok Indah,

3Ahmad ibn 'Abd al-Rahmân al-Samirra'i, Ajhijah al-'Ardh al-Hâithiyyah, dalam

http://www. Tarbawi.com. 4 Lihat Ahmad Fuad Effendy, "Pendekatan Komunikatif untuk Menciptakan Lingkungan

Bahasa Arab (Bî'ah 'Arabiyyah) di Madrasah", Makalah disampaikan dalam Pelatihan Bahasa Arab

Bagi Guru Bahasa Arab di Madrasah, Jakarta, Oktober 2004.

Page 5: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

5

Permata Simprug, Bali View, Telaga Golf Sawangan— kemudian nilai jual tanah

dan bangunannya menjadi sangat tinggi dan mahal. Mereka yang berduit tertarik

untuk membeli kapling atau rumah tinggal di sana, meskipun harus mengeluarkan

biaya yang tidak sedikit. Jadi, penataan dan pengelolaan lingkungan pendidikan

bahasa Arab yang sehat dan kondusif akan menjadi daya tarik dan nilai jual yang

tinggi dari lembaga pendidikan tersebut. Karena itu, penciptaan lingkungan

berbahasa Arab perlu mendapat perhatian serius dan pengelolaan yang profesional

dan optimal.

Dalam konteks itu, perlu ditegaskan bahwa tujuan utama penciptaaan

lingkungan berbahasa Arab, tentu, bukan untuk mereduksi "nasionalisme" sebagai

warga bangsa, melainkan menumbuhkan tradisi positif dalam belajar bahasa Arab

aktif. Tujuan penciptaan lingkungan berbahasa Arab, tidak lain, adalah: (1) untuk

membiasakan dan membisakan sivitas akademika dalam memanfaatkan bahasa

Arab secara komunikatif, melalui praktik percakapan (muhâdatsah), diskusi

(munâqasyah), seminar (nadwah), ceramah (muhâdharah) dan berekspresi melalui

tulisan (ta'bîr tahrîrî); (2) memberikan penguatan (reinforcement) pemerolehan

bahasa Arab yang sudah dipelajari dalam kelas, sehingga para mahasiswa lebih

memiliki kesempatan untuk mempraktikkan bahasa Arab; dan (3) menumbuhkan

kreativitas dan aktivitas berbahasa Arab yang terpadu antara teori dan praktik dalam

suasana informal yang santai dan menyenangkan.5 Singkatnya, tujuan utama

penciptaan lingkungan berbahasa Arab adalah meningkatkan kemampuan dan

keterampilan mahasiswa, dosen dan lainnya dalam berbahasa Arab secara aktif, baik

lisan maupun tulisan, sehingga proses pembelajaran bahasa Arab di kampus ini

menjadi lebih dinamis, efektif dan bermakna.

C. Revitalisasi Lingkungan Berbahasa Arab

Lingkungan pendidikan (educational environment) merupakan bagian

integral dari sistem pendidikan itu sendiri. Karena itu, para pengelola pendidikan,

guru, karyawan dan stakeholder (pengguna jasa pendidikan) harus memperlakukan

lingkungan pendidikan sebagai faktor yang sangat determinan, meskipun bukan

5 Diadaptasi dari Hasan Ja'far al-Khalîfah, Fushûl fî Tadrîs al-Lughah al-'Arabiyyah, (Riyadh:

Maktabah al-Rusyd, 2003), Cet. II, h. 373-4.

Page 6: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

6

satu-satunya faktor penentu. Keberadaan lingkungan pendidikan merupakan ―mata

rantai‖ dari perjalanan panjang proses pembelajaran.

Beberapa ahli pendidikan membagi lingkungan menjadi tiga bagian, yaitu:

(1) lingkungan keluarga, (2) lingkungan sekolah dan (3) lingkungan masyarakat6.

Jika ketiga lingkungan tersebut dipandang sebagai satu kesatuan, maka pengelolaan

dan penciptaan lingkungan tidak hanya terbatas pada lingkungan di sekolah.

Lingkungan keluarga dan masyarakat harus dilibatkan dan disinergikan dengan

lingkungan pendidikan di sekolah.

