34
1 MENEMUKAN TUHAN DALAM DEKAPAN ALAM Pencarian Spiritual dalam Novel Siddhartha Karya Herman Hesse dan Novel Sang Alkemis Karya Paulo Coelho dalam Perspektif Filsafat Transendentalisme Oleh: Rida Wahyuningrum A. Pendahuluan Kehausan religius dan pencarian spiritual bermuara pada pokok yang sama yaitu penemuan kebenaran hakiki dan kebahagiaan makna hidup. Secara umum kebenaran hakiki dan kebahagiaan adalah topik utama dalam pembicaraan filsafat. Filsafat berperan penting dalam menguak fenomena kehidupan ini dengan mengaktifkan tata pola berpikir untuk mempelajari seluruh fenomena kehidupan secara kritis. 1 Di lain pihak, karya sastra adalah sebuah manifestasi manusia dalam berkarya berdasarkan pandangan atau pemikirannya terhadap kehidupan. Terkadang karya sastra berisikan sebuah pandangan atau pemikiran seseorang. Dengan kata lain melalui karya sastra orang tersebut berfilsafat. Terlihat di sini bahwa terdapat hubungan antara sastra dan filsafat. 2 Kehadiran kisah-kisah klasik seperti cerita-cerita mitologi, Bhagawad Gita, Mahabharata, Ramayana, Epos Iliad dari Homerus boleh jadi adalah bentuk campur tangan filsafat ke dalam karya sastra. Aliran filsafat yang lekat hubungannya dengan pencarian spiritual atau spiritualitas adalah filsafat transendentalisme. Istilah transendentalisme menyeruak pada masa pencerahan di abad 18 yang bermula di Inggris kemudian menyusul Perancis dan akhirnya Amerika, yang dipimpin oleh Ralph Waldo Emerson. Emerson menggarisbawahi pandangannya yang transendental mengenai prinsip kepercayaannya, yaitu tujuan dari hidup ini adalah mempelajari eksistensi 1 periksa Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana. 2004. 2 periksa Skilleas, Ole Martin. Philosophy and Literature: An Introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press. 2001. hlm.2-8. periksa juga Wellek, Rene dan Austin Weren. Teori Kesusasteraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama. 1995. hlm. 134

Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

1

MENEMUKAN TUHAN DALAM DEKAPAN ALAM

Pencarian Spiritual dalam Novel Siddhartha Karya Herman Hesse dan Novel Sang

Alkemis Karya Paulo Coelho dalam Perspektif Filsafat Transendentalisme

Oleh: Rida Wahyuningrum

A. Pendahuluan

Kehausan religius dan pencarian spiritual bermuara pada pokok yang sama

yaitu penemuan kebenaran hakiki dan kebahagiaan makna hidup. Secara umum

kebenaran hakiki dan kebahagiaan adalah topik utama dalam pembicaraan filsafat.

Filsafat berperan penting dalam menguak fenomena kehidupan ini dengan

mengaktifkan tata pola berpikir untuk mempelajari seluruh fenomena kehidupan

secara kritis.1 Di lain pihak, karya sastra adalah sebuah manifestasi manusia dalam

berkarya berdasarkan pandangan atau pemikirannya terhadap kehidupan.

Terkadang karya sastra berisikan sebuah pandangan atau pemikiran seseorang.

Dengan kata lain melalui karya sastra orang tersebut berfilsafat. Terlihat di sini

bahwa terdapat hubungan antara sastra dan filsafat.2 Kehadiran kisah-kisah klasik

seperti cerita-cerita mitologi, Bhagawad Gita, Mahabharata, Ramayana, Epos Iliad

dari Homerus boleh jadi adalah bentuk campur tangan filsafat ke dalam karya

sastra.

Aliran filsafat yang lekat hubungannya dengan pencarian spiritual atau

spiritualitas adalah filsafat transendentalisme. Istilah transendentalisme menyeruak

pada masa pencerahan di abad 18 yang bermula di Inggris kemudian menyusul

Perancis dan akhirnya Amerika, yang dipimpin oleh Ralph Waldo Emerson.

Emerson menggarisbawahi pandangannya yang transendental mengenai prinsip

kepercayaannya, yaitu tujuan dari hidup ini adalah mempelajari eksistensi

1 periksa Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana. 2004.

2 periksa Skilleas, Ole Martin. Philosophy and Literature: An Introduction. Edinburgh: Edinburgh

University Press. 2001. hlm.2-8.

periksa juga Wellek, Rene dan Austin Weren. Teori Kesusasteraan. Diterjemahkan oleh Melani

Budianta. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama. 1995. hlm. 134

Page 2: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

2

kehidupan melalui pengamatan, pemahaman, dan interpretasi terhadap alam

semesta. Apa yang ada di alam semesta ini adalah ajaran-ajaran. Manusia

bertanggung jawab pada apa-apa yang diajarkan oleh alam semesta kepadanya.

Dari titk ini muncullah pemahaman akan kebenaran dan kebahagiaan makna hidup

dengan melalui pencarian spiritualitas.

Istilah spiritualitas sering dipertukarkan dengan istilah agama sehingga untuk

membedakannya diperlukan pemikiran mendalam akan makna yang terkandung

dalam istilah tersebut. Spritualitas terkait erat dengan kepribadian seseorang dalam

menemukan kebenaran hakiki dan kebahagiaan makna hidup.

Dalam paparan ini dihadirkan dua buah karya sastra sebagai bahan analisis.

Dua buah novel terjemahan karya Herman Hesse berjudul Siddhartha dan karya

Paulo Coelho berjudul Sang Alkemis.

Novel Siddhartha, sebagai salah satu karya sastra ditulis oleh Herman Hesse di

sekitar tahun 1920-an dimana saat itu hampir seluruh Eropa tengah dilanda

kehausan religius, sebuah pencarian spiritual yang merindukan datangnya agama

baru, sehingga kehadiran novel ini dinilai pada waktu yang tepat dan menjadi

novel terkenal. Novel ini berisikan nuansa spiritualitas yang dibungkus dalam

dialog dan monolog penuh filsafati oleh tokoh-tokohnya. Tokoh Siddharta

digambarkan sebagai sosok seorang brahmin yang begitu cerdas dan menguasai

segala hal tentang laku brahmana tetapi mencoba menjadi yang lain dan melakukan

pencarian sipiritualnya demi mencapai apa ia sebut kebahagiaan makna hidup.

Yang menarik dari novel ini, tentu saja selain aspek-aspek lainnya, adalah bahwa

novel ini menampilkan seorang putra brahmana Hindu (yang bernama Siddhartha,

yang dijadikan judul novel tersebut) sebagai tokoh utama. Yang lebih menarik lagi,

sosok putra Brahmana tersebut ditampilkan berbeda dengan para brahmana

kebanyakan. Ada semacam pemberontakan yang dihadirkan pengarang melalui

tokoh putra brahmana tersebut, yaitu pemberontakan terhadap takdirnya sebagai

brahmana. Pemberontakan yang dimaksud terkait dengan apa yang disebut dengan

pencarian spiritual (spiritual quest) sang tokoh terhadap kebahagiaan makna hidup.

Senada dengan novel Siddhartha, Sang Alkemis merupakan novel yang sangat

menarik karena memiliki kisah yang multidimensional tentang sosok pemuda

bernama Santiago yang memutuskan untuk berkelana sebagai gembala.

Page 3: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

3

Pengelanaannya diilhami mimpinya yang berulang tentang harta karun yang

terbenam di bawah piramida Mesir. Dengan keteguhan hati, kesabaran, dan

antusiasmenya yang tinggi, Santiago rela meninggalkan seminari, keluarganya dan

tanah kelahirannya untuk mencari Jiwa Dunia (Tuhan) dan harta karunnya. Yang

membuat novel ini mempesona adalah peran alam yang begitu lekat dengan sang

tokoh yang digambarkan sedemikian elok senada dengan keelokan keberadaan

Tuhan yang sedang dicarinya dalam unsur alam tersebut.

Makalah ini mencoba menggambarkan sebuah proses pencarian spiritual tokoh

Santiago dalam Sang Alkemis dan tokoh Siddhartha dalam Siddhartha ini dalam

bingkai filsafat transendentalisme.

B. Transendentalisme Ralph Waldo Emerson

Transendentalisme merupakan filsafat idealis yang secara umum

mengutamakan masalah-masalah intuisi dan spiritual atas masalah-masalah empiris

dan materi. Istilah transendentalisme sendiri berawal dari ucapan filsuf Immanuel

Kant, yaitu “all knowledge transcendental which is concerned not with objects but

with our mode of knowing objects.” Dengan kata lain, segala pengetahuan yang

bersifat transenden berkutat bukan pada objek tetapi lebih pada cara kita

memahami objek. Dalam hal ini keberadaan suatu objek menjadi penting bukan

disebabkan karena enititi objek tersebut, tetapi bagaimana seseorang memandang

dan berpikir untuk memahami objek tersebut. Hal inilah yang kemudian mengacu

pada pemikiran transendental yaitu berupaya menyelamatkan manusia dari alam

dan menghidupkan kembali karakter spiritualnya3. Dalam konsep seperti itu Ralph

Waldo Emerson menjadi sangat terkenal akan manifesto-nya yang berjudul Nature.

Emerson menulis tentang pentingnya seseorang untuk mengambil langkah

untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurutnya, untuk menjadi dekat dengan

Tuhan secara spiritual, seseorang harus mampu memisahkan dirinya dari

pengaruh-pengaruh masyarakat yang tidak ada hubungannya dengan spiritualitas.

Kemudian ia harus mencari bimbingan melalui natural divinity (konsep ketuhanan

yang terdapat di alam) dari ciptaan-ciptaan Tuhan. Istilah menyelamatkan (rescue)

manusia dari alam inilah yang kemudian merujuk pada pemikiran transendental

3 lihat Flower, Elizabeth and Murray G. Murphey. A History of Philosophy in America Vol 1. New

York: Carpicorn Books. 1977. hlm.402.

Page 4: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

4

bahwa manusia dapat mengolah spiritualitasnya dengan memahami objek-objek

alam tertentu yang menjadi pertanda bagi bukti-bukti spiritual tertentu. Misalnya,

secara agama orang menganggap bahwa menemui Tuhan itu harus di masjid,

gereja, kuil, atau tempat peribadatan suci lainnya. Tetapi spiritualitas seseorang

dapat mengantarkannya pada suatu waktu pertemuan dengan Tuhannya melalui

objek non agamawi, misalnya ketika seorang penyair seperti Emily Dickinson

mengungkapkan kehadiran Tuhannya dalam bunga Mangkokan (Buttercup).4

Dalam Nature5, Emerson mengungkap makna alam dalam beberapa sudut

pandang, yaitu komoditi (commodity), keindahan (beauty), bahasa (language),

disiplin (discipline), idealisme (idealism), jiwa (spirit), dan prospek (prospects).

Alam dipandang sebagai komoditi yang bertumpu pada kehidupan yang saling

menguntungkan. Ini terlihat dalam hubungan antara manusia dan alam yang

memberi sandang, pangan, dan papan. Semua bagian yang ada di alam ini tak

henti-hentinya saling bergerak dan bekerja untuk keuntungan manusia. Dalam

perspektif yang demikian akan dirasakan kemurahan Tuhan sebagai sang Pencipta

Alam kepada manusia yang tiada putus-putusnya.

