Upload
yunindyo-sasmito
View
1.433
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Citation preview
MENEGUHKAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN
PANCASILA
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Pendidikan Pancasila
yang dibina oleh Ibu Desinta D.R, S.Pd, S.H
Oleh
1. Siti Mukharomah (120432400574)
2. Moh.Hoiri Zen (120432400575)
3. Denis Dewantara (120432426949)
4. Yunindyo Sasmito (120432426954)
5. Lulus Gita Arini (120432426955)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS EKONOMI
PROGAM STUDI EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
Januari 2013
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dengan runtuhnya Uni Sovyet yang berideologi komunis, banyak orang meragukan
manfaat ideologi bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mereka
beranggapan bahwa ideologi tidak mampu memberikan jaminan kesejahteraan bagi
rakyat yang menjadi penganut ideologi itu. Ideologi sekedar dipandang sebagai
pembenaran terhadap kebijakan yang diperjuangkan oleh para elit politik.
Bahkan di Indonesia setelah reformasi, kian luas kita rasakan adanya semacam
kegelisahan kolektif dalam kehidupan nasional kita. Kegelisahan itu berpangkal dari
meluasnya keengganan kita sendiri untuk berbicara tentang Pancasila. Bahkan ada kesan,
bahwa masyarakat terutama elit politiknya sungkan meskipun hanya sekedar menyebut
Pancasila, karena khawatir kalau dianggap akan menghidupkan Orde Baru. Hal ini
disebabkan adanya kekacauan epistemologis pada konteks politik, yang menyamakan
nilai-nilai Pancasila dengan sesuatu kekuasaan, rezim atau suatu orde.
Realita ini sebenarnya sangat kontradiktiif dengan apa yang dilakukan oleh Majelis
Permusyarawaratan Rakyat(MPR) RI pada awal reformasi di tahun 1998. Pada awal
reformasi, yang merupakan awal perubahan besar negara Indonesia, MPR mengeluarkan
ketetapan MPR RI Nomor XVIII/MPR/1998 yang secara eksplisit menetapkan Pancasila
sebagai Dasar Negara. Konsekuensi dari ketetapan MPR tersebut sudah selayaknya
apabila segala agenda dalam era reformasi harus mendasarkan pada nilai-nilai luhur
Pancasila.
Namun kita syukuri apabila akhir-akhir ini bangsa Indonesia mulai membicarakan
Pancasila lagi, karena dengan berlangsungnya reformasi yang dilanda oleh berbagai
paham atau ideologi seperti demokrasi yang bersendi pada paham kebebasan yang
individualistik, dan hak asasi manusia universal, justru mengantar rakyat Indonesia
kepada disintegrasi bangsa dan dekadensi moral. Bangsa Indonesia mulai mengevaluasi
lagi bahwa kejatuhan dari orde-orde terdahulu bukan karena orde tersebut menetapkan
Pancasila sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tetapi
diduga karena orde-orde terdahulu justru menyalahgunakan Pancasila sekedar sebagai
1
alat untuk mempertahankan higemoninya, sehingga Pancasila tidak dilaksanakan secara
konsisten (Soeprapto, 2005:38).
Bangsa Indonesia wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena sampai
sekarang ini tetap dapat menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang berbhineka Tunggal Ika berdasarkan Pancasila. Hal ini patut diungkapkan
karena Uni Soviet sebagai salah satu negara adi kuasa di samping Amerika Serikat telah
mengalami kehancuran. Namun bangsa Indonesia harus tetap waspada dan jangan mudah
terombang-ambing dari tarikan ideologi bangsa lain, atau dengan kata lain bangasa
Indonesia harus memiliki visi yang jelas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan
filosofi yang telah melekat pada bangsa Indonesia harus dipertahankan dalam rangka
meneguhkan NKRI.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Pancasila sebagai Dasar Negara?
2. Bagaimana Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila-UUD 1945?
3. Bagaimana Tantangan terhadap Integrasi Nasional?
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pancasila sebagai Dasar Negara
Nilai-nilai yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat, pandangan hidup
bangsa dan pandangan hidup negara yang disebut dengan Pancasila tidak bersifat statis.
Artinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, ketiga bentuk pandangan
hidup itu terus menerus berinteraksi secara timbal-balik. Selalu ada benang merah yang tidak
boleh putus atau diputuskan diantara ketiganya. Rangkaian proyeksi dari pandangan hidup
masyarakat ke pandangan hidup bangsa, lalu kepandangan hidup negara itu, terutama
dibangun melalui jalur sistem hukum.
Berdasarkan latar belakang pemikiran itulah, “Hukum” adalah satu kata kunci yang
sangat penting untuk menjawab pertanyaan tentang dasar dan rambu-rambu pembangunan
masyarakat Indonesia baru dalam era globalisasi. Norma hukum tentu saja bukan satu-
satunya norma yang harus dijadikan acuan, namun sebagai bentuk norma yang paling konkrit,
ia bersifat sangat efisien dan efektif dalam membentuk masyarakat Indonesia baru itu.
Ajaran filsafat bernegara bangsa Indonesia yang dibingkai dalam sebuah ideologi
negara yang disebut Pancasila merupakan landasan utama semua sistem penyelenggaraan
negara Indonesia. Hukum sebagai produk negara tidak dapat dilepas dari falsafah negaranya.
Dalam pandangan seperti ini, maka filsafat hukum pun tidak dapat dilepaskan dari pemikiran
filsafati dari negaranya.
Penjelasan lebih rinci tentang hal itu dapat dicermati dari pemikiran Noor Syam
(2000:68) sebagai berikut :
Penjabaran Filsafat Negara Pancasila
Sistem Hukum Nasional
Filsafat Hukum Pancasila
Filsafat Pancasila Dan UUD 1945
Skema Penjabaran Filsafat Negara Pancasila dalam Negara Hukum Masa Depan
3
Skema diatas menggambarkan posisi Pancasila sebagai filsafat negara terhadap sistem
hukum. Atas dasar konsepsi tersebut, maka filsafat hukumnya pun harus berdasar pada ide
dasar yang ada dalam Pancasila. Selanjutnya, aturan hukum yang dibentuk pun harus
berlandaskan pada pemikiran filsafat hukumnya yang mengacu pada ide dasar Pancasila.
Terkait dengan hal itu, menurut Moh. Mahfud MD (Konggres Pancasila I, 2009)
dalam pembentukan negara hukum, maka Pancasila harus melahirkan kaidah-kaidah
penuntun dalam pembuatan politik hukum atau kebijakan negara lainnya yaitu : (1) kebijakan
umum dan politik hukum harus tetap menjaga integrasi atau keutuhan bangsa baik secara
ideologi maupun secara teritori, (2) kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan
pada upaya membangun demokrasi(kedaulatan rakyat) dan nomokrasi(negara hukum)
sekaligus, (3) kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada upaya
membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, (4) kebijakan umum dan politik
hukum haruslah didasarkan pada prinsip toleransi beragama yang berkeadaban.
Konsekwensinya nilai-nilai Pancasila, secara yuridis harus diderivasikan kedalam
UUD Negara Indonesia dan selanjutnya pada seluruh peraturan perundangan lainnya dalam
kedudukan seperti ini Pancasila telah memiliki legitimasi Filosofis, yuridis, dan politis.
Dalam kapasitas ini Pancasila telah diderivasikan dalam suatu norma-norma dalam kehidupan
kenegaraan dan kebangsaan.
Berdasarkan norma-norma peraturan perundang-undangan tersebut dapat
diimplementasikan realisasi kehidupan kenegaraan yang bersifat praksis. Oleh karena itu
tidak mungkin impelementasi dilakukan secara langsung dari Pancasila kemudian
direalisasikan dalam berbagai konteks kehidupan, karena harus melalui penjabaran dalam
suatu norma yang jelas. Banyak kalanganmemandang hal tersebut secara rancu seakan-akan
memandang Pancasila itu secara langsung bersifat operasional dan praksis dalam berbagai
konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebenarnya secara eksplisit
Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menyatakan:”Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara”. Namun tidak
dapat dipungkiri kenyataannya masih banyak peraturan perundang-undangan yang tidak
bersumber dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila, yang tentunya hal ini
sangat memprihatikan dan harus segera diakhiri.