Oleh karena itu, muncullah gagasan revitalisasi pendidikan berbasis

masyarakat. Inti gagasan ini adalah bagaimana masyarakat, termasuk keluarga,

dilibatkan dan diberi ruang partisipasi dalam memecahkan berbagai persoalan yang

dihadapi oleh lembaga pendidikan maupun pemerintah, karena pendidikan pada

dasarnya adalah milik masyarakat, bukan milik pemerintah. Masyarakat perlu

dilibatkan dalam perumusan visi, misi, tujuan dan program-program lembaga

pendidikan. Masyarakat adalah sumber belajar; semua potensi dan daya yang

dimiliki oleh masyarakat dapat menjadi lingkungan yang memberikan andil besar

dalam pencerdasan warga bangsa. Gagasan semacam ini, tentu saja, sangat menarik,

karena sinergi dan kerjasama berbagai pihak/lingkungan tersebut diharapkan dapat

melahirkan masyarakat belajar (learning society).7

Selain itu, ada juga yang mengklasifikasikan lingkungan menjadi empat

kategori, yaitu: (1) lingkungan manusia, meliputi: keluarga, teman bermain,

tetangga, guru, teman sekolah dan sebagainya; (2) lingkungan kesenian, meliputi:

berbagai: pertunjukan, gambar, wayang, sandiwara, film, sinetron, dsb.; (3)

lingkungan kesusastraan/budaya, meliputi: koran, majalah, buku, bacaan, kondisi

sosial-budaya, politik, dsb.; dan (4) lingkungan fisik/tempat, meliputi: tempat

sekolah, rumah tinggal peserta didik, iklim, cuaca, dan sebagainya.8

Dalam konteks pengembangan lingkungan berbahasa Arab, setidak-tidaknya,

ada 5 macam lingkungan yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.

Pertama, lingkungan pandang dan penglihatan (al-bî'ah al-mar'iyyah). Lingkungan

6Sutari Imam Barnadib, Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), Cet.

XV, h. 118. 7 Indra Djadi Sidi, Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan,

(Jakarta: Paramadina dan Logos, 2001), h. 4-8. 8 Sutari Imam Barnadib, Loc.cit.

Page 7: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

7

ini dapat berupa gambar, liflet, pengumuman, majalah dinding dan papan informasi,

yang kesemuanya berisi tulisan Arab yang mendukung. Idealnya, lantai IV FITK

harus disterilkan dari tulisan yang tidak berbahasa Arab dan Inggris. Penulis

membayangkan bahwa ruang belajar di lantai empat itu berisi gambar peta, sketsa

sejarah peradaban Islam, jaringan ulama Nahwu, bagan klasifikasi ilmu bahasa Arab

dan sebagainya yang ditulis dalam bahasa Arab. Bahkan, tidak mustahil, setiap

kelas dilengkapi dengan: koran-koran dan majalah-majalah berbahasa Arab.9

Kedua, lingkungan pendengaran dan visual (al-bî'ah al-sam'iyyah wa al-

mar'iyyah), yaitu: lingkungan yang memungkinkan sivitas akademika mende-

ngarkan: khuthbah, pengumuman, perkuliahan, musik, siaran radio dan TV yang

memungkinkan mereka terlatih menyimak secara langsung bunyi bahasa Arab,

terutama dari native speaker. Dalam konteks ini, saya membayangkan FITK

mempunyai media pengeras suara (idzâ'ah) internal pada lantai empat, yang secara

periodik atau dalam waktu tertentu, dapat digunakan untuk memberikan informasi,

pengumuman, atau kultum dalam bahasa Arab kepada sivitas akademika. Bahkan,

sangat mungkin suatu saat nanti, setiap kelas dilengkapi dengan TV yang

menyiarkan siaran berita, sinetron, atau drama berbahasa Arab. Jika "mimpi" ini

dapat terwujud di kemudian hari, maka dosen istimâ', muhâdatsah dan insyâ' akan

sangat terbantu dan perkuliahannya bisa lebih efektif dan menyenangkan. Demikian

pula, jika FITK di kemudian hari memiliki idzâ'ah jâmi'iyyah, maka para dosen

maupun mahasiswa akan semakin terlatih mendengar, menyampaikan informasi,

pengumuman, dan siaran dengan lebih baik. Idzâ'ah ini pada hari dan jam tertentu

dapat juga diisi dengan pembacaan ayat-ayat suci al-Qur'an dan hadits Nabi saw.,

sehingga suasana kampus menjadi lebih teduh dan mendamaikan hati, atau dapat

mengoptimalkan kecerdasaran spiritual bagi semua. Singkatnya, keberadaan idzâ'ah

ini, sangat penting untuk melatih para mahasiswa dapat mendengar, mengek-

spresikan dan mengoptimalkan kemampuan dan keterampilan berbicara secara

thalâqah (lancar dan baik).10

9 Agaknya tidak terlalu sulit mendapatkan koran dan majalah berbahasa Arab. Beberapa

kedutaan besar negara-negara timur tengah di Jakarta, seperti: Uni Emirat Arab, Arab Saudi,

Lebanon, Suriah dan Kuwait, biasanya kesulitan "membuang" koran bekas mereka, sehingga –asal

kita rajin berkunjung ke kantor mereka, dipastikan kita dapat memanfaatkan "koran-koran" itu untuk

kepentingan penciptaan lingkungan pandang/baca berbahasa Arab. 10

Bandingkan dengan Hasan Syahâtah, Ta'lîm al-Lughah al-'Arabiyyah Baina al-Nazhariyyah

wa al-Tathbîq, (Kairo: al-Dâr al-Mishriyyah al-Lubnâniyyah, 1996), Cet. III, h. 392-4.