Kemudian, hadirnya alam dengan objeknya melahirkan keindahan yang

merupakan tanda kebajikan dari sang Pencipta. Keindahan alam tercipta karena

tidak luput dari kehadiran elemen keindahan tertinggi, yaitu Tuhan.

Ketika seseorang mengekspresikan apa yang dipikirkan dan dirasakannya

melalui ucapan atau tulisan, ia sedang menggunakan bahasanya. Menurut Emerson

4 Emily Dickinson adalah seorang penyair Amerika yang banyak menulis puisi bernuansa

religiositas. Ia tidak menyetujui adanya doktrin-doktrin yang ada di Bible tentang hukuman Tuhan

sehingga ia lebih merasa dekat dengan Tuhannya ketika bisa melihat sesuatu di balik ciptaan-

ciptaanNya di alam semesta ini.

5 Dalam Nature dikatakan bahwa tujuan alam (nature) bagi Emerson amatlah jelas, yaitu semua

bagian alam saling bekerja sama demi kepentingan manusia ("All the parts incessantly work into

each other's hands for the profit of man") dan perputaran tiada henti dari kemurahan Tuhan telah

menghidupi manusia ("the endless circulations of divine charity nourish man), yang akhirnya tiba

pada kesimpulan bahwa bukti-bukti alam semesta tertentu merupakan pertanda dari bukti-bukti

spiritual tertentu pula ("Particular natural facts are symbols of particular spiritual facts"). periksa

Woodlief (1990) dalam “Emerson and Thoreau as American Prophets of Eco-wisdom”, kertas kerja

yang disajikan dalam sebuah konferensi Humanity di Universitas Virginia, dapat dilihat di

American Transcendentalism Web

http://www.vcu.edu/engweb/transcendentalism/criticism/ecotran.html

Page 5: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

5

bahasa adalah kendaraan bagi manusia dalam memahami alam karena: a) kata-kata

adalah pertanda dari fakta alam, b) Fakta-fakta alam tertentu merupakan simbol

dari fakta-fakta spiritual tertentu, c) Alam adalah simbol dari jiwa. Bahasa

mengungkapkan apa yang pernah terlihat sebagai materi, misalnya kita

menggunakan kata hati untuk mengungkapkan emosi, kata kepala untuk

menyatakan berpikir, dsb. Kemudian apa pun bentuk-bentuk di alam ini akan

berhubungan dengan suasana pikiran seseorang, suasana pikiran tersebut hanya

dapat digambarkan melalui penampakan alam, seperti pengungkapan amarah

seseorang yang digambarkan sebagai sang singa, liciknya seseorang dilambangkan

sebagai musang, keteguhan khati dengan batu karang, orang terpelajar dengan sang

obor, dsb. Itulah sebabnya mengapa setiap fakta alam tertentu merupakan simbol

dari fakta spiritual tertentu. Akhirnya, kebanyakan dari manusia selalu dibimbing

oleh objek-objek alam dalam mengekspresikan ungkapan-ungkapan tertentu yang

merefleksikan suasana jiwa. Bahkan kesemestaan alam merupakan metafora dari

pikiran-pikiran manusia. Peribahasa muncul sebagai ungkapan metaforik yang ada

dalam benak manusia, misalnya tong kosong nyaring bunyinya sebagai cara

mengungkapkan kualitas diri seseorang yang terlalu banyak bicara tetapi tak ada

manfaatnya sama sekali. Benarlah kiranya apabila dikatakan bahwa alam adalah

simbol dari jiwa.

Pada gilirannya, alam mengajarkan pada manusia bentuk disiplin mengenai

pemahaman akan kebenaran intelektual. Hubungan manusia dengan objek-objek

yang ada merupakan latihan teratur akan mempelajari dari hal-hal yang berbeda,

yang menyerupai, yang berupa urutan, yang tampak dan samar, yang berupa

susunan progresif, yang dari khusus ke umum, yang berupa penggabungan hingga

ke akhir dari berbagi macam kekuatan.

Kemudian alam memberikan inspirasi bagi manusia dalam bentuk idealisme.

Bagi Emerson adalah idealisme adalah gambaran sebagaimana seorang penyair

yang menghasilkan sebuah puisi yang dikatakannya adalah sesuatu yang

bersumber dari ide, makanya bersifat asli, karena terinspirasi oleh alam. Saat

mencipta sebuah puisi, sang penyair memanfaatkan alam. Istilah „susut‟ dan

„mengembang‟ diciptakan untuk kepentingan sang penyair pribadi. Objek tertttentu

dari alam yang dipilih sang penyair akan tttampak lebih menonjol keberadaannya

Page 6: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

6

secara simbolis karena alasan pemikiran sang penyair pribadi terhadap

idealismenya.

Mengenai hubungan alam dengan jiwa, Emerson menggambarkannya sebagai

berikut: ketika kita merasakan kehadiran Tuhan dan mencoba menggambarkannya

seperti apa maka tiada lagi yang ada dalam pikiran serta ucapan kita dan kita

tinggal hanya sebagai orang tolol atau onggokan tak berguna. Keberadaan jiwa

menolak bentuk proposisi tertentu tetapi akan dirasakan kehadirannya dalam alam

semesta ini ketika kita menyembahnya secara intelektual. Itu karena alam

bertindak sebagai organ bagi sang jiwa dan sang jiwa akan berhubungan secara

langsung dengan manusia.

Akhirnya, sampailah hubungan alam dengan prospek (prospects) yang intinya

adalah bagaimana manusia seharusnya manusia belajar dari alam. Menurut

Emerson, yang terpenting dari hal mempelajari alam adalah intuisi daripada tata

cara yang disarankan dalam ilmu-ilmu pasti dan geologi. Pengetahuan empiris,

yang berdasarkan pada pengamatan menyeluruh dan detil, hanya sebatas

mempelajari objek-objek individu. Sayangnya hal tersebut malah mengabaikan

keterkaitan sang objek dengan lingkungan alamnya. Dengan kata lain, pandangan

empiris berkutat pada hal-hal yang sebagian-sebagian, bukan pada yang

keseluruhan.

C. Spiritualitas

Pemahaman tentang spiritualitas mengacu pada apa yang sering dihubungkan

dengan hal-hal yang berkenaan dengan konsep keagamaan, ketuhanan, kehidupan

supernatural, dan kehidupan sesudah mati. Terlebih lagi banyak yang menyamakan

spiritualitas dengan agama.6 Sebenarnya keduanya adalah dua entiti yang berbeda:

agama adalah bagaimana tata cara seseorang mengalami kehidupan spiritualnya.

Spiritualitas lebih banyak merujuk pada tindakan-tindakan introspeksi diri dan

pengembangan kehidupan batiniah melalui praktek-praktek meditasi, doa, dan

perenungan mendalam. Namun ketika dua istilah di atas sering dipertukarkan,

perbedaan penting muncul diantara keduanya, yaitu adanya istilah spirituality in

6 periksa Torrance (1994) di bagian “Two Aspects of Religious Rituals” hlm.4 dalam The Spiritual

Quest: Transendence in Myth, Religion, and Science.

Page 7: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

7

religion (spiritualitas dalam agama) dan spirituality outside religion (spiritualitas

di luar agama)7

Persoalan spiritual dalam agama merupakan hal yang wajar untuk dipahami

karena agama itu sendiri berkutat pada persoalan-persoalan spiritualitas, yaitu hal-

hal yang berhubungan dengan konsep ketuhanan, pengamalan kebajikan,

penjauhan diri dari larangan-larangan, dan pembalasan. Spiritualitas dalam agama

Islam misalnya, melihat keberadaan Tuhan dalam iman yang diwujudkan dalam

tatacara peribadatan menurut tuntunan Kitab Suci Al Qur‟an dan Sunnah Nabi

Muhammad SAW. Percaya pada Tuhan tertentu, merasakan keberadaannya,

melakukan praktek-praktek peribadatan agama tertentu, dan merasakan kedamaian

dalam menjalani kehidupan adalah spiritualitas seseorang dalam kehidupan

beragamanya.

Tidaklah demikian dengan persoalan spiritualitas di luar agama. Terlihat

sederhananya sebuah pemikiran bahwa orang sekuler tidak akan merasakan apa

yang disebut spiritualitas. Agama-agama samawi sarat dengan pemahaman dimana

sekuleritas bukanlah bagian dari ajaran-ajaran mereka. Tetapi, perasaan kagum

yang mendalam pada diri seseorang terhadap alam semesta sebagai tindakan

appresiasinya pada karya cipta paling tinggi nilainya adalah juga khasanah

sekularitas. Hal ini merujuk pada istilah „spiritual tapi tidak religius‟. Mereka

inilah yang disebut sebagai kelompok spiritualitas di luar agama.

Istilah pencarian spiritual, pada gilirannya, adalah tindakan seseorang untuk

menempatkan dirinya di dalam spiritual path tertentu untuk memperoleh tujuan

spiritualitasnya. Pada dasarnya, pencarian spiritual selalu bermuara pada

kebenaran, dimana kebenaran itu adalah Tuhan itu sendiri. Dengan kata lain,

pencarian spiritual identik dengan pencarian Tuhan secara pribadi, bukan dengan

mengikut apa yang dipercaya oleh sekelompok orang atau masyarakat tertentu.

Dari perspektif ini terlihat bahwa istilah agama dan spiritualitas bukan dua hal

yang bertentangan, melainkan fase atau tingkatan kehidupan batiniah seseorang

sehingga dua hal ini merupakan hal yang tak dapat terpisahkan.

7 periksa Torrance (1994) di bagian “Two Aspects of Religious Rituals” hlm.4 dalam The Spiritual

Quest: Transendence in Myth, Religion, and Science.

Page 8: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

8

Fenomena yang terlihat dari tindakan pencarian spiritual ini adalah penolakan

terhadap apa yang sudah disepakati secara konvensional agama. Dalam kaitannya

dengan filsafat transendentalisme, penolakan terhadap aturan-aturan keagamaan

tersebut tidak boleh melibatkan tindakan-tindakan dengan kekerasan, vulgar atau

semacamnya. Dengan kata lain, apa yang dinspirasikan dalam transendentalisme

adalah keelokan atau keindahan (elegance) dalam menyatakan sesuatu yang

berlawanan atau penolakan terhadap apa yang sudah berlaku atau diberlakukan.

D. Spiritualitas Tokoh Siddhartha dan Santiago

Novel Siddhartha dan Sang Alkemis menghadirkan beberapa fenomena yang

menarik. Persoalan kehidupan spiritual muncul di dalamnya, baik dalam kaitannya

dengan agama (in religion) maupun di luar agama (outside religion). Melalui

tokoh-tokoh Siddhartha dan Santiago, persoalan-persoalan tersebut digelindingkan

sedemikian rupa, baik dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain, maupun yang

berupa monolog batin (interior monologue) yang juga disebut arus kesadaran

(stream of consciousness). Tidak disangkal bahwa peran tokoh-tokoh lain seperti

Govinda, Kamala, dan sang Juru Sampan (Siddhartha) serta Raja Melkisedek,

tukang Kristal, Fatima dan akhirnya Sang Alkemis (Sang Alkemis) adalah penting

dalam menggulirkan persoalan pencarian spiritual tersebut.

