278
ANTOLOGI CATATAN KEHIDUPAN MASYARAKAT LOKAL DI TELUK BINTUNI, PAPUA BARAT MERETAS HARAPAN DI KAMPUNG PETATAS

Meretas Harapan Di Kampung Petatas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Meretas Harapan Di Kampung Petatas

Citation preview

Page 1: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

ANTOLOGI CATATAN KEHIDUPAN MASYARAKAT LOKAL DI TELUK BINTUNI, PAPUA BARAT

MERETAS HARAPAN DI KAMPUNG PETATAS

Page 2: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

Hak Cipta dilindungi undang-undang.Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Page 3: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

ANTOLOGI CATATAN KEHIDUPAN MASYARAKAT LOKAL DI TELUK BINTUNI, PAPUA BARAT

MERETAS HARAPAN DI KAMPUNG PETATAS

TIM KKN-PPM UGM TELUK BINTUNI 2011

Page 4: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

Meretas Harapan Di Kampung PetatasAntologi Catatan Kehidupan Masyarakat Lokal di Teluk Bintuni, Papua Barat

Oleh Tim KKN-PPM UGM Teluk Bintuni 2011

Editor: Agus Heruanto Hadna, Anna Marie WattiePenata letak: Febrian Satrio

Foto sampul dan isi: Michael Aji Pradipta, Norombini Rumawas, Doni BagoesDesain Sampul: Febrian Satrio

Diterbitkan oleh© Penerbit PSKK UGM

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGMJl. Tevisia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Indonesia

Telp. (0274) 547867, 556564, 6491153, 6491154 Fax. (0274) 556563Bulaksumur G-7, Yogyakarta 55281 Indonesia

Telp. (0274) 5603079, 6491152 Fax. (0274) 582230E-mail: [email protected]

Homepage: http://www.cpps.or.id

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN 978-979-3969-44-2

Page 5: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

TIM KKN-PPM UGM 2011TELUK BINTUNI, PAPUA BARAT

ANTOLOGI CATATAN KEHIDUPAN MASYARAKAT LOKAL DI TELUK BINTUNI, PAPUA BARAT

“Meretas Harapan di Kampung Petatas”

Page 6: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 7: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

Dari langit, kami tengadah-kan kepala. Dari langit, kami membuka mata. Dari langit, kami rendahkan hati. Masih

ada langit di atas langit. Lelah menghitung berapa banyak langit terbentang di atas sana. Lebih baik, turun ke bumi, karena di sini, semua sama. Hanya persoalan tanah di sudut sendiri. Aku di barat, kau di timur. Tapi bukankah keber-ada-an kita, di atas tanah bumi dan di bawah satu langit yang sama? Ribuan kilometer kami susuri ben-tang an laut dan gunung. Ke-kota-an dan ke-sarjana-an menjadi diktum keangkuhan yang mengurung kesadaran. Sebelum akh-irnya ketuk an pintu tanpa suara itu datang, menyentak kesadaran kami yang berser-akan. Kaulah langit itu. Kau yang me-naung i. Kau yang menjaga. Keramahan dan keterusteranganmu itu, menimang-nimang kami dalam damai yang teduh. Kami ba-hagia menjadi bumi. Kami datang ke ta-nahmu untuk belajar. Meneguk makna dan pelajaran dari ke-manusiaan-mu yang kaya. Tentang kerja keras, tentang cinta dan kasih sayang, tentang pengorbanan, tentang ke-ceriaan, tentang ketulusan, tentang keseder-hanaan. Atas nama mimpi dan harapan....

Page 8: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

Bibit-bibit itu, menjadi simbol bagi optimisme. Bibit itu akan tumbuh, menjadi energi, mengirim balik materi,

mencipta masa depan yang utuh. Karena selama bibit masih bisa ditanam, selama itu pula manusia masih memiliki masa depan....

Page 9: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 10: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

Papua tidak hanya sekedar koteka, rambut keriting dan kulit hitam, atau tam-bang emas di Grasberg dan Ertsberg. Meskipun banyak yang tahu dan sadar akan eksotisme Bumi Papua, hanya segelintir saja yang menyadari kompleksitas sosial bu-daya masyarakatnya. Buku “Meretas Harapan di Kampung Petatas” ini hadir dengan kumpulan tulisan yang mencoba menggambarkan secara jujur dan nyata perihal so-sial budaya masyarakat Papua, khususnya masyarakat di kampung-kampung lokal di Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat.

Buku ini merupakan rangkuman perjalanan Tim KKN-PPM UGM Teluk Bintuni 2011. Kehidupan bersama masyarakat kampung lokal di Kabupaten Teluk Bintuni melahirkan beragam catatan kehidupan berharga yang teramat sayang jika tidak dikumpulkan dan dibukukan. Tim KKN-PPM UGM Teluk Bintuni 2011 men-ganggap penerbitan buku ini penting agar kita bisa mengambil pelajaran dari ber-bagai permasalahan dan kompleksitas sosial yang dialami oleh masyarakat Pa pua. Kehidupan masyarakat kampung lokal dengan adat istiadat, bahasa dan karakteristik tersendiri yang menunjukkan kehidupan mereka sebagai sebuah suku sangat menarik dibicarakan. Meskipun tulisan dalam buku ini dihimpun secara terpisah dengan bera-gam topik bahasan tentang kehidupan masyarakat kampung lokal di Teluk Bintuni, setidaknya buku ini mampu menggambarkan kegelisahan masyarakat kampung lokal dalam menghadapi kebudayaan global. Di tengah kegelisahan itu ternyata mereka masih memiliki harapan dan keinginan yang kuat untuk maju dan hidup sejahtera. Harapan itu muncul sejalan dengan proses transisi yang mereka alami selama be-berapa dekade terakhir ini

Penerbitan buku ini diharapkan mampu mengisi kekosongan literatur, cerita etnografi dan kajian ilmiah yang berbasis pengalaman empiris yang dialami maha-siswa. Sehingga masyarakat bisa mendapatkan penggambaran kehidupan yang lebih nyata tentang kehidupan masyarakat kampung lokal Papua. Belum semua aspek yang

Sekapur Pinang

Page 11: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

dialami oleh masyarakat kampung lokal di Teluk Bintuni dibahas dalam buku ini, masih banyak sisi-sisi kehidupan yang belum terungkap. Namun demikian, buku ini merupakan upaya kami untuk menggugah hati masyarakat luas, serta ikut merasakan detak kehidupan masyarakat kampung lokal Papua Barat. Mereka punya cerita, dan kita adalah bagian dari cerita kehidupan mereka.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni, BP-Tangguh, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UGM, dan pihak-pihak lain yang telah berkiprah bersama dalam pelaksanaan KKN-PPM UGM Teluk Bintuni 2011. Semoga buku ini bermanfaat dan mampu memberi inspirasi bagi kita semua.

Ketua Tim KKN-PPM UGM Teluk Bintuni 2011,

Dr. Agus Heruanto Hadna, S.I.P., M.Si.

Page 12: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

Pengabdian menembus tiga zona waktu, menyebrangi lautan dari Surabaya di timur pulau Jawa, singgah di pelabuhan Makassar, hingga tiba di Manokwari se-belah barat pulau Papua. Perjalanan lima hari mengarungi samudera ditambah sehari semalam menembus rimba gunung, adalah tempaan fisik dan mental agar kami siap mencipta karya-karya bermanfaat di tanah tujuan. Teluk Bintuni, kabupaten di dagu kepala burung yang baru delapan tahun mekar dari Manokwari, adalah tempat kami mengabdi. Perjalanan ini ‘mengenalkan’ kami pada sebenar-benarnya tanah dan air. Tidak di langit, seperti manusia-manusia langit yang menolak menjadi bumi.

Tak ada yang lebih menginspirasi kami selain diktum milik Muhammad Yu-nus, seorang pembaharu sosial dari Bangladesh yang mendunia lewat karya pengab-dian yang sukses mengubah masa depan masyarakat miskin di negaranya. Ia pernah bertutur, “Mari tinggalkan pola pikir seekor burung, yang memungkinkan kita melihat segala-galanya jauh dari atas, dari langit. Mulailah dengan memiliki cara pandang seekor cacing tanah, yang berusaha mengetahui apa saja yang terpapar persis di depan mata—mencium baunya, menyentuh-nya, dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa kita lakukan”.

Masa pengabdian telah usai, tapi jejak tak akan hilang, ia terekam abadi ber-sama kumpulan hari ke hari, waktu demi waktu yang berlalu. Sesampainya di Yogya-karta, kami tergerak untuk mendokumentasikan serangkaian jejak itu dalam sebuah buku. Kami menulis tentang suara, agar menjadi tulisan-tulisan yang bersuara. Buku ini dengan caranya sendiri ingin mengungkapkan makna kehidupan yang dimiliki oleh masyarakat di kampung-kampung lokal di Teluk Bintuni secara kompleks dalam variasi maupun dalam sifatnya yang universal. Terlepas dari isu-isu yang sering dilon-tarkan oleh para pemerhati tanah Papua, dalam banyak hal memang pembicaraan mengenai tanah Papua hanya berkutat sekitar 4K (kemiskinan, kesehatan, keterbe-lakangan, dan kebodohan), seolah-olah jika kita membicarakan tanah Papua selalu saja hanya mengenai isu-isu tersebut. Padahal realitas empiris kehidupan masyarakat

Prolog

Page 13: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

yang ada di tanah Papua sangatlah unik dan beragam jika digali secara lebih men-dalam.

Mengangkat tema besar transisi, identitas, dan pencerahan, para penulis dalam buku ini dengan bahasa yang jujur, lugas, dan apa adanya mencoba mem-berikan gambaran nyata mengenai potret, kondisi, posisi dan irama kehidupan yang bergulir-berkelindan dalam keseharian masyarakat di kampung-kampung lokal. Kumpulan tulisan ini sekaligus juga mengungkap serpihan-serpihan pengalaman dan pembelajaran yang kami dapatkan selama proses KKN-PPM UGM pada bulan Juli-Agustus 2011 lalu di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat.

“Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau dia tak menge-

nal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah

berbuat sesuatu kebajikan untuknya.” (Pramoedya Ananta Toer)

Membuka Kerudung Realitas

Lembar demi lembar tulisan dalam buku ini, sejatinya berawal dari satu ka-limat yang tertuang dalam buku “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan” karangan Dr. Hans J. Daeng (2000), “Tempora Mutantur et nos Mutamur Illis”—waktu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya. Daeng mengatakan, bahwa itulah makna ke-hidupan dalam berbudaya. Dengan kebudayaan, tampaknya, hidup menjadi lebih bermakna dan manusia menjadi lebih arif. Perenungan yang dalam tentang makna manusia, akan mengajak manusia untuk menjadi bijak mengikuti perubahan waktu. Bahwa perubahan itu sendiri merupakan suatu yang konstan yang justru memperli-hatkan suatu proses yang dinamis dalam kehidupan masyarakat.

Orang kemudian bisa memberi tafsir yang bermacam-macam tentang pe-rubahan masyarakat dan kebudayaan, karena keduanya memang kaya dengan nu-ansa. Meminjam paradigma Kuntowijoyo, bahwa tulisan ini mencoba memperlaku-kan kebudayaan sebagai proses transformation in continuity and continuity in transformation. Bahwa kebudayaan tidak mungkin ada tanpa sejarah dan sejarah tidak mungkin ada

Page 14: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

tanpa kebudayaan; melalui sejarah kebudayaan terwujud, dan melalui kebudayaan sejarah mengada.

Dari sana, kita akan mampu melihat sintesis utama dari kemajuan perada-ban hari ini yang terwujud dalam arus modernitas, yang pada satu sisi memberikan implikasi berupa perkembangan ilmu, teknologi, dan pemikiran rasional. Sementara di sisi lain, modernitas memberikan doktrinasi untuk melawan dan menghilangkan pengaruh agama dan dogma, serta ingin menggantikannya dengan pendekatan yang lebih berdasarkan akal budi dalam kehidupan praktis (Giddens, 2003).

Posisi ini dalam pemahaman budaya masyarakat Papua akan menjadi tan-tangan mengingat masih mengakarnya berbagai dogmatisme komunitas adat, baik yang telah berdiaspora dalam ruang modernitas maupun yang bertahan dengan budaya lama. Salah satu kelompok masyarakat adat di Nusantara yang masih kon-sisten mempertahankan kebudayaan turun-temurun itu adalah adat di suku-suku asli Papua. Dalam tulisan ini secara khusus mengangkat fenomena yang terdapat dalam sistem ekonomi yang bertalian erta dengan sistem kekerabatan sosial di Suku Sougb yang berdiam di Teluk Bintuni, Papua Barat.

Di Papua nilai sosial jauh lebih tinggi dari nilai ekonomi. Hampir setiap rumah di Papua bukan berisi keluarga inti, yaitu bapak, ibu dan anak. Setiap rumah berisi keluarga besar. Sistem budaya mengkondisikan bapa, mama, anak, ade, ipar, mertua tinggal bersama, belum lagi acara adat yang melibatkan seluruh keluarga be-sar dengan biaya yang besar juga. Namun realitas sosial dan budaya bukan tentang hitung-hitungan matematis. Kuantifikasi materi belum tentu berkelindan dengan du-nia imateri. Keunikan sistem kekerabatan yang menjadi tradisi di kampung Iguriji, Missin dan Teluhwer yang dibawa oleh sistem keadatan suku Sougb ternyata tidak menjadikan masyarakat hidup di tengah kesengsaraan.

Mereka boleh saja hidup tanpa aset dan keberlanjutan produktivitas eko-nomi yang tetap, juga tanpa pola pikir jangka panjang (menabung dan berinvestasi) yang lumrah berterima dalam masyarakat modern perkotaan. Tapi di tengah belum majunya tatanan kehidupan yang berkembang di kampung-kampung lokal itu, mer-eka tampak menjalani keseharian dengan penuh antusias dan bahagia. Mereka sangat

Page 15: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

menikmati dan bangga dengan sistem adat yang tetap terjaga. Ya begitulah adanya, eksotisme Tanah Papua memang menyimpan keunikan beserta kearifannya sendiri. Cinta di tanah ini, adalah cinta keterikatan materi. Tapi apa yang tampak itu bukan-lah simbol tertinggi. Tumpukan materi hanyalah tanda, sementara makna, memiliki kedudukan berkali lipat lebih tinggi daripadanya.

Sebab, kebahagiaan itu rumusnya sederhana, karena ia bersumber dari akal dan hati, maka kata kuncinya adalah kesadaran. Kesadaran diri adalah kemampuan kunci untuk memahami segala sesuatu yang terjadi dan terus dalam proses menjadi - ‘what is happening and how something takes the process to happen’. Dengan kesadaran diri yang tinggi maka kaki kita akan mantap menginjak realitas dan akan berpikir rasional dalam melakukan setiap tindakan. Karena bahagia adalah masalah mengelola hati untuk bisa menerima apa yang kita miliki dengan rasa syukur, perasangka baik, dan penuh kesabaran.

Haruskah Kita Tetap Merawat yang Tradisional?

Kenyataannya, segala tradisi puritan yang kita temukan dalam realitas kes-eharian masyarakat Papua itu juga tidak berjalan di tempat. Perlahan seiring berger-aknya waktu, terjadi pula pergeseran dan perubahan struktural maupun kultural secara natural. Kuntowijoyo dalam berbagai tulisannya telah memberi pemaknaan, bahwa suatu sistem budaya itu tidak akan pernah berhenti. Ia juga mengalami perubahan dan perkembangan, baik karena dorongan-dorongan dalam maupun dorongan luar. Interaksi antara komponen-komponen budaya itu dapat melahirkan bentuk-bentuk simbol baru. Demikian juga interaksi budaya dengan pengaruh-pengaruh luar sering dapat mengubah sistem budaya, baik komponennya atau bahkan keseluruhannya.

