Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MENJADI ANAK INDONESIA MODERN:
ANALISIS BUKU CERITA ANAK SERI PENGENALAN PROFESI
TESIS
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh:
MARIA PUSPITASARI
156322003
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MENJADI ANAK INDONESIA MODERN:
ANALISIS BUKU CERITA ANAK SERI PENGENALAN PROFESI
TESIS
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh:
MARIA PUSPITASARI
156322003
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Maria Puspitasari Munthe
NIM : 156322003
Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya
Universitas : Sanata Dharma
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis:
Judul : Menjadi Anak Indonesia Modern: Analisis Buku Cerita Anak Seri
Pengenalan Profesi
Pembimbing : Dr. Katrin Bandel
Tanggal diuji : 19 Juni 2019
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam tesis ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan
orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam rangkaian
kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa
memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru
tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima
sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi
dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar
Master Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.
Yogyakarta, 19 Juni 2019
Yang memberi pernyataan
Maria Puspitasari Munthe
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Maria Puspitasari Munthe
NIM : 156322003
Program : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada
perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul:
MENJADI ANAK INDONESIA MODERN:
ANALISIS BUKU CERITA ANAK SERI PENGENALAN PROFESI
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media
lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin kepada saya atau
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Dibuat di : Yogyakarta
Tanggal : 10 Juni 2019
Yang membuat pernyataan
Maria Puspitasari Munthe
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
KATA PENGANTAR
Pilihan untuk menempuh kuliah S2 dulu jadi cita-cita yang saya tunggu-tunggu
sekaligus waspadai. Dan hampir semua ekspektasi dan kekhawatiran itu saya alami
sepanjang empat tahun terakhir. Tesis yang saya susun ini menjadi kenang-
kenangan yang amat berkesan bagi saya secara pribadi. Ketertarikan saya pada
cerita anak dapat ruang untuk dibagikan dan diuji. Proses menulisnya pun tak kalah
berkesan, sebab menghabiskan waktu yang cukup panjang, namun pada akhirnya
melegakan.
Untuk itu semua, saya mau mengucapkan terima kasih kepada IRB, yang
berarti kepada semua orang yang ada di dalamnya atau pernah jadi bagian darinya,
karena telah membantu saya merawat minat untuk belajar, sekaligus meyakinkan
bahwa minat semacam itu selalu tidak sia-sia. Pengalaman belajar yang sangat
menyenangkan. Utamanya, terima kasih karena lewat proses itu, saya belajar
bersabar memahami kerumitan dan tidak buru-buru ingin tahu ujungnya. Dan hal
ini, sungguh-sungguh membantu saya lebih optimis menjalani hidup.
Saya sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada segenap staf pengajar
dan administrasi yang mendampingi perjalanan saya di IRB. Terlebih, untuk (Mbak)
Dr. Katrin Bandel atas semua kesempatan bertukar pikiran, perhatian sepanjang
penulisan tesis saya, dan kesabaran menunggui saat irama saya melambat atau
bahkan berhenti.
Terima kasih pula untuk kawan-kawan seperjalanan dari angkatan 2015 dan
seabrek angkatan lainnya. Semangat dan dukungan kalian sangat berarti. Terima
kasih atas cerita-cerita hidup yang kalian bawakan ke ruang obrolan, dari sana saya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
belajar banyak. Juga untuk teman-teman di mediasastra.com yang memperkenalkan
IRB dan menemani saya latihan tekun membaca. Terbukti, latihan itu menolong saya
melewati kelas-kelas teori yang butuh kerja keras. Terima kasih juga buat Mas
Wahmuji, kawan diskusi yang turut menunggui tesis ini jadi.
Saya menyampaikan terima kasih pula pada teman-teman di tempat kerja
yang dengan sabar memahami kebutuhan saya untuk sekolah: teman-teman di Indie
Book Corner, pintu perkenalan saya dengan dunia penerbitan, yang mengizinkan
saya punya jam kerja fleksibel selama dua semester; dan teman-teman di Translexi,
yang turut menyemangati dan mendukung proses penyelesaian tesis ini.
Terakhir, terima kasih pula untuk keluarga saya yang memberi kepercayaan
untuk melanjutkan studi sesuai pilihan saya; dan terima kasih buat Sakha Widhi
Nirwa, kawan baik yang menemani menjalani semua pengalaman ini.
Tesis ini jelas tidak sempurna, barangkali tidak memuaskan. Saya hanya
berharap tulisan ini jadi bagian dari perjalanan besar kawan-kawan yang sama-
sama belajar. Yang jelas, saya bersyukur saya “tidak mati karena tesis”.
Yogyakarta, 10 Juni 2019
Maria Puspitasari Munthe
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Bacaan anak adalah bagian dari semesta besar instrumen pendidikan untuk anak di Indonesia. Penelitian ini mencoba mendalami salah satu konten populer dalam cerita anak Indonesia, yakni buku cerita seri pengenalan profesi. Ada sepuluh judul seri profesi idaman yang saya gunakan sebagai objek utama dan tiga judul pelengkap sebagai data pembanding. Karya ini didekati dengan kerangka berpikir pendidikan kritis, dan secara khusus konsep pedagogi publik, yang disusun oleh Henry Giroux. Secara sederhana, penelitian ini ingin menelusuri wacana dominan apa yang dihadirkan teks semacam itu dan bagaimana wacana tersebut diproduksi.
Dengan pembacaan mendalam, saya mendapati dua wacana dominan yang disuguhkan dalam sepuluh buku cerita yang saya teliti, yakni modernitas dan nasionalisme. Keduanya diimajinasikan sebagai beberapa nilai utama yang perlu dilihat, dikenali, dan diperjuangkan oleh pembaca anak Indonesia. Aspek-aspek yang menjadi turunan dua narasi besar itu meliputi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tren individualisasi, dan kontras dengan pekerjaan di sektor tradisional.
Pengetahuan yang didistribusikan ini bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Ada otoritas yang menyusunnya sedemikian rupa dan situasi masyarakat tertentu yang memungkinkan pengetahuan semacam itu lahir. Dalam konteks penelitian saya, otoritas yang secara langsung berkontribusi pada dua narasi utama tersebut adalah wacana kolonial. Modernitas, demokrasi, dan hak asasi manusia adalah tiga isu utama yang kini mewakili suara wacana pemberadaban kontemporer.
Kata kunci: buku cerita anak, pengenalan profesi, wacana kolonial, anak Indonesia, pendidikan kritis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Children’s literature is part of the vast universe of instruments of children’s education in Indonesia. This research tried to delve into one of popular contents in Indonesian children’s stories, i.e. stories about occupation. There are ten titles on ideal profession which I used as the main object of the research, along with three secondary titles as comparative data. These works were approached with critical pedagogy, and particularly the concept of public pedagogy, proposed by Henry Giroux. To put it simply, this research aims to investigate the dominant discourses implied within those texts and how such discourses were produced.
Through close reading, I found two dominant discourses presented within the layers of the ten works of children’s literature I worked on, namely modernity and nationalism. Both were imagined as the main values Indonesian children need to set their eyes to, identify, and try to achieve. The derivative aspects of the two dominant narrations include the advancement of science and technology, trend of individualization, and contrast with traditional occupations.
The distributed knowledge is not value-free. There is a certain authority that constructed it and certain social circumstances that allowed such knowledge to be generated. In this research, the authority that directly contributed to both primary narrations are the colonial discourse. Modernity, democracy, and human rights are the three main issues that currently represent the voice of contemporary discourse of civilization.
Keywords: children’s stories, ideal profession, colonial discourse, Indonesian children, critical pedagogy
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ....................................................................................................... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMIS .................................................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. vi
ABSTRAK ................................................................................................................................................... viii
ABSTRACT .................................................................................................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
B. Tema ................................................................................................................................................ 8
C. Rumusan Masalah ...................................................................................................................... 8
D. Tujuan Penelitian ....................................................................................................................... 8
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................................................................ 9
E.1. “Sastra Anak sebagai Genre, Sebuah Utopia?” ............................................................ 9
E.2. Ideologi dalam Sastra Anak .............................................................................................. 12
E.3. “Berdamai” dengan Narasi Populer yang Dikonsumsi Anak .............................. 15
E.4. Sastra Anak Balai Pustaka: Corong Ideologi Pembangunan Orde Baru ........ 17
E.5. Anak Indonesia Tumbuh Jadi Modern ......................................................................... 19
F. Kerangka Teoretis ................................................................................................................... 22
F.1. Public Pedagogy oleh Henry Giroux .............................................................................. 24
F.2. Wajah Baru Standar Pemberadaban oleh Brett Bowden ..................................... 27
G. Metode Penelitian .................................................................................................................... 31
H. Sistematika Penulisan ............................................................................................................ 33
BAB II ANAK INDONESIA: SEBUAH KONSTRUKSI KELUARGA DAN NEGARA ............. 35
A.1. Literasi Anak dan Peran Keluarga ................................................................................. 39
B. Anak di Sekolah ........................................................................................................................ 44
B.1. Tut Wuri Andayani: Hakikat Pendidikan untuk Anak ........................................... 45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
B.2. Sekolah Orde Baru ............................................................................................................... 53
BAB III MODERNITAS DALAM CERITA ANAK INDONESIA .................................................. 61
A.1. Tokoh dan Penokohan ....................................................................................................... 67
A.2. Latar .......................................................................................................................................... 75
A.3. Plot ............................................................................................................................................. 81
B. Menjadi Manusia Modern ..................................................................................................... 88
B.1. Pendidikan Formal dan Profesionalisasi .................................................................... 88
B.2. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ............................................................ 91
B.3. Individualisasi ....................................................................................................................... 94
B.4. Kontras dengan Yang-Tradisional ................................................................................ 96
C. Negara dan Nasionalisme .................................................................................................. 101
BAB IV INDIVIDU MODERN SEBAGAI HASIL PROYEK PEMBERADABAN
MASA KINI .............................................................................................................................................. 105
A.1. Spesialisasi dan Keahlian ............................................................................................... 111
A.2. Bahasa, Keberpihakan, dan Hilangnya Intensi Pribadi ..................................... 114
B. Modernitas dan HAM: Wajah Baru Wacana Pemberadaban............................... 119
B.1. Orientasi pada Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ............................................... 122
B.2. Keadilan dan Hukum di Negara Demokrasi ........................................................... 125
C. Anak Indonesia yang Modern .......................................................................................... 131
BAB V KESIMPULAN .......................................................................................................................... 135
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................. 139
LAMPIRAN .............................................................................................................................................. 143
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Children’s literature is an amorphous, ambiguous creature; its relationship
to its audience is difficult; its relationship to the rest of literature,
problematic”(Hunt, 1992: 1).
Membicarakan sastra anak di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Literatur yang
menyediakan informasi mengenai diskusi atau pembicaraan soal sastra anak tidak
hadir dengan cukup memadai. Sebagai genre tersendiri dalam sastra di Indonesia
pun, posisinya masih—seperti kutipan di atas—problematis. Ketiadaan
penyebutannya dalam buku-buku sejarah sastra Indonesia membuat pencarian
rujukan untuk membaca kondisinya dalam rentang waktu mana pun makin sukar.
Bila menilik lebih jauh bagaimana sastra anak dibicarakan di Indonesia, genre ini
tampaknya “semu” saja. Buku-buku sejarah tradisi sastra Indonesia jarang sekali
menyebutkan sastra anak sebagai salah satu bagian yang memiliki karakteristik
khususnya sendiri untuk dibicarakan.
Istilah “sastra anak” sendiri punya debat teoretisnya yang belum dapat
dikatakan usai hingga saat ini. Dalam bagian kerangka teoretis penelitian ini, saya
memaparkan persoalan definisi yang saling tumpang tindih dan berpotensi
menimbulkan kebingungan. Dalam penelitian ini, saya tidak akan memasuki
perdebatan tersebut lebih jauh. Saya memilih menggunakan buku cerita fiksi anak
sebagai objek penelitian saya. Maka, untuk seterusnya, saya akan menggunakan
istilah “buku cerita anak” untuk menyebut ragam pustaka anak khusus yang saya
teliti.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Permasalahan yang ingin saya angkat dalam penelitian ini berawal dari
pengamatan bahwa angka penjualan buku anak melejit. Buku cerita anak yang kini
beredar melalui tangan industri perbukuan diproduksi secara massal dan
dikonsumsi secara besar-besaran pula. Portal berita daring Tempo.co melansir data
angka penjualan buku anak pada salah satu jaringan toko buku terbesar di
Indonesia, Gramedia, menduduki posisi teratas di antara jenis buku lainnya pada
tahun 2012 dan 2013.1 Pada masing-masing tahun tersebut, Gramedia menjual
sekitar 10,9 juta eksemplar buku anak setiap tahunnya. Selisih jumlah penjualannya
dengan jenis buku yang menduduki peringkat kedua—buku religi—amat jauh, yakni
terpaut sekitar 7,2 juta eksemplar (angka penjualan buku religi pada periode itu
adalah 3,7 juta eksemplar).
Genre karya ini juga sempat dicibir dan diremehkan oleh penerbit lainnya,
Mizan, yang tidak melihat prospek penjualan yang baik. Akan tetapi, setelah
penerbitan karya pengarang anak, Sri Izzati, pada tahun 2003, Mizan mulai
mempertimbangkan prospek lini bisnis ini dengan lebih serius. Penerbit ini lalu
membentuk kelompok Kecil-Kecil Punya Karya (KPKK) yang mewadahi para penulis
anak pemula Indonesia. Lini ini kemudian dikabarkan mampu meraup keuntungan
penjualan sekitar 15% dari keseluruhan angka penjualan Mizan.2
Fenomena kedua yang menuntun saya melakukan penelitian ini adalah
pemosisian buku cerita anak sebagai genre yang banyak dimuati kepentingan
pendidikan. Meskipun kontennya beragam, namun selalu ada tendensi muatan
pendidikan dalam tiap-tiap karya. Sebagai medium pendidikan, tentunya ada
1 Hadriani. (Minggu, 1 Juni 2014). Masa Berjayanya Buku Anak dan Penulis Cilik. http://m.tempo.co/read/news/2014/06/01/109581609/Masa-Berjayanya-Buku-Anak-dan-Penulis-Cilik, diakses pada tanggal 5 Juni 2016. 2 Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
“mekanisme” tertentu yang merumuskan dan mengontrol pedagogi macam apa yang
ditawarkan di dalamnya. Salah satu pihak yang turut ambil bagian dalam
mekanisme ini adalah produsen buku cerita anak (dalam konteks ini dapat merujuk
pada pengarang dan industri perbukuan anak). Di sisi lain, buku cerita anak
memang memiliki dimensi hiburan. Karya ini dibaca dengan tujuan memberikan
kesenangan pada pembaca dengan kisah-kisah yang cenderung lebih sederhana
dibanding karya sastra jenis lain. Akan tetapi, meski dimensi ini adalah salah satu
fungsi tak terpisahkan dari sastra secara umum, ada tendensi untuk meletakkan
edukasi sebagai fungsi yang dominan dalam buku cerita anak.
Kondisi di atas menjelaskan bahwa anak-anak dalam masyarakat Indonesia
masa kini mempunya interaksi yang cukup intensif dengan buku cerita anak. Oleh
karena itu, gagasan yang dibawa dalam buku cerita anak menjadi perhatian penting.
Gagasan itu turut menentukan proses belajar subjek anak dan cara pandangnya
dalam memahami realitas di kemudian hari. Terkait dengan kemampuan anak
memahami bacaan, ada satu kritik tajam yang dialamatkan pada para akademisi
yang berfokus pada sastra anak, yakni kecenderungan untuk menganggap anak
sebagai subjek yang inferior. Meski memang ada keterbatasan tertentu dalam diri
anak terkait rujukan pengetahuan dan pengalaman untuk memahami suatu hal,
namun mereka selalu punya kemungkinan untuk mempertanyakan atau mengkritisi
sesuatu berdasarkan rasio tentang dunia mereka sendiri.3 Pengalaman dan
pengetahuan yang terus bertambah seiring waktu menjadi salah satu faktor penentu
dalam proses membangun makna teks dalam membaca.
3 Marsh, Jackie dan Elaine Millard. (2000). Literacy and Popular Culture: Using Children’s Culture in the Classroom. London: Sage Publications Company, hal. 80.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Sebagai karya yang punya peran mengajari anak-anak akan nilai-nilai, buku
cerita anak tentunya bukanlah sesuatu yang otonom dari realitas. Ia adalah salah
satu produk budaya yang dapat menjadi representasi cara pikir tertentu dalam
masyarakat di mana ia diciptakan. Cerita anak tidak selalu dapat diasumsikan
sebagai sesuatu yang secara esensial mengajarkan “kebaikan” hanya karena ia
ditujukan untuk pembaca anak.
Saya ingin memaparkan sebuah ilustrasi untuk menunjukkan bagaimana
sebuah buku cerita anak membawa gagasan yang menjadi perwakilan imajinasi
masyarakat tentang budaya tertentu. Sewaktu kecil, saya memfavoritkan cerita
karangan penulis Inggris, Roald Dahl, yang berjudul Charlie dan Pabrik Cokelat
Ajaib4. Deskripsi mengenai sebuah tempat besar yang menjadi pusat pembuatan
beragam jenis kudapan cokelat buat saya sebagai anak-anak adalah ladang subur
latihan mengimajinasikan hal-hal di luar kemungkinan realitas sehari-hari. Charlie
dan Pabrik Cokelat Ajaib menghadirkan perjalanan lima orang anak yang
memenangkan Tiket Emas untuk berkunjung ke pabrik cokelat milik Tuan Willy
Wonka. Dari kelima anak ini, hanya satu yang berhasil menyelesaikan perjalanan,
yakni Charlie Bucket yang didampingi kakeknya. Empat anak lainnya harus
tersandung masalah di tengah perjalanan sebab perilaku mereka tidak sesuai
dengan apa yang disyaratkan oleh Tuan Willy Wonka. Mereka melakukan kesalahan
dengan memakan produk yang belum selesai diuji coba atau rakus atau terlalu
menuntut sehingga mereka mendapatkan musibah yang menghalangi perjalanan
keliling pabrik. Sementara Charlie Bucket yang digambarkan kalem dan kagum
4 Judul aslinya dalam bahasa Inggris adalah Charlie and the Chocolate Factory, diterbitkan pertama kali di Amerika Serikat tahun 1964 oleh penerbit Alfred A. Knopf Inc., kemudian diterbitkan di Inggris tahun 1967 oleh George Allen & Unwin. Terjemahan bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Gramedia pertama kali pada tahun 2002. Kisah ini juga pernah diangkat dua kali ke layar lebar dengan judul Willy Wonka and the Chocolate Factory (1971) dan Charlie and the Chocolate Factory (2005).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
sebagaimana anak-anak yang bersemangat dan tetap patuh berhasil menyelesaikan
tur pabrik bersama Tuan Willy Wonka. Sebagai hadiahnya, Tuan Willy Wonka
mewariskan pabrik cokelat ajaib itu kepada Charlie untuk dikelolanya ketika sudah
dewasa nanti.
Sekilas, tidak ada hal aneh dalam cerita anak di atas. Anak diajari untuk tetap
sopan dan menjaga perilakunya demi kebaikannya sendiri. Akan tetapi, ketika saya
membaca kembali cerita ini saat sudah dewasa, ada satu hal yang langsung kentara
mengganggu. Dalam pabrik cokelat yang dikelola Willy Wonka tersebut, ia
mempekerjakan sejenis makhluk seperti kurcaci yang disebut Oompa-Loompa.
Tidak ada seorang pun pekerja manusia. Para Oompa-Loompa ini mengoperasikan
seluruh pabrik, mulai dari meneliti rancangan produk baru, memproduksi massal
kudapan-kudapan cokelat, dan melakukan pemeliharaan terhadap sumber daya
pabrik. Dalam narasinya, Willy Wonka menceritakan kepada peserta tur pabrik
cokelat bahwa Oompa-Loompa diimpornya langsung dari sebuah negeri bernama
Loompaland. Tempat itu berupa hutan belantara dengan makhluk-makhluk yang
berbahaya. Para Oompa-Loompa kesulitan mencari makan oleh karena ancaman
bahaya tersebut, maka mereka bertahan di rumah pohon dengan memakan ulat bulu
hijau yang rasanya tidak enak. Mereka sebenarnya sangat suka makan biji kakao,
namun jika mereka harus turun dari rumah pohonnya, mereka bisa disergap
makhluk penghuni hutan yang lain.
Mengetahui hal itu, Willy Wonka melakukan pendekatan kepada para Oompa-
Loompa dengan memanfaatkan kegilaan mereka terhadap biji kakao.
Dan begitulah, anak-anak, begitu aku mengetahui bahwa para Oompa-Loompa tergila-gila pada makanan tertentu ini, aku memanjat ke desa mereka di atas pohon dan mengintip ke dalam pintu rumah kepala suku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
mereka. ... ‘[D]engar, kalau kau dan orang-orangmu mau ikut ke negeriku dan tinggal di pabrikku, kau boleh makan semua biji kakao yang kau mau! ... Kau boleh makan biji kakao setiap kali makan! ... Aku bahkan akan membayar gajimu dengan biji kakao kalau kau mau!
... “Jadi aku mengapalkan mereka semuanya ke sini, semua pria, wanita, dan anak suku Oompa-Loompa. Caranya mudah sekali. Aku menyelundupkan mereka semua dalam kotak besar yang dilubangi, dan mereka semua tiba dengan selamat. Sekarang semuanya bisa berbahasa Inggris. Mereka suka sekali menari dan bermain musik. ... Mereka masih memakai pakaian yang dulu mereka pakai di hutan. Mereka ngotot begitu.”5
Relasi Willy Wonka dan suku Oompa-Loompa mengingatkan saya pada relasi tuan
dan jajahan dalam wacana kolonialisme. “Tuan” mengambil mereka yang dianggap
terasing dan masih tradisional untuk dibawa mencapai kemajuan. Dalam hal ini,
warga Loompaland dijadikan pekerja di industri besar yang dikelola Willy Wonka.
Mereka pun diajari berbahasa Inggris, namun tetap diizinkan memelihara tradisi
mereka dalam bentuk pakaian yang sejak tinggal di hutan tetap mereka pakai.
Oompa-Loompa menjadi tenaga kerja yang tampak sangat strategis sebab tidak
perlu dibayar mahal, hanya sekadar diizinkan makan biji kakao dan cokelat
sepuasnya—yang tentu jumlahnya tidak sebanding dengan produksi massal pabrik
cokelat Willy Wonka.
Gagasan kolonialisme dan eksploitasi pekerja ini hadir dalam buku cerita anak
yang begitu terkenal. Bukan tidak mungkin—bahkan terbilang wajar—apabila anak
meyakini nilai-nilai yang dikandung teks tersebut hingga seterusnya meskipun nilai
itu melanggengkan dominasi kekuasaan tertentu yang mengontrol realitas
kehidupannya. Penyajian gagasan semacam ini dapat bersifat sangat implisit dalam
sebagian teks, sementara pada sebagian yang lain amat kasatmata. Oleh sebab itu,
5 Dahl, Roald. (2010). Charlie dan Pabrik Cokelat Ajaib. Terj. Ade Dina Sigarlaki. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, hal. 94–96.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
pengalaman membaca dengan pendekatan yang kritis diharapkan akan mampu
mengenali ide-ide yang mungkin diselubungi di dalam teks buku-buku anak.
Dalam kaitan dengan peran cerita anak sebagai medium pendidikan, saya
sebagai peneliti menaruh ketertarikan pada upaya membaca kecenderungan
gagasan yang ditampilkan dalam buku cerita anak yang beredar di Indonesia.
Pendidikan adalah salah satu topik yang kerap sekali diangkat, namun dalam
konteks ekonomi-sosial-politik tertentu yang terjadi di masyarakat, tentunya ada
pengaruh yang ikut menentukan bagaimana pendidikan diimajinasikan di dalamnya.
Dalam sejumlah kesempatan pengamatan awal, saya memerhatikan bahwa ada
gestur yang cukup kentara dalam buku-buku cerita anak di Indonesia untuk
mendefinisikan beberapa aspek kehidupan masyarakat dalam imajinasi yang
bertendensi mendukung sistem ekonomi neoliberal. Salah satu contohnya saya
temukan dalam buku cerita anak seri pengenalan profesi yang menghadirkan
contoh-contoh pelaku kerja profesional versi wacana modernitas. Sepilihan
pekerjaan direpresentasikan sebagai perbendaharaan cita-cita yang dapat
diimpikan anak untuk dijalani nanti ketika dewasa. Dalam seri ini, tidak hadir kisah
orang-orang yang bekerja di sektor nonformal, misalnya petani, seniman, dan
sejumlah pekerjaan lain yang domainnya mungkin belum dianggap profesional.
Narasi tentang mereka justru dihadirkan dalam seri terpisah, dibingkai sebagai
realitas yang sama sekali terpisah dari keseharian anak, dan dibicarakan seperti
sesuatu yang seakan-akan datang dari masa lalu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
B. Tema
Imajinasi modernitas terkait pekerjaan yang dihadirkan dalam buku-buku
cerita anak seri pengenalan profesi.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan mencoba menjawab
beberapa pertanyaan berikut:
1. Bagaimana subjek anak dimaknai dan dikonstruksi di Indonesia?
2. Apa saja wacana dominan yang disuguhkan dalam narasi buku cerita anak
seri pengenalan profesi yang terbit di Indonesia?
3. Subjek anak seperti apa yang ingin dibangun lewat narasi semacam itu?
D. Tujuan Penelitian
Proses analisis dalam menjawab rumusan masalah di atas akan membantu saya
untuk mencapai tujuan penelitian yang mencakup hal-hal berikut:
1. Melacak sejumlah konsep dan gagasan tentang anak di Indonesia, baik itu di
ranah domestik maupun di ranah lain yang dapat diintervensi oleh institusi
lain, misalnya negara.
2. Dengan mengacu pada teks buku cerita anak dan ideologi yang terkandung
di dalamnya, penelitian ini berupaya melihat wacana dominan yang muncul
dalam percakapan terkait pekerjaan di dunia bacaan anak Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
3. Memeriksa elemen apa saja yang dipresentasikan sebagai tiang-tiang yang
menyusun narasi dominan tersebut dan bagaimana elemen ini
membayangkan subjek anak Indonesia yang diinginkannya.
E. Tinjauan Pustaka
E.1. “Sastra Anak sebagai Genre, Sebuah Utopia?”6
Artikel oleh Widyastuti Purbani ini mengambil latar yang kurang lebih serupa
dengan rencana penelitian saya. Purbani memperhatikan bahwa sastra anak di
Indonesia tidak mampu berkembang dengan maksimal sebaik kelompok sastra
lainnya (“sastra orang dewasa”). Ia menyebutkan bahwa dalam segi minat baca,
sebenarnya ada harapan, mengingat jumlah penjualan buku anak yang menjulang.
Namun, ketiadaan fungsi kritik sastra untuk mendampingi jalannya penciptaan
menyebabkan beberapa masalah mendasar yang pada akhirnya menghambat
kefasihan para pemerhati dalam membicarakannya.
Masalah awal yang diangkat Purbani adalah perubahan pola manusia dalam
“mengonsumsi” atau membaca karya sastra anak. Ia mempermasalahkan
kecenderungan orang Indonesia untuk mengidentifikasi sastra anak selalu sebagai
dongeng. Ia membaca perbedaan kondisinya demikian: di masa lalu, orang tua
sering membacakan dongeng untuk anak (menjelang tidur, untuk mengajar, dsb.),
sementara kini kebiasaan itu luntur dan tergantikan oleh media lain, seperti televisi
dan komik. Anak masa kini dianggap jauh lebih tertarik dengan media-media yang
terakhir disebutkan oleh karena pengaruh perubahan zaman. Bagi Purbani, jenis
6 Purbani, Widyastuti. (1999). Sastra Anak Indonesia sebagai Genre: Sebuah Utopia?. Yogyakarta: Makalah HISKI III UNY.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
relasi kuasa antara orang tua (dewasa) dengan anak-anak pada masa dongeng
berjaya dan kini amat berbeda. Dulu, relasi kuasa itu sederhana, lalu kini beranjak
jadi lebih rumit. Anak-anak sebelumnya dilihat lebih patuh ketimbang anak-anak
masa kini.
Ketidakmampuan dongeng (dan orang dewasa) untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan ini disinyalir Purbani sebagai permasalahan utama yang turut
menyetir selera pembacanya—anak-anak. Dongeng dengan pola alur yang
cenderung seragam dan terlalu hitam-putih tidak menarik lagi bagi anak-anak yang
telah terpapar beragam jenis narasi lain. Itulah sebabnya, kartun, komik, televisi,
cerita pahlawan super, dan sebagainya bisa lebih memikat. Narasi-narasi ini
menghadirkan dinamika karakter dan alur yang lebih beragam (misalnya ada
kenakalan, kekalahan, kejahatan; tidak melulu hal-hal baik). Akan tetapi, menurut
saya ada dua kemungkinan yang menyebabkan Purbani berpikir demikian. Pertama,
pola hitam-putih dan seragam itu merujuk pada sekelompok dongeng sejenis saja;
Purbani mungkin melakukan generalisasi. Kedua, apabila dilakukan pembacaan
yang lebih cermat terhadap teks, pembaca biasanya menemukan makna yang
melampaui makna literal (misalnya ideologi) yang tidak sesederhana label “hitam-
putih” dan “mudah ditebak” itu.
Penyebab kedua kemiskinan wacana sastra anak menurut Purbani adalah
pemosisian anak sebagai subjek pembaca yang inferior. Orang-orang yang terlibat di
dalam geliat sastra anak sering memandang sebelah mata pemahaman dan
kecerdasan khusus anak; hal yang sama juga menyebabkan monotonnya karya.
Dengan pertimbangan posisi seperti itu, karya sastra anak sering mengambil peran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
yang menggurui dan kurang memperhatikan kemampuan anak untuk memahami
sesuatu dengan caranya sendiri.
Masih dalam konteks perlakuan yang sama, kecenderungan orang dewasa
untuk melindungi anak secara berlebihan punya pengaruh pada konten. Karya
sastra dapat memuat beragam topik terkait aspek kehidupan manusia secara umum.
Anak juga perlu mengerti tentang kejahatan, kematian, kehilangan, dan hal-hal lain
yang menimbulkan perasaan sedih; bukan melulu mendapatkan cerita yang
berakhir bahagia selamanya. Mursini7, dalam artikelnya yang berjudul “Kontribusi
Sastra bagi Anak-Anak”, mengutarakan poin yang sama, namun persisnya dengan
kebutuhan untuk menyesuaikan kadar kerumitan peristiwa bagi beberapa kategori
usia pembaca anak.
Persoalan yang lain datang dari kelompok yang menekuni sastra dan kritik
sastra. Purbani menyebutkan bahwa ada diskriminasi dalam dunia sastra sendiri
terhadap genre sastra anak. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal, yaitu
dianggap kurang memiliki nilai kesastraan yang memadai dan ada kesan “kekanak-
kanakan”. Kurangnya perhatian dan bahkan keengganan untuk membicarakan inilah
yang saya pikir jadi masalah utama dari miskinnya wacana tentang sastra anak di
Indonesia. Sementara, masalah terakhir yang diangkat Purbani menyoroti
kurangnya partisipasi dunia akademis dalam pewacanaan sastra anak. Pada level
perguruan tinggi, hanya sedikit sekali fakultas sastra di Indonesia yang menaruh
fokus pada topik ini. Purbani bahkan sempat menudingnya sebagai aksesori saja.
7 Mursini. 2009. “Kontribusi Sastra bagi Anak-Anak” dalam Bahas Vol. 18 No. 2. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Artikel dari Purbani ini memang terhitung kurang mendalam. Bahkan saya
mendapatkan kesan ada generalisasi dalam banyak aspek. Selain itu, permasalahan
utama yang saya temukan dalam tulisan ini adalah tidak adanya data yang dirujuk
oleh Purbani untuk mendukung argumennya. Meski tulisan ini setidaknya memberi
bantuan bagi saya untuk memetakan beberapa hal yang dianggap menjadi
permasalahan dalam wacana sastra anak di Indonesia, secara keseluruhan tulisan
ini terdengar seperti sekadar ratapan atas kondisi yang tidak ideal menurut Purbani.
Tidak tampak ada celah terbuka untuk mencoba memulai membicarakan
pewacanaan sastra anak di Indonesia. Nada semacam ini sering kali malah bersifat
kontraproduktif bagi pengembangan topik yang dibahas.
E.2. Ideologi dalam Sastra Anak
Bacaan dengan topik ideologi saya kira berguna dalam konteks berupaya
memahami imajinasi pedagogis macam apa yang diharapkan dipahami oleh anak.
Pendekatan pada teks yang memerhatikan aspek ideologi juga pada dasarnya akan
menjadi jalan masuk untuk membaca relasi kuasa yang terjadi dalam proses
pembentukan wacana yang disisipkan dalam karya.
Ideologi ini bisa saja dibaca melalui ketidaksadaran teks maupun juga melalui
kesengajaan yang dimasukkan oleh pengarang. Pembahasan mengenai ideologi
dalam teks karya sastra anak saya temukan dalam artikel oleh Peter Hollindale.8 Hal
yang menarik dalam tulisan ini adalah secara konsisten (hampir hingga penghujung
tulisannya), Hollindale mencoba mendeskripsikan cara memahami beberapa
kelompok orang berkenaan dengan sastra anak. Kelompok-kelompok orang ini
8 Hollindale, Peter. (1992) “Ideology and the Children’s Book”. Literature for Children Contemporary Criticism. Hunt, Peter (ed.). London: Routledge.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
secara garis besar dapat dibagi menjadi dua: child people dan book people. Dalam
pemahaman saya akan teks ini, child people merujuk pada orang-orang yang
menikmati karya sastra anak dari segi seberapa menyenangkan karya itu “melayani”
kebutuhan akan hasrat kanak-kanak dalam diri orang (baik anak-anak maupun juga
orang di luar kategori itu yang dipercaya masih tetap punya “sisi kanak-kanak”
dalam jiwanya). Sementara kelompok book people adalah mereka yang menaruh
perhatian lebih besar pada apresiasi karya tersebut dengan menggunakan kerangka
estetika karya sastra secara umum.
Salah satu contoh yang digunakan Hollindale untuk menggambarkan
bagaimana kedua jenis kelompok orang itu berbeda dalam memandang karya sastra
anak adalah mengenai tujuan penulisan karya itu sendiri. Child people akan
berpendapat bahwa karya sastra anak yang bagus adalah yang mampu
menyesuaikan cerita yang ditulis si pengarang dengan anak yang menjadi objek
penceritaan tersebut. Sebaliknya, orang-orang dalam kategori book people punya
kriteria yang berbeda dalam memandang estetika karya sastra anak. Mereka bisa
saja memuja sejumlah karya sastra anak sebagai karya yang bagus, akan tetapi
malah sebenarnya tidak pernah dibaca oleh anak-anak! Ada beberapa pengarang
yang menulis karya sastra anak “to please themselves” atau “for the child I once was”9.
Dengan demikian, objek anak-anak yang mereka tuju dalam penceritaan itu
sebenarnya malah absen. Tidak ada “anak” itu. Kisah sastra anak itu jadi sekadar
“bentuk seni terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang ingin disampaikan”,
demikian kata C.S. Lewis—pengarang Alice’s Adventure in Wonderland.10
9 Ibid. hal. 22. 10 Ibid. hal. 22.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Terkait dengan asumsi bahwa dalam karya sastra anak juga terkandung
ideologi tertentu, pertanyaan yang lahir kemudian adalah: siapa yang akan
menyadari keberadaan ideologi tersebut?; untuk kepentingan apa ideologi itu ditulis
dan dipahami?; siapakah yang memainkan peran lebih besar dalam hal ini, orang
dewasa atau anak-anak? Hollindale meyakinkan pembacanya (khususnya peneliti)
bahwa prioritas dalam hal ini bukanlah mempromosikan ideologi tertentu,
melainkan untuk memahaminya dan menemukan cara untuk membantu orang lain
memahaminya, termasuk anak-anak.
Dalam rangka memahami ideologi dalam teks karya sastra anak itu, Hollindale
membantu pembacanya dengan merumuskan kemungkinan letak keberadaan
ideologi. Ia menyebutkan ada tiga level ideologi dalam karya sastra. Level pertama
hadir sebagai yang paling kasatmata, yakni melalui pandangan/kepercayaan sosial,
politik, dan moral pengarang. Ideologi jenis ini dibuat tampak sangat eksplisit sebab
pengarang “merekomendasikan” nilai-nilai itu kepada anak-anak melalui ceritanya.
Ideologi pada level kedua hadir melalui asumsi-asumsi pengarang yang belum
diperiksa lebih jauh (baik oleh pembaca maupun kritikus). Asumsi ini biasanya
hadir tanpa disadari oleh pengarang, akan tetapi bahasa atau struktur yang
digunakannya untuk mengekspresikan asumsi tersebut tidak dapat memungkiri
nilai-nilai yang dibawanya (semacam ketidaksadaran pada teks). Nilai-nilai ini
merefleksikan nilai yang taken for granted bagi pengarang, dan anak-anak yang
membaca karyanya juga akan beranggapan demikian kecuali mereka berhasil
menyadari nilai-nilai itu bersifat ideologis. Asumsi dan nilai semacam itu tentunya
lahir dari konteks sosial tertentu yang dihidupi pengarang. Nah, inilah ideologi pada
level ketiga. Menurut Hollindale, yang memainkan peran paling besar dalam
membentuk karya adalah justru bukan pengarang itu sendiri, melainkan dunia di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
mana ia tinggal. Di sinilah letak wacana soal sastra anak. Ia menjadi salah satu
bagian dalam lingkungan yang mestinya bisa berfungsi mengkritisi dan (kemudian)
melahirkan isi dan bentuk sastra anak.
E.3. “Berdamai” dengan Narasi Populer yang Dikonsumsi Anak
Percakapan tentang karya sastra anak di Indonesia dalam beberapa kesempatan
membingkai keprihatinan akan minimnya diskursus kritis yang mendampingi
pertumbuhannya. Nada ratapan semacam ini biasanya lahir dari pembacaan bahwa
karya-karya sastra anak yang dianggap bermutu (dalam standar tertentu, biasanya
didominasi kepentingan edukasi dan kemampuan mengakomodasi perasaan senang
bagi pembacanya) di Indonesia berkurang jumlahnya. Orang tua pada khususnya,
atau orang dewasa pada umumnya, pun sering kali menunjukkan resistensi mereka
pada media-media selain bacaan yang dianggap sesuai untuk anak, di antaranya
televisi, permainan digital, dan internet.