Page 8: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

8

Ketiga, lingkungan pergaulangan atau interaksi belajar-mengajar. Dosen-

mahasiswa-pimpinan dan semua karyawan dalam berkomunikasi lisan satu sama

lain idealnya mengutamakan bahasa Arab. Belajar dari pesantren modern Gontor

atau LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab), tampaknya kekurangan

kita adalah pembiasaan menggunakan bahasa Arab secara aktif, baik sebagai bahasa

perkuliahan maupun sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, minimal di zona wajib

berbahasa asing (lantai IV FITK).

Keempat, lingkungan akademik, yakni: adanya kebijakan secara makro

universitas, bukan hanya mikro FITK, mengenai pewajiban penggunaan bahasa

asing pada hari tertentu bagi sivitas akademika UIN, misalnya Jum'at. Demikian

pula, sudah saatnya, FITK menginisiasi dan memotivasi para mahasiswa untuk

mengembangkan kreativitas mereka dalam berbahasa asing, pada hari dan jam

tertentu, misalnya Jum'at dari jam 07.30-08.30, untuk berlatih: debat, pidato, latihan

membaca berita dan menyanyi dalam bahasa Arab, secara terbuka.

Kelima, lingkungan psikologis yang kondusif bagi pengembangan bahasa

Arab. Hal ini dapat dimulai dengan pembentukan citra positif di mata sivitas

akademika FITK. Cara yang dapat ditempuh, antara lain: (1) memberikan penjelasan

kepada para mahasiswa secara obyektif, realistis dan tidak melebih-lebihkan, tentang

peranan bahasa Arab sebagai bahasa agama Islam, bahasa ilmu pengetahuan, bahasa

komunikasi internasional (bahasa resmi PBB sejak 1973), dan perannya dalam

pembentukan [sekitar 13% kosakata] bahasa Indonesia; (2) menjelaskan manfaat

memiliki keterampilan berbahasa Arab dalam kehidupan pribadi, sosial dan dunia

kerja, serta tuntutan globalisasi. Penjelasan tersebut akan mempunyai dampak

psikologis yang kuat jika didukung dengan fakta-fakta dan data kuantitatif yang

meyakinkan; dan (3) menampilkan model pembelajaran bahasa Arab yang menarik,

membangkitkan motivasi serta menyenangkan dan bermanfaat bagi mahasiswa.11

Dari uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa lingkungan dalam arti luas

perlu direvitalisasi, agar semua potensi dan sumber belajar dapat dimanfaatkan dan

dioptimalkan untuk kepentingan peningkatan mutu pendidikan bahasa Arab itu

sendiri.12

Persoalan kita selanjutnya adalah: ―Bagaimana kita mendesain, mengelola

11

Ahmad Fuad Effendy, Loc.cit. 12

Conny Semiawan, dkk., Pendekatan Keterampilan Proses: Bagaimana Mengaktifkan Siswa

dalam Belajar, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 96-97.

Page 9: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

9

dan menciptakan lingkungan pendidikan terpadu yang kondusif bagi pembelajaran

bahasa Arab di FITK UIN ini?‖

D. Prasyarat dan Prinsip-prinsip Pengembangan Lingkungan Berbahasa Arab

Diyakini bahwa menciptakan lingkungan berbahasa Arab yang kondusif

tidak mudah. Karena itu, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi terlebih

dahulu. Pertama, adanya sikap dan apresiasi positif terhadap bahasa Arab dari

pihak-pihak terkait, yaitu: dosen bahasa Arab sendiri, ketua jurusan PBA, pimpinan

fakultas, mahasiswa dan warga kampus lainnya. Sikap dan apresiasi positif

mempunyai implikasi yang besar terhadap pembinaan dan pengembangan

keterampilan berbahasa. Dari sikap dan apresiasi positif inilah akan tumbuh

motivasi dan "rasa butuh" yang tinggi. Dalam konteks ini, Douglas menjelaskan

bahwa motivasi tersebut akan melahirkan: (a) rasa butuh untuk menemukan sesuatu

"di balik gunung", (b) rasa butuh berbuat dalam lingkungan kondusif dan melakukan

perubahan, (c) rasa butuh untuk beraktivitas (praktik berbahasa), (d) rasa butuh

untuk menggerakkan orang lain agar giat dalam berbahasa, (e) rasa butuh untuk

mengetahui dan memecahkan persoalan dan (f) rasa butuh untuk aktualisasi diri dan

adaptasi terhadap lingkungan berbahasa.13

Kedua, adanya "aturan main" atau pedoman yang jelas mengenai format dan

model pengembangan lingkungan bahasa Arab yang dikehendaki oleh fakultas.