Pada titik inilah tampak fenomena yang menarik, kita melihat pergulatan glokalisasi (bukan globalisasi) di mana terjadinya tarikan global serta penjagaan lo-kal yang sama-sama beradu kuat. Mereka tidak hanya menyerahkan budaya lokal untuk bertahan walaupun secara kodrat tidak akan hilang, tetapi ikut bertanggung-jawab mempertahankannya, sehingga identitas kelompoknya juga turut bertahan. Bagi kami, mereka yang memilih untuk berani memangku globalisasi modern, adalah

Page 16: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

sekelompok masyarakat yang tercerahkan. Mereka menyimbolkan rangka dirinya se-bagai modern, dan isi jiwanya yang kental tradisi. Seperti yang Hobsbawm pernah katakan, bahwa “tradisi yang ditemukan” menunjukkan ketersambungan (keter-hubungan) dengan masa lalu. Ini berarti, masa lalu tidak benar-benar ditinggalkan meskipun zaman sudah berangkat sangat progresif.

Dalam alur tulisan di buku ini, kami memaknai kebudayaan dalam tiga cara pandang, yaitu sebagai gagasan, serangkaian proses, maupun sebentuk material fisik. Empat belas tulisan dalam buku ini diawali dengan kajian mengenai sejarah geo-grafis kampung, sebuah proses atas pencarian identitas diri terus yang berjalan bagi masyarakat lokal di Teluk Bintuni. Perjalanan hidup yang dikelilingi oleh arus mo-dernitas di antara kokoh-lekatnya nilai-nilai kultural, membawa masyarakat lokal di Teluk Bintuni pada ruang transisi. Berlanjut dengan gambaran reflektif mengenai perjuangan masyarakat lokal di kampung-kampung itu untuk mengubah nasib dan mencipta jalan pencerahan lewat pengetahuan lokal yang berbalut dengan kesadaran berpendidikan.

Page 17: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

Dibahas pula mengenai peran religiusitas yang hadir mencerahkan masyara-kat. Perubahan adalah tentang proses, dan proses adalah waktu. Namun, yang lebih esensial dari perubahan itu adalah sang pengubah itu sendiri. Agama menjadi energi pengubah cara pandang yang secara nyata mampu mempengaruhi perubahan pikir, tutur, dan tindakan masyarakat kampung. Selanjutnya tulisan bercerita perihal peran ganda para perempuan di kampung-kampung, dalam ragam aktifitas dan pekerjaan yang harus dimulai sejak matahari terbit hingga malam menjelang tidur. Selain men-jalankan kodratnya sebagai isteri dan ibu, mereka ternyata juga menjadi penopang ekonomi rumah tangga. Tulisan tersebut langsung berkait pula dengan pola asuh yang terjalin antara orang tua dan anak, berupa penanaman nilai-nilai sosial sejak dini kepada anak-anak seperti etos kerja yang tinggi, bekerja sama, dan gotong royong langsung dicontohkan oleh para orang tua di kampung.

Catatan berikutnya mengenai potret kebahagiaan masyarakat kampung dalam rangkaian-rangkaian seremonial berbalut adat. Tulisan ini ingin menuturkan makna bahwa setiap masyarakat berhak atas kebudayaannya karena pada dasarnya

Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat

Page 18: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

ia telah memiliki unifikasinya sendiri. Tulisan mengenai babi, sebagai hewan yang sangat dihormati dan melekat dalam tradisi masyarakat lokal di kampung-kampung itu juga kami angkat. Pemanfaatan babi tidak terbatas pada bahan makanan dan hidangan dalam pemenyambutan tamu maupun perayaan acara adat. Menariknya, di Kampung Iguriji misalnya, dikenal adanya “penyakit adat” dan babi adalah obat satu-satunya.

Masyarakat di kampung lokal juga memiliki ragam kebudayaan material fisik yang termanifestasikan dalam kain-kain adat, layaknya kain timur yang menjadi harta begitu berharga, sekaligus sebagai pengeja makna untuk saling menghargai antara sesama saudara. Begitupun dengan alam mereka yang memiliki nilai kekayaan sangat tinggi, membuat orang-orang Papua sangat menghargai alam. Kami menulis terkait identifikasi tanaman Obat tradisional di Kampung Iguriji dalam kajian bioetnografi. Kekayaan ragam ekosistem hutan Papua itu ternyata menyimpan sejuta manfaat dalam dunia pengobatan. Kekayaan alam yang dihasilkan oleh tanah Papua juga ber-limpah bagi sumber makanan. Kini masyarakat kampung sudah mulai mengenal ker-agaman pangan, masa transisi yang mereka alami turut pula menyentuh pada tataran pengolahan dan konsumsi makanan.

Tulisan kemudian berlanjut lagi dengan diangkatnya fenomena masyarakat yang sangat gemar berpesta sambil menikmati minuman keras. Sarana seremonial yang penuh “spirit” pun berubah menjadi sebuah gaya hidup. Bahkan hampir pada setiap waktu senggang saat pemuda dan bapak-bapak berkumpul siang atau sore hari di kampung, CT (Cap Tikus) atau minuman kaleng Beer akan selalu ada menemani canda tawa mereka. Tulisan selanjutnya mengambil tema upaya membudayakan pola hidup sehat bagi masyarakat lokal di Teluk Bintuni, khususnya lebih spesifik terkait fenomena HIV, yang membutuhkan program komprehensif yang meliputi pening-katan kapasitas pengetahuan, penyediaan fasilitas yang memadai dan memberikan lingkungan yang kondusif bagi masyarakat.

Dua tulisan terakhir dalam kumpulan catatan kehidupan masyarakat lokal di Kampung Iguriji, Missin dan Teluhwer di Distrik Bintuni ini menceritakan men-genai politik lokal serta peran pemerintah dalam memberdayakan masyarakat lokal di kampung-kampung. Melalui tulisan itu, pada akhirnya kita harus menerima se-

Page 19: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

gala yang ada dengan pandangan jujur. Keluhuran budaya ada sebagai keniscayaan, menguburnya hanya akan menimbulkan kontradiksi dan masalah baru dalam reali-tas keseharian. Karena manusia dan kebudayaan memiliki interaksi yang kreatif dan menjadi pondasi atau dasar segala yang bersangkutan dengan proses hidup manusia. Manusia yang menciptakan kebudayaan, namun kemudian kebudayaan yang mem-bentuk manusia (Maran Raga, 2007: 15-16). Karena kebudayaan merupakan faktor pengarah yang secara langsung menata sistem dan struktur sosial.

Budi Kleden pun kemudian berujar dalam bukunya “Kampung, Bangsa, Dunia” (2008), bahwa di dalam dunia yang global ini, dalam pergaulan dunia luas, kampung justru tidak pernah boleh dilupakan. Berlayar masuk dalam konteks global tidak berarti mengabaikan nasionalisme dan keindonesiaan, apalagi melupakan kam-pung. Globalisasi mengembalikan kita ke kampung sekaligus memberikan kesadaran bahwa kita mesti membangun dari kampung ke kampung. Globalisasi pun mengin-gatkan bahwa kita hanya akan menjadi warga dunia, apabila kita tidak melepaskan kampung kita. Maka kesungguhan untuk menggali keluhuran kampung kembali ber-makna, ketelatenan mempelajari kebijaksanaan kampung bukanlah tanda kekampun-gan.

Selamat menikmati tulisan demi tulisan rasa kampung yang tersaji dalam ragam menu kearifan lokal dalam buku ini. Selamat membaca!

Page 20: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

• Sekapur Pinang x

• Prolog xii

• Halaman Persembahan xxii

• Tulisan 1: “Sejarah Geografis Kampung” 1

• Tulisan 2: “Sekantung Ubi yang Mencipta Energi” 17

• Tulisan 3: “Butuh Waktu Lebih” 41

• Tulisan 4: “Mama-mama Perkasa Iguriji” 55

• Tulisan 5: “Pola Asuh Anak di Kampung Lokal” 69

• Tulisan 6: “Kebahagiaan dalam Balutan Keadatan” 81

• Tulisan 7: “Babi dalam Tradisi Kampung Iguriji” 105

• Tulisan 8: “Mengeja Makna untuk Menghargai” 115

• Tulisan 9: “Identifikasi Tanaman Obat Tradisional

Iguriji; Kajian Bioetnografi” 133

• Tulisan 10: “Transisi Pengolahan Makanan

Tradisional Teluk Bintuni” 149

Daftar Isi

Page 21: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

• Tulisan 11: “Perkara Pesta Pora, Minuman Keras,

dan Konsumerisme” 159

• Tulisan 12: “Kesadaran Pola Hidup Sehat

Masyarakat Teluk Bintuni” 167

• Tulisan 13: “Realitas Politik Lokal”

- Suanggi dan Bayang-bayang Tersembunyi 181

• Tulisan 14: “Dong Juga Ingin Sejahtera” 191

• Epilog 204

• Daftar Pustaka 216

• Lampiran

1. Humor Mob: Canda Tawa Khas Papua 218

2. Kisah Roman: “Doscendo Discimus; Kita

Belajar, dengan Mengajar” 222

• Profil Penulis dan Anggota Tim KKN-PPM UGM 240

• Biodata Dosen Pembimbig Lapangan (DPL) 250

• Sinopsis Film Dokumenter “Kitong Pu Harapan” 254

Page 22: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

“Berkah amal tumbuh subur dalam ladang hatiku.Aku akan menuai gandum dan membahagikannya pada mereka yang lapar.

Jiwaku menyuburkan ladang anggur yang kuperas buahnya, dan kuberikan sarinya pada mereka yang kehausan.

Syurga telah mengisi pelitaku dengan minyaknya dan akan kuletakkan di jendela.Agar musafir berkelana di gelap malam menemui jalannya.

Kulakukan semua itu karena mereka adalah diriku.Apabila aku tak bisa memberi, akupun tak mau menerima apa-apa..”

Lantunan syair Kahlil Gibran menyengat kesadaran kami untuk per-gi mengabdi ke Papua Barat. Hanya dua bulan masa pengabdian, tak banyak yang kami perbuat. Sedikit yang mampu tersentuh, hanya sebagian kerja yang sanggup memberi pengaruh. Suara-suara yang tak terdengar, pesan-pesan yang tak tersampaikan, langkah-langkah yang tak tertuju itu, kami genap tu-liskan dalam genggaman buku. Kami persembahkan untukmu—setiap jiwa yang hidup dan terus memperjuangkan hidup di setiap jengkal tanah Kabu-paten Teluk Bintuni—keluarga besar kami di kampung Iguriji, Missin dan Teluhwer.

Masih sangat terasa, getiran wajah penuh senyum dalam kehangatan suasana kampung. Seluas mata memandang, hanya tampak semacam belan-tara hutan yang ditebang. Bersama manusia-manusia ramah berterusterang itu, saban pagi dan sore kami belajar dan berkarya membangun harapan. Se-tapak jalan beralas tanah lumpur itu pula yang mengantar kami pulang, se-jauh ribuan kilometer baru kami tersadar, nyatanya sudah sejak dulu kota-ku beratap langit yang sama dengan pelosok-mu. Setiap jengkal pembelajaran itu kami rekam, menjadi sekam harapan yang tak akan pernah padam. Kami titipkan selalu doa-doa sucimu pada Tuhan yang tak bersekat, dalam kepal-kepal tangan berkalung panah bergenggam parang…

Page 23: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 24: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 25: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

“Proses atas pencarian identitas diri terus berjalan. Perjalanan yang dikelilingi oleh

modernitas di antara kokoh-lekatnya nilai-nilai kultural, membawa mereka pada masa

transisi.”

TULISAN 1“Sejarah Geografis Kampung”

Oleh: Ratnakanya Nitya

Page 26: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

2

Lahirnya Kota Harapan, Teluk Bintuni

Kawasan Teluk Bintuni di kawasan kepala burung Papua terus mengalami perubahan. Kawasan yang pada awal-nya dipenuhi oleh pepohonan rindang dan hutan yang lebat saat ini berubah menjadai kawasan pemukiman dan kawasan kegiatan produktif. Pohon-pohon yang telah ditebang hanya menyisakan serbuk kayu dan bonggol-bonggol yang juga se-makin hilang digantikan dengan bangunan-bangunan kantor pemerintahan, swasta dan rumah-rumah para penduduk asli maupun pendatang yang mulai bertebaran di kawasan tanah Bintuni. Kawasan baru ini ditata membentuk kluster-kluster baru disesuaikan dengan peruntukannya, terutama untuk ka-wasan perkampungan baru dan kantor pemerintahan kabupa-ten.

Beberapa kampung baru banyak muncul di sepanjang sisi jalan yang menghubungkan Kota Bintuni dengan kawasan

Penampakan Kabupaten Teluk

Bintuni dilihat dari atas bukit.

Page 27: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

3

kantor pemerintahan di Manimeri. Kampung-kampung baru ini bukan merupakan pemukiman yang padat, bahkan bisa ditemukan kampung yang hanya berisikan dua-tiga rumah dibuat oleh pemerintah setempat. Jembatan-jembatan penghubung mulai banyak bertebaran di tanah yang sebelumnya coklat berlumpur untuk menghubung-kan antara kampung yang satu ke kampung yang lainnya. Pada saat yang bersamaan masyarakat pegunungan semakin banyak yang berpindah ke kawasan yang lebih ren-dah bahkan sampai ke daerah pesisir Teluk Bintuni. Perubahan lokasi dan pola pemukiman tersebut telah dan masih berlangsung sampai saat ini yang berdampak terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dengan karakteristik yang ada, masy-arakat kawasan Teluk Bintuni bisa dikategorikan sebagai masyarakat transisi. Sebagai sebuah masyarakat transisi, beberapa aspek kehidupan mulai mengalami modernitas dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tradisionalnya. Inilah Masyarakat Bintuni baru yang mulai banyak ditemukan di setiap sudut tanah Bintuni. Tidak berlebihan apabila tanah Bintuni disebut sebagai tanah baru yang mengundang banyak perha-tian sebagai tanah harapan.

Berdasarkan buku Sejarah Teluk Bintuni, wilayah Teluk Bintuni merupa-kan salah satu daerah hasil pembagian wilayah berdasarkan keputusan Gubernur Nederlands Nieuw Guinea No. 86 tertanggal 10 Mei 1952 yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan di wilayah Papua yang luas. Sebelumnya, pada tanggal 1 April 1952 telah terbentuk pemerintahan Teluk Bintuni dengan ibu kotanya yang diberi nama Steenkool. Menurut pembagian wilayah yang dibuat pada tahun 1952, pembagian distrik yang telah disetujui dan mulai berlaku pada 1 November 1953, menetapkan Teluk Bintuni meliputi tiga wilyah pemerintahan distrik, yaitu Distrik

Suasana kam-pung Iguriji, salah satu kampung lokal di Kabupaten Teluk Bintuni.

Page 28: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

4

Arandai, Distrik Steenkool dan Distrik Babo. Fase ini bisa disebutkan sebagai fase awal menuju masyarakat transisi, yaitu ketika daerah baru sudah terbentuk dan mun-cul beragam kebutuhan untuk memenuhi kelasngsungan hidup masyarakat. Trans-migrasi masyarakat pegunungan ke daerah pesisir Bintuni mulai terjadi dan kehidu-pan barupun mucul di perkampungan-perkampungan di kawasan dataran rendah dan pesisir Bintuni. Seiring banyaknya perpindahan masyarakat pegunungan terse-but mulailah terjadi banyak pemekaran-pemekaran kampung yang terus dilakukan sampai dengan sekarang. Sejak pemerintahan kabupaten Teluk Bintuni dimulai pada tahun 2003, pembentukan banyak kampung di wilayah Bintuni merupakan kebijakan pemerintah kabupaten yang bertujuan untuk memudahkan akses penduduk pada layanan lembaga pemerintah dan non pemerintah terutama dalam aspek ekonomi produktif, pendidikan dan kesehatan.

