Upload
hermien-triyowati
View
47
Download
0
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
MENUJU PEMBANGUNAN EKONOMI LOKAL BERKELANJUTAN
suatu kajian literature atas peran
U.M.K.M. Dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia
Oleh: Hermien Triyowati
Abstract
This paper summarizes the roles of Micro and Small Medium Enterprises (MSMEs) in eradicate poverty, toward Local Economic Development Sustainable – as a case study in Indonesia. This paper seeks to (a) understand what is the MSMEs concepts and the roles of MSMEs in Indonesia - compared with the Local Economic Development concepts, (b) describe the role of Local Economic Development in order to achieve poverty alleviation, (c) informing some comprehensive program and projects which better be conducted by MSMEs to reach the main goal of Local Economic Development: eradicate poverty. As a relatively new literature overview, the paper thus grapples with the many research or empiric experience conducted by experts - some time ago, and concludes with three main key in execution of MSMEs - that is: Focus, Localize, and Partner in order to achieve Sustainable Livelihoods Business (Pro Poor Business).Keyword: Micro and Small Medium Enterprises, Local Economic Development, poverty alleviation, Sustainable Livelihoods Business
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Secara keseluruhan, permasalahan nasional Indonesia yang sampai saat ini
masih juga belum terselesaikan adalah, masih tingginya angka pengangguran dan
kemiskinan, perkembangan ekspor yang lambat, lemahnya sektor infrastruktur,
kemampuan di bidang penguasaan teknologi yang jauh tertinggal dibandingkan
negara-negara Asia lainnya, investasi yang masih rendah dan belum banyak
menciptakan lapangan kerja, iklim bisnis yang belum kondusif, dimana ini ditambah
lagi dengan berbagai masalah sosial-politik, terkait dengan reformasi dan otonomi
daerah yang belum jelas arahnya. Semua ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia seperti terjebak pada situasi yang stagnan atau jalan ditempat, yang seolah-
olah tidak ada jalan keluarnya.
Sementara itu, dari sisi perkembangan industri, berbagai masalah pokok yang
sedang dihadapi sektor industri Indonesia, menurut KPIN 20031], adalah 1)
ketergantungan yang tinggi terhadap impor baik impor bahan baku, bahan pembantu,
barang setengah jadi maupun komponen; 2) keterkaitan antara berbagai sektor industri
yang relatif masih lemah; 3) struktur industri yang hanya didominasi oleh beberapa
cabang industri; 4) ekspor produk didominasi oleh beberapa cabang industri; 5) lebih
dari 60% kegiatan sektor industri terletak di Pulau Jawa; dan 6) masih lemahnya
peranan kelompok industri atau usaha kecil dan menengah (UKM) dalam sektor
perekonomian.
Anggapan bahwa peranan kelompok UKM pada perekonomian Indonesia
masih lemah atau rendah, ditolak oleh Tobing, Elias L, dari KADIN, 20012], yang
mengatakan bahwa sumbangan sektor usaha mikro, usaha kecil dan menengah
(UMKM) atau Micro and Small Medium Enterprises (MSMEs) terhadap total PDRB
nasional, mencapai sekitar 67%, sedangkan kemampuan penyerapan tenaga kerja
sebesar 97% dari total angkatan kerja. Jumlah UMKM ini ada sekitar 40 juta unit
usaha yang tersebar di seluruh Indonesia dan sebagian besar diantaranya hidup dan
tumbuh secara mandiri tanpa dukungan dana dari perbankan atau pemerintah, karena
’tidak tahu’ cara mengajukan kredit untuk menambah permodalan usaha. Selain itu,
menurutnya, selama ini pemerintah belum berpihak terhadap UMKM meskipun
sudah terbukti memberikan kontribusi besar pada negara. Karena itu, untuk
pengembangan dan pemberdayaan UMKM menjadi pelaku usaha yang lebih besar,
diperlukan reformasi kebijakan yang menyangkut peran pemerintah, serta
konsistensi pelaksanaan kebijakan dan peningkatan hubungan koordinasi antara
organisasi pemerintah dan non-pemerintah2].
Pernyataan Tobing ini, diperkuat oleh Hassan, Asnawi dari Asian Pacific
Forum (APF), 20013], yang mengatakan bahwa, khususnya untuk sektor usaha mikro
(micro business), hanya dengan modal seadanya mampu menyumbang pembentukan
PDB Indonesia sampai mencapai 30%. Sektor usaha ini memiliki peran penting dalam
kegiatan ekonomi masyarakat, yaitu sebagai instrumen untuk peningkatan
pendapatan, sekaligus mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Selain
itu sektor ini merupakan sektor yang sangat potensial sebagai sumber pendapatan asli
daerah (PAD), karena selama ini mereka selalu membayar pungutan resmi, namun
1
tidak masuk dalam catatan negara, karena ’salah’ masuk ke kantong oknum. Jumlah
usaha mikro ini sangat besar dan mengalami pertumbuhan pesat dengan kegiatan
usahanya yang sangat heterogen, dimana 70% bergerak di bidang perdagangan dan
30% bergerak di bidang usaha manufaktur3].
Selanjutnya, secara umum, permasalahan kemiskinan pada suatu negara harus
menjadi tujuan dari Pembangunan Nasional. Ini seperti dikatakan oleh Peter
Twosend’s, 20044], bahwa:
‘Economic development’ describes a basket of activities undertaken by central and
local government which have the common goals developing local economies and
creating employment; As a set of policies, economic development is sold as being
able to benefit everyone, socially, environmentally and financially. In particular, its
advocates have suggested that it represents the only realistic way of tackling pockets
of urban poverty and deprivation in the long term’.
Berkaitan dengan hal ini, pemerintah melalui Menko Perekonomian (2003)5],
menyusun program kerja nasional yang secara garis besar mencakup berbagai hal,
sebagai berikut:
1. Poverty alleviation and fulfilling basic needs
2. SME capacity building and development
3. Maintain economic and financial stability
4. Enhance global competitiveness
5. Promote investment
6. Strengthening infrastructures to support economic development
7. Sustainable development of Indonesia’s rich natural resources
Beberapa program kerja tersebut, menjadi sangat istimewa karena disusun dalam
rangka merespon berbagai nada sumbang dari kalangan pemerhati dan praktisi
UMKM atas sikap pemerintah selama ini, serta juga disusun berkaitan dengan usaha
pencapaian komitmen atas 8 (delapan) butir Tujuan Pembangunan Millenium
(Millennium Development Goals = MDG’s), yang dirumuskan pada pertemuan
puncak dunia di Rio De Janero, tahun 2000, dimana Indonesia merupakan salah satu
penandatangan deklarasi tersebut.
2
Salah satu butir dari Tujuan Pembangunan Millenium adalah, Eradicate
Extreme Poverty and Hunger, yang meliputi komitmen ‘global’ spesifik untuk
mengurangi setengah proporsi dari penduduk miskin ’ekstrim’ dunia (penduduk
dengan pendapatan percapita kurang dari US$1 per hari) sampai dengan tahun 2015.