"Aturan main" ini menjadi sangat penting untuk "mengikat komitmen" dan

menyatukan visi dan tekad bersama untuk mengembangkan lingkungan berbahasa

Arab. Sedapat mungkin aturan main itu dapat disosialisasikan sejak mahasiswa baru

mulai menginjakkan kaki di kampus ini agar mereka mempunyai sikap dan apresiasi

yang positif terhadap bahasa Arab. Jika dipandang perlu, dalam aturan itu juga

dibentuk semacam "mahkamah al-lughah" yang berfungsi sebagai pemantau,

pengawas kedisiplinan berbahasa Arab, sekaligus pemutus dan pengekskusi

"hukuman-hukuman tertentu" bagi pelanggar kesepakatan bersama.

Ketiga, adanya beberapa figur yang mampu berkomunikasi dengan bahasa

Arab aktif. Keberadaan dosen native speaker (nâthiq bi al-lughah al-'Arabiyyah)

13

Brown H. Douglas, Usus Ta'allum al-Lughah wa Ta'lîmuhâ, Terj. dari The Principles of

Language Teaching, oleh 'Abduh al-Rajihî dan 'Alî 'Alî Ahmad Sya'ban, (Beirut: Dar al-Nahdhah al-

'Arabiyyah, 1994), h. 143.

Page 10: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

10

tampaknya harus dioptimalkan fungsi dan perannya dalam mewarnai pembinaan dan

pengembangan keterampilan bahasa Arab. Figur-figur itu merupakan penggerak

utama dan tim kreatif dalam mendinamisasi penciptaan lingkungan berbahasa Arab.

Dalam konteks ini, kita dapat belajar dari Ma'had Ta'lim al-Lughah al-Arabiyyah li

al-Ajânib di Damaskus Suriah, yang menerima dan membuka kelas internasional.

Para mahasiswa dari berbagai belahan dunia itu ketika belajar di dalam kompleks

lembaga pendidikan ini selalu dipandu, dilatih dan dibiasakan berbicara dengan

bahasa Arab, meskipun mereka baru pertama kali tiba di Suriah. Tidak jarang, anak-

anak dan remaja-remaja Suriah diajak berkumpul dan bergaul dengan para

mahasiswa baru tersebut. Menurut penuturan direkturnya, Dr. Ibrahim Mahmud –

yang pernah sekelas dengan Prof. Dr. HD. Hidayat, MA. sewaktu studi di Khourtum

Sudan- dalam waktu 3 bulan mereka sudah lancar berbicara dalam bahasa Arab

harian, dan dalam waktu 6 bulan mereka sudah bisa membaca dan memahami koran

bahasa Arab.14

Keempat, penyediaan alokasi dana yang memadai, baik untuk pengadaan

sarana dan prasarana yang mendukung maupun untuk memberikan "insentif" bagi

para penggerak dan tim kreatif penciptaan lingkungan berbahasa Arab. Sudah

saatnya eksistensi jurusan –sebagai ujung tombak akademik di fakultas— lebih

diberdayakan, termasuk sudah saatnya tunjangan ketua dan sekretaris jurusan itu

setara atau "beda-beda tipis" dengan pembantu dekan, karena tanggung jawab

akademik dan beban kerja mereka cukup berat. Lebih dari itu, jika kita telah mampu

membangun gedung yang cukup "mewah" seperti sekarang ini, mengapa kita tidak

bisa membangun sistem penciptaan lingkungan bahasa Arab yang dapat dijadikan

"pilot project". Penulis membayangkan jika proyek ini berhasil, maka "fakultas-

fakultas lain" di lingkungan UIN atau perguruan tinggi lain akan banyak belajar dari

kita. Hal ini berarti, FITK –sesuai dengan posisi gedungnya yang paling depan di

kampus UIN ini— mampu tampil terdepan dalam reformasi sistem pendidikan

Islam, termasuk pendidikan bahasa Arab.

14

Penuturan tersebut penulis peroleh melalui studi banding ke lembaga tersebut –bersama Dr.

Abdul Wahib Mu'thi dan Drs. Abdullah, MA.— ketika berada di Damaskus (2002). Penulis sendiri

sempat melakukan pengamatan terlibat dengan mengikuti beberapa sessi perkuliahan dengan para

mahasiswa baru dan sekaligus bergaul dengan beberapa mahasiswa asal Rusia, Cina, Jerman, Turki,

Malaysia, Perancis, dan sebagainya.