Kaya akan sumber daya alam dan kesuburan tanah untuk pertanian adalah hal istimewa yang dimiliki oleh Teluk Bintuni. Beragam survey sumber daya alam yang dilakukan pada tahun 1935 menunjukkan bahwa deposit minyak bumi Papua dimiliki oleh daerah-daerah yang berada pada kawasan kepala burung Papua, ter-masuk kawasan Teluk Bintuni. Pekerjaan eksploitasi terhadap minyak bumi di dae-rah Teluk Bintuni sudah dimulai oleh NNGPM- Nederlandsche Nieuw Guina Petroleum Maatschapij (Perusahaan Minyak Kerajaan Belanda) pada tahun 1939 di Mogoi dan 1941 di Wasian. Kandungan Gas alam cair (LNG) yang juga tidak ternilai jumlahnya dimiliki oleh Teluk Bintuni. Sejak tahun 2003 pengelolaan LNG di kawasan kam-pung Tanah Merah distrik Babo diserahkan ke BP (British Petroleum) dan memulai produksinya pada tahun 2008 dengan negara tujuan ekspor Jepang, Cina, Korea Selatan, India, dan Amerika Serikat. Dengan kekayaan sumber daya alam yang tidak terhingga, Teluk Bintuni telah mengundang banyak pendatang baik dari dalam mau-pun luar negeri. Para pendatang dan penduduk lokal berbaur untuk mendapatkan keuntungan atas ketersediaan sumber daya alam yang melimpah. Bagi penduduk lo-kal, keuntungan yang diperoleh adalah tersedianya lapangan kerja di bidang eksplo-rasi dan pengeboran, seismic, dan geologi. Hal tersebut masih terjadi hingga saat ini, masyarakat lokal bekerja untuk mendapatkan keuntungan kecil dari hasil tanahnya yang sangat luar biasa untuk memberikan keuntungan yang sangat luar biasa kepada para pendatang.

Page 29: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

5

Pada tahun 1956 dermaga mulai berdiri di pinggir teluk Steenkool, berhada-pan dengan hamparan hutan bakau yang lebat. Kapal-kapal yang bermuatan minyak bumi hasil dari tanah Bintuni yang kaya akan sumber daya alam mulai berlalu-lalang. Selanjutnya, pada tahun 1960 lapangan udara dibangun dan mulailah terlihat bu-rung-burung bermesin dengan ukuran raksasa berterbangan di hamparan biru langit Teluk Bintuni. Kantor telepon dan telegram mulai berdiri memudahkan komuni-kasi banyak orang yang tinggal disana. Pada bulan Februari 1961 instalasi mulai di-bangun, menebarkan kerlap-kerlip lampu yang menerangi tanah Bintuni di malam hari. Tanah Bintuni yang sangat kaya akan sumber daya alam material, khususnya minyak bumi dan gas alam menjadi alasan bagi pesatnya pembangunan dalam kurun waktu yang singkat.

Fakta lain tentang kekayaan alam Bintuni adalah tanah berlumpur yang kaya akan sumber daya alam material serta juga merupakan tanah yang juga sangat bersa-habat dengan makhluk hidup selain manusia, yaitu tumbuhan. Subur adalah sebutan yang jarang ditemui di tanah Papua, akan tetapi kesuburan ditemukan di tanah di

Moda transportasi air merupakan sarana utama mobilisasi masyarakat Kabupaten Teluk Bintuni.

Page 30: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

6

Bintuni. Perkebunan coklat yang dibangun pada tahun 1960 adalah bukti awal kesu-buran tanah di Bintuni. Benih tanaman kelapa menyusul kemudian pada tahun 1960. Potensi pertanian lainnya yang cukup baik dan telah diusahakan dalam penanaman-nya, yaitu padi lading, jagung, kacang kedelai, ubi kayu, ubi jalar, keladi, kacang tanah, dan kacang hijau. Masyarakat Bintuni juga mengusahakan menanam tanaman-tana-man seprti sayur-sayuran, seperti bawang merah, bawang putih, daun bawang, ken-tang, kubis/kol, sawi/petsai, wortel, kacang panjang, cabe, tomat, terong, ketimun, kangkung, bayam, buncis dan labu siam. Perkembangan lahan dan produksi perta-nian tersebut terlihat dari data tahun 1995 luas areal panen tanaman sayuran 173 ha menghasilkan produksi sebesar 1.374 ton kemudian pada tahun 1998 produksinya meningkat menjadi 2.985 ton dari luas 245 ha. Produksi sayuran yang berhasil dan menonjol adalah kangkung, kacang panjang, tomat, ketimun, cabe, bayam, dan te-rong. Buah-buahan yang berhasil dalam produksinya adalah pisang, papaya, nangka, dan nanas. Hasil produksi pertanian tanaman pangan masayarakat Teluk Bintuni sampai pada tahun 1988 sebagian besar masih dipakai untuk memenuhi kebutuhan-nya sendiri. Sampai saat itu, masyarakat yang pada awalnya memiliki latar belakang sebagai peramu dan pengekstraksi sagu masih kurang memanfaatkan tanah bintuni yang subur sebagai lahan pertanian secara maksimal.

Kegiatan berladang warga.

Page 31: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

7

Kawasan Teluk Bintuni yang sekarang sudah menjadi sebuah kabupaten sejak tahun 2002 mengalami banyak perkembangan. Perkembangan secara fisik bangunan terlihat sangat jelas terjadi di dataran Bintuni. Sekolah-sekolah mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan sekolah menengah atas walaupun belum cukup tersebar secara luas di daerah-daerah pedalaman semakin banyak dibangun baik oleh pemerintah maupun swasta. Tempat-tempat layanan kesehatan seperti puskesmas sudah dibangun sejak tahun 1955 dan sampai sekarang mulai mengalami peningka-tan dengan adanya Puskesmas di beberapa distrik, termasuk juga Puskesmas keliling menggunakan perahu. Layanan kesehatan juga dilengkapi dengan sebuah rumah sakit yang sampai tahun ini masih dalam tahap pembangunan. Demikian juga halnya dengan sarana dan prasarana transportasi, jalanan tanah dan jembatan kayu diganti-kan dengan aspal dan jembatan dari besi, kendaraan pribadi dan angkutan kota se-makin banyak yang berlalulalang. Rumah-rumah kayu yang awalnya bertebaran mulai digantikan dengan bangunan batako yang berdiri kokoh berbaris rapi di sepanjang jalanan kota Teluk Bintuni. Teluk Bintuni yang merupakan wilayah pemekaran dari Manokwari terus mengalami proses pertumbuhan baik perumbuhan fisik bangunan dan perubahan sosial masyarakat.

Pasar utama pusat perekonomian warga Kabupaten Teluk Bintuni.

Page 32: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

8

Kehidupan Kampung Lokal Teluk Bintuni

Iguriji, Missin, dan Teluhwer nama yang tidak asing untuk sebagian masyarakat yang bermarga Iba. Tiga nama ter-sebut adalah nama kampung hasil pemekaran dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Teluk Bintuni. Tiga kampung yang berdampingan ini dihuni oleh warga dengan marga yang sama yang berasal dari satu suku yang sama yaitu Suku Sougb. Kesamaan identitas marga dan suku ini menandai ikatan sta-tus bersaudara dan keluarga besar yang hidup bersama-sama setiap harinya. Saling bersaudara dan satu keluarga adalah ja-waban yang sering mereka lontarkan apabila menjawab per-tanyaan tentang hubungan mereka satu dengan yang lainnya. Keakraban tersebut juga terlihat di dalam kehidupan keseha-rian mereka dalam menjalankan kegiatan bersama. Batu-batu batako yang tersusun rapi di pelataran gereja adalah salah satu contoh gotong royong yang dilakukan warga ketiga kampung untuk perbaikan rumah ibadah mereka yang terletak di antara kawasan kampung Imrij dan Iguriji. Canda dan tawa renyah

Keakraban terlihat dalam kesehari-

an kehidupan masyarakat suku sougb bermarga

iba yang tinggal di kampung Iguriji, Missin dan Telh-

wer yang merupa-kan kampung baru

hasil relokasi.

Page 33: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

9

anak-anak dari ketiga kampung yang se-ring terdengar di sore hari, merupakan potret keakraban yang bersifat nyata. Kumpulan para ibu dari ketiga kampung biasanya dengan rajutan noken di tangan juga mengisi potret kehidupan sore hari yang indah di kampung-kampung terse-but. Sebuah potret kehidupan masyara-kat yang disebut keluarga.

Kehidupan keluarga besar ter-sebut awalnya bermula dari sebuah per-kampungan di daerah pegunungan. Ke-hidupan mereka yang sederhana dengan rumah yang berdinding dan beratap kayu adalah tempat dimana kehidupan mereka dimulai sebelum mereka hidup di perkampunganbaru. “Rindangnya pe-pohonan, air yang jernih, udara yang sejuk” merupakan kata-kata yang sering diu-capkan bila mereka menceritakan bagai-mana keadaan di tempat tinggal mereka terdahulu, di daerah dataran tinggi yang mereka beri nama Beimes. Dataran Bei-mes merupakan dataran yang juga kaya akan sumber daya alam, yaitu batubara. Alasan berpindahnya penduduk dari da-taran tinggi Beimes ke perkampungan mereka saat ini setidaknya ada dua, yaitu dibangunnya perusahaan batubara pada tahun 1970-an dan adanya kebutuhan untuk mendapatkan penghidupan dan pendidikan yang layak. Sekitar tahun

Atas: Suasana kampung Missin, satu dian-tara tiga kampung yang berdampingan yang dihuni oleh masyarakat suku sougb.

Bawah: Kondisi salah satu rumah masyara-kat suku sougb yang tinggal di kampung Iguriji setelah mengalami relokasi.

Page 34: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

10

1970-an pemerintah melakukan pemindahan penduduk data-ran tinggi Beimes ke daerah Manokwari dan Teluk Bintuni. Pe-rusahaan batubara yang baru berdiri di dataran tinggi tersebut membuat wilayah penduduk tersingkirkan. Selain itu, kontak dengan masyarakat pendatang dan keterbukaan masyarakata lokal terhadap ide-ide baru termasuk pendidikan dan mata-pencaharaian ikut memaksa mereka turun ke dataran yang le-bih rendah dan memulai hidup baru di dataran rendah Teluk Bintuni.

Kehidupan yang lebih baik yang mereka harapkan adalah kehidupan kota yang menurut mereka akan mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. Mereka yang sebelumnya hidup di tanah yang mereka kuasai sendiri, sekarang harus membayar sewa tanah di pemukiman baru. Berawal dari se-buah kampung bernama Tuasai, sekelompok besar masyara-kat bermarga Iba tersebut bermukim. Selanjutnya, terjadilah pembagian wilayah yang dilakukan pemerintah kabupaten Teluk Bintuni, yang membagi mereka ke dalam sebuah kam-pung bernama Iguriji dua. Pemekaran kampung terus terjadi

Baliho yang terdapat ditengah kota Bintuni berisi

gambar 7 suku besar yang ada

di kab. Teluk bin-tuni. Suku tersebut

sebyar, sumuri, wamesa, irarutu, sougb, moskona,

kuri.

Page 35: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

11

Kampung Iguriji dua kemudian dimekarkan menjadi Kampung Iguriji satu dan kam-pung Missin, kemudian Kampung Iguriji satu mengalami pemekaran kampung, dan muncullah kampung Teluhwer. Pemekaran-pemekaran kampung tersebut memang sering dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan agar pembangunan berjalan merata. Sejalan dengan proses pemekaran tersebut, masyarakat Suku Sougb mulai menyebar luas di dataran Teluk Bintuni. Konsekuensinya, mereka harus membayar uang sewa tanah untuk dapat tinggal di pemukiman yang ditetapkan oleh pemerintah setempat.

Keuntungan yang mereka rasakan sesudah tinggal pemukiman baru adalah akses terhadap sarana dan prasaran transportasi yang menurut mereka lebih mudah dan mereka juga mendapatkan bantuan rumah dari pemerintah setempat. Rumah berukuran kecil dari kayu dan beratapkan seng serta dengan hamparan sepetak kecil tanah di depan rumah sebagai halaman diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah setempat. Bantuan rumah tersebut berdiri di tanah yang harus mereka bayar setiap saat, bahkan sampai ke beberapa generasi penerus keluarga dimana tanah tersebut harus dibayar sewanya selama masih ditinggali oleh keluarga tersebut. Kehidupan saat ini jauh lebih baik menurut mereka dibanding saat bermukim di pegunungan Beimes atau saat mereka masih bermukim di kampung-kampung asal. Banyak dari mereka tetap bertahan hidup di daerah dataran rendah Teluk Bintuni walaupun ba-nyak yang harus mereka berikan agar dapat terus hidup di kampung yang bernama Iguriji, Missin, dan Teluhwer.

Air kecoklatan di dalam sumur rumah, jalanan yang berlumpur apabila hu-jan turun mengguyur membasahi jalanan kampung, terik matahari yang sangat me-nyengat membakar kulit, membayar sewa tanah untuk rumah yang mereka dapat secara gratis merupakan hal yang tidak terjadi di saat mereka hidup di daerah pe-gunungan. Namun hal-hal tersebut tidak menjadi masalah untuk mereka. Harapan tetap tumbuh di hati kecil mereka, keyakinan untuk mendapatkan kehidupan lebih baik terus tertanam di dalam benak mereka. Harapan-harapan seperti mendapatkan pendidikan yang lebih baik, harapan untuk dapat menggunakan tanah subur Teluk Bintuni dengan baik agar mendapatkan keuntungan yang maksimal, harapan agar mengalami perubahan hidup, hidup di dalam modernitas sama seperti masyarakat-masyarakat di wilayah lain.

Page 36: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

12

Sekilas Potret Masyarakat Kampung Iguriji

Kerumunan anak bermain riang, berlatarkan langit yang biru cerah serta awan yang putih menggumpal. Para ibu berkumpul dengan tawa riang gembira serta jahitan noken di tangannya di bawah sebuah pohon besar dalam keteduhan daun-daunan yang lebat. Hal tersebut merupakan potret masy-arakat Kampung kampung sederhana. Tidak seluas kampung-kampung pada umumnya, hanya memiliki satu jalan utama dan rumah-rumah sederhana yang terbuat dari kayu di kiri dan kanannya. Akan tetapi tidak ada hal yang lebih memikat dari pemandangan Kampung Iguriji bila matahari terbenam. Ke-sederhanaan rumah-rumah kayu dilatarbelakangi oleh langit jingga yang luar biasa cantiknya menyebarkan cahaya lembut-nya ke seluruh wilayah Iguriji. Bola matahari turun perlahan dengan anggunnya tidak ketinggalan burung-burung berter-bangan dan berkicau riuh ikut serta menghiasi langit yang in-dah tersebut.

Keakraban anak-anak tidak

hanya terjadi pada anak-anak asli

papua(kiri). Akan tetapi mereka bisa

berbaur dengan anak-anak orang

pendatang(kanan).

Page 37: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

13

Di dalam kampung yang indah tersebut tinggalah masyarakat kampung yang sedang mengalami transisi dan me-miliki pola gaya hidup yang unik sebagai bagian dari kebudayaan terus berubah. Kebudayaan sendiri memiliki banyak pengertian, kebudayaan menurut Soer-jono Soekanto (2002) di dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Suatu Pengan-tar adalah pola-pola perilaku yang khas suatu masyarakat. Perilaku unik muncul pada masyarakat Iguriji. Pepindahan tempat hidup yang berbeda menjadikan masyarakat memiliki pola gaya hidup yang juga berbeda. Pegunungan dan pe-sisir merupakan dua kata yang tidak da-pat dipisahkan dalam masyarakat Iguriji. Modernitas merupakan kata lain yang mulai memasuki pikiran masyarakat Kampung Iguriji yang tercermin dalam dalam gaya hidupnya.

Jalanan Iguriji di sore hari di-lengkapi dengan pemandangan headphone yang menempel di telinga para anak-anak muda serta handphone di gengga-man tangan mereka, suara musik melan-tun keras dari speaker handphone mereka. Pemandangan di sudut lain Kampung Iguriji memperlihatkan para bapak me-megang handphone di tangan sambil men-gobrol dengan santai serta ditemani oleh botol minuman keras di hadapan mereka

Atas: Anak anak Papua bermain dengan riang gembira menghabiskan hari-hari mereka.