1. Siddhartha dan Pemberontakannya yang Elegan

Siddhartha, sebagai tokoh utama, telah menampilkan citra diri laki-laki

keturunan kaum Brahmana yang berbeda dengan lainnya. Ia adalah sosok lelaki

sempurna. Siddharta adalah pemuda yang tampan dan cerdas serta memiliki

pendirian yang kokoh. Banyak putri kaum Brahmana terkesan akan kerupawanan

yang dimiliki olehnya. Terlebih lagi ia dibesarkan dalam suasana keluarga yang

religious dan taat dalam menjalankan ritual agama. Sejak kecil ia belajar tentang

ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin yang terdapat dalam kitab Upanishad Samaweda

dan menjalankan berbagai ritual keagamaan. Sebagai putra Brahmana ia

diharapkan dapat menjadi seorang Brahmana seperti ayahnya. Sekali lagi, ia

manusia yang sempurna untuk ukuran kaum Brahmana.

Page 9: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

9

Sebagai penerus keturunan kaum Brahmana, Siddhartha memang sempurna.

Semua orang menyanjung dan mengasihinya, dengan sepenuh hati, seperti yang

dilakukan oleh sahabatnya bernama Govinda. Baginya, Siddhartha dapat

membangkitkan kebahagiaan bagi setiap orang, dan dialah sumber kebahagiaan itu.

Ironisnya, Siddhartha tidak merasakan kebahagiaan dalam dirinya. Keresahan

menguasai dirinya hingga ia berpikir kalau cinta ayah dan ibunya serta Govinda

sahabatnya tidak akan membawanya menuju kebahagiaan abadi.

Namun Siddharta tidak merasakan kebahagiaan dalam

dirinya. Dia tidak mampu membawa kebahagiaan bagi

dirinya sendiri. ….. Dia dicintai oleh semua orang, menjadi

sumber kebahagiaan bagi mereka—namun tetap saja tak

ada kegembiraan tumbuh di hatinya. Mimpi-mimpi

mendatanginya dan pikirannya gelisah. Mimpi-mimpi itu

mengaliri dirinya dengan air sungai, dengan gemerlapnya

bintang malam yang luluh disinari matahari. Mimpi datang

dan pikirannya menjadi gelisah, keresahan yang

mengambang di antara dupa persembahan dan

menghembus dari kidung Rigveda dan menjalar ke dalam

dirinya, dan dari ajaran yang diberikan oleh para Brahmin

tua. (Hesse, 2007:16)

Keresahan itu semakin memuncak manakala dirinya menyadari bahwa

pikirannya tidak merasakan kepuasan, jiwanya tidak merasakan kedamaian dan

hatinya tidak merasakan kebahagiaan. Misalnya, pandangannya terhadap upacara

penyucian diri. Ia melihat kebaikan dari upacara seperti itu, tetapi yang tampak di

dalam ritual itu hanyalah air yang menurutnya tidak menyucikan dosa, tidak

melegakan pikiran yang dahaga dan mengobati hati yang gelisah.

Apa yang dipikirkan Siddhartha membuat dirinya semakin resah saja.

Kepalanya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaan sang pencipta

dan jalan lain menuju pada-Nya selain jalan yang ditempuh oleh guru dan ayahnya

melalui ritme-ritme kidung dalam kitab-kitab suci dan rutinitas peribadatan yang

menopang keteraturan olah batin dalam kehidupan beragama mereka.

Hubungannya dengan Govinda dan ayahnya yang Brahmana tampaknya tidak

dapat menjadikannya berpuas diri dalam melepas dahaga keingintahuannya

terhadap pencariannya akan kedamaian dalam hatinya.

Page 10: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

10

Melalui sosok Siddharta, pengarang tampaknya ingin menampilkan figur lelaki

keturunan Brahmana yang berbeda. Melalui Siddhartha pengarang memberikan

wacana akan pencarian spiritual (spiritual quest) dalam perjalanan kehidupan

seseorang. Seseorang itu mengalami apa yang disebut pencerahan (enlightment)

dalam hidupnya, bahkan ia dibesarkan dalam lingkungan religius sekalipun.

Fenomena transendental seperti ini tampak melekat erat pada sosok Siddartha yang

ingin menemukan jalan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidupnya.

Pencarian spiritualnya bermula ketika kegigihannya untuk meninggalkan orang

tuanya sudah tak dapat diredam lagi demi mencapai apa yang ia inginkan sebagai

seorang Samana. Untuk mendapatkan ijin ayahnya, Siddhartha „memaksa‟ nya

dengan sikap berdiri diam dan tidak bergerak dengan tangan terlipat selama dua

hari.

Sang Ayah meletakkan tangannya di atas bahu Siddhartha.

“Kamu akan pergi ke hutan,” ucapnya, “dan menjadi

seorang samana. Jika kamu menemukan kebahagiaan itu di

hutan, kembalilah dan ajarkan padaku tentang kebahagiaan

itu. Jika hal itu mengecewakanmu, kembalilah dan kita

akan membuat korban persembahan pada para dewa

bersama-sama ….”. (Hesse, 2007:26)

Kehidupan Siddharta bersama para samana tidaklah lama karena kembali

pertanyaan-pertanyaan tentang tata cara peribadatan yang selama ini dilakukan

(belajar menolak diri, belajar tenggelam dalam semedi ala samana, dan belajar

tentang cara-cara melampaui diri serta menolak diri sendiri melalui luka,

penderitaan, menguasai penderitaan, kelaparan, dahaga, dan kelelahan) bersama

mereka mengusik kembali dahaganya akan makna intisari kehidupan.

Bahkan, melalui dialog dengan Govinda, Siddhartha, menggambarkan

ketiadaperbedaan antara kaum Brahmana dan pemabuk dalam hal meredam

penderitaan hidup.

Dan Siddhartha menjawab dengan lembut, seolah-olah

berbicara pada dirinya sendiri. “Apa itu kekhusyukan

semedi? Apa itu meninggalkan tubuh? Apa itu menahan

napas? Ini merupakan penolakan atas ego, sebuah pelarian

singkat dari siksaan akan ego manusia, sebuah upaya

meredam penderitaan dan kemustahilan hidup. Pelarian ini,

peredam sementara ini, bisa dicapai oleh pemabuk di

Page 11: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

11

sebuah penginapan ketika ia meminum semangkuk anggur

ketan atau air kelapa fermentasi. Lalu dia tidak lagi

merasakan dirinya, lalu dia tidak lagi merasakan

penderitaan hidup—dia mencapai inti kehidupan yang

sementara. Tertelungkup di atas anggur ketannya, dia

mencapai hasil yang sama seperti yang diperoleh

Siddhartha dan Govinda, ketika masa berlatih, mereka

melepaskan diri dari tubuhnya dan diam dalam nonego.

Begitulah, Govinda.” (Hesse, 2007:34)

Jelasnya, Siddhartha belum menemukan kepuasan akan apa yang ia cari

sebagai yang disebut kedamaian, kesempurnaan hidup meskipun ia melihat agama

para samana telah mengajarinya banyak hal. Pemenuhan terhadap hasratnya untuk

memperoleh apa yang disebutnya kedamaian hidup dan kesempurnaan telah

menggiringnya kepada niatan melakukan pencarian lagi. Apa yang menyelimuti

batin sang Siddhartha, yang menggerakkan jiwanya, dan yang menuntunnya ke

konsep keilahian tampaknya tidak semata-mata masalah agama, melainkan

spiritualitas.

Spiritualitas Siddharta tidak terpuaskan hanya dengan menjalani tata cara

keagamaan yang ditempuhnya selama ini dengan dalih bahwa inilah jalan menuju

ke kesempurnaan. Atau ketika ia merelakan dirinya tenggelam dalam semedi

tingkat tinggi, yang menurut Govinda bisa membuat dirinya berjalan di atas air

seperti yang dilakukan oleh si Samana Tua. Bahkan akhirnya ia tiba pada

kesimpulan, bahwa

“…..aku tidak percaya lagi pada doktrin dan ajaran serta

merasa lelah akan hal itu—aku tidak percaya pada kata-

kata yang diberikan oleh para guru.” (Hesse, 2007:43)

Terlebih lagi ketika ia memutuskan untuk meninggalkan para samana,

tampaklah bahwa pemaksaan kehendaknya terhadap sang Samana Tua tidak

membuahkan kekerasan di antara keduanya, meskipun kemarahan sang Samana

Tua sempat terjadi.

Dengan sikap tegak tepat di depan samana dan

memusatkan pikirannya, dia menguasai pandangan lelaki

tua tersebut, memikatnya, membuatnya menjadi diam dan

kehilangan keinginan. …..Samana ini merasa berada di

Page 12: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

12

bawah perintah Siddhartha dan melakukan apa pun yang

diperintahkan sehingga lelaki tua itu membungkuk bebrapa

kali, memberi sikap memberkati, dan dengan tertegun-

tegun mengeluarkan suara memberkati perjalanan mereka.

(Hesse, 2007:44)

Begitulah Siddhartha akhirnya. Meskipun kemudian ia terbawa oleh niatan

Govinda menemui Sang Gotama untuk mendengar ajaran baru, tak sedikit pun dari

hatinya tertarik akan ajaran itu setelah mendengarkan berulang kali mengenai isi

Buddhadharma dari orang kedua atau ketiga. Hanya saja, Siddhartha menemukan

sesuatu yang menggetarkan hatinya manakala ia bertemu dengan sang Gotama. Ia

melihat kebenaran pada diri sang Buddha.

Tapi dia tetap dengan penuh perhatian melihat kepala Sang

Buddha, bahunya, kakinya, pada ketenangannya, tangannya

yang bebas, dan di matanya setiap gerakan jari tersebut

merupakan suatu ajaran, berbicara tentang kebenaran,

bernapaskan kebenaran, memancarkan cahaya kebenaran,

beraroma kebenaran. Lelaki ini, Buddha ini, bermandikan

kebenaran, bahkan ketika menggerakkan jari-jari kecilnya.

(Hesse, 2007:51)

Kebenaran yang terpancar dari diri Sang Buddha ternyata membuat dirinya

harus kehilangan sahabatnya Govinda. Ia melanjutkan perjalanannya dalam

pencariannya tanpa Govinda di sisinya karena Govinda telah menjadi pengikut

Sang Buddha dan tinggal bersamanya. Kesendiriannya ini tidak menyusutkan

keinginannya untuk terus mencari kedamaian hatinya serta kesempurnaan hidup

hingga akhirnya kemudian ia bertemu dengan Kamala, seorang perempuan

penghibur yang cantik.

Ketika kungkungan agama membebat kehidupan seseorang sedemikian rupa

untuk memperoleh jalan kedamaian dan kesempurnaan hidup, dan akhirnya merasa

bahwa hal itu tidak berakibat apa pun bagi dirinya, orang itu akan mencoba keluar

dari kungkungan tersebut. Digambarkan melaui tokoh Siddhartha, kejenuhan akan

tata cara peribadatan dalam agamanya sebagai samana yang selama ini

dilakukannya, misalnya puasa, semedi, dan lainnya, telah membimbingnya ke jalan

lain dari apa yang selama ini dipercayainya.

Page 13: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

13

Jelaslah bahwa Siddhartha dengan cukup berani menyatakan apa yang

dipikirkannya tentang konsep ketuhanan dalam agamanya sendiri.8 Dalam keadaan

yang demikian, pengarang memperlihatkan adanya gejolak batin yang dialami oleh

Siddhartha. Mempertanyakan doktrin dan ajaran, mengingkarinya, kemudian

akhirnya tidak mempercayainya adalah langkah-langkah perenungan akan suatu

konsep ketuhanan dalam diri seseorang. Hatinya memberontak.