Sebuah penelitian oleh Jackie Marsh dan Elaine Millard (2000) mencoba
menunjukkan pentingnya memerhatikan bentuk narasi apa saja yang dikonsumsi
anak, baik itu yang “dikanonisasi” sebagai narasi atau karya bermutu maupun
narasi-narasi populer. Penelitian yang dibukukan dengan judul Literacy and Popular
Culture ini mengulik bagaimana narasi populer yang mendampingi kehidupan anak
di luar kelas (sekolah) juga punya peran penting dalam pembentukan diri dan
kepribadian mereka. Dan ini bukan selalu berarti buruk. Penelitian Marsh dan
Millard mencoba melakukan semacam advokasi pada kebutuhan anak
bersinggungan dengan budaya populer yang dapat mendampingi proses bertumbuh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
mereka. Dan bahwa bentuk-bentuk populer ini punya potensi untuk dimanfaatkan
dalam membantu proses belajar di sekolah.
Argumen yang mendasari penelitian tersebut adalah bahwa media-media
baru ini mewujud sebagai narasi kontemporer yang dihidupi manusia, sebagaimana
bentuk-bentuk yang lebih awal (misalnya mitos, cerita fantasi, epos, legenda, dan
lain-lain) membawakan narasi zamannya pada generasi sebelum saat ini. Marsh dan
Millard membatasi penelitian mereka pada signifikansi media populer konsumsi
anak dalam pembelajaran di sekolah. Keduanya berpendapat bahwa pertama-tama,
orang dewasa yang terlibat dalam aktivitas ini harus membangun kesadaran
tertentu bahwa media yang kontemporer ini membawa pesan-pesan ideologis
tertentu. Kesadaran ini akan berfungsi sentral dalam merancang keterlibatan dan
perkenalan anak (dalam konteks penelitian mereka, murid) dengan beragam “suara”
yang ada di sekitar mereka.
Penelitian mereka dikerjakan dengan dua tujuan utama, yakni a)
berkontribusi dalam perdebatan tentang peran budaya populer dalam pendidikan
anak dan membangkitkan kesadaran akan isu-isu penting yang terletak dalam
pilihan dan penyajian teks; dan b) mengkritisi kurikulum literasi sekolah dasar masa
kini, sembari memberikan saran praktis terkait pengembangan kemampuan baca
dan tulis.11
Menurut saya, penelitian Marsh dan Millard membawa nada yang lebih
optimis dalam persinggungan antara narasi “kanon” dan populer dalam ranah
konsumsi anak. Semangat semacam ini saya rasa lebih relevan untuk diduplikasi
11 Marsh, Jackie dan Elaine Millard. (2000) Literacy and Popular Culture: Using Children’s Culture in the Classroom. London: Sage Publications Company.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
dalam konteks penelitian yang akan saya kerjakan. Pemeriksaan ini terkait
kehadiran beragam karya sastra anak di Indonesia dewasa ini dan potensi apa yang
dimilikinya untuk kebutuhan literasi anak.
E.4. Sastra Anak Balai Pustaka: Corong Ideologi Pembangunan Orde Baru
Sebagaimana telah disebutkan bahwa cerita anak selalu punya kaitan erat dengan
latar kehidupan masyarakat tempat ia diproduksi, artikel ilmiah Partiningsih yang
disarikan dari penelitian tesisnya ini mengutarakan salah satu contohnya. Penelitian
berjudul Ideologi Pembangunan Orde Baru dalam Sastra Anak Balai Pustaka Tahun
80-an12 ini menyoroti karya sastra anak terbitan Balai Pustaka yang diwakili oleh
empat karya, yakni Penyelamat Desa (Muhd. Yacob), Taman Sekolah (Manto DG),
Bunga-Bunga Hari Esok (Sasmito), dan Pandu Cucu Seorang Pejuang (A. Malik
Thachir).
Balai Pustaka adalah badan penerbitan dan percetakan milik negara
Indonesia. Pada tahun 1980-an, di bawah rezim pemerintahan Orde Baru, ia menjadi
bagian dari strategi pemerintah untuk menyuarakan dukungan kepada ideologi
pembangunan. Sastra dan lembaga pendidikan dilihat sebagai sarana yang efektif
untuk melakukan tugas itu. Maka, Balai Pustaka menerbitkan sejumlah buku sastra
anak yang mendukung gagasan pembangunan pemerintah Orde Baru. Karya-karya
yang dimaksud Partiningsih dalam penelitiannya mendefinisikan gambaran manusia
berkualitas versi Pancasila, “yakni memiliki kualitas spiritual, moral, dan etika, dan
12 Partiningsih. (2016). “Ideologi Pembangunan Orde Baru dalam Sastra Anak Balai Pustaka Tahun 80-an” dalam Atavisme Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, hal. 29-44.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
mampu mencukupi kebutuhan ekonominya dengan cara bekerja keras dan
mandiri.”13
Dalam konteks ini, anak-anak diposisikan sebagai objek pembangunan.14
Itulah sebabnya, karya sastra anak ini diposisikan untuk menanamkan nilai-nilai
yang sesuai dengan gagasan Orde Baru tentang hidup kebangsaan. Dengan
demikian, diharapkan anak sejak dini telah menginternalisasi nilai tersebut dan
untuk seterusnya setia pada negara. Topik-topik yang banyak ditemukan dalam
karya sastra anak era ini adalah “kesetiaan pada masyarakat dan negara, rela
berkorban untuk masyarakat, membangun desa terpencil, menjadi abdi negara yang
patuh dan setia, dan menjunjung wibawa pemerintah”15.
Sebagai bagian dari upaya promosi ideologi tersebut, Partiningsih
menjabarkan bahwa Balai Pustaka sebagai corong pemerintah juga melakukan
sejumlah strategi untuk mempertahankan hegemoninya. Mitra utamanya ialah
lembaga pendidikan, beserta para tenaga pendidik di dalamnya. Pada masa itu, Balai
Pustaka menyelenggarakan lomba penulisan sastra anak untuk para pendidik.
Strategi ini dilengkapi dengan upaya lain untuk menyeragamkan estetika sastra
anak menjadi suara dukungan untuk Orde Baru, dengan tidak mengakui atau
menyingkirkan estetika sastra anak jenis lainnya, baik yang lahir pada masa
sebelumnya16 maupun di luar lingkaran Balai Pustaka. Kedua strategi ini beroperasi
secara sinergis melalui institusi pendidikan formal (sekolah). Para guru yang
13 Ibid. hal. 34. 14 Ibid. hal. 35. 15 Ibid. hal. 35. 16 Estetika kesastraan yang coba digagalkan oleh Balai Pustaka (dan maka juga, Orde Baru) dari masa sebelumnya itu, disebutkan Partiningsih, mencakup “estetika realisme sosialis dari Partai Komunis Indonesia ataupun gagasan estetika tentang sastra yang dikembangkan oleh aliran kebudayaan yang berafiliasi dengan agama Islam, misalnya Lembaga Kebudayaan Seniman Muslimin Indonesia” (Partiningsih, 2015: 39).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
mengikuti lomba menulis sastra anak akan mengikuti estetika pilihan pemerintah
agar dapat menang. Setelah itu, karya-karya yang dianggap baik berdasarkan
kriteria estetika hegemonik itu akan didistribusikan secara massal dan terstruktur,
contohnya ke perpustakaan sekolah di seluruh Indonesia dan melalui pengajaran
dalam kelas.
Penelitian Partiningsih ini menunjukkan salah satu operasi wacana dalam
buku-buku cerita anak di Indonesia, secara spesifik pada tahun 1980-an. Pada
penelitian ini, periode waktu yang saya ambil jauh berbeda. Saya ingin membaca
kecenderungan yang lebih kontemporer mengingat latar politik dan historis
Indonesia sudah mengalami perubahan sejak dari periode waktu penerbitan sastra
anak yang diteliti Partiningsih.
E.5. Anak Indonesia Tumbuh Jadi Modern
Melani Budianta, dalam tulisannya yang diterbitkan dalam bunga rampai analisis
pascakolonial atas sastra Indonesia modern17, melihat bahwa serial televisi Si Doel
Anak Sekolahan bicara banyak tentang modernitas yang dipahami sebagian besar
masyarakat Indonesia pada periode tahun 1990-an. Dengan lebih kompleks dalam
tulisannya, Melani menilik ulang inspirasi teks Si Doel Anak Betawi yang ditulis oleh
Aman Datuk Madjoindo sebagai sebuah cerita anak dan tiga versi adaptasi
audiovisualnya—dua film yang disutradarai oleh Sjuman Djaja (Si Doel Anak Betawi
[1973] dan Si Doel Anak Modern [1976]) dan serial televisi Si Doel Anak Sekolahan
(1994-2006), serta satu teks lain oleh penulis yang sama dengan judul Tjerita
17 Lihat Budianta, Melani. 2002. “In the margin of the capital: From ‘Tjerita Boedjang Bingoeng’ to ‘Si Doel anak sekolahan’” dalam Clearing a Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Boedjang Bingoeng18. Melani mendekati kelima teks ini dengan kacamata
pascakolonial untuk melihat bagaimana masyarakat tradisional Indonesia, secara
khusus Melayu dan Betawi, berhadap-hadapan dengan intervensi modernitas dalam
kehidupan mereka.
Melani melacak modernitas dalam teks-teks itu lewat sejumlah aspek, yakni
sistem (ke)uang(an) dan pasar, nilai pendidikan, dan identitas sosio-kultural
(mencakup etnis, kelas, dan gender). Terlihat jelas bahwa terjadi dinamika respons
masing-masing pengkarya, baik penulis maupun sutradara, terhadap wacana
modernitas yang terwakili dalam ketiga aspek tersebut. Tjerita Boedjang Bingoeng
menampakkan resistensi yang kuat terhadap sistem keuangan modern lewat
penolakan tokoh Boedjang Bingoeng atas uang sebagai alat tukar untuk
mengapresiasi kerjanya. Sementara keempat teks Si Doel menampilkan tanggapan
yang lebih bernuansa atas ide modernitas; kadang modernitas dirayakan secara
kurang kritis, sementara di lain waktu juga dijadikan olok-olok untuk menunjukkan
banalnya motivasi masyarakat menilai sesamanya lewat, misalnya, kepemilikan
gelar akademis. Meski demikian, ada satu hal yang selalu menjadi pusat percakapan
dalam kisah Si Doel, yaitu pendidikan formal. Tokoh Doel yang lahir dari keluarga
Betawi tradisional selalu punya hasrat besar atas kesempatan bersekolah yang
diyakini menjadi jalan untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Pendidikan
ditempatkan sebagai ‘prasyarat untuk memasuki kompetisi ekonomi di tingkat
global, meskipun tidak menjamin keberhasilan’19.
Selain isu pendidikan, Si Doel dan keluarganya juga tak pernah luput dari
tarik-ulur antara tradisi dan kehidupan urban modern yang berjalan beriringan.
18 Tjerita Boedjang Bingoeng disebut-sebut sebagai terbitan Balai Pustaka yang kurang terkenal dan tidak termasuk kategori kanon; dalam tulisan Melani Budianta, karya ini tercatat diterbitkan pada tahun 1935. 19 Ibid., 256, terjemahan lepas oleh saya sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Dalam keempat teks Si Doel, penggunaan bahasa Betawi terbilang dominan; hanya
sejumlah tokoh yang digambarkan bukan orang Betawi asli yang bercakap-cakap
dengan bahasa Indonesia atau Melayu. Keluarga Doel tinggal tak jauh dari pusat kota
yang ingar-bingar; aktivitas Doel pergi-pulang kerja membuatnya berpindah latar
dan situasi dari kampung ke kota dan sebaliknya bahkan dalam rentang satu hari
saja. Orang tua Doel setiap harinya mengenakan pakaian yang identik dengan tradisi
Betawi (sarung, kaus longgar, kopiah), sementara jika bekerja Doel harus
berpakaian formal modern (celana panjang, kemeja, dasi). Bahkan dalam serial
televisinya, sempat dikisahkan ketika Si Doel bimbang memilih antara berangkat ke
Swiss untuk menerima beasiswa pelatihan kerja atau tetap tinggal di Jakarta.
Mendiang ayahnya sempat melarang keras ia pergi ke luar negeri, padahal
kesempatan itu diperlukan untuk memuluskan jalan kariernya di kantor.
Pertemuan wajah yang-tradisional dan yang-modern dalam serial televisi Si
Doel yang laku keras pada tahun 1990-an sedikit banyak menunjukkan bentuk
interaksi umum dan ideal yang dibayangkan masyarakat audiensnya kala itu. Si Doel
adalah anak kampung teladan yang mampu melampaui keterbatasan ekonomi dan
kultural untuk merampungkan kuliah sarjana. Meski telah menyandang gelar
akademis dan bekerja di kantor besar, “kerjaannye sembahyang mengaji”20 serta
senantiasa berlaku sopan pada orang yang lebih tua. Tampak jelas bahwa figur ideal
yang diharapkan haruslah mampu memenuhi standar pendidikan dan keterampilan
masyarakat urban modern, namun tak lupa menjalankan nilai-nilai luhur yang
diwariskan lewat keluarga. Tak jarang, “pelestarian” tradisi itu ditempuh dengan
cara rasialisasi para tokoh dan kesehariannya agar tampak tradisional.
20 Frasa ini adalah potongan lirik lagu tema pembuka dan penutup serial televisi Si Doel Anak Sekolahan. Lagu yang sama telah digunakan sejak film adaptasi pertama oleh Sjuman Djaja, Si Doel Anak Betawi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Analisis Melani membantu saya membaca satu dari sekian persepsi
masyarakat Indonesia dalam rentang 30 tahun terakhir atas modernitas yang
tengah berlangsung. Persepsi ini saya tempatkan sebagai latar yang semacamnya
cukup relevan pula dengan pembacaan saya atas narasi utama sepuluh buku seri
pengenalan profesi yang telah dijabarkan sebelumnya.
* * *
Kelima bacaan yang saya sarikan dalam bagian ini merupakan referensi
kerangka pikir yang menjadi pijakan saya dalam merancang penulisan di bagian
selanjutnya. Tulisan Purbani menunjukkan cuplikan situasi dunia bacaan anak
Indonesia, dengan sedikit informasi tentang apa yang ideal. Tulisan Peter Hollindale
memberi landasan bahwa bacaan anak adalah produk ideologis dan kultural.
Sementara tulisan Marsh dan Millard memberi gambaran tentang perdebatan antara
yang-kanon dengan yang-populer dalam semesta ini. Persisnya, semangat penelitian
merekalah yang ingin saya duplikasi dalam penelitian ini, yakni merangkul yang-
populer sebagai ranah yang perlu dipertimbangkan, sebab di sinilah justru terjadi
interaksi yang masif antara anak dan produk budaya yang dikonsumsinya. Dua
bacaan terakhir, dari Partiningsih dan Melani Budianta, merupakan contoh
pembacaan ideologis yang kontekstual dalam masyarakat Indonesia pada periode
waktu yang berbeda.
F. Kerangka Teoretis
Untuk menganalisis rumusan masalah yang disarikan dari latar dinamika sastra
anak di Indonesia saat ini, secara khusus dalam kerangka wacananya, diperlukan
perangkat berpikir yang akan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
tersebut. Untuk membaca dan menempatkan buku cerita anak sebagai sebuah
aparatus politik tertentu yang mempromosikan gagasan wacana dominan dalam
masyarakat, saya menggunakan teori public pedagogy yang dikemukakan oleh
Henry Giroux dengan pendekatan pendidikan kritis.
Untuk mendukung pembacaan dengan pendekatan tersebut, saya juga
memilih beberapa konsep pendukung lain yang dapat membantu memperdalam
temuan yang dihasilkan. Secara umum, teori pendukung yang memayungi beragam
pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pascakolonial. Pilihan
pendekatan ini dibutuhkan untuk memahami mengapa dan bagaimana profesi
tertentu dicitrakan sebagai sesuatu yang modern, sementara yang lain tradisional.
Dengan pendekatan pascakolonial, penelitian ini berupaya membaca adanya
ketimpangan dalam persepsi umum masyarakat saat menilai jenis pekerjaan yang
identik dengan modernitas dan yang sebaliknya. Keduanya ditempatkan secara
hierarkis dengan pekerjaan “modern” sebagai model superiornya. Sebaliknya,
pekerjaan di sektor nonformal, tak peduli seberapa fundamental perannya dalam
menunjang kehidupan masyarakat sehari-hari, selalu dilihat sebagai sesuatu yang
terbelakang dan tidak difavoritkan. Hal ini senada dengan narasi kolonial yang
senantiasa menjunjung modernitas ala Barat dan melabeli sisanya sebagai
“tradisional” dan oleh sebab itu perlu ditinggalkan.
Literatur utama yang saya rujuk sebagai konsep pascakolonialitas yang
kontekstual dalam penelitian ini adalah kronik perkembangan wajah wacana
pemberadaban yang ditulis oleh Brett Bowden. Identifikasi Bowden atas standar
pemberadaban yang lebih kontemporer saya gunakan untuk membaca bagaimana
narasi dominan dalam buku cerita anak mencerminkan hal serupa. Konsep
pendukung lainnya saya jabarkan pada masing-masing bagian yang relevan di bab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
dua dan empat. Di antaranya, metafora relasi anak dan orang dewasa dalam wacana
kolonial yang diutarakan oleh Ashis Nandy, juga rumusan pendidikan awal bangsa
Indonesia oleh Ki Hadjar Dewantara yang menjadikan pengalaman kolonialisme
pertimbangan penting. Pada bab empat, saya juga meminjam substansi ceramah
Edward Said terkait representasi intelektual modern yang ternyata serupa dengan
temuan bab tiga.
F.1. Public Pedagogy oleh Henry Giroux
Henry Giroux, seorang pemikir teori pendidikan kritis, mengajukan konsep public
pedagogy sebagai respons atas cenderung abainya para pemikir dan praktisi
pendidikan pada aspek pedagogi di luar institusi formal seperti sekolah. Ia
mendefinisikannya sebagai sebuah kerangka kerja yang menjelaskan praktik
pedagogis yang bekerja dalam aparatus budaya (cultural apparatus).21 Perhatian
pada ranah ini didasari pada keadaan bahwa aparatus budaya telah dibajak secara
besar-besaran oleh kekuatan neoliberalisme, misalnya dalam bentuk logika
komodifikasi. Dalam tulisannya yang lain, Giroux mengkritisi bahwa banyak
penelitian tentang pendidikan ternyata hanya berfokus pada institusi formal, dan
malah tidak melirik sama sekali peran aparatus budaya (terutama budaya populer)
sebagai bagian dari sistem besar pendidikan.22
Dalam masyarakat neoliberalisme Amerika Serikat, wacana neoliberal
dipandang Giroux telah menjadi public pedagogy. Dalam konteks ini, public pedagogy
merujuk pada serangkaian kekuatan ideologis dan institusional yang bertujuan
21 Giroux, Henry. (2011). “Critical Pedagogy in Dark Times” dalam On Critical Pedagogy. New York: The Continuum International Publishing Group, hal. 7. 22 Lihat Giroux, Henry. (2005). “Popular Culture as a Pedagogy of Pleasure and Meaning” dalam Border Crossings: Cultural Workers and the Politics of Education, Second Edition. New York: Routledge, hal. 157-184.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
membentuk individu yang kompetitif dan mengutamakan kepentingan pribadi yang
berlomba-lomba meraih pendapatan material dan ideologisnya sendiri.23 Wacana ini
disebarkan tidak hanya melalui kelas-kelas di sekolah, melainkan juga lewat
berbagai bentuk media yang lebih populer, seperti televisi, periklanan, film, dan lain
sebagainya.
Meski kondisinya demikian, Giroux berpendapat bahwa public pedagogy
adalah jalan yang dapat dimanfaatkan untuk “memperbaiki” iklim pedagogis dalam
masyarakat, tentunya dengan kebutuhan menghadirkan wacana tandingan yang
mengkritisi wacana dominannya (neoliberalisme-pen.). Konsep ini
menggarisbawahi pentingnya kedua ranah pendidikan, baik itu formal maupun
populer, dengan tujuan membangun kapasitas, mode literasi, pengetahuan, dan
keterampilan kritis yang membantu warga untuk melihat dunia secara kritis dan
sekaligus berperan serta dalam membentuk dan mengatur kondisi itu.24
Mengapa penting membicarakan aparatus budaya? Giroux melihat budaya
sebagai sebuah medan penting untuk berteori dan mengejawantahkan aspek politis
sebagai sebuah artikulasi dan intervensi atas aspek sosial. Dalam ruang ini, politik
tumbuh jamak dan bentuknya beragam. Singkatnya, budaya adalah ladang
kontestasi sekaligus wadah tampung berbagai kekuatan politik dalam masyarakat.
Ia menjadi ranah utama di mana masyarakat (baik sebagai individu maupun
kelompok) terlibat untuk menerjemahkan berbagai relasi yang menjembatani
kehidupan pribadi dengan keprihatinan (atau perhatian) publik.25
23 Giroux, Henry. (2011). “Neoliberalism and the Politics of Public Pedagogy” dalam On Critical Pedagogy. New York: The Continuum International Publishing Group, hal. 135. 24 Ibid. hal. 137. 25 Ibid. hal. 138.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Dalam perspektif ini, pendidikan atau pedagogi secara luas dilihat sebagai
unsur penting dalam kebudayaan yang selalu punya posisi strategis untuk
membangun subjek-subjek manusia dalam masyarakat. Menurut Giroux, pedagogi
adalah praktik politis dan moral. Sebagai praktik politis, pedagogi berfungsi
menjelaskan hubungan antara kekuasaan, pengetahuan, dan ideologi. Sementara
sebagai praktik moral, pedagogi mesti diiringi kesadaran bahwa segala jenis
pengetahuan yang diproduksi melahirkan konsekuensi tertentu. Lebih jauh lagi, ia
menekankan bahwa agensi individu adalah hal penting yang harus hadir dalam
praktik pedagogi ini. Artinya, individu punya kesadaran bahwa ia adalah elemen
yang turut menentukan bagaimana praktik politik tersebut ia tafsirkan. Pedagogi
adalah tindak performatif; bukan hanya perkara mendekonstruksi teks, melainkan
menempatkan politik itu sendiri dalam rangkaian relasi kekuasaan yang lebih
besar.26
Tantangan besar yang dihadapi dalam kaitannya dengan tarik-ulur dengan
kekuatan dominan dalam masyarakat adalah memunculkan bahasa baru yang tidak
terkontaminasi oleh hal itu. Giroux melihat bahwa salah satu medium beroperasinya
wacana kekuasaan adalah bahasa. Maka, hal penting yang harus dilakukan dalam
kerangka ini adalah menganalisis bahasa tidak secara sinkronis, melainkan
diakronis. Dua istilah dikemukakan bahasawan Ferdinand de Saussure untuk
membedakan pendekatan dalam analisis bahasa. Sederhananya, pendekatan
sinkronis menganalisis bahasa dengan hanya memperhatikan keadaannya pada satu
waktu (biasanya sekarang) dan tidak memperhitungkan sejarah yang
membentuknya. Sebaliknya, pendekatan diakronis menaruh perhatian khusus pada
perkembangan historis bahasa. Artinya, praktik analisis diakronis menegasi asumsi
26 Ibid. hal. 144.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
bahwa bahasa kekuasaan dominan lahir secara alamiah. Alih-alih demikian, bahasa
adalah hasil dari perjuangan dan konflik historis tertentu. Giroux mengadvokasi
para pemikir kajian budaya untuk melahirkan sebuah “bahasa kemungkinan”
(language of possibility). Hal ini dimaksudkan untuk melahirkan pengetahuan baru
dan menawarkan cara baru untuk membaca sejarah atau kondisi masyarakat pada
konteks umumnya.27
Teori public pedagogy dengan pendekatan pendidikan kritis ini akan saya
gunakan untuk melihat cerita anak sebagai aparatus budaya yang mengusung nilai-
nilai tertentu yang mewakili kondisi masyarakatnya. Dengan sudut pandang ini,
cerita anak dipahami sebagai sebuah medan kontestasi wacana. Pemeriksaan dalam
aspek bahasa akan menjadi peranti untuk menentukan gagasan apa yang menjadi
kekuatan dominan dalam kontestasi tersebut.
F.2. Wajah Baru Standar Pemberadaban oleh Brett Bowden
Secara sederhana, tulisan Bowden28 menyelidiki sejarah wacana pemberadaban dan
memuat perincian tentang perubahan atau perkembangan makna dan fungsi yang
berputar di sekitar kata “peradaban” (civilization). Pada awal kemunculannya,
wacana misi pemberadaban disebarkan dalam tubuh yang sama dengan
kolonialisme (dan imperialisme). Wacana ini hadir sebagai wajah santun bagi
intensi perluasan kekuasaan yang mengikutinya. Gagasan tentang menjadi
“beradab” pun terkait erat dengan gagasan tentang kemajuan (idea of progress),
27 Giroux, Henry. 2005. “Cultural Studies, Resisting Difference, and the Return of Critical Pedagogy” dalam Border Crossings: Cultural Workers and the Politics of Education. New York: Routledge, hal. 137-155. 28 Bowden, Brett. (2009). The Empire of Civilization: The Evolution of an Imperial Idea. Chicago: The University of Chicago Press.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
bahkan oleh Georg Iggers, seorang sejarawan Amerika, disebut sebagai “bentuk
representasi teori modernisasi yang pertama”.29
Wacana pemberadaban setidaknya melibatkan dua pihak berkarakteristik
bertentangan: “yang-beradab” dan “yang-tertinggal”. Gagasan ini mengasumsikan
bahwa mereka yang beradab memiliki ciri masyarakat yang lebih modern, lebih
maju (misalnya punya sistem keadilan dan tata negara yang lebih kompleks,
menerapkan pemanfaatan teknologi yang lebih terdepan). Sementara itu, mereka
yang tertinggal dianggap belum memenuhi standar itu dan “perlu dibantu” untuk
mencapainya. Secara spesifik, wacana pemberadaban diposisikan sebagai
rasionalisasi untuk melegitimasi praktik kolonialisme Eropa. Posisi yang-beradab
jelas dimiliki oleh kolonial, dan yang-tertinggal adalah masyarakat di belahan dunia
lain yang diokupasi oleh pihak yang pertama (dalam banyak kesempatan, dua pihak
ini kerap dirujuk sebagai “the West and the rest”; hanya Barat yang bernama [diawali
dengan huruf kapital pula!], sementara belahan lain dianggap tanpa wajah dan
seakan-akan dapat dikelompokkan jadi satu tanpa masalah).
Dalam tulisannya, Bowden juga sempat mengutip pernyataan Edward Shils
untuk menekankan bahwa proyek modernisasi, secara khusus, berarti proses
‘menjadi seperti Eropa’. Orang-orang barangkali lebih suka melakoni proses ini
tanpa harus tergantung kepada Barat, namun Shils menyatakan bahwa modern
merupakan karakter alamiah Barat, datang “dari sananya”.30 Maka, dalam relasi
semacam ini, tidak akan pernah ada situasi di mana masyarakat jajahan menyejajari
atau bahkan melampaui Barat.
29 Ibid., hal. 69. 30 Ibid., hal. 72. Bowden mengutip pernyataan Shils, “[I]t has become part of their (Western’s, red.) nature to be modern and indeed what they (the West, red.) are is definitive of modernity.” Lih. Shils, E. (1970). “Political Development in the New States—The Will to Be Modern,” dalam Readings in Social Evolution and Development. S. N. Eisenstadt (ed.). Oxford: Pergamon, hal. 379-382.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Wacana pemberadaban jelas menimbulkan banyak masalah. Mengasumsikan
bahwa Barat lebih maju dari yang lain adalah yang pertama. Persoalan lain,
mengklaim bahwa ada tugas yang harus diemban Barat untuk memajukan
masyarakat lainnya pula (the white man’s burden). Dan praktiknya, menunjukkan
ambivalensi yang amat kentara: demi mengajari bangsa lain untuk jadi beradab,
kolonial malah kerap kali menggunakan cara-cara yang tidak beradab. Mereka
mencaplok kepemilikan wilayah, menundukkan masyarakat agar mengikuti aturan
main mereka, mengeksploitasi manusia dan sumber daya alam daerah jajahan, dan
lain sebagainya.
Kolonialisme klasik barangkali sudah berlalu (tapi, jamak dibicarakan bahwa
kolonialisme sebenarnya belum usai hingga kini, hanya beralih bentuk [atau kerap
disebut neokolonialisme]), namun nyatanya gagasan yang dibawa wacana
pemberadaban masa itu tampaknya laten. Inilah landasan argumen Bowden.
Wacana yang dimaksud terus direproduksi, hanya saja telah berubah bentuk.
Bowden menyarikan pernyataan Gerrit W. Gong dengan tesis yang sederhana, yakni
bahwa standar modernitas dan standar hak asasi manusia (HAM) kini menjadi
standar global baru yang menggantikan standar pemberadaban31. Kedua standar
inilah wajah baru norma yang asumsinya diamini secara universal oleh warga dunia
tanpa batasan administratif negara. Akan tetapi, kedua standar ini bukanlah muncul
dari udara kosong. Gong menekankan bahwa nilai-nilai tentang hidup modern dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan versi bentukan Eropa.
Artinya, lagi-lagi keduanya menjadi perpanjangan tangan bagi “misi pemberadaban”
masa kini dengan wajah yang sama sekali berbeda dari misi pemberadaban klasik
31 Ibid., hal. 166. Pernyataan ini dimuat Gerrit W. Gong dalam bukunya yang berjudul The Standard of “Civilization” in International Society terbitan Clarendon tahun 1984.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
(kolonialisme). Cara yang ditempuh bukan lagi okupasi dan opresi. Sebaliknya,
kedua standar ini umumnya dianggap sebagai nilai bersama yang secara alami perlu
kita pegang.
Tesis penting Bowden setelah ia merangkum beberapa pendapat pemikir
terkait wajah baru pemberadaban ini adalah bahwa standar modernitas, hak asasi
manusia, serta gagasan dan praktik demokrasi telah bercampur jadi kesatuan tak
terpisahkan.32 Dalam pembahasannya tentang perpaduan modernitas, hak asasi
manusia, dan demokrasi ini, Bowden mengutip tulisan ilmuwan politik Amerika,
Francis Fukuyama, bertajuk “Natural Rights and Human History”33. Fukuyama
mengelaborasi definisi hak asasi manusia (HAM) sebagai “aspirasi moral dan
prioritas masyarakat modern, yakni masyarakat yang secara sistematis
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi memenuhi kebutuhan
manusia”34. Fukuyama mengamini bahwa modernitas dan HAM hadir satu paket
dengan sistem pemerintahan demokrasi. Maka, penerapannya di masyarakat yang
nondemokratis atau setidaknya menganut sistem politik yang bertentangan dengan
demokrasi sering kali bersifat kontraproduktif.
Meski demikian, Bowden mengambil sikap yang berbeda dari Fukuyama
terkait “perbedaan” sistem politik serta pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diterapkan oleh tiap-tiap negara. Fukuyama menuturkan bahwa
HAM menjadi aspirasi yang eksplisit utamanya pada masyarakat yang telah maju
baik dalam kategori ekonomi maupun politik. Bowden merasa, tidak ada bukti kuat
yang berhasil menunjukkan mengapa HAM tidak cocok untuk masyarakat yang tidak
32 Dalam tulisannya, Bowden menggunakan kata “conflating”. 33 Fukuyama, Francis. (2001). “Natural Rights and Human History” dalam National Interest 64, hal. 17-30. 34 Lih. Bowden, op. cit., hal. 173. Terjemahan oleh saya sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
mengikuti ideal Barat itu. Sama halnya dengan negara yang dengan sengaja tidak
memprioritaskan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka tidak
perlu dilabeli sebagai negara “tertinggal”.35
Dalam lingkungan yang melazimkan demokrasi, HAM, dan modernitas sebagai
nilai fundamental kehidupan sosial dan politiknya, negara atau bangsa lain yang
berpegang pada nilai berbeda dianggap sebagai ancaman. Oleh karena itu, mereka
yang berbeda ini perlu diseragamkan agar membawa nilai yang sama. Nilai-nilai ini
pun perlu disebarkan dalam bingkai spesifik, yakni kapitalisme (atau
neoliberalisme). Modernitas, HAM, dan demokrasi yang akan ditegakkan bukanlah
sesuatu yang boleh lahir dengan “unik” dalam konteks tiap-tiap bangsa. Akan tetapi,
ketiganya mesti mendorong negara tersebut untuk dapat bergabung dalam
masyarakat pasar bebas. Upaya imperialisme ini dibayangkan sebagai sesuatu yang
“saling menguntungkan”. Dengan membuat negara tetangganya lebih demokratis,
adil, dan modern, negara “maju” merasa aman karena berhasil mengeliminasi
ancaman. Sementara di sisi yang lain, negara “tertinggal” ini dianggap memperoleh
berkah berupa kehidupan yang lebih demokratis, adil, dan modern.
G. Metode Penelitian
Salah satu kendala mayor yang saya hadapi di awal penelitian datang ketika
menyadari betapa besarnya semesta bacaan anak, bahkan setidaknya dalam lingkup
Indonesia saja. Literatur mengenai kategorisasinya pun terbilang belum memadai
sehingga bersandar pada kategorisasi yang masih tumpang tindih tidak jadi pilihan
saya. Alih-alih berangkat dari jenis bacaan, saya mencoba mendalami tendensi
35 Ibid., hal. 173.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
umum untuk menempatkan bacaan anak sebagai instrumen pendidikan. Temuan
dari pencarian awal menuntun saya ke pertanyaan penting yang mendasari
penelitian ini: pendidikan macam apa yang dimuat di sana?
Saya lalu memilih untuk menyoroti fenomena cetak biru pendidikan
Indonesia yang disusun dalam kerangka visi ekonomi global, utamanya terkait
industrialisasi. Produk pendidikan diidealkan mesti siap kerja dan dapat diserap
oleh dunia industri (meski kenyataannya tidak sesederhana ini). Landasan seperti
itu, saya duga, mendorong arah pendidikan jadi lebih vokasional. Dari sinilah
persisnya, saya mulai melakukan pembacaan umum pada salah satu tema populer
dalam buku bacaan anak, yakni pekerjaan profesional.
Buku cerita anak seri profesi bukan barang langka. Hampir semua penerbit
buku anak merilis bacaan jenis ini. Maka, saya menyisir satu seri dari penerbit Tiga
Serangkai dan memilih tujuh buku dari seluruh seri profesinya. Ketujuh buku
dengan profesi yang diwakilinya sedikit banyak menggambarkan sebaran dunia
kerja profesional yang kerap muncul dalam percakapan kasual masyarakat
Indonesia. Menariknya, saya menemukan seri lain yang sama-sama bicara tentang
pekerjaan, namun dihadirkan dengan penggambaran yang sangat kontras dengan
seri sebelumnya. Perbedaan ini amat kentara. Maka, saya pilih pula tiga buku dari
seri pekerjaan nonformal ini untuk ditempatkan sebagai data pembanding.
Saya melakukan pembacaan mendalam (close reading) pada sejumlah buku
cerita anak Indonesia sebagai representasi semestanya yang lebih luas dalam
industri perbukuan anak di Indonesia. Pembacaan mendalam terhadap teks
dilakukan untuk melihat imajinasi modernitas seperti apa yang dibawanya dan
bagaimana wacana itu diproduksi dan disisipkan ke dalam karya. Selain itu,
pembacaan ini akan dilengkapi dengan observasi atas kondisi sosial masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
dalam rangka memahami konteks yang melahirkan gagasan modernitas dalam
cerita anak Indonesia.
H. Sistematika Penulisan
Secara sederhana, penelitian ini membicarakan buku cerita anak seri pengenalan
profesi dengan dua topik utama:
1. Apa wacana dominannya?
2. Bagaimana wacana tersebut diproduksi?
Tesis saya dipaparkan dalam lima bagian. Bab pertama berisi pendahuluan
tentang latar belakang saya mengambil topik penelitian produksi wacana
modernitas dalam buku cerita anak seri pengenalan profesi, rumusan masalah, dan
metode serta teori yang diaplikasikan untuk membaca data yang dikumpulkan.
Bab kedua menjadi presentasi serangkaian gagasan yang berkaitan dengan
konstruksi subjek anak di Indonesia. Sepilihan konsep ini saya susun dengan
perspektif tertentu yang menampilkan pergulatan wacana soal individu anak di
ranah domestik keluarga dan campur tangan negara dalam pembentukannya. Latar
ini menyajikan dunia kecil dan khusus tempat saya mendalami salah satu aparatus
budaya yang bekerja di dalamnya.
Pada bab tiga, saya memaparkan hasil pembacaan mendalam pada sepuluh
buku cerita anak yang mengangkat topik pengenalan profesi. Saya menempatkan
teks-teks itu sebagaimana menganalisis karya dengan teori sastra. Ada beberapa
elemen intrinsik yang saya pilih untuk mewakili isu penting yang menandai
kecenderungan narasi dominan di dalamnya. Bagian ini menghasilkan beberapa
poin penting yang menjadi tiang penyangga analisis di bab selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Bab empat adalah pemeriksaan lapis berikutnya dengan bekal hasil
pembacaan mendalam di bab tiga. Pada bagian ini, saya menggunakan beberapa
konsep pendukung yang merupakan turunan dari teori pascakolonial untuk
menempatkan narasi dominan buku cerita anak tersebut dalam peta sosial-politik
masyarakat pembacanya, yakni anak-anak Indonesia. Setidaknya, saya mencoba
menelusuri bagaimana narasi dominan itu lahir dan bagaimana situasi nyata di
sekelilingnya. Sebagai penutup bab empat, saya mencoba mendaftar hal-hal terkait
subjek pembaca anak yang diimajinasikan dan diharapkan oleh produsen buku
cerita itu.