Bawah: Walaupun tidak ada sinyal di kampung, pemakaian handphone sudah menjadi hal yang lazim bagi warga kampung Iguriji, Mis-sin, dan Teluhwer.

Page 38: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

14

untuk siap ditenggak. Ketiadaan sinyal penyedia layanan selular di daerah tempat tinggal mereka tetap tidak menyurutkan keinginan mereka untuk memiliki handphone, walaupun tidak digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi. Laptop juga menjadi pemandangan yang tampak di sore hari di Iguriji, seorang bapak memainkan laptop-nya di halaman rumahnya walaupun di dalam kesehariannya benda tersebut tidak terlalu diperlukan. Gaya hidup perkotaan sudah mulai mempengaruhi masyarakat Kampung Iguriji.

Bayangan langkah-langkah kaki mama-mama dengan noken yang digan-tungkan di kepala mereka selalu menghiasi jalanan Kampung Iguriji di pagi hari saat mereka pergi ke ladang untuk mengunjungi kebun mereka. Tampak juga bapak-bapak memanggul panah untuk berburu, diikuti oleh anjingnya. Pemandangan yang berbeda pada saat sore hari dimana banyak orang bersantai dan mulai memegang alat-alat berteknologi baru di tangan mereka, seperti handphone. Banyak juga barang-barang elektronik di dalam rumah mereka yang sederhana walaupun listrik hanya

Pemuda kampung merupakan salah satu motor penggerak bagi perubahan kehidupan masyara-kat papua kearah yang lebih baik.

Page 39: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

15

menyala pada saat malam hari. Kenyataannya, mereka lebih memilih untuk memasak memakai kayu bakar dibandingkan dengan memakai kompor gas yang pemakaian-nya lebih efisien.

Kehidupan yang tradisional yang ditandai oleh ikatan-ikatan adat yang ma-sih kental sebagaimana ada sebelumnya pada saat mereka bermukim di daerah pe-gunungan terus mengalami perubahan. Kuatnya kepercayaan akan agama asli, ke-kurangpedulian terhadap perubahan atau modernitas terutama pendidikan adalah ciri khas hidup mereka di daerah pegunungan. Pada saat itu mereka hidup untuk menghidupi diri dan kelompok mereka tanpa mencari keuntungan apapun. Sekarang segala sesuatunya tidak lagi seperti saat itu, sebagai contoh adalah berladang yang sebelumnya hanya berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan dasar hidup, mulai men-galami perubahan fungsi sebagai tambahan untuk memperoleh pendapatan di da-lam sebuah keluarga. Kehidupan mereka sebelumnya yang hanya bersifat sederhana mulai mengalami perubahan ke pola hidup yang lebih kompleks karena banyaknya pemahaman-pemahaman yang mulai masuk ke dalam pikiran mereka yang seder-hana, pemahaman akan sebuah modernitas.

Karakter kehidupan modern seakan tidak terbendung untuk terus masuk ke dalam tatanan masyarakat tradisional sebagaimana dialami oleh masyarakat Kam-pung Iguriji. Pemahaman akan modernitas sendiri hanya terbataskan akan barang berteknologi maju yang berkaitan dengan sebuah identitas diri. Kepemilikan akan sebuah barang canggih hanya menunjukkan identitas diri bahwa yang bersangkutan adalah orang yang mampu secara sosial ekonomi dan mengikuti gaya hidup tanpa memahami fungsinya secara lebih lanjut. Pola kehidupan tradisional dan modern pun bercampur baur dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Pencarian akan sebu-ah identitas diri masih mereka lakukan dan sedang mengalami sebuah proses. Proses perkembangan akan sebuah kehidupan tradisional di tengah kehidupan modern di sekeliling mereka. Kondisi itulah yang menyebabkan masyarakat Kampung Iguriji termasuk dalam kategori masyarakat transisi.

Page 40: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 41: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

“Dari bibit yang ditanam delapan bulan lalu, dari tanaman yang disemai sore tadi, dari ka-rung-karung yang dibopong itu, dari sepiring

ubi bersama lauk yang mengisi dapur rumah-rumah mereka, melekat energi yang bukan

sekedar pemberi asupan kekuatan untuk memulai kembali rutinitas baku, lagi dan lagi seperti hari-hari kemarin. Ubi-ubi itu mengi-

rim terang pengetahuan, menyimpan makna pembelajaran, mencipta energi pengharapan,

menembus cakrawala tak berbatas!”

TULISAN 2“Sekantung Ubi yang Mencipta Energi”

Oleh: Azmy Basyarahil

Page 42: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

18

Sang Pencipta secara serentak menciptakan makhluk hidup dan tanaman sebagai pangan. Benih atau biji—simbol penerus kehidupan—dibekali berbagai perlengkapan seperti: “sayap” agar bisa diterbangkan angin; “bungkus” berserat supaya mengambang terbawa arus; “baju” tebal dan

keras seakan mati suri menunggu situasi kondusif untuk tumbuh; pemanis dan bau yang merangsang binatang; kemudian menari bersama alam di tempatnya tumbuh. Benih jagung misalnya, mustahil bisa berpindah tempat tanpa campur tangan manu-sia. Begitu pula dengan ubi jalar dan singkong, bibit-bibit batangan (stek) ditanam, ditancapkan ke lubang-lubang tanah. Dilanjutkan dengan tarian biokimia zat gizi dalam tubuh, maka benih dan bibit-bibit itu akan menentukan masa depan yang memakannya, you are what you eat1.

Melalui catatan ini, aku pantas mengatakan, bahwa sebenarnya mereka sang-atlah kaya raya. Ya, mereka adalah orang-orang lokal di ketiga kampung itu, Iguriji, Missin dan Teluhwer. Karena makanan-makanan yang tersaji setiap harinya, bera-wal dari benih dan bibit yang ditanam oleh tangan-tangan mereka sendiri, bersama tetesan-tetesan keringat kerja keras yang ditenagai oleh mimpi akan perubahan nasib. Seperti manusia-manusia Teluk Bintuni lainnya—yang baru delapan tahun mekar dari Kabupaten Manokwari—berjuang membangun kota yang maju dan sejahtera di kawasan leher kepala burung, Papua Barat. Dalam kerja-kerja itu, mereka teguh dan keras memegang prinsip, jika kau tak bersedia untuk berkeringat, hapus saja kata sejahtera dalam kamus hidupmu.

1 Sjamsoe’oed Sadjad, Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban: Benih Sebagai Simbol Kehidupan (Jakarta: Kompas, 2006), hlm.225

Bibit jagung manis

Page 43: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

19

Tangan-tangan Legam Pemangku Modernisasi

Mari menyapa le-bih dekat masyarakat di kampung-kampung lokal. Relokasi telah membawa mereka pada sebuah din-amika sosial baru. Tahun 1986, dari gunung, para kaum peladang dipindah ke dataran pesisir. Ma-syarakat Suku Sougb itu, kini bertempat tinggal di Kampung Iguriji. Sebuah kampung percontohan di dataran Teluk Bintuni. Iguriji tidak sendiri, ada dua kampung baru, Missin dan Teluhwer yang berdiri bersinggungan, terpencil menyendiri di tengah hutan. Dalam hari-hari pada pekan-pekan di setiap bulannya, ladang-ladang dibuka, lalu ditanami, untuk diambil hasilnya. Bapak, mama, dan anak-anak termasuk para pemuda kampung pergi bersama-sama menggarap lahan. Jam tujuh pagi mereka su-dah berdiri dalam formasi kerja di atas tanah hutan yang rata ditebang. Ada pembagian peran yang rapi di sana. Bapak dan para pemuda menancapkan tongkat kayu untuk melubangi ta-nah, setelah hari sebelumnya mereka menebas pohon-pohon dan semak belukar, yang kini telah siap digarap menjadi ladang. Setidaknya ratusan lubang selesai dibuat, mama-mama, remaja putri, dan anak-anak kemudian bergerak melempar benih-benih mungil tanaman, atau menancap bibit-bibit batangan, ke dalam lubang-lubang pengharapan.

Pembagian peran dalam pertanian. Laki-laki bertugas membuka la-han dan membuat lubang-lubang dengan kayu yang diruncingkan untuk persemaian bibit.

Page 44: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

20

Hutan yang disulap menjadi ladang itu merupakan hasil kerja para laki-laki dewasa dengan menggunakan kapak dan parang. Berikutnya, para perempuan dan anak-anak mereka, bertugas membersihkan hutan yang telah dibuka, serta men-anam, memelihara, dan memanen hasilnya. Usaha bercocok tanam di sana masih menggunakan cara menebas dan membakar hutan di suatu tanah datar yang mereka anggap subur2. Pola berladang semacam itu dilakukan dengan cara menggarap lahan yang ada di sekitar daerah pemukiman kampung—atau pula ada yang menanam di halaman rumah dengan pekarangan yang berisikan beberapa tanaman pangan—se-perti ubi jalar (petatas), singkong (kasbi), talas (keladi), jagung (tramp), di samping pepaya, kacang (kancu), pisang, cabai (rica), melinjo (genemon), dan sayur-mayur lainnya.

Tanah ladang yang diusahakan oleh suatu keluarga pada umumnya berada di suatu bagian dari tanah luas yang berdasarkan ketentuan hukum adat berada di bawah hak ulayat marga (klen) yang bersangkutan. Iba dan Dowansiba adalah dua marga mayoritas hampir keseluhuran penghuni ketiga kampung. Sistem pertanian semacam itu telah menjadi sebentuk pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang ditradisikan sejak mereka masih bermukim di gunung—seiring relokasi demi relo-kasi yang dialami sejak tahun 1986 dan 2006. Ladang berpindah adalah sistem mata pencaharian orang-orang tua mereka saat di Pegunungan Anggi. Ladang-ladang itu akan mereka biarkan menjadi hutan kembali setelah satu atau dua kali panen. Jangka waktu produktif suatu lahan tidak tentu. Biasanya, apabila pohon-pohon yang ada dalam suatu lahan hutan tersebut telah mencapai tinggi kurang lebih 10-15 meter, mereka menganggap tanahnya cukup subur untuk diolah lagi (Tucker, 1987).

Selain sebagai sarana ladang berpindah-pindah, pemanfaatan hutan oleh para warga satu klen ini juga sebagai areal berburu, tempat penduduk memperoleh sumber protein hewani, yang bisa didapatkan pula dari pasar di kota. Berburu ha-nya merupakan mata pencarian tambahan untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani atau sebagai selingan saja. Binatang yang banyak mereka buru adalah tikus tanah, rusa, kuskus, dan kangguru pohon, sementara babi hutan dikonsumsi dan dipelihara. Alat yang digunakan untuk berburu adalah busur dan panah yang terbuat

2 F. Apomfires dan K. Sapulete, Irian Jaya: Masyarakat Arfak di Anggi, Kabupaten Manokwari (Yogyakarta: Koentjaraningrat dkk, 1994)

Page 45: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

21

dari bambu dan nibung yang telah tua, serta gelagah. Aktivitas berburu semacam itu, hanya dilakukan oleh para laki-laki, baik tua maupun muda.

Kini, seiring berjalannya waktu, diawali oleh kontak kebudayaan dengan ma-syarakat luar, modernisasi hadir mengirim globalisasi ekonomi. Masyarakat kampung di Iguriji, Missin dan Teluhwer di Distrik Bintuni pun mau tidak mau mengadapta-sikan dirinya dalam dialektika modernisasi itu. Produksi pangan berubah tidak ha-nya cukup untuk dapat bertahan hidup, tetapi juga menghasilkan produk pertanian untuk dijual di pasar. Kenyataan ini telah mengubah pola konsumsi pangan me-reka berbeda dibanding saat di gunung. Dulu, mereka hanya memiliki pilihan untuk memakan umbi-umbian sebagai makan pokok (non-beras), sedangkan ulat serangga, daging binatang macam tikus tanas, kuskus, ular, biawak, katak rawa, kelelawar, bu-rung, rusa, serta babi hutan adalah kebutuhan akan protein yang utama. Beberapa pakis dan daun-daunan lain yang tumbuh liar di sekitar pekarangan juga melengkapi makanan sehari-hari. Sekarang, mereka sudah terbiasa makan nasi dengan lauk pauk yang bisa diperoleh di kota, seperti makanan orang Indonesia pada umumnya (nasi goreng, sate, soto, ayam panggang, ikan bakar, daging rendang, mie bakso, dan lain-lain).

Namun, di tengah ketatnya pergulatan hidup dalam dialektika modernisasi itu—yang utamanya didorong oleh denyut gelombang industrialisasi di Kabupaten Teluk Bintuni—nampak sekali keseharian masyarakat di Kampung Iguriji, Missin, dan Teluhwer tetap terjaga dalam pangkuan kebersahajaan khas kampung-kampung lokal di Papua. Ada energi yang terasa membumbung tinggi, terderek ke atas seperti ingin segera meretas harapan yang telah disemai. Bibit-bibit telah berubah menjadi kuncup yang genap menutup lubang di tanah, bersama siraman air yang menumbuh-kembangkan tanaman-tanaman di ladang. Terasa pula getiran energi dalam wajah-wajah orang kampung, seperti sebuah rangkulan yang mengajak kita, sebagai pen-datang, untuk masuk menyelami kesatuan manusia dan alam dalam balutan keadatan.

Tangan-tangan mereka yang hitam, semakin legam dipanggang api matahari setiap hari dalam kerja-kerja keras membangun kampung, adalah tonggak sekaligus tongkat kesanggupan memangku modernisasi. Mereka memastikan bahwa energi yang kemudian tercipta dari tumbuhnya bibit-bibit harapan itu, dari tangan-tangan

Page 46: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

22

hitam legam itu, sepenuhnya akan mereka nikmati sendiri hasilnya menjadi seben-tuk kemerdekaan hidup. Mereka bermula dari masyarakat komunal dengan kultur kebersamaan yang sangat kental. Adanya pergeseran sebagai masyarakat kompetitif dengan mulai memperdagangkan hasil ladang, nyatanya tidak menyurutkan karakter gotong royong yang ada di sana.

Semangat untuk berubah dan bergerak maju itu terbangun dalam harmoni yang tidak saja tercipta antar sesama manusia, tapi juga dengan lingkungan tempat mereka hidup. Bibit-bibit mentah yang telah menjadi umbi-umbi matang itu hadir dalam keseharian mereka bersamaan dengan keseluruhan prosesnya. Membuka hu-tan, mencipta ladang, menanam bibit, memanen ubi, membawa pulang untuk disim-pan lalu dimakan, hingga dijual pula di pasar. Kaum perempuan memang mendapat peran lebih besar di sana. Mama yang mengurus ladang setiap pagi dan sore hari. Mama pula yang menjadi penjaga pangan keluarga. Seminggu empat kali mereka pun pergi ke pasar untuk menjajakan hasil tanaman pertanian kampungnya. Para Bapak, di tempat lain, dengan caranya masing-masing, berjuang pula mencari penghidupan. Sesekali berkumpul “merapat” di balai, sesekali membantu mama jualan di pasar, sesekali berburu di hutan, sesekali pesta mabuk-mabukan, sesekali pergi ke luar kota, pulang-pulang membawa nafkah untuk suapan keluarga. Lalu esoknya, mereka me-manggul kayu dan batako, menata kampung, membangun rumah ibadah, membetul-kan pagar rumah, memasang kayu tandon, membakar hutan, membuka ladang. Atas nama kampung harapan.

Page 47: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

23

Kiri: Kerja bakti

memperbaiki jembatan. Be-

kerja sama saling membantu meru-

pakan salah satu ciri utama ma-

syarakat Papua.