Pencarian Siddhartha kemudian menjadi jelas arahnya ketika hatinya benar-

benar memberontak dengan dituntun pertanyaan-pertanyaan spiritualnya. Akhirnya

ia memutuskan untuk membiarkan dirinya ditelan gemerlapnya kehidupan

duniawi.

Perempuan cantik bernama Kamala telah mengubah dirinya: ia mencukur habis

jenggotnya, meminyaki rambutnya, bersepatu, berpakaian indah, dan memiliki

uang di kantong. Ia memulai kehidupan duniawi yang memuja keindahan materi

dengan menanggalkan jubah samana-nya, bekerja selayaknya kaum pedagang

dengan berguru pada Kamaswarni, dan bercinta dengan perempuan tanpa ikatan

pernikahan. Doktrin-doktrin yang ada di dalam Uphanishad yang telah mendarah

daging dalam dirinya seakan-akan menguap begitu saja ketika telah dirasakannya

nikmat kehidupan duniawi dalam ciuman seorang Kamala. Ia telah menjadikan

Kamala teman sekaligus guru baginya.

Dalam kehidupan agama Hindu, apa yang dilakukan Siddhartha adalah suatu

penyimpangan dari laku seorang brahmana yang salah satunya adalah harus

mampu mengendalikan dirinya. Tidak hanya itu, ia pun telah mendepak jauh-jauh

etika ketika berhubungan kelamin dengan Kamala. Limpahan harta, wanita, dan

kesenangan yang diperolehnya dirasakannya semakin mengubur dirinya dalam-

dalam dari laku hidup seorang brahmana. Tetapi, Siddharta kembali

mempertanyakan kehidupan duniawinya.

Satu hari penuh ia duduk di bawah pohon mangga itu,

berpikir tentang ayahnya, tentang Govinda. Apakah ada

manfaat baginya meninggalkan mereka dan menjadi

seorang Kamaswarni? …..Apakah ada gunanya, apakah ini

8 Dalam pencerahan, seseorang akan melakukan penyerangan terhadap dasar-dasar iman

kepercayaan yang berdasarkan wahyu, serta menggantikannya dengan sesuatu yang berdasarkan

perasaan yang bersifat panteistis. Akan tetapi semuanya itu berjalan tanpa „perang‟ terbuka (lihat

Hadiwijono (1980:62))

Page 14: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

14

benar, bukankah ini sebuah permainan bodoh, bahwa aku

memiliki sebuah pohon mangga, sebuah taman? (Hesse,

2007:127)

Kehidupan Siddhartha sebagai sang jutawan telah membelenggunya dari

pencapaian cita-cita di awal pencariannya. Ia merasa berada dalam suatu

kebodohan. Akhirnya ia meninggalkan kekayaannya atau kekayaan yang

meninggalkannya. Ia memulai lagi pencariannya dan banyak berguru pada seorang

juru sampan yang pernah menyeberangkannya dari kehidupan samana-nya ke

kehidupan duniawi-nya. Dan sekarang keadaan itu berbalik.

Pertemanan Siddhartha dengan sang juru sampan membuahkan pemikiran-

pemikiran yang menuntunnya ke arah kebahagiaan. Dia merasa bahagia.

Kebahagiaannya terwujud ketika ia banyak belajar dari kegiatan sehari-harinya

mengikut menjadi juru sampan dimana ia berkutat dengan alam sekitar sungai: air

sungai yang jernih, buih-buih kristal air yang muncul ke permukaan, gelegak air,

dan bayangan hutan. Bahkan ia merasa sungai itu berbicara kepadanya.

Betapa ia mencintai sungai ini, betapa sungai ini memukau

dirinya, betapa berterima kasihnya ia padanya. Di dalam

hatinya ia mendengarkan suara itu berbicara, suara yang

baru saja terbangun, yang berkata kepadanya: “Cintailah

sungai ini! Tinggalah di dekatnya! Belajarlah darinya!”

(Hesse, 2007:150)

Siddharta belajar banyak dari Vasudeva, tetapi ternyata sungai mengajarkannya

lebih banyak. Dari sungai itu berbagai peristiwa telah dialaminya dan menjadikan

dirinya lebih bisa memahami kehidupannya. Sungai itu mempertemukannya

kembali dengan Govinda sahabatnya, Kamala dan anak dari benihnya sekaligus

memisahkan dirinya dengan mereka. Sungai itu mengajarkan tentang arti

kebahagiaan dan kehilangan serta kenestapaan hidup akan kesendirian ditinggalkan

oleh orang-orang yang dicintainya. Ia dulu meninggalkan ayahnya dan hidup

berpisah sebagai samana, kemudian berpisah dengan Govinda, dan harus berpisah

pula dengan Kamala karena kematiannya, akhirnya ia ditinggalkan oleh anaknya.

Sungai sebagai sebuah objek adalah fenomena alam yang di dalamnya

terkandung banyak ajaran bagi manusia yang mampu menangkap ajaran tersebut.

Ketika Siddhartha belajar mendengarkan suara-suara dari sungai ia telah memilih

Page 15: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

15

suatu spiritual path bagi dirinya dan mencoba memahami arti kehidupan dan

kebahagiaan itu sendiri. Untuk pertama kalinya ketika kelelahan akan kehidupan

duniawinya telah mengantarkannya pada sungai itu, ia merasakan kebahagiaan.

Keberadaannya sebagai seseorang yang pernah menjadi sang brahmin dan sang

samana masih bersemayam dalam dirinya setelah bertahun-tahun tergilas oleh

dirinya sendiri sebagai sang jutawan. Ketakjubannya terhadap apa yang masih

dimilikinya sebagai jejak spiritualitasnya tergambar dalam monolog di bawah ini:

“Darimana?” ia bertanya pada hatinya, “kamu

mendapatkan kebahagiaan ini? Apakah ia bersumber dari

tidur panjang dan indah yang memberikanku begitu banyak

kebahagiaan? Ataukah ia berasal dari kata Om yang

kuucapkan? Ataukah ia bersumber dari kenyataan yang

telah terlewatkan olehku, aku telah membuat pelarian yang

indah, aku akhirnya bebas kembali bagaikan seorang anak

di bawah langit? Oh, betapa indahnya diri yang merdeka

ini, menjadi bebas! Betapa murni dan indahnya udara di

sini, sungguh baik untuk bernapas! Di sana, di tempat aku

melarikan diri darinya, dari segala yang berbau salap,

rempah-rempah, anggur, kelimpahruahan, kemalasan.

Betapa aku membenci diriku karena aku tinggal terlalu

lama dalam dunia yang mengerikan itu! Betapa aku

membenci diriku sendiri, merampas diriku, meracuni diriku

menjadi orang yang rakus dan tua! …..Sekarang aku harus

mengakhiri kebencian diri dan kebodohan ini, kehidupan

kosong ini. Terpujilah engkau Siddhartha setelah

kebodohan sekian tahun, akhirnya sekali lagi kamu

menemukan sebuah ide, kamu telah melakukan sesuatu.

Kamu telah mendengarkan burung di dalam dadamu dan

mengikutinya!” (Hesse, 2007:145)

Monolog Siddhartha menguraikan apa yang telah disebutnya sebagai akibat

dari kebodohannya sendiri, yaitu dengan menenggelamkan dirinya dalam hiruk

pikuk kehidupan duniawi yang jelas-jelas itu bertentangan dengan tujuan pencarian

spiritualnya. Inilah apa yang disebut pencerahan (enlightment). Siddhartha

menemukan letak ketimpangan hidupnya selama ini dan dengan memahami objek

sungai ia menemukan kebahagiaannya. Semasa ia menjadi brahmin dan samana

tak pernah dirasakannya kebahagian seperti itu padahal ia banyak mendengar

ucapan-ucapan atau mantra dan ajaran dari kitab Upanishad yang selalu menyirami

kalbunya sebagai anak seorang brahmana. Ketika bertemu Gotama, ia tak bisa

Page 16: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

16

mengingkari adanya kebenaran bersama Sang Buddha tapi toh jiwanya tak pernah

tertambat untuk menjadi pengikutnya, seperti apa yang telah dilakukan Govinda,

sahabatnya. Kebahagiaan makna hidup yang ia cari semakin bersembunyi ketika ia

mereguk anggur kehidupan duniawi.

Fase kehidupannya sebagai juru sampan telah membawa diri Siddhartha pada

akhir pencariannya akan kebahagiaan makna hidup. Kehidupan sebagai juru

sampan adalah kehidupan kaum Sudra dimana merupakan kasta bawah dalam

sistim kasta agama Hindu. Kaum Sudra adalah kaum papa yang tidak memiliki

kemewahan dunia dan memiliki banyak keterbatasan-keterbatasan. Peralihan diri

Sidhartha dari golongan kaum brahmana menjadi sudra tidak membetikkan

ketidakbahagiaan, sebaliknya justru kebahagiaan ia peroleh ketika menjadi juru

sampan. Dan laku hidup sebagai juru sampan inilah yang mengantarkannya pada

keagungan diri sendiri melebihi keagungan yang ia dapatkan ketika menjadi

seorang brahmin atau samana. Seperti yang dungkapkan sebelumnya, kualitas

kaum brahmana adalah mereka yang dapat memperlihatkan diri mereka

kedamaian, dimana kedamaian adalah label utama bagi kehidupan seorang

brahmana.

Di akhir pencarian spiritualnya, Siddhartha memang telah berhasil menjadi

seorang brahmana meskipun ber‟jubah” juru sampan karena ia telah berhasil

mencapai kedamaian dan dirinyalah kedamaian itu. Tujuannya tercapai setelah

melewati beberapa fase kehidupan yang diwarnai dengan pemberontakan9 terhadap

kemapanan yang sekaligus menggambarkan runtutan momen kehidupannya yang

digerakkan oleh jiwa pemberontakannya. Kemapanan yang dimaksud di sini

adalah apa yang telah dimiliki Siddhartha sebagai kenyamanan yang menipu.

Pertama, kehidupannya sebagai seorang putra brahmin dinilai sempurna. Ia adalah

simbol kesempurnaan dan digandrungi oleh yang melihatnya sebagai suatu sosok

yang sempurna, misalnya Govinda sahabatnya dan para gadis yang

mendambakannya. Tetapi ia memberontak dari kemapanan ini karena ia tidak

9 Dalam studi sastra, istilah pemberontakan tidak hanya berupa penolakan terhadap sesuatu

(misalnya ide) tetapi juga tercakup di dalamnya adanya penciptaan sesuatu yang baru (inovasi).

Misalnya ketika Chairil Anwar memberontak Sutan Takdir Alisyahbana (Pujangga Baru), ia

mengenalkan sesuatu ide yang baru. Dengan kata lain istilah pemberontakan itu bisa dipakai dalam

konteks paparan makalah ini.

Page 17: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

17

dapat memperoleh kedamaian yang ia cari dari hanya mengandalkan

kecerdasannya memahami kitab suci dan menghapal mantra untuk memimpin

upacara sesaji serta semedi. Ia ingin menanggalkan itu semua dengan harapan

dapat meraih apa yang ia inginkan ketika menjadi seorang samana. Dalam

kehidupan kaum brahmana, seorang putra brahmana akan meneruskan laku

brahmana orang tuanya. Inilah sebuah pemberontakan takdir oleh Siddhartha.