Bab lima berisi kesimpulan yang menautkan semua hasil pencarian di bagian
sebelumnya untuk menggambarkan bagaimana subjek anak diposisikan dan
dibayangkan. Selain itu, bagian ini juga menjembatani lagi pembahasan di bab tiga
dan empat terkait individu anak yang modern dengan konsep alternatif yang pernah
diusulkan Ki Hadjar Dewantara, sebagaimana dipaparkan dalam bab dua. Keduanya
mewakili ekspektasi substansi pendidikan yang diterapkan untuk anak-anak
Indonesia. Akan tetapi, dalam konteks masyarakat pascakolonial, tawaran Ki Hadjar
terbilang radikal dan menjadi catatan penting dalam perjalanan memaknai dan
menyusun (ulang) substansi pendidikan anak di Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
BAB II
ANAK INDONESIA: SEBUAH KONSTRUKSI KELUARGA DAN NEGARA
Dalam banyak perdebatan, baik akademis maupun nonakademis, mengenai buku
bacaan anak secara umum, posisi subjek anak mulai diproblematisasi. Pertanyaan-
pertanyaan yang banyak mengemuka adalah seputar apakah anak telah
dipertimbangkan sebagai pribadi tersendiri dalam sekian banyak penelitian dengan
topik-topik terkait anak, ataukah mereka diposisikan sebagai objek yang perlu
didefinisikan dari kacamata orang dewasa. Dalam tesis ini, saya merasa perlu
mencari tahu lebih tentang bagaimana gagasan tentang anak dipahami, secara
khusus di Indonesia yang menjadi cakupan penelitian ini. Bab ini akan
menggambarkan hasil penelusuran saya terkait bagaimana anak dikonstruksi di
tengah masyarakat Indonesia berdasarkan aspek-aspek yang saya anggap signifikan
untuk membaca kecenderungan gagasannya.
A. Anak dalam Keluarga
Di masa awal perumusan gagasan penelitian tesis ini, saya dihadapkan pada
sejumlah kebingungan mengenai siapakah yang dimaksud sebagai “anak” itu.
Berbagai rujukan memberikan jawaban yang berbeda. Sebagian besar dari sumber-
sumber itu menggunakan kategori usia biologis untuk mengidentifikasi tahapan
perkembangan manusia yang mencakup fase kanak-kanak; sebagian lainnya
memperhatikan proses pertumbuhan mental; dan sebagian lain menggunakan
variabel yang lebih beragam. Perbedaan pendapat ini mengindikasikan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
konsep tentang anak dan masa kanak-kanak itu sendiri bukanlah sesuatu yang
pakem dan tidak akan berubah.
Dari waktu ke waktu, di berbagai tempat berbeda, dan di beragam
kebudayaan yang ada, masyarakat memiliki konsepsi yang dinamis terkait anak dan
masa kanak-kanak. Studi tentang topik ini bukanlah semata-mata penting sebagai
salah satu aspek yang signifikan dalam sejarah, melainkan juga menjadi cermin di
mana kita bisa melihat refleksi dari sebagian hal terkait perkembangan masyarakat
itu sendiri. Meski demikian, kebutuhan untuk secara khusus memberi perhatian
pada wacana tentang anak dan masa kanak-kanak sendiri ternyata terbilang
“baru”—namun hal ini juga dapat diperdebatkan, sebagaimana akan saya jelaskan
secara singkat kemudian.
Fokus yang mulai dialihkan kepada anak-anak ini mewujud dalam sejumlah
gerakan ilmu pengetahuan (sains) dalam berbagai upaya untuk meningkatkan
kualitas hidup anak, misalnya mengurangi angka kematian bayi serta memperbaiki
kondisi kesehatan dan kepribadian anak. Sejak saat itu, berbagai cabang disiplin
ilmu, seperti psikologi dan medis, mulai mempertimbangkan anak sebagai entitas
yang berbeda dari orang dewasa dengan sekian karakteristik khususnya.36
Beberapa literatur yang saya rujuk sebagai bacaan dalam penelitian ini
menyebutkan nama Philippe Ariès sebagai pionir tertua yang kerap tercatat dalam
sejarah studi tentang anak atau masa kanak-kanak. Ariès ialah sejarawan awal abad
20 yang fokus mempelajari Abad Pertengahan dan topik-topik seputar keluarga dan
masa kanak-kanak. Tulisannya diterbitkan dengan judul Centuries of Childhood pada
36 Montessori, Maria. (1966). The Secret of Childhood. Terj. M. Joseph Costelloe, SJ. New York: Ballantine Books, hal. 7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
tahun 1962 dan di kemudian hari memantik percakapan akademis tentang anak dan
masa kanak-kanak. Penelitian Ariès mengambil latar kehidupan masyarakat Eropa
Abad Pertengahan. Peter N. Stearns dalam bukunya Childhood in World History
menyatakan bahwa tulisan tersebutlah yang pertama kali menjadi gerbang yang
mengantar menuju pencarian historis yang lebih mendalam soal topik anak.37
Stearns menyarikan argumen utama Ariès sebagai pernyataan bahwa masyarakat
Eropa Abad Pertengahan tidak menaruh perhatian khusus pada anak-anak maupun
masa kanak-kanak. Dalam keseharian orang Eropa tradisional ini, masa kanak-
kanak tidak dipahami sebagai tahapan yang berbeda dalam perkembangan hidup
manusia dan cenderung meminggirkan mereka dari aktivitas keluarga. Kondisi ini
mulai berubah, diawali oleh masyarakat kelas atas, pada sekitar abad 17 atau 18.38
Argumen Ariès dibantah oleh sejumlah akademisi lain yang mempelajari
masyarakat Inggris pada awal Abad Pertengahan. Mereka menemukan bahwa pada
masa itu terdapat aturan-aturan hukum yang mengatur tentang perlindungan anak.
Hal ini berarti, masyarakat yang dianggap Ariès tidak menaruh perhatian khusus
pada anak-anak sebenarnya telah memiliki kesadaran tertentu mengenai masa
kanak-kanak sebagai tahapan tersendiri dalam perkembangan manusia. Stearns
lebih jauh menganalisis bahwa Ariès dan rekan-rekan sezamannya yang mengawali
studi tentang anak keliru dalam membandingkan persepsi masyarakat Eropa
tentang hal itu pada masa pramodern dan modern. Ariès melihatnya sebagai sebuah
progres linier yang mengasumsikan bahwa masyarakat Eropa pramodern tidak
memedulikan keberadaan anak sebagai entitas yang punya karakteristik berbeda
dari manusia dewasa; sementara itu, bergesernya kehidupan mereka ke masa
37 Stearns, Peter N. (2011). Childhood in World History, Second Edition. Oxon: Routledge, hal. 10. 38 Ibid., hal. 11.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
modern membawa kesadaran yang lebih terkait perlakuan dan perhatian khusus
yang perlu diberikan kepada persoalan ini. Stearns berpendapat bahwa cinta
manusia dewasa kepada anak bukanlah temuan atau hasil dari modernitas,
melainkan hal yang alamiah dan universal.39
Maria Montessori, seorang pedagog berkebangsaan Italia yang memiliki
pengaruh besar dalam wacana pendidikan anak usia dini, mengutarakan
pendapatnya terkait upaya-upaya yang dilakukan orang dewasa untuk melindungi
atau mencipta subjek anak ini. Ia menganggapnya sebagai tindakan yang sering kali
dengan tidak sengaja bersifat artifisial. Maksudnya, tindakan semacam itu malah
menghalangi perkembangan kepribadian anak yang semestinya alamiah. Dengan
meminjam terminologi disiplin psikoanalisis, Montessori melihat bahwa sebagai
manusia baru/muda, anak mengalami banyak sekali peristiwa represi yang
bersumber dari pengaruh orang dewasa—biasanya yang terdekat dengannya,
misalnya ibu, bapak, atau pengasuh.40 Represi ini hadir dalam bentuk aturan
(misalnya larangan atau kewajiban) yang ditujukan agar anak tumbuh dan
berkembang mengikuti konvensi norma masyarakat di sekitarnya.
Dalam posisinya yang serbalemah dan kurang pengalaman inilah, anak kerap
mendapatkan kedudukan yang cenderung inferior dibanding orang dewasa. Orang
dewasa selalu merasa punya urgensi untuk mengarahkan dan mengajari anak-anak
agar dapat melanjutkan hidup sebagai manusia. Dalam berbagai aspek hidup anak-
anak, masih diperlukan campur tangan orang dewasa yang banyak melakukan tafsir
39 Ibid, hal. 11. 40 Di bagian awal bukunya yang berjudul The Secret of Childhood, Montessori menjabarkan secara ringkas kontribusi besar dari pengembangan disiplin psikoanalisis terhadap studi tentang anak-anak. Psikoanalisis membukakan pintu pada kesadaran tentang signifikansi memori masa kanak-kanak yang ditelusuri melalui ketidaksadaran. Memori tersebut punya dampak yang penting terhadap kondisi psikis seseorang ketika dewasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
atas “apa yang diinginkan” anak-anak dan mengambil keputusan atasnya. Meski hal
ini lebih sering dianggap lazim dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, ada
pula pendapat lain yang mulai mempertanyakan seberapa besar anak mendapatkan
kebebasan untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal berdasarkan naluri
alamiahnya.
Meski demikian, intervensi atau campur tangan orang dewasa dalam
kehidupan anak-anak adalah sesuatu yang niscaya. Secara biologis, bayi yang baru
lahir membutuhkan air susu ibunya untuk bertahan; ia juga perlu dilindungi dan
dijaga sebab kondisinya amat rentan selepas “pindah dunia” dari dalam rahim ke
luar rahim. Seiring usianya bertambah, kebutuhan untuk menyediakan
pendampingan baik dalam bentuk pengasuhan maupun pendidikan juga terus ada.
Namun, satu hal yang penting dicatat adalah kesadaran macam apa yang dibawa
oleh orang dewasa yang mendampingi proses tumbuh-kembang anak tersebut. Jika
selalu melakukan represi, sebagaimana disebutkan Maria Montessori, tentunya ada
aspek tertentu dalam pertumbuhan alami anak yang akan mengalami dampaknya.
Demikian pula pendampingan yang bersifat membebaskan anak untuk menjelajahi
lingkungan dengan lebih leluasa punya signifikansi yang berbeda.
A.1. Literasi Anak dan Peran Keluarga
Buku cerita anak adalah salah satu bentuk literasi yang bersinggungan dengan
subjek anak sejak dini. Meskipun belum bisa membaca, sebagian orang tua memilih
mengenalkan anak-anak mereka dengan buku cerita, baik untuk tujuan edukasi
maupun hiburan. Nyatanya, buku cerita penting dan penggunaannya masih
bertahan dalam tradisi pengenalan literasi dalam keluarga. Keluarga punya peran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
signifikan sebagai medium bertemunya anak dengan buku cerita (serta tradisi
membaca/tidak membaca di kemudian hari). Maka, dalam sub-bab ini saya
mengulas beberapa aspek literasi yang ada dalam unit keluarga.
Dalam banyak kesempatan, melalui sejumlah media publik yang beredar di
Indonesia, saya menemukan adanya keresahan besar tentang minimnya minat baca
anak (dan orang dewasa secara umum) Indonesia. Semua pihak mengutarakan
keprihatinannya—tak jarang secara bombastis41—dan mendorong agar unsur ini
mulai menjadi perhatian bersama. Berbagai upaya ditempuh, termasuk dukungan
dari infrastruktur negara42. Pembicaraan yang terus-menerus, dan bernada prihatin
ini, menggugah saya untuk sedikit memeriksa apa yang sebenarnya diperlukan
dalam membangun budaya membaca anak, dan mungkin sekaligus apakah memang
budaya membaca sepenting itu.
Minat baca harus “lahir” dengan sendirinya. Artinya, hal ini bukan sesuatu
yang dipaksakan dari luar, namun bukan berarti lepas dari pengaruh sekitar. Josette
Frank, seorang pemerhati bacaan anak dan editor berbagai antologi untuk anak,
berargumen bahwa hal utama yang membuat seorang anak terus membaca adalah
ia menemukan kepuasan dalam bacaannya.43 Seiring dengan bertambahnya
pengalaman dan kemampuan membaca, seseorang dapat membentuk dirinya jadi
pembaca yang baik. Situasi ini tidaklah ditentukan oleh keinginan orang lain (secara
khusus orang tua dalam kasus anak), melainkan tiga hal, yakni keinginan pribadinya
41 Misalnya makalah Taufik Ismail yang berjudul “Generasi Nol Buku: Yang Rabun Membaca, Pincang Mengarang”. Di dalamnya terdapat pemaparan mengenai perbandingan volume tugas membaca buku dan mengarang tulisan yang diberikan oleh sekolah di beberapa negara; dan menemukan bahwa jumlah untuk kedua tugas itu adalah nol (0) di Indonesia. 42 Salah satu yang diprakarsai belum lama ini adalah layanan pengiriman buku gratis via Pos Indonesia pada tanggal 17 setiap bulannya. 43 Frank, Josette. 1984. Orangtua, Anak dan Buku. Diterjemahkan dari beberapa bab pertama Your Child’s Reading Today (1953) secara kolektif oleh A. Bandi Raharja, Willy A. Pasti, Ronitua Harahap, C.Z. Doepe, da M.S. Hadisubrata. Jakarta: BPK Gunung Mulia, hal. 1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
sendiri, tersedianya buku untuk memenuhi keinginan tersebut, dan kemampuan
membaca.44
Dalam unit keluarga, orang dewasa atau orang tua dapat memperluas
kesempatan anak untuk menyukai bacaan dengan cara memperkenalkan mereka
kepada buku dan membantu meningkatkan apresiasi atau perhatian mereka
terhadap bacaan tersebut.45 Hal itu semestinya dilakukan dengan wajar dan tanpa
paksaan, sebab paksaan untuk membaca berisiko menghancurkan kesenangan anak
pada membaca itu sendiri.46 Selain itu, faktor lain yang dapat turut merintangi
proses membaca anak adalah harapan berlebih para orang tua agar bacaan-bacaan
itu memberikan nilai-nilai baik untuk pembaca anak. Tentunya, untuk memastikan
anak-anak hanya membaca buku yang dianggap baik menurut orang tuanya
bukanlah perkara mudah, sebab ada sekian banyak buku beredar di luar sana; juga,
anak-anak adalah subjek dinamis yang terus berubah dari waktu ke waktu.47 Alih-
alih memelihara ekspektasi semacam itu, Frank mendorong para orang tua untuk
menyadari bahwa tugas mereka “hanya” mempertemukan anak dengan buku yang
baik, namun biarlah anak sendiri yang menentukan unsur apa saja yang akan
diambilnya untuk kehidupannya.48 Imbauan ini saya artikan sebagai indikasi adanya
independensi proses membaca pada individu anak. Orang dewasa memang punya
campur tangan besar dalam proses interaksi anak dengan buku, akan tetapi, hal
tersebut tidak serta-merta menentukan bagaimana seorang anak mempersepsi
bacaannya dan menilai seberapa mengasyikkan pengalaman membaca itu.
44 Ibid., hal. 14. 45 Ibid., hal. 20. 46 Ibid., hal. 19. 47 Ibid., hal. 10 & 15. 48 Ibid., hal. 11.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Dalam konteks penelitian saya, perdebatan (kebingungan?) soal independensi
anak dari pengaruh orang dewasa ini juga menjadi salah satu pertimbangan.
Berbagai hasil studi mengenai sastra/cerita anak mulai mengemukakan kegusaran
atas dibatasinya peran anak dalam percakapan akademis tersebut. Sampai-sampai
lahir gugatan atas kebenaran keberadaan anak dalam sastra/cerita anak akibat
terus-menerus orang dewasa berbicara dengan sudut pandang pribadinya dengan
mengabaikan perspektif anak itu sendiri.
Penekanan terhadap rasa senang dan puas yang ditemukan anak dalam proses
membaca adalah suatu hal yang serius dan menentukan tumbuhnya rasa haus
membaca di kemudian hari.
“Jika seorang anak baru membaca sebuah buku tapi sudah merasa sangat tergugah; maka itu adalah jauh lebih berharga daripada membaca banyak “buku bermutu” tapi samasekali tak tergugah oleh satu pun di antaranya [sic].”49
Melalui kutipan tersebut, Frank menunjukkan bahwa hal yang lebih penting
bukanlah apa yang dibaca oleh anak, melainkan apa yang diperolehnya. Pengalaman
membaca yang menggugah dapat menjadi titik berangkat yang mendorong anak
menjelajahi bacaan-bacaan lainnya dengan suka hati.
Rumah dan keluarga adalah suatu ruang penting untuk mewadahi aktivitas
membaca yang bertujuan mendapatkan kesenangan. Mengapa demikian? Frank
menengarai bahwa meski anak-anak diajari membaca di sekolah, lembaga yang satu
ini tidak menempatkan bacaan dan kegiatan membaca sebagai suatu hal yang
menyenangkan. Bacaan yang dipilihkan oleh sekolah biasanya merupakan bacaan
wajib yang terus-menerus dipakai lintas generasi. Kesempatan untuk memilih
49 Ibid., hal. 21.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
sendiri bacaan di dalam ruang kelas amat kecil.50 Buku-buku yang dipilihkan untuk
anak pun secara tidak disadari membentuk pribadi anak mendekati model yang
diidam-idamkan orang tua (dan bertujuan meningkatkan kecerdasan anak).51 Jika
anak menyadari bahwa dirinya merasa dipaksa untuk membaca, menerima terlalu
banyak larangan, atau perkenalannya dengan buku tidak menyenangkan, tak heran
ia enggan menyentuh bacaan. Di samping itu, hal lain yang dapat jadi kendala bagi
anak adalah penguasaan bahasa yang belum memadai.52
Keriuhan percakapan tentang upaya banyak orang (tua) untuk memacu anak-
anak gemar membaca ini hadir sebagai latar depan situasi di mana komersialisasi
dan persaingan dagang buku juga sama riuhnya. Kondisi ini menimbulkan efek yang
berbeda pada kedua kutub. Oleh karena makin kompetitif, para produsen buku
berlomba-lomba menyajikan buku dengan presentasi sebaik dan semenarik
mungkin. Di sisi lain, masifnya produksi buku juga melahirkan berjubel buku yang
tidak bermutu sebab diproduksi semata-mata untuk alasan bisnis.53 Situasi
semacam ini menimbulkan satu tanggung jawab lagi bagi para orang tua, yakni
berjaga-jaga, membantu anak dengan penafsiran suatu bacaan, dan mengupayakan
komunikasi yang baik dengan anak demi menanggulangi banjirnya buku bacaan dari
segala jenis.
Bersikeras menyajikan buku-buku terbaik untuk anak bukanlah pilihan yang
bijaksana di tengah luas dan sesaknya peredaran berbagai macam buku bacaan.
Selalu ada kesempatan bagi anak bertemu dengan bacaan dan bentuk-bentuk narasi
lainnya yang barangkali memuat nilai yang amat berbeda daripada harapan orang
50 Ibid., hal. 5. Frank juga mengutarakan penyesalannya bahwa mestinya sekolah juga berfungsi merangsang anak untuk menyukai bacaan, tidak sekadar belajar dari bacaan. 51 Ibid., hal. 17. 52 Ibid., hal. 44-48. 53 Ibid., hal. 8.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
tua. Resistensi terhadap media nonbacaan—misalnya televisi (yang kerap membuat
resah orang tua, namun mereka sendiri tidak bisa lepas dari itu), film, permainan
digital, internet—juga sukar diakui sebagai upaya yang sesuai untuk “melindungi”
anak dari pengaruh buruk. Sebaliknya, media-media tersebut adalah juga potensi
pengalaman untuk anak yang mesti digunakan secara tepat.
B. Anak di Sekolah
Dalam memahami posisi anak di keluarga, saya menyadari satu hal, yakni adanya
dorongan untuk memberikan bimbingan kepada anak dalam berbagai bentuk. Salah
satu bentuk yang paling lazim kita temui tentunya pendidikan formal. Berbagai
literatur yang saya telusuri manakala menyiapkan tulisan bab ini menunjukkan
betapa eratnya percakapan tentang dunia anak dengan pendidikan. Di Indonesia,
konstitusi menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan. Bahkan,
pemerintah mengejawantahkan hal itu lewat berbagai program pendukung wajib
belajar54 yang mengharuskan setiap anak mengenyam pendidikan di bangku
sekolah. Dalam pandangan saya, masifnya dorongan dan gerakan untuk bersekolah
ini tentunya menjadikan sekolah punya peran signifikan dalam membentuk subjek
anak.
Pada bagian ini, saya memilih untuk mengulas dua topik utama terkait
pendidikan dalam konteks Indonesia. Pertama, saya menunjukkan bagaimana
gagasan pendidikan ideal bangsa Indonesia awal diformulasi oleh Ki Hadjar
54 Periode wajib belajar awalnya sembilan (9) tahun; peserta didik wajib menyelesaikan pendidikan enam tahun di sekolah dasar (SD) dan tiga tahun di sekolah menengah pertama (SMP). Sejak Juni 2015, periode ini diperpanjang hingga dua belas (12) tahun dalam program yang dicanangkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang menjabat kala itu, Puan Maharani. Dengan program ini, peserta didik diupayakan dapat menamatkan pendidikan sekolah menengah atas (SMA) selama tiga tahun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Dewantara. Dengan perhatian penuh pada situasi bangsa yang tengah memulihkan
diri dari pengalaman kolonialisme, Ki Hadjar memodifikasi berbagai pengaruh yang
diterimanya untuk dikontekstualisasi di situasi Indonesia. Di sub-bagian kedua, saya
mengemukakan bagaimana praktik pendidikan formal Indonesia pada masa Orde
Baru lewat tulisan Saya Siraishi. Saya bermaksud mendudukkan idealisasi dan
praktik ini secara berdampingan, sehingga akan terlihat bagaimana keduanya
terhubung, atau malah tidak terhubung.
B.1. Tut Wuri Andayani: Hakikat Pendidikan untuk Anak
Klise. Tapi nyatanya tidak setelah mengulik langsung dari pencetus gagasannya.
Kalimat tut wuri andayani bukanlah sesuatu yang asing terdengar di Indonesia.
Dengan mudah ditemukan di setiap emblem seragam para murid sekolah formal di
negara ini, pun jadi semboyan yang didengungkan berulang kali jika sedang
berbicara tentang pendidikan. Saya pribadi tidak banyak menaruh perhatian pada
semboyan ini, sampai pada akhirnya memeriksa apa yang diutarakan Ki Hadjar
Dewantara (yang dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Indonesia) ketika
mengajukan konsep itu sebagai prinsip yang mendasari gerakan kependidikannya
lewat institusi Taman Siswa55.
55 Taman Siswa dipersiapkan sejak 1921 dan secara resmi didirikan pada tahun 1922 di Yogyakarta. Perguruan ini lahir karena adanya kebutuhan akan pendidikan yang semakin luas, sementara pemerintah belum dapat mengusahakannya secara merata. Taman Siswa adalah salah satu dari beberapa gerakan rakyat lainnya yang berinisiatif membangun sekolah mandiri tanpa subsidi pemerintah, seperti sekolah dan asrama yang didirikan dari Dana Belajar Darmo Woro (Darmo Woro Studiefonds), kelompok Pasundan, Muhammadiyah, dan perkumpulan Adidharmo yang mendirikan Adhidharmo-Onderwijs-Instituut (Lembaga Pengajaran Adhidharmo). Bentuk perguruan Taman Siswa adalah paguron (‘rumah’ guru) dan pawiyatan (sekolah). Di sini, murid dan guru tinggal bersama dalam sebuah asrama dan melakukan kegiatan selayaknya keluarga. Di pagi hari, anak-anak mengikuti pelajaran di sekolah, sementara di luar aktivitas belajar-mengajar di kelas, mereka akan melakukan aktivitas sosial lainnya yang juga didampingi oleh para gurunya. Dari sinilah semboyan tut wuri andayani yang berarti mengikuti di belakang dengan wibawa berasal. Sebagai satu kesatuan utuh, para
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Dalam sub-bab ini, saya ingin mengemukakan beberapa catatan penting yang
saya kumpulkan dari tulisan Ki Hadjar Dewantara. Pertama-tama pemilihan pemikir
ini mungkin saja terdengar seperti “otomatis”, sebab ialah nama yang paling kerap
dirujuk (baik secara serius maupun sepintas lalu) untuk persoalan seputar
pendidikan di Indonesia. Tak disangka, pilihan ini amat tepat dalam konteks
penelitian tesis saya yang berfokus secara khusus pada cerita anak, serta secara
umum (dan tak terelakkan) pada dunia anak-anak itu sendiri. Menariknya, ketika
mengulas topik pendidikan secara umum, Ki Hadjar sendiri langsung
menempatkannya sebagai sebuah usaha tuntunan yang ditujukan bagi subjek “anak-
anak”. Selanjutnya akan saya paparkan bagaimana Ki Hadjar merumuskan hal-hal
mendasar yang semestinya dijadikan pegangan dalam mendidik (anak).
Ki Hadjar Dewantara ialah tokoh pendidikan nasional Indonesia yang banyak
menyumbangkan pemikirannya dalam hal pendidikan dan pengajaran untuk
diterapkan di tingkat nasional. Berkarya di tengah “zaman peralihan”56 membuatnya
merumuskan prinsip dan konsep pendidikan yang mengarahkan manusia Indonesia
pada satu tujuan: menjadi manusia merdeka.57 “Mendidik anak itulah mendidik
rakyat.”58 Bagi Ki Hadjar, kehidupan manusia pada masa mana pun merupakan hasil
dari didikan semasa kanak-kanak. Itulah sebabnya, penting sekali memerhatikan
bagaimana pendidikan untuk anak diselenggarakan.
Terkait tujuan untuk menjadi manusia merdeka, lebih jauh Ki Hadjar
menguraikan bahwa pendidikan dan pengajaran adalah dua hal penting yang
menentukannya. Dalam kehidupan bersama (baca: berbangsa), kedua hal tersebut
guru menemani murid-muridnya melakukan berbagai kegiatan di bawah tujuan pendidikan secara bersama-sama, bukan memerintah/mendikte mereka saja. 56 Ki Hadjar Dewantara menamai masa transisi dari kolonialisme menuju kemerdekaan Indonesia sebagai “zaman peralihan”. 57 Dewantara, Ki Hadjar. (1977). Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka Bagian I Pendidikan Cetakan Kedua. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, hal. 1. 58 Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
berfungsi memerdekakan manusia sebagai anggota dari rakyat. Secara khusus,
pengajaran bertujuan memerdekakan hidup lahiriah manusia; sementara
pendidikan adalah peranti yang memerdekakan batinnya.59 Dalam konteks ini,
merdeka dimaknai sebagai tidak tergantung kepada orang lain, melainkan bertumpu
pada kekuatannya sendiri. Cita-cita ini dapat dipahami lahir di tengah situasi
Indonesia yang baru saja lahir sebagai bangsa baru. Dengan masih adanya pengaruh
dan campur tangan pemerintahan kolonial, ada kebutuhan untuk merumuskan dan
menyebarluaskan gagasan tentang menjadi merdeka dari bentuk-bentuk belenggu
itu. Semangat ini tercermin dalam upaya Ki Hadjar untuk merumuskan prinsip dan
dasar pendidikan yang khusus dan sesuai untuk hidup bangsa Indonesia. Hal ini
akan saya bahas kemudian.
Ki Hadjar membedakan “pendidikan” dari “pengajaran”, meski keduanya
kerap digunakan untuk menggantikan satu sama lain. Pengajaran (diterjemahkan
dari kata bahasa Belanda onderwijs) adalah bagian dari pendidikan, yakni kegiatan
memberi ilmu/pengetahuan/kecakapan yang berfaedah secara lahir dan batin
kepada anak. Sementara pendidikan (diterjemahkan dari kata bahasa Belanda
opvoeding) berarti tuntunan dalam hidup pertumbuhan anak-anak.
Adapun maksudnya pendidikan yaitu: menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggauta masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.60
Kutipan di atas adalah tujuan ideal dari pendidikan menurut konsep yang diajukan
oleh Ki Hadjar Dewantara. Tujuan semacam ini lahir dari persepsi bahwa ada hal-hal
yang bersifat kodrati pada pribadi tiap anak dan tugas pendidikan adalah hanya
menuntun dalam proses tumbuh-kembang anak.
59 Ibid. 60 Ibid., hal. 20. Cetak miring dari naskah asli.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Gagasan tentang maksud pendidikan tersebut saya tempatkan sebagai
respons atas perdebatan terkait independensi anak dan intervensi orang dewasa
dalam soal-soal seputar dunia kanak-kanak seperti yang sempat saya singgung di
sub-bab pertama. Rincian maksud tersebut menunjukkan adanya kesadaran bahwa
anak adalah individu yang memiliki bakat tersendiri. Persisnya “bakat” inilah yang
perlu ditemukan dalam jalannya proses pendidikan; dan di titik itulah tugas utama
pendidikan dimulai, yakni untuk menuntun anak menyadari dan membina bakatnya.
Sebagai konsekuensinya, tindakan represi yang banyak dikenakan kepada anak-
anak dalam proses tumbuh kembang mereka (misalnya lewat institusi sekolah)
adalah justru suatu hambatan dan mestinya sebisa mungkin diminimalisasi.
Pendidikan bertugas mengarahkan saja “dari belakang” (artinya tidak mendikte dari
semula) agar bakat dalam diri anak-anak itu membantu mereka mendapatkan
kemerdekaannya.61
Dengan demikian, Ki Hadjar dalam pemikirannya tidak sepakat dengan sistem
“paksaan – hukuman – ketertiban”62 yang sering ada di kebanyakan sekolah. Hal
tersebut menyalahi prinsip kemerdekaan yang menjadi tujuan dari pendidikan.
Lebih dari itu, ia bahkan menganjurkan dalam salah satu poin yang menjadi asas
dari perguruan Taman Siswa bahwa dalam praktik pendidikannya, “Kita tidak
meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri untuk berhamba kepada Sang
Anak.”63 Dalam konsep yang diusungnya ini, Ki Hadjar menempatkan subjek anak
sebagai pusat dari segala bentuk praktik pendidikan yang menjadi turunannya.
Tentu saja ada kepentingan yang dipahami orang dewasa berguna bagi kehidupan
anak-anak, akan tetapi kepentingan itu bukanlah yang utama. Hal pertama yang
61 Ibid., hal. 21. 62 Ibid., hal. 48. 63 Ibid., hal. 49.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
harus dikedepankan dalam proses pendampingan anak adalah subjek anak itu
sendiri dan bakat yang dibawanya.
Selain subjek anak memang berada dalam kondisi serba kurang pengalaman
dalam menghadapi hidup (jika dibandingkan orang dewasa), Ki Hadjar
menyebutkan bahwa ada dorongan lain yang menyebabkan orang dewasa ingin
punya andil dalam proses pendidikan anak. Ia menyebutnya sebagai paedagogis
instinct64, yang dimaknai sebagai keinginan dan kecakapan tiap orang untuk
mendidik anak-anaknya dengan tujuan mereka selamat dan bahagia.65 Hal inilah
yang membuat tiap-tiap keluarga mengupayakan praktik pendidikan meski
bentuknya tidak teratur.66
Dalam sekumpulan tulisannya yang secara khusus membicarakan pendidikan
kanak-kanak, Ki Hadjar Dewantara menjabarkan beberapa pengaruh dari para
pemikir yang mendorongnya untuk merumuskan prinsip pendidikan yang secara
khusus sesuai untuk kehidupan kanak-kanak di Indonesia. Dalam institusi Taman
Siswa, ada sub-lembaga tersendiri yang dikhususkan bagi anak-anak di bawah usia 7
tahun. Di lembaga lain, bagian ini disebut sebagai “Taman Kanak-Kanak”67, juga
sebagaimana kita kenal di masa sekarang. Sementara di Taman Siswa, Ki Hadjar
menggunakan nama “Taman Indria”. Alasannya: pertama, sub-lembaga ini tidak
bertujuan untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada anak-anak, melainkan
64 Naluri ini disebabkan oleh adanya naluri yang pokok (oerinstinct) yang berarti keinginan untuk kekalnya keturunan (Dimuat dalam salah satu tulisan Ki Hadjar Dewantara yang pada awalnya dipublikasikan dalam terbitan Keluarga Th. I No. 1, 2, 3, 4 pada tahun 1936-1937. Saya membacanya dalam kumpulan tulisan Ki Hadjar Dewantara yang disusun dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Taman Siswa). 65 Ibid., hal. 27. 66 Pendidikan dalam bentuk yang teratur, menurut Ki Hadjar Dewantara, lahir umumnya di luar institusi keluarga. Keteraturan itu dicapai lewat perumusan yang sungguh-sungguh untuk menentukan syarat dan alat pendidikan (misalnya seperti yang dilakukan oleh institusi sekolah). 67 Nama ini adalah terjemahan harfiah dari kindergarten, sebuah institusi sekolah untuk anak usia dini yang dicetuskan oleh Friedrich Frӧbel, seorang pedagog berkebangsaan Jerman.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
semata-mata melatih kematangan berpikir mereka lewat pancaindra; kedua, nama
“Taman Anak” di Taman Siswa digunakan untuk kelas I, II, dan III dari bagian
sekolah rendah; dan ketiga, untuk membedakan diri dan melepas keterikatan dari
inspirasinya, yakni kindergarten68.
Nama “Indria” dalam institusi pendidikan untuk anak usia dini tersebut
diambil dari kata “indra”, yang menjadi pusat medium belajar anak-anak peserta
didik di lembaga ini. Menurut Ki Hadjar, pancaindra adalah jalan masuk untuk
“menyempurnakan rasa fikiran”69 anak, yang merupakan esensi dari pendidikan
untuk anak-anak itu sendiri (alih-alih mendidik untuk memberikan pengetahuan).
Cara ini dianggap paling sesuai dengan kodrat anak untuk bermain. Ki Hadjar
percaya bahwa aktivitas utama anak adalah bermain. Hampir sepanjang waktu
dalam hidupnya, anak-anak bermain. Panggilan tidur siang atau makan atau mandi
oleh orang tuanya dianggap sebagai gangguan, yang dengan terpaksa atau gusar
mereka patuhi.70
Mengapa anak tak henti-hentinya bermain? Untuk menjawab ini, Ki Hadjar
merujuk pada Herbert Spencer yang mengajukan teori bahwa di dalam jiwa kanak-
kanak, terdapat kelebihan atau sisa kekuatan yang selalu mendesak pribadi si anak
dan mendorongnya untuk mengeluarkan kekuatan itu. Jika sisa kekuatan ini tidak
dikeluarkan, si anak justru akan merasa tidak enak dan bahkan menjadi sakit.71
Selain memelihara kesehatan dan kekuatan tubuh anak, bermain juga mengasah
68 Lihat catatan kaki nomor 67. 69 Ibid., hal. 241. 70 Ibid., hal. 243. 71 Ibid., hal. 246.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
ketajaman berpikir, kehalusan rasa, dan kekuatan kemauan. Dan pada akhirnya,
dengan bermain, anak mempertebal rasa kemerdekaan dalam dirinya.72
Gerakan kependidikan Ki Hadjar Dewantara melalui Taman Siswa adalah
manifestasi dari berbagai gagasan pendidikan yang ia kumpulkan dan modifikasi.
Dua pemikir pendidikan yang utama menginspirasinya ialah Friedrich Frӧbel (1782-
1852) dan Maria Montessori. Frӧbel ialah pedagog Jerman yang mendirikan
kindergarten untuk pertama kalinya pada tahun 1840 di Kota Blankenburg.
Perhatiannya yang besar terhadap anak membuatnya berpikir untuk juga mendidik
para calon ibu agar nantinya dapat mengasuh anak-anak mereka; pendidikan ini
disediakannya dalam Frӧbelweekschool atau “taman ibu”. Akan tetapi, sekolah ini
tidak sesukses taman kanak-kanak karena kurang mendapatkan perhatian. Setelah
berkembang cepat dalam beberapa tahun pertamanya, kindergarten sempat ditutup
pemerintah pada tahun 1848 karena Frӧbel menerima tuduhan keliru bahwa ia
menjalankan suatu aliran politik di sana.73 Pada saat dibuka lagi setelah penarikan
keputusan pemerintah itu, Frӧbel sendiri sudah meninggal dunia.74
Sekolah Frӧbel mengutamakan sifat atau tabiat anak yang terus bergerak dan
berfantasi. Dalam kindergarten, segala kegiatannya harus bersifat menyenangkan
untuk anak-anak, memberi mereka kesempatan untuk berfantasi, tidak terlalu
mudah agar anak-anak dapat belajar cakap menyelesaikannya, memuat unsur
kesenian, dan mengarahkan kepada ketertiban yang menjadi pokok sikap
kemanusiaan dan kemasyarakatannya di kemudian hari.75 Bagi Ki Hadjar, konsep ini
72 Ibid., hal. 247-248. 73 Putusan pemerintah itu kemudian ditemukan keliru sebab Frӧbel yang terkenal sebagai “revolusioner”—yang diincar pemerintah—adalah saudara dari Friedrich Frӧbel, bukan ia sendiri. 74 Ibid., hal. 251. 75 Ibid., hal. 253.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
mengutamakan kegembiraan anak-anak dalam proses belajar; namun sayangnya,
anak-anak masih berada dalam situasi terperintah.
Sementara itu, konsep pendidikan anak lainnya yang lebih mengutamakan
kemerdekaan ditemukan Ki Hadjar melalui pemikiran Montessori. Maria Montessori
ialah seorang dokter berkebangsaan Italia yang pada suatu waktu memutuskan
untuk menghentikan praktik kedokterannya dan beralih ke studi mendalam tentang
kejiwaan anak. Sekolah pertama yang dirancang dan dipimpinnya adalah lembaga
yang ditujukan untuk anak-anak dari pekerja sebuah pabrik di Roma pada tahun
1907. Sekolah ini dinamai Casa deibambini, yang berarti rumah untuk merawat
anak-anak. Selama orang tuanya bekerja, rumah sekolah ini menampung dan
merawat anak-anak tersebut76 (pada masa kini, lebih kita kenal dengan semacam
taman penitipan anak). Di lembaga inilah, Montessori mengembangkan gagasannya
tentang signifikansi pancaindra dalam proses belajar anak. Akan tetapi, bagi Ki
Hadjar, pilihan Montessori tersebut mengurangi unsur permainan dalam pendidikan
anak.