Kanan: Pembagi an peran

dalam pertani-an. Perempuan bertugas untuk

menebar benih, perawatan, hingga memanen. Perem-

puan mempunyai sentral, karena

pembagian peran adat dan keper-

cayaan bahwa perempuan

merupakan simbol kesuburan.

Merajut Kearifan Hidup Manusia-manusia Bintuni

Basis perekonomian masyarakat Teluk Bintuni dan Papua Barat secara keseluruhan sangatlah berhubungan dan bertumpu pada tanah, yaitu di bidang pertanian dan kehuta-nan. Melalui usaha-usaha di bidang tersebut, masyarakat di wilayah ini dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bagi masyarakat lokal di kampung-kampung kawasan Distrik Bin-tuni, pertanian sejatinya memang menjadi nafas bagi aktualitas diri mereka. Distrik Bintuni kini dihidupi oleh para kaum pela-dang yang dulu dipindahkan secara bertahap oleh pemerintah.

Proses relokasi dari wilayah Pegunungan Anggi ke dataran Teluk Bintuni itu sebenarnya merupakan pilihan yang tepat. Wilayah dengan luas sekitar 18.658 km persegi yang memiliki tanah subur cocok bagi beragam komoditi pertanian dan perkebunan. Menurut Staf Ahli Bupati Kabupaten Teluk Bintuni, Ir Widianingsih Sri Utami, dari seluruh luas kabupa-ten tersebut, 620.760 hektar diantaranya adalah lahan potensial pertanian. Hingga saat ini baru 11.133 hektar lahan potensial pertanian yang dimanfaatkan. Widianingsih menjelaskan, ko-moditi pertanian seperti padi, jagung, kacang tanah, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, pisang hingga jeruk manis, rambutan, dan durian dapat tumbuh dan berkembang dengan sangat baik di Kabupaten tersebut. Telah cukup banyak petani disini yang berhasil memanen komoditi–komoditi tersebut. Fakta ini mendorong Pemerintah Kabupaten menetapkan sektor perta-nian sebagai salah satu prioritas pembangunan3.

3 http://bintunikab.go.id dan http://regionalinvestment.com/sipid/displaypro-fil.php?ia=9224

Page 48: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

24

Sebenarnya, jika kita telusuri lebih jauh, kekayaan Teluk Bintuni tidak ha-nya dipermukaan tanah. Perut bumi kabupaten berpenduduk lebih dari 50 ribu jiwa inipun kaya dengan berbagai potensi pertambangan. Cerita kekayaan alam Teluk Bintuni ini telah dimulai sejak zaman Belanda. Beberapa ladang minyak pernah dio-perasikan oleh Pemerintah kolonial. Selain minyak bumi teluk Bintuni pun memiliki kandungan batubara dan emas. Namun meskipun kaya akan potensi pertambangan, Pemkab Teluk bintuni tidak ingin silau dengan semua itu dan terburu-buru mengeks-ploitasinya. Drg. Alfons Manibui DESS, Bupati Teluk Bintuni berujar, sektor perta-nian akan tetap menjadi prioritas, karena inilah yang dimiliki oleh rakyat. Kesuburan lahan untuk pengembangan inilah yang akan membawa seluruh rakyat Teluk Bintuni pantas optimis menatap masa depan baru yang lebih baik. Maka pertanian adalah sektor perekonomian yang secara nyata akan mampu memberdayakan masyarakat lokal di kampung-kampung itu.

Pencapaian pembangunan di Kabupaten Teluk Bintuni, kini memang terli-hat cukup dinamis, sejumlah sektor pembangunan yang menjadi prioritas berjalan hampir bersamaan. Pergerakan ini, cukup menggembirakan bagi Kabupaten yang memiliki 7 suku asli, yakni, Moskona, Sougb, Sumuri, Wamesa, Kuri, Irarutu dan Sebyar. Diakui bahwa, banyak pihak memandang sebelah mata dan meragukan ke-mampuan sebuah kabupaten pemekaran untuk bisa bertahan lama. Namun Teluk

Sekelompok masyarakat pendobrak peradaban.

Page 49: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

25

Bintuni terlihat totalitas dalam perjuangan membangun daerahnya. tolok ukurnya adalah, pencapaian skala prioritas, seperti ekonomi kerakyatan dan peningkatan SDM serta pendidikan dan infrastruktur. Terbukanya isolasi transportasi dari kam-pung-kampung ke distrik lalu menuju ke kota merupakan bukti nyata mulai mening-katnya denyut ekonomi kerakyatan.

Ada sebuah cerita menarik yang dituturkan M.T. Zen. Di sepanjang jalan Surabaya-Banyuwangi di Pulau Jawa, setiap hari dapat kita jumpai gerobak sapi ala Madura yang bergerak sangat lambat (tidak lebih dari 5 kilometer perjam). Di atas kepalanya pada malam hari melintas satelit-satelit dalam perjalanan kelilingnya mengitari Bumi sambil mengirimkan berita foto-foto ke laboratorium antariksa. Se-kiranya pengendara gerobak pada malam hari terbangun dan melihat ke atas sewaktu salah satu satelit buatan melintas, ia akan berkata: “Cepat sekali bintang itu bergerak”, sambil ia menarik sarungnya lebih tinggi lagi, untuk selanjutnya kembali tertidur lelap.

Gerobak sapi tersebut tidak pernah menjalani proses evolusi barang seting-kat pun, mereka tetap berada dalam bentuk dan keadaan sebagaimana mereka diciptakan semula. Mereka tidak mau dan tidak berani meninggalkan bentuknya semula, tidak pernah berani berpetualang ke arah yang lebih memenuhi syarat-syarat kenikmatan dan keharusan efisiensi yang disarankan perubahan zaman. Tradisi itu pada suatu ketika akan hilang lenyap disisihkan mesin dan bensin.

Orang-orang dari generasi sebelum perang dunia masih ingat akan bentuk kapal terbang Fokker yang diterbangkan orang-orang Belanda pertama ke Indone-sia. Bandingkanlah bentuk, kenyamanan, serta efisiensi dari alat control dan elek-tronika Pesawat DC-8 dan Boeing 747. Dua puluh tahun kemudian, semua pesawat ultra modern seperti sekarang juga akan mengalami nasib yang sama, mereka akan menjadi tua. Tapi pada dasarnya, pesawat udara ciptaan Wright bersaudara, maupun mobil Ford pertama yang diciptakan puluhan atau ratusan tahun yang lalu masih tetap ada hingga ke zaman sekarang. Mereka hanya berubah bentuk, mereka telah mengalami suatu proses metamorfosa secara total, dari pesawat bersayap dua hingga ke Boeing 747.

Page 50: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

26

Tahun berganti tahun dan dengan pergantian musim, padi baru mengurai di lereng kaki pegunungan Tengger. Di jalan raya gerobak sapi berjalan sambil beritme penuh ketenangan dan di atas, pada ketinggian ribuan meter, melintas satelit-satelit buatan, lambang dan jiwa kepetualangan manusia yang serba progresif. Lalu perta-nyaannya, salahkah seorang bersarung yang setiap harinya bergerobak sapi mengang-kut hasil ladang itu? Akankah dia mati terkubur dalam putaran roda besi zaman? Bagaimana mungkin ia akan ditelan zaman, nyatanya satelit-satelit di angkasa itu berawal dari serangkaian proses penciptaan yang terinspirasi oleh teori gerak seder-hana di masa lampau. Sama halnya putaran roda gerobak-gerobak sapi di sepanjang jalan Surabaya-Banyuwangi, bukan berarti sang kusir itu tak punya kekayaan ilmu. Ia hanya belum memiliki kesadaran berpengetahuan untuk mengembangkannya lebih jauh. Di sinilah letak titik persoalannya, bahwa basis materi bukanlah sebuah uku-ran dari keluhuran serta kearifan hidup seorang manusia. Yang menentukan adalah suprastruktur, sebuah cara pandang, sebuah kekuatan yang bersumber dari fakultas akal, di atas kepahaman dan kesadaran berpengetahuan.

Karena pada dasarnya, “keberdiaman” atau statisme perkembangan hidup itu pada masanya juga akan berganti, menjadi dinamis seperti sejarah peradaban-peradaban umat manusia yang telah lalu. Semuanya berjalan, tidak ada yang diam. Semuanya digilirkan, tidak ada yang luput dan tak masuk hitungan. Apa optimisme yang membuat penulis berani mengatakan demikian? Di tanah kampung Distrik Bintuni itu, tampak nyata kekuatan yang bersumber dari kearifan dan keluhuran di dalam rumah-rumah kayu itu, di ladang-ladang tanaman pangan, di jalan setapak basah berlumpur menembus hutan. Kearifan dan keluhuran itu bernama pengeta-huan lokal, yang setiap harinya berperan menuntun masyarakat untuk bergerak lebih, berkarya lebih, mencipta lebih, dan pastinya, belajar lebih.

Mama iguriji pu lang dari ladang kehidu-pan

Page 51: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

27

Salah satu bentuk pengetahuan lokal yang membentuk keluhuran dan kea-rifan hidup itu adalah sikap dasar masyarakat untuk menghormati alam—yang tentu saja melampaui cara penghormatan mereka antara saudaranya sesama manusia. Me-reka berpandangan bahwa alam semesta dengan segala isinya (tumbuhan, binatang, dan bahkan mineral) dipahami sebagai sesuatu yang memiliki nilai intrinsik, sebagai jiwa yang harus dimuliakan selayaknya manusia-manusia hidup. Bahwa setiap entitas aktual yang hadir di alam merupakan suatu organism yang erat terkait satu sama lain dan dengan keseluruhan kosmos. Setiap entitas aktual itu adalah “subyek” yang unik karena mempunyai nilai intrinsik yang terus berkembang dinamis, senantiasa dalam proses ‘menjadi’.

Mereka menolak pandangan dualistis (memisahkan manusia dan alam) yang cenderung bersifat eksploitatif terhadap alam. Suatu pandangan yang hari ini telah mengakibatkan pengurasan sumber-sumber alam, serta pengotoran dan perusakan lingkungan. Sebaliknya, baik manusia dan alam merupakan suatu serikat satuan-satuan aktual (society of actual entities) yang berkutub dua, atau bersifat bipolar (kutub fisik dan mental)4. Kosmos adalah entitas terbesar hasil ciptaan Tuhan di alam. Manusia sebagai mikro kosmis, berkewajiban untuk terus merajut keluhuran dan kearifan yang dihadiahkan oleh Tuhan. Karena kebaikan dan keindahan hidup manusia, bergantung pada kebaikan dan keindahan semesta alam.

4 A.N. Whitehead, Filsafat Proses (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991), hlm. 37

Masyarakat lokal Papua yang tidak pernah bisa terpisahkan dari alam.

Page 52: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

28

Pengetahuan Lokal yang Kaya; Sebuah Ketu-kan Pintu Tanpa Suara

Awalnya, banyak yang heran, termasuk penu-lis sendiri, bahwa seringkali orang-orang di kampung-kampung itu bisa hidup tanpa begitu banyak bersusah-susah dan masih tetap berbesar hati dengan kebutuhan-kebutuhan mereka yang sedikit akan materi. Banyak juga yang tidak habis pi-kir bagaimana mereka itu bebas mengejar dan mempertahankan ke- butuhan-kebutuhan itu tanpa merasa harus memisahkan kebutuhan itu dari kehidupan tradisional mereka yang terikat kuat, agar dengan demikian bisa mencapai taraf hidup yang lebih tinggi. Sebagai perbandingan, kaum pendatang (transmigran) sudah memiliki konsep tersendiri bekerja secara teratur dan menguasai secara teratur pula hasil-hasil yang telah mereka peroleh dengan susah payah. Hasil panen yang di-peroleh memungkinkan mereka membuat atau membeli barang-barang yang bernilai lebih tetap, seperti perlengkapan rumah tangga yang lebih baik, pakaian yang layak, dan perhiasan-perhiasan.

Dari asalnya kaum pemakan sagu dan sekaligus juga petani ini, seakan dengan usaha sedikit saja, mereka sudah cukup untuk dapat mengurus dan meme-lihara diri sendiri. Kebutuhan mereka akan perumahan, pakaian, transportasi, dan sebagainya menjadi begitu sederhana dan bisa begitu gampang dipenuhi, sehingga mereka itu tidak mengenal perjuangan yang sengit dalam hidupnya. Seringkali irama perkembangan diri mereka juga ketinggalan dengan irama perkembangan kaum pen-

Page 53: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

29

datang. Seperti dalam kenyataan bahwa sedikit sekali dari anggota keluarga mereka yang diterima bekerja di dalam aparat pemerintahan, perusahaan swasta, atau menjadi pengusaha dan pedagang di sentral perkotaan.

Sejauh ini—dari tempat asalnya di hu-tan pegunungan sebelum direlokasi pada tahun 1986— menurut cerita kebanyakan orang yang aku temui, mereka menjual tanah agar cepat memperoleh uang, yang mereka tidak tahu ba-gaimana memanfaatkannya dengan baik. Lan-

tas mereka berpindah ke daerah perkotaan, lalu menetap di pinggiran. Jelas kemudian mereka terpinggirkan dan tertinggal diantara hiruk pikuk

kota yang didominasi oleh kaum pendatang5. Kaum lokal ini pada akhirnya banyak menggantungkan diri pada pemerintah sebagai “dewa penolong” sekaligus “ibu yang menyuapi nasi” untuk melindungi mereka.

Tak dapat dipungkiri memang, masyarakat lokal di kampung secara jelas nampak tertinggal dan terbelakang dalam dialektika modernisasi di Teluk Bintuni, khususnya jika kita bandingkan dengan pola hidup keseharian kaum pendatang di kota. Tapi potret kehidupan masyarakat lokal yang banyak kudengar dari orang-orang di pasar, di pusat kota, di satuan pemukiman transmigran itu nyatanya tidak sepenuhnya benar. Jika kita mau menengok lebih jauh, lalu menyapa lebih dekat, pada kenyataannya mereka berusaha untuk mulai membuka diri, memuliakan pendi-dikan dan beradaptasi dengan kehidupan modern dalam tarikan-tarikan kepentingan ekonomi nasional maupun global.

Bahwa sekelompok orang yang pindah dari satu lingkungan budaya ke ling-kungan budaya yang lain, akan mengalami proses sosial budaya yang dapat mem-pengaruhi mode adaptasi dan pembentukan identitasnya (Appadurai, 1994; Ingold, 5 Dr. Jan Boelaars MsC, Manusia Irian; Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan (Jakarta: Gramedia, 1986)

Perempuan dikampung Iguriji membersihkan kacang hasil panen ladangnya.

Page 54: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

30

1995). Proses reproduksi kebudayaan menjadi proses aktif yang menegaskan keberadaan mereka dalam kehidupan sosial yang baru itu. Kita bisa saksikan keberhasilan masyarakat lokal di ketiga kampung ini dalam rekam jejak adaptasi wilayah sete-lah berkali-kali mengalami relokasi. Mereka banyak belajar dari setapak demi setapak perubahan yang telah dilalui.

Seperti sudah disebutkan di atas, masyarakat lokal di kampung-kampung itu sejatinya memiliki kekuatan yang kaya. Pengetahuan lokal adalah sebentuk learning community, Ia tidak tertutup bagi evaluasi dan adaptif terhadap pelbagai persoa-lan. Sejarah tidak sekaku yang dikira orang. Tradisi adalah hasil persetubuhan norma dan persoalan. Pengetahuan lokal meru-pakan produk kesepakatan bersama sekelompok orang yang menghayati bentuk kehidupan tertentu dalam menanggapi persoalan yang tumbuh dari keterlibatan mereka dengan keny-ataan sehari-hari. Gagasan learning community bertolak dari key-akinan bahwa pengetahuan tidak lengket pada kenyataan apa adanya. Ia adalah hasil kesepakatan komunitas. Kesepakatan di sini tidak berarti kepastian. Persoalan memancing percakapan baru tentang bentuk pengetahuan yang bisa disepakati untuk

Hasil ladang--ubi, kacang, pinang, singkong, talas,

cabai dsb--meru-pakan komoditas

yang lazim di-perdagangkan.