Kedua, sebagai seorang samana ia sangat pandai dan cerdas, hampir

menyamai kepandaian sang samana tua yang bisa berjalan di atas air. Apabila ia

meneruskan pembelajarannya maka ia akan melebihi gurunya. Tetapi ia menolak

meneruskan pelajarannya dengan para samana karena dirasakan kekhusyukan

semedi tidak memberi manfaat spiritual baginya. Dalam dialognya dengan

Govinda terlihat pemberontakannya dalam bentuk ide, yang akhirnya

ditindaklanjuti dengan kepergiannya mencari Gotama bersama Govinda. Sekali

lagi, ini adalah pemberontakan idelaisme sang Siddhartha terhadap paham ajaran

para samana.

Ketiga, ketika ia bertemu Gotama dan menemukan kebenaran dalam

dirinya dan dipuji kecerdasannya oleh Gotama dan disarankan agar menjadi

pengikutnya. Ini pun membuahkan penolakan meskipun berakibat baik bagi

Govinda dengan menjadi pengikut Gotama. Penolakan Siddhartha terlihat dari

ketidakcocokannya pada ajaran sang Gotama. Sekali lagi pemberontakan

idealisme.

Akhirnya, kehidupannya sebagai jutawan yang kemapanannya sudah tak

usah dipertanyakan. Kehidupan duniawi yang dipilihnya setelah terbius oleh

kecantikan Kamala akhirnya ditinggalkan pula. Penolakan terhadap kemapanan

duniawi, kehormatan, dan kenyamanan hidup menggiringnya kembali kepada jati

dirinya yang sebenarnya. Untuk ini adalah pemberontakan terhadap sekulerisme

yang nyata-nyata tidak cocok bagi asupan pemikiran transendental-nya.

Pemberontakan demi pemberontakan yang dilakukan Siddhartha tak satu

pun yang menampakkan kekerasan, pemaksaan kehendak yang diikuti amarah dan

nafsu untuk mencapai tujuan. Sebaliknya, yang tampak adalah bagaimana seorang

Siddhartha mendatangkan tujuannya agar tercapai melalui pemberontakannya itu.

Kesemuanya terlihat begitu elok dalam perjalanannya dari satu fase ke fase

Page 18: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

18

lainnya. Ketika ayahnya berkeinginan untuk tidak mengijinkannya menjadi

seorang samana, Siddhartha melakukan sikap berdiri diam dan tidak bergerak

dengan tangan terlipat selama dua hari. Kemudian, dengan sang samana tua, ia

mempraktekkan pengajaran samana itu sendiri untuk meluluhkan hati orang lain

dengan gerakan samana. Berikutnya, dengan sang Gotama ia bermain kata-kata

yang mengalir dari kecerdasan otaknya untuk berargumentasi yang hasilnya tiada

rasa tersinggung atau merendahkan lawan bicaranya. Akhirnya ketika ia

meninggalkan segala yang dimilikinya di kota dimana ia sebagai jutawan. Tanpa

kata-kata, tanpa merugikan orang lain, dan tanpa merasa rugi bagi dirinya sendiri.

Kesemuanya itu dilakukan dengan segala bentuk keindahannya sebagai seorang

Siddhartha.

Dengan melihat apa yang telah terpapar di atas dan kesantunan kehidupan

para brahmana yang melalui laku pengendalian diri, itulah alasan mengapa saya

memberi „predikat‟ pemberontakan elegan pada novel Siddhartha ini.

2. Santiago dan Mimpinya

Santiago, sang tokoh utama, digambarkan sebagai pemuda Spanyol yang teguh

hati dalam mencapai tujuan hidupnya, yaitu ingin mewujudkan keinginannya

menjelajah belantara dunia. Baginya, mengenal dunia lebih penting daripada

mengenal Tuhan dan mempelajari dosa-dosa manusia (Coelho, 2009:14). Untuk

itulah ia tidak pernah menyelesaikan pendidikan seminari yang kelak akan

menjadikannya seorang pastor, suatu profesi yang membanggakan di kalangan

keluarga petani sederhana seperti dirinya. Tetapi Santiago tampaknya lebih

terpesona akan keelokan alam dunia yang belum pernah dilihatnya sehingga ia

memutuskan untuk menjadi pengembala, yang diyakininya sebagai satu-satunya

pilihan hidup untuk bisa melihat dunia.

Konsekuensi yang harus dipikul oleh seorang Santiago adalah dengan hidup

keluar dari tatanan norma keluarganya yang bukan pengembala sekaligus keluar

dari tatanan kehidupan beragamanya yang sudah sejak lama dirintis oleh

keluarganya dengan memasukkannya ke dalam pendidikan seminari hingga umur

enam belas tahun. Keresahan jiwa yang dialaminya melingkupi dua hal, yaitu

ketidakpuasannya terhadap apa yang dipelajarinya di seminari mengenai

Page 19: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

19

ketuhanan, seperti apa yang dikatakannya, “Aku tak bisa menemukan Tuhan di

seminari.” (Coelho, 2009:16). Selanjutnya adalah keinginannya untuk melihat hal-

hal yang berbeda di dunia selain yang pernah dilihatnya selama ini. Dengan kata

lain, pemuda ini ingin mewujudkan keinginannya untuk mengobati keresahan

jiwanya akan dua hal tersebut tadi dengan melakukan suatu perjalanan, suatu

pencarian!

Pencariannya menjadi semakin jelas ketika ia terinspirasi mimpi-mimpi yang

sama ketika berada di sebuah gereja tua dengan pohon sycamore. Mimpinya

tentang harta karun yang terbenam di bawah Piramida Mesir akhirnya

mengantarkannya pada sebuah perjalanan eksotik yang sarat akan pengalaman

hidup dan spiritualitas.

Sebenarnya, apa yang menjadi keinginan Santiago untuk mewujudkan

keinginannya melihat dunia adalah juga mimpi baginya dan ia bertekat untuk

mewujudkan impiannya itu dengan menjadi gembala. Kemudian ia memperoleh

mimpi yang sebenarnya, yaitu mimpi dari tidurnya tentang memperoleh harta

karun dan ia juga ingin mewujudkannya dengan mengikuti segala pertanda yang

dilihatnya maupun yang orang lain membantu untuk melihatnya. Dengan kata lain,

Santiago memiliki dua mimpi. Pertama, ia bermimpi untuk melihat dunia dan

kedua ia bermimpi memperoleh harta karun yang serta merta ingin diwujudkannya

dalam kehidupannya. Dengan berbekal mimpi inilah sang pemuda memulai

goresan nasibnya dalam pencariannya untuk memperoleh tujuan hidupnya.

Dalam rentang perjalanannya meninggalkan Spanyol menuju Mesir di Afrika,

Santiago harus mengalami berbagai hal. Ia bertemu dengan orang-orang yang

menyemangati dan peristiwa yang menyengsarakannya. Orang-orang yang

menyemangati adalah mereka yang mendorongnya untuk selalu mengingat tujuan

pencariannya dan mewujudkan mimpinya. Sedangkan peristiwa yang

menyengsarakannya adalah saat-saat di mana ia harus menderita karena

penganiayaan dalam hidupnya.

a. Orang-Orang yang Menyemangati

Orang pertama yang mendorong dirinya untuk mengejar mimpinya adalah

seorang tua yang mengaku dirinya sebagai Raja Salem, Melkisedek. Santiago

Page 20: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

20

sebenarnya sudah memutuskan untuk tidak mempercayai mimpinya karena apa

yang dikatakan peramal Gipsi padanya, tetapi ketika bertemu dengan orang tua ini,

dan pemberiannya berupa dua buah batu Urim dan Tumim, ia berubah pikiran.

Yang menarik dari Raja Salem ini sebenarnya bukanlah pemberiannya pada

Santiago, tetapi apa yang ia berusaha katakan untuk menyakinkan Santiago akan

mewujudkan memperoleh harta karunnya. Ia mengajarinya untuk memahami

pertanda-pertanda dan mengikutinya.

“Aku heran,” kata si anak. “Domba-dombaku yang lain

langsung dibeli oleh temanku. Katanya sejak dulu dia ingin

menjadi gembala, dan kedatanganku merupakan pertanda

bagus.” …..”Sebab ada daya yang menghendaki engkau

mewujudkan takdirmu, kau dibiarkan mencicipi sukses,

untuk menambah semangatmu.” (Coelho, 2009:39)

Ia menceritakan kisah agar seseorang tidak selalu berputus asa untuk mencapai

takdirnya. Ia memperlihatkan pula fakta bahwa orang tua lebih suka anak gadis

mereka menikah dengan tukang roti daripada gembala, dan terlebih lagi ia

mengajarkan, “Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu

padu untuk membantumu meraihnya.” (Coelho, 2009:31)

Pada gilirannya, seorang lagi yang menyemangatinya secara tidak langsung

adalah si pedagang kristal yang Muslim. Pedagang kristal ini selalu memimpikan

untuk bisa pergi ke Mekkah untuk haji tetapi ia hanya bisa selalu memimpikannya

karena tidak pernah melakukan tindakan yang nyata untuk mewujudkan mimpinya.

“Sebab justru impian hendak pergi ke Mekkah-lah yang

membuatku bertahan hidup. Impian itulah yang

membantuku menjalani hari-hariku yang selalu sama ini.

……. Aku takut kalau impianku menjadi kenyataan, aku

jadi tidakm punyan alasan lagi untuk hidup.” (Coelho,

2009:72)

Santiago, ditengah keterpurukannya di tempat asing tanpa uang sepeser pun,

ternyata mendapatkan hikmah dari impian sang pedagang kristal. Santiago tidak

ingin seperti pedagang kristal yang hanya mampu hidup karena mampu bermimpi,

dan takut tak mampu hidup ketika mimpinya jadi kenyataan. Maka ia memutuskan

untuk tidak menjadi anak malang korban perampokan di tempat asing ini,

melainkan memilih untuk menjadi petualang yang mencari harta karun. Untuk

Page 21: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

21

mewujudkannya ia memerlukan biaya atau ongkos yang mahal. Maka ia bekerja

pada pedagang kristal itu selama setahun untuk mengumpulkan biaya

perjalanannya. Nyatalah bagi Santiago bahwa ia bukan orang yang hanya mampu

bermimpi tetapi sekaligus ingin mewujudkan mimpi.

Orang berikutnya yang mengajarkan pada Santiago untuk tidak takut pada

bahaya apa pun dalam mencapai tujuan hidup adalah sang pemandu onta.

Tapi kelihatannya si pemandu onta tidak terlalu

mencemaskan ancaman perang. “Aku masih hidup,”

katanya pada si anak, sambil makan serenceng kurma ….

“kalau sedang makan, hanya urusan makanlah yang

kupikirkan. Kalaun sedang berjalan, aku berkonsentrasi

pada urusan berjalan … “Sebab aku tidak tidak hidup di

masa lalu atau pun di masa depan. Aku hanya tertarik pada

masa ini. Berbahagialah orang yang berkonsentrasi hanya

untuk saat ini. … Hidup ini akan seperti pesta bagimu,

suatu festival meriah, sebab hidup ini adalah saat yang kita

jalani sekarang ini.” (Coelho, 2009:109-10)

Apa yang dikatakan sang pemandu onta mencerminkan falsafah hidupnya yaitu

bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk mencari kebahagiaan. Dengan kata lain,

penikmatan hidup akan membawa seseorang ke dalam kebahagiaan yang sejati

dengan tidak tenggelam pada rasa takut akan kehidupan itu sendiri.