Page 11: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

11

Adapun prinsip-prinsip penciptaan lingkungan berbahasa Arab yang perlu

dijadikan sebagai landasan pengembangan sistem pembelajaran bahasa Arab adalah

sebagai berikut. Pertama, prinsip keterpaduan dengan visi, misi dan orientasi pem-

belajaran bahasa Arab pada PBA. Penciptaan lingkungan berbahasa Arab harus

diletakkan dalam kerangka mendukung pencapaian tujuan pembelajaran bahasa

Arab dan pemenuhan suasana yang kondusif bagi pendayagunaan bahasa Arab

secara aktif.

Kedua, prinsip skala prioritas dan gradasi program. Implementasi penciptaan

lingkungan berbahasa Arab harus dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan

skala prioritas tertentu. Misalnya, ketika warga lantai IV FITK saling bertemu,

diharapkan masing-masing bisa bertegur sapa: dengan mengucapkan ahlan wa

sahlan, shabâh al-khair, kaifa hâluk, mâdzâ tadrus al-yaum, ila al-liqâ', dsb.

Demikian pula, perkuliahan yang memungkinkan dilakukan dengan bahasa Arab,

seperti: nahwu, sharaf, balâghah, muthâla'ah, insyâ', dan sebagainya, sudah saatnya

dilakukan dengan bahasa Arab, meskipun tidak sampai 100%. Penciptaan

lingkungan pandang dan visual (seperti: pengumuman tertulis, undangan, majalah

dinding, koran bahasa Arab, dsb.) sudah dapat diwujudkan dalam waktu dekat.

Ketiga, kebersamaan dan partisipasi aktif semua pihak. Kebersamaan dalam

berbahasa asing, secara psikologis dapat memberikan nuansa yang kondusif dalam

berbahasa, sehingga mahasiswa yang tidak bisa berkomunikasi akan merasa malu,

kemudian berusaha untuk bisa dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Secara

psikolinguistik, lingkungan pergaulan dalam berbahasa berpengaruh cukup signifi-

kan dalam pembentukan kesadaran berbahasa asing.15

Keempat, prinsip konsistensi dan keberlanjutan. Yang paling sulit dalam

penciptaan lingkungan berbahasa adalah sikap konsisten (istiqâmah) dari komunitas

bahasa itu sendiri. Karena itu, diperlukan adanya sebuah sistem yang

memungkinkan satu sama saling mengontrol dan membudayakan penggunaan

bahasa Arab secara aktif. Boleh jadi, penciptaan lingkungan dimaksud mengalami

kejenuhan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya program berkelanjutan yang bersifat

varitif dan kreatif dalam menciptakan suasana yang kondusif.

15

Baca Nâzik Ibrâhîm 'Abd al-Fattâh, Musykilât al-Lughah wa al-Takhâthub fî Dhau' 'Ilm

al-Lughah al-Nafsî, (Kairo: Dâr Quba', 2002).

Page 12: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

12

Kelima, prinsip pendayagunaan teknologi dan multi-media. Di antara yang

dapat membuat lingkungan berbahasa Arab adalah teknologi informasi dan

pendayagunaan multi-media. Keberadaan TV yang dapat memancarkan siaran dari

Timur Tengah perlu dioptimalkan penggunaannya. Dipandang perlu juga dosen dan

mahasiswa diberikan akses untuk menggunakan internet, terutama yang berbasis di

negara-negara Arab, agar kita dapat memperoleh –dan meng-update—informasi

aktual mengenai bahasa Arab, dan pada gilirannya, kita dapat memperkenalkan kosa

kata-kosa kata baru untuk konsumsi warga lantai IV FITK.

E. Strategi Pengembangan Lingkungan Berbahasa Arab

Wacana penciptaaan dan pengembangan lingkungan berbahasa Arab

sesungguhnya sudah lama mengemuka dalam pentas pendidikan bahasa Arab di

Indonesia, terutama di lingkungan perguruan tinggi. Namun, yang memprakarsai

dan merealisasikan good will ini belumlah banyak. Sebut saja baru beberapa

lembaga pendidikan pesantren, madrasah dan perguruan tinggi. Dalam konteks ini,

kita mungkin perlu belajar kepada Ma’had Darussalam Gontor mengenai

keberhasilannya dalam menciptakan bi’ah ‘Arabiyyah, sehingga sebagian besar

alumninya mampu berkomunikasi aktif dalam bahasa Arab.

Lingkungan berbahasa Arab yang ideal adalah lingkungan yang

memungkinkan para mahasiswa, dosen, dan lainnya merasa enjoy, fun and happy

dalam belajar bahasa Arab, sehingga kesan dan ―citra negatif‖ selama ini bahwa

"bahasa Arab itu sulit dipelajari" dapat dieliminasi. Jika kesan dan citra negatif itu

tidak lagi "menghantui" pikiran para mahasiswa, niscaya belajar bahasa Arab itu

menjadi sebuah proses yang menyenangkan dan memberikan arti penting. Dalam

konteks ini, optimalisasi motivasi dari lingkungan pergaulan, terutama dari para

dosen, menjadi sangat penting dan menentukan dinamika pembelajaran bahasa Arab.

Kendala dan tantangan yang selama ini dikeluhkan dalam penciptaan

lingkungan bahasa Arab adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan

sumber dana. Kendala ini sesungguhnya sudah amat klasik, karena segala sesuatu

tidak dimulai dari ketersediaan SDM dan dana yang melimpah. Keberhasilan itu

harus muncul dari prakarsa dan good will salah seorang atau beberapa orang yang

mempunyai komitmen dan konsen terhadap bahasa Arab itu sendiri. Idealnya belajar

Page 13: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

13

bahasa Arab itu memang berada di lingkungan native speaker, namun hal ini sulit

diwujudkan, kecuali seperti di LIPIA Jakarta atau di negara-negara Arab sendiri.

Pondok Modern Gontor –dalam batas tertentu- berhasil menciptakan

lingkungan berbahasa Arab karena dipelopori Trimurti (Sahal, Zarkasyi dan Fanani)

yang –terutama Zarkasyi— setelah mendapat ―pencerahan pendidikan‖ dari

Mahmud Yunus di Padang, berkomitmen kuat untuk menerapkan metode langsung

(tharîqah al-mubâsyarah, direct method) secara konsisten di pesantren yang baru

didirikannya. Prakarsa dan keteladanan para pendidik bahasa Arab inilah tampaknya

yang menjadi ―kunci keberhasilan‖ dalam penciptaan lingkungan berbahasa Arab.

Oleh karena itu, strategi awal yang perlu diambil dalam rangka

pengembangan lingkungan pendidikan berbahasa Arab adalah: pertama, perumusan

visi, misi dan orientasi pembelajaran bahasa Arab di UIN dan FITK. Pengembangan

sistem pembelajaran yang efektif di FITK itu harus dimulai dengan perumusan visi,

misi dan orientasi yang jelas, agar sivitas akademikanya mempunyai komitmen dan

kesungguhan yang optimal dalam mengembangkan bahasa Arab.

Kedua, komitmen kuat dari pada tenaga pendidikan bahasa Arab dan

pimpinan fakultas untuk melakukan perubahan lingkungan. Penciptaan bî’ah

‘Arabiyyah mustahil dilakukan oleh beberapa orang dosen saja. Semua pihak yang

ada di FITK harus mempunyai visi, misi, komitmen dan kepedulian yang sama

dalam mengembangkan sistem pembelajaran bahasa Arab, sehingga proses

penciptaan lingkungan berbahasa Arab menjadi program bersama yang menuntut

upaya kolektif dan kreatif dalam realisasinya.

Ketiga, peninjauan kembali kurikulum bahasa Arab secara menyeluruh,

dengan maksud agar pembelajaran bahasa Arab di FITK dapat lebih diintensifkan.

Jika selama ini jam belajar bahasa Arab hanya 4-6 sks (2-3 semester, dengan

frekuensi 1x tatap muka per minggu, maka dapat ditingkatkan menjadi 8-10 sks,

sehingga suasana kearaban mulai terlihat. Jadi, mustahil menciptakan lingkungan

berbahasa di kampus ini tanpa dibarengi dengan intensifikasi program bahasa Arab,

baik melalui intra-kurikuler maupun ekstra-kurikuler.

Keempat, perlu ada kebijakan dari pimpinan FITK berupa: penetapan hari

khusus, misalnya Jum’at, sebagai hari wajib berbahasa Arab bagi mahasiswa dan

dosen bahasa Arab. Program ―Jum’ah ‘Arabiyyah‖ merupakan awal penciptaan

Page 14: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

14

nuansa kebahasaaraban, sehingga di hari itu, pengumuman, informasi, bahkan

khutbah Jum’at di lingkungan kampus ini disampaikan dalam bahasa Arab.16

Kelima, berbagai kegiatan yang bernuansa kebahasaaraban, seperti: diskusi,

ceramah (dengan mengundang native speaker atau pakar misalnya), seminar dalam

bahasa Arab, penerbitan majalah dinding atau jurnal bahasa Arab, perlu digalakkan,

sehingga dosen atau mahasiswa terbiasa mendengar [dan pada gilirannya berbicara

dan menulis] dalam bahasa Arab. Jika memungkinkan, guru dapat lebih

meningkatkan porsi penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa belajar mengajar di

dalam kelas maupun di luar kelas.

Keenam, lomba-lomba yang berbahasa Arab, seperti: lomba pidato, cerdas

cermat, karya tulis, drama, komunikata Arab, debat, dan sebagainya juga perlu

diprogram secara berkala, sehingga para mahasiswa dan dosen dapat lebih

meningkatkan kemampuan dan kemahirannya dalam berbahasa Arab.

Ketujuh, penyediaan sarana dan media pembelajaran bahasa Arab yang lebih

memadai, seperti: laboratorium, antena parabola yang dapat mengakses siaran TV

dari beberapa negara di Timur Tengah, seperti: Arabsat, siaran al-Jazeera, al-

Arabiyya, al-Manar, dan sebagainya. Dengan begitu, dapat diciptakan suasana baru:

menonton TV sambil belajar bahasa Arab. Sarana perpustakaan juga perlu

dilengkapi dengan koran-koran dan majalah-majalah, di samping buku-buku dan

kamus-kamus, yang berbahasa Arab, sehingga tidak tertutup kemungkinan proses

pembelajaran bahasa Arab –sesekali— dipindahkan ke dalam ruang perpustakaan.

Kedelapan, ke depan, konsep fakultas model yang berasrama (boarding

school) dapat lebih dioptimalkan fungsi dan nilai strategisnya dalam penciptaaan

lingkungan berbahasa Arab, karena pembina/pengelola dan mahasiswa berada dalam

satu lingkungan, sehingga manajemen dan kontrol lingkungan dapat di-set up

sedemikian rupa sesuai program FITK yang diharapkan. Keberadaan asrama

mahasiswa tampaknya dapat didayagunakan sebagai "proyek percontohan" dalam

penciptaan lingkungan berbahasa asing di kampus ini.

Kesembilan, peningkatan kerjasama, baik internal antara pimpinan, dosen,

karyawan, mahasiswa dan masyarakat sekitar, maupun eksternal dengan lembaga-

16

Lalu A. Busyairi, Pengembangan Penciptaan Bi’ah Pembelajaran Bahasa Arab, Makalah

Disampaikan dalam Workshop Bahasa Arab Perguruan Tinggi Agama Islam se-Indonesia, 1-5

Nopember 1999, h. 3.

Page 15: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

15

lembaga terkait, kedutaan-kedutaan negara Arab di Jakarta, dan perguruan-

perguruan tinggi di Timur Tengah. Pengalaman Pondok Modern Gontor, yang telah

banyak memiliki hubungan kerjasama dengan: al-Azhar Kairo, Universitas di Arab

Saudi, Pakistan, Sudan, dan sebagainya, yang pada gilirannya dapat memberikan

kesempatan kepada alumninya untuk melanjutkan studi ke sana, ternyata menjadi

daya tarik dan motivasi tersendiri bagi para mahasiswa dalam belajar bahasa Arab.

Kerjasama semacam ini menjadi sangat penting, terutama karena kita sekarang

hidup di era globalisasi yang mengharuskan kita dapat ―bergaul‖ dengan bangsa-

bangsa di dunia, dan salah satu kuncinya adalah dengan menguasai bahasa asing,

termasuk bahasa Arab.

Kesepuluh, FITK perlu mentradisikan pemberian semacam reward

(mukâfa’ah) kepada mahasiswa maupun dosen yang memiliki prestasi unggul dalam

berbahasa Arab, sehingga mereka termotivasi untuk terus meningkatkan kemampuan

dan kemahiran mereka dalam berbahasa Arab. Pemberian reward itu dapat

dilakukan dengan memberi beasiswa, hadiah buku/koran/majalah bahasa Arab, dan

insentif lainnya sebagai apresiasi terhadap prestasi mereka. Dengan begitu, usaha

dan kerja keras mereka dihargai secara wajar dan proporsional, sehingga hal ini

diharapkan dapat menarik minat dan memotivasi mahasiswa untuk mendapat hal

yang sama.

F. Epilog

Penciptaan lingkungan berbahasa Arab jelas bukan pekerjaan seperti orang

membuat toge yang hasilnya dapat dilihat 1-2 hari kemudian, juga bukan seperti

menanam mentimun yang buahnya dapat dipetik setelah 40 hari, atau menanam

jagung yang dapat dipanen 3 bulan kemudian. Menciptakan lingkungan berbahasa

Arab perlu waktu, proses, kerja keras, ketekunan, keteladanan dan kesabaran semua

pihak, sehingga proses ini boleh jadi seperti menanam kelapa hibrida yang hasilnya

baru terlihat setelah 4-5 tahun kemudian. Karena, menurut penulis, penciptaan

lingkungan berbahasa Arab yang dapat membiasakan dan membisakan

keterampilan berbahasa Arab aktif merupakan sebuah "humanistic investment"

(istitsmâr insânî) dan proyek masa depan keberbahasaan (masyrû' lughawî

mustaqbalî).