Page 55: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

31

menyelesaikannya. Wittgenstein berpendapat bahwa perilaku manusia senantiasa menguji norma yang melatarinya dalam te-rang kebutuhan, kepentingan dan persoalan baru. Ia mentran-sendir ikatan kebiasaan dan pengalaman masa lalu6.

Pengetahuan lokal pun tidak lagi memiliki pijakan yang ajeg seperti yang diklaim para epistemolog modern. Ia adalah hasil kesepakatan dalam keputusan yang dibuat dalam lingkungan praksis bukan teoretis. Obyek pengetahuan dalam pengetahuan lokal adalah hasil interaksi antara subyek dan lingkungannya. Alih-alih mengambang dan abstrak, ia bersifat problem-focused, alih-alih individual, ia bersifat kolaboratif, alih-alih berjarak, ia bersifat partisipatoris, alih-alih status quo, ia ber-sifat evaluatif. Evaluasi adalah kata kunci yang cukup penting. Sebab, berbeda dengan model sains, evaluasi tiak dilakukan se-cara terisolasi di lingkungan yang terkontrol semacam labora-torium, melainkan proses belajar sistemik berbasis komunitas7.

Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat di kampung-kampung lokal itu terbangun dari hasil pembelajaran

6 Donny Gahral Adian, Pertanian dan Pengetahuan Lokal (Jakarta: Kompas 2006), hlm.603

7 Ibid.

Suasana ke-gotong royongan masyarakat lokal terlihat dalam pembangunan infrastruktur desa.

Page 56: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

32

yang evaluatif, dialogis, dan reflektif. Dirawat dan dijaga oleh kekerabatan sosial yang erat, balutan adat yang adaptif terhadap arus modernisasi, budaya gotong royong dan saling tolong menolong, dan prinsip harmoni kebersatuan sesama manusia dan alam. Pengetahuan lokal itu merupakan hasil kesepakatan komunitas menanggapi pelbagai persoalan dalam kesalingterhubungan mereka dengan lingkungan. Mereka mempunyai seperangkat konsepsi pengetahuan (budaya) yang berhubungan dengan alam semesta sebagai tempat di mana mereka dan nenek moyang mereka pernah hidup. Sehingga pola-pola hubungan antara manusia dengan alam dipandang sangat khusus dan sakral.

Mengupas Ubi dengan Kesadaran Berpengetahuan

Dengan basis kekuatan pengetahuan lokal yang kaya itu, mereka melangkah, berkembang maju, dan merajut makna hidup. Dalam keseharian hidup yang diling-kupi aktivitas bertani dan berladang, hari-hari masyarakat kampung di sana kurang lebih dihabiskan untuk makan, bersenda gurau, pergi bersekolah, mencari ikan gabus di selokan, membetulkan atau membangun sudut-sudut kampung, pergi ke pasar di kota, ibadah di gereja, berkalung panah berburu ke hutan, duduk-duduk di atas undakan kayu di pekarangan, bermain voli atau bola, riuh berpesta pora, dan sesekali mabuk-mabukan.

Kiranya ada yang luput. Seharusnya kita bisa memandang kenyataan le-bih jauh, dan mendalam. Dalam hari-hari yang terus

berulang-ulang itu, se-

Penduduk kampung

dalam balutan

kearifan lokal menatap

kemajuan.

Page 57: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

33

tiap sore saat matahari siang mulai turun, tampak satu per satu para mama menyisir jalan pulang dari ladang. Di sepanjang jalan setapak itu, mama-mama menggendong noken berisi ubi (petatas) di dahi kepalanya yang membatu. Tanpa disadari, dalam kotornya ubi bercampur tanah itu, tersimpan energi perubahan yang baru akan me-nyeruak jika diretas oleh kesadaran berpengetahuan. Dari bibit yang ditanam delapan bulan lalu, dari tanaman yang disemai sore tadi, dari karung-karung yang dibopong itu, dari sepiring ubi bersama lauk yang mengisi dapur rumah-rumah, melekat en-ergi yang bukan sekedar pemberi asupan kekuatan untuk memulai kembali rutinitas baku, lagi dan lagi seperti hari-hari yang kemarin. Ubi-ubi itu menyimpan makna pembelajaran, menembus cakrawala tak berbatas.

Pada waktu mengupas ubi-ubi yang baru saja diambil dari ladang itu, kita bisa memakannya dengan kesadaran atau tanpa kesadaran. Apa artinya memakan ubi dengan kesadaran? Kita sadar sedang makan ubi, merasakan bau tanah di kulit dan manisnya daging umbi. Ketika mengupas kita merasakan sedang mengupas dan sadar sedang mengiris sepotong demi sepotong, lalu meletakkannya dalam piring, bersiap dimasak dan akhirnya kita telan menjadi makanan yang nikmat; dengan de-mikian maka kehadiran ubi itu menjadi sangat nyata dalam kehidupan kita. Kalau ubinya riil, maka orang yang sedang makan pun juga riil adanya. Inilah arti dari memakan ubi dengan penuh kesadaran.

Lalu apa artinya memakan ubi tanpa kesadaran? Kita sedang makan, kita tidak tahu sedang makan ubi. Kita tidak mengalami bau tanah kulitnya dan rasa manis umbinya. Ketika mengupas, kita tidak sadar bahwa kita sedang mengupas. Ketika kita memotong-motongnya, kita tidak tahu sedang membuatnya menjadi ba-gian demi bagian. Ketika kita mencium baunya, kita tidak tahu bahwa kita sedang menciumnya. Makan ubi dengan cara demikian, kita tidak dapat menghargai nilai dan indahnya alam. Kalau kita tidak sadar dengan makan ubi, maka ubi pun tidak riil di hadapan kita. Jika ubinya tidak riil, maka orang yang sedang makan pun juga tidak riil adanya.

Makan ubi dengan penuh kesadaran artinya sedang bersentuhan dengan ubi. Pikiran kita tidak melayang ke masalah yang terjadi kemarin atau esok hari, tapi berada sepenuhnya dalam kekinian. Pikiran dan badan kita berada pada saat ini dan

Page 58: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

34

di sini. Orang yang bisa makan ubi dengan kesadaran penuh, dapat mengalami hal yang tak dialami oleh orang lain. Orang yang sadar, dapat melihat semua itu terkait dengan pohon ubi, matangnya umbi, cahaya matahari yang menerpa dan hujan yang menyuburkannya. Melihat dengan mendalam, seseorang akan melihat ribuan hal lain yang membuat kehadiran makanan itu sampai ke hadapannya, sehingga melihat in-dahnya alam semesta dan bagaimana semua itu saling terkait satu sama lain8. Jalan untuk memakan ubi dengan penuh kesadaran juga sama dengan menghayati hidup setiap jam, menit, dan detik; pikiran dan badan kita berada di dalam ruang pergantian tiap momen antar momen kehidupan.

Kesadaran inilah yang menjadi penyuluh bagi keberpengetahuan kita seba-gai manusia pembelajar. Seseorang yang begitu dekat dengan dirinya sendiri, sehing-ga tau darimana ia berasal, sedang dimana ia berjalan, dan mau kemana ia melangkah menuju tujuan. Seperti yang Konfusius ujarkan:

Orang zaman dahulu yang hendak memperbaiki dunia,

Ia lebih dulu berusaha mengatur negerinya;

Untuk mengatur negerinya ia lebih dulu membereskan rumah tangganya;

Untuk membina dirinya, ia lebih dulu meluruskan hatinya;

Untuk meluruskan hatinya, ia lebih dulu memantapkan tekadnya;

Untuk memantapkan tekadnya ia lebih dulu mencukupkan pengetahuannya

dan untuk mencukupkan pengetahuannya, ia meneliti hakikat tiap perkara.

Dengan meneliti hakikat tiap perkara, maka cukuplah pengetahuannya;

Dengan cukup pengetahuannya, akan dapat memantapkan tekadnya;

Dengan memantapkan tekadnya, akan dapat meluruskan hatinya;

Dengan hati yang lurus, akan dapat membina dirinya sehingga dapat

membereskan rumah tangganya dan setelah itu mengatur negaranya

sehingga tercapailah damai di dunia.

8 Jusuf Sutanto, Kearifan Kuno dalam Kehidupan Modern (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm. 31

Page 59: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

35

Karena itu, dari raja sampai rakyat jelata,

ada satu kewajiban yang sama, yaitu mengutamakan pembinaan diri sebagai pokok.

Sesungguhnya, untuk memperoleh kegemilangan itu

hanya tergantung pada usaha orang itu sendiri9.

Jika kita mengamati dengan sungguh-sungguh secara mendalam daun po-hon ubi yang sedang melambai-lambai ditiup angin seolang ingin diperhatikan oleh sekelilingnya itu, maka kita akan menemukan kehadiran matahari dan bintang-bin-tang—tanpa kehadiran sinar dan kehangatannya, maka daun ubi tidak akan pernah ada. Di dalam daun, kita menyaksikan kehadiran awan—karena tanpa ada awan yang bisa berubah menjadi air hujan, bagaimana mungkin bisa tumbuh pohon ubi di la-dang? Awan pun tak bisa menjadi hujan tanpa gunung yang memberikan suhu dingin sehingga bisa menjadi air yang mengalir di sungai dan di bawah tanah yang akhirnya bertemu dengan akar pohon ubi. Kita kemudian akan juga menghayati kehadiran tanah—waktu—ruang dan pikiran kita10.

Meski pohon ubi itu, menurut pikiran sederhana kita, semua tumbuh dari bibitnya yang kecil lalu menjadi batang sedikit meninggi dan secara bertahap muncul daun yang semakin banyak, dan pada akhirnya siap dipanen, sebenarnya ia sudah ada jauh hari sebelumnya dan terkandung di dalam matahari—awan—tanah—pohon itu sendiri. Oleh karena itu, ubi-ubi itu sebenarnya sudah ada jauh sebelumnya pada masa yang tak terhitung lamanya, dan pada saat tertentu memanifestasikan dirinya dalam bentuk buah lalu seolah menghilang dan kembali mengada lagi. Demikian se-terusnya untuk waktu yang tak terhingga. Kalau begitu, maka demikian pula dengan kita semua, dengan orang di kampung-kampung lokal Papua, bahwa tidak akan per-nah ada kematian bagi sebuah harapan, selama ia terus dihidupkan dalam kehendak akal.

Kantung-kantung Ubi Penembus Cakrawala

Ubi-ubi yang dipanen, dikupas, dimasak dan ditelan menjadi makanan kese-9 Jusuf Sutanto, Kearifan Kuno dalam Kehidupan Modern (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004), hlm. 4010 Ibid.

Page 60: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

36

harian mereka itu selama ini memang hanya sampai mengirim energi untuk mengatar mereka pergi ke ladang kembali, bekerja membangun kampung, rumah ibadah, ber-jualan di pasar, jalan kaki ke sekolah, menjawab soal ujian, berolahraga, berburu, atau bahkan duduk-duduk bercengkrama di papan-papan kayu saban sore di kampung. Tapi dengan terang pengetahuan dan pembelajaran yang terus dihidupkan, bahkan ubi-ubi itu akan sanggup mengetuk kesadaran akan hakikat keberadaan diri mereka. Kesadaran akan potensi teramat besar yang dimiliki dan jalan yang harus mereka pilih untuk mewujudkan segala mimpi dan harapan akan esok yang lebih baik.

Bibit-bibit itu, menjadi simbol bagi optimisme. Bibit itu akan tumbuh, men-jadi energi, mengirim balik materi, mencipta masa depan yang utuh. Karena selama bibit masih bisa ditanam, selama itu pula manusia masih memiliki masa depan. Jika-pun bibit-bibit batangan itu hanya tergeletak di tanah dan dia tidak segera tumbuh, dengan optimisme tinggi sebenarnya bibit itu tengah istirahat sampai ada manusia yang tertarik untuk memasukkannya ke dalam lubang tanah. Bahwasannya, pembe-lajaran maha penting itu, bahkan ada, dan bisa kau dapatkan dari keseharian terde-katmu. Sekian lama kita berkelana mencari makna kehidupan, ternyata ia lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Sekian lama pula kita mengetuk pintu, tau-tau kita menge-tuknya dari dalam. Karena kunci dari perubahan itu, ada dalam diri diri kita sendiri.

Dua orang Mama melepas penat setelah memanen keladi.

Page 61: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

37

Petatas (sebutan untuk ubi) menjadi makanan pokok masyarakat di kampung Iguriji, Missin, dan Teluhwer.

Jalan orang yang tercerahkan itu seperti langit dan bumi;

bermiliar makhluk hidup tak ada yang tak diliputinya.

Jalan orang biasa itu seperti sungai, laut, gunung, jeram,

bukit dan lembah, tanaman, pepohonan, dan serangga.

Masing-masing memenuhi jalannya dan itulah semuanya.

Mereka tidak mengetahui yang di luar itu,

yang melengkapi semua hal.

Namun bagaimana bisa ada dua jalan?

Tidakkah mereka menjadi besar atau kecil,

karena kedalaman atau kedangkalan kesadar annya.

Satu hal yang harus di sadari, tidak cukup bagi kita hanya dengan memi-

Page 62: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

38

liki prinsip-prinsip keluhuran ini. Tidak ada artinya segenap kebijaksanaan tanpa pengembaraan dalam langkah-langkah menuju pembuktian kebenaran. Mereka seharusnya tidak diam berlinang dalam “keberdiaman” balutan romantisme keada-tan. Ada pengetahuan lokal dan kesadaran berpendidikan yang harus bergabung dan menyatu, menguatkan segenap kearifan luhur dalam pikir, tutur dan tingkah laku keseharian. Kearifan lokal yang terbina dan terajut dalam budaya pertanian itu, be-gitu ramah dan dekat bersama kesadaran untuk terus mengisi penuh kapasitas pembelajaran. Pengetahuan lokal menjadi mata air yang mengalirkan kemurnian cara pandang, selanjut-nya, dengan pendidikan kita akan mampu berkelana menga-rungi luasnya samudera kehidupan dengan cakrawala tak ber-batas.

Kaum laki-laki selalu membekali dirinya dengan panah untuk melind-ungi diri.

Page 63: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

39

Page 64: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 65: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

“Perubahan tak pernah berhenti, dan begitulah yang masih dan terus terjadi di

Tanah Ini. Selalu berubah. Dalam setiap perubahan, selalu ada harapan agar menjadi

lebih baik. 156 tahun yang lalu, mereka masih hidup secara sederhana. Saat ini, kehidupan

mulai tertata dan terarah, bagaimana dengan 156 tahun yang akan datang?”

TULISAN 3“Butuh Waktu Lebih”

Oleh: Iko Saptinus

Page 66: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

42

Kita Semua Bersaudara

Satu persatu bangku pun mulai terisi. “Sembahyang hari ini sepertinya tidak begitu banyak yang datang”, batin saya dalam hati. Hari itu, hari Minggu pagi, 24 Juli 2011, pukul 08.30. Se-bentar lagi Sembahyang umum di Gereja Persekutuan Kristen Alkitab Indonesia (GPKAI) Iguriji akan dimulai. Beberapa bangku di sebelah saya masih terlihat bersih dan rapi, belum ada yang menduduki. Sebagian besar yang sudah hadir adalah mama-mama dan remaja putri. Beberapa laki-laki saja yang ter-lihat, itupun sudah termasuk Bapak Gembala dan juga Majelis Gereja. “Dimana yang lainnya?”, padahal dikampung ini, hampir 90 persen penduduknya adalah pemeluk agama Kristen, tapi apabila dihitung-hitung, jumlah yang sekarang duduk bersama saya didalam Gereja ini tak sampai 60 persennya.