Dari pengalaman sejarah telah terbukti apabila penyelenggaraan pemerintahan tidak
melaksanakan Pancasila secara konsisten, maka pemerintah tidak melaksanakan Pancasila
secara konsisten, maka pemerintahan itu akan mengalami kegagalan baik selama masa orde
4
lama maupun masa Orde baru. Tidak mustahil era reformasi ini pun akan mengalami nasib
yang sama dengan dua orde yang mendahuluinya, apabila pemerintahan era reformasi ini
tidak melaksanakan Pancasila secara konsisten dalam menerapkan kekuasaannya. Oleh
karena itu Pancasila yang merupakan jati diri bangsa Indonesia yang dibenarkan secara
yuridis, teori-filsafati, maupun historis- sosiologis harus tetap dipelihara agar dapat bertahan
menjadi jati diri bangsa. Karena hanya bangsa yang memiliki jati dirilah yang akan dapat
mempertahankan eksistensinya dalam menghadapi tantangan globalisasi. Hanya dengan jati
diri bangsa Pancasila inilah, eksistensi NKRI dapat dipertahankan. Untuk itu diperlukan
pendidikan untuk memeahami Pancasila, serta perjuangan seluruh bangsa Indonesia untuk
meewujudakn nilai-nilai luhur Pancasila dalam pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945
yang antara lain menyatan :”....bahwa tidak ada weltanshaung dapat menjelma dengan
sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada weltanshaung dapat menjadi
kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan”.
2. Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila-UUD 1945
Sejak Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia mengdealkan
bentuk negara kesatuan(eenheidstaats-vorm), bentuk pemerintah republik (republijk
regerings-vorm), dan sistem pemerintahan presidensial(presidential system). Hal ini dapat
ditelusuridari sejarah pergerakan sebelum merdeka. Pada masa itu salah satu tokoh yang
pernah menginginkan bentuk negara federal apabila Indonesia merdeka dikemudian hari,
adalah bung Hatta. Beliau berpendapat, bahwa untuk bangsa Indonesia yang dikenal sangat
majemuk, lebih tepat apabila bentuk negaranya federal dan bukan negara kesatuan (unitary
state). Pandangan ini di kumandangkan terus sejak masa mudanya sampai pada saat Bung
Hatta menempuh pendidikan tinggi di Rotterdam Belanda pada tahun 1930 an. Bahkan
sampai dengan awal tahun 1945 Bung Hatta masih berpendirian,bahwa bentuk negara federal
yang tepat untuk Negara Republik Indonesia. Pendirian Bung hatta kemudian berubah,
setelah beliau banyak tentang pilihan sistem kenegaraan dengan para tokoh pergerakan.
Rupanya argumen-argumen yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh pergerakan dapat
meyakinkan Bung Hatta, bahwa untuk Republik Indonesia yang merdeka di kelak kemudian
hari bentuk negaranya yang paling tepat adalah negara kesatuan.
Oleh karena itu tidak mengherankan apabila dalam sidang-sidang Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Hatta akhirnya tidak lagi
memperjuangkan bentuk negara federal bagi Indonesia yang dikemudian hari Merdeka. Bung
Hatta yakin bahwa negara kesatuan yang hendak di bangun, sudah dengan sendirinya juga
5
mencakup pembangunan daerah-daerah atas dasar prinsip desentralisasi. Suatu negara
kesaatuan tentunya dapat dikembangkan dengan tetap menjamin otonomi daerah-daerah yang
tersebar diseluruh tanah air Indonesia yang sangat luas dan majemuk. Semangat Negara
Kesatuan dengan prinsip Otonomi Daerah yang luas inilah yang sebenarnya
meyakinkanBung Hatta sehingge ide “Negara Federal”dinilai menjadi tidak lagi memiliki
relevansi(Asshidiqie,2006:262). Suasana kebatinan seperti itu yang kemudian tercermin
dalam perumusan Pasal 18 UUD 1945 naskah asli, yaitu bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia menjamin adanya desentralisasi dan otonomi yang luas bagi daerah-daerah di
seluruh Indonesia. Dalam UUD 1945 naskah asli pengaturan mengenai bentuk negara
terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Negara Indonesia ialah
Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”.