(UNDP 20056]). Berdasarkan hal ini, pemerintah Indonesia bertekad mencapai
MDG’s sesuai target, dengan cara bekerja keras dan menjalin kerja sama erat dengan
semua pihak, baik warga negara, sektor swasta, pemerintah sesama negara
berkembang maupun komunitas donor/kreditor (Sri Mulyani, 20057]). Tekad
pencapaian MDG’s ini dipertegas pemerintah dengan menetapkan arah Kebijakan
RAPBN 20078], yaitu ’upaya menstimulasi perekonomian melalui: Pro Growth,
Employment Creation, dan Poverty Alleviation, disertai dengan peningkatan capacity
building dan pelayanan publik.
Keinginan mewujudkan berbagai kebijakan tersebut, juga didukung oleh upaya
pemerintah memperkuat pembangunan daerah melalui perwujudan dan implementasi
kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah berdasarkan UURI no 22 & no 25 tahun
1999. Beberapa hal yang mendasar pada UURI tersebut, menurut Mardiasmo, 20029],
adalah kuatnya upaya untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan
prakarsa dan kreativitas masyarakat, peningkatan peran serta masyarakat, dan
pengembangan peran dan fungsi DPRD. Pendapat Mardiasmo ini, sesuai dengan
pernyataan dari DFID, 200310], yang mengatakan bahwa:
’Local economic development is the process by which public, business and non-
governmental sector partners work collectively to create better conditions for
economic growth and employment generation’.
Selain itu, pembangunan ekonomi juga dipengaruhi oleh sifat dan karakteristik
masing-masing daerah, yang memiliki kelebihan dan kekurangan, dimana ini terkait
dengan ketersediaan sumberdaya alam dan energi, agama, budaya sosial atau adat
istiadat, dan lain-lain. Berbagai kondisi ini tentu saja juga harus merupakan bahan
pemikiran yang tidak boleh diabaikan. Berkaitan dengan kondisi, situasi dan keunikan
suatu daerah, Blakely Edward, 200211], mengatakan bahwa:
‘Each community has unique local conditions that can help or hinder its economic
development. These local attributes will form the basis for designing and implementing
3
a local economic development strategy’. In so far, practicing local economic
development means working directly to build up the economic strength of a local area
to improve its economic future and the quality of life of its inhabitants’.
Tujuan Studi dan Permasalahan
Dengan memperhatikan berbagai pernyataan, maka jelaslah bahwa suatu
kelompok masyarakat memiliki kondisi unik, berupa atribut-atribut lokal yang bisa
menjadi basis atau dasar untuk merancang dan mengimplementasikan strategi
pembangunan ekonomi lokal. Dalam pelaksanaannya diperlukan adanya kolaborasi
atau kerjasama diantara para aktor pembangunan dan pemerintah lokal. Atribut-atribut
lokal ini, bisa diterjemahkan sebagai potensi daerah baik dari sisi sumber daya alam
maupun sumberdaya manusianya yang antara lain berupa kemampuan kewirausahaan
dari kelompok masyarakat yang diperoleh karena bakat alami, kebiasaan turun
temurun, adat istiadat, dan atau karena sebab lain yang bisa berasal dari keterpaksaan
untuk mempertahankan hidup atau survival. Berdasarkan potensi SDA dan SDM ini
akan terbentuk kelompok-kelompok kegiatan usaha, dimulai dari usaha mikro, usaha
kecil dan usaha menengah (UMKM), yang banyak tersebar diseluruh wilayah
Indonesia.
Berkaitan dengan apa yang disampaikan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk
melakukan kajian literature secara teoritis dan empiris – berdasarkan teori dan hasil
studi empiris sebelumnya, meliputi kajian terhadap peran UMKM, peran pemerintah
(daerah), peran sektor swasta dan dampaknya terhadap penurunan kemiskinan di
Indonesia, dalam konteks ’Sustainable Local Economic Development’,
Hasil yang Diharapkan.
Melalui kajian ini, diharapkan adanya pemahaman dan kejelasan berkaitan dengan
UMKM dan pembangunan ekonomi lokal, yang dideskripsikan sebagai berikut:
1. Memberikan pemahaman atas arti dan makna dari pembangunan ekonomi lokal
berkelanjutan, yang merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah lokal,
masyarakat umum dan para aktor pembangunan, khususnya dalam kaitan
pentingnya proses kolaborasi diantara sesama stakeholder dan shareholder.
4
2. Menginformasikan kebenaran atas peran dan kinerja UMKM, dari sudut pandang
pemerintah, pelaku usaha dan stakeholder terkait lainnya.
3. Dapat digunakan pemerintah sebagai acuan untuk melakukan perbaikan dan
pengembangan berbagai kebijakan UMKM, maupun dalam implementasinya.
4. Dapat digunakan sebagai acuan oleh pelaku usaha, stakeholder terkait maupun
masyarakat umum, yang tertarik untuk melakukan investasi dalam rangka
pengembangan sektor UMKM menuju sustainable livelyhood business.
5. Dengan munculnya berbagai inisiatif pengembangan UMKM, secara keseluruhan
akan dapat mewujudkan pembangunan ekonomi lokal berkelanjutan – dengan
tujuan utama penurunan kemiskinan.
II. LANDASAN TEORITIS
1. Usaha Mikro – Kecil dan Menengah: Definisi dan Peran
Usaha mikro adalah usaha skala rumah tangga yang dimiliki perorangan,
menggunakan tenaga kerja sedikit, tidak terdaftar dan diluar cakupan kredit formal.
Usaha mikro, bukan merupakan sektor formal dan juga bukan sektor pemerintah atau
sektor usaha swasta yang resmi diakui, dibina, atau diatur oleh pemerintah. Selain itu
usaha mikro umumnya memiliki jaringan terbatas, pengetahuan dan ketrampilan
kurang memadai, dikelola dengan gaya perorangan: pola kegiatan yang kurang
teratur, serta produk dan kualitas produk yang sederhana. Namun dari sisi lain, etos
kerja dan kewirausahaan cukup baik bercirikan pekerja keras, rajin, tabah, ulet,
serta hemat. Dengan kata lain, sektor ini ’sangat potensial’ sebagai persemaian
tumbuhnya jiwa kewirausahaan karena tingkat persaingan usaha yang cukup keras.
Karena itu, untuk membangkitkan usaha mikro, diperlukan adanya strategi
pengembangan SDM pelaku usaha mikro, penyediaan fasilitas operasional,
peningkatan akses terhadap kredit, pengembangan hubungan dengan sektor informal,
pengembangan pemasaran produk, kerja penelitian dan pengembangan, optimalisasi
peran Lembaga Swadaya Masyarakat, serta peningkatan hubungan Internasional.1].
ILO, World Bank, 200112], menyatakan bahwa dinegara berkembang usaha
mikro mempunyai karakteristik, dimana memiliki maksimal 10 orang pekerja,
berskala kecil, menggunakan teknologi sederhana, aset minim, kemampuan
5
manajerial rendah, dan tidak membayar pajak. Selain itu, usaha mikro juga
merupakan usaha gabungan (partnership) atau usaha keluarga dan sering merupakan
usaha tingkat survival (survival level activities), yang kebutuhan keuangannya
dipenuhi oleh tabungan dan pinjaman berskala kecil.