Dari kedua gagasan tersebut, Ki Hadjar meramu ulang idenya sendiri untuk
diterapkan di Taman Indria (dan Taman Siswa secara umum). Ia tidak memisahkan
pelajaran yang diresepsi melalui pancaindra dan permainan yang menyenangkan.
Hal ini disebabkan oleh kepercayaan Ki Hadjar dan rekan-rekannya bahwa dalam
tiap diri anak, secara kodrati (diisi oleh Sang Maha Among) telah tersedia segala
peranti yang dapat membantunya belajar dan bersifat mendidik.77 Taman Indria,
76 Ibid., hal. 266-267. 77 Ibid., hal. 242.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
dengan semboyan tut wuri andayani, memberi anak-anak kebebasan yang luas
selama tidak menimbulkan bahaya.78
Uraian dari konsep pendidikan yang diusung oleh Ki Hadjar Dewantara
sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia ini membuat saya menilik lagi apa
yang terjadi pada tahun-tahun belakangan. Pemaparan Ki Hadjar, bagi saya,
mengindikasikan adanya kesadaran akan wacana kolonial yang lama memengaruhi
pendidikan di Indonesia; dan dalam semangat berdiri sebagai bangsa baru saat itu,
ia menyuarakan urgensi untuk menyusun sendiri rumusan pendidikan yang sesuai
dengan kondisi Indonesia. Ki Hadjar tetap belajar dan terinspirasi dari para pemikir
“Barat”, namun mengupayakan sebuah reformulasi dan penyesuaian supaya lebih
cocok untuk menjawab kebutuhan bangsa alih-alih menguntungkan kepentingan
bangsa asing.79
B.2. Sekolah Orde Baru
Penelitian Saya Siraishi yang dibukukan dengan judul Pahlawan-Pahlawan Belia80
tersebut dilakukan pada tahun 1989 di Indonesia dengan fokus pada keluarga
Indonesia sebagai produk sejarah pendidikan nasional yang menjadi cerminan
perumusan identitas bangsa Indonesia.81 Penelitian ini memang berupaya membaca
situasi politik dan identitas kebangsaan Indonesia pada masa Orde Baru dengan
mendekatinya melalui analogi sebuah struktur keluarga. Pendekatan inilah yang
78 Ibid., hal. 276. 79 Ibid., hal. 50. 80 Diterjemahkan dari terbitan dengan judul asli Young Heroes: The Indonesian Family in Politics. Tulisan aslinya diterbitkan pada tahun 1997 oleh Cornell Southeast Asia Program. 81 Siraishi, Saya. (2001). “Pengantar Edisi Indonesia” dalam Pahlawan-Pahlawan Belia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hal. vii.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
memungkinkan saya mendapatkan sejumlah petunjuk tentang bagaimana anak
dikonstruksi pada masa itu dalam kehidupan berkeluarga di Indonesia.
Siraishi mengutarakan bahwa anak kecil adalah sumber kebahagiaan utama
bagi sebagian besar keluarga Indonesia. Hal ini ditunjukkan lewat bagaimana
senangnya orang dewasa menjadikan anak sebagai “barang mainan”. Kenakalan atau
pelanggaran norma yang dilakukan anak-anak dapat ditoleransi oleh orang dewasa
karena mereka dianggap belum mampu mengontrol tindakannya.82 Meski demikian,
pernyataan terkait toleransi terhadap tindakan anak ini memiliki paradoksnya, yang
juga dijabarkan Siraishi dalam tulisan yang sama. Seiring bertambahnya usia
mereka, pemakluman itu akan berkurang; anak-anak diwajibkan tumbuh dalam
ketertiban dan kedisiplinan.
Di dalam keluarga, ibu menjalani peran sebagai pusat sekaligus penopang
keluarga.83 Meski sebagian besar masyarakat Indonesia hidup dengan nilai
patriarkis yang lebih dominan, ibu adalah figur yang ditempatkan dengan segudang
peranan penting dalam keluarga dengan aktivitas yang bersifat menjaga roda
kehidupan internal keluarga tetap berjalan. Siraishi melihat bahwa keibuan dan
kekanak-kanakan (baca: sifat-sifat anak) adalah dua hal yang selalu bersifat sublim
dalam keluarga Indonesia.84 Relasi antara kedua entitas ini digambarkan demikian:
pemberian dari ibu wajib diterima oleh anak; pemberian ini memang bersifat tulus
dan tanpa pamrih, namun anak berkewajiban membalasnya. Oleh karena pemberian
tersebut terlalu besar, maka pembalasan sang anak tidak akan pernah cukup.85
Dalam konteks penelitiannya, Siraishi menggunakan jenis relasi ini untuk membaca
82 Ibid., hal. 81. 83 Ibid., hal. 99. 84 Ibid., hal. 100. 85 Ibid., hal. 101.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
hubungan antara negara (Indonesia) dan rakyatnya. Dengan negara yang
dipadankan dengan sosok ibu dan rakyat yang dipadankan dengan anak, relasi
antara keduanya dimaknai menjadi pemberian oleh negara yang harus dibalas oleh
rakyat dengan loyalitas.86 Sementara itu, dalam kepentingan penelitian saya, hasil
analisis Siraishi tersebut mengafirmasi intervensi orang dewasa dalam banyak
aspek kehidupan anak. Intervensi itu dianggap bernilai tak terhingga, sehingga
semua upaya subjek anak untuk membalas budi tersebut tidak akan sanggup
menandinginya.
Signifikannya peran struktur keluarga dalam kehidupan anak-anak tidak
hanya berhenti sampai lingkaran keluarga itu sendiri saja. Struktur ini mendapatkan
perpanjangannya dalam institusi yang bernama sekolah. Siraishi mencatat bahwa
“masa kanak-kanak di sekolah” sebagai pengalaman dan konsep telah berkembang
di Indonesia sejak kehadiran kolonialisme.87 Sekolah melakukan perannya untuk
memisahkan sekaligus menyiapkan anak-anak agar dapat menghadapi kedewasaan
dan hidup di tengah masyarakat.88 Akan tetapi, meski anak-anak dipisahkan dari
keluarganya untuk dapat menjalani aktivitas belajar di sekolah, nyatanya di dalam
kelas mereka kembali menemukan keluarga, sesuatu yang dekat dalam keseharian
mereka. Sebagaimana sebagian besar warga negara Indonesia yang pernah duduk di
sekolah dasar ketahui, interaksi pertama anak dalam pelajaran baca-tulis adalah
dengan kata-kata yang mencerminkan figur-figur dalam keluarga (“Ini Budi”; “Ini
ibu Budi”; “Ini bapak Budi”; dst.). Dengan segera, anak-anak dalam kelas sekolah
86 Ibid., hal. 113. 87 Ibid., hal. 195. 88 Ibid., hal. 196.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
pada masa Orde Baru mengenali bahwa keluarga adalah dasar dari kehidupan
mereka.89
Kelahiran konsep masa kanak-kanak dalam dunia modern Eropa, pengalaman
kolonialisme, dan pendisiplinan negara lewat keluarga dan ruang kelas pada masa
Orde Baru90 merupakan beberapa hal yang memengaruhi bagaimana anak
dikonstruksi di Indonesia. Dari pemaparan mengenai ketiga hal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa anak memang telah menempati posisi penting yang cukup
diperhatikan oleh masyarakat dewasa ini. Akan tetapi, posisi penting itu tidak lantas
membuat anak berada di kedudukan paling atas. Anak tetap diperhitungkan sebagai
subjek yang cenderung inferior dan oleh sebab itu membutuhkan campur tangan
orang dewasa melalui pendampingan. Selain menjadi harapan baru yang
membahagiakan, anak-anak di Indonesia harus mengalami masa persiapan agar
dapat tumbuh dan hidup di tengah masyarakat yang “dewasa”.
Tugas persiapan tersebut banyak dibebankan kepada aktivitas pendidikan,
baik itu yang dibina dalam lingkaran kehidupan keluarga maupun yang
diselenggarakan oleh institusi formal seperti sekolah. Inilah sebabnya, pendidikan
menjadi topik yang amat lekat berputar di sekitar isu-isu tentang anak.
* * *
Spirit awal berdirinya Bangsa Indonesia ini nyatanya kontradiktif dengan
praktik yang ditemukan pada masa pemerintahan Orde Baru. Praktik institusi
89 Ibid., hal. 213. 90 Meski rezim pemerintahan Indonesia telah berganti beberapa kali, dan dengan itu pula mengubah sejumlah kebijakan dan regulasi terkait anak (dan pendidikannya), rasa-rasanya pembacaan mengenai pengaruh kepemimpinan Orde Baru dalam konstruksi gagasan tentang anak punya signifikansi tersendiri (salah satunya ditentukan oleh panjangnya masa pemerintahan ini, yakni tahun 1966-1998). Banyak aspek dalam pendidikan Indonesia yang belum mengalami perubahan berarti, meski sebagian lainnya juga telah banyak berubah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
pendidikan formal pada masa itu terkesan amat berupaya mendisiplinkan subjek
anak agar tunduk pada kepentingan negara. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan
paling populer saat itu, malah menjadi ruang yang mengunci kebebasan anak dan
mendiktekan apa yang harus dan tidak boleh dilakukan. Pengaruhnya pun masih
terasa hingga kini. Artinya, apa yang dicita-citakan Ki Hadjar lewat gerakan Taman
Siswa malah jauh panggang dari api.
Praktik semacam itu ternyata malah merepetisi apa yang digambarkan Ashis
Nandy dalam The Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self under Colonialism terkait
hubungan antara penjajah dan masyarakat jajahan. Kolonialisme menjadikan
konsep tentang progres sebagai asumsi dasar untuk membenarkan tindak
penguasaan dan pemberadaban terhadap masyarakat daerah jajahan. Progres
diletakkan dalam satu garis lurus di mana masyarakat tertentu bergerak menitinya
ke satu arah: menuju kemajuan. Pada garis tersebut, masyarakat Barat yang
bertindak sebagai pihak kolonial menganggap dirinya menempati titik yang
beberapa langkah lebih maju dibandingkan masyarakat jajahannya. Oleh sebab itu,
praktik kolonialisme pada hampir semua kesempatan menggunakan dalih
memperadabkan masyarakat jajahan agar menjadi lebih ‘rasional, maskulin, dan
dewasa’ sebagaimana para tuan-nyonya kolonial ini sendiri.
Praktik pemberadaban merupakan aspek penting yang harus ada dalam tubuh
kolonialisme. Hanya dengan inilah konsensus antara penjajah dan masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
jajahan tentang superioritas penjajah akan tetap terpelihara.91 Pemberadaban
memungkinkan masyarakat jajahan memahami dirinya sebagai manusia yang lemah
dan tertinggal, sehingga keberadaan penjajah yang merasa diri lebih dalam segala
hal akan “membantu” mereka mencapai kemajuan.
Ashis Nandy menyebutkan bahwa gagasan tentang progres yang linier dalam
hubungan antara penjajah dan masyarakat jajahan ini kerap disejajarkan dengan
relasi yang terjalin antara manusia dewasa dan anak-anak. Secara ringkas,
masyarakat jajahan kerap kali diidentikkan sebagai anak-anak, dianggap
pengetahuannya kurang dan perilakunya tidak dewasa. Oleh sebab itu, muncul
urgensi bagi orang dewasa untuk mengajari anak-anak ini agar lebih bermoral, siap
untuk tumbuh dewasa, dan mulai meninggalkan sifat suka bermain-main, spontan,
dan tidak bertanggung jawab.92 “The white man’s burden” disandingkan dengan
tanggung jawab yang dibebankan kepada orang dewasa untuk ‘menyelamatkan’
anak-anak dari proses tumbuh kembang yang tidak ideal.
Wacana kolonial yang menggunakan analogi relasi orang dewasa dan anak ini
menyiratkan persepsi umum manusia tentang posisi anak dalam kehidupan. Ketika
karakteristik kekanak-kanakan dilekatkan pada masyarakat jajahan yang dianggap
lemah dan tertinggal ini, maka artinya secara umum anak dipahami sebagai subjek
yang lemah dan tertinggal pula! Pandangan semacam ini melahirkan konsekuensi
91 Nandy, Ashis. (1983). The Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self under Colonialism. New Delhi: Oxford University Press. Ashis Nandy memetakan kondisi yang akan terjadi jika konsensus antara penjajah dan masyarakat jajahan tidak tercapai. Penjajah akan amat takut apabila masyarakat jajahannya menemukan logika lain yang menjelaskan bahwa diri mereka tidak lemah dan tertinggal. Itulah sebabnya, pemberadaban menjadi salah satu hal yang memelihara kelanggengan kolonialisme. “Colonialism minus a civilizational mission is no colonialsm at all. It handicaps the colonizer much more than it handicaps the colonized” (Nandy, 1983). 92 Ibid., hal. 15.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
yang membuat orang dewasa sering kali dilihat sebagai pribadi angkuh yang
mengasumsikan diri sebagai “pencipta” dan “pelindung” bagi anak.93
* * *
Anak Indonesia adalah subjek bentukan institusi keluarga dan negara. Kedua
institusi ini memiliki metode pendisiplinannya masing-masing yang mengatur atau
mengarahkan bagaimana seorang anak harus berlaku dan menjadi. Negara
Indonesia dengan segala aparatusnya mendapatkan pengaruh dari sejarah
kolonialisme; dan pergantian rezim dari waktu ke waktu mencampuri proses
pembentukan subjek anak melalui perangkat pendidikan formal, yakni sekolah.
Melalui lembaga ini, anak mulai dibawa keluar dari ranah keluarga dan
diperkenalkan dengan berbagai hal agar siap menghadapi masa dewasa serta
menjadi warga masyarakat yang sesuai dengan norma dan aturan.
Sementara itu, keluarga tetap menjadi unit kolektif pertama yang
mengenalkan anak kepada kehidupan dalam domain yang privat. Keluarga
memanfaatkan berbagai peranti, salah satunya buku bacaan, untuk mendidik anak-
anak. Buku bacaan bukanlah perangkat budaya bebas nilai. Ia lahir dan jadi cermin
dari suatu nilai yang hidup di masyarakat. Lewat perangkat ini pula, anak secara
tidak sadar dibentuk jadi pribadi model tertentu, dan persisnya peranan inilah yang
secara khusus ingin saya dalami lewat penelitian tesis ini.
Dari dinamika percakapan ide di atas, saya mencatat setidaknya dua hal
penting. Pertama, setiap narasi yang berinteraksi dengan subjek anak selalu dapat
dibaca sebagai medium komunikasi ideologis yang merefleksikan (atau dalam
93 Montessori, Maria. (1966). “The Accused” dalam The Secret of Childhood. Terj. M. Joseph Costelloe, SJ. New York: Ballantine Books, hal. 13-16.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
kesempatan lain juga dapat secara eksplisit terlihat menyampaikan) nilai-nilai
tertentu yang dihidupi masyarakat. Akan tetapi, situasi ini tidak dapat serta-merta
dilihat sebagai upaya terstruktur yang selalu berhasil “menciptakan” anak dengan
karakteristik tertentu. Alasannya adalah catatan penting kedua, yakni fakta bahwa
independensi dalam proses membaca itu tetap ada. Meski didampingi dan
diarahkan, subjek pembaca anak punya rekaman pribadi tentang pengalaman
membaca dan memahami gagasan tertentu dari suatu bacaan. Menyadari poin yang
terakhir saya sebutkan ini, penelitian ini tidak diarahkan untuk menilai seberapa
jauh pesan-pesan ideologis itu diamini oleh anak. Alih-alih demikian, saya akan
fokus memeriksa apa isi pesan tersebut dan mengapa lahir pesan semacam itu
dalam semesta bacaan anak Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
BAB III
MODERNITAS DALAM CERITA ANAK INDONESIA
“Kalau sudah besar, mau jadi apa?”
Hampir setiap orang pernah berhadapan dengan pertanyaan tersebut, umumnya di
masa kanak-kanak. Kalimat itu hadir dalam berbagai kesempatan, misalnya
percakapan di ruang kelas, pertemuan dengan kerabat dan keluarga, atau bahkan
perkenalan acak dengan orang asing. Kita dibiasakan punya proyeksi tentang masa
depan, secara khusus bagi anak-anak, tentang menjadi dewasa.
Beberapa kali, saya menemukan sejumlah cerita lucu terkait pertanyaan itu
dan jawaban yang diutarakan untuk menanggapinya. Orang tua saya pernah
menceritakan bahwa abang saya sempat bercita-cita menjadi sopir truk—ia sendiri
tidak ingat pernah mengatakannya. Bapak dan ibu saya menceritakan kisah itu
sembari tertawa geli lantaran cita-cita abang saya yang tidak lazim itu. Di
kesempatan lainnya, seorang teman juga membagikan kelakar serupa. Ia ingat
pernah menyatakan bahwa ia bercita-cita menjadi seorang tukang cat. Orang
tuanya—juga sambil tertawa—“mengoreksi” cita-cita itu, “Jadi arsitek dong, masa
tukang cat.”
Meski terkesan remeh, cita-cita adalah salah satu topik pembicaraan yang
hadir secara berulang-ulang di keseharian anak-anak. Melalui percakapan ini, anak-
anak dapat membayangkan dirinya dalam versi dewasa dengan aktivitas spesifik
sesuai dengan pekerjaan yang dipilihnya. Berkaca dari dua anekdot tentang cita-cita
yang saya kisahkan sebelumnya, pengalaman anak adalah faktor yang menentukan
bagaimana ia akan menjawab pertanyaan tentang masa depan itu. Abang saya yang
ingin jadi sopir truk itu semasa kecil memang punya ketertarikan lebih pada
kendaraan, terutama mobil. Ia senang duduk di muka saat menumpang bus umum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
untuk mudik. Pun teman yang bercita-cita jadi tukang cat itu menjawab demikian
karena dalam beberapa hari sebelumnya ia kerap memperhatikan aktivitas seorang
tukang cat di sekitar rumahnya.
Jika sepenuhnya bergantung pada pengalaman langsung berhadapan dengan
orang-orang yang melakukan aktivitas tertentu, tentunya cita-cita yang dibayangkan
anak-anak tidak akan jauh-jauh dari segala macam pekerjaan yang ada di sekitar
mereka. Maka, sebenarnya “tukang cat”, “sopir truk”, atau “penjual sayur” bukanlah
jawaban yang tidak lazim sehingga mengundang tawa para orang tua. Namun
ternyata, tidak demikian harapannya. Sejak masuk bangku sekolah (bahkan di
jenjang Taman Kanak-Kanak), saya dan teman-teman mulai punya jawaban yang
relatif seragam untuk pertanyaan soal cita-cita: dokter, insinyur, pilot,
polisi/tentara. Ketika membagikan kisah itu dalam proses penelitian tesis ini di
ruang kuliah, teman-teman dari berbagai tempat dan kalangan usia pun menyatakan
punya pengalaman yang sama. Dari pengalaman saya pribadi, pertemuan dengan
insinyur atau pilot bukanlah peristiwa umum dalam keseharian sebagai anak-anak
dari keluarga kelas menengah yang orang tuanya bekerja sebagai pegawai negeri
sipil.
Ini artinya, ada momen yang secara tidak disadari mengarahkan kami sebagai
anak-anak untuk punya proyeksi masa depan jenis tertentu. Momen ditertawakan
ketika menyatakan cita-cita semacamnya jadi salah satu faktor yang membuat kami
sebagai anak-anak berpikir ulang tentang apa artinya cita-cita. Respons “tertawa”
menunjukkan bahwa bukan itu semestinya yang dibayangkan jadi proyeksi masa
depan. Memang benar orang-orang yang bekerja sebagai sopir truk dan tukang cat
itu ada dan bahkan secara nyata membantu keseharian keluarga lewat kerja yang
amat bermanfaat. Akan tetapi, anak-anak diharapkan tidak jadi demikian. Ada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
banyak pekerjaan lain yang dianggap lebih pas untuk dijadikan aktivitas rutin di
masa depan.
Selain itu, ada referensi yang disodorkan pada kami sehingga dengan mantap
memilih ingin jadi pelaku pekerjaan yang telah saya sebutkan sebelumnya. Dari
mana persisnya referensi itu datang? Setelah mengorek beberapa kenangan, saya
teringat pada salah satu sinetron yang dikenal luas semasa saya sekolah, Si Doel
Anak Sekolahan.94 Cerita yang dihadirkan adalah keseharian sebuah keluarga Betawi
tradisional yang hidup bersisian dengan modernitas kota Jakarta. Keluarga ini
identik dengan mobil opelet tua berwarna biru yang digunakan sebagai angkutan
umum setiap harinya. Anak laki-laki keluarga itu, Kasdullah alias Doel (diperankan
oleh Rano Karno), melanjutkan pendidikannya di jurusan teknik mesin di sebuah
universitas. Salah satu adegan ikonik terkait tokoh Doel adalah ketika ia pulang ke
rumah, membawa berita bahwa ia telah lulus jadi sarjana. Dari halaman rumahnya,
Babe Sabeni (diperankan oleh Benyamin Sueb) dengan sukacita meneriakkan, “Hei
orang kampung, anak gue lulus jadi sarjana! Hei orang kampung, si Doel ude jadi
tukang insinyur! ... Siapa bilang anak Betawi kagak bisa jadi sarjana? Buktinya anak
gue!”
Istilah “tukang insinyur” amat membekas. Babe Sabeni tengah membahasakan
bentuk modernitas yang asing itu—insinyur—lewat simbol yang akrab di
telinganya—tukang. Bagi orang yang familier dengan atribut insinyur maupun
tukang, tentu penyebutan itu terdengar menggelikan karena membuat karakteristik
yang biasanya bertentangan jadi bersanding satu sama lain. Keluarga berjerih payah
menyekolahkan si Doel agar ia bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik dari
94 Sinetron ini pertama kali ditayangkan di stasiun RCTI pada tahun 1994. Kisah ini terinspirasi dari novel Si Doel Anak Betawi karangan Aman Datuk Madjoindo, terbitan Balai Pustaka tahun 1932, dengan sejumlah penyesuaian agar jadi versi yang lebih modern. Saking populernya, cerita ini telah digarap ulang dengan berbagai judul dan bentuk, termasuk film layar lebar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
pada sekadar jadi sopir opelet. Berbekal pengalaman bolak-balik memperbaiki
opelet tua yang rajin mogok itu, Doel memilih belajar di jurusan teknik mesin. Ia
pernah jadi “tukang” reparasi opelet; lalu pada akhirnya jadi “insinyur” yang bekerja
di perusahaan besar.
Cerita si Doel tak jauh berbeda dengan percakapan antara orang tua dan anak
yang telah saya sebutkan sebelumnya. Dalam keseharian, kita memang menemui
sekian orang dewasa melakukan sekian pekerjaan yang menunjang aktivitas harian
kita; mereka pun dapat penghasilan dari pekerjaan itu. Akan tetapi, selalu tumbuh
imajinasi untuk jadi sesuatu yang lebih daripada sekadar melakukan kerja-kerja
“biasa” itu tadi. Alih-alih jadi sopir opelet, apa salahnya jika bisa jadi insinyur mesin?
Alih-alih jadi tukang cat, mengapa tidak sekalian jadi arsitek? Apa persisnya hal yang
menentukan suatu pekerjaan dianggap idaman sementara pekerjaan yang lain
cenderung dikesampingkan?
Kegelisahan yang sama saya temukan pula dalam kesempatan berjalan-jalan
melirik rak-rak khusus bacaan anak di toko buku. Terdapat sejumlah bacaan yang
memotret jenis-jenis profesi yang dilakukan orang dewasa. Bacaan ini biasanya
dihadirkan sebagai buku berseri, dengan masing-masing judul mengisahkan satu
jenis pekerjaan. Dari pengamatan sekilas, sepertinya buku-buku ini berada dalam
pusaran gagasan yang sama dengan kisah si Doel. Dengan pilihan konsep
pendekatan yang saya pakai dalam tesis ini, bermacam media pembawa pesan ini
ditempatkan sebagai aparatus budaya. Dalam konsep pedagogi publik yang
dikemukakan oleh Henry Giroux, aparatus budaya ini punya peran sebagai “teaching
machine” atau perangkat pengajaran/pendidikan yang menjalankan praktik
pedagogis tertentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Dalam penelitian ini, saya mendalami secara khusus sepuluh buku bacaan seri
pengenalan profesi untuk anak. Kesepuluh judul ini ditulis oleh pengarang yang
sama dan diterbitkan oleh penerbit yang sama di bawah dua label seri berbeda. Seri
yang pertama bertajuk “Seri Mengenal Profesi”; sementara seri kedua “Seri Profesi
Idamanku”.95 Semua buku dari kedua seri tersebut ditulis oleh Rae Sita Patappa dan
diterbitkan oleh Penerbit Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga Serangkai, yang
berbasis di Solo, Jawa Tengah.
Untuk memaparkan sepilihan data terkait objek material penelitian ini, saya
menerapkan paradigma pendidikan kritis yang diusung Giroux yang menaruh
perhatian pada, salah satunya, cara (aparatus) budaya mengandung “kekuasaan”
dan siapa yang berkuasa atas produksi pengetahuan, nilai, dan praktik pendidikan.96
Bab ini menghadirkan pembacaan atas sepuluh teks cerita anak yang saya teliti
secara lebih dekat untuk mengurai sejumlah aspek baik terkait bentuk maupun
makna (atau pesan) yang menerangi kecenderungan wacana dominan yang tersirat
di dalamnya.
A. Mengenal Profesi lewat Fiksi
Dalam semesta bacaan (atau literatur) anak, dikenal beberapa bentuk narasi yang
lazim. Sebagaimana yang telah saya jelaskan pada bab awal tesis ini, ada sejumlah
diskusi konseptual terkait beberapa istilah berbeda yang digunakan untuk merujuk
95 “Seri Mengenal Profesi” diterbitkan pertama kali pada April 2016 oleh Penerbit Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga Serangkai. Seri ini terdiri dari 16 judul, yakni Dokter Gigi, Akuntan, Pengacara, Sutradara, Dokter Anak, Tentara, Perawat, Presiden, Astronaut, Ilmuwan, Bankir, Jaksa, Dokter Kandungan, Masinis, Insinyur, dan Kapten Kapal. Beberapa judul diterbitkan ulang dengan label “Seri Profesi Impianku” yang rilis pertama kali pada Januari 2018. Seri ini mencakup tujuh judul, yaitu Asyiknya Menjadi Sutradara, Asyiknya Menjadi Presiden, Asyiknya Menjadi Tentara, Asyiknya Menjadi Dokter Anak, Asyiknya Menjadi Astronaut, dan Asyiknya Menjadi Ilmuwan. 96 Lihat Giroux, Henry. (2011). “Critical Pedagogy in Dark Times” dalam On Critical Pedagogy. New York: The Continuum International Publishing Group.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
pada gagasan tentang bacaan anak (misalnya, sastra anak). Terlepas dari tantangan
yang muncul dari upaya pendefinisian dan penamaan itu, ada satu bentuk narasi
yang dapat dikatakan mengambil porsi paling besar dalam ragam bacaan anak, yaitu
fiksi.
Secara sederhana, fiksi dapat dikenali melalui beberapa elemen intrinsik
berupa tokoh (karakter), latar, dan peristiwa yang “diciptakan”97, alih-alih mengacu
pada satu tokoh, latar, dan peristiwa tertentu yang sungguh-sungguh ada dalam
kehidupan nyata. Dalam banyak rujukan, fiksi umumnya digunakan untuk menyebut
bentuk narasi prosa, baik cerita pendek maupun novel.98 Dalam dunia bacaan anak
yang punya fungsi menumbuhkan kemampuan pembaca untuk berimajinasi, fiksi
merupakan format yang amat potensial untuk mewadahi kepentingan tersebut.
Namun demikian, ada faktor pembeda yang cukup kentara jika
membandingkan fiksi untuk pembaca anak dengan fiksi untuk pembaca yang secara
umum diasumsikan sebagai orang dewasa. Faktor tersebut adalah penyederhanaan
(simplifikasi) cerita. Keduanya dapat saja memotret peristiwa yang sama, namun
tingkat kerumitan dalam penggambaran situasinya tentu berbeda. Selain itu,
informasi implisit tentang moral yang dihadirkan dalam bacaan anak juga condong
bersifat hitam-putih, artinya apa yang baik adalah baik, dan yang buruk adalah
buruk. Meski tidak semua bacaan anak mengambil bentuk dan karakteristik ini99,
97 Lihat Abrams, M.H. 1999. A Glossary of Literary Terms Seventh Edition. Boston: Heinle & Heinle, hal. 94-96. 98 Elemen serupa juga umum ditemukan dalam bentuk karya drama. 99 Dalam sejumlah bentuk fiksi yang lebih kompleks, atau ditujukan untuk pembaca anak dengan usia yang lebih tua, ada kesempatan untuk menghadirkan plot yang lebih kompleks, misalnya dengan mendeskripsikan lebih banyak tokoh beserta pandangan/tindakannya yang berbeda-beda terkait satu peristiwa. Implikasinya, “moral” yang tersirat dalam cerita tidak lagi sehitam-putih narasi yang lebih sederhana. Timbul pertimbangan semacam “ini memang tidak menyenangkan (buruk), tapi demi kebaikan” atau “niatnya baik, tapi hasilnya malah memperburuk situasi” dan lain sebagainya. Artinya, ada “ruang abu-abu” yang membuat pembaca berhadapan dengan kerumitan tertentu sehingga membuat penilaian atau pengambilan keputusan tidak lagi semudah biasanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
sebagian besar bacaan anak memang dikondisikan untuk mempermudah pembaca
anak memahami suatu peristiwa dengan cara yang sederhana.
Melalui pendalaman singkat, kesepuluh buku seri pengenalan profesi yang
saya rangkum di bagian sebelumnya dapat dikategorikan sebagai fiksi. Akan tetapi,
kategorisasi tersebut tidaklah tanpa tantangan. Dengan mengamati sejumlah unsur
intrinsik dalam sepuluh narasi tersebut, saya mengidentifikasi adanya kerumitan
yang muncul dari konsekuensi pengelompokannya ke dalam kelas fiksi. Untuk
menggambarkan kerumitan itu, saya akan mengulas tiga unsur intrinsik dari
sepuluh cerita tersebut, yakni tokoh dan penokohan, latar, serta plot (alur).
A.1. Tokoh dan Penokohan
Tiap-tiap buku bacaan anak seri pengenalan profesi yang saya teliti memuat sebuah
kisah yang diperankan oleh satu tokoh utama, yakni masing-masing pelaku
pekerjaan dalam tiap judul. Semua tokoh tersebut diberi nama untuk memberikan
kesan bahwa ia individu spesifik yang tengah diceritakan kisah hidupnya. Selain itu,
tiap individu ini digambarkan memiliki sifat-sifat tertentu yang rupanya identik
dengan stereotipe karakteristik pekerjaan yang mereka jalani. Dalam bagian ini,
saya akan merangkum bagaimana para tokoh tersebut dideskripsikan.
Dalam buku Ilmuwan, tokoh utamanya bernama Bu Silvi. Ia tercatat sebagai
pegawai Badan Konservasi Sumber Daya Alam100 yang telah bekerja di unit Cagar
100 Dalam struktur perangkat pemerintahan, lembaga ini bernaung di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Tugasnya adalah mengelola kawasan konservasi (khususnya hutan suaka alam dan taman wisata alam), mengawasi tumbuhan dan satwa yang dilindungi dalam wilayah tersebut, serta memantau upaya penangkaran dan pemeliharaan tumbuhan dan satwa oleh perorangan, perusahaan, atau lembaga konservasi terkait. (Lihat Sejarah Organisasi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Kehutanan RI dalam http://ksdae.menlhk.go.id/sejarah-ksdae.html).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Alam Hijau selama lima tahun. Terkait pekerjaannya sebagai peneliti tanaman
langka, Bu Silvi resah dengan kondisi jarang ditemukannya sejumlah spesies
tanaman. Ia khawatir spesies itu akan punah, padahal tanaman tersebut punya
potensi membantu memenuhi kebutuhan hidup manusia; misalnya pohon
tengkawang yang dapat menghasilkan minyak nabati dan di masa lampau batangnya
kerap digunakan sebagai bahan pembuatan rumah. Bu Silvi digambarkan sebagai
sosok yang tekun dan teliti. Ia mencatat hasil penelitian yang ia lakukan dalam
jangka waktu yang cukup panjang. Itu semua dilakukan demi menemukan cara
paling efektif untuk memelihara kelestariannya.
Kerja panjang sebagai ilmuwan membutuhkan seseorang yang visioner. Bu
Silvi membayangkan betapa bahagianya jika sejumlah jenis tanaman yang tengah ia
teliti itu suatu hari berkembang lebih banyak sehingga manusia dapat memetik
manfaat dari hasil tanaman itu. Selain kelangkaan tanaman, hal lain yang acap kali
membuatnya sedih adalah maraknya penebangan pohon dan pembakaran hutan.
Menarik untuk dilihat bahwa pekerjaan sebagai ilmuwan mendorong Bu Silvi untuk
punya kontribusi terhadap masalah tertentu yang secara luas dihadapi masyarakat.
Para ilmuwan digambarkan mengupayakan langkah-langkah agar kehidupan
manusia menjadi lebih baik.
Lain halnya dengan Bu Silvi yang mencemaskan kondisi hutan Indonesia
sebagai paru-paru dunia, Kak Oka sang Dokter Gigi digambarkan lebih tenang dan
tidak banyak khawatir dalam keseharian kerjanya. Kak Oka bekerja di sebuah
rumah sakit dan setiap harinya menangani para pasien yang memiliki masalah atau
ingin berkonsultasi seputar kesehatan gigi dan mulut. Ia kerap bertemu dengan
pasien yang takut atau tegang ketika masuk ruang periksa, contohnya pasien anak-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
anak. Namun, Kak Oka tetap berupaya menenangkan para pasien. Ia melakukan
pemeriksaan dengan teliti untuk mengetahui masalah dan tindakan pengobatan
yang diperlukan. Suatu kali seorang pasien protes padanya karena tidak diizinkan
mencabut gigi yang sakit. Menghadapi komplain semacam itu, Kak Oka tersenyum
sembari menjelaskan mengapa gigi yang sakit tidak boleh dicabut. Dengan sikap
tenang dan berbagai informasi yang ia berikan itu, para pasien selalu dapat
memahami langkah-langkah pengobatan yang diperlukan untuk kesehatan gigi
mereka. Tak lupa, di setiap akhir kunjungan, Kak Oka selalu berpesan agar para
pasien senantiasa menjaga gigi mereka dengan baik. Ia amat bahagia saat melihat
pasiennya dapat tersenyum lagi.
Tiap-tiap pekerjaan digambarkan menimbulkan kebahagiaan yang beragam.
Cerita Pak Haris menunjukkan betapa berbedanya kebahagiaan yang dicapai lewat
kerja seorang Jaksa. Dalam sistem hukum dan peradilan Republik Indonesia,
seorang jaksa bertugas membuktikan kesalahan yang dilakukan seorang terdakwa
lewat proses pengadilan. Untuk menjalankan tugas itu, Pak Haris harus bekerja
sama dengan personel lembaga lain, yakni para penyidik dari Kepolisian. Sebagai
jaksa, Pak Haris merasa memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan agar
siapa pun yang bersalah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Maka, ia
tak ragu mengupayakan agar semua hal yang diperlukannya dalam persidangan
nanti dipersiapkan secara lengkap. Pak Haris juga dideskripsikan sebagai seseorang
yang antisipatif, sebab ia berhasil menunjukkan bukti kuat yang secara telak
mematahkan semua bantahan terdakwa. Keberhasilan kerjanya tercapai setelah
hakim memutuskan bahwa terdakwa kasus korupsi penggelapan dana bantuan
untuk masyarakat miskin itu dinyatakan bersalah serta harus menjalani hukuman
dan membayar ganti rugi. Namun kerja tak usai di sini, Pak Haris masih harus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
menyelesaikan banyak kasus lainnya dengan tujuan membela kebenaran dan
keadilan.
Beralih ke judul lainnya, dalam Akuntan, tokoh Kak Tara dihadirkan sebagai
sosok yang cermat dan analitis. Ia bekerja di sebuah kantor akuntan publik yang
menyediakan layanan jasa bidang keuangan. Dalam satu hari, ia dapat mengerjakan
beberapa jenis tugas dan menemui lebih dari satu klien. Ia tampak sibuk dan
memiliki mobilitas yang tinggi. Klien-klien yang ditemuinya pun bukan orang
sembarangan; dengan kemampuannya di bidang akuntansi, Kak Tara berhasil
menolong Pak Syam, pemilik perusahaan perumahan, dan Bu Siska, pemilik restoran
besar yang kondang hingga luar negeri. Oleh karena berurusan dengan
kelangsungan finansial usaha para kliennya, Kak Tara harus teliti memeriksa
berbagai hal yang diperlukan untuk membaca situasi unit usaha tersebut dan
memastikan semua itu tercatat dengan rapi. Setelah itu, ia harus menganalisis apa
yang terjadi agar dapat memberi saran yang tepat dan meyakinkan untuk
memperbaiki situasi di tiap unit usaha kliennya.
Kembali ke dunia hukum, hadir Bu Hana sang Pengacara yang tugasnya
mengharuskan ia berhadap-hadapan dengan jaksa. Berbeda dari Pak Haris, dalam
persidangan Bu Hana justru harus membantu terdakwa agar terbukti tidak bersalah.
Sosok pengacara dalam buku pengenalan profesi ini digambarkan memiliki
kesadaran untuk membantu orang awam menyampaikan pembelaan mereka dalam
bahasa hukum. Bu Hana sendiri terbiasa menangani kasus para artis atau pejabat
ternama yang kaya raya. Namun, ketika ia bertemu dengan Nenek Ara, seorang
lansia yang tertuduh mencuri sekantong wortel, Bu Hana langsung tersentuh dengan
kesederhanaan beliau dan memutuskan untuk membantu secara cuma-cuma. Berkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
bantuan Bu Hana, hakim memutuskan bahwa Bu Hana tidak bersalah. Ternyata,
simpati Bu Hana tak hanya berhenti di persidangan; ia bahkan mengantarkan Nenek
Ara pulang ke gubuknya yang sederhana. Peristiwa membantu Nenek Ara ini
menggerakkan hati Bu Hana untuk berjanji memperjuangkan keadilan bagi orang-
orang kecil yang dicurangi seperti Nenek Ara.