Kemudian ia bertemu dengan gadis gurun bernama Fatima, yang telah

membiusnya dengan pandangan mata eloknya sehingga ia pun hampir-hampir

memutuskan dengan tergesa-gesa bahwa sebenarnyalah Fatima itu adalah harta

karun yang sedang dicarinya.

Pada saat itu waktu seakan berhenti bergerak, dan Jiwa

Dunia bergolak di dalam dirinya. Ketika dia menatap mata

gelap gadis itu, dan melihat bibirnya yang setengah tertawa

dalam kebisuan, dia pun belajar bagian paling penting dari

bahasa yang dikuasai seisi dunia ini—bahasa yang bisa

dipahami siapa pun di bumi, di hati mereka. Bahasa cinta.

Bahasa yang lebih tua daripada manusia, lebih kuno

daripada padang pasir ini. Sesuatu yang meletupkan daya

yang sama manakala dua pasang mata beradu pandang,

seperti terjadi pada mereka di sumur ini. Gadis itu

tersenyum, ini jelas pertanda—pertanda yang telah

ditunggu-tunggu anak lelaki itu, tanpa menyadarinya,

sepanjang hidupnya. Pertanda yang selama ini dicari-

carinya bersama domba-dombanya, di dalam buku-buku

Page 22: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

22

yang dibacanya, di antara kristal-kristal itu dan dalam

keheningan padang pasir ini. (Coelho, 2009:120)

Terkadang dalam sebuah pencarian, seseorang bisa saja salah menafsirkan

pertanda-pertanda sehingga dengan tergesa-gesa memutuskan sesuatu yang salah.

Fatima adalah sosok yang sempat membenamkan diri Santiago dalam niatan

berhenti mewujudkan mimpinya tetapi sekaligus menyulut api semangat dalam

dirinya untuk berkobar lagi hingga pencariannya akan harta karun dapat terwujud.

Fatima merupakan sebuah pertanda yang hampir-hampir disalahtafsirkan olehnya

hingga pemunculan seorang yang lain, yang tiada lain tiada bukan adalah sang

alkemis.

Akhirnya sang alkemis adalah sosok yang mengarahkan Santiago pada tujuan

sejatinya, yaitu di suatu tempat di antara piramida-piramida yang mana dirinya

akan memperoleh harta karun yang sesungguhnya. Yang menarik dari sang

alkemis ini adalah caranya menyakinkan Santiago untuk mewujudkan mimpinya,

yaitu pertama ketika kali pertama mereka bertemu. Pertemuan pertama dengan

orang asing pasti tidak banyak yang dibicarakan mengenai hal-hal yang bersifat

rahasia. Tetapi sang alkemis mengetahui rahasianya untuk mencari harta karun itu.

Ia berkata kepada Santiago agar ia tak berhenti meski ia sudah selangkah sejauh ini

(Coelho, 2009:144).

Kedua, sang alkemis membuka jalan pikirannya yang buntu akibat buaian

kecantikan Fatima, sampai-sampai hendak mengurungkan niatnya mencari harta

karun itu.

“Aku sudah menemukan harta karunku. Aku punya unta,

uang hasil aku bekerja di toko kristal, dan lima puluih

batang emas itu. ….Aku juga memiliki Fatima. Bagiku dia

harta yang lebih berharga daripada apa pun yang telah

kuperoleh.” …..”Tapi semua yang kau miliki itu bukan

hasil dari Piramida-Piramida.” Kata sang alkemis. (Coelho,

2009:148)

Ketiga adalah saat sang alkemis mempraktekkan pengubahan logam menjadi

emas, dengan tujuan bahwa dirinya adalah benar-benar seorang alkemis, dan

Santiago sangat mempercayai alkemis. Dengan demikian, sang alkemis dapat

mendorong Santiago untuk tetap meraih mimpinya.

Page 23: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

23

b. Peristiwa yang Menyengsarakan Sekaligus Membawa Hikmah

Ada dua peristiwa yang menguji keteguhan dan kesabaran hati Santiago dalam

perjalanannya. Pertama ketika ia dirampok uangnya oleh pemuda di Tangier.

Peristiwa ini membuat dirinya benar-benar terpuruk dan hampir putus asa. Tetapi

ia diberkati dengan kepribadian yang teguh dan terinspirasi oleh tokoh-tokoh

petualang di dalam buku-buku bacaannya. Akhirnya ia memutuskan mengubah

peran dari orang yang terpuruk karena kerampokan menjadi petualang yang

mencari harta karun. Hikmah dari peristiwa ini adalah bahwa ia menjadi antusias

dalam bekerja untuk mencari ongkos perjalanan ke gurun di mana ia akan

menemukan piramida.

Peristiwa berikutnya adalah ketika ia dianiaya para perampok saat hampir

berhasil menggali di antara piramida. Justru dari peristiwa inilah ia memperoleh

hikmah dari perjalanan panjangnya, yaitu kunci menuju lokasi harta karunnya.

E. Menemukan Tuhan dalam Aspirasi Transendentalisme

Dalam pencariannya menemukan Tuhan, ada dua faktor yang patut dicermati

pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kedua tokoh utama dalam dua novel

ini. Faktor pertama adalah kekuatan diri atau kemandirian dan kedua adalah faktor

alam yang mendominasi proses pencarian spiritual sang tokoh. Kedua faktor

tersebut tampaknya menjadi titik tolak dari perwujudan aspirasi transendentalisme.

1. Kepribadian yang Mandiri

Kemandirian (self-reliance) menurut Emerson adalah kemampuan seseorang

untuk menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi seperti orang lain.10

Kemandirian

10

Digambarkan dalam tulisan Ralph Waldo Emerson dalam Nature yang menyatakan "Accept the

place the divine Providence has found for you" as well as "imitation is suicide" periksa Woodlief

(1990) dalam “Emerson and Thoreau as American Prophets of Eco-wisdom”, kertas kerja yang

disajikan dalam sebuah konferensi Humanity di Universitas Virginia, dapat dilihat di American

Transcendentalism Web http://www.vcu.edu/engweb/transcendentalism/criticism/ecotran.html

Page 24: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

24

seseorang diperoleh dari rentetan peristiwa yang dialaminya sehingga meneguhkan

hatinya dan membulatkan tekatnya untuk tidak bergantung pada orang lain, yaitu

untuk bisa menjadi dirinya sendiri.

Keteguhan hati para tokoh di dalam dua novel ini tidak disangsikan lagi. Pada

tokoh Siddhartha terlihat dengan jelas apa yang telah dilakukannya sebagai hal

yang di luar kebiasaan dari tatanan kehidupan beragamanya untuk mencapai tujuan

hidupnya, yaitu ingin menemukan hakiki kehidupan: kebenaran dan kebahagiaan

makna hidup. Untuk mencapainya diperlukan keteguhan hati yang luar biasa.

Begitu pula dengan apa yang digambarkan dalam diri Santiago. Ia tampil sebagai

sosok pemuda yang berpendirian teguh sehingga dapat menggapai mimpinya.

Kepribadian tokoh Siddhartha mencerminkan kesempurnaan diri seorang

manusia Hindu. Kesempurnaan diri Siddhartha melingkupi kualitas fisik maupun

psikis. Kualitas fisik Siddhartha menggambarkan ketegaran raganya akan berbagai

macam deraan cobaan selama perjalanan pencarian spiritualnya. Sedangkan

kualitas psikisnya menyorot pada kesempurnaannya dalam tata cara berpikir yang

memberi label dirinya sebagai orang yang cerdas dan berwawasan luas. Berangkat

dari kedua kualitas kepribadian Siddhartha inilah kemandirian atau unsur menjadi

diri sendiri menjadi begitu kuat.

Dari segi kualitas fisik, Siddhartha adalah sosok yang berpenampilan kuat,

gagah, dan tampan. Kepandaiannya berolah tata cara brahmana diwarisinya dari

sang ayah dan terlebih lagi ketika hidup bersama para samana di hutan, ia mewarisi

ilmu mereka dengan hampir sempurna. Kekuatan fisik Siddhartha menjadikannya

kuat tahan uji dalam masalah-masalah kekuatan bertapa, puasa, dan menahan diri

dari nafsu duniawi.

Dari segi kualitas psikis, ia adalah sosok yang cerdas. Ia mempelajari berbagai

pengetahuan dan selalu haus akan pengetahuan baru, hingga akhirnya ia merasakan

ketidakpuasan pada apa yang selama ini dijalaninya. Sebagai putra Brahmana ia

diharapkan dapat menjadi seorang Brahmana seperti ayahnya. Tetapi ia menolak.

Kecerdasannya dalam ilmu duniawi juga dibuktikan dengan suksesnya ia menjadi

pedagang seperti Kamaswarni.

Kemandirian Siddhartha tercermin dari sikapnya yang berani menolak

kemapanan kehidupannya sebagai brahmana dan pedagang. Penolakannya berakar

Page 25: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

25

pada keinginannya untuk menjadi dirinya sendiri. Dia tidak ingin seperti ayahnya,

ia tidak ingin seperti Govinda sahabatnya yang mengikut pada Gotama, dan ia

tidak ingin seperti Kamaswarni sang pedagang (meski ia mengalami hidup sebagai

Kamawarni). Ia meneguhkan hatinya untuk terus mencari apa yang dirasakan

belum diperolehnya.

Seperti Siddhartha, Santiago juga memiliki kualitas kepribadian yang teguh

seperti keyakinannya pada cinta, keberaniannya menyingkirkan rasa takut,

kesabarannya, semangat hidupnya, dan amanahnya.

Cinta memang ajaib. Seperti itulah kekuatan yang dirasakan Santiago dalam

dirinya ketika ia memutuskan untuk meninggalkan seminari dan ingin melihat

dunia. Ia telah jatuh cinta pada suatu keyakinan akan ketuhanan yang tidak ia

dapatkan di seminari dan beralih pada niatan untuk mencarinya dengan melihat apa

yang diciptakan olehNya, yaitu dunia. Seperti itu pula ketika ia jatuh cinta pada

Fatima. Keyakinan dirinya akan mampu melihat dunia dan cinta Fatima dapat

membuat dirinya bisa melakukan apa saja. Bahkan akhirnaya cinta juga lah yang

membawanya pergi untuk mewujudkan mimpinya akan harta karun. Seperti yang

dinyatakan, “Dia tahu cintanya kepada gadis itu akan memberinya kesanggupan

untuk menemukan harta apa pun di dunia ini.”(Coelho, 2009:122).

Kepribadian yang teguh tercermin pula dalam keberaniannya dalam

menghadapi rasa takut. Keyakinannya pada Tuhan telah membimbingnya keluar

dari rasa takut yang dialaminya selama perjalanan. Bermula dari menghalau rasa

takutnya pada perempuan Gipsi di Tarifa kemudian ketika ia menapakkan kakinya

di kota pelabuhan Tangier dan akhirnya saat ia harus menjadi angin di depan

pimpinan pasukan suku gurun.

Selain mampu mengatasi rasa takut, Santiago juga diuji kesabarannya.