Jemaat disini mulai memandirikan diri mereka sebagai sebuah jemaat yang mandiri sekitar empat tahun yang lalu. Awalnya mereka menjadi satu Jemaat di GPKAI Tuasai. Ka-rena beberapa hal, seperti jumlah mereka yang bertambah banyak, dan juga jarak tempuh yang cukup jauh, mereka pun

Penduduk asli di di kampung Iguriji, Missin, dan Teluh-

wer beribadah setiap hari Minggu

pagi dan sem-bahyang remaja dilakukan rutin

setiap hari Jumat di rumah warga.

Page 67: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

43

memutuskan untuk membangun sebuah gedung Gereja Daru-rat di Kampung mereka, Iguriji. Tidak begitu bagus memang, hanya susunan kayu yang berdiri di atas pondasi semen seder-hana, dan ukurannya pun tergolong kecil untuk sebuah gedung gereja. Namun, itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap bersekutu dan berbagi dalam kasih dan Firman Tuhan.

Tak berapa lama, seorang mama dari bangku sebelah kanan depan terdengar mulai mengangkat suara, tanda bahwa sembahyang akan segera dimulai. Puji-pujian pun mulai dilan-tunkan dengan penuh semangat dan makna. Semua orang yang berada di dalam Gereja mulai mengikutinya, kecuali saya. Ka-rena memang saya baru mengikuti sembahyang dua kali di sini, dan bahasa yang digunakan pun berbeda dengan bahasa saya. Hampir selama sembahyang berlangsung, semua memakai ba-hasa Sougb, sesuai dengan suku mereka, Suku Sougb. Hanya beberapa kali saja bahasa Indonesia digunakan selama semba-hyang, seperti doa dan pada saat Pembawa Acara berbicara.

Seperti jemaat Kristiani di daerah-daerah yang lain, masing-masing daerah memiliki Alkitab dalam bahasa daerah mereka. Jemaat disini pun demikian, mereka juga memiliki Al-

Bangunan gereja di kampung Iguriji yang digunakan sebagai tempat beribadah oleh masyarakat kam-pung Iguriji, Missin dan Telehwer.

Page 68: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

44

kitab dalam bahasa asli mereka, bahasa Sougb. Itu semua adalah hasil kerja keras para missionaris dari Barat—paling tidak begitulah orang-orang disini menyebutnya, yang sebenarnya adalah dari daerah Eropa seperti Inggris, Belanda, dan Jerman—yang berhasil menerjemahkan Alkitab dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Sougb. Para Missionaris tersebut pertama kali datang ke tanah Papua adalah di sebuah pulau kecil di utara Manokwari, yaitu Pulau Mansinam, pada tanggal 5 Februari 1855. Mis-sionaris yang pertama kali tiba di Papua adalah Carl William Ottow dan Johann Gotllob Geisller yang berasal dari Jerman. Mereka adalah Missionaris berkebangsaan Jerman, yang sebelumnya ditugaskan untuk mengabarkan Injil oleh pemerintahan Belanda di wilayah Batavis (jawa), pada tahun 1852.

Pada saat itu, penduduk Papua masih hidup secara sangat sederhana. Mereka masih tertutup dengan pengaruh-pengaruh dari luar. Adat dari leluhur pun masih sangat kuat mereka pegang. Setelah kedatangan para Missionaris tersebut, maka lambat laun cara hidup dan pandangan hidup penduduk asli mulai berubah secara perlahan. Saat ini, sudah cukup lama sejak pertama kali Injil masuk ke tanah Papua. Sudah banyak hal yang berubah. Cara berpakaian, mata pencaharian, cara hidup masyarakat, bahkan beberapa adat budaya pun sudah mulai bercampur dengan nilai-nilai agama (Injil).

Kitab Injil selalu mereka bawa untuk digunakan dalam beribadah.

Page 69: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

45

Jam dinding yang tergantung rapi dibelakang mimbar khotbah sudah menunjuk pukul 09.45 disaat salah satu Majelis membacakan pengumuman untuk Sembahyang Umum Minggu depan. “Berarti sebentar lagi Sembahyang akan selesai”, gumam saya se-raya berusaha memahami pengumuman yang sedang dibacakan.

“...Densijo’k Jesua, Amen!” yang berarti “Terima kasih Tuhan Yesus, Amin” adalah beberapa kata yang dapat saya mengerti. Sembahyang sudah selesai. Semua jemaat saling bersalam-salaman dan mengucapkan salam, “Abireso,..!”, yang berarti selamat siang. Dengan senyum ramah dan hangat, saya pun disalami dan menyalami semuanya. Sama sekali tak terasa kalau saya adalah satu-satunya orang “lain” di sini. Saya merasa nyaman. Mereka sama sekali tidak mempedulikan asal, warna kulit, dan jenis rambut saya, luruskah atau keritingkah. Saya merasa menjadi bagian dari jemaat disini. Tanpa rasa canggung, rasa curiga, mau pun rasa minder. Itulah yang sering mereka utarakan bahwa mereka sama sekali tidak pernah membedakan siapapun yang datang. Mereka menganggap semua adalah saudara, saudara dalam satu Tuhan, dalam kasih Yesus—itulah yang mereka katakan minggu lalu, saat saya baru pertama mengikuti Sembahyang di Gereja ini. Bukan hanya yang sama-sama Kristen, namun juga yang Khatolik, Muslim, dan yang lain. Cara mereka menerima, cara mereka berbicara dengan kami, penuh kehangatan dan ramah, seperti yang tadi sudah saya katakan. Tanpa rasa curiga, dan tanpa rasa canggung.

Agustinus salah satu pedeta di gereja setempat sedang memberi-kan ceramah.

Page 70: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

46

Sedikit demi sedikit suara riuh mulai berkurang, tinggal tersisa beberapa Ba-pak Majelis yang tengah merapikan lembaran-lembaran kertas yang sepertinya tadi dipakai untuk membacakan pengumuman. “Permisi Pak Cie –panggilan untuk laki-laki tengah baya bagi masyarakat setempat–,su akan pulangkah?” tanya saya kepada se-orang Bapak sembari menghampirinya, yang akhirnya saya ketahui namanya adalah Bapak Albert Dowansiba. Laki-laki berpostur cukup besar dan kekar, dengan suara berat namun tenang kemudian menjawab pertanyaan saya, “Iyo, sebentar lagi.” Sing-kat saja menjawab, karena memang terlihat sedang sibuk membereskan beberapa buku serta kertas-kertas ke dalam Nokennya—tas kas penduduk asli Papua, tas hasil rajutan tangan. Perasaan saya jadi tidak enak telah mengganggu. Saya coba duduk dulu, dan menunggu, dengan harapan bisa berbincang banyak tentang pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam otak saya tadi.

“Mari pulang.”Ajak Bapak Albert sambil mengkalungkan noken dibahunya. Kami berjalan bersama menuju Iguriji, tepatnya ke rumah Pak Albert. Sengaja me-mang setelah bergereja, saya sudah meminta ijin kepada teman-teman satu tim lain-nya untuk pulang terlambat

. “Oya Pak Cie, tadi yang datang Sembahyang sedikit saja, tidak sebanyak minggu lalu, pada kemanakah?” Saya mencoba membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan.

“Ya,…” Beliau menjawab dengan tenang, “Memang begitu sudah!”

Merasa belum mendapat jawaban yang saya inginkan, kami terus melanjutkan langkah kaki kami menuju kediaman Bapak Albert. Tidak terlalu jauh, karena letak Gedung Gereja dari Kampung memang terbilang dekat, hanya sekitar 300 meter saja.

Rumah itu terlihat mencolok dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitar-nya. Dengan cat luar rumah berwarna hijau muda yang terang, pasti orang akan mu-dah mengenali dan mengingatnya. Rasanya tak asing. Tak salah lagi, bentuk rumah ini mirip rumah-rumah yang ada di Jawa. Dilengkapi dengan teras depan rumah berukuran 2x5 m yang ditopang oleh empat tiang beton penyangga, “Benar-benar menjadi “Rumah Jawa” disini”, itu pikir saya. Dengan seluruh dinding sudah terbuat dari beton, berbeda dengan rumah-rumah lainnya, yang hanya memiliki dinding be-

Page 71: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

47

ton setinggi kira-kira satu meter saja, dan dilanjutkan papan-papan kayu ke atasnya, menjadikan “Rumah Jawa” tersebut terbilang mewah dikampung ini.

“Mari masuk.” Ajak Bapak Albert sambil membuka pintu rumahnya. Dengan lantai yang dikeramik merah, dan dinding bagian dalam rumah yang dicat dengan warna merah muda, memberi kesan yang pas dan tenang saat pertama memasukinya. Hemmm, sejuk rasanya ketika masuk. Bersih dan nyaman. Rumah ini pun sudah cu-kup lengkap, TV, VCD Player, Speaker Aktif, Kipas Angin, tertata rapi disudut ruang tamu yang sekaligus juga berfungsi sebagai ruang keluarga ini.

“Pak Cie tinggal dengan siapakah?”, Tanya saya ketika memperhatikan suasana rumah yang terlihat sepi.

“Sa tinggal di sini dengan sa pu istri dan anak.”, jawabnya, ”Tapi sekarang mereka pergi ke Manomkwari, ke rumah sa pu mertua.”

“O,… Pak Cie tidak ikut kah?”

“Tidak bisa. Mereka di rumah sa pu mertua sampai rabu, sa su masuk kerja besok. Sebentar juga ada sembahyang keluarga, sa harus ikut itu sudah.”

Bekerja sebagai PNS, menyebabkannya harus bekerja dari hari senin hingga jumat dan ini tak bisa ditinggalkan. Selain karena alasan itu, tanggung jawab dari Gereja pun mengharuskannya hadir pada setiap sembahyang hari Minggu. Seorang yang setia pada tanggungjawab.

“Oya Pak Cie, waktu sembahyang tadi, laki-laki yang datang hanya sedikit, pada kemanakah?” saya mencoba mencari jawaban dari rasa penasaran saya sedari pulang dari Gereja tadi. Hening sejenak, sebelum dikeluarkan jawaban dari mulutnya.

“Su biasa itu. Minum!” jawabnya sambil mengangkat tangannya yang telah ter-kepal dengan ibu jari yang diarahkannya ke mulut. Mabuk! Itulah yang dimaksudkan oleh Pak Albert. “Ya, seperti itu sudah. Minum, mabuklah, bikin mereka malas. Su tak mau ke Gereja kalau su begitu. Su dikasih tahu tetap saja tak mau dengar. Tak tahu bagaimana cara mengatasinya. Su biarkan saja.” lanjutnya.

Page 72: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

48

Miskin, tapi Kaya

Di sini, listrik hanya menyala pada malam hari selama 12 jam, dari pukul 18.00 WIT hingga 06.00 WIT. Penduduk disini mendapatkan listrik secara gratis dari pe-merintah. Ya, ini memang kebijakan dari pemerintah yang memberi listrik secara cuma-cuma bagi mereka yang merupakan penduduk asli2. Karenanya, mereka tidak bisa banyak komplain apabila terjadi hal seperti sekarang ini, listrik padam. Tepat ketika kami sedang berbincang-bincang di depan rumah Pak Filemon.

Suasana berubah seakan menjadi satu dengan alam. Udara dingin yang ber-hembus dari hutan sangat terasa menusuk daging. Tidak benar-benar gelap sebenar-nya, karena cahaya bulan malam ini kebetulan sedang penuh (purnama), cukup untuk menggantikan lampu-lampu yang saat ini hanya bisa bergoyang-goyang terkena ang-in malam tanpa mampu menerangi sekitarnya. Suara TV yang biasanya menjadi pu-sat hiburan di malam hari pun, tak bisa dinikmati untuk malam ini. Hanya jangkrik, belalang, dan serangga-serangga kecil yang berusaha memberikan perfoma terbaik mereka bagi kami sekarang.

“Dulu, kami juga seperti ini.” Seorang tengah baya, yakni Pak Yosep terdengar pelan bersuara, “Waktu kami masih tinggal digunung, jauh dari kota, dan tidak ada listrik. Cuma api dari kami pu kayu bakar yang ada.” Lanjutnya melengkapi cerita-nya. “Kami jalan kaki dari kami pu kampung sampai ke kota. Bisa dua harikah, tiga harikah, atau lebih kami jalan. Kami pergi ke kota bisa tukar sayur, ubi, petatas. Ya, Seperti itu sudah kami dulu!”

Mereka adalah masyarakat yang dipindahkan (direlokasi) oleh pemerintah dari daerah pegunungan ke daerah pesisir. Kebanyakan dari mereka berasal dari daerah Gu-nung Anggi. Untuk tujuan pembangunan dan pendidikan, maka pemerintah merelo-kasi mereka ke daerah pesisir, Teluk Bintuni, seperti saat ini. Mereka yang terbiasa ber-buru dan meramu di tempat asalnya, harus berusaha mengubah pola hidupnya ketika dihadapkan dengan realitas sosial, bahwa mereka hidup berdampingan dengan para pendatang, yang pada dasarnya bekerja di sektor ekonomi dan pendidikan. Mereka pun mulai diajari bertani dan berdagang oleh pemerintah, bukan hanya berburu dan bertu-kar barang lagi. Namun, proses itu membutuhkan lebih banyak waktu dibandingkan

Page 73: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

49

dengan waktu yang dibutuhkan mereka untuk mengubah penampilan luar mereka, penampilan yang mengadopsi gaya hidup perkotaan.

Malam itu, saya menginap di rumah Pak Filemon. Di luar pun bertambah gelap, karena keadaan listrik masih pa-dam. Hanya beberapa batang lilin diletakkan dipojok-pojok ruanganlah yang menjadi penerang selama kami berbincang sebelum kami tidur. Ditemani segelas kopi dan ubi goreng, kami melanjutkan cerita di dalam rumah, karena di luar mulai bertambah dingin dan sepi.

Berbeda dengan rumah Pak Albert yang terlihat rapih dan bersih. Rumah ini hanya berlantai semen kering, yang di-lapisi dengan karpet plastik berwarna hitam yang sudah mulai kusam. Dinding kayunya pun tak memiliki lapisan khusus, ha-nya kayu polos dengan tempelan gambar di beberapa bagian. “Sangat sederhana.”, gumamku dalam hati.

“Kau tahu, banyak orang pu kata kalau orang-orang Papua itu miskin.” kata Pak Simion—yang berasal dari Ransiki

Suasana rumah Setiap warga suku Sougb di kampung Iguriji, Missin, dan Teluhwer masih terikat hubungan darah. Hidup secara komunal, saling membantu sesama merupak-an salah satu ciri utama masyarakat Papua.

Page 74: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

50

dan juga telah lulus Sarjana Theologi di Manokwari beberapa tahun lalu. Ia adalah adik ipar dari Pak Filemon. Mereka tinggal bersama-sama dalam satu rumah. Ia meneruskan pembicaraan sambil meminum beberapa teguk kopi-nya. “Mereka sebenarnya tidak salah. Waktu melihat kami pu rumah yang kecil, kami pu pakaian seadanya, pasti mereka berpikir seperti itu sudah.”

“Kenapa bisa begitu Pak Cie?“

“Sebenarnya, seperti saya, bisa pu rumah besar kalau sa mau.” Kembali Pak Cie bercerita, “Tapi saya tidak begitu. Sa tak pu uang banyak, tak pu rumah besar, tidak apa-apa. Yang penting waktu sa dapat honor (gaji), sa bisa kasih itu untuk bantu adik, atau kakakkah, mamakah, iparkah, saudara, juga sa pu keponakan pun bisa.”

“Lalu untuk Pak Cie sendiri bagaimana?”, tanyaku menyambung.

“Aah, tidak masalah itu. Selama masih ada sa pu tangan, kaki, kepala, pasti sa masih bisa cari uang lagi.“ Dengan antusiasnya, Pak Cie terus bercerita, “Kasih! Itulah cara hidup kami. Seperti jemaat mula-mula, saling memberi, saling menolong.”

Yang dimaksud oleh Pak Simion tentang jemaat mula-mula adalah sebuah ki-sah yang ada di dalam Alkitab, dan kisah tersebut ada dalam Kitab Kisah Para Rasul 2 : 44-45, yang tertulis demikian:

“Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan me-reka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.”