Lima kisah pengenalan profesi di atas menggambarkan para pelakunya yang
melakukan aktivitas kerja di kantor. Kali ini, dalam buku Asyiknya Menjadi
Astronaut, tokoh utama tidak pergi ke kantor untuk bekerja. Kak Alfa dikisahkan
harus menempuh jalan panjang hingga akhirnya dapat memulai kerjanya sebagai
astronaut. Karakteristik penting yang membuat ia berhasil melewati semua proses
seleksi dan persiapan itu adalah rajin belajar dan membaca, serta memelihara tubuh
yang ideal dengan berolahraga dan mengonsumsi makanan sehat. Ia juga
mempelajari beberapa cabang ilmu pengetahuan alam untuk mendukung
pekerjaannya, misalnya matematika, astronomi, dan meteorologi. Kak Alfa adalah si
gemilang. Ia dideskripsikan mampu memenuhi semua persyaratan untuk bukan
sekadar jadi astronaut, bahkan jadi komandan astronaut! Ketika melakukan misi
pertama ke bulan, ia tampak gagah dengan pakaian khusus. Misinya pun berjalan
lancar dan perjalanan ke angkasa luar membuatnya bangga sebab bisa menyaksikan
keindahan ciptaan Tuhan yang megah.
Selain bekerja di dunia hukum dan penelitian saintifik, rupanya boleh juga
bekerja di dunia industri kreatif. Buku Asyiknya Menjadi Sutradara memotret sebuah
deskripsi pekerjaan orang-orang dari wilayah pembuatan film. Kak Delis ialah
seorang sutradara yang telah banyak menelurkan karya film; kali ini ia mau
membuat film petualangan untuk anak-anak. Dari keseluruhan cerita, Kak Delis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
utamanya tampak sebagai seseorang dengan sifat-sifat kepemimpinan. Ia memantau
dan mengarahkan tiap-tiap proses dalam pembuatan film tersebut. Meski tiap
tahapan dikerjakan secara khusus oleh orang dengan kemampuan spesifik
(misalnya pengambilan gambar oleh juru kamera, penyuntingan oleh editor,
penataan ilustrasi musik oleh penata musik), Kak Delis selalu hadir mendampingi
orang-orang tersebut untuk melakukan pengawasan dan pengarahan. Film itu
mendapatkan apresiasi yang baik dari para penonton anak dan keluarganya; lebih-
lebih juga membuat Kak Delis dianugerahi penghargaan sebagai sutradara terbaik.
Keberhasilan ini menumbuhkan tekadnya untuk terus membuat film bermutu.
Barangkali, cita-cita tertinggi yang dapat dibayangkan seorang anak adalah
menjadi presiden, pemimpin sebuah negara. “Profesi” presiden adalah salah satu
jawaban yang juga lumrah disuarakan oleh anak-anak di Indonesia ketika ditanyai
tentang cita-cita. Kali ini tokoh Presiden Republik Indonesia diperankan oleh Pak
Arya. Ia digambarkan punya tanggung jawab yang amat besar dan pekerjaannya
serbapenting, sehingga sebelum mengawali kerjanya, ia harus mengucapkan
sumpah. Ini artinya, konsekuensi dari pelanggaran dalam tugas amatlah serius. Pak
Arya juga amat sibuk; dalam satu hari ia dapat melakukan berbagai pertemuan dan
mengurusi segala macam hal. Dalam posisinya sebagai presiden, Pak Arya
dideskripsikan memiliki kecenderungan untuk kerap melakukan intervensi,
contohnya menyurati Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menentang
peperangan yang terjadi di negara tetangga Indonesia, serta mengunjungi secara
langsung lokasi bencana alam di wilayah pimpinannya. Selain itu, ia juga tampil
sebagai sosok yang instruktif karena posisinya sebagai pemimpin. Cita-citanya
adalah rakyat Indonesia sejahtera.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Beralih ke judul Asyiknya Menjadi Perawat, penggambaran tokoh Kak Dalia
cenderung mirip dengan Kak Oka si dokter gigi. Kak Dalia adalah sosok yang selalu
tenang dan ceria. Meski setiap hari bertemu dengan orang-orang yang sakit, ia selalu
hadir dengan ceria dan berkomunikasi dengan ramah. Selain itu, karakteristik yang
menonjol dari Kak Dalia adalah sifat keibuannya; ia selalu lemah lembut dan penuh
kasih sayang dalam melayani para pasiennya. Ia bahkan dikisahkan terlibat secara
emosional dengan kondisi sejumlah pasien; ia merasa bahagia jika para pasien itu
berangsur-angsur pulih dan turut merasakan sedihnya anggota keluarga pasien
yang harus menghadapi kesulitan atau ketegangan (misalnya sebelum menjalani
operasi).
Terakhir, cerita Asyiknya Menjadi Tentara memotret sosok Kak Riga yang
tangkas, cekatan, dan selalu siaga. Untuk menjalankan tugasnya, ia harus selalu
memelihara fisik yang kuat dan sehat. Kak Riga dideskripsikan sebagai tentara yang
heroik dan patriotik sebab ia bertugas melindungi rakyat Indonesia dari bahaya dan
harus mengabdi sepenuhnya demi kecintaan pada negara. Meski mungkin
bertentangan dengan tugas-tugas keras yang harus dijalaninya, Kak Riga dan rekan-
rekan tentaranya ternyata dekat dengan rakyat. Ia senang jika masyarakat dapat
menjalankan aktivitas sehari-hari dengan tenang dan aman. Begitu pula ketika ia
bertugas menjaga garis perbatasan antara negara Indonesia dan Malaysia di daerah
Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Regunya tinggal berdampingan
dengan tentara Malaysia yang juga memiliki tugas serupa dan melakukan aktivitas
sehari-hari bersama mereka meski bertugas untuk negara yang berbeda.
Sepuluh tokoh pelaku profesi di atas adalah potret ideal karakteristik orang
dewasa yang melakukan pekerjaan spesifik dalam kesehariannya. Penggambaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
tokoh tersebut menampilkan sifat apa saja yang perlu dimiliki oleh seorang
ilmuwan, dokter gigi, jaksa, akuntan, pengacara, astronaut, sutradara, presiden,
perawat, dan tentara. Deskripsi karakteristik ini mau tidak mau mengarahkan
pembaca untuk mengasosiasikan sifat-sifat tersebut dengan tuntutan tiap-tiap
pekerjaan yang dilakoni para tokoh; misalnya, untuk jadi ilmuwan dibutuhkan
ketekunan dan ketelitian, untuk jadi akuntan pun harus cermat dan analitis, jika
ingin jadi tentara maka harus tegas dan punya fisik yang kuat, dan seterusnya.
Idealisasi juga ditampilkan dalam bentuk kerja individual. Para tokoh yang
diangkat dalam tiap judul digambarkan sebagai pelaku profesi yang mumpuni.
Mereka memang bekerja bersama banyak orang lainnya di sekitar, entah itu sesama
anggota batalion, rekan kerja, asisten, atasan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, pada
akhirnya “kemenangan” atau keberhasilan mereka adalah milik mereka sendiri, atau
setidaknya disebabkan oleh kegigihan individual mereka. Bantuan atau kerja sama
rekan sejawat tidak ditempatkan sebagai sesuatu yang signifikan, bahkan terkadang
para tokoh utama tampak bekerja sendiri tanpa bantuan tim.
Hal lain yang patut diperhatikan adalah peruntukan buku ini bagi pembaca
anak dengan deskripsi karakter yang sepenuhnya dewasa. Bagaimana pengalaman
mereka, yang dalam banyak hal amat berbeda, dijembatani? Semua tokoh utama
dalam tiap judul memang digambarkan sebagai orang dewasa, dengan keseharian
dan tanggung jawab khas orang dewasa. Hanya ada beberapa judul yang
menghadirkan karakter anak yang turut berperan dalam jalannya cerita, yakni
Dokter Gigi, Sutradara, Presiden, dan Perawat. Pada judul yang lain, memang ada
beberapa karakter anak dalam ilustrasi, namun tidak diceritakan sebagai bagian
dari kisah itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Meski demikian, anak-anak tidak serta-merta dibuat absen dari penceritaan.
Pertama, hal itu tampak melalui gaya tutur yang cenderung sederhana, meski dalam
beberapa kesempatan juga tetap rumit, misalnya ketika menjelaskan kecemasan
tentang situasi hidup yang terkait dengan orang banyak (penegakan keadilan dan
kebenaran dalam cerita Jaksa dan Pengacara). Kedua, secara khusus para tokoh
disapa dengan panggilan yang menunjukkan adanya relasi tertentu dengan pembaca
anak. Para tokoh dipanggil dengan beragam sebutan seperti “Ibu”, “Bapak”, atau
“Kak”. Narator dalam tiap cerita adalah orang ketiga, yang memaparkan perjalanan
para tokoh kepada pembaca (anak). Walau anak yang menyimak cerita tidak
ditampilkan secara eksplisit, narator menyapa para tokoh sebagaimana seorang
anak.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa deskripsi karakteristik para
tokoh dalam setiap judul adalah representasi karakteristik ideal tiap-tiap profesi
yang dijalani. Pembaca anak diperkenalkan dengan dunia kerja profesional orang
dewasa melalui kisah para tokoh tersebut. Dunia pekerjaan yang semacam itu
ternyata memang tidak banyak melibatkan subjek anak; kalaupun ada, mereka
selalu didampingi oleh orang dewasa lainnya (misalnya Fea, pasien anak yang
diantar ayahnya untuk memeriksakan kesehatan gigi).
A.2. Latar
Tak hanya lewat sifat-sifat yang perlu diupayakan jika ingin mencapai cita-cita,
buku-buku seri pengenalan profesi ini juga mendeskripsikan bagaimana situasi
tempat kerja bagi masing-masing profesi. Dari penggambaran latar ini, nantinya kita
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
dapat melihat preferensi tertentu yang mendefinisikan bagaimana semestinya
bekerja secara profesional itu.
Dari sepuluh judul yang saya teliti, tujuh di antaranya menggambarkan
aktivitas kerja yang dilakukan di tempat yang sama setiap harinya. Tempat kerja
yang dimaksud pun digambarkan sebagai kantor, atau setidaknya dapat disebut
sebagai kantor. Pak Haris sang jaksa, Bu Hana sang pengacara, Kak Tara sang
akuntan, dan Pak Arya yang menjabat sebagai presiden melaksanakan pekerjaan
mereka di kantornya masing-masing. Meski pekerjaannya tetap menuntut mereka
untuk berpindah ke latar yang lain, namun keempat tokoh ini utamanya
digambarkan melakukan pekerjaan belakang meja.
Dalam kisah jaksa dan pengacara, kedua tokoh digambarkan melakukan
pekerjaan hariannya di kantor, baik itu ketika berurusan dengan penyidik
Kepolisian maupun klien kasus hukum. Pada momen tertentu, mereka akan
menjalankan tugas di ruang pengadilan dengan mengenakan pakaian khusus
persidangan yang disebut toga. Sementara itu, Kak Tara sang akuntan juga
dikisahkan bekerja di sebuah kantor akuntan publik. Sebagai bagian dari tugasnya,
sesekali ia perlu bertemu dengan klien yang menggunakan jasanya. Kadang kala,
klien yang mendatangi Kak Tara ke kantornya, namun ada pula kesempatan ketika
Kak Tara menemui kliennya di lokasi unit usaha milik klien, misalnya restoran
besar. Sama halnya dengan Pak Presiden Arya, ruang kerjanya begitu megah,
dipenuhi berbagai perabot cantik berukir yang terlihat istimewa. Selain di kantor,
Pak Arya juga menemui para pejabat di ruang pertemuan resmi. Dalam satu
peristiwa ketika ia keluar dari istana negara, Pak Arya berkunjung ke lokasi bencana
alam yang melanda salah satu wilayah di Indonesia. Hanya pada kesempatan itulah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
ia tampak mengenakan pakaian yang lebih santai; sepanjang hari selama di istana ia
diilustrasikan selalu mengenakan setelan jas lengkap dan kopiah.
Tiga tokoh lainnya juga diceritakan bekerja di kantor dengan fungsi khusus
yang membedakannya dari jenis pekerjaan lain. Kak Oka sang dokter gigi dan Kak
Dalia sang perawat sama-sama bekerja di rumah sakit. Kak Oka bekerja di ruang
periksa gigi, khusus diperuntukkan bagi aktivitas dokter gigi. Di ruang itulah ia
berinteraksi dengan para pasien, baik dalam bentuk konsultasi maupun
pengambilan tindakan medis. Beda halnya dengan Kak Dalia, ia tidak selalu berada
di satu ruangan sepanjang melakukan pekerjaannya. Ruang jaga perawat digunakan
ketika para perawat yang bertugas ingin beristirahat atau berkumpul. Selain waktu
tersebut, Kak Dalia berkeliling ke kamar rawat inap untuk melakukan tugasnya.
Sementara itu, Bu Silvi sang ilmuwan juga bekerja di kantor milik Badan
Konservasi Sumber Daya Alam. Persisnya, ia memiliki dua tempat kerja khusus,
yakni laboratorium dalam kantor dan sebuah cagar alam tempat ia meneliti dan
memelihara tanaman langka. Dalam buku Ilmuwan ini memang tidak disebutkan
secara eksplisit lokasi cagar alam tempat Bu Silvi bekerja. Meski demikian, hal itu
dapat diidentifikasi melalui informasi spesies tanaman langka yang tengah
ditelitinya, yakni pohon tengkawang. Sebagaimana disebutkan dalam ceritanya,
tengkawang adalah tanaman endemik Kalimantan yang dapat menghasilkan minyak
nabati yang berguna bagi manusia. Oleh karena letaknya yang dikelilingi hutan dan
jauh dari hunian manusia, cerita Ilmuwan tidak menghadirkan ilustrasi tokoh selain
Bu Silvi, seorang rekan kerjanya, dan pembalak hutan yang muncul dalam angan-
angannya. Pekerjaan ini seperti dilakukan dalam hening dan jauh dari interaksi
dengan masyarakat luas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Jika ketujuh tokoh utama yang telah digambarkan di atas bekerja di tempat
yang sama hampir setiap harinya, tak demikian dengan tiga profesi yang tersisa. Kak
Alfa sang astronaut mungkin jadi tokoh dengan tempat kerja paling tak terjangkau
yang dapat dibayangkan pembaca: angkasa luar. Ketika menjalani persiapan
menjadi astronaut, Kak Alfa sibuk beraktivitas di berbagai simulator kendaraan dan
peralatan yang diperlukannya untuk menuju ke dan bertahan hidup di angkasa luar.
Ruang dan peralatan semacam itu tentunya dapat diasumsikan berada di suatu
tempat khusus bernama badan antariksa yang biasanya dimiliki oleh negara. Selepas
terpilih jadi astronaut, ia harus melakukan perjalanan selama berbulan-bulan di
dalam pesawat yang mengantarnya menuju bulan. Tempat kerja Kak Alfa tentu saja
lain dari yang lain. Tidak ada oksigen sebagaimana di bumi, tidak ada gravitasi
sehingga harus melayang ke sana kemari, jaraknya amat sangat jauh dan butuh
waktu lama untuk mencapainya, serta risiko yang membayangi juga amat besar.
Tak hanya Kak Alfa, Kak Delis sang sutradara pun tak perlu pergi ke kantor.
Untuk melakukan aktivitas kerjanya, ia berpindah-pindah dari sekian tempat
seperti, ruang pertemuan dengan para kru dan aktor, berbagai lokasi pengambilan
gambar, ruang kerja para pendukung produksi (editor, penata musik, dan lain-lain),
ruang pemutaran bioskop, bahkan hingga podium penganugerahan penghargaan. Ia
digambarkan berpenampilan santai sepanjang bekerja. Kak Riga sang tentara pun
berpindah-pindah lokasi kerja, namun pakai seragam sepanjang hari. Ia harus
menempuh berbagai latihan fisik di ruang terbuka; sesekali mengikuti upacara
bersama rekan tentaranya yang lain. Di pertengahan cerita, Kak Riga bahkan harus
meninggalkan rumah untuk menjalankan tugas negara. Dengan penugasannya ke
garis perbatasan Indonesia dan Malaysia di Entikong, Kabupaten Sanggau,
Kalimantan Barat, tempat kerja bukan lagi suatu lokasi khusus bagi Kak Riga. Alih-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
alih memiliki rutinitas “berangkat kerja”, di barak jaga itulah Kak Riga melakukan
segala hal, baik yang masuk dalam kategori pekerjaan maupun bukan pekerjaan
(misalnya istirahat, rekreasi, dan lain-lain).
Latar masing-masing cerita yang saya jabarkan di atas saya maksudkan untuk
membaca bagaimana pekerjaan dipersepsi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian
besar profesi yang ditampilkan dalam penelitian ini digambarkan membutuhkan
ruang kerja khusus yang dikondisikan untuk melakukan aktivitas kerja, sebut saja
kantor (dengan segala fungsi umum maupun khususnya). Kantor menjadi tanda
yang menunjukkan adanya pemisahan antara rutinitas kerja dan nonkerja. Di
kantorlah para pelaku profesi mengurusi berbagai macam hal terkait tugas dan
pekerjaan mereka, dengan sekali waktu memenuhi tugas lainnya di tempat berbeda.
Selama berada di kantor, para pelaku profesi fokus mengerjakan tugasnya.
Menariknya, setiap tokoh diilustrasikan memiliki ruang kerja individual. Hal ini
mengindikasikan bahwa pekerjaan yang dilakukan di kantor diatur dengan
pembagian kerja yang cukup ketat, di mana tiap pekerja perlu menjalankan
tugasnya secara individual dan sesekali berkoordinasi dengan pekerja lainnya.
Selain memisahkan aktivitas kerja dari nonkerja, kantor juga menjadi penanda
modern yang menunjukkan bahwa pekerjaan tertentu tidak lagi dapat dilakukan di
rumah atau lingkungan tempat tinggal. Kesan semacam ini juga timbul dalam
julukan “pekerjaan kantoran” sebagaimana sering terdengar dalam percakapan
masyarakat Indonesia. Julukan itu bermakna pekerjaan yang mengharuskan
seseorang melakukan aktivitas kerja sesuai dengan jam yang telah ditentukan
(cenderung tetap setiap harinya), dengan mengenakan pakaian tertentu (biasanya
diasumsikan sebagai seragam atau busana formal), dan memiliki penghasilan tetap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
yang diterima dalam periode tertentu (biasanya bulanan). Representasi paling
umum dari karakteristik tersebut adalah aparatur sipil negara (dulu: pegawai negeri
sipil); namun julukan yang sama juga digunakan untuk menyebut karyawan yang
bekerja di pihak swasta.
Berbeda dari rutinitas pekerja kantoran, penggambaran dua profesi lainnya
yang tidak mengharuskan pekerjanya berkantor menunjukkan gagasan yang sedikit
berbeda. Pekerjaan sebagai astronaut dan tentara digambarkan sebagai jenis
pekerjaan dengan aktivitas amat spesifik yang memerlukan tempat kerja khusus
yang tidak hanya terdiri atas meja, kursi, dan komputer. Pekerjaan astronaut harus
disokong dengan peralatan serbacanggih dan teknologi yang menjamin keselamatan
semua orang yang terlibat. Sementara itu, berprofesi sebagai tentara menuntut
seseorang untuk terbiasa melakukan aktivitas fisik berat di alam terbuka sebagai
persiapan menghadapi ancaman yang dapat menggoyahkan stabilitas negara.
Dari kesepuluh judul seri pengenalan profesi tersebut, barangkali pekerjaan
Kak Delis sang sutradaralah yang terlihat paling tak biasa. Ia tidak perlu pakai
seragam khusus selama bekerja dan selalu berpindah tempat sepanjang proses
bekerja. Ia pulalah yang diilustrasikan berinteraksi dengan paling banyak orang
(aktor, kru lapangan, tim produksi di studio, dan lain-lain). Bahkan dari keseluruhan
buku pengenalan profesi yang diterbitkan dalam seri yang sama101, sutradara adalah
satu-satunya profesi yang bergerak di ranah kerja kreatif, dalam hal ini secara
khusus produksi film. Dari komposisi tersebut, terlihat bahwa kerja dalam ranah
kreatif belum jadi preferensi profesi yang diterima masyarakat. Tuntutan kerja yang
ada dalam kerja kreatif digambarkan berbeda dari kerja lain di luar ranah itu. Aspek
101 Lihat catatan kaki nomor 2.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
formalitas dan format kerja yang cenderung tetap tidak jadi yang utama, sebab
diasumsikan kreativitaslah yang mestinya mendorong seluruh proses kerja tersebut
(meski demikian, proses berpikir/bekerja mengolah kreativitas itu sendiri tidak
banyak dielaborasi).
A.3. Plot
Secara sederhana, plot dapat dimengerti sebagai rangkaian peristiwa yang
menyusun jalannya sebuah cerita. Ragam plot sendiri amat beragam; terus
berkembang dari waktu ke waktu. Namun, salah satu rumusan plot klasik yang
kerap jadi rujukan (baik untuk membaca karya, maupun menilai plot lainnya)
adalah plot versi Aristotelian. Rumusan plot yang ditulisnya itu awalnya ditujukan
untuk bentuk naratif drama, namun di kemudian hari model itu menjadi semacam
fondasi bagi terbangunnya versi plot lain.102 Aristoteles hanya menyertakan tiga
istilah sederhana dalam plot versinya: awal, tengah, akhir (a beginning, a middle, an
end). Ketiga hal yang menjadi struktur dasar plot karya sastra itu harus dirangkai
dalam konsep kesatuan/keutuhan (unity) yang berdasarkan prinsip kausalitas
(notion of causality). “Awal” plot harus menjadi sumber dari semua aksi yang
kemudian akan muncul. Bagian “awal” inilah yang akan menyebabkan terjadinya
peristiwa-peristiwa dalam bagian “tengah” yang selanjutnya akan menuntun kepada
102 Aristoteles menuliskan rumusan plotnya itu dalam Poetics, salah satu tulisan kritik sastra paling tua yang dikenal sejarah; buku ini ditulisnya sekitar abad ke-4 SM. Poetics amat monumental karena inilah karya pertama dan tertua yang memuat teori drama dan filsafat yang berfokus pada teori sastra. Karya ini merupakan perluasan wilayah studi filsafat yang ditawarkan di Lyceum (sekolah yang didirikan Aristoteles). Sebagian dari motivasi penulisannya adalah melawan kritik Plato yang begitu kuat atas sastra. Konten Poetics sendiri di kemudian hari jadi warisan penting dalam tradisi kritik sastra dan menjadi fondasi bagi berbagai teori sastra yang dikenal saat ini, misalnya pemisahan karya sastra berdasarkan genre, metode kritik yang evaluatif dan tidak hanya didaktis, dan penekanan lebih pada elemen tindakan (action) yang dianggap Aristoteles jauh lebih penting dalam menggerakkan cerita ketimbang elemen tokoh (character)—poin yang disebut terakhir inilah yang menjadi dasar teori plot Aristotelian. (Lihat Habib, M.A.R. 2005. A History of Literary Criticism: From Plato to the Present. Oxford: Blackwell Publishing.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
“akhir” di mana tidak ada lagi hal-hal yang menggantung. Semua sudah
terselesaikan.
Teori plot Aristotelian ini turut menjadi dasar dari teori plot yang selanjutnya
dikembangkan oleh Gustav Freytag, seorang kritikus asal Jerman. Dalam bukunya
Technique of Drama (1863), ia memperkenalkan teori plotnya yang kemudian
dikenal dengan nama Piramida Freytag. Piramida ini membagi plot naratif menjadi
lima bagian: exposition, rising action (dalam teori Aristoteles disebut complication),
climax, falling action, dan denouement/resolution.103 Elemen tersebut dapat
dikatakan menjabarkan elemen teori plot Aristotelian dengan lebih mendetail.
Umumnya, cerita digerakkan mengikuti perjalanan tokoh protagonis “mencapai”
suatu tujuan tertentu, dengan berbagai hambatan yang datang dari tokoh lain
maupun situasi tak menguntungkan di sekitarnya. Exposition merupakan bagian
awal narasi yang umumnya berfungsi memperkenalkan berbagai unsur dalam
cerita, misalnya tokoh dan latar. Rising action ditandai dengan peristiwa yang
memicu adanya konflik. Climax adalah titik kulminasi konflik, puncak dari gesekan
antara misi tokoh protagonis dengan berbagai hambatan. Falling action disusun dari
peristiwa pascakonflik dengan tegangan yang mulai turun. Elemen ini menuntun ke
bagian denouement/resolution di mana tindakan dan intrik pada akhirnya selesai,
entah sebagai keberhasilan maupun kegagalan.
Dengan dasar pengertian semacam itu, bagian ini akan memeriksa plot yang
menggerakkan narasi buku-buku seri pengenalan profesi ini, sekaligus poin inilah
yang akan menunjukkan mengapa kategorisasinya sebagai fiksi agak rumit
sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya. Secara garis besar, konten
103 Abrams, op. cit., hal. 227.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
narasi sepuluh buku ini berpusat pada dua hal, yakni penggambaran rutinitas kerja
dan informasi teknis dalam keseharian kerja para tokoh. Informasi teknis ini
ditandai dengan pembedaan format penulisan, yakni dicetak tebal. Istilah-istilah
bercetak tebal ini dimuat kembali di halaman isi paling belakang dari tiap judul
buku dalam bentuk glosarium. Istilah yang dipilih menjadi informasi teknis
umumnya bersifat sangat spesifik dalam kaitannya dengan jenis pekerjaan yang
diceritakan.
Dari sepuluh judul cerita yang saya dalami, hanya dua di antaranya yang dapat
dengan jelas dikatakan memiliki plot yang (hampir) utuh. Kedua judul itu sama-
sama memotret aktivitas kerja orang-orang yang bergelut di dunia hukum, yakni
Jaksa dan Pengacara. Kedua cerita ini disetir oleh sebuah kasus (atau dugaan)
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seorang warga negara dan diperlukan
proses pengadilan untuk menentukan keputusan hukumnya. Rutinitas kerja jaksa
dan pengacara dijabarkan melalui proses persiapan pengadilan dan proses
pengadilan itu sendiri, hingga diakhiri dengan vonis hakim yang selalu
memenangkan pihak yang diposisikan sebagai yang benar.
Dalam kisah Jaksa, kasus yang diangkat adalah penggelapan dana bantuan
untuk rakyat miskin. Pak Haris sang jaksa bersama para penyidik Kepolisian
mengumpulkan berbagai bukti yang menunjukkan bahwa terdakwa kasus tersebut
memang telah melakukan korupsi. Berbagai bukti itu kemudian menjadi dasar
untuk menyusun surat dakwaan yang dibacakan Pak Haris di pengadilan. Terdakwa,
dengan bantuan penasihat hukumnya, membantah tuduhan jaksa. Namun, Pak Haris
berhasil menghadirkan bukti jitu yang langsung membuktikan yang sebaliknya,
yakni rekaman percakapan terdakwa dengan penerima uang hasil penggelapan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
tersebut. Terdakwa tak lagi dapat mengelak. Hakim akhirnya menjatuhkan vonis
bersalah beserta hukuman penjara dan denda kepada terdakwa.
Jalan cerita yang kurang lebih serupa terjadi pula dalam kisah Pengacara. Bu
Hana menerima pengaduan dari Nenek Ara yang dituduh mencuri sekantong wortel.
Kali ini, Bu Hana membantu kliennya secara cuma-cuma (pro bono). Proses yang
sama dijalani, yakni pencarian bukti-bukti untuk memperkuat pembelaan Nenek Ara
di pengadilan. Dalam persidangan, pemilik kebun wortel sempat menuding Nenek
Ara dengan marah sembari menuduhnya mencuri. Namun, Bu Hana telah siap
dengan saksi yang akan memberikan keterangan sebenarnya. Pak Adin, salah
seorang pedagang sayur di pasar, membeberkan kronologi peristiwa Nenek Ara
datang ke kiosnya untuk membeli sebuah wortel sebab uangnya hanya cukup untuk
itu. Akan tetapi, karena kiosnya sudah hampir tutup, Pak Adin memberikan
sekaligus satu kantong wortel untuk dibawa pulang Nenek Ara. Kesaksian Pak Adin
ini menjadi kunci kemenangan Nenek Ara di pengadilan. Berkat bantuan Bu Hana,
Nenek Ara yang tidak bersalah itu dapat terbebas dari gugatan hukum, sebagaimana
seharusnya.
Kedua cerita tersebut diakhiri dengan janji dalam batin kedua tokoh (jaksa
dan pengacara) selepas mereka memenangkan kasus masing-masing di pengadilan,
bahwa mereka akan terus bekerja untuk menegakkan keadilan dan membela
kebenaran. Menariknya, meski telah digambarkan secara implisit bahwa kedua
profesi ini tentu saja saling berhadap-hadapan di pengadilan, masing-masing cerita
tidak dengan jelas menunjukkan demikian. Tokoh utama selalu diposisikan
bertentangan dengan klien hukum dari pihak lawan: pengacara melawan penggugat;
dan jaksa melawan terdakwa. Tidak dideskripsikan secara eksplisit bahwa kedua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
profesi ini membela dua pihak berbeda, yang tentu saja di mata pengadilan nantinya
akan dinyatakan bersalah atau tidak bersalah, dan tidak mungkin sekaligus
keduanya. Artinya, sebenarnya bisa saja jaksa maupun pengacara harus menjadi
wakil hukum dari pihak yang bersalah, tidak melulu menolong mereka yang justru
jadi korban ketidakadilan.
Absennya problematisasi tersebut bisa saja dipahami sebagai upaya
penyederhanaan yang wajar untuk bentuk bacaan anak. Barangkali, pesan yang jauh
lebih penting diterima adalah janji jaksa dan pengacara di penghujung cerita untuk
menegakkan keadilan dan membela orang-orang yang berlaku benar. Akan tetapi,
hilangnya problematisasi ini sepenuhnya dapat menghadirkan persepsi yang
membingungkan bagi pembaca. Niat luhur untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran memang benar adalah prinsip yang mesti mendasari keseluruhan sistem
hukum negara. Akan tetapi, pada kenyataannya dengan mudah diidentifikasi bahwa
tidak demikian situasinya. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kalimat ini
cukup lazim terdengar sebagai tanggapan atas kejanggalan proses peradilan
maupun keputusan hukum atas suatu kasus pelanggaran peraturan di Indonesia.
Selain cerita profesi jaksa dan pengacara, delapan judul lainnya justru dapat
dikatakan tidak memiliki plot. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan
pernyataan tersebut. Pertama, delapan cerita itu berfokus sepenuhnya pada
deskripsi rutinitas kerja tiap-tiap pelaku profesi. Meskipun kesannya kronologis dari
segi waktu, rangkaian peristiwa dalam aktivitas kerja delapan pelaku profesi
tersebut tidak tersusun di atas prinsip kausalitas. Tiap-tiap peristiwa tidak saling
menyebabkan atau disebabkan. Kedua, tidak ada tujuan spesifik yang tengah
diupayakan untuk dicapai oleh tokoh utama. Kalaupun ada “semacam” tujuan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
bentuknya adalah keinginan abstrak dan universal yang tidak secara langsung
terkait dengan berbagai karakteristik maupun latar belakang tokoh utama.
Alasan ketiga saya gunakan pula untuk membaca dua judul pertama yang
sebelumnya saya sebut memiliki plot, namun tetap problematis. Aspek penting
tersebut adalah konflik. Dalam delapan cerita selain jaksa dan pengacara, hampir-
hampir tidak terjadi climax yang menandai tumbuhnya suatu konflik. Delapan
pelaku profesi tersebut tidak pernah mengalami kendala berarti dalam perjalanan
pekerjaan mereka. Semua tugas dapat terselesaikan dengan baik, keberhasilan
selalu tercapai, tidak ada perselisihan maupun gesekan kontra dengan pihak lain,
dan setiap hari kerja selalu berakhir bahagia. Sementara itu, dalam kisah jaksa dan
pengacara, konflik sebenarnya tidak terjadi pada diri mereka sebagai tokoh utama.
Pihak yang mengalami masalah adalah Nenek Ara (dalam kisah Pengacara) dan
terdakwa kasus penggelapan uang (dalam kisah Jaksa). Pak Haris sebagai jaksa dan
Bu Hana sebagai pengacara tidak menjadi pusat dalam pusaran konflik kasus hukum
tersebut. Keduanya berfungsi sebagai pendamping bagi pihak yang berperkara. Itu
artinya, sebenarnya konflik utama terjadi di luar diri mereka; dan hal ini mungkin
merupakan konsekuensi dari pilihan konten cerita yang berfokus pada rutinitas
kerja tiap profesi.
* * *
Upaya mendalami sepuluh judul seri pengenalan profesi melalui elemen
intrinsiknya sebagai narasi merupakan langkah awal untuk membaca bentuk dan
kecenderungan makna yang mungkin lahir dari narasi semacam ini. Kategorisasinya
sebagai fiksi menemukan kerumitannya karena satu elemen penting ternyata tidak
sepenuhnya berfungsi dalam semua cerita. Plot, yang menjadi instrumen penggerak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
jalannya cerita, tidak hadir dalam delapan kisah (Ilmuwan, Dokter Gigi, Akuntan,
Astronaut, Sutradara, Presiden, Perawat, dan Tentara).
Melalui pendalaman lewat tiga elemen di atas (tokoh, latar, dan plot), saya
mencatat beberapa poin penting yang memberi gambaran bagaimana dunia kerja
orang dewasa dipersepsikan dalam buku-buku ini. Pertama, tokoh dalam cerita
adalah bentuk idealisasi pelaku profesi. Mereka digambarkan memiliki sifat-sifat
tertentu yang diidentikkan dengan sifat pekerjaannya. Deskripsi semacam ini
berpotensi menjadi acuan bagi pembaca untuk memahami bahwa tiap-tiap profesi
menuntut sifat khas yang perlu dimiliki orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Kedua, bekerja digambarkan sebagai aktivitas inividual. Meskipun memiliki rekan
kerja di kantor atau sepanjang proses kerja, para tokoh “seakan-akan” mencapai
keberhasilan dengan kerja keras yang dilakukannya sendiri. Ketiga, latar kantor
berfungsi sebagai penanda adanya pemisahan antara aktivitas kerja dan nonkerja,
sekaligus penanda modernitas yang membedakan suatu profesi dari jenis-jenis
pekerjaan tradisional lainnya. Keempat, profesi dalam ranah kerja kreatif belum
menjadi preferensi pekerjaan dalam lingkungan orang-orang yang diasumsikan
sebagai pembaca. Kelima, aktivitas kerja seakan-akan menyamaratakan visi tiap-tiap
orang dan hampir meniadakan tujuan pribadi tiap individu. Terakhir, sebagian besar
cerita meniadakan problematisasi yang dalam realitanya cenderung tidak hitam-
putih. Demikian pula dengan berbagai tantangan dan proses jatuh-bangun yang
sewajarnya dialami semua orang dalam proses bekerja; semua tokoh selalu berhasil
dengan gemilang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
B. Menjadi Manusia Modern
Pada bagian sebelumnya telah dideskripsikan rutinitas dunia kerja dan situasi yang
melingkunginya sebagaimana diceritakan dalam sepuluh buku cerita anak. Meski
tak luput dari kerumitan kategorisasi dan kompleksitas narasi yang (dibuat) absen,
penggambaran itu cukup bisa ditempatkan sebagai salah satu versi persepsi
masyarakat Indonesia mengenai dunia kerja orang dewasa. Lewat beberapa poin
yang saya rangkum di penghujung bagian sebelumnya, saya ingin menelusuri lebih
jauh apa yang sebenarnya direpresentasikan oleh persepsi semacam itu. Bagian ini
akan mengelaborasi wacana dominan apa yang beroperasi di tengah maupun di
balik cara kita memahami kerja, profesi, dan bahkan bercita-cita.
B.1. Pendidikan Formal dan Profesionalisasi
Kesepuluh buku seri pengenalan profesi yang saya baca secara mendalam
menampilkan tokoh-tokoh yang berperan sebagai pekerja profesional dalam
bidangnya masing-masing. Untuk memperjelas dan tidak memahami “profesional”
dengan terlalu beragam, saya akan merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI); demikian pengertiannya: (1) a bersangkutan dengan profesi; (2) a
memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya; (3) a mengharuskan
adanya pembayaran untuk melakukannya. Ketiga definisi tersebut rasanya cukup
tepat untuk memahami bagaimana dunia profesi yang digambarkan dalam buku
cerita anak tersebut beroperasi. Pekerjaan spesifik yang mereka lakukan itu disebut
profesi; mereka harus menempuh serangkaian pendidikan atau setidaknya
pembekalan keterampilan khusus agar menguasai segala hal dalam bidangnya; dan
mereka menerima sejumlah apresiasi yang umumnya berbentuk materi sebagai nilai
tukar untuk kerja mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Ilmuwan, dokter gigi, jaksa, akuntan, pengacara, astronaut, perawat, dan
tentara adalah profesi yang mewajibkan pelakunya menempuh jenjang pendidikan
tertentu sebelum akhirnya mendapatkan lisensi untuk melakukan kerjanya.
Pendidikan itu semuanya disediakan melalui institusi formal sekolah dan perguruan
tinggi, baik yang berbentuk universitas maupun akademi. Tanpa melalui prosedur
sekolah formal, seseorang tidak dapat memenuhi persyaratan untuk menjadi pelaku
profesi tersebut. Seseorang yang belajar melakukan tindakan pertolongan pertama
pada kecelakaan (P3K) secara autodidak tidak serta-merta boleh bekerja sebagai
perawat. Seseorang yang tidak memiliki lisensi advokat akan melanggar hukum jika
melakukan praktik kerja sebagai pengacara.
Dari sepuluh judul buku seri pengenalan profesi yang saya dalami, setidaknya
hanya ada dua profesi yang dalam praktik riilnya tidak selalu mengharuskan
pelakunya menjalani pendidikan formal spesifik, yakni presiden dan sutradara.