Disisi lain, ESCAP, 199613], mendefinisikan istilah ‘Informal Sector’, sebagai
bagian dari suatu sektor ekonomi yang tidak berada dibawah kegiatan ekonomi
terorganisir. Sektor ini biasanya lahir sebagai dampak dari resesi atau krisis ekonomi
yang dialami suatu negara, dimana sebagian besar komunitas SDM berkualitas yang
ter PHK, dihadapkan pada pilihan antara menganggur atau bekerja disektor ‘inferior’
yang dikenal sebagai sektor informal. Fenomena ini menandakan munculnya
pertumbuhan ekonomi yang merata (economic growth with equity) yang seiring
dengan pemberantasan kemiskinan (eradicate poverty). Berdasarkan ‘background’
ini, maka ESCAP menyatakan sektor informal sebagai unsur penting dalam kerangka
perlindungan sosial (an important element of the social protection framework).
Berdasarkan hal ini, ESCAP mencirikan berbagai karakteristik sektor informal,
sebagai berikut:
Ease of entry;
Reliance on indigenous resources;
Family ownership of enterprises;
The small scale of operation;
Labor - intensive and adapted technology;
Skills acquired outside the formal school system;
Unregulated and competitive markets.
Units work outside the formal administrative networks that cover the formal
sector;
A relatively low level of capital requirement.
Menyimak berbagai penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa wacana yang
nampak pada sektor informal adalah usaha-usaha mikro, dengan kata lain yang
mengisi sektor informal adalah usaha atau bisnis mikro, sehingga secara sederhana
dapat dikatakan bahwa usaha mikro termasuk pada kategori sektor informal.
Selanjutnya, definisi Usaha Kecil menurut Bank Indonesia, 199714], adalah
usaha dengan kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan
6
bangunan tempat usaha), atau usaha yang memiliki hasil penjualan tahunan paling
banyak Rp. 1 M, dimiliki oleh WNI dan berdiri sendiri. Menurutnya Usaha Kecil
banyak memberikan andil dan menduduki peran strategis dalam pembangunan
nasional, terutama dilihat dari potensinya dalam memanfaatkan SDA maupun SDM,
serta upaya mewujudkan pemerataan pendapatan, namun kegiatan Usaha Kecil pada
umumnya masih sulit untuk berkembang dikarenakan beberapa keterbatasan, seperti
permodalan, pemasaran, teknologi produksi dan kualitas SDM nya.
Lebih jauh, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995,
menyatakan definisi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) adalah kegiatan ekonomi
rakyat yang memenuhi kriteria kekayaan bersih/penjualan tahunan serta kepemilikan
sebagaimana diatur oleh undang-undang. UKM merupakan perusahaan yang berdiri
sendiri, bukan anak perusahaan atau cabang perusahaan. Bentuk UKM merupakan
perusahaan perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum atau badan
usaha yang berbadan hukum. Sementara itu, Musselman & Jhon, 198915]
menjelaskan beberapa kelemahan UKM, antara lain terbatasnya sumber daya
modal, keahlian manajemen dan informasi bisnis, pertumbuhan lambat yang mengacu
pada intuisi dan ambisi pengelola, lemah dalam promosi, resiko dan hutang
ditanggung oleh pemilik, tidak memiliki rencana jangka panjang, tidak mempedulikan
prinsip-prinsip managerial dan penelitian pengembangan yang diperlukan suatu
aktivitas bisnis. Namun beberapa keunggulan yang dimilki UKM adalah, tidak butuh
modal besar, adanya keluwesan dalam struktur usaha, diversifikasi usaha terbuka luas,
pasar tergali melalui kreativitas pengelola, pemilik menerima seluruh keuntungan,
prosedur hukum sederhana, proses pendirian / pembubaran mudah, pajak relatif
ringan, biaya overhead rendah, dan mampu bertahan dalam menghadapi kelesuan
ekonomi.
Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa usaha mikro
ataupun usaha kecil dan menengah mempunyai karakteristik yang hampir sama,
kecuali dalam segi permodalan yang sedikit ada perbedaan dan pada status legalitas
yang mengkategorikan usaha-usaha ini termasuk sektor formal atau informal.
Karakteristik yang sama terlihat baik dari segi kepemilikan, pengelolaan, pemasaran
dan kualitas SDM, maupun keandalan dalam bertahan menghadapi perekonomian
yang lesu. Berkaitan dengan hal ini, usaha-usaha tersebut sering dikelompokkan
7
sehingga timbul istilah Micro and Small Medium Entreprises (MSMEs) atau usaha
mikro, usaha kecil dan menengah (UMKM)
Berkaitan dengan UMKM ini, World Bank, 200316], menyatakan bahwa ‘…
local governments and other local stakeholders realized that highly mobile capital
was moving between jurisdictions (micro business and SME’s). By actively examining
their economic base, understanding obstacles to growth and investment, and by
strategically planning programs and projects to remove obstacles and facilitate
investment, communities sought to grow their economic and employment base…’.
Secara ringkas, dengan memperhatikan beberapa penjelasan ini, maka dapat dibuat
beberapa kesimpulan umum tentang UMKM, yakni:
UMKM adalah merupakan usaha ekonomi lokal, berbasis pada ketrampilan dan
kreativitas komunitas, merupakan usaha tidak berbadan hukum (informal) atau
usaha berbadan hukum.
UMKM muncul berkaitan dengan keinginan untuk ’survival’, karena itu
mempunyai etos kerja dan kewirausahaan cukup baik dan memiliki potensi kuat
atas tumbuhnya jiwa kewirausahaan.
Dari rangkaian kegiatan UMKM, disadari adanya mobilitas capital yang sangat
tinggi terjadi, karena itu penanganan yang baik dan profesional terhadap jenis-
jenis usaha ini, akan memberikan kontribusi tinggi terhadap masalah ketenaga-
kerjaan dan peningkatan pendapatan, yang pada gilirannya akan mengentaskan
kemiskinan.
Semakin menjamurnya UMKM, mengindikasikan kecenderungan pertumbuhan
ekonomi yang adil dan merata (economic growth with equity), yang seiring
dengan pemberantasan kemiskinan (eradicate poverty).
Berdasarkan berbagai ciri khas ini, maka UMKM adalah merupakan core business
atau ’industri target’ yang sangat cocok atau tepat untuk dikembangkan dalam
konteks sustainable local economic development.
2. Pembangunan Ekonomi Lokal dan UMKM
Definisi Local Economic Development menurut World Bank, 200316], adalah:
8
‘the process by which public, business and non-governmental sector partners work
collectively to create better conditions for economic growth and employment
generation. The aim is to improve the quality of life for all”.
Pernyataan ini dipertegas oleh Blakely11], yang mengatakan pembangunan
ekonomi lokal, adalah proses dimana pemerintah daerah atau organisasi berbasis
masyarakat berupaya untuk merangsang atau mempertahankan kegiatan bisnis dan
merangsang terciptanya kesempatan kerja lokal dalam sektor yang meningkatkan
pendapatan masyarakat, menggunakan Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam
dan kelembagaan lokal.