Kesabarannya dalam mengatasi penderitaan akan beberapa peristiwa yang

menyengsarakannya menjadikan dirinya pribadi yang tak gampang putus asa. Ia

tidak berhenti begitu saja meratapi nasibnya yang malang ketika seluruh hartanya

dicuri di Tangier. Sebaliknya ia berusaha menyabarkan dirinya untuk mau bekerja

mencari biaya sebagai ongkos perjalanannya ke gurun untuk mewujudkan

mimpinya. Selain itu, Santiago tidak berhenti berupaya mencari harta karunnya

walaupun sudah disakiti oleh beberapa orang saat menggali di piramida. Bahkan

Page 26: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

26

dengan kesabarannya ia mencoba untuk mengambil hikmah dari apa yang

dikatakan orang yang menganiayanya:

“Kau tidak akan mati. Kau akan hidup dan kau akan belajar

untuk tidak sebodoh ini lagi. Dua tahun yang lalu, persis di

tempat ini, aku juga mendapatkan mimpi berulang. Dalam

mimpiku aku disuruh pergi ke padang-padang Spanyol,

mencari sebuah gereja terbengkalai tempat para gembala

dan domba-domba mereka tidur. Dalam mimpiku itu ada

sebatang pohon sycamore tumbuh di antara puing-puing

sakristi. Aku diberitahu, kalau aku menggali akar-akar

pohon sycamore itu, aku akan menemukan harta karun.

Tapi aku bukan orang tolol. Aku tidak mau menyeberangi

bentangan padang pasir hanya gara-gara mengalami mimpi

ulang.” (Coelho, 2009:209)

Inilah buah kesabaran Santiago. Dalam usahanya mengejar mimpinya itu ada-

ada saja cobaan yang dialaminya untuk menguji kesabarannya dan ia menemukan

tanda-tanda yang diberikan Tuhan kepadanya. Ia bertindak dengan hati-hati, tidak

terburu-buru atau pun tak sabar. Jika saja ia membabi buta maka tanda-tanda

tersebut akan luput darinya dan gagallah ia mencapai mimpinya.

Yang paling mewarnai kepribadian Santiago adalah semangat hidupnya yang

tinggi. Ia penuh antuasiasme dan optimisme dalam menjalani takdirnya. Ia

mengerjakan apa yang seharusnya ia kerjakan dengan penuh cinta dan semangat.

Ketika ia menjadi gembala ia sangat bertanggungjawab dengan domba-domba

gembalaannya, bahkan ia menyebut satu-satu nama mereka. Ketika ia bekerja pada

pedagang kristal, ia tidak mau dibelaskasihani dengan diberi uang untuk kembali

ke Spanyol tanpa melakukan apa pun. Maka ia memilih bekerja pada sang

pedagang kristal agar dapat dikumpulkannya cukup uang untuk perjalanan ke

Piramida. Bahkan ketika ia bekerja, ia selalu bekerja dengan antusiasme yang

tinggi dengan menyumbangkan pikran-pikrannya yang inovatif dalam menjajakan

dagangan kristalnya, misalnya dengan memajang rak kristal di luar dan menjual

minuman the dalam gelas-gelas kristal.

Akhirnya, Santiago adalah orang yang amanah. Kepribadiannya yang seperti

ini tercermin ketika ia telah berhasil memperoleh harta karun dan seketika ia ingat

janjinya dengan perempuan Gipsi yang meramal mimpinya. Ia pun pergi ke Tarifa

Page 27: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

27

menemui si Gipsi untuk memberikan sepersepuluh hartanya seperti yang pernah

dijanjikannya.

2. Peran Alam dalam Pencarian Tuhan

Pengetahuan Siddharta akan konsep ketuhanan diterapkannya untuk mencari

kebahagiaan makna hidup yang dilihatnya sebagai wujud pengendalian diri dari

hal-hal yang bersifat nyata. Apa yang diajarkan dalam agamanya tentang mantra-

mantra dan tata peribadatan selama ini tidak pernah memuaskan hatinya.

Pemikiran transenden-nya melibas keberadaan tata cara tersebut dan

menggantikannya dengan pemahaman yang lebih tinggi terhadap apa yang

disuguhkan sang Pencipta dalam alam semesta ini, yaitu berupa objek-objek

ciptaan Tuhan itu sendiri.

Pemunculan objek sungai dalam novel ini adalah jawaban dari pencarian

spiritual Siddhartha. Emerson (dalam Woodlief, 1990) memberi penekanan yang

kuat pada keyakinannya akan tujuan hidup ini, yaitu memahami pelajaran-

pelajaran tentang keberadaan (existence) dengan melalui pengamatan, pemahaman

dan penginterpretasian terhadap makna alam.

Objek sungai dalam novel Siddhartha memiliki kualitas transendental karena

merujuk pada unsur alam sebagai komoditi (commodity). Kehidupan sungai telah

membawa keuntungan bagi Siddhartha secara sandang, pangan, dan papan. Dari

sungai ia bertahan hidup karena sungai memberinya makanan. Sungai juga telah

memberi „sandang‟ baginya sebagai sang juru sampan. Sungai pulalah yang

memberinya tempat perlindungan dan tempat tinggal (papan). Di balik sungai

sebagai objek hadir sosok Tuhan dengan kemurahanNya pada manusia.

Keindahan atau keelokan tertinggi, yaitu sang pencipta, terangkum dalam

keelokan sosok sungai di mana Siddhartha melabuhkan hidupnya. Ia memuja

indahnya gelegak air sungai, memandangi buih-buih air yang muncul ke

permukaan dalam waktu yang lama untuk meresapi keelokan yang

ditimbulkannya. Terkadang ia pandangannya mengembara ke hutan di pinggir

sungai yang menciptakan keindahan alam hijau dan terkagum-kagum dibuatnya.

Page 28: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

28

Dengan melihat semua itu Siddhartha merasakan kehadiran sang pencipta, sang

Atman yang selama ini dicarinya.11

Tidak hanya unsur keindahan saja yang ditampilkan alam untuk menggugah

spiritualitas Siddhartha, tetapi juga bahasa. Sungai berbicara padanya dan ia

mengerti bahasanya, dan akhirnya memahami apa yang ada di balik kehidupan ini.

Semakin sering ia mendengarkan dan melabuhkan pemikiran-pemikirannya pada

sungai, ia pun semakin mengerti apa yang disampaikan sungai kepadanya. Dengan

memahami sungai seakan berbicara padanya ia telah berbicara pada yang

menciptakan sungai, sang pencipta.

Pada gilirannya, sungai mengajarkan pada Siddhartha bentuk disiplin mengenai

pemahaman akan tujuan hidupnya. Sungai sebagai fenomena alam menampakkan

gerakan-gerakan kehidupan yang dengan hati-hati dipelajari oleh Siddhartha.

Mendengar dan belajar dari sungai mengantarkannya pada pemikiran transendental

dimana ia melihat suatu pencerahan dalam dirinya dalam memahami kehidupannya

kini. Selama ia menetap di sungai itu ia mempelajari hal-hal yang nyata, yang

samar, yang sama, yang berbeda, yang mirip, bahkan sampai pada kekuatan-

kekuatan di sekitar sungai. Misalnya, keteraturan gerak air sungai yang

menciptakan arus sehingga ia bisa menyeberangkan orang atau ketidakteraturan

penumpang sampan yang datang dan pergi, sehingga ia dapat bekerja yang lain

seperti mengayam keranjang. Dari sinilah ia mendapatkan irama kehidupan yang

dirasakannya dapat memberikan kedamaian hatinya dengan mengerjakan pekerjaan

itu dengan hati senang.

Berkenaan dengan idealisme, pemikiran Siddhartha bermuara pada kehidupan

sungai pula. Segala perkataannya dalam dialognya dengan Govinda merujuk pada

sungai sebagai sumber idealismenya. Semua itu mencerminkan kemurnian ide

yang diperolehnya dari pemahaman kehidupan.

Objek alam berhubungan dengan jiwa. Jiwa religius Siddhartha terbentuk

ketika ia menetap di kehidupan sungai itu. Kehidupan kota dengan kemewahan

harta dan wanita tidak membentuk jiwanya akan pemuasan spiritualitasnya.

11

Ketika Archimedes berhasil menemukan masalah berat jenis saat dia berada dalam bak mandinya

dan segera berteriak keras-keras. „Eureka! Eureka!‟ Mungkin seperti itulah perasaan seseorang yang

menemukan apa yang telah lama dicarinya.

Page 29: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

29

Pemahamannya akan kehidupan sungai membantunya menyelami dirinya sendiri

atas penderitaannya (anaknya tak mau turut serta hidup bersamanya) dan kehadiran

sang Atman dalam dirinya.

Pada gilirannya, alam adalah prospek bagi diri Siddhartha, yaitu bagaimana ia

seharusnya belajar dari alam. Sungai adalah tempat dimana ia berkecimpung

kesehariannya. Sungai adalah dimana ia melabuhkan pemikiran-pemikirannya,

sekaligus masalah-masalah hidupnya, dan sungai telah mengajarinya. Menurut

Emerson, yang terpenting dari hal mempelajari alam adalah intuisi daripada tata

cara yang disarankan dalam ilmu-ilmu pasti dan geologi. Siddharta mengamati,

mempelajari, dan memahami kehidupan sungai baginya. Itulah intuisi yang bukan

pengamatan detil tapi mengabaikan keterkaitan alam dengan objek yang

diamatinya. Sungai adalah prospek bagi Siddhartha yang membawanya pada

pemahaman tujuan hidup.

Akhirnya sungai menjadi penting bagi Siddhartha bukan karena ia sebuah

sungai, sebagai sebuah entiti, tetapi bagaimana Siddhartha memandang dan

berpikir untuk memahami sungai tersebut hingga ia mendapatkan apa yang selama

ini ia cari selama berada dalam pencarian spiritualnya. Alam raya yang dihuni oleh

sekian objek ciptaan Tuhan bisa membuat manusia terpuruk di dalamnya tanpa

adanya pemahaman, tetapi pemikiran yang transenden dapat menyelamatkan

manusia dari keganasan alam tersebut dan menghidupkan kembali karakter

spiritualnya. Spiritualitas Siddhartha yang pernah mati terlibas oleh kehidupan

duniawi terselamatkan oleh moment hidupnya sebagai juru sampan, hidup kembali

dan bahkan menemukan tujuannya.

Apa yang dialami oleh Siddhartha tampaknya mirip dengan apa yang dialami

oleh Santiago dalam pencariannya. Perjalanannya menuju perwujudan mimpinya

akan harta karun sebenarnya adalah perwujudan dari spiritual quest-nya yang sejak

mula mendasari pengelanaannya untuk melihat dunia. Bukankah awal mula

Santiago ingin menjadi gembala karena ia tidak bisa menemukan Tuhan dalam

seminari? Bukankah dengan menjadi gembala ia bisa melihat dunia? Bukankah

dunia itu adalah alam ciptaan Tuhan yang diyakininya dapat mengantarkan dirinya

pada rasa ketuhanannya?

Page 30: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

30

Dunia dalam pandangan Santiago adalah suatu bentangan bumi luas tak

terhingga, selain tanah kelahirannya, dengan segala perbedaan isinya. Dengan

melihat dunia ia bisa melihat suatu lanskap yang lebih luas dibandingkan dengan

lanskap tanah kelahirannya dan seminari dimana ia belajar ilmu teologia.