Lazim kita dengar seorang sutradara yang menimba ilmu dan pengalaman melalui
berbagai metode selain belajar di sekolah film formal. Fenomena ini cukup jamak
terjadi dalam lingkup kerja kesenian (atau dalam konteks terkini juga kerap dirujuk
sebagai “kerja kreatif”). Meskipun tidak menempuh jenjang kuliah di jurusan
perfilman, seseorang mungkin saja tertarik pada bidang film, belajar secara
autodidak, dan mulai memproduksi karya filmnya sendiri. Ketiadaan gelar akademis
jarang sekali memengaruhi ketersediaan kesempatan bagi calon sutradara. Sedikit
berbeda dengan jabatan presiden, pelakunya bisa saja merupakan lulusan sekolah
formal bidang/jurusan apa pun. Akan tetapi, ia mesti punya karier politik yang dititi
dengan mekanisme tertentu (menjadi anggota partai atau membangun basis
pendukung nonpartai).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Meski menjadi syarat mutlak untuk menjalani profesi, kesepuluh teks yang
saya teliti tidak secara eksplisit menyertakan deskripsi tentang pendidikan formal
yang harus ditempuh para tokohnya. Hal ini diasumsikan begitu saja sebagai
kewajaran yang, kecuali dalam situasi khusus, niscaya dialami pula oleh pembaca,
mengingat isu pemerolehan pendidikan sendiri telah diatur sebagai hak sekaligus
kewajiban warga negara dalam konstitusi. Alih-alih memberi penjelasan tentang
jenjang pendidikan tersebut, teks-teks ini mencoba meletakkan karakteristik rajin
belajar dan tekun sebagai latar muka. Semua profesi ini mengharuskan seseorang
menamatkan pendidikan, maka ia harus memupuk semangat untuk tekun belajar
dan melampaui segala rintangan semaksimal mungkin.
Nada ini amat kentara hadir pada kisah Asyiknya Menjadi Astronaut. Tokoh
Kak Alfa harus menjalani serangkaian tes dan pelatihan sebelum akhirnya siap
menjadi astronaut. Akan tetapi, kisah ini sekaligus hadir sebagai profesi yang
barangkali paling tidak masuk akal yang dapat dicapai oleh pembaca anak-anak di
Indonesia. Saya terangkan sedikit mengapa demikian. Indonesia belum pernah
benar-benar memiliki astronaut. Calon astronaut pertama Indonesia, bernama
Pratiwi Pujilestari Sudarmono dan Taufik Akbar, batal terbang ke angkasa luar
akibat kecelakaan pesawat ulang-alik Challenger tahun 1986. Menyusul musibah
tersebut, NASA (National Aeronautics and Space Administration—badan antariksa
independen Amerika Serikat) membatalkan serangkaian misi angkasa luar selama
dua tahun, termasuk misi STS-61-H yang akan melibatkan kandidat astronaut
Indonesia itu. Selain itu, pelatihan menjadi astronaut tidak dapat dilakukan di
Indonesia. Pelatihan itu hanya dapat dilakukan di badan antariksa yang bekerja
sama dengan NASA. Jika negara asal calon astronaut tidak memiliki institusi
semacam itu, maka calon peserta pelatihan harus berkewarganegaraan Amerika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Serikat. Dengan serangkaian rintangan ini, tentunya menjadi astronaut di Indonesia
masih sukar sekali dibayangkan perwujudannya. Akan tetapi, persoalan yang
kompleks ini tidak hadir dalam cerita pengenalan profesi astronaut. Dorongan untuk
rajin belajar dan berprestasi dapat untuk sementara menutupi batu sandungan itu.
Pengetahuan dan keterampilan khusus yang menjadi prasyarat wajib bagi
calon pelaku profesi dilembagakan dalam sistem pendidikan formal. Meski
demikian, dalam berbagai praktik kerja profesional, pengetahuan yang sifatnya lebih
organik dan tidak disistematisasi ala perundang-undangan juga memainkan peran,
misalnya dalam pemanfaatan pengobatan tradisional dan medis konvensional dalam
waktu bersamaan. Pelembagaan pengetahuan dalam sekolah formal punya sejumlah
implikasi yang tak terelakkan, salah satunya standarisasi. Praktik pengetahuan yang
tidak sesuai dengan standar tersebut dapat dengan mudah dikategorikan sebagai
malapraktik atau ilegal. Untuk memastikan tiap-tiap pelaku profesi memiliki
integritas dalam pekerjaannya, sebagian besar profesi tersebut bahkan melibatkan
proses sumpah jabatan. Artinya, pelanggaran atas sumpah akan berbuntut pada
konsekuensi yang serius.
B.2. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Dalam kesepuluh buku cerita anak seri pengenalan profesi yang saya amati, isu
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah aspek yang dengan eksplisit
dibicarakan, dan mungkin sekaligus dirayakan. Beberapa judul cerita menyertakan
percakapan tentang bagaimana masyarakat dan negara menempatkan kemajuan
teknologi sebagai arah masa depan yang ingin diupayakan. Berikut beberapa hal
yang saya catat sebagai bukti perhatian tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Sebagian besar profesi yang dikisahkan memang berinteraksi langsung
dengan pemanfaatan teknologi modern yang dihasilkan dari perkembangan ilmu
pengetahuan modern. Mereka yang bekerja di bidang medis, misalnya dokter gigi
dan perawat, jelas-jelas bekerja dengan sejumlah alat dan perlengkapan penunjang
yang lahir dari perkembangan ilmu pengetahuan medis modern. Ibu Silvi sang
ilmuwan juga memanfaatkan teknologi yang dikembangkan beriringan dengan
kebutuhan ilmu biologi. Sutradara seperti Kak Delis juga bersinggungan dengan
serangkaian alat produksi audiovisual yang canggih untuk produksi film. Bahkan
Kak Riga sang tentara pun mengenal dan kadang harus menggunakan teknologi
persenjataan perang. Jaksa, pengacara, dan akuntan juga pekerjaan yang setidaknya
akrab dengan penggunaan komputer dalam kerja hariannya di masa kini.
Saya menemukan dua judul dari seri ini yang secara gamblang menyertakan
ide tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam keseharian kerja
profesi spesifik mereka dan bahkan dalam kehidupan masyarakat luas, yakni dalam
kisah Presiden dan Astronaut. Cerita Kak Alfa menapaki jalan perjuangannya demi
menjadi astronaut adalah salah satu kisah yang bergelimang percakapan tentang
topik ini. Pertama-tama, menjelajahi angkasa luar sendiri adalah aktivitas yang
dimungkinkan setelah kerja panjang pengembangan ilmu pengetahuan yang
dilakukan manusia. Sejak dari persiapan, para astronaut harus berinteraksi dengan
teknologi yang canggih; dalam kisah Kak Alfa misalnya mesin pemutar sentrifugal
dan simulator pesawat angkasa luar. Sepanjang menjalani tugas di angkasa luar, Kak
Alfa pun harus selalu mengenakan alat yang menyediakan oksigen dan pakaian
antiradiasi, serta berkomunikasi lewat radio; makanan mereka selama perjalanan
pun disajikan dalam bentuk yang khusus. Hal ini adalah konsekuensi logis dari
kebutuhan untuk bertahan hidup selama beberapa waktu di luar bumi. Manusia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
tentu harus menyesuaikan dan mendukung dirinya dengan sejumlah teknologi
untuk membantu menghadapi habitat yang sama sekali lain dari habitat aslinya.
Narasi tentang pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
juga dibicarakan dalam kisah Pak Arya sang Presiden. Dalam satu adegan ketika
Perdana Menteri Jepang melakukan kunjungan ke Indonesia, Pak Arya
menyempatkan berbincang tentang pengiriman pelajar Indonesia untuk belajar
teknologi di Jepang. Jepang memang dikenal sebagai negara dengan pengembangan
teknologi modern yang pesat. Percakapan Pak Arya seakan menggambarkan
peluang emas bagi pelajar Indonesia untuk belajar langsung dari negara penghasil
teknologi serbacanggih ini.
Tak hanya itu, pemanfaatan teknologi modern dalam pekerjaan harian
presiden pun tergambarkan lewat aktivitas Pak Arya di dunia maya. Suatu kali ia
diceritakan memantau perkembangan berita terkini melalui internet. Saat
menggulir layar akun Facebook-nya, Pak Arya menemukan kiriman berisi foto surat
yang ditulis oleh seorang anak di suatu daerah di Indonesia. Surat itu menceritakan
keluh kesah sang anak karena tempat tinggalnya hancur akibat letusan gunung
berapi dan membuat warga harus mengungsi. Pak Arya dengan sigap
menginstruksikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk
bertindak lebih cepat memitigasi dampak bencana. Ia sendiri mengunjungi daerah
bencana beberapa waktu setelahnya untuk memantau kondisi warga dan performa
kerja jajarannya. Potongan adegan ini memang terdengar sedikit menggelikan,
mengingat Pak Arya malah mengetahui situasi bencana di wilayah negaranya
melalui akun media sosial, alih-alih dari para staf khusus, sekretaris, dan ajudan
yang pada bagian awal cerita disebutkan bertugas untuk menyampaikan kabar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
terbaru tentang Indonesia dan dunia. Meski demikian, hal ini menunjukkan bahwa
pemanfaatan teknologi modern merupakan sumber informasi penting dalam
pelaksanaan roda pemerintahan di masa sekarang.
Selain menunjukkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan modern dan
teknologi modern telah, sedang, dan akan banyak mengintervensi kehidupan
masyarakat, penyajian topik ini dalam buku seri pengenalan profesi untuk anak juga
memberikan gambaran tentang karakteristik profesi yang ditempatkan sebagai
kemungkinan idaman. Ilmu pengetahuan modern terlembagakan melalui institusi
pendidikan formal. Pemanfaatan teknologi yang lahir dari perkembangan ilmu itu
juga tak terhindarkan dalam keseharian kerja. Karakteristik ini dapat dikatakan
kontras dengan jenis-jenis pekerjaan lain yang mengadopsi ilmu pengetahuan dan
teknologi modern dengan kadar yang lebih kecil. Mengenai hal ini, saya akan
mengelaborasinya lebih jauh dalam bagian B.4.
B.3. Individualisasi
Kesepuluh cerita yang dihadirkan dalam seri pengenalan profesi ini memang
diperankan oleh masing-masing satu tokoh spesifik. Itulah sebabnya, penggambaran
rutinitas kerja dan dinamika di dalamnya dinarasikan dengan cara mengikuti si
tokoh sepanjang perjalanannya dan menempatkannya sebagai pusat dari cerita.
Para tokoh ini pun dihadirkan sebagai bentuk idealisasi karakter pelaku masing-
masing profesi. Maka, tidak aneh memang jika pengalaman membaca seri ini
mengarahkan pembaca untuk berfokus pada tokoh tunggal yang tengah bekerja
tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Meski demikian, pada bagian A saya mencatat bahwa imajinasi tentang dunia
kerja yang dihadirkan dalam seri ini menampilkan lingkungan yang cenderung
individual. Ada unsur pembagian kerja yang kentara. Satu profesi mengerjakan satu
pekerjaan spesifik, sementara pekerjaan yang lain harus dikerjakan oleh pelaku di
bidang lainnya. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dalam kisah Kak Delis sang sutradara.
Meski memiliki fitur tugas memimpin dalam keseluruhan proses produksi filmnya,
pekerjaan spesifik dalam tiap fase digarap oleh personel khusus, misalnya juru
kamera, penata suara, dan editor. Tiap-tiap personel ini menguasai keterampilan
khusus sesuai dengan kerja yang diembankan kepadanya. Hal ini sejalan dengan
aspek profesionalisasi yang telah dibahas sebelumnya.
Dalam kisah profesi yang lain, juga tidak ditemukan tokoh yang menyambi
pekerjaan atau aktivitas lain yang porsinya kurang dari atau mendekati rutinitas
kerja utama. Mereka semua digambarkan memiliki identitas profesional yang
tunggal serta sesuai dengan pendidikan dan persiapan lain yang sangat spesifik
untuk tiap profesi itu. Penggambaran semacam ini mengindikasikan bahwa dunia
kerja profesional yang dihadirkan bagi pembaca anak melalui seri ini beroperasi
lewat pembagian kerja yang tegas dan terkonsentrasi.
Selain itu, nada individualisasi ini dipertebal dengan cerita keberhasilan tiap
tokoh yang seakan-akan dicapai secara perseorangan. Menariknya, dalam beberapa
judul, para pelaku profesi ini digambarkan bekerja bersama tim, baik yang
beranggotakan pelaku profesi yang sama maupun personel ahli bidang lain yang
menunjang kerja mereka. Akan tetapi, tidak semua cerita menghadirkan adegan
kerja sama tim. Sebagian tokoh seperti bekerja sendirian untuk membereskan
semua tugasnya. Keberhasilan yang dicapai di akhir cerita pun dibingkai sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
pencapaian pribadi si tokoh, alih-alih buah baik dari kolaborasi keseluruhan
perangkat kerja.
B.4. Kontras dengan Yang-Tradisional
Bagian sebelumnya telah menunjukkan bahwa profesi “idaman” yang diperkenalkan
lewat buku cerita anak ini mengandung elemen pendidikan formal, ilmu
pengetahuan modern, dan teknologi modern. Elemen yang bersifat modern ini dapat
dengan mudah diidentifikasi ketika dihadap-hadapkan dengan elemen lain dengan
karakteristik berbeda. Dalam cerita Si Doel, hal itu tampak melalui perbedaan antara
pakaian harian yang dikenakan Si Doel dan keluarga selama berkegiatan domestik di
rumah dan kostum Si Doel saat bekerja di kantor serta penyebutan “tukang
insinyur” yang menyandingkan dua gelar berbeda begitu saja. Hal yang serupa saya
temukan pula ketika mencari tahu buku cerita anak lainnya yang berbicara tentang
pekerjaan orang dewasa. Bagian ini akan menjabarkan bahwa ada karakteristik
yang berbeda antara apa yang dikategorikan sebagai “profesi idaman” dan yang
sebaliknya.
Kontras ini saya temukan ketika membaca tiga buku cerita anak yang juga
berkisah tentang tiga jenis pekerjaan, akan tetapi tidak disertakan dalam Seri
Mengenal Profesi maupun Seri Profesi Impianku. Tiga buku yang saya sebutkan ini
dirilis oleh penerbit yang sama dengan waktu terbit yang hanya berselisih satu
bulan dari Seri Profesi Impianku.104 Demikian judulnya: Sehari Menjadi Nelayan,
Sehari Menjadi Petani, dan Sehari Menjadi Peternak. Saya akan mengelaborasi
104 Ketiga buku pembanding ini tidak dilabeli dengan satu nama seri khusus meski diterbitkan bersamaan pada bulan Februari 2018 dan dikemas sebagaimana buku berseri, dengan penulis yang sama, Fadila Hanum, S.P. Seri ini mencakup tiga judul: Sehari Menjadi Nelayan, Sehari Menjadi Petani, dan Sehari Menjadi Peternak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
elemen instrinsik teks yang sama dengan uraian sepuluh cerita lainnya (tokoh, latar,
dan plot) yang nantinya menerangi bagaimana ketiga cerita ini menampilkan dunia
kerja orang dewasa yang sangat berbeda dari dua seri sebelumnya.
Tokoh utama dalam cerita diperankan oleh anak-anak yang sekaligus
berperan sebagai narator. Kesepuluh buku seri pengenalan profesi yang saya
paparkan sebelumnya tidak memilih jalan ini; alih-alih demikian, tokoh orang
dewasalah yang dipakai dengan menempatkan anak-anak sebagai figur yang
seakan-akan mengikuti aktivitas mereka sepanjang hari. Cerita Nelayan, Petani, dan
Peternak secara langsung menghadirkan tokoh anak yang—sama seperti seri
lainnya—mengikuti kegiatan orang dewasa bekerja. Pilihan narator semacam ini
menimbulkan efek kedekatan yang lebih dengan pembaca sasarannya karena punya
ruang tambahan untuk mengekspresikan emosi tokoh anak sebagaimana lazimnya,
misalnya merasa jijik ketika membersihkan kandang kambing, mengantuk karena
begadang saat melaut, atau lelah karena harus ikut menanam bibit padi.
Ketiga cerita mengambil latar di desa semasa liburan sekolah. Latar ini amat
tipikal dalam dunia pendidikan formal Indonesia. Setiap hari pertama sekolah
selepas libur panjang, para guru biasanya akan meminta murid menulis karangan
tentang liburan mereka. Anak-anak dapat melihat contoh karangan semacam itu
dalam buku paket pelajaran Bahasa Indonesia yang nyaris pasti berkisah tentang
liburan di rumah nenek di desa. Cerita Nelayan, Petani, dan Peternak melakukan hal
yang sama. Semua tokoh utama dalam cerita digambarkan tidak tinggal di
perdesaan dan dengan demikian tidak begitu akrab dengan kehidupan desa. Mereka
pergi mengunjungi saudara (nenek, kakek, paman, bibi, dan sepupu) di desa untuk
menghabiskan liburan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Setibanya di desa, para tokoh utama ini diajak menimba pengalaman bekerja
sebagaimana orang desa bekerja selama satu hari penuh, menjadi nelayan, petani,
atau peternak. Mereka dengan gembira menyambut undangan itu. Karena tidak
terbiasa tinggal di desa, segala hal yang mereka temui sepanjang hari itu terdengar
amat baru sekaligus menarik. Kakek, paman, atau sepupu yang lebih tahu tentang
seluk-beluk pekerjaan tersebut dengan sabar menjelaskan banyak hal yang
membuat para tokoh utama ini tercengang. Tak jarang tokoh utama ditertawakan
karena masih canggung dan terlalu terpukau pada hal-hal yang dianggap biasa saja
oleh warga sekitar.
Dalam hal plot, sebenarnya ketiga cerita ini juga sama problematisnya. Tidak
ada tujuan spesifik yang menggerakkan jalannya narasi. Alur cerita dinarasikan
secara kronologis sepanjang satu hari. Di bagian awal cerita, semua tokoh utama
antusias dan sangat penasaran dengan aktivitas yang akan dikerjakannya hari itu. Di
penghujung hari, sekaligus untuk menutup cerita, semua tokoh mengutarakan hal
yang sama: bahwa pekerjaan hari itu melelahkan namun sangat menyenangkan. Jika
diperhatikan lebih saksama, kondisi capek atau lelah selepas bekerja tidak pernah
dibicarakan dalam dua seri sebelumnya. Perasaan ini mungkin muncul karena
dibahasakan lewat tokoh anak yang umumnya diasumsikan memiliki ketahanan
fisik yang tidak sebesar orang dewasa.
Ketiga buku yang sama-sama menceritakan rutinitas bekerja ini menampilkan
gambaran dunia kerja yang sama sekali berbeda. Nelayan, petani, dan peternak tidak
perlu mengenakan seragam atau, setidaknya, pakaian khusus sebagaimana para
pelaku profesi dalam dua seri sebelumnya. Mereka bisa tampil dengan gaya
berpakaian yang kurang lebih serupa dengan keseharian di luar waktu bekerja.
Kadang kala, pekerjaan bahkan bisa dilakukan di sekitar rumah, misalnya dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
cerita Peternak yang memelihara hewan ternaknya di kandang di pekarangan
rumah. Lingkungan kerja mereka pun tampak jauh lebih terbuka untuk kehadiran
anak-anak; rasanya tak asing kita dengar bahwa bermain di sawah, di pinggir pantai,
dan di kandang ternak adalah aktivitas menyenangkan bagi anak-anak. Tentunya hal
ini tidak dapat dengan mudah dilakukan di kantor.
Nelayan, petani, dan peternak memang bukan pekerjaan yang masuk dalam
kategori sektor formal. Pekerjaan semacam ini sering kali diidentikkan sebagai
pekerjaan tradisional yang tidak membutuhkan pendidikan atau penguasaan
keterampilan khusus melalui jalur formal. Meski pekerjaan tradisional juga
dilangsungkan di daerah urban, seri ini memilih bentuk paling stereotipikal dengan
meletakkannya di latar perdesaan. Pelakunya pun digambarkan sebagai anggota
keluarga besar yang sepertinya hidup di desa sepanjang umur hidupnya. Kakek,
nenek, paman, bibi, dan para sepupu dari desa ini menimbulkan kesan bahwa
kehidupan rural dan pekerjaan tradisional yang mereka jalani seakan-akan sesuatu
yang datang dari masa lalu. Sementara para tokoh utama beserta keluarga intinya
tidak lagi tinggal di desa dan menjalani pekerjaan yang sama sekali berbeda,
sehingga apa yang dialami di desa terasa serbabaru dan mengherankan.
Pilihan judul ketiga cerita ini juga menggelitik saya: Sehari Menjadi .... Coba
bandingkan dengan judul pada dua seri lainnya: Asyiknya Menjadi .... Judul kedua
memberi kesan bahwa melakoni pekerjaan keren seperti astronaut, presiden,
perawat, dan tentara bisa terasa sangat mengasyikkan. Belum lagi seri tersebut
dilabeli sebagai Seri Profesi Idamanku. Kentara ditunjukkan bahwa pekerjaan yang
diangkat dalam seri itu adalah sesuatu yang pantas dicita-citakan dan lebih
bergengsi daripada versi tradisionalnya, sebagaimana menjadi insinyur lebih baik
daripada tukang dan arsitek lebih mentereng daripada tukang cat. Sejalan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
itu di sisi yang lain, judul cerita pada seri pekerjaan tradisional mengisyaratkan
bahwa pekerjaan semacam ini ada di dunia dan perlu kita hargai. Untuk itu, cobalah
bekerja bersama mereka sehari saja!
* * *
Melalui pemaparan dalam bagian ini, saya menemukan bahwa empat poin
yang saya catat, yakni pendidikan formal dan profesionalisasi, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, individualisasi, dan presentasi yang kontras dengan
pekerjaan tradisional menampilkan kecenderungan imajinasi yang dibangun dalam
sepuluh cerita pengenalan profesi yang saya teliti. Upaya untuk menampilkan
kehidupan urban modern dengan pekerjaan yang karakteristiknya makin
profesional mengindikasikan adanya preferensi yang ingin coba dibangun dalam
persepsi pembaca anak. Sementara pekerjaan yang dikategorikan tradisional
ditempatkan sebagai sesuatu yang tetap ada tapi tidak perlu jadi “idaman”.
Pembacaan ini menunjukkan bagaimana wacana modernitas105 beroperasi
dalam teks-teks ini. Pembaca anak mendapati bahwa ada pekerjaan yang lebih
disukai dan mendapatkan penghargaan lebih dalam masyarakat, yakni pekerjaan
yang membutuhkan pendidikan atau keterampilan khusus yang didapatkan lewat
sekolah (dan bahkan perguruan tinggi), dilakukan di kantor atau laboratorium, dan
dibayar secara reguler dalam periode tertentu (biasanya bulanan) dengan jumlah
yang memadai. Di sisi yang lain, mereka mesti tetap diperkenalkan dengan jenis-
jenis pekerjaan tradisional yang sebenarnya fundamental. Petani, nelayan, dan
peternak menyediakan bahan pangan untuk kebutuhan sehari-hari semua orang.
105 Wacana yang sama ditemukan pula, bahkan dengan lebih gamblang, dalam adaptasi audiovisual cerita Si Doel sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Walau demikian, rupanya membayangkan hidup dan bekerja sebagai petani,
nelayan, atau peternak dianggap tidak perlu didorong atau dipaparkan lebih jauh
pada pembaca anak. Mereka perlu mengetahuinya agar tetap menghargai jerih
payah orang-orang yang bertahan di sektor tradisional.
Pekerjaan tradisional dianggap sebagai masa lalu, terlepas dari fungsinya yang
senantiasa relevan hingga sekarang. Anak-anak didorong untuk merencanakan masa
dewasa yang dijalani di tengah masyarakat modern, dengan bekerja profesional di
sektor formal, dan dengan demikian diterima sebagai warga yang modern pula.
C. Negara dan Nasionalisme
Selain membayangkan masa depan sebagai individu modern, ada narasi lain yang
juga kerap muncul dalam sebagian besar buku cerita anak seri pengenalan profesi
ini. Narasi tersebut memang tidak sedominan deskripsi tentang modernitas dalam
dunia kerja sebagaimana telah dipaparkan dalam bagian sebelumnya, akan tetapi
kehadiran narasi ini menunjukkan bahwa ia memainkan peran yang cukup
signifikan. Bagian ini akan mendeskripsikan bagaimana topik tentang negara dan
nasionalisme dibicarakan dalam buku-buku ini. Hal ini akan membantu kita untuk
nantinya melihat bagaimana negara dan ide tentang nasionalisme berkelindan
dengan gagasan modernitas yang dikenal masyarakat Indonesia.
Negara adalah bagian integral dari seluruh jenis profesi yang dipaparkan
dalam buku cerita anak ini. Negara dapat memainkan peran sebagai institusi yang
menaungi atau memberi izin penyelenggaraan kerja. Peran ini dapat ditemukan
misalnya dalam kisah Ilmuwan yang bekerja di Badan Konservasi Sumber Daya
Alam, Tentara yang jelas tergabung dalam Tentara Nasional Indonesia, dan Jaksa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
yang berkantor di Kejaksaan. Ketiga lembaga yang menaungi kerja profesi tersebut
adalah institusi negara. Sementara itu, di lain pihak, para pelaku profesi ini bisa saja
bekerja dengan pihak swasta, akan tetapi penyedia kerjanya harus mendapatkan
izin operasi terlebih dahulu dari pemerintah, misalnya kantor akuntan publik dalam
cerita Akuntan.
Potret penyelenggaraan negara sendiri dihadirkan sebagai sesuatu yang
kompleks. Kisah Pak Arya sang Presiden menceritakan beberapa tugas utama
pemimpin negara. Negara digambarkan bertanggung jawab atas kehidupan seluruh
penduduk yang dinaunginya dengan tujuan utama mengupayakan rakyat sejahtera.
Selain itu, negara juga perlu menjalin hubungan dengan negara lainnya untuk
sejumlah kepentingan, misalnya kerja sama perdagangan dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Ada banyak sekali elemen yang menentukan jalannya roda
pemerintahan. Oleh sebab itu, seorang presiden tidak dapat bekerja sendiri.
Pemimpin harus dibantu dengan serangkaian fungsi kerja yang diperankan oleh
individu lainnya.
Kehidupan negara yang kompleks ini juga disokong oleh salah satunya unsur
keamanan. Cerita Kak Riga sang Tentara menunjukkan bagaimana negara menaruh
perhatian khusus pada isu keamanan dan stabilitas. Tugas utama Kak Riga adalah
“menjaga negara dan melindungi rakyat Indonesia dari bahaya, baik yang datang
dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri.”106 Keberadaan tentara dalam
lembaga negara mengindikasikan bahwa ada imajinasi tentang musuh atau ancaman
yang senantiasa membayangi negara. Elemen tentara menjadi pihak yang
berwenang untuk mengendalikan sumber ancaman atau bahaya tersebut (meski
dalam banyak kesempatan lain justru jadi sumber ancaman itu sendiri). Dalam
106 Patappa, Rae Sita. 2018. Asyiknya Menjadi Tentara. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga Serangkai, hal. 4.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
profesi tentara, negara diposisikan sebagai alasan dilakukannya pekerjaan. Tentara
menjadi representasi semangat patriotisme sebab mereka harus “melindungi rakyat
Indonesia dengan segenap jiwa dan raganya.”107
Tak hanya soal lembaga administratif yang memiliki kewenangan atas teritori
Indonesia, buku-buku seri pengenalan profesi ini juga menghadirkan percakapan
tentang ide nasionalisme. Menariknya, percakapan tetang nasionalisme dalam
cerita-cerita ini memungkinkan pemaknaan yang berbeda terkait tujuan seseorang
melakukan pekerjaannya. Jika Tentara dan Presiden berkutat dengan
penyelenggaraan institusinya, profesi lainnya punya tujuan yang sifatnya lebih
horizontal atau dalam konteks ini berkaitan langsung dengan masyarakat yang
hidup bersama dalam satu negara. Kisah Jaksa dan Pengacara, misalnya, memuat ide
tentang keadilan yang mestinya berlaku dalam keseharian kita. Lewat pekerjaannya,
mereka berupaya membuat pihak yang bersalah dan merugikan sesamanya
bertanggung jawab atas kecurangan itu. Keduanya mendambakan tegaknya keadilan
dan kebenaran, serta ingin mengupayakannya lewat tugas profesionalnya. Di sisi
yang lain, kisah Ilmuwan menghadirkan bayangan tentang alam Indonesia yang
lestari. Kerja penelitian dan konservasi para ilmuwan ditujukan untuk kesejahteraan
manusia dan generasi yang akan datang.
Semangat nasionalisme ini juga diwujudkan sebagai sebuah bentuk
pencapaian yang dianggap membanggakan bagi Indonesia sebagai negara sekaligus
bangsa. Ide semacam ini dapat dilihat dalam kisah Sutradara dan Astronaut.
Kemenangan film anak-anak yang diproduksi Kak Delis sebagai sutradara adalah
pencapaian yang menjadikan pembuat film Indonesia menerima pengakuan dan
apresiasi dari sekitarnya. Sementara itu, kisah Astronaut menunjukkannya dengan
107 Ibid., hal. 23.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
simbolisasi yang kentara. Di penghujung misinya mengambil sampel batuan bulan
untuk penelitian geologi, Kak Alfa memasang bendera Indonesia di bulan.
Penancapan bendera merupakan gestur yang cukup lazim kita temui, misalnya di
puncak gunung atau di lokasi tertentu yang sukar dicapai. Dalam banyak situasi,
tindakan ini dimaknai sebagai bentuk penaklukan atas suatu teritori, atau setidak-
tidaknya mencatatkan jejak kedatangan. Bendera mewakili kekuasaan tertentu yang
menandai bahwa kekuasaan itu ada atau pernah ada di tempat pemasangannya.
Dalam kisah Astronaut, bendera Indonesia yang ditancapkan Kak Alfa di bulan
menjadi penanda pencapaian yang dapat dibanggakan oleh Indonesia sebab berhasil
mengirim angkasawannya menjelajah angkasa luar.
Kehadiran percakapan tentang negara dan nasionalisme dalam buku cerita
pengenalan profesi ini tentunya merupakan versi yang dikonstruksi dengan cara
tertentu untuk kepentingan penyampaian pesan ceritanya. Konstruksi inilah yang
akan saya lihat lebih jauh dalam bab berikutnya dalam keterkaitannya dengan ide
menjadi manusia modern lewat pekerjaan. Meski topik ini terbilang minor dalam
cerita yang saya teliti, penggambaran kehadiran negara dan ide tentang
nasionalisme menemukan tempatnya dalam pembahasan lebih jauh tentang gagasan
modernitas yang dihadirkan buku-buku ini sebagai salah satu faktor yang turut
menentukannya. Nasionalisme dapat ditafsirkan dengan banyak jalan berbeda dan
berdampak pada cara negara menyusun imajinasi dan aplikasi pendidikan bagi
anak-anak yang dinaunginya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
BAB IV
INDIVIDU MODERN SEBAGAI HASIL PROYEK PEMBERADABAN MASA KINI
Dalam bab sebelumnya, saya telah memaparkan hasil pembacaan mendalam
terhadap sepuluh teks cerita anak seri pengenalan profesi dengan kerangka utama
menelusuri pengetahuan dominan yang dibawanya. Pencarian itu menunjukkan
bahwa gagasan yang paling menonjol dari teks-teks tersebut adalah kehidupan
masyarakat modern Indonesia. Secara spesifik hal tersebut dihadirkan melalui kisah
rutinitas kerja sejumlah tokoh cerita yang mewakili bagaimana keseharian orang
dewasa dicitrakan. Sebagian besar aspek kesamaan yang muncul dalam sepuluh
kisah tersebut memberi petunjuk tentang bayangan kehidupan modern masyarakat
Indonesia dalam versi ideal.
Meski demikian, modernitas bukanlah satu-satunya narasi yang dihadirkan.
Gagasan lain yang juga muncul adalah percakapan seputar negara dan semangat
kebangsaan (nasionalisme). Walaupun bukan narasi yang dominan, isu ini
mengambil peran yang saya anggap penting dalam sebagian besar cerita. Sebabnya,
negara, terkadang melalui nasionalisme, tampak diposisikan sebagai salah satu
variabel yang turut andil menentukan jalannya cerita. Ia dapat hadir sebagai
representasi kekuasaan administratif maupun alasan abstrak nan luhur yang
mendorong sejumlah orang melakukan sesuatu dalam hidupnya.
Kedua narasi ini saya catat sebagai wacana dominan yang hadir melalui lapis-
lapis narasi cerita anak seri pengenalan profesi tersebut. Kedua wacana ini pula
yang akan saya dalami lebih jauh lewat pemaparan di bab IV ini. Secara garis besar,
terdapat dua pertanyaan umum yang ingin saya jawab lewat bagian ini. Pertama,
berbekal pembacaan intrinsik yang dijabarkan dalam bab III, bagaimana sebenarnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
konsep modernitas dibentuk dalam teks tersebut? Secara (harapannya) sederhana
(namun mungkin pula akan kompleks), saya akan menunjukkan elemen modernitas
apa yang kentara disajikan dalam teks serta cara menyajikannya. Aspek ini mewakili
apa yang dibahasakan Giroux sebagai “cara produksi otoritas, pengalaman, dan
kekuasaan dalam kondisi belajar tertentu”. Kedua, saya ingin menelusuri situasi
masyarakat macam apa yang melahirkan wajah modernitas seperti itu. Kurang
lebihnya, penelusuran ini semoga dapat menerangi otoritas mana yang membangun
legitimasi atas imajinasi masyarakat modern semacam itu.
A. Profesi: Representasi Intelektual Masa Kini
Judul sub-bab ini memang dengan sengaja saya pinjam dari istilah yang dilahirkan
oleh Edward Said dalam sekumpulan ceramahnya yang diterbitkan di bawah tajuk
Representations of the Intellectual108. Secara umum, ceramah Said tersebut
membahas bagaimana profesionalisme lahir sebagai bentuk representasi yang kerap
kali diambil dan digunakan oleh orang-orang yang dikategorikannya sebagai
intelektual. Di bagian awal, Said membagikan sejumlah definisi yang digunakan
beberapa pemikir untuk mendeskripsikan kriteria kategorisasi intelektual. Saya
akan bagikan secara ringkas agar impresi yang dijabarkan Said tertangkap.
Sebagai dasarnya, Said merujuk dua pemikir untuk membicarakan
kategorisasi intelektual, yakni Antonio Gramsci dan Julien Benda. Dalam definisi
Gramsci, kini semua orang yang bekerja di bidang apa pun serta pekerjaannya
melibatkan produksi dan distribusi pengetahuan adalah intelektual.109 Gramsci
108 Said, Edward. (1996). Representations of the Intellectual. New York: Vintage Books. 109 Ibid., hal. 9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
membedakan intelektual menjadi dua jenis: (a) intelektual tradisional, yakni mereka
yang berada di domain yang sama dan melakukan pekerjaan yang cenderung tak
berubah sepanjang generasi (misalnya guru dan pemuka agama), dan (b) intelektual
organik, yakni mereka yang terafiliasi dengan dan dimanfaatkan oleh kelas atau
pihak tertentu demi mengelola kepentingan serta meraih kekuasaan dan kendali
yang lebih besar. Jenis yang kedua ini, dalam masyarakat, umumnya lebih aktif dan
bergejolak; mereka mengubah pola pikir secara terus-menerus.110
Konsep tentang intelektual yang diusung Gramsci terkesan lebih dekat dan
manusiawi ketimbang gagasan Benda. Oleh Julien Benda, intelektual didefinisikan
sebagai persona yang agak bersifat ilahiah, jumlahnya sedikit dan langka. Intelektual
adalah mereka yang menyampaikan kebenaran dan lewat kebenaran itu
membangun conscience (suara hati) manusia lainnya. Orang-orang ini melakukan
tugasnya bukan semata-mata untuk keperluan praktis, melainkan menemukan
kebahagiaannya sendiri dalam praktik kesenian dan pengetahuannya.111
Sederhananya, intelektual dalam definisi Benda selayaknya nabi. Ia bahkan tak
segan menyebutkan bahwa kebenaran yang disampaikan para intelektual ini
bersifat nonduniawi (atau dengan frasa yang lebih alkitabiah, “tidak berasal dari
dunia ini”). Kebenaran yang disampaikan itu dianggap mengusung nilai-nilai yang
berlandaskan pada prinsip keadilan dan kebenaran yang tidak berpihak pada
kepentingan siapa pun, mengutuk praktik korup, melawan kekuasaan opresif, dan
membela yang lemah.112 Deskripsi ini melahirkan gagasan tentang intelektual yang
berbeda jauh dari penggambaran oleh Gramsci sebelumnya.
110 Ibid., hal. 4. 111 Ibid., hal. 4-5. 112 Ibid., hal. 6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Meneruskan pekerjaan kedua pemikir abad ke-19 tersebut, pemikir abad ke-
20 menunjukkan bahwa ada kecenderungan tertentu yang meliputi dunia
intelektual. Gramsci dan Benda secara umum mengesankan bahwa intelektual
terlibat langsung dalam praktik keseharian masyarakat dan segala sesuatu yang
mereka kerjakan juga menyertakan kepentingan umum semua orang (atau
setidaknya masyarakat di mana mereka tinggal dan berkarya). Dua pemikir abad ke-
20 yang selanjutnya dikutip Said, yakni Alvin Gouldner dan Michel Foucault,
mengutarakan tren bergesernya intelektual yang ‘universal’ ke arah intelektual yang
‘spesifik’. Istilah ini memang sangat umum dan berarti luas, namun dalam konteks
yang dijabarkan Said, kita bisa melihat apa yang persisnya dimaksud oleh keduanya.
Mengutip Said, dengan menyebut ‘intelektual spesifik’ Foucault merujuk pada
orang-orang yang hanya bergulat dalam satu disiplin saja, namun tetap mampu
mendayagunakan keahliannya. Saat ini, barangkali apa yang dikatakan Foucault
tersebut tak lagi terdengar aneh di telinga kita. Seseorang yang mendalami suatu
disiplin ilmu diasumsikan semakin ahli dan biasanya semakin besar otoritasnya
dalam bidang tersebut. Situasi serupa juga digambarkan Gouldner dengan
menyatakan bahwa intelektual adalah kelas baru dalam masyarakat abad ke-20.