Berkaitan dengan kedua pernyataan tersebut, Sandell Adam, 199617],
mengatakan bahwa ’pembangunan ekonomi’ menguraikan berbagai aktivitas yang
dikerjakan pemerintah pusat dan lokal, mempunyai tujuan umum mengembangkan
ekonomi lokal dan menciptakan kesempatan kerja. Sebagai ‘satuan’ kebijakan,
pembangunan ekonomi dimaksudkan sebagai suatu tindakan yang mampu memberi
manfaat bagi semua orang, sosial, lingkungan dan keuangan. Khususnya dalam hal
memberikan dukungan usulan (pada siapa saja yang datang dari berbagi suku / etnis
atau dari semua bendera pada spektrum politis) bahwa ini adalah satu-satunya cara
yang realistis untuk ’mentackle saku’ dari kemiskinan karena kerugian / perampasan
hak sosial dalam jangka panjang.
Selain itu, World Bank16], juga menyatakan bahwa mempraktekkan atau
mengimplementasikan Local Economic Development berarti bekerja secara langsung
membangun kekuatan ekonomi lokal dari suatu wilayah untuk memperbaiki ekonomi
tersebut dan kualitas hidup masyarakat dimasa depan. Kesuksesan dari komunitas
tersebut hari ini, tergantung pada seberapa besar mereka bisa mengadaptasi perubahan
cepat dari lingkungan pasar nasional maupun internasional.
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, CIDA, 200318], menjelaskan
hubungan antara pembangunan ekonomi lokal dengan MSMEs. CIDA mengatakan
bahwa tujuan menurunkan jumlah penduduk miskin, akan dapat dicapai melalui
konsentrasi terhadap 2 (dua) sasaran kunci pembangunan, yaitu:
1. Improving governance, particularly in the area of decentralization.
9
2. Providing sustainable economic opportunities for the poor, or those most
vulnerable to poverty, through a focus on the management of natural resources
and on measures to improve job creation by micro - small and medium-sized
enterprises (MSMEs)
Penjelasan CIDA ini menuntut adanya ’perbaikan’ terhadap pengelolaan
pembangunan lokal khususnya di era desentralisasi, yang diikuti oleh penyediaan
peluang bisnis berkelanjutan untuk masyarakat miskin atau masyarakat yang rentan
terhadap kemiskinan, dengan berfokus pada manajemen sumber daya (SDA atau
SDM) dan tindakan untuk memperbaiki kreativitas kerja UMKM.
Penjelasan CIDA ini seiring dengan konsep UNDP Executive Board, 200319], tentang
Decentralized Governance for Development (DGD). Ia menyatakan bahwa:
‘DGD comprises empowering of sub-national levels of society to ensure that local
people participate in, and benefit from their own governance institutions and
development services’.
Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan keterkaitan antara pembangunan
ekonomi lokal dengan UMKM, sebagai berikut:
1) Pembangunan ekonomi lokal harus dilakukan dan diarahkan dengan
membangkitkan bisnis berbasis kekuatan lokal (UMKM) yang mempunyai
prospek terbaik kedepan (dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan).
2) Pembangunan ekonomi lokal harus dilaksanakan dengan melibatkan peran serta
beberapa aktor pembangunan (pemerintah lokal, organisasi bisnis, organisasi
berbasis masyarakat, NGO dan investor / donatur).
3) Pembangunan ekonomi lokal harus terbuka bagi semua kelompok komunitas yang
tertarik dan ingin berperan dalam pembangunan, khususnya pemberian peluang
untuk masyarakat miskin baik yang tergabung dalam UMKM atau peluang
penciptaan UMKM baru.
4) Pembangunan ekonomi lokal harus memanfaatkan dengan mengelola secara baik
SDA, SDM dan kelembagaan lokal yang akan memfasilitasi dan mendukung
pembangunan ekonomi lokal, misalnya dalam hal penyediaan infrastruktur,
penyediaan fasilitas dalam rangka capacity & capability building, dan berbagai
kemudahan akses yang berkaitan dengan basic needs masyarakat.
10
5) Hasil akhir yang diharapkan dicapai dalam pembangunan ekonomi lokal, adalah
berkembangnya bisnis masyarakat, yang akan meningkatkan kesempatan kerja
dan pendapatan masyarakat lokal secara berkelanjutan, dimana ini sekaligus
seiring dengan menurunnya kemiskinan dimasyarakat.
Selanjutnya Blakely11], menyampaikan beberapa corak (feature) penting yang harus
diperhatikan oleh para perencana pembangunan, sebagai berikut:
1. Targeting Zones of Action.
Gagasan ini adalah mengenali geografi ketenaga-kerjaan dan tekanan
ekonomi. Ada perhatian atas kebutuhan akses sumber daya dan energi
langsung ke tempat spesifik, tanpa tergantung pada kebijakan sosial atau
ekonomi makro.
Program pembangunan ekonomi lokal (PEL) adalah mendisain campurtangan
ini pada tempat dan waktu yang tepat, mempengaruhi dan menempatkan
masyarakat tanpa tergantung pada batasan-batasan politis
2. Capacity Building.
Building Community - Level Institutions For Development:
Pada tempat yang relevan, dalam rangka mempromosikan pembangunan,
institusi dan organisasi dapat menghilangkan hambatan politis, sosial dan
ekonomi, yang terjadi di masyarakat maupun sektor swasta.. Institusi dan
masyarakat dapat mempengaruhi perubahan. Mandat mereka adalah
menempatkan modal yang diperlukan, disesuaikan dengan sumber daya yang
ada sebagai dasar untuk PEL.
Expanding Local Ownership:
Menciptakan bisnis baru atau kepemilikan masyarakat adalah penting sebab
perusahaan lokal membentuk basis untuk markas besar pengembangan, serta
menggunakan sumber daya lokal, baik SDM maupun modal phisik pada
operasional mereka.
3. Human Building.
Building Quality Jobs.
Menarik minat perusahaan tidak selalu setara dengan meningkatkan kondisi
masyarakat. Adalah penting untuk menentukan pekerjaan yang "cocok" bagi
11
penduduk lokal dengan menawarkan peluang meningkatkan ketrampilan ke
tingkatan kompetitif, baik pada saat ini maupun dimasa datang. Sebagai
intervensi pada sistem pasar, PEL dengan demikian meningkatkan potensi
yang menjamin keamanan pekerjaan, yang pada gilirannya akan menstabilkan
masyarakat baik secara ekonomi maupun secara sosial.
Linking Employment and Economic Development Policies and Programs:
Sumber daya publik dapat digunakan untuk meningkatkan mata rantai antara
pekerjaan yang tersedia dan tenaga kerja yang tersedia untuk pekerjaan. Tidak
akan pernah ada suatu match yang sempurna, tetapi disana dapat diperoleh
yang lebih baik.
4. Financial Building:
Public/Private Venturing
Baik di pemerintahan atau di lingkungan masyarakat - ada kombinasi antara
sumber daya keuangan sektor publik dan sektor swasta, ini akan menjadi
timbangan yang benar untuk mencapai sasaran hasil yang tidak bisa dicapai
sendirian.
Merging The Resources of The Social Welfare System:
Koreksi pengukuran mencoba menggabungkan kesejahteraan dan formasi
ketrampilan pekerjaan dalam proyek yang sama, sebagai contoh, penggunaan
pembayaran kesejahteraan sebagai upah, harus mendukung berbagai program
pembangunan ekonomi.
3. Kemitraan dan Peran Agen Pembangunan
Ridley, Nicholas, 198820], menyatakan bahwa, aktor kunci dalam
pembangunan ekonomi adalah ’pemerintah lokal’. Sebagai contoh, satu-satunya cara
mengembalikan kemakmuran pada sebagian kawasan industri, adalah dengan
meminta sektor swasta menanamkan modal untuk tujuan regenerasi dan memberikan
kesempatan kepada mereka yang ingin mencoba usaha baru. Otoritas pada pemerintah
lokal dapat memungkinkan ini terjadi melalui ’sikap’ dan ’tindakan’ mereka.
Pernyataan ini ditegaskan oleh World Bank16], yang mengatakan bahwa:
12
‘LED is thus a partnership between local government, business and community
interests. Local governments have an essential role in creating favorable
environments for business success and job creation’. In so far, because of each
community have unique local conditions that can help or hinder its economic
development, so in order to build a strong local economy, each community can
undertake a collaborative process to understand and act on its own strengths,
weaknesses, opportunities and threats (SWOT analysis) .
Kedua pernyataan ini menyiratkan adanya keterkaitan antara beberapa aktor
pembangunan yang merujuk pada keharusan adanya kemitraan diantara para
stakeholder yaitu: local government, private sectors, non governmental
organizations (NGO), community base organizations (CBO), donator/creditor,
shareholders, and expertise, yang disebut sebagai public-private partnership, yang
menurut Griffin, 198921], kemitraan ini harus menjadi ’dasar tanggapan’ pemerintah
lokal untuk terus meningkatkan perhatian pada berbagai masalah sosial utama. Selain
itu, dengan adanya proses kolaborasi diantara para stakeholder, akan dapat diketahui
kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dimiliki dan dihadapi oleh daerah.
Tanpa adanya kemitraan, pembangunan ekonomi lokal akan gagal karena pemerintah
lokal sendiri tidak memiliki kemampuan untuk menyusun strategi pembangunan
ekonomi lokal, maupun melaksanakannya.
Berdasarkan berbagai pendapat ini, maka pembangunan ekonomi lokal, bukan
hanya merupakan ’retorika pembangunan ekonomi baru’, melainkan pembangunan
yang memerlukan pergeseran peran fundamental dari para aktor pembangunan,
dimana menurut ARC-LEAP, 200422], antara lain membantu peningkatan kesempatan
kerja dan pendapatan penduduk lokal, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi –
mencakup hak memiliki dan mengembangkan bisnis yang ada, maupun bisnis baru.
Secara rinci, Blakely11], menyebutkan 4 (empat) peran aktor pembangunan, yaitu:
a) Sebagai Entrepreneur/Developer. Pada peran ini organisasi, terdiri dari
pemerintah lokal dan shareholder terkait (pengusaha, investor atau donatur), harus
bertanggung jawab penuh secara komersial atas operasionalisasi bisnis mereka.
13
b) Sebagai Coordinator. Pada peran ini pemerintah lokal dan beberapa stakeholder
terkait (community base organization, NGO), saling berkoordinasi dalam
menetapkan berbagai kebijakan strategi pembangunan pada beberapa wilayah.
c) Sebagai Facilitator. Pada peran ini pemerintah lokal dan para stakeholder,
menentukan promosi pembangunan terbaik yang meningkatkan kualitas
lingkungan di wilayahnya.
d) Sebagai Stimulator, pada peran ini, kelompok-kelompok organisasi dan
pemerintah lokal dapat menstimulate kreasi bisnis atau memperluas bisnis dengan
menciptakan cara-cara spesifik yang mendorong bisnis baru untuk masuk atau
menanamkan modal diwilayahnya.
4. Kemitraan dan Pro Poor Business.
Cochrane, 199223], mengatakan bahwa terdapat kaitan antara kesejahteraan
sosial, pertumbuhan, regenerasi dan kemitraan, dimana menurutnya
’...the language welfare has been replaced by the language growth, regeneration, and
public-private partnership, particularly in poorest community areas…’
Selain itu, menurut Cochrane, hubungan kemitraan ini akan memunculkan berbagai
prakarsa atau inisiatif pembangunan yang dikembangkan dan diarahkan dalam
bentuk investasi ke wilayah miskin, termasuk penggunaan dana publik sebagai 'pump-
prime’ menarik sektor swasta, menyediakan dana dan nasihat untuk prakarsa bisnis
baru, menyediakan pelatihan untuk para penganggur dan menciptakan zone dimana
bisnis diberi 'kemudahan' terhadap kewajiban pembayaran, perlakuan khusus bea
masuk dan keluar, dan penyederhanaan proses per-ijinan.
Khususnya berkaitan dengan dunia usaha, pemahaman atas ‘kemitraan’
menurut Mutis, 199524], adalah bahwa ‘kemitraan’ harus didasarkan pada
pembangunan semangat kebersamaan dalam dunia usaha yang disebut Collective
Entrepreunerial Development (CED), dimana dalam kewirausahaan kolektif,
keahlian individual diintegrasikan kedalam sebuah kelompok kemampuan kolektif
untuk melakukan inovasi menjadi sesuatu yang lebih besar daripada penjumlahan
bagian-bagiannya (penataan synergy). Selain itu, dalam kemitraan yang berproses
dikenal adanya lima (5) ragam mindset yaitu:
14
1. Redistribution with growth, ada pertumbuhan melalui pemerataan. Pada saat
bisnis bertumbuh, pemerataan juga berlangsung.
2. Ada mutual benefit serta win - win solution.
3. Adanya utilisasi dari sumberdaya, sumberdana dan sumber informasi secara lebih
berdaya guna (supaya tidak terjadi idle capacity).
4. Adanya transparansi (keterbukaan) dan semangat kesetaraan (isothyma)
5. Adanya penghayatan terhadap pain sharing, process sharing, dan profit sharing
berkelanjutan, dimana ini secara serentak menghilangkan free rider economy.
Kelima mindset ini, sejalan dengan yang disebut economic goals, yaitu growth,
income distribution, justum pretium, employment creation dan efficiency generating.
Pendapat Mutis ini, tidak jauh berbeda dengan konsep Pro Poor Business atau
Sustainable livelihoods (SL) Business dari WBCSD 200425], yang berkaitan dengan
public-private partnership - particularly in poorest community areas. Secara tegas
WBCSD mengatakan bahwa:
SL business is about spurring economic development and helping low-income
communities and families build more secure livelihoods.
SL business is distinct from charity or philanthropy. It is strictly business, new
business and new markets, business that benefits the poor and benefits the
company.
Yet the emphasis on business and profitability is important for several reasons. It
means that a company’s SL business becomes part of corporate mainstream
thinking and activities
Beberapa penjelasan tersebut menyatakan bahwa SL business adalah suatu model
pembangunan ekonomi membantu masyarakat miskin memperoleh mata pencarian
yang lebih menjamin. SL business adalah bisnis baru dan pasar baru, yang bermanfaat
baik bagi masyarakat miskin maupun perusahaan terkait, jadi bukan sekedar program
kedermawanan (charity). SL business juga memperhatikan kepentingan bisnis dan
profitabilitas perusahaan, artinya SL business juga menjadi bagian dari corporate
mainstream thinking and activities.
Selain itu, WBCSD25] juga mengatakan bahwa SL Business adalah win-win business
models, karena semua perusahaan dapat membantu merancang dan melaksanakan
15
model bisnis yang smart untuk menjawab tantangan ini, sekaligus memperoleh
manfaat dari kegiatan ini. Seperti disampaikan sebagai berikut:
‘All companies, regardless of their industry, can help stimulate local markets and
enable the poor to become active participants in these markets, as customers and
entrepreneurs. Designing clever business models to address this challenge will also
open new avenues of growth for the company’.
Berkaitan dengan hal ini, beberapa manfaat dari kerjasama dalam SL business
disampaikan pada table-1, dibawah ini:
Selanjutnya, salah satu tantangan terberat melakukan SL Business, adalah untuk
menciptakan suatu mindset pergeseran – kebutuhan fundamental yang harus
merangkul cara berpikir baru tentang bagaimana bisnis bisa dilaksanakan. Tantangan
inti ini juga termasuk pembiayaan dari kegiatan dan bagaimana mempergunakan
sumber daya yang tersedia secara baik. Dalam hal ini perusahaan perlu memikirkan
kembali bagaimana, dari siapa dan untuk siapa mereka menaikkan modal 25].
Pada dasarnya dalam rangka mencapai ‘sukses’, pelaksanaan SL Business harus
merefleksikan kombinasi antara Focus, Partner dan Localize (lihat Figure-1), sebagai
berikut.
FOCUS on core competencies: companies that concentrate on their key strengths
are better able to innovate around those strengths. This helps guarantee
consistency between the company’s portfolio of activities and the SL business, and
will make it easier to mainstream successful pro-poor business in the future.
16
Source: WBCSD, 2004
Table 1: Benefit for Companies and Communities
PARTNER across sectors: governments and NGOs are increasingly interested in
working with business. By involving development organizations that share similar
goals, companies can benefit from on-the-ground expertise and additional
resources. Likewise, thinking across sectors might lead to innovative partnerships
involving companies from different industries, addressing a bundle of needs
holistically.
LOCALIZE the value creation: companies operating in developing countries
often lack the usual infrastructure and support systems: market intelligence,
manufacturing capabilities, or distribution channels. So they have much to gain
from tapping into local networks and local knowledge.
Dari penjelasan tersebut, maka keterlibatan pemerintah, organisasi berbasis
masyarakat, NGO atau UMKM dalam SL Business, dalam rangka menuju kesuksesan
pelaksanaannya, harus memperhatikan beberapa hal, yakni:
1. Perusahaan/UMKM harus fokus dan tetap konsisten pada kemampuan inti serta
melakukan inovasi terhadap kemampuan inti yang menjadi kekuatannya dalam
bisnis.
2. Dalam kemitraan, pemerintah dan NGOs harus bekerja sama meningkatkan
perhatian pada bisnis. Selain itu, kerjasama antar perusahaan/UMKM, harus
menegaskan adanya sharing pengalaman, keahlian dasar dan sumber daya. Upaya
kerjasama dengan sektor berbeda akan mendorong kerjasama inovatif menuju
bundel kebutuhan yang holistik.
3. Bagi perusahaan/UMKM, harus dapat melokalisir nilai-nilai kreativitas
lokal, dalam rangka membangun infrastruktur penting dan dukungan system
seperti market intelligence, manufacturing capabilities, atau distribution channels.
17
Secara ringkas, model SL Business berusaha atau mencoba menemukan sinergi antara
tujuan pembangunan dengan perusahaan/UMKM yang mengoperasikan kemampuan
bisnis inti mereka. Keserasian sinergi dalam model SL Business akan memunculkan
nilai sosial-ekonomi lebih tinggi untuk masyarakat, yang seiring dengan jalur
perluasan pertumbuhan baru untuk perusahaan. (lihat Figure-2)
4. Beberapa ‘Guidance’ dalam Pro Poor Business.
Idealnya suatu pembangunan ekonomi lokal, dimulai dengan merumuskan
strategi. Salah satu tahapan proses perencanaan strategi adalah melaksanaan penilaian
18
Figure -1: The three building blocks of sucsessfull SL Business
Source: WBCSD, 2004
Source: WBCSD, 2004
Figure – 2: Maximising Social and Economic Value
ekonomi lokal. Pengetahuan terhadap the context dari ekonomi lokal ini adalah rumit
(crucial) dan penting untuk membantu stakeholder menentukan strategi masa depan.
Penilaian ini memerlukan data kualitatif maupun kuantitatif atas sumberdaya,
struktur, trend produksi dan tenaga kerja, ketrampilan, dll, yang membantu
mengarahkan strategi untuk ekonomi lokal. Penilaian ini juga mengidentifikasi
sumberdaya-sumberdaya publik, bisnis, NGO; mengumpulkan dan menganalisis
informasi baru; dan membangun pengetahuan sistem managemen untuk digunakan
dalam monitoring dan evaluasi dimasa depan
ARC LEAP22], menunjukkan suatu model analisis Local Economic Assesment
Package, yang mencakup 3 (tiga) kegiatan, yaitu (Figure–3):
1. Economic Assessment: mengevaluasi profile ekonomi, trend dan proyeksi
pertumbuhan bisnis, dalam kaitannya dengan seberapa jauh gap pencapaian
ekonomi saat ini dan potensinya lebih lanjut. Penilaian ini juga mengevaluasi
pertumbuhan potensi bisnis lokal setiap sektor usaha, melalui ’rating’ keuntungan
dan kerugian dalam mendukung pertumbuhan.
2. Targeting Diagnostics, meliputi satu set diagnostik yang menilai daya saing
setiap sektor usaha lokal - relative terhadap sektor usaha lainnya. Satuan ini
mengidentifikasi kelemahan "penting" dan "kritis” yang perlu dibangkitkan, pada
sektor usaha yang memiliki potensi pertumbuhan. Analisis ini juga
memperhatikan kepekaan sektor usaha terhadap berbagai faktor yang berbeda,
relative terhadap yang dibandingkan.
3. Policy Analysis, melakukan analisis dampak berbagai alternatif kebijakan
pemerintah terhadap masa depan potensi bisnis lokal. User dapat menilai dampak
bisnis melalui perubahan ketersediaan tenaga kerja berkualitas dan atau perubahan
ketersediaan berbagai infrastruktur ekonomi, seperti jumlah & ketrampilan tenaga
kerja; akses pemasaran; kebijakan pajak; akses transportasi, dll.
19
Dengan melaksanakan LEA Package,
akan diperoleh informasi untuk
menentukan berbagai program
pembangunan ekonomi lokal secara
efektif, dengan mengambil langkah-
langkah sebagai berikut:
1) mentargetkan berbagai core
business competencies yang akan
menghadirkan prospek pertum-
buhan ekonomi lokal terbaik
2) menaksir daya saing relatif
fasilitas dan SDM/SDA lokal,
untuk mengidentifikasi, dan
menentukan prioritas perbaikan,
yang dilakukan dalam rangka
menumbuhkan ’core business
competencies’ terbaik.
Figure-3: LEA Package
Selanjutnya, setelah memperoleh gambaran atas bagaimana mengetahui atau
mengidentifikasi potensi ekonomi suatu wilayah, WBCSD25] menyampaikan 5 (lima)
guidance, yang bisa digunakan sebagai pedoman untuk menerapkan Pro Poor
Business, sebagai berikut:
1. Creating wealth and opportunities – the key to alleviating poverty
Kunci untuk mengurangi kemiskinan terletak pada penciptaan kekayaan dasar,
karena bisnis merupakan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi, maka
pembangunan baik untuk bisnis dan bisnis baik untuk pembangunan. Artinya,
sektor swasta bersama-sama stakeholder terkait, dapat memberikan solusi
pembangunan berkelanjutan, dengan membangitkan peluang bisnis dan
kemakmuran.
Kegiatan ini bukan hanya menyediakan lahan subur untuk bisnis, tetapi lebih
kepada pemberdayaan masyarakat, karena dalam jangka panjang, bisnis
seiring dengan peningkatan kualitas hidup manusia menuju kearah kebebasan
20
hak dan sosial. Budaya usaha tumbuh berkembang, terbuka, partisipatif dan
inisiatif.
2. Leveraging business core competencies
Banyak perusahaan menganggap bisnis telah memenuhi peran
memberi manfaat kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, melalui
aktivitas menyediakan pekerjaan, membayar pajak dan program
kedermawanan perusahaan. Pada kenyataannya program ini terbatas dan
sebagian besar jatuh diluar lingkup aktivitas mainstream bisnis.
Dewasa ini, banyak perusahaan memperkerjakan masyarakat
berpenghasilan rendah yang dinamis, memiliki prakarsa bisnis dan
memberikan kuasa serta membantu perkembangan bisnis kelompok ini.
Prinsip terkait dengan corporate social responsibility diwujudkan dengan
membangun model bisnis baru yang pro poor.
Dengan menanam modal pada ide bisnis baru yang menyediakan
produk & jasa inovatif, menciptakan pekerjaan dan ketrampilan untuk
masyarakat berpenghasilan rendah, perusahaan bertindak sebagai suatu
katalisator kuat untuk pengembangan market-based. Menjelmakan ide ini
kedalam kenyataan secara komersial, memungkinkan perusahaan tidak hanya
menginvestasikan sejumlah besar modal, tetapi juga meningkatkan successful
pilot projects, yang akan memperbaiki kehidupan orang banyak menjadi
semakin mantap.
Dengan recovering biaya-biaya awal dan menjadi self-financing, solusi
bisnis ini dapat tumbuh menyebar jauh diluar batas kemungkinan, bahkan bagi
proyek charity terbaikpun. Meskipun demikian, keunikan dari setiap daerah
memerlukan suatu solusi khusus untuk menjawab tantangan. Model bisnis ini
juga sangat mudah dioperkan dan mempunyai dampak pengembangan
berkelanjutan yang jauh lebih besar.
3. Exploring new ways of doing business Corak (feature) prakarsa bisnis ini, menunjukkan bagaimana perusahaan
bergerak jauh diluar batasan kedermawanan konvensional, untuk
memperlihatkan bagaimana suatu ‘inclusive business’ - bisnis yang mencakup
21
semua kelompok sosial - dapat memberikan perbedaan pada kehidupan
masyarakat. Perusahaan merasa wajib menginvestasikan sumberdaya untuk
mengembangkan potensi mereka, sedemikian sehingga dapat memperkuat
peran SL bisnis pada usaha global yang direncanakan untuk mengurangi
kemiskinan.
Prakarsa ini menciptakan nilai sumberdaya masyarakat, seperti pendapatan
untuk keluarga miskin, memperbaiki kondisi kehidupan dan ketersediaan atas
jasa penting. Sebagian dari manfaat terlihat jelas dan dapat secara langsung
melekat pada kesuksesan usaha bisnis. Bagaimanapun, untuk menikmati
manfaat terukur diperlukan waktu, karena banyak proyek masih pada tahap
awal.
Sebagai tambahan, inovasi alami mereka berarti bahwa, ada sangat sedikit
indikator dan mekanisme monitoring yang diterima untuk mengukur
pengembangan manfaat. Ini membuat penilaian lebih menantang.
4. Maximizing opportunities for the poor
Pro-poor bisnis mengarahkan untuk menciptakan peluang lebih bagi
penduduk miskin dalam rangka meningkatkan taraf hidup mereka sendiri,
antara lain peluang untuk mengakses air aman, makanan, pakaian, pendidikan,
kesehatan, transportasi dan energi; peluang untuk mendapat nafkah dan untuk
menanam modal guna masa depan keluarga. Peluang ini membantu
mempercepat pengembangan masyarakat secara mandiri.
Keleluasaan akses yang didasarkan untuk meningkatkan peluang bisnis,
adalah penting untuk memasuki virtuous cycle dari ekonomi dan
pembangunan manusia. Karena untuk tumbuhnya suatu perekonomian lokal,
kedua sisi penawaran dan sisi permintaan pasar harus dirangsang.
Pada negara berkembang, UMKM adalah pengarah utama inovasi,
kewirausahaan dan ketenaga-kerjaan. Membangun suatu campuran yang sehat
antara usaha besar berkwalitas dengan UMKM, penting untuk memperkuat
dan memperluas basis ekonomi. Ini dilakukan dengan membangun kapasitas
usahawan lokal dan menanamkan modal dalam pelatihan yang memastikan
22
suatu kekuatan pekerja trampil akan mengembangkan atau membangun
perekonomian lokal.
5. Playing to each other’s strengths
Banyak cerita sukses berakhir baik melibatkan partnerships antara agen
pemerintah dan NGO, dan banyak model partnerships baru diciptakan.
Bisnis dapat memperoleh manfaat dari on-the-ground expertise organisasi
pengembangan dan sebaliknya. Ada pertumbuhan pengenalan dalam
pengembangan bisnis masyarakat, bahwa sektor swasta membawa teknologi,
sumber daya, effective delivery, jangkauan global dan pemahaman cara
memasarkan produk. Tidak satupun itu kemampuan inti agen pengembangan,
tetapi dapat digunakan membantu menemukan kebutuhan pengembangan.
Pada akhir dekade, bisnis dan agenda kebijakan publik semakin jelas, dimana
suatu visi bersama dan strategi forward-looking, menyediakan kesempatan
yang belum pernah terjadi selama ini, yaitu bekerja sama ke arah pengurangan
kemiskinan.
III. KESIMPULAN
Berdasarkan berbagai uraian yang telah disampaikan tersebut diatas, maka
pada bagian ini penulis mencoba untuk membuat kesimpulan bagaimana
melaksanakan Pembangunan Ekonomi Lokal Berkelanjutan yang bertujuan untuk
mengentaskan kemiskinan, melalui pemberdayaan UMKM - di Indonesia,
disampaikan sebagai berikut;
1. Persayaratan awal, dimuali dari adanya perbaikan pada Pemerintahan Lokal
dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas: SDM, kelembagaan, regulasi,
fungsi & peran DPRD, berbagai fasilitas pendukung, dll, yang diperlukan dalam
rangka untuk menjamin kelancaran pembangunan ekonomi lokal.
2. Pembentukan jaringan kerjasama antara pemerintah lokal dengan organisasi
berbasis masyarakat, swasta, dan komunitas donor/kreditor dalam dan luar negeri
(public-private partnerships).
23
3. Berdasarkan public-private partnerships, ditentukan peran dari masing-masing
aktor pembangunan, meliputi entrepreneur/developer, facilitator, coordinator dan
stimulator. Dari berbagai peran ini, diharapkan terjalin suatu sinergy yang akan
mewujudkan human building, capital & financial building, capacity building dan
capability buliding..
4. Public-private partnerships, merumuskan berbagai prakarsa pembangunan
yang berpedoman pada hasil analisis terhadap potensi daerah atau atribut lokal,
menggunakan model Local Economic Assesment Package atau SWOT Analysis.
5. Berbagai prakarsa pembangunan ini, harus merefleksikan kombinasi antara Focus,
Partner dan Localize, yaitu fokus pada kemampuan inti perusahaan, adanya
partisipasi aktif dari angkatan kerja lokal, UMKM lokal dan wirausaha lokal, dan
adanya kemitraan dengan sumberdaya eksternal, apakah keahlian suatu organisasi
pengembangan atau ketrampilan yang komplementer dari perusahaan lain.
6. Berbagai prakarsa ini juga harus diwarnai oleh pembangunan yang menggunakan
atau menerapkan model SL Business atau Pro Poor Business pada UMKM.
7. Berbagai prakarsa pembangunan ini harus mengarah pada 5 (lima) guidance
yaitu: Creating wealth and opportunities, Leveraging business core competencies,
Exploring new ways of doing business, Maximizing opportunities for the poor,
Playing to each other’s strengths
--- ooo 000 000 ooo ---REFERENSI:
1] KPIN, 2003, dalam Ryan Sanjaya, Muhammad Aditya dan Alhayat, P, 2004, Komoditi Unggulan Daerah Sebagai Basis Pengembangan Industri Dalam Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Provinsi D.I. Yogyakarta, 1995 – 2002.
2] Tobing, Elias L, 2001, dalam Bisnis Indonesia, Sumbangan Usaha Mikro untuk PDB,. Asia Pacific Forum (APF), All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited, Jakarta.
3] Asnawi, Hasan, 2001, dalam Bisnis Indonesia, Sumbangan Usaha Mikro untuk PDB,. Asia Pacific Forum (APF) All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited, Jakarta.
4] Townsend , Peter, 1979, Poverty in the United Kingdom, dalam Adam Sandhell, 1996, Urban Poverty in the UK: Is Local Economic Development The Answer?, Nuffield College, University of Oxford, M.Sc. Comparative Social Research.
5] Menko Perekonomian, 2005, dalam Indrawati, Sri Mulyani, 2005, MDG’s di Indonesia, Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, Kantor MenKo Perekonomian, Jakarta
24
6] UNDP, 2005, Energizing the Millennium Development Goals: (A Guide to Energy’s Role in Reducing Poverty, the World Bank Report, London.
7] Indrawati, Sri Mulyani, 2005, MDG’s di Indonesia, Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, Kantor MenKo Perekonomian, Jakarta
8] RAPBN, 2007, dalam Kerangka Ekonomi Makro 2007, Dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2007, Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2006 -17 Maret 2006, Menteri Keuangan RI, Jakarta
9] Mardiasmo, 2002, Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta.
10] DFID, (Department For International Development), 2003, Bertelsmann Stiftung, Local Economic Development LED Quick Reference, Urban Development Unit, the World Bank Report, London
11] Blakely, Edward J. and Ted K. Bradshaw, 2002, Planning Local Economic Development; Theory and Practice. 3rd edition Sage Publication, London and New Delhi
12] Bank, World dan ILO, 2001, dalam Base Line Survey Potensi Ekonomi Daerah, Laporan Triwulan Dunia Usaha, Bank Indonesia, Jakarta.
13] ESCAP, 1996, Local Economic Development, the Department of the Environment; Economic and Social Commission for Asia and the Pacific.
14] Bank Indonesia, 1997, dalam, Triyowati, Hermien, 1999, Kesiapan Koperasi dan SME’s Dalam Mendukung Program Ekonomi Kerakyatan, Laporan Hasil Penelitian, FE Usakti, Jakarta.
15] Musselman, VA & Jhon HJ, 1989, dalam, Triyowati, Hermien, 1999, Kesiapan Koperasi dan SME’s Dalam Mendukung Program Ekonomi Kerakyatan, Laporan Hasil Penelitian, FE Usakti, Jakarta.
16] Bank, World, 2003, Local Economic Development, LED Quick Reference, Urban Development Unit.17] Adam Sandhell, 1996, Urban Poverty in the UK: Is Local Economic Development The Answer?
Nuffield College, University of Oxford, M.Sc. Comparative Social Research.18] CIDA, 2003, Indonesia Consultation Document: Interim Poverty Reduction Strategy Paper.
Canadian International Development Agency, Ottawa, Vancouver19] UNDP Executive Board 2003, Decentralized Government for Development, Urban Development
Unit, the World Bank Report, London20] Ridley, Nicholas, 1988, Policy for the Inner Cities, Secretary of State for the Environment, Puerto
Rico. 21] Griffin, Derek, 1989, New Directions In Public Services, Economic Development, Survey of Local
Authorities and Economic Development, forthcoming, INLOGOV22] ARC-LEAP, 2004, Assessing Local Economic Development Opportunities, Economic Development
Research Group, Inc. Oliver Street, 9th Floor, Boston, MA 0210923] Cochrane, 1992, dalam Ridley, Nicholas, 1988, Policy for the Inner Cities, Secretary of State for the
Environment, Puerto Rico.24] Mutis, Thoby, 1995, dalam, Triyowati, Hermien, 1999, Kesiapan Koperasi dan SME’s Dalam
Mendukung Program Ekonomi Kerakyatan, Laporan Hasil Penelitian, FE Usakti, Jakarta. 25] WBCSD, 2004, Doing Business With The Poor, a field guide, ISBN 2-940240-54-X, Printed by Atar
Roto Presse SA, Switzerland
25