Bentuk Negara Kesatuan adalah bentuk negara yang terdiri dari satu negara saja
betapapun besar maupun kecil, dan ke dalam maupun ke luar merupakan kesatuan.
Pembagian wewenang dalam Negara Kesatuan pada garis besarnya telah ditentukan oleh
pembuat undang-undang di pusat, serta weweang secara terperinci terdapat pada propinsi-
propinsi, dan residu powernya ada pada pemerintah pusat Negara Kesatuan. Adapun ciri-ciri
Negara Kesatuan adalah: (1) Mewujudkan kebulatan tunggal, mewujudkan kesatuan unity.
Kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan ke luar sepenuhnya terletak pada pemerintah pusat,
(2) Hanya mempunyai satu negara serta hanya mempunyai satu pemerintahan, satu kepala
negara, satu badan legislatur bagi seluruh daerah negara. Wewenang legislativ tertiggi
dipusatkan dalam satu badan legislativ nasional/pusat(3) merupakan negara tunggal yang
monosentris(berpusat satu), (4)Hanya ada satu pusat kekuasaan yang memutar seluruh mesin
pemerintahan dari pusat kekuasaan yang memutar seluruh mesin pemerintahan dari pusat
sampai ke pelosok-pelosok, hingga segala sesuatunya dapat diatur secara sentral, seragam
dan senyawa dalam keseluruhannya, (5) Pengaturan oleh pusat kepada seluruh daerah
tersebut lebih bersifat koordinasi saja namun tidak dalam pengertian bahwa segala-galanya
diatur dan diperintahkan oleh pusat, (6) pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk
menyerahkan sebagian kekuasaanya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara
kesatuan dengan sistem desentralisasi).
Setelah kemerdekaan RI, Negara Kesatuan Republik Indonesia pernah berubah yaitu
pada tanggal 27 Desember 1949 bersamaan dengan berlakunya konstitusi Republik Indonesia
Serikat(KRIS)1949. Sejak saat itulah NKRI berubah bentuknya menjadi Negara Republik
Indonesia Serikat(NRIS). Konstitusi RIS di samping hasil konferensi Meja Bundar(KMB),
6
sebenarnya juga sebagai hasil tekanan dan paksaan dari negara-negara Barat seperti USA,
Inggris dan lain-lain terhadap Belanda dan Indonesia yang sedang sengketa. Pemegang
kedaulatan di dalam R.I.S. adalah pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Senat(Pasal 1 ayat (2))K.R.I.S 1949, yang sekaligus merupakan badan
pembentuk undang-undang khusus yaitu mengenai satu, beberapa, atau semua daerah
bagianAtau bagiannya, ataupun yang khusus mengenai hubungan antara R.I.S dan daerah-
daerah yang tersebut dalam pasal 2, dan pasal 127 a.
Adapun yang dimaksud dengan negara federal adalah negara yang merupakan
gabungan dari beberapa negara yang berdiri sendiri, masing-masing dengan perlengkapannya
yang cukup, dengan kepala negara sendiri dan dengan badan-badab legislatif dan yudikatif
sendiri. Dalam negara federal, negara-negara yang bergabung yang disebut dengan negara
bagian, mempunyai kedudukan yang sama kuat. Disamping itu ada sebagian kekuasaan
negara-negara bagian yang diserahkan kepada negara federal atau sebaliknya ada yang
kekuasaan pemerintah pusat ditentukan terlebih dahulu baru sisanya diserahkan kepada
negara-negara bagian.
NRIS yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 dengan menganut sistem kabinet
parlementer ternyata tidak berumur panjang, karena bentuk tersebut tidak berakar kepada
kehendak rakyat dan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Konstitusi RIS yang isinya
lebih lengkap dibandingkan UUD 1945 naskah asli (UUD 1945 hanya memuat 37 pasal,
sedang konstitusi RIS memuat sampai 197 pasal), tetapi isinya konstitusi RIS yang lengkap
itu telah menyimpang jauh dari cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu tidak memuat
cita-cita proklamasi tentang Negara Kesatuan, apalagi cita-cita demokrasi pancasila. Oleh
karena itu akibatnya banyak muncul tuntutan untuk kembali kepada bentuk negara kesatuan.