Tampaknya berada dalam perbedaan lanskap bagi seseorang dalam suatu waktu

amatlah penting.12

Santiago merasa telah memperoleh banyak pencerahan semasa

perjalanannya dalam pencarian harta karun yang sekaligus pencarian tujuan

hidupnya ketika ia berada jauh dari tanah kelahirannya.

Di tanah kelahirannya, objek alam seperti domba, padang-padang rumput,

gereja yang terbengkalai, dan pohon sycamore adalah tampakan alam yang baginya

merupakan suatu rutinitas bagi penglihatannya. Tetapi itu sudah menjadi bagian

dari „pelarian‟nya yaitu meninggalkan kehidupan seminari dan kehidupan

keluarganya yang menginginkannya menjadi pastor. Santiago belajar memahami

kehidupan barunya sebagai gembala dengan suka cita dan antusias. Ia banyak

belajar dari alam sekitarnya. Padang-padang rumput mengajarinya mengenali

bahaya. Domba-domba mengajarinya kedisiplinan atau rutinitas dalam menjalani

kehidupan di alam terbuka. Pengetahuannya tentang domba-dombanya telah

membantunya untuk bertahan hidup. Padang rumput dan dombanya adalah bukti

kemurahan Tuhan baginya akan kecukupan sandang, pangan, dan „papan‟. Seperti

apa yang diterangkan oleh Emerson bahwa alam adalah komoditi bagi kehidupan

manusia sehingga manusia diuntungkan oleh hasil kerjasama alam yang tiada

henti-hentinya.

Keindahan alam gurun dan oasis di dalamnya telah menaklukkan hati Santiago.

Segala yang terlihat mulai dari yang diam, seperti sumur-sumurnya, pohon-pohon

kurmanya, hingga ke yang bergerak, seperti penghuninya, semangat para pria

gurun dalam berperang dan laju kehidupan wanita dan anak-anak. Segala

sesuatunya tampak begitu indah dan mempesonanya, sampai pada akhirnya ia

12

Peralihan lanksap, pergantian geografis dan ekologi serta sosial budaya bisa merangsang

terciptanya karya-karya segar dengan efek-efek kebaruan yang lahir dari jiwa seorang seniman.

Misalnya Umar Khayam dengan karya monumentalnya Seribu Kunang-Kunang di Manhattan.

periksa Setiadi, Tia. “Religiositas dan Erotika dalam Sajak-Sajak Acep Zam Zam Noor”. pada

http://www.docstoc.com/docs/6338197/Religiositas-dan-Erotika-Dalam-Sajak-Sajak-Acep-

Zamzam-Noor

Page 31: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

31

bertemu yang paling indah dilihatnya, yaitu Fatima. Bagaimana pun Fatima adalah

perwujudan keelokan dari sang pencipta yang merupakan keindahan tertinggi.

Emerson menyatakan bahasa adalah kendaraan bagi manusia untuk memahami

alam. Objek domba membawa Santiago pada pemahaman bahasa antusiasme yang

dipahami setiap orang di dunia ini. Dengan bahasa antusiasme inilah semua orang

di dunia bisa berkomunikasi tanpa melihat perbedaan bangsa. Bahasa inilah yang

mengantarkan Santiago pada pemenuhan cita-citanya. Ketika ia membantu

pedagang gula-gula, bekerja di toko kristal, bercakap dengan pemandu onta, orang

Inggris, Fatima, dan dengan sang alkemis sendiri, ia mengandalkan bahasa

antusiasme ini. Tidak hanya itu, fakta-fakta alam tertentu merupakan simbol dari

fakta-fakta spiritual tertentu. Sebuah fakta alam berupa dua burung elang yang

terbang tinggi di langit dan salah satunya menukik tajam menyerang burung

satunya merupakan simbol fakta spiritual tertentu yang dipahami Santiago sebagai

bahasa alam. Santiago sudah terbiasa dengan domba-dombanya yang mengajarkan

padanya bahasa alam sehingga ia dan dombanya saling memahami, dan kini

dengan objek burung elang tersebut Santiago dapat menangkap pesan spiritual

yang disampaikan alam (burung elang). Begitu pula ketika ia memahami bahasa

sang perampok yang menganiayanya di Piramida mengenai pohon sycamore yang

tumbuh dari tempat sakristi. Ia memahami maknanya sebagai lambang tempat

dimana harta karun itu harus ditemukan.

Idealisme Santiago juga tercermin dalam kedekatannya dengan alam.

Penguasaannya akan gejala-gejala alam seperti bagaimana ia menyakinkan kepala

suku pasukan gurun akan adanya bahaya perang setelah memaknai fakta alam yang

berupa burung elang terbang tinggi dan menukik tajam menyerang burung lainnya.

Kemurnian idenya yang berasal dari alam inilah hampir menyamakannya dengan

kedudukan Yusuf dan Firaun.

Objek alam berhubungan dengan jiwa. Santiago dalam usahanya mengubah

dirinya menjadi angin berbicara kepada padang pasir, angin dan matahari guna

meminta bantuannya mengubah dirinya menjadi angin karena semuanya

mempunyai jiwa yang sama dan diciptakan oleh tangan yang sama, yaitu sang

pencipta, Tuhan. Hanya saja mereka tidak bisa kecuali oleh „tangan yang

menuliskan semua ini‟, yaitu Tuhan.

Page 32: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

32

Akhirnya, alam adalah prospek bagi diri Santiago, yaitu bagaimana ia

seharusnya belajar dari alam. Menurut Emerson, yang terpenting dari hal

mempelajari alam adalah intuisi daripada tata cara yang disarankan dalam ilmu-

ilmu pasti dan geologi. Santiago telah mengandalkan intuisinya dalam mencari

harta karunnya. Pengamatannya pada alam telah membuahkan hasil baginya. Ia

telah berhasil mengembalikan keterkaitan alam dengan peristiwa-peristiwa yang

dialaminya sehingga bisa menyimpulkan dimana letak harta karunnya berada.

Simbol „pohon sycamore yang tumbuh dari sakristi‟ dipahaminya dengan benar

dan mengantarkannya pada harta karunnya.

F. Penutup

Pencarian spiritual bagi kedua tokoh utama dua novel diafan ini bermuara pada

pokok yang sama, yaitu mewujudkan sebuah impian. Impian telah membawa

mereka pada perjalanan panjang meninggalkan keluarga dan tanah kelahiran

hingga mengalami berbagai peristiwa kehidupan yang mematangkan proses

pencarian spiritual mereka.

Impian Siddhartha adalah penemuan kebenaran dan kebahagiaan makna hidup,

sedangkan impian Santiago adalah penemuan Tuhannya (Jiwa Dunia) dan harta

karunnya. Dalam perjalanan mereka sama-sama mengalami berbagai peristiwa

yang mengantarkan pada pemahaman akan keberadaan Tuhan di balik rahasia

alam, yang dikenal dengan pemikiran transendental.

Pencarian spiritual seorang Siddhartha meliputi dua wilayah spiritualitas, yaitu

dimana ia belajar memperoleh pencerahan ketika masih dalam kungkungan

agamanya (in religion) dan ketika ia keluar dari tata cara peribadatan agamanya

dengan mendekatkan dirinya pada fenomena alam (outside religion). Pencerahan

seperti itu dikukuhkan dengan adanya pemikiran transendental yang terpelihara di

dalam spiritualitas-nya.

Pencarian spiritual seorang Santiago lebih banyak bertumpu pada pendekatan

dirinya pada kuasa alam untuk merasakan kehadiran Tuhan (outside religion).

Kedekatannya dengan objek-objek alam membuahkan pemahaman dirinya akan

Jiwa Dunia (Tuhan itu sendiri) dan mengantarkannya pada takdirnya, yaitu

memperoleh harta karun.

Page 33: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

33

Menemukan Tuhan di balik kuasa alam adalah menemukan Tuhan itu sendiri

dengan kekuasaannya yang dimanifestasikannya dalam objek-objek alam yang

diambil keuntungannya oleh manusia, baik secara lahiriah maupun batiniah. Secara

lahiriah, objek-objek alam bekerja sama memberi apa yang dibutuhkan manusia

sebagai ketahan untuk hidup (life survival) seperti sandang, pangan, dan papan

serta pelatihan hidup dalam suatu disiplin yang tinggi. Secara batiniah, alam

memberikan ide murni, jiwa, bahasa, dan prospek yang membolehkan manusia

untuk mengadopsi fakta alam untuk pengungkapan emosional dan kekayaan jiwa

mereka akan menanggapi fenomena alam. Tentu saja tidak berlebihan apabila saya

katakan bahwa kedua tokoh utama dua novel tersebut sama-sama mencoba

menemukan Tuhan dalam dekapan alam.

Akhirnya, sastra bersifat polyinterpretable, multitafsir. Paparan di atas adalah

hasil interpretasi saya atas novel Siddhartha. Ini berarti bahwa penafsiran dan

pemaknaan yang lain yang berbeda dengan paparan ini keberadaannya sah sah

saja. Hal yang lebih bermanfaat dilakukan ialah dengan berbagi pandangan

mengenai hasil interpretasi tersebut. Dengan demikian akan tercapailah

pemahaman dan pemaknaan yang lebih kompleks (complexity), lebih kaya

(richness), dan lebih mendalam (depth).

Terima kasih.

Page 34: Menemukan Tuhan Dalam Dekapan Alam

34

Daftar Pustaka

Coelho, Paulo. The Alchemist (Sang Alkemis). Diterjemahkan oleh Tanti Lesmana.

Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama. 2009.

Danu, Shri. “Pengendalian Diri, Etika, dan Toleransi”. pada Hindu Darma

Website. 2009. di http://www.hindu-dharma.org/2009/07/pengendalian-diri-

etika-dan-toleransi/

Flower, Elizabeth and Murray G. Murphey. A History of Philoshophy in America

Vol 1. New York: Carpicorn Books. 1977.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

1980.

Hesse, Hermann. Siddhartha. Diterjemahkan oleh Sovia V.P. Yogyakarta: Jejak.

2007.

Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana. 2004.

Setiadi, Tia. “Religiositas dan Erotika dalam Sajak-Sajak Acep Zam Zam Noor”.

pada http://www.docstoc.com/docs/6338197/Religiositas-dan-Erotika-Dalam-

Sajak-Sajak-Acep-Zamzam-Noor

Skilleas, Ole Martin. Philosophy and Literature: An Introduction. Edinburgh:

Edinburgh University Press. 2001.

Thakura, Bhaktivinoda Srila. “Sri Bhaktyaloka: Six Faults that Destroy Bhakti”.

Varnasrama Education Website Com di

http://www.varnasramaeducation.org/index.php?option=com_content&view=a

rticle&id=120:selected-writings-of-srila-bhaktivinod-

thakura&catid=87:acharyas-instructions&Itemid=205

Torrance, M. Robert. The Spiritual Quest: Transcendence in Myth, Religion, and

Science. California: University of California. 1994.

V., Jayaram. “The Hindu Caste System”. Hindu Website Com di

http://www.hinduwebsite.com/hinduism/h_caste.asp

Wellek, Rene dan Austin Weren. Teori Kesusasteraan. Diterjemahkan oleh Melani

Budianta. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama. 1995.

Woodlief, Ann. “Emerson and Thoreau as American Phrophets of Eco-wisdom”. A

paper presented to Virginia Humanities Conference. 1990. di American

Transcendentalism Web

http://www.vcu.edu/engweb/transcendentalism/criticism/ecotran.html