Jumlah dan (mungkin) signifikansinya bahkan mengungguli kelas pemilik modal.
Seiring dengan naiknya peran mereka di masyarakat, ternyata intelektual malah
tidak lagi banyak mendedikasikan kerja mereka untuk publik luas, melainkan
menyempitkan lingkarannya, salah satunya lewat bahasa. Para intelektual ‘spesifik’
ini berkomunikasi dengan sesamanya dengan bahasa yang amat khusus dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
terkadang hanya dimengerti oleh kelompok mereka sendiri. Dengan demikian, akses
kelompok lain terhadap kelas intelektual jadi terbatas.113
Kecenderungan umum dalam kelas intelektual abad ke-20 ini saya angkat
karena kedekatan topiknya dengan pembahasan dalam bab 3. Objek penelitian saya,
sepuluh buku cerita anak seri pengenalan profesi, ternyata beresonansi dengan tren
ini: profesionalisme. Percakapan tentang cita-cita, sebagaimana saya deskripsikan
dalam pengantar bab 3, memang menjadi bagian tak terpisahkan dalam masa
tumbuh kembang semasa kanak-kanak, entah itu sebagai gurauan saja maupun
motivasi/ambisi sungguh-sungguh yang dikejar di kemudian hari. Menariknya,
pertanyaan tentang cita-cita kerap kali dijawab dengan nama pekerjaan, khususnya
lagi yang bersifat profesional. Tak lazim jadinya kalau seorang anak menyatakan
cita-citanya dalam bentuk kehendak yang abstrak, meskipun dengan melongok
definisinya, kata ‘cita-cita’ sebenarnya bisa mengakomodasi hal itu.
Buku-buku cerita anak yang memuat konten pengenalan profesi juga bukan
hal asing dalam dunia bacaan anak. Di banyak negara, bentuk buku seperti ini jamak
terlihat dengan pilihan narasi dan intensi penulisan yang tentunya bisa beragam.
Artinya, profesi yang dihadirkan sebagai gagasan tentang pekerjaan yang dilakukan
manusia demi memperoleh penghidupan lewat mekanisme kerja dan pembayaran
upah tertentu adalah citra umum yang jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan
masyarakat modern. Tren ini berlaku massal dan global.
Dengan menjadi salah satu aspek dalam kehidupan masyarakat yang berlaku
hampir universal ini, profesi (dan profesionalisme) sudah barang tentu kerap
diamini begitu saja sebagai sesuatu yang niscaya. Akan tetapi, Said menentang
kecenderungan umum ini dalam konteks representasi intelektual. Untuk melawan—
113 Ibid., hal. 9.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
atau barangkali mengusulkan alternatif bagi—gerakan besar ini, Said membawa ide
‘amatirisme’ ke muka. Ia menghadap-hadapkannya secara langsung dengan
profesionalisme. Alih-alih melakukan pekerjaan sebagai moda utama dalam
mengumpulkan nafkah, amatirisme mendorong seseorang (dalam konteks tulisan
Said secara khusus dialamatkan pada para intelektual) untuk melakukan sesuatu
dengan dasar “cinta dan kasih sayang, alih-alih profit dan spesialisasi pekerjaan
yang sempit dan egoistis”114.
Bagi Said, amatirisme dapat mentransformasi rutinitas profesional jadi lebih
hidup dan radikal. Seseorang (dalam konteks tulisan Said, intelektual) diharapkan
memiliki kesadaran kritis tentang mengapa pekerjaan ini perlu dilakukan, siapa
yang diuntungkan, dan bagaimana pekerjaan tersebut dapat terhubung kembali
dengan intensi diri dan pemikiran pribadinya.115 Alasan kuat lainnya yang membuat
Said mengusung tren alternatif ini adalah peluang yang dibawa amatirisme yang
memungkinkan seseorang berpikir dan berbicara dalam cakupan yang lebih luas
karena tidak terbatas pada satu karier profesional sempit saja.116
Tawaran amatirisme ini menggelitik saya. Di tengah gempuran dorongan
untuk jadi semakin ahli dalam satu bidang yang didalami, Said malah berupaya
membalik arus itu dan bermain-main dengan kata ‘amatir’. Selain melakukan
sesuatu atas dasar kesenangan, kata ‘amatir’ juga dapat berarti “orang yang
melakukan sesuatu dengan hasil yang kurang baik”117. Dalam konteks penelitian
saya, amatirisme mungkin tidak secara langsung relevan. Oleh karena itu, bukanlah
amatirisme yang akan saya jelajahi lebih lanjut pada bagian ini. Persisnya, kehadiran
amatirisme sebagai tren yang secara antonimi mengiringi gelombang besar
114 Ibid., hal. 82, diterjemahkan bebas oleh saya sendiri. 115 Ibid., hal. 83. 116 Ibid., hal. 88. 117 Lih. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/amatir, definisi 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
profesionalisme menunjukkan bahwa ada masalah dalam profesionalisme sehingga
harus “dilawan” dengan gerakan lainnya.
Tulisan Said pulalah yang membantu saya memetakan jenis-jenis persoalan
dalam tubuh profesionalisme itu. Dengan bekal poin-poin sorotan itu, saya mencoba
meletakkan sejumlah wacana temuan dalam bab 3 di dalam percakapan yang sama.
Berikut saya coba elaborasi satu per satu.
A.1. Spesialisasi dan Keahlian
Pernyataan Gouldner dan Foucault yang disitir Said dalam bab pertama kumpulan
ceramahnya telah mengawali keresahan tersebut. Kedua pemikir ini melihat bahwa
dorongan untuk membicarakan isu yang lebih luas dan melibatkan kemaslahatan
publik tampaknya tidak lagi jadi prioritas dalam dunia intelektual yang beranjak
mengerucutkan fokusnya pada ketertarikan atau keterampilan khusus masing-
masing. Said lebih lanjut mempersoalkan kecenderungan ini dengan memaparkan
sejumlah risiko yang dibawanya.
Dalam dunia pendidikan formal kita, semakin tinggi seseorang bersekolah,
biasanya semakin sempit dan dalam domain pengetahuannya. Di dunia kerja pun,
kompensasi yang diberikan kepada mereka yang memperoleh sertifikat atas
spesialisasi pekerjaan juga cenderung lebih tinggi. Para pelaku profesi harus
tersertifikasi oleh otoritas tertentu, bicara dengan bahasa tertentu yang sesuai
dengan bidangnya, dan memiliki teritori kerja yang jelas.118 Secara sekilas, tak ada
yang salah dengan itu. Namun, konsekuensi yang dipaparkan Said punya bunyi yang
perlu kita dengarkan pula.
118 Ibid., hal. 77.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
Spesialisasi, selain memperdalam dan membuat domain penguasaan
pengetahuan makin fokus, juga menimbulkan risiko hilangnya kesadaran seseorang
bahwa pengetahuan tersebut juga dikonstruksi oleh dan melalui disiplin lainnya.
Akibatnya, pengetahuan hanya diperlakukan sebagai teori atau metodologi semata.
Orang akan jadi “jinak” dan kehilangan daya dorong untuk menemukan kesenangan
dan terus melakukan pencarian dalam kerja-kerja yang dilakukannya. Alih-alih
demikian, ia akan jadi malas karena hanya berakhir melakukan apa yang disuruh
oleh orang dengan otoritas lebih tinggi dalam bidang itu.119 Saya tahu bahwa
kekhawatiran Said ini barangkali terdengar berlebihan, atau setidaknya pada
praktik belajar di institusi pendidikan formal, tidak semua ‘spesialis’ jadi pribadi
yang hilang kendali atas gairahnya sendiri dalam melakukan pekerjaan.
Dalam dunia kerja, spesialisasi ini muncul salah satunya dalam bentuk
pembagian kerja. Dengan sistem yang cenderung mapan, satu orang biasanya hanya
diperbolehkan melakukan satu jenis pekerjaan; dan dalam sistem ini, seluruh fungsi
mestinya saling mendukung. Hal ini tampak jelas dalam penggambaran profesi yang
dimuat dalam buku cerita anak objek penelitian saya. Tiap-tiap tokoh utama cerita
adalah pelaku profesi yang setiap harinya mengerjakan hal yang relatif sama dalam
konteks pekerjaannya. Di kantor, atau tempat kerja lainnya, mereka selalu punya
tim yang bekerja bersama dalam sistem dan alur tertentu. Tetapi, fungsi yang satu
dengan yang lain tidak boleh tumpang-tindih karena diasumsikan sudah ada
pembagian kerja yang jelas.
Berbekal pembacaan mendalam yang saya paparkan dalam bab 3,
kekhawatiran Said tentang tekanan yang ditimbulkan oleh spesialisasi dalam dunia
profesional mewujud dalam idealisasi pelaku profesi dan tendensi untuk jadi
119 Ibid., hal. 77.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
individualistis. Oleh karena pembagian kerja yang amat spesifik, dengan serentetan
kualifikasi khusus yang diperlukan untuk pekerjaan itu (yang umumnya mencakup
riwayat pendidikan formal tertentu), asumsi bahwa ada karakteristik tertentu yang
identik dengan dan semestinya dimiliki oleh pelaku profesi tersebut makin kentara
(misalnya, perawat mesti lembut dan keibuan; tentara harus tegas dan berfisik
sehat). Dalam praktiknya pun, sejumlah profesi tersebut punya prosedur tetap yang
umumnya tidak memungkinkan seseorang mangkir dari tugasnya dan
mengharapkan praktik kerja standar. Inilah yang dimaksud Said sebagai hilangnya
kreativitas dalam bekerja dan hanya mendengarkan perintah atasan.
Dalam bentuk yang lain, spesialisasi pekerjaan dalam sepuluh buku cerita
anak tersebut dihadirkan sebagai percakapan sentral. Pilihan intensi penulisan
semacam ini menimbulkan konsekuensi lahirnya karakter yang cenderung tampak
individualistis dalam pekerjaannya. Cerita selalu berpusat pada diri tokoh utama
dan pekerjaan yang dilakoninya, namun hanya ada sedikit sekali ruang yang
diberikan untuk tokoh lain sesama rekan kerja. Akibatnya, segala pekerjaan tampak
diselesaikan oleh tokoh utama seorang. Semua keberhasilan diklaim olehnya.
Dukungan lain yang secara logis mestinya diberikan oleh rekan kerja yang lain
diluputkan dari penceritaan.
Secara umum, dorongan untuk makin spesifik dan tersertifikasi dalam dunia
kerja mengarahkan preferensi masyarakat ke sektor formal. Alasannya, sektor inilah
yang menuntut sekaligus mengakomodasi sistem yang demikian. Kewajiban warga
negara untuk menempuh pendidikan formal, persyaratan kualifikasi khusus untuk
melamar pekerjaan atau menempati posisi tertentu, pemisahan kerja yang cukup
tegas adalah beberapa elemen yang makin mewajarkan imajinasi tentang pekerjaan
profesional. Kita menerimanya begitu saja sebagai ‘seolah-olah’ keniscayaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Sayangnya, sistem ini makin meminggirkan struktur yang relatif lebih
tradisional, yang tidak seketat itu dalam kualifikasi kerja dan tidak mewajibkan
sertifikasi formal oleh otoritas tertentu. Pembahasan dalam bab 3 telah sedikit
menunjukkan bagaimana pekerjaan di sektor tradisional direpresentasikan dengan
cara yang sama sekali berbeda dari pekerjaan di sektor formal. Secara vulgar,
pekerja sektor tradisional (diwakili oleh profesi petani, peternak, dan nelayan)
digambarkan sebagai masyarakat dengan struktur sederhana yang tinggal di
wilayah rural. Tidak seorang pun diceritakan menempuh pendidikan formal apa pun
untuk melakoni pekerjaan tersebut. Mereka bahkan diposisikan sebagai karakter
yang bukan bagian dari tokoh utama anak sekaligus narator cerita. Orang-orang di
sektor tradisional ini dipotret dengan mata yang terkagum-kagum justru karena
amat terasing dari asumsi kehidupan wajar yang dimiliki tokoh utama anak tersebut
di kota, bukan karena keahlian dan kecekatan mereka dalam bekerja.
A.2. Bahasa, Keberpihakan, dan Hilangnya Intensi Pribadi
Semua orang (dalam konteks tulisan Said, intelektual) lahir dari, ke, dan dalam
bahasa. Bahasa menjadi medium aktivitas intelektualnya.120 Intelektual umumnya
menggunakan bahasa nasionalnya untuk mengemukakan pikirannya demi
kenyamanan, keakraban, serta ekspresi suara dan perspektif yang sangat khas
dirinya. Masalahnya, bahasa nasional yang ada berfungsi untuk, salah satunya,
melanggengkan status quo dan menjaga agar tidak ada yang berubah atau
dipertanyakan.121 Mengantisipasi tendensi itu, Said menganjurkan agar perlu ada
120 Ibid., hal. 27. 121 Ibid., hal. 27. Said juga menambahkan bahwa bahasa nasional punya rasa makna khusus untuk kata/konsep ‘kita’/’kami’ (dalam tulisan versi bahasa Inggris, ‘we’ dan ‘us’) yang sangat spesifik dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
kesadaran bahwa bahasa nasional tidak bisa serta-merta dipakai mentah-mentah,
melainkan harus diapropriasi.122
Mengapa bahasa nasional ini jadi bahasan penting dalam representasi
intelektual yang dibicarakan Said? Ia merujuk pada argumen Matthew Arnold
tentang identitas nasional atau diri dan sepakat bahwa salah satu tugas intelektual
adalah membuat warga bangsa makin merasakan identitas bersama. Said
menengarai bahwa argumen Arnold tersebut berlandaskan sebuah kekhawatiran
bahwa semakin demokratis suatu masyarakat, makin susah mereka diatur. Maka,
intelektual perlu membantu masyarakat untuk meredam gesekan dan menunjukkan
cara hidup berbangsa yang semestinya. Hal ini sejalan dengan gagasan Said bahwa
tugas lain yang mesti diemban intelektual adalah ‘menguniversalisasi krisis’. Secara
sederhana, ia mencoba mengangkat lagi konsep tentang intelektual ‘universal’ yang
pernah dibicarakan Foucault. Apa yang direpresentasikan intelektual semestinya
bertaut langsung dengan kepentingan umum yang lebih luas, agar jadi perhatian
bersama yang lebih besar.123
Persoalan ini merupakan salah satu topik yang berulang-ulang disentil Said
dalam sekujur tulisannya: keberpihakan. Ia percaya bahwa intelektual mestinya
mewakili, berbicara, dan menyampaikan suara masyarakat, utamanya yang
termarginalkan. Demi melakukan ini, intelektual perlu kritis terhadap norma mapan
yang ada yang kerap kali sangat kental berpihak pada kelas dominan dan bersifat
kaitannya dengan memelihara konsepsi bersama tentang itu. Kosakata ini siap pakai dan amat populer. Sementara, bagi Said, intelektual semestinya menunjukkan bahwa identitas kolektif/nasional bukanlah sesuatu yang terberi, melainkan dikonstruksi sedemikian rupa dan memiliki sejarah perjuangan tersendiri di baliknya (lih. ibid., hal. 32). 122 Ibid., hal. 33. 123 Ibid., hal. 44.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
selalu ingin menang, berkuasa, serta menuntut kesetiaan dan kepatuhan (pada
negara/bangsa, pen.).124
Saya akan coba letakkan tekanan kedua ini dalam konteks narasi buku cerita
anak yang saya teliti. Di bab sebelumnya, saya memaparkan bahwa dalam sepuluh
buku cerita tersebut terkandung wacana yang relatif kalah dominan jika
dibandingkan dengan wacana modernitas, yakni negara dan nasionalisme. Negara
hadir lewat serangkaian regulasi yang perlu dipatuhi oleh semua pelaku profesi
yang diceritakan, baik mereka yang bekerja di institusi formal milik negara
(ilmuwan, jaksa, pengacara, tentara, presiden, astronaut) maupun di ragam institusi
lainnya (dokter gigi, perawat, sutradara, akuntan). Izin operasional dan setumpuk
prosedur juga jadi bagian tak terpisahkan dalam praktik kerja sektor formal
tersebut. Secara faktual, sebagian dari regulasi itu memang ditujukan untuk
melindungi hak individu maupun kolektif pekerja. Di sisi lain, hal ini juga
menyuratkan tuntutan untuk patuh dan tidak melangkahi sistem yang berlaku.
Dalam narasi beberapa profesi tertentu, kelangsungan negara bahkan bisa
hadir sebagai visi besar yang ingin dicapai dalam melakukan pekerjaan, misalnya
sebagaimana kita lihat dalam kisah Presiden dan Tentara. Dalam dua profesi ini,
tokoh utama dalam cerita meletakkan kepentingan negara mendahului kepentingan
pribadi mereka. Situasi serupa juga tergambarkan dalam tiga kisah profesi lainnya,
yakni Pengacara, Jaksa, dan Ilmuwan. Ketiganya secara rutin juga bersinggungan
dengan institusi negara (pengadilan dan badan konservasi lingkungan). Meski
demikian, artikulasi visi mereka dalam pekerjaan tidak semata-mata berorientasi
pada kelangsungan negara. Justru dalam aspek tertentu, tiga tokoh pelaku profesi ini
124 Ibid., hal. 36, 43.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
berhasil menautkan intensi pribadinya dengan visi yang lebih luas dan melibatkan
kemaslahatan publik sebagaimana yang diharapkan Said.
Di penghujung kisah Pengacara dan Jaksa, keduanya mengutarakan niat
pribadi untuk terus bekerja keras menegakkan keadilan di tengah masyarakat.
Sebagai orang yang terlibat langsung dalam praktik peradilan negara, keduanya
digambarkan mampu memosisikan diri sebagai individu yang memiliki kesadaran
akan keadilan, dan bukan semata-mata menjalankan tugas proseduralnya. Bu Silvi
sang tokoh ilmuwan pun demikian. Pekerjaannya dipersepsinya sebagai cara untuk
memberi sumbangsih pada kehidupan masyarakat yang lebih baik. Ia terus
melakukan penelitian dan mendorong sikap dan kebijakan yang menaruh perhatian
lebih pada kelestarian alam dan signifikansinya pada kelangsungan hidup
masyarakat Indonesia.
Meski demikian, narasi ketiga profesi itu mengasumsikan penyelenggaraan
negara yang ideal sehingga dalam proses menyelesaikan tugas demi keadilan dan
mencapai situasi hidup yang lebih layak tidak melibatkan gesekan apa pun dengan
regulasi negara. Tokoh jaksa misalnya, tidak mempersoalkan sistem korup yang
memungkinkan terjadinya kasus penggelapan dana bantuan untuk masyarakat
miskin yang ditanganinya itu. Terdakwa diposisikan sebagai oknum terpisah yang
seakan-akan bekerja sendiri, atas niat buruknya sendiri, melanggar aturan hukum
yang berlaku. Tokoh ilmuwan juga tidak memproblematisasi situasi pembukaan
lahan besar-besaran yang juga dieksekusi atas izin pemerintah (baik untuk
kepentingan industri perkebunan, maupun agenda pembangunan lainnya).
Fenomena pembalakan hutan dikisahkan sebagai praktik pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh masyarakat awam yang seakan-akan bebas dari campur tangan
pemerintah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
Dalam pemahaman saya, persisnya persoalan inilah yang membahasakan
kekhawatiran Said tentang risiko yang ditimbulkan oleh bahasa yang sebenarnya
telah dikooptasi untuk kepentingan status quo, atau dalam hal ini penguasa
dominan. Berkurangnya kemampuan intelektual dalam mengenali bahasa tersebut
dan mengapropriasinya untuk mengartikulasikan kepentingan masyarakat luas
membuatnya kurang kritis terhadap regulasi mapan kelas dominan.
Sementara itu, karakteristik profesionalisme yang digambarkan dalam
sepuluh buku cerita anak ini juga menampakkan paradoks. Di bab 3 dan sub-bab
sebelumnya tentang spesialisasi pekerjaan, salah satu karakteristik yang muncul ke
permukaan adalah individualisasi. Tiap-tiap orang terasa makin terpisah dari
sesama rekan kerjanya dan mengupayakan keberhasilan tunggal untuk dirinya.
Tetapi, di saat yang bersamaan, aktivitas kerja seakan-akan menyamaratakan visi
tiap orang dan hampir meniadakan tujuan pribadi tiap individu. Ada tujuan tunggal
yang dipasang sebagai sasaran pencapaian itu, entah itu kelangsungan negara,
profit, dan lain sebagainya. Dalam situasi demikian, tokoh pelaku profesi terasa jadi
hambar sebab seperti tidak punya semangat individual yang mendorongnya
bertahan melakukan pekerjaan itu.
Deskripsi mengenai detail-detail pekerjaan yang dikategorikan dalam dua
kutub, modern dan tradisional, juga tampak membangun preferensi tertentu. Buku
cerita anak “seri profesi idamanku” memotret situasi kerja yang relatif aman dan
tanpa tantangan besar, kecuali mungkin dalam kisah Tentara. Kestabilan dan
ketiadaan kendala yang berarti ditempatkan sebagai kewajaran dalam dunia kerja
sektor formal. Sementara di lain pihak, kisah Petani, Nelayan, dan Peternak
menampilkan kerja-kerja fisik yang diasumsikan lebih keras, kotor, dan secara
umum tidak mengenakkan. Tiap karakter anak yang menghabiskan hari bersama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
ketiga pekerja tradisional ini, di akhir cerita, dinasihati untuk selalu menghargai
kerja keras tersebut. Penghargaan ini diberikan sebagai sesuatu yang menjaga
mereka agar tetap terpisah dari realitas kerja tradisional. Secara tak langsung,
petani, nelayan, dan peternak ini diletakkan di posisi yang lebih rendah. Biar
bagaimanapun, anak-anak yang datang dari kota ini semacamnya dikisahkan tetap
ingin jadi bagian dari kelas sosial mereka dengan imajinasi cita-cita yang cenderung
sejalan dengan buku cerita seri profesi idaman.
Apa yang sebenarnya dibawa oleh kecenderungan profesionalisme ini? Selain
beberapa problem yang saya pilih untuk soroti pada bagian ini, beberapa elemen
yang kentara muncul dalam deskripsi cita-cita idaman di buku cerita anak ini
mengisyaratkan persoalan lain yang lebih luas. Pada bagian selanjutnya, saya akan
coba memeriksa lapis berikutnya dari fenomena ini untuk mencari tahu imajinasi
umum apa yang sesungguhnya menaungi tendensi profesionalisme ini.
B. Modernitas dan HAM: Wajah Baru Wacana Pemberadaban
Penelusuran pada bagian ini secara erat mengaitkan dua wacana utama yang
muncul dalam narasi buku cerita anak seri pengenalan profesi, sebagaimana telah
dijabarkan dalam bab 3. Secara ringkas, dua wacana utama tersebut adalah
modernitas dan nasionalisme (negara). Kemunculannya bukanlah sebagai dua hal
terpisah. Keduanya saling berjalin dan menjadi wajah satu gagasan penting yang
memayunginya. Untuk mengurai peran keduanya, saya meminjam konsep “standar
pemberadaban” (standards of civilization) kontemporer yang dirangkum dan
disusun ulang oleh Brett Bowden. Dari penelusurannya, Bowden mengajukan
argumentasi bahwa setidaknya ada dua standar yang kini menggantikan versi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
wacana misi pemberadaban klasik (kolonialisme), yakni standar modernitas
(standards of modernity) dan standar hak asasi manusia (standards of human
rights)125.
Ada beberapa karakteristik yang dapat diidentifikasi dari (atau juga
mengidentifikasi) wajah baru standar pemberadaban. Bowden menyitir poin-poin
yang disebut David Fidler sebagai “standar pemberadaban global liberal”126.
Karakteristik tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Penghargaan terhadap hak sipil dan politik yang asasi.
b. Penghargaan terhadap pentingnya masyarakat sipil dalam politik baik
dalam maupun luar negeri.
c. Komitmen pada tata kelola pemerintahan yang demokratis.
d. Komitmen pada “peraturan perundang-undangan” baik di dalam
maupun luar negeri.
e. Komitmen pada ekonomi pasar bebas di ranah domestik serta pada
perdagangan bebas dan investasi di ranah internasional.
f. Komitmen pada pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam menanggapi tantangan politik, hukum, ekonomi, dan
sosial.127
Poin-poin di atas adalah turunan dari gagasan tentang modernitas, HAM, dan
demokrasi yang berpilin jadi satu. Sebagian besar, utamanya yang terkait HAM dan
pengembangan pengetahuan, ditujukan untuk mencapai perbaikan kualitas hidup
125 Bowden, op. cit. 126 Fidler, David P. (2000). “A Kinder, Gentler System of Capitulations? International Law, Structural Adjustment Policies, and the Standard of Liberal, Globalized Civilization” dalam Texas International Law Journal 35, no. 3, hal. 187-413. 127 Bowden, op. cit., hal. 174. Terjemahan oleh saya sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
manusia. Secara lebih terperinci, Bowden mengutip John Rawls yang menekankan
bahwa hak asasi manusia adalah kategori hak khusus yang diberlakukan secara
universal dan—salah satu karakteristik pembedanya—memiliki intensi umum yang
kecil sekali kemungkinannya bersifat kontroversial, atau dengan kata lain nyaris
berterima secara luas oleh siapa pun dalam situasi apa pun.128 Demokrasi sendiri
saat ini tampil sebagai preferensi ideal sistem politik negara, khususnya setelah
dikomparasi dengan pengalaman otoritarianisme atau feodalisme yang umumnya
tak lebih mengenakkan.
Persoalannya, isu HAM dan demokrasi ini dikooptasi oleh wacana kolonial
masa kini. Premisnya masih sama: negara-negara di belahan Barat telah berhasil
mengaplikasikan demokrasi dan sistem hukum yang lebih adil, mengakui dan
melindungi hak asasi manusia, serta memanfaatkan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan meningkatkan kualitas hidup
manusia. Sementara itu, negara-negara di belahan bumi lain belum berhasil
melakukannya. Oleh karena itu, Barat merasa perlu menuntun masyarakat lain yang
mereka anggap belum seadil dan semodern mereka untuk mencapai standar-
standar tersebut. Lagi-lagi, landasan berpikir macam ini digunakan sebagai
legitimasi untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan bangsa lain. Kali ini,
dengan menggodoknya jadi satu ramuan: proyek modernisasi, demokratisasi, dan
bahkan pengaturan kebijakan agar membuka akses bagi pasar bebas dan investasi
asing.
Dalam konteks penelitian ini, saya ingin memeriksa beberapa hal yang terkait
dengan elemen wacana pemberadaban kontemporer itu. Setidaknya, ada dua hal
128 Ibid., hal. 169.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
yang telah muncul ke permukaan berdasarkan pembahasan di bab 3, yakni
pembicaraan tentang modernitas dan nasionalisme yang dihadirkan dalam buku
cerita anak seri pengenalan profesi ini. Untuk menjabarkannya dengan lebih
terperinci, pembahasan akan saya bagi jadi dua bagian yang masing-masing
menyoroti karakteristik standar pemberadaban versi Fidler di atas. Setelahnya, saya
akan berupaya menyimpulkan apa peran karakteristik ini dalam membangun narasi
dominan dalam percakapan tentang profesi idaman.
B.1. Orientasi pada Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Karakteristik ini barangkali jadi yang paling dominan muncul dalam buku cerita
anak seri pengenalan profesi. Setidaknya delapan dari sepuluh buku yang saya baca
secara mendalam menampilkan interaksi langsung para pelaku profesi dengan hasil
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kerja harian mereka. Dua
profesi yang terkecualikan itu adalah Jaksa dan Pengacara, yang lebih menonjol
dalam karakteristik bagian kedua.
Meski menjadi topik yang hadir secara cenderung universal, delapan cerita itu
memosisikan teknologi secara berbeda. Tujuh cerita lainnya membahasakan
teknologi sebagai elemen yang relatif akrab dan nyaris diterima sebagai kewajaran
saja. Sutradara bekerja dengan berbagai alat canggih untuk produksi film. Tentara
memanfaatkan teknologi persenjataan dan perang dalam menjalankan tugasnya.
Dua profesi di bidang medis, Perawat dan Dokter Gigi, tentunya bekerja dengan
beragam alat bantu medis yang dihasilkan dari kerja panjang pengembangan
teknologi kedokteran. Berbagai macam operasi yang rumit dan canggih beserta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
seperangkat alat penunjang untuk menjaga keselamatan pasien dimungkinkan dan
bahkan disebarluaskan secara massal demi meningkatkan kualitas hidup manusia.
Terkait pengembangan ilmu pengetahuan secara spesifik, profesi Ilmuwan
punya peran tersendiri. Pekerjaannya sangat berhubungan erat dengan iklim
disiplin keilmuan biologi yang mengupayakan pengembangan terus-menerus demi
kelangsungan alam yang lestari. Profesi Akuntan pun pada penggambarannya hanya
mampu melayani kepentingan pengusaha yang berada dalam ekosistem ekonomi
yang lebih kompleks. Pedagang sayur atau pegiat usaha kecil menengah (UKM) tidak
dimungkinkan hadir dalam narasi kerja profesional akuntan sebab jumlah
perputaran modalnya, sistem administrasi keuangannya, serta sejumlah elemen lain
belum menuntut peran akuntan. Maka, klien dalam kisah Akuntan ialah para
pengusaha bermodal besar yang mengelola unit usaha berlaba besar pula.
Selain di ranah praktik dan terapan langsung, ilmu pengetahuan dan teknologi
juga menjadi unsur yang terintegrasi dalam visi penyelenggaraan negara. Di kisah
Presiden, negara yang datang berkunjung ke Indonesia adalah Jepang, negara yang
memimpin gerakan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Asia. Para
pemimpin politik kedua negara tersebut tak luput membicarakan topik ini dalam
pertemuan mereka, lewat rencana pertukaran pelajar dan sebagainya.
Hanya ada satu cerita yang masih memotret kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan nada kagum, yakni kisah si Astronaut. Berbagai alat rumit dan
canggih yang namanya kadang masih asing bertaburan di sepanjang cerita dan
disertakan dalam glosarium di bagian akhir buku. Narasi kagum ini sesungguhnya
tak mengherankan. Sebagaimana yang telah saya sebutkan dalam bab 3, menjadi
astronaut di Indonesia masih terbilang mustahil hingga saat ini karena infrastruktur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
administratifnya (dan tentu teknologinya) belum memungkinkan. Maka, sementara
ini, cerita tentang astronaut baru bisa dibaca sebagai pengandaian. Berbeda dengan
tujuh profesi lainnya yang sungguh-sungguh ada dalam dunia kerja Indonesia.
Teknologi dan ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan dalam pekerjaan mereka
cenderung kasatmata dan lazim dikenal masyarakat.
Percakapan terkait delapan cerita profesi ini sejalan dengan argumen Bowden
yang menunjukkan mengapa standar modernitas berpotensi besar menggantikan
standar pemberadaban klasik. Dua kemungkinan bentuk modernitas yang
dibahasnya hadir dalam cerita anak yang saya teliti. Pertama, mendukung asumsi
bahwa hukum sains yang berlaku universal menjadi landasan kokoh bagi kosmologi
rasional yang akan membawa ‘berkat kemajuan peradaban’ bagi semua orang.
Kedua, modernitas dapat hadir dalam bentuk budaya kosmopolitan kontemporer
yang mengamini adanya nilai, norma moral, dan pengalaman bersama lintas
kebudayaan.129 Mari kita lihat manifestasinya dalam narasi cerita anak tersebut.
Bentuk pertama dengan jelas terlihat dalam kerja profesi tenaga medis dan
ilmuwan seperti dijelaskan di atas. Signifikansi utama pengembangan ilmu
pengetahuan sangat berkaitan dengan standar atau kualitas hidup manusia yang
diupayakan dapat dinikmati secara universal. Terapannya secara langsung tertuju
pada isu kesehatan, gizi, dan sejumlah elemen lain di sekitarnya. Pengembangan
teknologi medis sudah jelas berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup manusia
(meski tentu saja ada persoalan privilese kelas tertentu yang bisa mengakses lebih
banyak). Sementara dalam kerja ilmuwan, kontribusi ilmu pengetahuan itu
dihadirkan lewat tujuan luhur memelihara kelangsungan alam dan lingkungan
129 Ibid., hal. 167.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
hidup yang eksis bersama manusia. Tujuan ini juga mengasumsikan bahwa ada
kehidupan bersama umat manusia yang perlu dilindungi keberlangsungannya.
Gelagat ini ditunjukkan lewat penyebutan fungsi hutan Kalimantan sebagai paru-
paru dunia. Menjaga hutan ini berarti turut menjaga kehidupan bersama manusia
lainnya di penjuru lain dunia.
B.2. Keadilan dan Hukum di Negara Demokrasi
Karakteristik ini tampak kentara dalam kisah Jaksa dan Pengacara. Keduanya secara
langsung bertugas dan bekerja di sektor penegakan hukum. Sebagaimana telah
ditampilkan dalam pembahasan di bab 3, kisah kedua profesi ini dengan cukup kuat
menonjolkan adanya kesadaran individual akan pentingnya kepatuhan terhadap
hukum dan tegaknya keadilan di masyarakat. Meski fokus cerita tetap tertuju pada
detail-detail langkah kerja keduanya, kisah Jaksa dan Pengacara memosisikan
karakter utamanya sebagai manusia yang secara pribadi menginginkan hukum
diterapkan secara adil bagi kepentingan bersama.
Narasi keberpihakan pada yang lemah dihadirkan dalam kisah Pengacara
lewat ekspresi empati tokoh Bu Hana yang tertuju pada kliennya, Nenek Ara.
Sementara dalam kisah Jaksa, narasi semacam ini tidak secara eksplisit dinyatakan,
tetapi tetap terlihat melalui jenis kesalahan terdakwa yang dituntut oleh Pak Haris
itu, yakni menggelapkan dana bantuan untuk rakyat miskin. Kedua kasus hukum
yang mereka tangani melibatkan kecurangan yang merugikan masyarakat miskin
dan awam hukum. Tentunya, kedua kisah ini merupakan bentuk idealisasi,
mengandaikan sistem hukum yang sempurna dan dengan demikian pelaksanaannya
akan senantiasa berpihak pada kebenaran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
Perlakuan sama di hadapan hukum merupakan salah satu hak yang tercantum
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1948. Demikian pula dengan
hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika menjadi korban pelanggaran. Dan
perlindungan terhadap HAM, menurut John Rawls yang dikutip Bowden, merupakan
salah satu syarat minimal yang wajib dipenuhi negara agar dapat diakui sebagai
anggota penuh dalam masyarakat internasional.
Selain penegakan hukum di meja pengadilan, salah satu elemen yang hampir
selalu ada dalam sistem negara adalah militer. “Profesi” ini pun tak luput dari jajaran
pekerjaan idaman, barangkali karena tawaran gengsi dan penghormatan yang
biasanya diberikan kepada anggota militer. Dalam pembahasan Bowden, militer
sendiri tidak bebas dari wacana pemberadaban kontemporer. Ia memperlawankan
militer yang “beradab” dengan “barbarisme”. Apa rupanya arti beradab dalam
konteks militer? Masyarakat beradab diasumsikan memiliki kapabilitas untuk
membela diri serta paham dan bersedia mematuhi tata cara perang yang “beradab”
(tapi, tetap saja perang). Pertentangan dengan barbarisme setidaknya
memperlihatkan imajinasi “perang beradab” yang dimaksudkan.
The “military horizon” was a figurative line drawn in the sand to distinguish “civilized” European warfare, which was supposedly organized, constrained, and chivalrous, from the chaotic nature of the undisciplined and opportunistic “primitive” warfare practived by savages and barbarians.130
Militer adalah armada perang yang diklaim mematuhi tata cara perang yang
“teratur, disiplin, dan bersifat ksatria”, dibedakan dari orang-orang praperadaban
yang diklaim berperang demi meladeni nafsu hewani saja. Militer berperang untuk
130 Ibid., hal. 179.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
membela diri dan mencapai perdamaian; orang barbar berperang untuk
menghancurkan. Saya sendiri tak tahan menulis kalimat barusan.
Pada kenyataannya, tentu saja perang tak pernah benar-benar membawa
perdamaian. Segudang peristiwa menunjukkan bagaimana militer menjadi
representasi barbarisme itu sendiri. Dan mengerikannya, tindakan barbar itu
dilakukan atas nama negara, yang mestinya melindungi hak asasi rakyatnya. Namun,
kisah Tentara dalam seri pengenalan profesi menarasikan versi ideal tersebut.
Tokoh Kak Riga si tentara selalu menginginkan situasi di mana orang-orang dapat
bekerja dan beraktivitas dengan tenang, bebas dari ancaman. Ditambah lagi ketika ia
harus bertugas di perbatasan Indonesia dan Malaysia. Kak Riga dan rekan-rekan
tentaranya “menjalin hubungan baik dengan warga agar bisa saling membantu”.
Menariknya lagi, saat mendeskripsikan situasi bahwa di masing-masing sisi garis
perbatasan itu tentara kedua negara tinggal berdampingan, ilustrasi menunjukkan
tokoh Kak Riga dan seorang tentara Malaysia saling melambaikan tangan. Mereka
tampak bersahabat. Tetapi, jika situasi berubah jadi mengancam bagi salah satu
pihak, maka keduanya harus siap melawan satu sama lain.
* * *
Dua karakteristik umum di atas adalah elemen menonjol dalam buku cerita
objek penelitian saya yang memiliki keterkaitan erat dengan nilai modernitas dan
HAM yang disoroti Bowden sebagai wajah baru pemberadaban. Secara bersamaan,
wacana modernitas dan nasionalime dihadirkan sebagai dua hal yang sejalan dan
dapat diterapkan tanpa konflik. Akan tetapi, pada pembacaan yang lain, dua wacana
itu bisa saja penuh pertentangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Modernitas yang hadir dalam buku-buku cerita anak seri pengenalan profesi
ini direpresentasikan lewat profesionalisme, peran ilmu pengetahuan dan teknologi
yang signifikan, serta fokus pada kemampuan individu. Modernitas siapakah ini?
Dalam rangkuman Bowden, jawabannya: modernitas yang dicapai lewat wacana
pembangunan ala Barat. Modernitas ini melibatkan proses transformasi dari
“tertinggal” (underdeveloped) menjadi maju (developed). Gagasan ini identik dengan
argumen wacana kolonial bahwa kemajuan dicapai lewat satu garis linier.