Page 16: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

16

Kampus kita ini, menurut saya, masih menyimpan banyak potensi untuk

dapat dikembangkan. Agar proses pengembangan penciptaan bî’ah ‘arabiyyah ini

berhasil, tampaknya harus dimulai dari diri kita sendiri; dan dimulai dari mudah dan

ringan, seperti: dosen memberi kuliah dengan metode langsung, sesekali mahasiswa

diperkenalkan koran dan majalah Arab, dan jika fasilitasnya memadai, mereka

diajak menonton program TV yang berbahasa Arab. Penyediaan papan tulis yang

berisi pengumunan, informasi, kosakata baru bahasa Arab, perlu dilakukan,

sehingga mereka terbiasa: mendengar, melihat dan mempraktikkan bahasa Arab

dalam keseharian mereka. Yang penting dari semua itu adalah komitmen dan kerja

keras semua pihak untuk melakukan perubahan ke arah lingkungan pendidikan yang

lebih baik, sehat dan kondusif.

Studi banding ke lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pesantren, yang

dinilai berhasil dalam penciptaan lingkungan berbahasa Arab juga penting dilakukan

agar memperoleh sumber inspirasi dan motivasi untuk maju. Pengalaman Gontor,

LIPIA, Insan Cendekia Serpong dan sebagainya patut menjadi input dalam rangka

meningkatkan ―nilai jual‖ dan ―daya saing‖ FITK di masa-masa mendatang. Tidak

tertutup kemungkinan, FITK mempelopori penggunaan dwibahasa (bilingual) dalam

perkuliahan di masa mendatang. Semoga!

Daftar Pustaka

'Abd al-Fattâh, Nâzik Ibrâhîm, Musykilât al-Lughah wa al-Takhâthub fî Dhau' 'Ilm

al-Lughah al-Nafsî, Kairo: Dâr Quba', 2002.

Barnadib, Sutari Imam, Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta: Andi Offset, Cet.

XV, 1995.

Busyairi, Lalu A., Pengembangan Penciptaan Bi’ah Pembelajaran Bahasa Arab,

Makalah Disampaikan dalam Workshop Bahasa Arab Perguruan Tinggi

Agama Islam se-Indonesia, 1-5 Nopember 1999.

Bakkâr, `Abd al-Karîm, Hawla al-Tarbiyah wa al-Ta`lîm, Damaskus: Dâr al-

Qalam, Cet. I, 2001.

Douglas, Brown H., Usus Ta'allum al-Lughah wa Ta'lîmuhâ, Terj. dari The

Principles of Language Teaching, oleh 'Abduh al-Rajihî dan 'Alî 'Alî Ahmad

Sya'ban, Beirut: Dâr al-Nahdhah al-'Arabiyyah, 1994

Effendy, Ahmad Fuad, "Pendekatan Komunikatif untuk Menciptakan Lingkungan

Bahasa Arab (Bî'ah 'Arabiyyah) di Madrasah", Makalah disampaikan dalam

Pelatihan Bahasa Arab Bagi Guru Bahasa Arab di Madrasah, Jakarta,

Oktober 2004.

al-Kaûb, Basyîr Abdurrahîm, al-Wasâ’il al-Ta’lîmiyyah al-Ta’allumiyyah: I’dâduhâ

wa Thurûq Istikhdâmihâ, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Ulûm, tt.

Page 17: MENCIPTAKAN EDUCATIONAL ENVIRONMENT BERBAHASA ARAB

17

al-Khalîfah, Hasan Ja'far, Fushûl fî Tadrîs al-Lughah al-'Arabiyyah, Riyadh:

Maktabah al-Rusyd, 2003.

Muslim ibn al-Hajjâj, Abu al-Husain Mukhtashar Shahîh al-Muslim, Tahqîq

Muhammad Nâshir al-Dîn al-Bânî, Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 2000.

Sewiawan, Conny, dkk., Pendekatan Keterampilan Proses: Bagaimana

Mengaktifkan Siswa dalam Belajar, Jakarta: Gramedia, 1992.

Sidi, Indra Djati, Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru

Pendidikan, Jakarta: Paramadina dan Logos, 2001.

Syahâtah, Hasan, Ta`lîm al-Lughah al-`Arabiyyah Baina al-Nazhariyyah wa

Tathbîq, Kairo: al-Dâr al-Mishriyyah al-Lubnâniyyah, Cet. III, 1996.