Negara- negara gabungan yang bernaung dibawah R.I.S satu-persatu menggabungkan diri
dengan Republik Indonesia (di Yogyakarta). Kemudian untuk mengatasi situasi tersebut pada
akhirnya diadakan permusyawaratan antara Pemerintah Negara Republik Indonesia, yang
menghasilkan Piagam persetujuan antara R.I.S dan Republik indonesia yang di tandatangani
oleh hatta dan A. Halim pada tanggal 19 Mei 1950.
Piagam tersebut memuat persetujuan untuk kembali ke bentuk “negara kesatuan”
sesuai dengan proklamasi 17 Agustus 1945. Selanjutnya dengan Undang-Undang federal No.
7 tahun 1950, ditetapkan perubahan K.R.I.S. menjadi Undang-Undang Dasar Sementara
7
berdasar pada pasal 190, pasal 127 a, dn pasal 191 ayat (2) K.R.I.S. sejak tanggal 17 Agustus
1950 bentuk Negara Republik Indonesia Serikat berganti menjadi bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Dalam
UUDS 1950 ini walaupun bentuk negaranya kesatuan, ternyata juga menganut sistem kabinet
parlementer, seperti halnya konstitusi RIS. UUDS 1950 ini tidak berlaku lagi setelah presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memuat tiga diktum:
1.Pembubaran konstituante, 2. Penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak
berlakunya UUDS 1950, 3. Pembentukan majelis Permusyawaratan Rakyat Sememtara
(MPRS) dan Dewan Pertimbangan agung Sementara (DPAS).
Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 juli 1959 adalah
gagalnya konstituante melaksanakan tugas membentuk UUD sebagai pengganti UUDS 1950.
Kegagalan konstituante dikarenakan dua kubu yang berhadapan tetap pada pendiriannya
masing-masing, yang satu bersikap memakai rumusan dasar negara sebagaimana tercantum
dalam pembukaan UUD 1945 yaitu Pancasila, sedang kubu lainnya bertahan dengan sikap
memilih Islam sebagai dasar negara (Mahfud M.D., 1998:133). Sejak Dekrit presiden 5 juli
1959 dengan kembali ke UUD 1945, maka bentuk Negara Republik Indonesia adalah Negara
Kesatuan yang kemudian lebih populer dengan sebutan NKRI.
Pada awal reformasi yang ditandai dengan lengsernya presiden Soeharto dari
jabatannya, kebijaksanaan otomi daerah mulai menjadi bagian dari wacana publik pada masa
transisi pemerintahan di Indonesia antara 1998-1999. Pada saat itu muncul berbagai macam
pendapat tentang kehendak untuk menghidupkan kembali pemerintahan yang berdasarkan
federalisme di satu pihak, dan di pihak lain menghendaki sistem desentralisasi dalam negara
kesatuan tetap dipertahanka dengan modifikasi tertentu sesuai dengan semangat dan irama
reformasi nasional.
Berbagai macam argumen dikemukakan guna mendukung posisi masing-masing.
Namun demikian, kekuatan-krkuatan politik yang ada di Indonesia dalam masa transisi ini
tidak memberikan dukungan yang positif terhadap kemungkinan untuk menciptakan
pemerintahan yang federalistik. Bahkan hampir semua partai politik yang ada di DPR tidak
mendukung munculnya ide pembentukan pemerintahan yang federalis. Hal ini nampak
bahwa pada saat proses pembahasan perubahan perubahan UUD 1945, panitia ad Hoc I
8
menyusun kesepatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar
tersebut terdiri dari lima butir, yaitu :
1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945
2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
3. Mempertegas sistem pemerintahan Presidensial
4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan
kedalam pasal-pasalPerubahan dilakukan dengan cara “adendum” (Sekretariat Jendral
MPR RI 2003:25)
Dengan demikian jelas bahwa negara kesatuan tetap dipertahankan dengan memberikan
otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Memang didalam masyarakat yang sangat tinggi
fragmentasinya, pilihan negara kesatuan sebagai bentuk negara merupakan pilihan yang tepat
dari pada bersifat federalisme.