Transformasi ini meliputi bergesernya sumber daya minimal untuk bertahan hidup
(means of subsistence) yang tadinya tradisional (sandang, pangan, papan) ke arah
penerapan metode saintifik dalam hampir semua aspek kehidupan.131
Melihat kecenderungan ini, maka tak heran bahwa imajinasi pekerjaan
modern yang hadir dalam sepuluh buku cerita anak yang saya teliti mengandaikan
kontras yang kentara dengan tiga pekerjaan sektor tradisional dalam seri lainnya.
Petani, peternak, dan nelayan adalah orang-orang yang memproduksi sumber daya
bertahan hidup yang sifatnya tradisional. Mereka utamanya memproduksi pangan
bagi masyarakat luas. Sementara sepuluh cerita pelaku profesi yang lain tidak lagi
berkutat di sekitar pemenuhan kebutuhan dasar tradisional itu. Mereka berupaya
memenuhi standar modern lainnya, yakni taraf hidup yang lebih baik (lewat bidang
kesehatan dan lingkungan hidup), keamanan, keadilan, dan bahkan kesenian.
Standar modern ini tidaklah diimplementasikan secara individual atau dalam
kelompok kecil. Ia terlembagakan melalui negara. Negaralah salah satu pihak yang
turut membentuk imajinasi itu. Bowden sempat merangkum bahwa meski standar
ini dapat terus berubah, saat ini setidaknya ada beberapa prinsip yang menentukan
131 Ibid., hal. 172.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
keanggotaan penuh sebuah negara dalam masyarakat internasional yang terdiri atas
negara-negara beradab. Prinsip-prinsip tersebut meliputi hak asasi manusia dan
peraturan perundang-undangan, penerapan demokrasi perwakilan dalam tata
kelola pemerintahan, liberalisme ekonomi dan pasar bebas yang terbuka bagi
perdagangan internasional dan investasi asing, pluralisme agama dan budaya, serta
keberhasilan ilmu pengetahuan dan teknologi.132
Pelembagaan modernitas lewat penyelenggaraan negara ini menunjukkan
bagaimana kedua wacana itu hadir dan beroperasi secara sinergis dalam kehidupan
masyarakat. Menariknya, sebagian besar elemen modernitas itu telah kita terima
begitu saja sebagai bagian keseharian dan bahkan tak jarang dianggap sebagai
sesuatu yang alamiah alih-alih bentukan. Situasi inilah yang barangkali membuat
penceritaan tentang struktur masyarakat yang lebih tradisional (misalnya dalam
konteks penelitian saya, kisah Petani, Nelayan, dan Peternak) sering kali disuguhkan
sebagai sesuatu yang cenderung “asing” atau langka. Respons terhadap yang asing
ini pun beragam, bisa jadi penolakan atau bahkan penghargaan yang sebenarnya
malah mempertegas pemisahan itu. Struktur tradisional mungkin dipotret dengan
penuh kekaguman karena dalam keseharian tidak dikenali sebagai kewajaran. Yang
wajar adalah menyelesaikan pendidikan formal dengan gemilang, bekerja di kantor,
meraih prestasi/penghargaan individual, dan hidup tenang.
Meski demikian, modernitas yang diadopsi dari standar ideal Barat ini
bukannya tak menyimpan persoalan dalam eksistensinya bersama nasionalisme.
Nasion atau negara bangsa itu sendiri memang salah satu produk modernitas. Meski
praktiknya dapat serupa satu sama lain, nasionalisme mengasumsikan adanya
132 Ibid., hal. 186.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
kepentingan spesifik tiap-tiap negara bangsa yang diperjuangkan lewat ideologi
tersebut. Paradoksnya, demi menjadi negara bangsa yang diterima di tengah
masyarakat internasional, ada penyeragaman standar yang harus dipenuhi tiap
negara bangsa. Dan, menurut Bowden, standar itu dikonstruksi dengan wacana
pembangunan ala Barat. Persoalan globalisasi standar pemberadaban ini membawa
implikasi tersendiri. Mengutip argumen Mehdi Mozaffari dalam tulisan Bowden,
globalisasi telah banyak memangkas perbedaan atau keragaman visi tentang dunia
(yang tentunya saling berkontestasi).133
Dalam konteks penelitian saya, kehadiran wacana modernitas dan
nasionalisme semacam ini menunjukkan bahwa buku-buku cerita anak seri
pengenalan profesi tersebut merupakan bagian dari wacana kolonial masa kini.
Kisah-kisahnya membangun imajinasi tentang menjadi warga negara yang berhasil
memenuhi standar modernitas spesifik dengan mengedepankan peran individual
masing-masing orang. Dan dengan menjadi demikian, seseorang dapat menyumbang
kebanggaan tertentu, dalam taraf mana pun, terhadap upaya negara memenuhi
persyaratan menjadi warga dunia yang diterima.
Kebutuhan bertahan hidup di level tradisional, seperti pangan, sandang, dan
papan, diasumsikan senantiasa tersedia begitu saja. Struktur masyarakat dan
pekerjaan tradisional diasumsikan tetap ada, di wilayahnya sendiri, dan beroperasi
untuk terus menopang kebutuhan dasar manusia lainnya. Dan berkarya di sektor ini
bukanlah jadi idaman. Anak-anak pembaca buku-buku tersebut disodori bayangan
tentang cita-cita profesional yang melampaui tuntutan pemenuhan kebutuhan
133 Ibid., hal. 176. Argumen tersebut dikutip Bowden dari tulisan Mozaffari berjudul “The Transformationalist Perspective and the Rise of a Global Standard of Civilization” yang diterbitkan di jurnal International Relations of the Asia-Pacific I, no. 2 tahun 2001, halaman 247-264.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
dasar. Buah yang mesti dipetik digambarkan sebagai kebanggaan, prestasi kerja,
keadilan, kelangsungan lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
C. Anak Indonesia yang Modern
Setelah sedikit mengelaborasi bagaimana narasi cerita anak tentang pengenalan
profesi membawa wacana modernitas dan nasionalisme, pada bagian ini saya ingin
merangkum sejumlah kerumitan yang ikut serta bercampur di dalamnya.
Pembacaan ini harapannya menerangi jalan saya untuk membayangkan, kira-kira
subjek anak seperti apa yang ingin dibentuk melalui narasi semacam itu.
Giroux dalam paparannya mengenai pedagogi publik mengajak kita untuk
menaruh perhatian yang sama besarnya pada peran aparatus budaya yang
beroperasi di sekitar kehidupan kita. Dalam konteks penelitian saya, aparatus
budaya yang tengah saya perhatikan dan coba dalami adalah buku cerita anak di
Indonesia, utamanya yang membicarakan cita-cita atau pekerjaan idaman. Narasi
seperti ini terbilang cukup jamak adanya dan dihadirkan dalam beragam rupa
lainnya pula, misalnya iklan televisi, materi pelajaran di buku paket sekolah, produk
audiovisual populer seperti sinetron atau film, dan lain sebagainya. Buku cerita anak
adalah salah satu bagian dari semesta itu.
Secara sederhana, pendekatan yang diusulkan Giroux mengasah kemampuan
kita untuk “menaruh curiga” pada beberapa hal yang tampaknya diterima begitu
saja selama ini. Selalu ada otoritas pengetahuan yang bekerja di baliknya.
Kemampuan kritis untuk mengenali otoritas itu dan cara ia membahasakan
gagasannya lewat aparatus budaya adalah kunci dari semangat pendidikan kritis.
Dalam penelitian ini, saya berusaha mengorek lapis-lapis percakapan yang secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
inheren ternyata ikut hadir dalam pembicaraan mengenai cita-cita pekerjaan di
dunia anak-anak Indonesia. Keinginan menjadi dokter, pilot, astronaut, insinyur, dan
berbagai pekerja modern lainnya ternyata bukan sesuatu yang lahir begitu saja.
Nama-nama ini adalah bahasa yang mewakili otoritas pengetahuan yang beroperasi
di belakangnya.
Pembahasan dalam bab 3 menunjukkan beberapa elemen penting yang
muncul dalam buku cerita pengenalan profesi itu. Para tokoh orang dewasa yang
bekerja di dunia profesional ini menampilkan sosok yang mandiri, mampu
membereskan persoalan sendiri, profesional dalam bekerja, berorientasi pada
kebenaran dan kemaslahatan publik, serta bahkan menyumbangkan kebanggaan
bagi negara dan bangsa.
Selanjutnya, dua sub-bab pertama yang saya bagikan di bab 4 ini berusaha
melihat lebih jauh, suara siapa sebenarnya yang tengah berbicara lewat narasi
menjadi profesional itu. Pencarian dengan pendekatan pascakolonial menunjukkan
bahwa percakapan tentang pekerjaan modern itu berpangkal pada bentuk baru
wacana pemberadaban masa kini. Dari perspektif wacana kolonial, Indonesia
dengan sejarah penjajahannya tentulah jadi bagian dari “the rest” dalam istilah “the
West and the rest”. Secara de jure, Indonesia memang telah diakui sebagai negara
yang berdaulat. Akan tetapi, ada narasi implisit yang terkandung dalam buku cerita
anak yang saya dalami terkait posisi Indonesia di peta relasi kuasa global.
Dengan mengacu pada standar pemberadaban baru yang dituturkan oleh
Bowden, wacana kolonial pada umumnya menempatkan negara jajahan (atau bekas
jajahan, atau negara-negara non-Barat pada umumnya) sebagai masyarakat yang
kurang maju, kurang demokratis, atau secara umum kurang modern. Pilihan buku
cerita pengenalan profesi ini untuk menggambarkan modernitas di dunia kerja
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
Indonesia dengan begitu menonjol sebetulnya hadir sebagai ideal yang ingin dicapai.
Sebagaimana yang dijabarkan Bowden, modernitas yang dibayangkan itu hadir
bersama dengan ide tentang demokrasi, penghormatan terhadap HAM, serta
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam versi yang diidealisasi pula.
Indonesia yang diceritakan dalam buku-buku itu adalah Indonesia yang adil,
demokratis, dan modern. Sistem hukumnya relatif sempurna sehingga dapat
mengakomodasi keberpihakan kepada masyarakat lemah; narasi tentang sistem
pemerintahan yang korup hampir tak ada, sekalinya ada, oknumnya dihukum lewat
sistem peradilan yang sesuai. Indonesia pun tampil sebagai negara maju sebab
mampu mengintegrasikan pemanfaatan ilmu pengetahuan mutakhir dan teknologi
canggih dalam dunia kerja profesionalnya. Tak segan-segan, salah satu cerita bahkan
menampilkan sosok astronaut Indonesia yang berprestasi, mengesampingkan
sejumlah kendala yang sesungguhnya membuat profesi astronaut tak mungkin
dijalani saat ini. Dan hanya lewat fiksilah hal itu dimungkinkan.
Kehidupan Indonesia yang modern juga diletakkan sebagai latar umum dalam
sepuluh kisah itu. Setiap tokoh punya akses pendidikan yang memadai, sehingga
berhasil menyelesaikan pendidikan khusus yang menjadi syarat utama bergabung di
dunia kerja profesional. Masyarakat yang tradisional jarang dibicarakan, sesekali
hanya ditampilkan lewat ilustrasi, misalnya sebagai sekumpulan pedagang pasar
yang melatarbelakangi adegan Kak Riga sang tentara berangkat ke markas atau
sebagai warga sekitar perbatasan yang bahkan dengan stereotipikal digambarkan
mengenakan pakaian adat. Di kisah yang lain, ketika dibicarakan, warga masyarakat
yang hidup di struktur tradisional malah tampil sebagai subjek yang saling bertikai
dan seakan-akan tak berdaya di hadapan hukum. Penggambaran ini muncul di kisah
Pengacara yang menangani kasus tuduhan pencurian sekantong wortel. Kesannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
kasus yang amat remeh, namun karena keras kepalanya si penggugat, sampai harus
berujung ke meja pengadilan.
Semua pembicaraan ini mengandaikan pembaca anak yang akrab dengan
struktur masyarakat modern. Mereka barangkali tinggal di kota, punya akses
pengetahuan yang baik untuk belajar dan melakukan eksplorasi lainnya, serta
bersemangat dalam belajar, utamanya mempelajari sains dan teknologi. Kebutuhan
dasar dan pendidikan formal cenderung tidak lagi jadi masalah, masyarakat tampak
sejahtera. Lewat mata yang sama, konsekuensinya, kehidupan yang lebih tradisional
tampak sebagai sesuatu yang terpisah, namun bukan berarti tidak dapat diakses.
Justru interaksi dengan struktur tradisional inilah yang secara parsial
membahasakan premis wacana kolonial yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa
ada masyarakat yang inferior terhadap kelompok masyarakat yang lain. Dalam hal
ini, masyarakat desa jadi representasi mereka yang tertinggal. Sementara anak-anak
dari daerah urban modern adalah mereka yang “berhasil” mengupayakan gaya
hidup yang lebih maju, modern, dan demokratis. Anak-anak inilah yang bisa
menghasrati jenis-jenis pekerjaan profesional seperti yang ditampilkan dalam buku
cerita itu. Anak-anak semacam inilah yang mampu menyumbangkan kebanggaan
bagi Indonesia yang berhasil memenuhi standar pemberadaban baru itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
BAB V
KESIMPULAN
Dalam dunia pendidikan anak, buku bacaan adalah salah satu elemen penting.
Keluarga, sekolah awal, dan kelompok membaca merupakan beberapa unit
komunitas yang mendorong konsumsi bacaan di kalangan anak-anak. Dalam
kerangka pikir pedagogi publik Giroux, buku bacaan ini menjadi salah satu aparatus
budaya yang berinteraksi dengan anak serta menjadi instrumen pendidikan yang
signifikan. Dan tentunya, sebagai instrumen pendidikan, aparatus ini memiliki visi
tertentu yang dibagikan kepada anak melalui proses membaca.
Serangkaian pembahasan yang saya muat di tiga bab sebelumnya adalah
upaya untuk memeriksa bagaimana aparatus budaya tersebut bekerja di lingkungan
pembaca anak di Indonesia dan nilai-nilai apa yang dibawanya. Dari semesta bacaan
anak yang luas, saya memilih secara khusus buku cerita yang menampilkan
deskripsi tentang pekerjaan yang dilabeli sebagai profesi idaman. Konten
pengenalan kehidupan orang dewasa semacam ini merupakan salah satu konten
populer dalam bacaan anak. Buku cerita seri pengenalan profesi jadi bagian dari
percakapan luas tentang cita-cita yang juga tak asing beredar di kalangan anak-anak.
Secara ringkas, saya mendapati dua wacana dominan yang disuguhkan dalam
sepuluh buku cerita yang saya teliti, yakni modernitas dan nasionalisme. Keduanya
diimajinasikan sebagai beberapa nilai utama yang perlu dilihat, dikenali, dan
diperjuangkan oleh pembaca anak Indonesia. Aspek-aspek yang menjadi turunan
dua narasi besar itu meliputi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tren
individualisasi, dan kontras dengan pekerjaan di sektor tradisional. Nilai-nilai
modern ini pun terlembagakan dalam penyelenggaraan negara dengan penarasian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
yang memosisikan negara sebagai bagian inheren dalam aktivitas kerja profesional
itu. Dan hanya lewat kerja sektor formal itulah, seseorang punya kesempatan
memberi kontribusi yang membanggakan untuk bangsa.
Sebagaimana yang dipaparkan Giroux, pengetahuan yang didistribusikan ini
bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Ada otoritas yang menyusunnya sedemikian
rupa dan situasi masyarakat tertentu yang memungkinkan pengetahuan semacam
itu lahir. Dalam konteks penelitian saya, otoritas yang secara langsung berkontribusi
pada dua narasi utama tersebut adalah wacana kolonial. Masyarakat pascakolonial
Indonesia pernah mengalami kolonialisme klasik sebelum kemerdekaan dan kini
wacana pemberadaban yang digunakan untuk melegitimasi keberadaan penjajahan
berganti wajah menjadi nilai-nilai tersebut. Modernitas, demokrasi, dan hak asasi
manusia adalah tiga isu utama yang kini mewakili suara wacana pemberadaban
kontemporer.
Lewat buku-buku cerita itu, anak Indonesia dideskripsikan sebagai individu
yang berhasil meniti garis imajiner penanda kemajuan itu. Indonesia yang hadir
dalam latarnya adalah Indonesia yang setara dengan negara maju lainnya: adil,
modern, dan demokratis. Hanya saja, narasi ini tetap tampak ambivalen. Alih-alih
mengasumsikan bangsanya sebagai pihak yang inferior terhadap Barat
(sebagaimana lazimnya dinyatakan dalam wacana pemberadaban), Indonesia yang
adil, modern, dan demokratis ini malah memakai kacamata yang sama untuk
memandang sesamanya, secara khusus struktur masyarakat tradisionalnya.
Indonesia yang ada dalam cerita itu memisahkan dua kutub: Indonesia modern dan
Indonesia tradisional. Masyarakat yang tradisional ini dijadikan representasi pihak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
yang belum maju, belum adil, dan belum demokratis, serta di saat bersamaan
menampilkan wajah Indonesia modern yang berhasil melampaui struktur pertama.
Sikap ini mungkin tampak lazim dalam masyarakat pascakolonial. Namun,
sikap yang berbeda sebenarnya pernah ditunjukkan oleh Ki Hadjar Dewantara
dalam gagasan kependidikannya di Taman Siswa. Ki Hadjar sendiri adalah sosok
yang mengalami dua fase penting dalam sejarah masyarakat pascakolonial
Indonesia: kolonialisme dan kemerdekaan. Ia bahkan menamai waktu-waktu ketika
ia bekerja itu sebagai zaman peralihan. Ki Hadjar jelas individu modern; ia produk
pendidikan formal yang saat itu belum dapat diakses bebas oleh semua warga
Hindia Belanda, para pemikir yang menginspirasinya juga datang dari Barat. Hal
yang menarik dari upaya dekolonisasi yang dikerjakannya adalah usaha apropriasi
dan reformulasi yang memungkinkan ia menempatkan nilai-nilai itu jadi lebih
kontekstual bagi situasi masyarakat Indonesia yang tengah berjuang menegakkan
kedaulatannya sebagai bangsa.
Ada perbedaan substansi yang signifikan pada cara Ki Hadjar menempatkan
subjek anak, amat lain dari cara narasi buku cerita anak pengenalan profesi itu
dalam melakukan hal yang sama. Dalam buku-buku yang dimaksud, tendensi untuk
membangun citra pekerjaan profesional yang modern amatlah menonjol. Pilihan
narasi semacam ini menunjukkan bahwa gagasan itu seperti disodorkan begitu saja,
tanpa proses yang lebih dialogis. Anak-anak diposisikan sebagai individu yang perlu
dibentuk sedemikian rupa agar memenuhi karakteristik individu modern yang ideal
itu. Mereka diyakinkan bahwa jalan inilah yang paling baik dan sesuai.
Sementara itu, gagasan kependidikan Ki Hadjar mempersepsi yang persis
sebaliknya. Anak membawa kodrat dalam dirinya. Dan proses pendidikan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
memerdekakan mestinya membantu ia mencari ke dalam diri untuk menemukan
kodrat itu. Bukan berarti anak tidak bisa mendapatkan pengaruh dari luar diri,
persepsi yang diusung Ki Hadjar ini mengandaikan bahwa individu anak bukanlah
subjek yang kosong, ia punya kehendak yang dibawanya. Kodrat atau kehendak
yang dimiliki tiap subjek anak itu juga relatif bebas dari penilaian baik-buruk, atau
bahkan derajat yang hierarkis. Tugas pendidikan adalah mendampingi anak
memelihara kodrat itu dan mengejawantahkannya jadi kebermanfaatan bagi
sesamanya.
Penelitian saya memang tidak secara khusus menaruh fokus pada gagasan dan
praktik pendidikan untuk anak di Indonesia. Konsekuensinya, pembahasan yang
saya paparkan terbatas pada satu jenis aparatus budaya yang saya pilih saja. Setelah
sedikit menjelajahi bagaimana aparatus budaya ini bekerja dan berkontribusi dalam
pendidikan anak di ranah informal, bagi saya, temuan yang ada menampilkan
problematika masyarakat pascakolonial Indonesia dalam interaksinya dengan
wacana kolonial itu sendiri. Ternyata, wacana itu terus direproduksi dan dengan
demikian melanggengkan “kolonialisme” itu sendiri. Dalam perbandingan dengan
jenis wacana semacam ini, catatan Ki Hadjar tentang upaya dekolonisasi yang
dilakukannya di sektor pendidikan tampak jadi alternatif yang radikal. Barangkali,
gagasan ini bisa ditilik ulang dan dimanifestasikan dengan lebih sesuai dalam
konteks pendidikan Indonesia masa kini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel
Abrams, M.H. 1999 A Glossary of Literary Terms Seventh Edition. Boston: Heinle &
Heinle.
Bowden, Brett. (2009). The Empire of Civilization: The Evolution of an Imperial Idea.
Chicago: The University of Chicago Press.
Dahl, Roald. 2010. Charlie dan Pabrik Cokelat Ajaib. Terjemahan Ade Dina Sigarlaki.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dewantara, Ki Hadjar. 1977. Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan,
Sikap Merdeka Bagian I Pendidikan Cetakan Kedua. Yogyakarta: Majelis Luhur
Taman Siswa.
Foulcher, Keith dan Tony Day (ed.). 2002. Clearing a Space: Postcolonial Readings of
Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press.
Frank, Josette. 1984. Orangtua, Anak dan Buku. Diterjemahkan dari beberapa bab
pertama Your Child’s Reading Today (1953) secara kolektif oleh A. Bandi
Raharja, Willy A. Pasti, Ronitua Harahap, C.Z. Doepe, da M.S. Hadisubrata.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Giroux, Henry. 2005. Border Crossings: Cultural Workers and the Politics of Education,
Second Edition. New York: Routledge.
Giroux, Henry. 2011. On Critical Pedagogy. New York: The Continuum International
Publishing Group.
Grenby, M.O. dan Andrea Immel (ed.). 2009. The Cambridge Companion to Children’s
Literature. Cambridge: Cambridge University Press.
Habib, M.A.R. 2005. A History of Literary Criticism: From Plato to the Present. Oxford:
Blackwell Publishing.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
Hanum, Fadila. 2018. Sehari Menjadi Nelayan. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of
Tiga Serangkai.
———. 2018b. Sehari Menjadi Petani. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga
Serangkai.
———. 2018c. Sehari Menjadi Peternak. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga
Serangkai.
Hunt, Peter (ed.). 1992. Literature for Children Contemporary Criticism. London:
Routledge.
Hollindale, Peter. 1992. “Ideology and the Children’s Book” dalam Literature for
Children Contemporary Criticism. London: Routledge.
Marsh, Jackie dan Elaine Millard. 2000. Literacy and Popular Culture: Using Children’s
Culture in the Classroom. London: Sage Publications Company.
Montessori, Maria. 1966. The Secret of Childhood. Terjemahan M. Joseph Costelloe, SJ.
New York: Ballantine Books.
Nandy, Ashis. 1983. The Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self under Colonialism.
New Delhi: Oxford University Press.
Patappa, Rae Sita. 2016a. Akuntan. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga
Serangkai.
———. 2016b. Dokter Gigi. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga Serangkai.
———. 2016c. Ilmuwan. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga Serangkai.
———. 2016d. Jaksa. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga Serangkai.
———. 2016e. Pengacara. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga Serangkai.
Patappa, Rae Sita. 2018a. Asyiknya Menjadi Astronaut. Solo: Tiga Ananda, Creative
Imprint of Tiga Serangkai.
———. 2018b. Asyiknya Menjadi Perawat. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of
Tiga Serangkai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
———. 2018c. Asyiknya Menjadi Presiden. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of
Tiga Serangkai.
———. 2018d. Asyiknya Menjadi Sutradara. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of
Tiga Serangkai.
———. 2018e. Asyiknya Menjadi Tentara. Solo: Tiga Ananda, Creative Imprint of
Tiga Serangkai.
Said, Edward W. (1996). Representations of the Intellectual. New York: Vintage
Books.
Siraishi, Saya. 2001. Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik.
Terjemahan Tim Jakarta. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Stearns, Peter N. 2011. Childhood in World History, Second Edition. Oxon: Routledge.
Toha-Sarumpaet, Riris K. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Tesis, Jurnal, dan Makalah
Mursini. 2009. “Kontribusi Sastra bagi Anak-Anak” dalam Bahas Vol. 18 No. 2.
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan.
Partiningsih. 2016. “Ideologi Pembangunan Orde Baru dalam Sastra Anak Balai
Pustaka Tahun 80-an” dalam Atavisme Vol. 19 No. 1, Edisi Juni, hal. 29-44.
Purbani, Widyastuti. 1999. Sastra Anak Indonesia sebagai Genre: Sebuah Utopia?.
Yogyakarta: Makalah HISKI III UNY.
Sumber Internet
Hadriani. 2014. “Masa Berjayanya Buku Anak dan Penulis Cilik”. Tempo.co, 1 Juni
2014, dilihat 5 Juni 2016. <http://m.tempo.co/read/news/2014/06/01
/109581609/Masa-Berjayanya-Buku-Anak-dan-Penulis-Cilik>.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. “Sejarah Organisasi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistem”. KSDAE, dilihat 8 Oktober 2018.
http://ksdae.menlhk.go.id/sejarah-ksdae.html
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
LAMPIRAN
Untuk memberi gambaran mengenai buku bacaan seri pengenalan profesi untuk
anak yang secara khusus saya dekati dalam penelitian ini, saya perlu membagikan
rangkuman singkat isi dari tiap-tiap judulnya. Berikut pemaparannya.
Sinopsis
Ilmuwan
Ibu Silvi ialah seorang ilmuwan yang bekerja di Badan Konservasi Sumber Daya
Alam. Sehari-hari, ia melakukan penelitian di laboratorium yang menjadi bagian dari
Cagar Alam Hijau. Ia meneliti tanaman langka untuk mencari cara agar spesies ini
dapat hidup lebih lama dan tidak punah. Bu Silvi punya kekhawatiran terkait
berkurangnya jumlah pohon di Indonesia akibat penebangan dan pembakaran
hutan, padahal hutan Indonesia dijuluki paru-paru dunia. Data penelitian Bu Slivi
selalu dicatatnya selama bertahun-tahun, sehingga bisa dipantau perkembangannya.
Tanaman yang diteliti dan dikembangkan budidayanya di laboratorium nantiya
akan dipindahkan ke Cagar Alam Hijau agar dapat tumbuh bebas di alam. Bu Silvi
selalu berharap spesies langka yang ada di alam Indonesia dapat lestari.
Dokter Gigi
Kak Oka bekerja sebagai dokter gigi di rumah sakit. Hari ini ia menerima sejumlah
pasien, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Para pasien itu datang untuk
mendapatkan berbagai layanan kesehatan gigi, seperti pemeriksaan rutin dan
perawatan gigi bermasalah (misalnya berlubang). Beberapa pasien merasa tegang
ketika harus memeriksakan atau mengonsultasikan kesehatan giginya pada Kak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
Oka. Namun, Kak Oka tetap melakukan tindakan medis yang diperlukan sesuai
kondisi pasien, serta memberikan imbauan untuk selalu merawat gigi. Kak Oka
gembira menjalankan tugasnya sebagai dokter gigi dan berharap orang-orang lebih
memperhatikan kesehatan gigi.
Jaksa
Pak Haris adalah seorang jaksa. Di persidangan, tugasnya adalah membuktikan
kesalahan terdakwa. Kini, ia tengah menangani kasus korupsi. Pak Haris dibantu
oleh para penyidik polisi yang mengumpulkan bukti-bukti. Dari dokumen yang ia
terima, tersangka diduga menggelapkan uang bantuan untuk rakyat miskin. Di
persidangan, Pak Haris menyampaikan kesalahan terdakwa dalam surat dakwaan.
Terdakwa membantah itu semua melalui pengacaranya. Namun, Pak Haris
menghadirkan seorang saksi bernama Pak Iyan yang menjadi bawahan terdakwa di
tempat kerja. Pak Haris juga memutar sebuah rekaman percakapan (hasil
penyadapan penyidik) di mana terdakwa meminta Pak Iyan menutupi
perbuatannya. Di penghujung sidang, hakim memutuskan bahwa terdakwa terbukti
bersalah karena melakukan korupsi. Hukuman dijatuhkan sesuai tuntutan jaksa dan
terdakwa juga harus membayar ganti rugi pada negara. Sidang selesai dengan
lancar. Pak Haris tahu ia harus menangani banyak kasus lainnya. Ia akan berjuang
membela kebenaran dan keadilan.
Akuntan
Kak Tara bekerja sebagai akuntan di sebuah kantor akuntan publik. Kantornya
menyediakan jasa di bidang keuangan, dengan melakukan audit, membuat atau
memperbaiki laporan keuangan, memberi konsultasi keuangan, dan lain-lain. Jasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
kantornya diperlukan oleh banyak perusahaan demi kelangsungan usaha mereka,
di antaranya perusahaan properti, produsen es krim dan cokelat, serta restoran
terkenal. Kak Tara membantu mereka dalam berbagai hal, misalnya memberi
nasihat untuk pengelolaan keuangan, menganalisis laporan keuangan, dan
menghitung jumlah pajak yang harus dibayar. Para klien itu amat berterima kasih
atas bantuan sang akuntan. Kak Tara senang bisa membantu orang lain lewat
kemampuan akuntansinya.
Pengacara
Bu Hana adalah seorang pengacara yang bekerja di kantor yang menyediakan jasa
bantuan hukum. Tugasnya sebagai pengacara adalah memberi nasihat atau
mewakili orang yang terlibat dalam kasus hukum sebab tidak semua orang mengerti
istilah dalam dunia hukum. Kasus menarik yang kini menarik perhatian Bu Hana
adalah Nenek Ara yang dituduh mencuri sekantong wortel dari sebuah kebun.
Nenek Ara menangis karena bingung, ia tidak punya uang untuk menyewa
pengacara, padahal ia ingin membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Bu Hana,
yang kerap menangani kasus para artis atau pejabat ternama, memutuskan untuk
membantu Nenek Ara secara cuma-cuma. Dengan bantuan teman-temannya di
kantor, Bu Hana mengumpulkan informasi untuk menyusun pembelaan. Di hari
persidangan, jaksa menunjukkan bukti sekantong wortel yang menurut Pak Toni,
pemilik kebun, berasal dari kebunnya. Bu Hana menanyai saksi dari pihak penuntut;
pegawai kebun Pak Toni itu mengaku melihat Nenek Ara lewat di kebun dengan
sekantong wortel. Bu Hana lanjut menanyai Nenek Ara. Nenek Ara mengaku saat itu
ia dari pasar sayur saat melewati kebun Pak Toni. Wortel itu dibelinya di pasar. Pak
Toni menuduh Nenek Ara berbohong. Bu Hana lalu menghadirkan saksi dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
pihaknya, yakni Pak Adin, salah seorang pedagang sayur di pasar. Pak Adin
menyatakan bahwa ialah yang menjual wortel kepada Nenek Ara. Ketika itu Nenek
Ara hanya ingin membeli satu wortel, namun karena tokonya sudah mau tutup, Pak
Adin memberikan sekantong wortel yang tersisa meski Nenek Ara hanya sanggup
membayar seharga satu wortel. Nenek Ara dinyatakan tidak bersalah oleh hakim. Ia
sangat berterima kasih kepada Bu Hana. Bu Hana berjanji akan memperjuangkan
keadilan untuk orang-orang seperti Nenek Ara.
Asyiknya Menjadi Astronaut
Kak Alfa ialah seorang astronaut yang mendapatkan misi untuk berangkat ke bulan.
Sebelum menjadi astronaut, ia harus mengikuti serangkaian seleksi melalui tes
akademik dan tes kesehatan. Ia dinyatakan lulus tes dan harus mengikuti pelatihan
lanjutan. Pelatihan ini mencakup pelajaran ilmu pengetahuan dasar dan lain-lain,
misalnya matematika, astronomi, dan meteorologi. Selain itu, ada pula pelatihan
bertahan hidup di darat dan air. Setelah melalui proses panjang, ia terpilih jadi
astronaut bersama dua orang lainnya. Misi mereka adalah mengambil batuan dari
bulan untuk penelitian geologi. Mereka berangkat ke bulan. Meski penerbangan itu
tidak nyaman, mereka tidak merasakan sakit karena sudah mengikuti berbagai
pelatihan dan mengenakan pakaian yang aman. Setibanya di bulan, Kak Alfa dan
timnya memasang bendera Indonesia di bulan. Lalu mengambil batuan yang
dibutuhkan untuk penelitian. Selepas itu, mereka kembali ke bumi.
Asyiknya Menjadi Sutradara
Kak Delis ialah seorang sutradara berpengalaman. Kali ini ia akan membuat sebuah
film petualangan untuk anak-anak. Ia mempelajari naskah skenario film secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
cermat, lalu membahasnya bersama produser dan divisi lain dalam rumah produksi.
Ia memilih kru, dilanjutkan dengan audisi pemain. Para pemain terpilih harus
menjalani latihan khusus untuk mengenal tokoh yang diperankan. Kak Delis akan
mengevaluasi penampilan para pemain. Selanjutnya, ia harus memutuskan lokasi
pengambilan gambar bersama penata fotografi, penata artistik, dan penata suara.
Kak Delis kemudian membuat sebuah papan cerita yang memuat sketsa sederhana
tiap adegan. Papan cerita inilah yang menjadi panduan para kru produksi film.
Proses pengambilan gambar dimulai. Para pemain berakting sesuai arahan
sutradara. Setelah pengambilan gambar selesai, materi itu diserahkan kepada
penata musik dan editor agar menjadi sebuah film yang utuh dan sesuai dengan
skenario. Film itu lalu tayang di bioskop, ditonton oleh anak-anak dan keluarga. Film
tersebut juga mengantarkan Kak Delis menjadi sutradara terbaik dalam sebuah
acara penghargaan.
Asyiknya Menjadi Presiden
Presiden Indonesia bernama Pak Arya. Ia dipilih melalui pemilu secara langsung
oleh rakyat. Saat dilantik, ia mengucapkan sumpah dan janji presiden. Ia harus
menjalankan kewajiban sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Pak Arya
tinggal di Istana Negara; di sana ia memiliki Ruang Kerja. Pekerjaannya mencakup
menandatangani surat-surat penting, menerima kabar tentang negara yang
dipimpinnya dan dunia dari para staf khusus, sekretaris, dan ajudannya. Selain itu,
Pak Arya juga kerap kali menerima kunjungan kenegaraan dari pejabat pemerintah
negara lain untuk membicarakan berbagai hal. Di sela-sela tugas itu, ia juga
menyempatkan melihat berita yang beredar di internet. Suatu kali ia menemukan
surat seorang anak yang ditujukan padanya melalui sebuah foto dan disebarkan di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
media sosial. Anak itu mengeluhkan kondisi kampungnya yang terkena bencana
gunung meletus. Rumah mereka hancur, sehingga orang-orang harus mengungsi.
Pak Arya lekas memerintahkan BNPB untuk bertindak lebih cepat membantu
korban. Pak Arya juga melakukan kunjungan langsung ke daerah bencana; di sana ia
membicarakan keinginan agar pengungsian dibuat lebih layak kepada gubernur
daerah tersebut. Ia akhirnya bertemu dengan anak yang menulis surat tersebut. Pak
Arya berjanji akan bekerja lebih keras agar rakyat lebih sejahtera dan anak-anak
Indonesia bahagia.
Asyiknya Menjadi Perawat
Kak Dalia, seorang perawat yang bekerja di rumah sakit, hari ini mendapat giliran
piket siang. Tugas para perawat di pagi hari adalah mengecek kondisi para pasien
rawat inap. Kak Dalia selalu ramah pada pasien yang ditanganinya. Pekerjaannya
meliputi memeriksa aliran dan mengganti botol infus, memeriksa tekanan darah,
serta mengingatkan pasien agar makan yang baik dan minum obat. Ia akan
melaporkan kondisi pasien kepada dokter. Tiba-tiba terjadi keriuhan; datang
seorang pasien anak yang menangis keras karena perutnya amat sakit. Sembari
menunggu dokter, Kak Dalia menenangkan Riyo, si pasien anak itu. Setelah
diperiksa dokter, Riyo dinyatakan terkena gejala usus buntu dan mungkin akan
perlu menjalani operasi. Ibu Riyo sedih, namun Kak Dalia menghiburnya dan
berjanji akan membantu perawatan Riyo. Beberapa hari kemudian, Kak Dalia
bertemu lagi dengan Riyo yang telah menjalani operasi. Selama masa pemulihan,
Riyo dirawat oleh Kak Dalia serta terlihat berangsur sehat dan ceria.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
Asyiknya Menjadi Tentara
Kak Riga ialah seorang anggota TNI. Tugasnya adalah menjaga negara dan
melindungi rakyat Indonesia dari bahaya. Ia senang jika orang-orang dapat bekerja
dengan tenang dan aman. Kegiatan keseharian Kak Riga meliputi latihan ketahanan
tubuh rutin agar selalu sehat dan siap bertugas, latihan baris-berbaris agar lebih
disiplin dan kompak, serta latihan halang rintang agar makin tangkas dan cekatan. Ia
dilantik menjadi Bintara dan mengenakan tanda kepangkatan di seragamnya.
Karena harus selalu siaga dan patuh pada panggilan tugas, ia juga harus berpisah
dari orang tuanya saat menerima surat tugas untuk berjaga di perbatasan Indonesia
dan Malaysia. Sembilan bulan lamanya ia akan menjalankan tugas tersebut. Kak
Riga tiba di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat. Tugasnya adalah menjaga garis
perbatasan negara. Para tentara berkenalan dan harus menjalin hubungan baik
dengan warga sekitar. Mereka tinggal di sebuah pos jaga yang dilengkapi dengan
helipad. Di sisi lain garis batas negara juga ada para tentara Malaysia yang berjaga.
Setiap hari para tentara harus mengikuti upacara bendera. Kak Riga bertekad
menjalankan tugasnya melindungi rakyat Indonesia dengan segenap jiwa dan raga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI