3
Merenungkan Kehambaan Bersama Para Imam oleh Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna. 18/04/2015 “Hai manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa.” (QS Al Baqarah [2]: 21) “Ini adalah suruhan menyeluruh kepada segenap manusia”, demikian Al ‘Allamah As Sa’di dalam Taisirul Karimir Rahman, “Dengan perintah yang umum. Ialah ibadah kesemuanya, dengan melaksanakan perintahNya, menjauhi laranganNya, dan membenarkan pekabaranNya.” “Yang mencipta”, demikian lanjut beliau, “Adalah yang paling berhak untuk disembah.” Dan pada kata “Rabb” yang mencipta itu, telah terkandung makna bahwa Dia pula Yang Menguasai dan Memiliki, Memelihara dan Menjaga, Menumbuhkan dan Mengajari, Mengembangkan dan Mengaruniakan rizqi, serta Mengatur Urusan dan Meminta Pertanggungjawaban. Maka sudah selayaknya Dia menjadi Yang Diibadahi. Dialah Al-Ilah, yang pada kata ini terkandung makna sebagai satu-satunya Yang ditunduki, diharapi, dicintai, dan ditaati. “Ayat ini menghubungkan penciptaan dengan kehambaan”, demikian menurut Dr. Nashir ibn Sulaiman Al ‘Umar dalamLiyadabbaru Ayatih, “Maka tiap kali ruh kehambaan dan ‘amal ‘ibadah

Merenungkan Kehambaan Bersama Para Imam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

salimafillah

Citation preview

Page 1: Merenungkan Kehambaan Bersama Para Imam

Merenungkan Kehambaan Bersama Para Imam

oleh Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna. 18/04/2015

“Hai manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian

bertaqwa.” (QS Al Baqarah [2]: 21)

“Ini adalah suruhan menyeluruh kepada segenap manusia”, demikian Al ‘Allamah As Sa’di dalam Taisirul Karimir Rahman,

“Dengan perintah yang umum. Ialah ibadah kesemuanya, dengan melaksanakan perintahNya, menjauhi laranganNya, dan

membenarkan pekabaranNya.”

“Yang mencipta”, demikian lanjut beliau, “Adalah yang paling berhak untuk disembah.” Dan pada kata “Rabb” yang mencipta

itu, telah terkandung makna bahwa Dia pula Yang Menguasai dan Memiliki, Memelihara dan Menjaga, Menumbuhkan dan

Mengajari, Mengembangkan dan Mengaruniakan rizqi, serta Mengatur Urusan dan Meminta Pertanggungjawaban.

Maka sudah selayaknya Dia menjadi Yang Diibadahi. Dialah Al-Ilah, yang pada kata ini terkandung makna sebagai satu-satunya

Yang ditunduki, diharapi, dicintai, dan ditaati.

“Ayat ini menghubungkan penciptaan dengan kehambaan”, demikian menurut Dr. Nashir ibn Sulaiman Al ‘Umar

dalamLiyadabbaru Ayatih, “Maka tiap kali ruh kehambaan dan ‘amal ‘ibadah kita melemah, sungguh baik jika kita merenungkan

dalam-dalam berbagai keagunganNya dalam penciptaan.”

Inilah para Imam yang mulia membawakan teladan tafakkur untuk kita.

Page 2: Merenungkan Kehambaan Bersama Para Imam

“Di sini terdapat sebuah benteng yang sangat kokoh dan halus”, ucap Imam Ahmad ketika mentakjubi Rabbnya Yang Maha

Pencipta. “Ia tak berpintu, tanpa jalan masuk dan tiada jalan keluar. Bagian luarnya tampak seperti perak dan bagian dalamnya

serupa emas murni. Ketika ia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba dinding benteng itu retak dan pecah. Lalu dari dalamnya

keluarlah sesosok makhluq yang dapat mendengar, dapat melihat, serta memilki bentuk yang sangat elok dan suara yang sangat

indah.”

“Yang kumaksud adalah telur”, ujar beliau sembari tersenyum, “Ketika anak ayam keluar memecah cangkangnya.”

Bertahun-tahun sebelumnya, guru beliau punya ungkapan yang tak kalah menakjubkan. “Inilah tumbuhan murbei”, tutur Imam

Asy Syafi’i, “Yang Dia ciptakan dalam satu bentuk, satu warna, dan satu rasa. Jika ia dimakan oleh ulat sutra, jadilah nanti

benang-benang yang sangat halus dan indah. Jika ia dimakan oleh lebah, jadilah ia madu yang manis dan segar rasanya. Jika ia

dimakan oleh kambing, jadilah ia susu yang murni lagi bergizi. Jika ia dimakan oleh rusa kasturi, ia akan menjadi wewangian

yang harum dan suci.”

Sementara itu, Imam Malik juga pernah ditanya oleh Harun Ar Rasyid tentang keberadaan Allah sebagai Pencipta. Beliaupun

menyebut berbagai warna dan rupa, bahasa dan bangsa, serta suara dan nada; sebagai tanda betapa Maha Indah Penciptanya. Atau

seperti dikatakan orang ‘Arab, “Subhanallah.. Kotoran unta menunjukkan adanya unta, dan jejak kaki menunjukkan adanya

seseorang yang pernah berjalan. Bukankah langit mempunyai gugusan bintang, bumi memiliki hehamparan, dan lautan dihiasi

gelombang? Tidakkah yang demikian itu menunjukkan pada kita adanya Al Lathiful Khabir, Yang Maha Lembut Lagi Maha

Mengetahui?”

Dan sungguh telah datang kepada Imam Abu Hanifah beberapa orang zanadiqah, mereka yang mengingkari wujud Allah ‘Azza

wa Jalla sebagai sang Pemilik, Pemelihara, Pemberi Rizqi, dan Pengatur Alam Semesta. Mereka mengajaknya berdebat tentang

hakikat keberadaan Rabbul ‘Alamin.

“Biarkan sejenak aku di sini”, kata sang Imam, “Sebab aku sedang memikirkan apa yang baru saja terlintas di benakku.”

“Apakah itu?”, tanya mereka.

“Bahwa ada sebuah bahtera  yang berlayar lagi sarat dengan barang muatan dan tak ada seorangpun yang menjaga,

mengendalikan, dan mengarahkannya. Namun demikian, kapal itu tetap melaju dengan lancar, menembus badai dan menghadapi

Page 3: Merenungkan Kehambaan Bersama Para Imam

topan, meski tanpa nakhoda. Ia terus melaju dengan tenang dan selamat sampai tujuan tanpa seorang awakpun yang

memandunya.”

“Ini adalah hal yang tak patut dikatakan orang berakal”, sahut mereka. “Bagaimana mungkin ada kapal berlayar tanpa awak dan

nakhoda?”

“Aduhai kalian”, timpal Imam Abu Hanifah, “Jadi apakah menurut kalian jagad raya yang demikian tertata penciptaannya, silih

berganti malam dan siangnya, serta teratur pengisarannya ini bisa selamat dari kekacauan dan kehancuran jika tak ada Yang

Mencipta dan Mengendalikannya?” Maka mereka semua diam terbungkam.

Inilah indahnya pemahaman keempat Imam yang mulia tentang keagungan Rabbnya yang telah mencipta. Adakah tafakkur kita

melihat telur, daun, bahtera, dan semesta sedalam perenungan mereka?