Disamping hal tersebut diatas, yang lebih penting dalam pemilihan semua bentuk negara
akan sangat erat kaitannya dengan struktur sosial dan etnisitas masyarakat yang ada dalam
negara tersebut. Sebuah negara yang sangat tinggi tingkat homogenitasnya tidak sulit
mempraktekkan federalisme, terutama yang menyangkut derajat pembilahan sosialnya.
Sebaliknya dalam masyarakat yang sangat tinggi tingkat fragmentasi sosialnya, diperlukan
sebuah pemerintahan nasional yang kuat.
Namun, menurut Jimly Asshiddiqie (2002:22-23) merujuk Pasal 18 ayat (5) UUD 1945
perubahan yang isinya: “Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah Pusat”,
berarti pasal tersebut mempunyai pengertian bahwa otonomi yang seluas-luasnya kecuali
urusan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat, juga
mengandung konsekuensi pengertian kearah pengaturan yang bersifat federalistis. Asumsi
dasarnya adalah bahwa kekuasaan asal justru berasal di daerah, kecuali jika undang-undang
menentukan lain. Prinsip kekuasaan asal yang berada didaerah ini adalah prinsip yang biasa
dikenal dalam lingkungan negara yang menganut federalisme. Sejalan dengan pendapat
tersebut Ryaas rasyid menyatakan bahwa UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
yang kemudian diganti dengan UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah memiliki
unsur federalisme. Secara material mirip federal namun secara konseptual tidak sama dengan
federalisme. Dengan demikian berdasarkan teori yang lazim Negara Kesatuan Republik
Indonesia sekarang merupakan Negara Kesatuan yang menerapkan pemerintahan federal.
9
Oleh karena itulah banyak muncul perdebatan tentang perlu tidaknya diadakan perubahan
lagi terhadap UUD1945 hasil perubahan. Khusus berkaitan dengan bentuk Negara Kesatuan
sebagaimana telah ditentuakn dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 setelah
perubahan,dikategorikan sebagai bukan objek perubahan yang diatur dalam mekanisme
perubahan sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945. Dalam pasal 37 ayat (5) UUD 1945
dinyatakan: “Khusus mengenai bentuk Neagar Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat
dialkukan peruabahan”. Dengan demikian jelas bahwa pasal ini mengandung komitmen dan
tekad bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 akan
tetapberbentuk Negara Kesatuan selamanya. Artinya apabila bangsa Indonesia taat pada
hukum konstitusi maka tidak akan terjadi perubahan terhadap bentuk Negara Kesatuan.
Bagi bangsa Indonesia, dalam rangka mempertahankan NKRI tidak ada pilihan lain
kecuali mengembangkan nilai-nilai Pancasila agar keragaman bangsa dapat dijabarkan sesuai
prinsip Bhineka Tunggal Ika. Prinsip Indonesia sebagai negara Bhineka Tunggal Ika
mencerminkan bahwa meskipun dalam realitanya Indonesia memiliki sifat yang sangat
heterogen dalam aspek suku,ras,agama,dan lain-lain tetapi tetap berintegrasi dalam kesatuan.
Bangsa Indonesia meyakini bahwa perbedaan merupakan suatu kodrat manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa disamping itu bangsa Indonesia meyakini bahwa perbedaan
itu tidak untuk dipertentangkan dan diperuncing, melainkan untuk dipersatuakan dalam suatu
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini divisualisasikan pada lambang negara dan
bangsa yang kita kenal sebagai “Burung Garuda Pancasila” dengan sekola “Bhineka Tunggal
Ika” yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 dan diundangkan pada
tanggal 28 Nopember 1951 yang kemudian diganti dengan UU RI No.24 Tahun 2009 tentang
Bendera,Bahasa dan Lambang Negara serta lagu Kebangsaan yang diundangkan tanggal 9
Juli 2009. Dalam lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut
Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
3. Tantangan Terhadap Integrasi Nasional
Dalam mempertahankan NKRI agar tetap tegak berdiri ada beberapa faktor yang dapat
mengintegrasikan bangsa Indonesia namun ada pula faktor yang dapat menjadi penyebab
disintegrasi bangsa Indonesia.
