39
MENUJU PEMBANGUNAN EKONOMI LOKAL BERKELANJUTAN suatu kajian literature atas peran U.M.K.M. Dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia Oleh: Hermien Triyowati Abstract This paper summarizes the roles of Micro and Small Medium Enterprises (MSMEs) in eradicate poverty, toward Local Economic Development Sustainable – as a case study in Indonesia. This paper seeks to (a) understand what is the MSMEs concepts and the roles of MSMEs in Indonesia - compared with the Local Economic Development concepts, (b) describe the role of Local Economic Development in order to achieve poverty alleviation, (c) informing some comprehensive program and projects which better be conducted by MSMEs to reach the main goal of Local Economic Development: eradicate poverty. As a relatively new literature overview, the paper thus grapples with the many research or empiric experience conducted by experts - some time ago, and concludes with three main key in execution of MSMEs - that is: Focus, Localize, and Partner in order to achieve Sustainable Livelihoods Business (Pro Poor Business). Keyword: Micro and Small Medium Enterprises, Local Economic Development, poverty alleviation, Sustainable Livelihoods Business I.PENDAHULUAN Latar Belakang Secara keseluruhan, permasalahan nasional Indonesia yang sampai saat ini masih juga belum terselesaikan

Menuju Pem Ekonomi Lokal

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Menuju Pem Ekonomi Lokal

MENUJU PEMBANGUNAN EKONOMI LOKAL BERKELANJUTAN

suatu kajian literature atas peran

U.M.K.M. Dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan Di Indonesia

Oleh: Hermien Triyowati

Abstract

This paper summarizes the roles of Micro and Small Medium Enterprises (MSMEs) in eradicate poverty, toward Local Economic Development Sustainable – as a case study in Indonesia. This paper seeks to (a) understand what is the MSMEs concepts and the roles of MSMEs in Indonesia - compared with the Local Economic Development concepts, (b) describe the role of Local Economic Development in order to achieve poverty alleviation, (c) informing some comprehensive program and projects which better be conducted by MSMEs to reach the main goal of Local Economic Development: eradicate poverty. As a relatively new literature overview, the paper thus grapples with the many research or empiric experience conducted by experts - some time ago, and concludes with three main key in execution of MSMEs - that is: Focus, Localize, and Partner in order to achieve Sustainable Livelihoods Business (Pro Poor Business).Keyword: Micro and Small Medium Enterprises, Local Economic Development, poverty alleviation, Sustainable Livelihoods Business

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara keseluruhan, permasalahan nasional Indonesia yang sampai saat ini

masih juga belum terselesaikan adalah, masih tingginya angka pengangguran dan

kemiskinan, perkembangan ekspor yang lambat, lemahnya sektor infrastruktur,

kemampuan di bidang penguasaan teknologi yang jauh tertinggal dibandingkan

negara-negara Asia lainnya, investasi yang masih rendah dan belum banyak

menciptakan lapangan kerja, iklim bisnis yang belum kondusif, dimana ini ditambah

lagi dengan berbagai masalah sosial-politik, terkait dengan reformasi dan otonomi

daerah yang belum jelas arahnya. Semua ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi

Indonesia seperti terjebak pada situasi yang stagnan atau jalan ditempat, yang seolah-

olah tidak ada jalan keluarnya.

Page 2: Menuju Pem Ekonomi Lokal

Sementara itu, dari sisi perkembangan industri, berbagai masalah pokok yang

sedang dihadapi sektor industri Indonesia, menurut KPIN 20031], adalah 1)

ketergantungan yang tinggi terhadap impor baik impor bahan baku, bahan pembantu,

barang setengah jadi maupun komponen; 2) keterkaitan antara berbagai sektor industri

yang relatif masih lemah; 3) struktur industri yang hanya didominasi oleh beberapa

cabang industri; 4) ekspor produk didominasi oleh beberapa cabang industri; 5) lebih

dari 60% kegiatan sektor industri terletak di Pulau Jawa; dan 6) masih lemahnya

peranan kelompok industri atau usaha kecil dan menengah (UKM) dalam sektor

perekonomian.

Anggapan bahwa peranan kelompok UKM pada perekonomian Indonesia

masih lemah atau rendah, ditolak oleh Tobing, Elias L, dari KADIN, 20012], yang

mengatakan bahwa sumbangan sektor usaha mikro, usaha kecil dan menengah

(UMKM) atau Micro and Small Medium Enterprises (MSMEs) terhadap total PDRB

nasional, mencapai sekitar 67%, sedangkan kemampuan penyerapan tenaga kerja

sebesar 97% dari total angkatan kerja. Jumlah UMKM ini ada sekitar 40 juta unit

usaha yang tersebar di seluruh Indonesia dan sebagian besar diantaranya hidup dan

tumbuh secara mandiri tanpa dukungan dana dari perbankan atau pemerintah, karena

’tidak tahu’ cara mengajukan kredit untuk menambah permodalan usaha. Selain itu,

menurutnya, selama ini pemerintah belum berpihak terhadap UMKM meskipun

sudah terbukti memberikan kontribusi besar pada negara. Karena itu, untuk

pengembangan dan pemberdayaan UMKM menjadi pelaku usaha yang lebih besar,

diperlukan reformasi kebijakan yang menyangkut peran pemerintah, serta

konsistensi pelaksanaan kebijakan dan peningkatan hubungan koordinasi antara

organisasi pemerintah dan non-pemerintah2].

Pernyataan Tobing ini, diperkuat oleh Hassan, Asnawi dari Asian Pacific

Forum (APF), 20013], yang mengatakan bahwa, khususnya untuk sektor usaha mikro

(micro business), hanya dengan modal seadanya mampu menyumbang pembentukan

PDB Indonesia sampai mencapai 30%. Sektor usaha ini memiliki peran penting dalam

kegiatan ekonomi masyarakat, yaitu sebagai instrumen untuk peningkatan

pendapatan, sekaligus mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Selain

itu sektor ini merupakan sektor yang sangat potensial sebagai sumber pendapatan asli

daerah (PAD), karena selama ini mereka selalu membayar pungutan resmi, namun

1

Page 3: Menuju Pem Ekonomi Lokal

tidak masuk dalam catatan negara, karena ’salah’ masuk ke kantong oknum. Jumlah

usaha mikro ini sangat besar dan mengalami pertumbuhan pesat dengan kegiatan

usahanya yang sangat heterogen, dimana 70% bergerak di bidang perdagangan dan

30% bergerak di bidang usaha manufaktur3].

Selanjutnya, secara umum, permasalahan kemiskinan pada suatu negara harus

menjadi tujuan dari Pembangunan Nasional. Ini seperti dikatakan oleh Peter

Twosend’s, 20044], bahwa:

‘Economic development’ describes a basket of activities undertaken by central and

local government which have the common goals developing local economies and

creating employment; As a set of policies, economic development is sold as being

able to benefit everyone, socially, environmentally and financially. In particular, its

advocates have suggested that it represents the only realistic way of tackling pockets

of urban poverty and deprivation in the long term’.

Berkaitan dengan hal ini, pemerintah melalui Menko Perekonomian (2003)5],

menyusun program kerja nasional yang secara garis besar mencakup berbagai hal,

sebagai berikut:

1. Poverty alleviation and fulfilling basic needs

2. SME capacity building and development

3. Maintain economic and financial stability

4. Enhance global competitiveness

5. Promote investment

6. Strengthening infrastructures to support economic development

7. Sustainable development of Indonesia’s rich natural resources

Beberapa program kerja tersebut, menjadi sangat istimewa karena disusun dalam

rangka merespon berbagai nada sumbang dari kalangan pemerhati dan praktisi

UMKM atas sikap pemerintah selama ini, serta juga disusun berkaitan dengan usaha

pencapaian komitmen atas 8 (delapan) butir Tujuan Pembangunan Millenium

(Millennium Development Goals = MDG’s), yang dirumuskan pada pertemuan

puncak dunia di Rio De Janero, tahun 2000, dimana Indonesia merupakan salah satu

penandatangan deklarasi tersebut.

2

Page 4: Menuju Pem Ekonomi Lokal

Salah satu butir dari Tujuan Pembangunan Millenium adalah, Eradicate

Extreme Poverty and Hunger, yang meliputi komitmen ‘global’ spesifik untuk

mengurangi setengah proporsi dari penduduk miskin ’ekstrim’ dunia (penduduk

dengan pendapatan percapita kurang dari US$1 per hari) sampai dengan tahun 2015.

(UNDP 20056]). Berdasarkan hal ini, pemerintah Indonesia bertekad mencapai

MDG’s sesuai target, dengan cara bekerja keras dan menjalin kerja sama erat dengan

semua pihak, baik warga negara, sektor swasta, pemerintah sesama negara

berkembang maupun komunitas donor/kreditor (Sri Mulyani, 20057]). Tekad

pencapaian MDG’s ini dipertegas pemerintah dengan menetapkan arah Kebijakan

RAPBN 20078], yaitu ’upaya menstimulasi perekonomian melalui: Pro Growth,

Employment Creation, dan Poverty Alleviation, disertai dengan peningkatan capacity

building dan pelayanan publik.

Keinginan mewujudkan berbagai kebijakan tersebut, juga didukung oleh upaya

pemerintah memperkuat pembangunan daerah melalui perwujudan dan implementasi

kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah berdasarkan UURI no 22 & no 25 tahun

1999. Beberapa hal yang mendasar pada UURI tersebut, menurut Mardiasmo, 20029],

adalah kuatnya upaya untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan

prakarsa dan kreativitas masyarakat, peningkatan peran serta masyarakat, dan

pengembangan peran dan fungsi DPRD. Pendapat Mardiasmo ini, sesuai dengan

pernyataan dari DFID, 200310], yang mengatakan bahwa:

’Local economic development is the process by which public, business and non-

governmental sector partners work collectively to create better conditions for

economic growth and employment generation’.

Selain itu, pembangunan ekonomi juga dipengaruhi oleh sifat dan karakteristik

masing-masing daerah, yang memiliki kelebihan dan kekurangan, dimana ini terkait

dengan ketersediaan sumberdaya alam dan energi, agama, budaya sosial atau adat

istiadat, dan lain-lain. Berbagai kondisi ini tentu saja juga harus merupakan bahan

pemikiran yang tidak boleh diabaikan. Berkaitan dengan kondisi, situasi dan keunikan

suatu daerah, Blakely Edward, 200211], mengatakan bahwa:

‘Each community has unique local conditions that can help or hinder its economic

development. These local attributes will form the basis for designing and implementing

3

Page 5: Menuju Pem Ekonomi Lokal

a local economic development strategy’. In so far, practicing local economic

development means working directly to build up the economic strength of a local area

to improve its economic future and the quality of life of its inhabitants’.

Tujuan Studi dan Permasalahan

Dengan memperhatikan berbagai pernyataan, maka jelaslah bahwa suatu

kelompok masyarakat memiliki kondisi unik, berupa atribut-atribut lokal yang bisa

menjadi basis atau dasar untuk merancang dan mengimplementasikan strategi

pembangunan ekonomi lokal. Dalam pelaksanaannya diperlukan adanya kolaborasi

atau kerjasama diantara para aktor pembangunan dan pemerintah lokal. Atribut-atribut

lokal ini, bisa diterjemahkan sebagai potensi daerah baik dari sisi sumber daya alam

maupun sumberdaya manusianya yang antara lain berupa kemampuan kewirausahaan

dari kelompok masyarakat yang diperoleh karena bakat alami, kebiasaan turun

temurun, adat istiadat, dan atau karena sebab lain yang bisa berasal dari keterpaksaan

untuk mempertahankan hidup atau survival. Berdasarkan potensi SDA dan SDM ini

akan terbentuk kelompok-kelompok kegiatan usaha, dimulai dari usaha mikro, usaha

kecil dan usaha menengah (UMKM), yang banyak tersebar diseluruh wilayah

Indonesia.

Berkaitan dengan apa yang disampaikan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk

melakukan kajian literature secara teoritis dan empiris – berdasarkan teori dan hasil

studi empiris sebelumnya, meliputi kajian terhadap peran UMKM, peran pemerintah

(daerah), peran sektor swasta dan dampaknya terhadap penurunan kemiskinan di

Indonesia, dalam konteks ’Sustainable Local Economic Development’,

Hasil yang Diharapkan.

Melalui kajian ini, diharapkan adanya pemahaman dan kejelasan berkaitan dengan

UMKM dan pembangunan ekonomi lokal, yang dideskripsikan sebagai berikut:

1. Memberikan pemahaman atas arti dan makna dari pembangunan ekonomi lokal

berkelanjutan, yang merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah lokal,

masyarakat umum dan para aktor pembangunan, khususnya dalam kaitan

pentingnya proses kolaborasi diantara sesama stakeholder dan shareholder.

4

Page 6: Menuju Pem Ekonomi Lokal

2. Menginformasikan kebenaran atas peran dan kinerja UMKM, dari sudut pandang

pemerintah, pelaku usaha dan stakeholder terkait lainnya.

3. Dapat digunakan pemerintah sebagai acuan untuk melakukan perbaikan dan

pengembangan berbagai kebijakan UMKM, maupun dalam implementasinya.

4. Dapat digunakan sebagai acuan oleh pelaku usaha, stakeholder terkait maupun

masyarakat umum, yang tertarik untuk melakukan investasi dalam rangka

pengembangan sektor UMKM menuju sustainable livelyhood business.

5. Dengan munculnya berbagai inisiatif pengembangan UMKM, secara keseluruhan

akan dapat mewujudkan pembangunan ekonomi lokal berkelanjutan – dengan

tujuan utama penurunan kemiskinan.

II. LANDASAN TEORITIS

1. Usaha Mikro – Kecil dan Menengah: Definisi dan Peran

Usaha mikro adalah usaha skala rumah tangga yang dimiliki perorangan,

menggunakan tenaga kerja sedikit, tidak terdaftar dan diluar cakupan kredit formal.

Usaha mikro, bukan merupakan sektor formal dan juga bukan sektor pemerintah atau

sektor usaha swasta yang resmi diakui, dibina, atau diatur oleh pemerintah. Selain itu

usaha mikro umumnya memiliki jaringan terbatas, pengetahuan dan ketrampilan

kurang memadai, dikelola dengan gaya perorangan: pola kegiatan yang kurang

teratur, serta produk dan kualitas produk yang sederhana. Namun dari sisi lain, etos

kerja dan kewirausahaan cukup baik bercirikan pekerja keras, rajin, tabah, ulet,

serta hemat. Dengan kata lain, sektor ini ’sangat potensial’ sebagai persemaian

tumbuhnya jiwa kewirausahaan karena tingkat persaingan usaha yang cukup keras.

Karena itu, untuk membangkitkan usaha mikro, diperlukan adanya strategi

pengembangan SDM pelaku usaha mikro, penyediaan fasilitas operasional,

peningkatan akses terhadap kredit, pengembangan hubungan dengan sektor informal,

pengembangan pemasaran produk, kerja penelitian dan pengembangan, optimalisasi

peran Lembaga Swadaya Masyarakat, serta peningkatan hubungan Internasional.1].

ILO, World Bank, 200112], menyatakan bahwa dinegara berkembang usaha

mikro mempunyai karakteristik, dimana memiliki maksimal 10 orang pekerja,

berskala kecil, menggunakan teknologi sederhana, aset minim, kemampuan

5

Page 7: Menuju Pem Ekonomi Lokal

manajerial rendah, dan tidak membayar pajak. Selain itu, usaha mikro juga

merupakan usaha gabungan (partnership) atau usaha keluarga dan sering merupakan

usaha tingkat survival (survival level activities), yang kebutuhan keuangannya

dipenuhi oleh tabungan dan pinjaman berskala kecil.

Disisi lain, ESCAP, 199613], mendefinisikan istilah ‘Informal Sector’, sebagai

bagian dari suatu sektor ekonomi yang tidak berada dibawah kegiatan ekonomi

terorganisir. Sektor ini biasanya lahir sebagai dampak dari resesi atau krisis ekonomi

yang dialami suatu negara, dimana sebagian besar komunitas SDM berkualitas yang

ter PHK, dihadapkan pada pilihan antara menganggur atau bekerja disektor ‘inferior’

yang dikenal sebagai sektor informal. Fenomena ini menandakan munculnya

pertumbuhan ekonomi yang merata (economic growth with equity) yang seiring

dengan pemberantasan kemiskinan (eradicate poverty). Berdasarkan ‘background’

ini, maka ESCAP menyatakan sektor informal sebagai unsur penting dalam kerangka

perlindungan sosial (an important element of the social protection framework).

Berdasarkan hal ini, ESCAP mencirikan berbagai karakteristik sektor informal,

sebagai berikut:

Ease of entry;

Reliance on indigenous resources;

Family ownership of enterprises;

The small scale of operation;

Labor - intensive and adapted technology;

Skills acquired outside the formal school system;

Unregulated and competitive markets.

Units work outside the formal administrative networks that cover the formal

sector;

A relatively low level of capital requirement.

Menyimak berbagai penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa wacana yang

nampak pada sektor informal adalah usaha-usaha mikro, dengan kata lain yang

mengisi sektor informal adalah usaha atau bisnis mikro, sehingga secara sederhana

dapat dikatakan bahwa usaha mikro termasuk pada kategori sektor informal.

Selanjutnya, definisi Usaha Kecil menurut Bank Indonesia, 199714], adalah

usaha dengan kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan

6

Page 8: Menuju Pem Ekonomi Lokal

bangunan tempat usaha), atau usaha yang memiliki hasil penjualan tahunan paling

banyak Rp. 1 M, dimiliki oleh WNI dan berdiri sendiri. Menurutnya Usaha Kecil

banyak memberikan andil dan menduduki peran strategis dalam pembangunan

nasional, terutama dilihat dari potensinya dalam memanfaatkan SDA maupun SDM,

serta upaya mewujudkan pemerataan pendapatan, namun kegiatan Usaha Kecil pada

umumnya masih sulit untuk berkembang dikarenakan beberapa keterbatasan, seperti

permodalan, pemasaran, teknologi produksi dan kualitas SDM nya.

Lebih jauh, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995,

menyatakan definisi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) adalah kegiatan ekonomi

rakyat yang memenuhi kriteria kekayaan bersih/penjualan tahunan serta kepemilikan

sebagaimana diatur oleh undang-undang. UKM merupakan perusahaan yang berdiri

sendiri, bukan anak perusahaan atau cabang perusahaan. Bentuk UKM merupakan

perusahaan perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum atau badan

usaha yang berbadan hukum. Sementara itu, Musselman & Jhon, 198915]

menjelaskan beberapa kelemahan UKM, antara lain terbatasnya sumber daya

modal, keahlian manajemen dan informasi bisnis, pertumbuhan lambat yang mengacu

pada intuisi dan ambisi pengelola, lemah dalam promosi, resiko dan hutang

ditanggung oleh pemilik, tidak memiliki rencana jangka panjang, tidak mempedulikan

prinsip-prinsip managerial dan penelitian pengembangan yang diperlukan suatu

aktivitas bisnis. Namun beberapa keunggulan yang dimilki UKM adalah, tidak butuh

modal besar, adanya keluwesan dalam struktur usaha, diversifikasi usaha terbuka luas,

pasar tergali melalui kreativitas pengelola, pemilik menerima seluruh keuntungan,

prosedur hukum sederhana, proses pendirian / pembubaran mudah, pajak relatif

ringan, biaya overhead rendah, dan mampu bertahan dalam menghadapi kelesuan

ekonomi.

Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa usaha mikro

ataupun usaha kecil dan menengah mempunyai karakteristik yang hampir sama,

kecuali dalam segi permodalan yang sedikit ada perbedaan dan pada status legalitas

yang mengkategorikan usaha-usaha ini termasuk sektor formal atau informal.

Karakteristik yang sama terlihat baik dari segi kepemilikan, pengelolaan, pemasaran

dan kualitas SDM, maupun keandalan dalam bertahan menghadapi perekonomian

yang lesu. Berkaitan dengan hal ini, usaha-usaha tersebut sering dikelompokkan

7

Page 9: Menuju Pem Ekonomi Lokal

sehingga timbul istilah Micro and Small Medium Entreprises (MSMEs) atau usaha

mikro, usaha kecil dan menengah (UMKM)

Berkaitan dengan UMKM ini, World Bank, 200316], menyatakan bahwa ‘…

local governments and other local stakeholders realized that highly mobile capital

was moving between jurisdictions (micro business and SME’s). By actively examining

their economic base, understanding obstacles to growth and investment, and by

strategically planning programs and projects to remove obstacles and facilitate

investment, communities sought to grow their economic and employment base…’.

Secara ringkas, dengan memperhatikan beberapa penjelasan ini, maka dapat dibuat

beberapa kesimpulan umum tentang UMKM, yakni:

UMKM adalah merupakan usaha ekonomi lokal, berbasis pada ketrampilan dan

kreativitas komunitas, merupakan usaha tidak berbadan hukum (informal) atau

usaha berbadan hukum.

UMKM muncul berkaitan dengan keinginan untuk ’survival’, karena itu

mempunyai etos kerja dan kewirausahaan cukup baik dan memiliki potensi kuat

atas tumbuhnya jiwa kewirausahaan.

Dari rangkaian kegiatan UMKM, disadari adanya mobilitas capital yang sangat

tinggi terjadi, karena itu penanganan yang baik dan profesional terhadap jenis-

jenis usaha ini, akan memberikan kontribusi tinggi terhadap masalah ketenaga-

kerjaan dan peningkatan pendapatan, yang pada gilirannya akan mengentaskan

kemiskinan.

Semakin menjamurnya UMKM, mengindikasikan kecenderungan pertumbuhan

ekonomi yang adil dan merata (economic growth with equity), yang seiring

dengan pemberantasan kemiskinan (eradicate poverty).

Berdasarkan berbagai ciri khas ini, maka UMKM adalah merupakan core business

atau ’industri target’ yang sangat cocok atau tepat untuk dikembangkan dalam

konteks sustainable local economic development.

2. Pembangunan Ekonomi Lokal dan UMKM

Definisi Local Economic Development menurut World Bank, 200316], adalah:

8

Page 10: Menuju Pem Ekonomi Lokal

‘the process by which public, business and non-governmental sector partners work

collectively to create better conditions for economic growth and employment

generation. The aim is to improve the quality of life for all”.

Pernyataan ini dipertegas oleh Blakely11], yang mengatakan pembangunan

ekonomi lokal, adalah proses dimana pemerintah daerah atau organisasi berbasis

masyarakat berupaya untuk merangsang atau mempertahankan kegiatan bisnis dan

merangsang terciptanya kesempatan kerja lokal dalam sektor yang meningkatkan

pendapatan masyarakat, menggunakan Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam

dan kelembagaan lokal.

Berkaitan dengan kedua pernyataan tersebut, Sandell Adam, 199617],

mengatakan bahwa ’pembangunan ekonomi’ menguraikan berbagai aktivitas yang

dikerjakan pemerintah pusat dan lokal, mempunyai tujuan umum mengembangkan

ekonomi lokal dan menciptakan kesempatan kerja. Sebagai ‘satuan’ kebijakan,

pembangunan ekonomi dimaksudkan sebagai suatu tindakan yang mampu memberi

manfaat bagi semua orang, sosial, lingkungan dan keuangan. Khususnya dalam hal

memberikan dukungan usulan (pada siapa saja yang datang dari berbagi suku / etnis

atau dari semua bendera pada spektrum politis) bahwa ini adalah satu-satunya cara

yang realistis untuk ’mentackle saku’ dari kemiskinan karena kerugian / perampasan

hak sosial dalam jangka panjang.

Selain itu, World Bank16], juga menyatakan bahwa mempraktekkan atau

mengimplementasikan Local Economic Development berarti bekerja secara langsung

membangun kekuatan ekonomi lokal dari suatu wilayah untuk memperbaiki ekonomi

tersebut dan kualitas hidup masyarakat dimasa depan. Kesuksesan dari komunitas

tersebut hari ini, tergantung pada seberapa besar mereka bisa mengadaptasi perubahan

cepat dari lingkungan pasar nasional maupun internasional.

Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, CIDA, 200318], menjelaskan

hubungan antara pembangunan ekonomi lokal dengan MSMEs. CIDA mengatakan

bahwa tujuan menurunkan jumlah penduduk miskin, akan dapat dicapai melalui

konsentrasi terhadap 2 (dua) sasaran kunci pembangunan, yaitu:

1. Improving governance, particularly in the area of decentralization.

9

Page 11: Menuju Pem Ekonomi Lokal

2. Providing sustainable economic opportunities for the poor, or those most

vulnerable to poverty, through a focus on the management of natural resources

and on measures to improve job creation by micro - small and medium-sized

enterprises (MSMEs)

Penjelasan CIDA ini menuntut adanya ’perbaikan’ terhadap pengelolaan

pembangunan lokal khususnya di era desentralisasi, yang diikuti oleh penyediaan

peluang bisnis berkelanjutan untuk masyarakat miskin atau masyarakat yang rentan

terhadap kemiskinan, dengan berfokus pada manajemen sumber daya (SDA atau

SDM) dan tindakan untuk memperbaiki kreativitas kerja UMKM.

Penjelasan CIDA ini seiring dengan konsep UNDP Executive Board, 200319], tentang

Decentralized Governance for Development (DGD). Ia menyatakan bahwa:

‘DGD comprises empowering of sub-national levels of society to ensure that local

people participate in, and benefit from their own governance institutions and

development services’.

Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan keterkaitan antara pembangunan

ekonomi lokal dengan UMKM, sebagai berikut:

1) Pembangunan ekonomi lokal harus dilakukan dan diarahkan dengan

membangkitkan bisnis berbasis kekuatan lokal (UMKM) yang mempunyai

prospek terbaik kedepan (dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan).

2) Pembangunan ekonomi lokal harus dilaksanakan dengan melibatkan peran serta

beberapa aktor pembangunan (pemerintah lokal, organisasi bisnis, organisasi

berbasis masyarakat, NGO dan investor / donatur).

3) Pembangunan ekonomi lokal harus terbuka bagi semua kelompok komunitas yang

tertarik dan ingin berperan dalam pembangunan, khususnya pemberian peluang

untuk masyarakat miskin baik yang tergabung dalam UMKM atau peluang

penciptaan UMKM baru.

4) Pembangunan ekonomi lokal harus memanfaatkan dengan mengelola secara baik

SDA, SDM dan kelembagaan lokal yang akan memfasilitasi dan mendukung

pembangunan ekonomi lokal, misalnya dalam hal penyediaan infrastruktur,

penyediaan fasilitas dalam rangka capacity & capability building, dan berbagai

kemudahan akses yang berkaitan dengan basic needs masyarakat.

10

Page 12: Menuju Pem Ekonomi Lokal

5) Hasil akhir yang diharapkan dicapai dalam pembangunan ekonomi lokal, adalah

berkembangnya bisnis masyarakat, yang akan meningkatkan kesempatan kerja

dan pendapatan masyarakat lokal secara berkelanjutan, dimana ini sekaligus

seiring dengan menurunnya kemiskinan dimasyarakat.

Selanjutnya Blakely11], menyampaikan beberapa corak (feature) penting yang harus

diperhatikan oleh para perencana pembangunan, sebagai berikut:

1. Targeting Zones of Action.

Gagasan ini adalah mengenali geografi ketenaga-kerjaan dan tekanan

ekonomi. Ada perhatian atas kebutuhan akses sumber daya dan energi

langsung ke tempat spesifik, tanpa tergantung pada kebijakan sosial atau

ekonomi makro.

Program pembangunan ekonomi lokal (PEL) adalah mendisain campurtangan

ini pada tempat dan waktu yang tepat, mempengaruhi dan menempatkan

masyarakat tanpa tergantung pada batasan-batasan politis

2. Capacity Building.

Building Community - Level Institutions For Development:

Pada tempat yang relevan, dalam rangka mempromosikan pembangunan,

institusi dan organisasi dapat menghilangkan hambatan politis, sosial dan

ekonomi, yang terjadi di masyarakat maupun sektor swasta.. Institusi dan

masyarakat dapat mempengaruhi perubahan. Mandat mereka adalah

menempatkan modal yang diperlukan, disesuaikan dengan sumber daya yang

ada sebagai dasar untuk PEL.

Expanding Local Ownership:

Menciptakan bisnis baru atau kepemilikan masyarakat adalah penting sebab

perusahaan lokal membentuk basis untuk markas besar pengembangan, serta

menggunakan sumber daya lokal, baik SDM maupun modal phisik pada

operasional mereka.

3. Human Building.

Building Quality Jobs.

Menarik minat perusahaan tidak selalu setara dengan meningkatkan kondisi

masyarakat. Adalah penting untuk menentukan pekerjaan yang "cocok" bagi

11

Page 13: Menuju Pem Ekonomi Lokal

penduduk lokal dengan menawarkan peluang meningkatkan ketrampilan ke

tingkatan kompetitif, baik pada saat ini maupun dimasa datang. Sebagai

intervensi pada sistem pasar, PEL dengan demikian meningkatkan potensi

yang menjamin keamanan pekerjaan, yang pada gilirannya akan menstabilkan

masyarakat baik secara ekonomi maupun secara sosial.

Linking Employment and Economic Development Policies and Programs:

Sumber daya publik dapat digunakan untuk meningkatkan mata rantai antara

pekerjaan yang tersedia dan tenaga kerja yang tersedia untuk pekerjaan. Tidak

akan pernah ada suatu match yang sempurna, tetapi disana dapat diperoleh

yang lebih baik.

4. Financial Building:

Public/Private Venturing

Baik di pemerintahan atau di lingkungan masyarakat - ada kombinasi antara

sumber daya keuangan sektor publik dan sektor swasta, ini akan menjadi

timbangan yang benar untuk mencapai sasaran hasil yang tidak bisa dicapai

sendirian.

Merging The Resources of The Social Welfare System:

Koreksi pengukuran mencoba menggabungkan kesejahteraan dan formasi

ketrampilan pekerjaan dalam proyek yang sama, sebagai contoh, penggunaan

pembayaran kesejahteraan sebagai upah, harus mendukung berbagai program

pembangunan ekonomi.

3. Kemitraan dan Peran Agen Pembangunan

Ridley, Nicholas, 198820], menyatakan bahwa, aktor kunci dalam

pembangunan ekonomi adalah ’pemerintah lokal’. Sebagai contoh, satu-satunya cara

mengembalikan kemakmuran pada sebagian kawasan industri, adalah dengan

meminta sektor swasta menanamkan modal untuk tujuan regenerasi dan memberikan

kesempatan kepada mereka yang ingin mencoba usaha baru. Otoritas pada pemerintah

lokal dapat memungkinkan ini terjadi melalui ’sikap’ dan ’tindakan’ mereka.

Pernyataan ini ditegaskan oleh World Bank16], yang mengatakan bahwa:

12

Page 14: Menuju Pem Ekonomi Lokal

‘LED is thus a partnership between local government, business and community

interests. Local governments have an essential role in creating favorable

environments for business success and job creation’. In so far, because of each

community have unique local conditions that can help or hinder its economic

development, so in order to build a strong local economy, each community can

undertake a collaborative process to understand and act on its own strengths,

weaknesses, opportunities and threats (SWOT analysis) .

Kedua pernyataan ini menyiratkan adanya keterkaitan antara beberapa aktor

pembangunan yang merujuk pada keharusan adanya kemitraan diantara para

stakeholder yaitu: local government, private sectors, non governmental

organizations (NGO), community base organizations (CBO), donator/creditor,

shareholders, and expertise, yang disebut sebagai public-private partnership, yang

menurut Griffin, 198921], kemitraan ini harus menjadi ’dasar tanggapan’ pemerintah

lokal untuk terus meningkatkan perhatian pada berbagai masalah sosial utama. Selain

itu, dengan adanya proses kolaborasi diantara para stakeholder, akan dapat diketahui

kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dimiliki dan dihadapi oleh daerah.

Tanpa adanya kemitraan, pembangunan ekonomi lokal akan gagal karena pemerintah

lokal sendiri tidak memiliki kemampuan untuk menyusun strategi pembangunan

ekonomi lokal, maupun melaksanakannya.

Berdasarkan berbagai pendapat ini, maka pembangunan ekonomi lokal, bukan

hanya merupakan ’retorika pembangunan ekonomi baru’, melainkan pembangunan

yang memerlukan pergeseran peran fundamental dari para aktor pembangunan,

dimana menurut ARC-LEAP, 200422], antara lain membantu peningkatan kesempatan

kerja dan pendapatan penduduk lokal, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi –

mencakup hak memiliki dan mengembangkan bisnis yang ada, maupun bisnis baru.

Secara rinci, Blakely11], menyebutkan 4 (empat) peran aktor pembangunan, yaitu:

a) Sebagai Entrepreneur/Developer. Pada peran ini organisasi, terdiri dari

pemerintah lokal dan shareholder terkait (pengusaha, investor atau donatur), harus

bertanggung jawab penuh secara komersial atas operasionalisasi bisnis mereka.

13

Page 15: Menuju Pem Ekonomi Lokal

b) Sebagai Coordinator. Pada peran ini pemerintah lokal dan beberapa stakeholder

terkait (community base organization, NGO), saling berkoordinasi dalam

menetapkan berbagai kebijakan strategi pembangunan pada beberapa wilayah.

c) Sebagai Facilitator. Pada peran ini pemerintah lokal dan para stakeholder,

menentukan promosi pembangunan terbaik yang meningkatkan kualitas

lingkungan di wilayahnya.

d) Sebagai Stimulator, pada peran ini, kelompok-kelompok organisasi dan

pemerintah lokal dapat menstimulate kreasi bisnis atau memperluas bisnis dengan

menciptakan cara-cara spesifik yang mendorong bisnis baru untuk masuk atau

menanamkan modal diwilayahnya.

4. Kemitraan dan Pro Poor Business.

Cochrane, 199223], mengatakan bahwa terdapat kaitan antara kesejahteraan

sosial, pertumbuhan, regenerasi dan kemitraan, dimana menurutnya

’...the language welfare has been replaced by the language growth, regeneration, and

public-private partnership, particularly in poorest community areas…’

Selain itu, menurut Cochrane, hubungan kemitraan ini akan memunculkan berbagai

prakarsa atau inisiatif pembangunan yang dikembangkan dan diarahkan dalam

bentuk investasi ke wilayah miskin, termasuk penggunaan dana publik sebagai 'pump-

prime’ menarik sektor swasta, menyediakan dana dan nasihat untuk prakarsa bisnis

baru, menyediakan pelatihan untuk para penganggur dan menciptakan zone dimana

bisnis diberi 'kemudahan' terhadap kewajiban pembayaran, perlakuan khusus bea

masuk dan keluar, dan penyederhanaan proses per-ijinan.

Khususnya berkaitan dengan dunia usaha, pemahaman atas ‘kemitraan’

menurut Mutis, 199524], adalah bahwa ‘kemitraan’ harus didasarkan pada

pembangunan semangat kebersamaan dalam dunia usaha yang disebut Collective

Entrepreunerial Development (CED), dimana dalam kewirausahaan kolektif,

keahlian individual diintegrasikan kedalam sebuah kelompok kemampuan kolektif

untuk melakukan inovasi menjadi sesuatu yang lebih besar daripada penjumlahan

bagian-bagiannya (penataan synergy). Selain itu, dalam kemitraan yang berproses

dikenal adanya lima (5) ragam mindset yaitu:

14

Page 16: Menuju Pem Ekonomi Lokal

1. Redistribution with growth, ada pertumbuhan melalui pemerataan. Pada saat

bisnis bertumbuh, pemerataan juga berlangsung.

2. Ada mutual benefit serta win - win solution.

3. Adanya utilisasi dari sumberdaya, sumberdana dan sumber informasi secara lebih

berdaya guna (supaya tidak terjadi idle capacity).

4. Adanya transparansi (keterbukaan) dan semangat kesetaraan (isothyma)

5. Adanya penghayatan terhadap pain sharing, process sharing, dan profit sharing

berkelanjutan, dimana ini secara serentak menghilangkan free rider economy.

Kelima mindset ini, sejalan dengan yang disebut economic goals, yaitu growth,

income distribution, justum pretium, employment creation dan efficiency generating.

Pendapat Mutis ini, tidak jauh berbeda dengan konsep Pro Poor Business atau

Sustainable livelihoods (SL) Business dari WBCSD 200425], yang berkaitan dengan

public-private partnership - particularly in poorest community areas. Secara tegas

WBCSD mengatakan bahwa:

SL business is about spurring economic development and helping low-income

communities and families build more secure livelihoods.

SL business is distinct from charity or philanthropy. It is strictly business, new

business and new markets, business that benefits the poor and benefits the

company.

Yet the emphasis on business and profitability is important for several reasons. It

means that a company’s SL business becomes part of corporate mainstream

thinking and activities

Beberapa penjelasan tersebut menyatakan bahwa SL business adalah suatu model

pembangunan ekonomi membantu masyarakat miskin memperoleh mata pencarian

yang lebih menjamin. SL business adalah bisnis baru dan pasar baru, yang bermanfaat

baik bagi masyarakat miskin maupun perusahaan terkait, jadi bukan sekedar program

kedermawanan (charity). SL business juga memperhatikan kepentingan bisnis dan

profitabilitas perusahaan, artinya SL business juga menjadi bagian dari corporate

mainstream thinking and activities.

Selain itu, WBCSD25] juga mengatakan bahwa SL Business adalah win-win business

models, karena semua perusahaan dapat membantu merancang dan melaksanakan

15

Page 17: Menuju Pem Ekonomi Lokal

model bisnis yang smart untuk menjawab tantangan ini, sekaligus memperoleh

manfaat dari kegiatan ini. Seperti disampaikan sebagai berikut:

‘All companies, regardless of their industry, can help stimulate local markets and

enable the poor to become active participants in these markets, as customers and

entrepreneurs. Designing clever business models to address this challenge will also

open new avenues of growth for the company’.

Berkaitan dengan hal ini, beberapa manfaat dari kerjasama dalam SL business

disampaikan pada table-1, dibawah ini:

Selanjutnya, salah satu tantangan terberat melakukan SL Business, adalah untuk

menciptakan suatu mindset pergeseran – kebutuhan fundamental yang harus

merangkul cara berpikir baru tentang bagaimana bisnis bisa dilaksanakan. Tantangan

inti ini juga termasuk pembiayaan dari kegiatan dan bagaimana mempergunakan

sumber daya yang tersedia secara baik. Dalam hal ini perusahaan perlu memikirkan

kembali bagaimana, dari siapa dan untuk siapa mereka menaikkan modal 25].

Pada dasarnya dalam rangka mencapai ‘sukses’, pelaksanaan SL Business harus

merefleksikan kombinasi antara Focus, Partner dan Localize (lihat Figure-1), sebagai

berikut.

FOCUS on core competencies: companies that concentrate on their key strengths

are better able to innovate around those strengths. This helps guarantee

consistency between the company’s portfolio of activities and the SL business, and

will make it easier to mainstream successful pro-poor business in the future.

16

Source: WBCSD, 2004

Table 1: Benefit for Companies and Communities

Page 18: Menuju Pem Ekonomi Lokal

PARTNER across sectors: governments and NGOs are increasingly interested in

working with business. By involving development organizations that share similar

goals, companies can benefit from on-the-ground expertise and additional

resources. Likewise, thinking across sectors might lead to innovative partnerships

involving companies from different industries, addressing a bundle of needs

holistically.

LOCALIZE the value creation: companies operating in developing countries

often lack the usual infrastructure and support systems: market intelligence,

manufacturing capabilities, or distribution channels. So they have much to gain

from tapping into local networks and local knowledge.

Dari penjelasan tersebut, maka keterlibatan pemerintah, organisasi berbasis

masyarakat, NGO atau UMKM dalam SL Business, dalam rangka menuju kesuksesan

pelaksanaannya, harus memperhatikan beberapa hal, yakni:

1. Perusahaan/UMKM harus fokus dan tetap konsisten pada kemampuan inti serta

melakukan inovasi terhadap kemampuan inti yang menjadi kekuatannya dalam

bisnis.

2. Dalam kemitraan, pemerintah dan NGOs harus bekerja sama meningkatkan

perhatian pada bisnis. Selain itu, kerjasama antar perusahaan/UMKM, harus

menegaskan adanya sharing pengalaman, keahlian dasar dan sumber daya. Upaya

kerjasama dengan sektor berbeda akan mendorong kerjasama inovatif menuju

bundel kebutuhan yang holistik.

3. Bagi perusahaan/UMKM, harus dapat melokalisir nilai-nilai kreativitas

lokal, dalam rangka membangun infrastruktur penting dan dukungan system

seperti market intelligence, manufacturing capabilities, atau distribution channels.

17

Page 19: Menuju Pem Ekonomi Lokal

Secara ringkas, model SL Business berusaha atau mencoba menemukan sinergi antara

tujuan pembangunan dengan perusahaan/UMKM yang mengoperasikan kemampuan

bisnis inti mereka. Keserasian sinergi dalam model SL Business akan memunculkan

nilai sosial-ekonomi lebih tinggi untuk masyarakat, yang seiring dengan jalur

perluasan pertumbuhan baru untuk perusahaan. (lihat Figure-2)

4. Beberapa ‘Guidance’ dalam Pro Poor Business.

Idealnya suatu pembangunan ekonomi lokal, dimulai dengan merumuskan

strategi. Salah satu tahapan proses perencanaan strategi adalah melaksanaan penilaian

18

Figure -1: The three building blocks of sucsessfull SL Business

Source: WBCSD, 2004

Source: WBCSD, 2004

Figure – 2: Maximising Social and Economic Value

Page 20: Menuju Pem Ekonomi Lokal

ekonomi lokal. Pengetahuan terhadap the context dari ekonomi lokal ini adalah rumit

(crucial) dan penting untuk membantu stakeholder menentukan strategi masa depan.

Penilaian ini memerlukan data kualitatif maupun kuantitatif atas sumberdaya,

struktur, trend produksi dan tenaga kerja, ketrampilan, dll, yang membantu

mengarahkan strategi untuk ekonomi lokal. Penilaian ini juga mengidentifikasi

sumberdaya-sumberdaya publik, bisnis, NGO; mengumpulkan dan menganalisis

informasi baru; dan membangun pengetahuan sistem managemen untuk digunakan

dalam monitoring dan evaluasi dimasa depan

ARC LEAP22], menunjukkan suatu model analisis Local Economic Assesment

Package, yang mencakup 3 (tiga) kegiatan, yaitu (Figure–3):

1. Economic Assessment: mengevaluasi profile ekonomi, trend dan proyeksi

pertumbuhan bisnis, dalam kaitannya dengan seberapa jauh gap pencapaian

ekonomi saat ini dan potensinya lebih lanjut. Penilaian ini juga mengevaluasi

pertumbuhan potensi bisnis lokal setiap sektor usaha, melalui ’rating’ keuntungan

dan kerugian dalam mendukung pertumbuhan.

2. Targeting Diagnostics, meliputi satu set diagnostik yang menilai daya saing

setiap sektor usaha lokal - relative terhadap sektor usaha lainnya. Satuan ini

mengidentifikasi kelemahan "penting" dan "kritis” yang perlu dibangkitkan, pada

sektor usaha yang memiliki potensi pertumbuhan. Analisis ini juga

memperhatikan kepekaan sektor usaha terhadap berbagai faktor yang berbeda,

relative terhadap yang dibandingkan.

3. Policy Analysis, melakukan analisis dampak berbagai alternatif kebijakan

pemerintah terhadap masa depan potensi bisnis lokal. User dapat menilai dampak

bisnis melalui perubahan ketersediaan tenaga kerja berkualitas dan atau perubahan

ketersediaan berbagai infrastruktur ekonomi, seperti jumlah & ketrampilan tenaga

kerja; akses pemasaran; kebijakan pajak; akses transportasi, dll.

19

Dengan melaksanakan LEA Package,

akan diperoleh informasi untuk

menentukan berbagai program

pembangunan ekonomi lokal secara

efektif, dengan mengambil langkah-

langkah sebagai berikut:

1) mentargetkan berbagai core

business competencies yang akan

menghadirkan prospek pertum-

buhan ekonomi lokal terbaik

2) menaksir daya saing relatif

fasilitas dan SDM/SDA lokal,

untuk mengidentifikasi, dan

menentukan prioritas perbaikan,

yang dilakukan dalam rangka

menumbuhkan ’core business

competencies’ terbaik.

Page 21: Menuju Pem Ekonomi Lokal

Figure-3: LEA Package

Selanjutnya, setelah memperoleh gambaran atas bagaimana mengetahui atau

mengidentifikasi potensi ekonomi suatu wilayah, WBCSD25] menyampaikan 5 (lima)

guidance, yang bisa digunakan sebagai pedoman untuk menerapkan Pro Poor

Business, sebagai berikut:

1. Creating wealth and opportunities – the key to alleviating poverty

Kunci untuk mengurangi kemiskinan terletak pada penciptaan kekayaan dasar,

karena bisnis merupakan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi, maka

pembangunan baik untuk bisnis dan bisnis baik untuk pembangunan. Artinya,

sektor swasta bersama-sama stakeholder terkait, dapat memberikan solusi

pembangunan berkelanjutan, dengan membangitkan peluang bisnis dan

kemakmuran.

Kegiatan ini bukan hanya menyediakan lahan subur untuk bisnis, tetapi lebih

kepada pemberdayaan masyarakat, karena dalam jangka panjang, bisnis

seiring dengan peningkatan kualitas hidup manusia menuju kearah kebebasan

20

Page 22: Menuju Pem Ekonomi Lokal

hak dan sosial. Budaya usaha tumbuh berkembang, terbuka, partisipatif dan

inisiatif.

2. Leveraging business core competencies

Banyak perusahaan menganggap bisnis telah memenuhi peran

memberi manfaat kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, melalui

aktivitas menyediakan pekerjaan, membayar pajak dan program

kedermawanan perusahaan. Pada kenyataannya program ini terbatas dan

sebagian besar jatuh diluar lingkup aktivitas mainstream bisnis.

Dewasa ini, banyak perusahaan memperkerjakan masyarakat

berpenghasilan rendah yang dinamis, memiliki prakarsa bisnis dan

memberikan kuasa serta membantu perkembangan bisnis kelompok ini.

Prinsip terkait dengan corporate social responsibility diwujudkan dengan

membangun model bisnis baru yang pro poor.

Dengan menanam modal pada ide bisnis baru yang menyediakan

produk & jasa inovatif, menciptakan pekerjaan dan ketrampilan untuk

masyarakat berpenghasilan rendah, perusahaan bertindak sebagai suatu

katalisator kuat untuk pengembangan market-based. Menjelmakan ide ini

kedalam kenyataan secara komersial, memungkinkan perusahaan tidak hanya

menginvestasikan sejumlah besar modal, tetapi juga meningkatkan successful

pilot projects, yang akan memperbaiki kehidupan orang banyak menjadi

semakin mantap.

Dengan recovering biaya-biaya awal dan menjadi self-financing, solusi

bisnis ini dapat tumbuh menyebar jauh diluar batas kemungkinan, bahkan bagi

proyek charity terbaikpun. Meskipun demikian, keunikan dari setiap daerah

memerlukan suatu solusi khusus untuk menjawab tantangan. Model bisnis ini

juga sangat mudah dioperkan dan mempunyai dampak pengembangan

berkelanjutan yang jauh lebih besar.

3. Exploring new ways of doing business Corak (feature) prakarsa bisnis ini, menunjukkan bagaimana perusahaan

bergerak jauh diluar batasan kedermawanan konvensional, untuk

memperlihatkan bagaimana suatu ‘inclusive business’ - bisnis yang mencakup

21

Page 23: Menuju Pem Ekonomi Lokal

semua kelompok sosial - dapat memberikan perbedaan pada kehidupan

masyarakat. Perusahaan merasa wajib menginvestasikan sumberdaya untuk

mengembangkan potensi mereka, sedemikian sehingga dapat memperkuat

peran SL bisnis pada usaha global yang direncanakan untuk mengurangi

kemiskinan.

Prakarsa ini menciptakan nilai sumberdaya masyarakat, seperti pendapatan

untuk keluarga miskin, memperbaiki kondisi kehidupan dan ketersediaan atas

jasa penting. Sebagian dari manfaat terlihat jelas dan dapat secara langsung

melekat pada kesuksesan usaha bisnis. Bagaimanapun, untuk menikmati

manfaat terukur diperlukan waktu, karena banyak proyek masih pada tahap

awal.

Sebagai tambahan, inovasi alami mereka berarti bahwa, ada sangat sedikit

indikator dan mekanisme monitoring yang diterima untuk mengukur

pengembangan manfaat. Ini membuat penilaian lebih menantang.

4. Maximizing opportunities for the poor

Pro-poor bisnis mengarahkan untuk menciptakan peluang lebih bagi

penduduk miskin dalam rangka meningkatkan taraf hidup mereka sendiri,

antara lain peluang untuk mengakses air aman, makanan, pakaian, pendidikan,

kesehatan, transportasi dan energi; peluang untuk mendapat nafkah dan untuk

menanam modal guna masa depan keluarga. Peluang ini membantu

mempercepat pengembangan masyarakat secara mandiri.

Keleluasaan akses yang didasarkan untuk meningkatkan peluang bisnis,

adalah penting untuk memasuki virtuous cycle dari ekonomi dan

pembangunan manusia. Karena untuk tumbuhnya suatu perekonomian lokal,

kedua sisi penawaran dan sisi permintaan pasar harus dirangsang.

Pada negara berkembang, UMKM adalah pengarah utama inovasi,

kewirausahaan dan ketenaga-kerjaan. Membangun suatu campuran yang sehat

antara usaha besar berkwalitas dengan UMKM, penting untuk memperkuat

dan memperluas basis ekonomi. Ini dilakukan dengan membangun kapasitas

usahawan lokal dan menanamkan modal dalam pelatihan yang memastikan

22

Page 24: Menuju Pem Ekonomi Lokal

suatu kekuatan pekerja trampil akan mengembangkan atau membangun

perekonomian lokal.

5. Playing to each other’s strengths

Banyak cerita sukses berakhir baik melibatkan partnerships antara agen

pemerintah dan NGO, dan banyak model partnerships baru diciptakan.

Bisnis dapat memperoleh manfaat dari on-the-ground expertise organisasi

pengembangan dan sebaliknya. Ada pertumbuhan pengenalan dalam

pengembangan bisnis masyarakat, bahwa sektor swasta membawa teknologi,

sumber daya, effective delivery, jangkauan global dan pemahaman cara

memasarkan produk. Tidak satupun itu kemampuan inti agen pengembangan,

tetapi dapat digunakan membantu menemukan kebutuhan pengembangan.

Pada akhir dekade, bisnis dan agenda kebijakan publik semakin jelas, dimana

suatu visi bersama dan strategi forward-looking, menyediakan kesempatan

yang belum pernah terjadi selama ini, yaitu bekerja sama ke arah pengurangan

kemiskinan.

III. KESIMPULAN

Berdasarkan berbagai uraian yang telah disampaikan tersebut diatas, maka

pada bagian ini penulis mencoba untuk membuat kesimpulan bagaimana

melaksanakan Pembangunan Ekonomi Lokal Berkelanjutan yang bertujuan untuk

mengentaskan kemiskinan, melalui pemberdayaan UMKM - di Indonesia,

disampaikan sebagai berikut;

1. Persayaratan awal, dimuali dari adanya perbaikan pada Pemerintahan Lokal

dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas: SDM, kelembagaan, regulasi,

fungsi & peran DPRD, berbagai fasilitas pendukung, dll, yang diperlukan dalam

rangka untuk menjamin kelancaran pembangunan ekonomi lokal.

2. Pembentukan jaringan kerjasama antara pemerintah lokal dengan organisasi

berbasis masyarakat, swasta, dan komunitas donor/kreditor dalam dan luar negeri

(public-private partnerships).

23

Page 25: Menuju Pem Ekonomi Lokal

3. Berdasarkan public-private partnerships, ditentukan peran dari masing-masing

aktor pembangunan, meliputi entrepreneur/developer, facilitator, coordinator dan

stimulator. Dari berbagai peran ini, diharapkan terjalin suatu sinergy yang akan

mewujudkan human building, capital & financial building, capacity building dan

capability buliding..

4. Public-private partnerships, merumuskan berbagai prakarsa pembangunan

yang berpedoman pada hasil analisis terhadap potensi daerah atau atribut lokal,

menggunakan model Local Economic Assesment Package atau SWOT Analysis.

5. Berbagai prakarsa pembangunan ini, harus merefleksikan kombinasi antara Focus,

Partner dan Localize, yaitu fokus pada kemampuan inti perusahaan, adanya

partisipasi aktif dari angkatan kerja lokal, UMKM lokal dan wirausaha lokal, dan

adanya kemitraan dengan sumberdaya eksternal, apakah keahlian suatu organisasi

pengembangan atau ketrampilan yang komplementer dari perusahaan lain.

6. Berbagai prakarsa ini juga harus diwarnai oleh pembangunan yang menggunakan

atau menerapkan model SL Business atau Pro Poor Business pada UMKM.

7. Berbagai prakarsa pembangunan ini harus mengarah pada 5 (lima) guidance

yaitu: Creating wealth and opportunities, Leveraging business core competencies,

Exploring new ways of doing business, Maximizing opportunities for the poor,

Playing to each other’s strengths

--- ooo 000 000 ooo ---REFERENSI:

1] KPIN, 2003, dalam Ryan Sanjaya, Muhammad Aditya dan Alhayat, P, 2004, Komoditi Unggulan Daerah Sebagai Basis Pengembangan Industri Dalam Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Provinsi D.I. Yogyakarta, 1995 – 2002.

2] Tobing, Elias L, 2001, dalam Bisnis Indonesia, Sumbangan Usaha Mikro untuk PDB,. Asia Pacific Forum (APF), All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited, Jakarta.

3] Asnawi, Hasan, 2001, dalam Bisnis Indonesia, Sumbangan Usaha Mikro untuk PDB,. Asia Pacific Forum (APF) All rights reserved. Reproduction in whole or in part without permission is prohibited, Jakarta.

4] Townsend , Peter, 1979, Poverty in the United Kingdom, dalam Adam Sandhell, 1996, Urban Poverty in the UK: Is Local Economic Development The Answer?, Nuffield College, University of Oxford, M.Sc. Comparative Social Research.

5] Menko Perekonomian, 2005, dalam Indrawati, Sri Mulyani, 2005, MDG’s di Indonesia, Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, Kantor MenKo Perekonomian, Jakarta

24

Page 26: Menuju Pem Ekonomi Lokal

6] UNDP, 2005, Energizing the Millennium Development Goals: (A Guide to Energy’s Role in Reducing Poverty, the World Bank Report, London.

7] Indrawati, Sri Mulyani, 2005, MDG’s di Indonesia, Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, Kantor MenKo Perekonomian, Jakarta

8] RAPBN, 2007, dalam Kerangka Ekonomi Makro 2007, Dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2007, Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2006 -17 Maret 2006, Menteri Keuangan RI, Jakarta

9] Mardiasmo, 2002, Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis Perekonomian Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta.

10] DFID, (Department For International Development), 2003, Bertelsmann Stiftung, Local Economic Development LED Quick Reference, Urban Development Unit, the World Bank Report, London

11] Blakely, Edward J. and Ted K. Bradshaw, 2002, Planning Local Economic Development; Theory and Practice. 3rd edition Sage Publication, London and New Delhi

12] Bank, World dan ILO, 2001, dalam Base Line Survey Potensi Ekonomi Daerah, Laporan Triwulan Dunia Usaha, Bank Indonesia, Jakarta.

13] ESCAP, 1996, Local Economic Development, the Department of the Environment; Economic and Social Commission for Asia and the Pacific.

14] Bank Indonesia, 1997, dalam, Triyowati, Hermien, 1999, Kesiapan Koperasi dan SME’s Dalam Mendukung Program Ekonomi Kerakyatan, Laporan Hasil Penelitian, FE Usakti, Jakarta.

15] Musselman, VA & Jhon HJ, 1989, dalam, Triyowati, Hermien, 1999, Kesiapan Koperasi dan SME’s Dalam Mendukung Program Ekonomi Kerakyatan, Laporan Hasil Penelitian, FE Usakti, Jakarta.

16] Bank, World, 2003, Local Economic Development, LED Quick Reference, Urban Development Unit.17] Adam Sandhell, 1996, Urban Poverty in the UK: Is Local Economic Development The Answer?

Nuffield College, University of Oxford, M.Sc. Comparative Social Research.18] CIDA, 2003, Indonesia Consultation Document: Interim Poverty Reduction Strategy Paper.

Canadian International Development Agency, Ottawa, Vancouver19] UNDP Executive Board 2003, Decentralized Government for Development, Urban Development

Unit, the World Bank Report, London20] Ridley, Nicholas, 1988, Policy for the Inner Cities, Secretary of State for the Environment, Puerto

Rico. 21] Griffin, Derek, 1989, New Directions In Public Services, Economic Development, Survey of Local

Authorities and Economic Development, forthcoming, INLOGOV22] ARC-LEAP, 2004, Assessing Local Economic Development Opportunities, Economic Development

Research Group, Inc. Oliver Street, 9th Floor, Boston, MA 0210923] Cochrane, 1992, dalam Ridley, Nicholas, 1988, Policy for the Inner Cities, Secretary of State for the

Environment, Puerto Rico.24] Mutis, Thoby, 1995, dalam, Triyowati, Hermien, 1999, Kesiapan Koperasi dan SME’s Dalam

Mendukung Program Ekonomi Kerakyatan, Laporan Hasil Penelitian, FE Usakti, Jakarta. 25] WBCSD, 2004, Doing Business With The Poor, a field guide, ISBN 2-940240-54-X, Printed by Atar

Roto Presse SA, Switzerland

25