Faktor-faktor yang dapat mengintegrasikan antara lain:
1. Nilai-nilai luhur Pancasila (fundamental,instrumental,praksis)
2. Hukum yang ditegakkan secara konsisten dan adil
10
3. Kepemimpinan yang efektif
4. Pembangunan yang bermuatan harmoni
5. Kekuatan (force)
Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya disintegarsi antara lain :
1. Kekuatan neoliberalisme yang mengubah negara kesejahteraan menjadi negara korporasi
2. Kesenjangan struktural
3. Separatisme
4. Kekerasan politik
Dampak globalisme Untuk mempertahankan NKRI, tiada lain Bangsa Indonesia harus
memperkuat faktor yang dapat mengintegrasikan bangsa Indonesia dan memperlemah faktor
yang dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa Indonesia. Padahal secara faktual faktor yang
dapat mengintegrasikan bangsa sekarang ini cenderung melemah sedangkan faktor
disintegrasi bangsa sangat terasa mengancam keutuhan NKRI.
11
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
NKRI sebagai negara bangsa adalah merupakan perwujudan wawasan nasional yaitu Sila
Persatuan Indonesia yang dijiwai dan diliputi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab serta menjiwai dan meliputi sila Kerakyatan Yang
dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dengan bersendi pada jati diri Pancasila bukan berarti bangsa Indonesia tidak
menghendaki perubahan. Karena perubahan terletak pada cara dan teknik dalam
mengatisipasi tantangan yang dihadapi. Atau dapat pula dikatakan bahwa perubahan bukan
pada tatanan dasar tetapi pada tatanan instrumental.
Bagi bangsa Indonesia yang sangat mendesak untuk dilakukan dalam rangka
meneguhkan NKRI berdasarkan Panacasila adalah menegakkan supremasi hukum
berdasarkan Panacasila dengan tanpa pandang bulu dan mengimplementasikan nilai-nilai
luhur Pancasila dalam dunia pendidikan. Karena pendidikan tidak hanya mencetak manusia-
manusia cerdas, terampil namun juga mempertahankan, mengembangkan nilai-nilai filosofi
bangsa yang merupakan ciri khas dan identitas bangsa.
12
DAFTAR PUSTAKA
Asshidiqie.Jimly, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Ke Empat, Pusat
Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta
, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta
Darmodiharjo. Dardji, 1999, Dasar dan Rambu-rambu Pembangunan Masayrakat Indonesia
Baru pada Milenium II Berdasarkan Ideologi Nasional Pancasila, Laboratorium
Pancasila Universitas Negeri Malang
Diponolo. T.S., 1975, Ilmu Negara, Jilid 2, Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta
Hadjon. Pjilipus, 1998, Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Hukum Tata Negara, Yustika,
Media Hukum dan Keadailan. Vol I No.2 Desember Fakultas Ubaya, Surabaya
Joeniarto, 2001, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Penerbit: Bumi Aksara, Jakarta
Laboratorium Pancasila IKIP Malang, 1983, Pancasila dalam Pemikiran dan
Pemasyarakatannya, Malang
------------------------------------------------------, 1981, Pancasila dalam kedudukan dan
Fungsinya dan Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya
Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Penerbit : PT Pustaka LP3ES, Jakarta
-------------------------------------, 2009, Pancasila Sebagai Hasil Karya dan Milik Bersama,
Makalah Pelengkap Atas Naskah: Keynote Speech”pada Konggres Pancasila yang
diselenggarakan dalam bentuk kerjasama antara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
dan Universitas Gajahmada, 30 Mei, Yogyakarta
Noor Syam. Mohammad,2000, Penjabaran Filsafat Pancasila dalam Filsafat Hukum, Cet. II
Universitas Negeri Malang
------------------------------------,2006, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sistem
kenegaraan Pancasila ( Wawasan Filosofis Ideologis dan Konstitusional untuk kebudayaan
Wawasan Nasional), 24 Mei 2006, UNAIR Surabaya
Sekretariat Jenderal MPR, 2003, Membangun Karakter Bangsa Sebagai Upaya memperkokoh
Jati Diri Bangsa Menghadapi Peluang dan Tantangan Post Modernisme, Seminar
Nasional, LKPKB bekerja sama dengan Unibraw Malang
Wiyono.Suko, 2006, Supremasi Hukum dalam Berbagai Perspektif, Gaung Persada Press,
Jakarta
13