Mereka mengatakan, diri mereka-lah justru yang kaya. Kaya dari apa yang telah diberikannya bagi orang lain, bukan dari apa yang saat ini dimiliki. Sebuah fi-losofi yang indah.

Kitab Injil pelengkap beribadah

Page 75: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

51

Sebuah Perubahan, Menuju Kebaikan

Perubahan dikatakan sebagai sebuah perubahan jika perubahan itu sen-diri telah terjadi. (Anonim)

Setelah masuknya Injil 156 tahun yang lalu, banyak bagian dalam kehidupan warga Papua yang berubah. Budaya, adat, kepercayaan, cara hidup, telah berasimilasi dengan aga-ma. Bukan hanya para tetua adat lagi yang menjadi panutan, namun juga dengan pendeta (pastor). Nasehat dan pemikiran mereka mulai dijadikan bahan pertimbangan dalam memu-tuskan hal-hal penting, termasuk diantaranya dalam pemilihan kepala kampung.

Begitu banyak perubahan-perubahan yang telah terjadi. Sayangnya, tidak semua perubahan yang terjadi selalu meru-pakan perubahan yang positif. Seperti Ying dan Yang, atau juga seperti warna hitam dan putih, begitulah perubahan. Ada

Suasana dalam rumah salah satu masyarakat Igu riji yang biasa nya digunakan untuk beribadah remaja pada jumat pagi.

Page 76: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

52

sisi baik, juga sisi buruknya. Ibarat dua sisi koin yang tidak terpisahkan. Ada mama-mama yang setia mengikuti ibadah hari Minggu, ada bapak-bapak yang sibuk sendiri dengan minum-minum. Di satu sisi, penduduk asli mulai bisa mene-rima perubahan—dari cara hidup sederhana, menjadi lebih maju—yang membuat mereka mulai mengerti tentang kesehatan, perekono-mian, juga pendidikan. Di sisi yang lain, secara tidak langsung, mereka te-lah mulai “menjual” tanah mereka. Padahal, tanah adalah hidup bagi mereka.

Manusia tidak bisa hidup tanpa tanah, sebaliknya tanah hanya ada manfaatnya karena dibutuhkan oleh manusia (Dr. Karel Phil. Erari, 1994, “Tanah Kita, Hidup Kita: Hubungan Ma-nusia Dan Tanah di Irian Jaya Sebagai Persoalan Teologis”). Apabila tanah mereka terambil, itu berarti hidup mereka pun terambil. Seperti contohnya sengketa yang terjadi dengan PT. Freeport di belahan tanah Papua yang lain.

Masyarakat lokal berbondong-bondong menuju gereja untuk beribadah.

Page 77: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

53

Namun, perubahan tak pernah berhenti, dan begitulah yang masih dan terus terjadi di Tanah Ini. Selalu berubah. Dalam se-tiap perubahan, selalu ada harapan agar menjadi le-bih baik.

156 tahun yang lalu, mereka masih hidup secara seder-hana. Saat ini, kehidupan mulai tertata dan tera-rah, bagaimana dengan 156 ta-hun yang akan datang?

Harus disa-dari, perubahan sudah tentu

perlu waktu, namun terlebih, perubahan itu perlu pengubah. Ajaran aga-ma baru diharapkan bisa menciptakan para pengubah yang akan membawa mereka ke kehidupan yang lebih baik.

Page 78: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 79: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

”Peran ganda membawa perempuan Papua pada aktifitas pekerjaan yang harus

dimulai sejak matahari terbit hingga malam menjelang tidur. Selain menjalankan kodrat-

nya sebagai isteri dan ibu, mereka adalah penopang ekonomi rumah tangga.”

TULISAN 4“Mama-mama Perkasa Iguriji”

Oleh: Doni Bagus

Page 80: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

56

Berbicara mengenai keadilan berarti kita akan berbicara tentang po-sisi seseorang dibanding orang lain, posisi kelompok satu dibanding kelompok lain, kebijakan daerah satu dibanding daerah lain, dan sete-rusnya. Keadilan merupakan isu yang sensitif karena di di dalamnya

terdapat kepentingan-kepentingan.

Keadilan sering disamaartikan dengan kesetaraan, pembagian porsi yang sama antara satu dengan yang lain. Tetapi jika dikaji lebih dalam, keadilan adalah sesuatu yang subyektif, artinya kesetaraan, pembagian porsi yang seimbang belum tentu berarti sebagai suatu keadilan. Keadilan adalah kompromi (Glaucon dalam Bur Rasuanto : 2005). Pihak satu tidak akan merasa dirugikan walaupun porsi yang didapatkan lebih kecil dari pihak lain, karena sebelumnya telah tejadi kompromi.

Dalam isu gender, keadilan mengemuka dalam diskusi yang berkaitan dengan bagaimana peran antara laki-laki dengan peran perempuan dalam keluarga. Banyak fakta terhadap ketidakadilan gender dalam struktur sosial kemasyarakatan sehingga salah satu kelompok yakni perempuan berada dalam posisi terpinggirkan. Posisi marginal ini tidak bisa lepas dari budaya patriarchal yang banyak dianut oleh sebagian besar budaya-budaya besar di muka bumi ini.

Perempuan dalam Budaya Patriarkhal

Dalam suatu kebudayaan terdapat kompleksitas gagasan-gagasan, konsep-konsep dan pikiran manusia (Kroeber & C. Kluckhohn : 1959 dalam Daeng). Ga-gasan-gagasan, konsep-konsep, dan pikiran manusia akan membentuk suatu yang mengatur dan mengikat suatu kelompok masyarakat tertentu. Suatu sistem yang

Perempuan mempunyai peran yang besar dalam kehidupan masyarakat Papua. Selain urusan domestik, perempuan diharuskan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Hal ini disebabkan karena peraturan adat yang mensyaratkan laki-laki harus memenuhi mahar yang

mahal untuk meminang perempuan, sehingga harga mahal harus dibalas kaum perempuan dengan bekerja keras.

Page 81: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

57

Page 82: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

58

berlangsung dalam kurun waktu yang lama akan membentuk suatu kebiasaan yang mengilhami cara hidup suatu kelompok masyarakat tertentu.

Salah satu yang diatur dalam sistem kebudayaan masyarakat adalah pemba-gian peran antara laki-laki dan perempuan, atau biasa disebut gender. Dalam kosakata bahasa Inggris, gender dan seks mempunyai kesamaan arti, yakni jenis kelamin, tetapi kedua kosakata ini memiliki makna yang sangat berlainan.

Seks merujuk pada hal yang bersifat kodrati (given), berupa atribut biologis yang melekat. Misalnya perempuan memproduksi sel telur dan alat menyusui, laki-laki memiliki sperma dan jakala. Sedangkan istilah gender adalah atribut yang melekat pada laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Misalnya laki-laki bekerja mencari nafkah, dan perempuan mengurusi urusan rumah tangga (Umi Sumbulah, 2008).

Seks merupakan kodrat yang tidak bisa diubah, laki-laki bertugas membu-ahi, dan perempuan mengandung. Tetapi bagaimana dengan gender? Gender merupa-kan hasil konstruksi sosial kultural yang dapat diubah. Pada perempuan dan laki-laki terdapat dua unsur utama, yakni eros dan logos (rasa dan pikir), sehingga pertukaran peran dan sifat sangat mungkin dilakukan (Marwah Daud dalam Umi Sumbulah 2008).

Terdapat dua teori peran, yakni nature dan nurture. Dalam teori nature, peran laki-laki dan perempuan seolah-olah merupakan sesuatu yang bersifat kodrati (given). Fisik laki-laki yang kuat, rasional dan perempuan yang lemah merupakan kodrat yang digariskan oleh alam. Teori nurture merupakan pengkondisian, pengkaplingan peran dan sifat perempuan dan laki-laki. Dikatakan tabu jika laki-laki bersifat lembut, cengeng, bertugas mengasuh anak, karena hal itu merupakan porsi perempuan (Umi Sumbulah 2008).

Perubahan tatanan masyarakat atau konstruksi sangat mungkin dilakukan. Dekonstruksi muncul akibat ketidakpuasan tatanan atau konstruksi yang telah ada. Dekonstruksi ini kemudian menghasilkan proses rekonstruksi, baik dalam level in-dividual (laki-laki dan perempuan), maupun pada level sistem (sosial, ekonomi, bu-daya, politik) (Irwan Abdullah, 2006).

Page 83: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

59

“Secara historis, munculnya ideologi patriarkhi berasal dari Mesopotamia Kuno pada zaman Neolitikum, seiring dengan munculnya negara-negara kota. Bahkan menurut para feminis, munculnya hegemoni laki-laki atas perempuan, sesungguhnya terjadi jauh sebelum era Neolitikum yang menandai lahirnya negara-negera kota tersebut. Antara tahun 3500-3000 SM, di Mesopotamia bermunculan negara-negara kota. Kondisi ini mengakibatkan adanya peranan militer dan politik terhadap hege-moni. Hal ini memperkuat dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga menimbulkan adanya stratifikasi sosial pada masyarakat.”(Umi Sum-bulah, 2008).

Dalam masyarakat dengan budaya patriarkhal, laki-laki mempunyai posisi sebagai kepala keluarga yang berperan sebagai tulang punggung perekonomian kelu-arga. Sedangkan perempuan diposisikan dalam urusan domestic. Urusan rumah tang-gga, pengasuhan anak hampir seluruhnya merupakan tanggung jawab perempuan. Sistem ini menimbulkan ketimpangan antara peran laki-laki dan perempuan.

Perempuan digambarkan sebagai makhluk yang lemah lembut, tidak berwa-wasan jauh ke depan, emosional sehingga cocok ditempatkan pada urusan domestic. Gambaran perempuan yang ideal adalah perempuan yang menjadi ibu rumah tangga dan isteri yang baik (Irwan Abdullah : 2001). Sebaliknya laki-laki identik dengan te-gas, kuat, rasional sehingga didaulat sebagai pencari nafkah utama. Anggapan bahwa laki-laki kuat, dan perempuan merupakan makhluk yang lemah merupakan rekayasa masyarakat dengan kultur patriarkhi (Umi Sumbulah 2008).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Siti Kusujiarti pada sebuah desa di Yogyakarta pembagian peran sektor public dan domestic memang masih kentara (Siti Kusujiarti : 1997). Dari 51 informan, 72,6% menyatakan bahwa suami mereka ada-lah pencari nafkah utama, 19,6% berpendapat keduanya (suami-istri) merupakan pencari nafkah utama, dan hanya 7,7% menyatakan merekalah (perempuan) yang merupakan pencari nafkah utama.

Sistem budaya patriarkhi yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indo-nesia telah menjadi ideologi hegemonis yang menembus kehidupan sehari-hari se-

Page 84: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

60

hingga menjadi common sense. Ideologi ini diinternalisasikan melalui keluarga, lembaga pendidikan, negara, dan media massa (Siti Kusujiarti 2008).

Diciptakan alam pria dan wanita

Dua makhluk jaya asuhan dewata

Ditakdirkan bahwa pria berkuasa

Adapun wanita lemah lembut manja

Wanita dijajah pria sejak dulu

Dijadikan perhiasan sangkar madu

Namun adakala pria tak berdaya

Tekuk lutut di sudut kerling wanita

Lagu Sabda Alam ciptaan Ismail Marzuki tersebut menjadi penegas ideologi patriakhi dalam kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Merupakan takdir jika laki-laki pemimpin, berkuasa, sedangkan perempuan memang diciptakan sebagai makhluk lemah lembut. Laki-laki dianalogikan sebagai penjajah perempuan, peme-gang kekuasaan penuh.

Sistem masyarakat yang patriarkhal menimbulkan ketidakadilan yang dia-lami perempuan. Bentuk ketidakadilan meliputi : stereotipe, marjinalisasi, subordi-nasi, kekerasan, dan beban kerja ganda (Umi Sumbulah 2008). Ketidakadilan yang diterima perempuan bersifat multidimensional, bisa bersumber dari kebijakan pe-merintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi dan kebiasaan, atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan (Jalaludin Rahmat dalam Umi Sumbulah 2008).

Di balik kesuksesan program KB yag represif pada era Orde baru misalnya yang telah mencederai hak-hak perempuan dalam hal reproduksi. Atau sering dalam iklan media massa yang menggambarkan perempuan dengan kegiatan domestiknya.

Page 85: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

61

Gerakan-gerakan untuk menembus batas-batas pembagian peran antara laki-laki dan perempuan mulai bermunculan. Pada awal abad keduapuluh muncul tokoh-tokoh perempuan yang memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan pe-rempuan. Di Jepara muncul tokoh R.A. Kartini yang melawan budaya pingit pada perempuan ketika menginjak masa dewasa hingga menunggu dilamar oleh seorang laki-laki pilihan orang tua. Saat ini, bermunculan Kartini-Kartini baru yang memper-juangkan hak kaum-kaumnya, menembus kontrol sosial budaya patriarkhi.

Konteks Papua : Eksploitasi dan Peran Ganda Perempuan

Dalam masyarakat Papua, khususnya Suku Sougb yang ada di Kampung Iguriji, Missin, dan Teluhwer yang berada di Kabupaten Teluk Bintuni terdapat sis-tem pembagian peran yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Perempuan merupakan penopang perekonomian sebuah keluarga. Perempuan bertugas untuk

Mamah iguriji pulang menuju rumahnya setelah seharian bekerja di ladang.

Page 86: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

62

mengerjakan ladang sekaligus mengurus urusan rumah tangga, sebaliknya laki-laki mempunyai porsi peran yang relative sangat kecil. Laki-laki hanya berdiam diri di rumah dan hanya sesekali membantu tugas perempuan di ladang maupun di rumah.

Perempuan harus bekerja dalam kondisi apapun selama masih mampu. Pe-rempuan yang sedang hamil tua, atau sedang mengasuh anaknya yang masih kecil tetap harus bekerja ke ladang. Menurut informasi dari beberapa anggota masyarakat, pada saat ibu akan melahirkan, maka akan dibuat sebuah rumah kecil di belakang

Page 87: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

63

rumah sebagai tempat untuk melahirkan. Perempuan akan me-lahirkan sendiri anaknya, tanpa bantuan bidan ataupun dokter, hanya mendapat pengawasan dari perempuan lain. Sekitar satu atau dua bulan setelah melahirkan, ibu harus kembali beker-ja di ladang, terkadang sambil membawa serta anak-anaknya yang masih kecil.

Pembagian peran yang timpang ini dimulai ketika seo-rang laki-laki melamar perempuan untuk dijadikan istri. Ada beberapa mahar yang harus dipenuhi seorang laki-laki untuk mendapatkan seorang istri. Besaran mahar ditentukan pihak orang tua perempuan. Mahar yang harus dipenuhi laki-laki an-tara lain kain timur, kain toba, kain cita, paseda (gelang dari kulit hewan laut, sejenis kerang-kerangan), uang, babi dan hal-hal lain sesuai permintaan pihak orang tua perempuan.

Besaran mahar yang harus dibayarkan mencapai angka ratusan juta rupiah. Tingkat pendidikan perempuan juga mem-pengaruhi besaran mahar yang harus dibayar. Semakin tinggi tingkat pendidikan perempuan maka akan semakin tinggi ma-har yang diminta orang tua perempuan. Bayaran yang diminta dapat berupa uang atau barang sesuai permintaan. Ibu dari perempuan yang akan dilamar dapat meminta bayaran biaya menyusui dan mengasuh pada pihak laki-laki. Para pengantar pengantin perempuan juga dapat meminta bayaran pada pihak laki-laki.

Rata-rata penduduk di Kampung Iguriji, Missin, dan Teluhwer menikah dalam usia yang masih belia dan belum memiliki pekerjaan. Usia nikah ditentukan oleh orang tua pe-rempuan, tergantung ada tidaknya seorang laki-laki yang mau membayar mahar yang diajukan. Perempuan harus mau me-nikahi dengan laki-laki yang mungkin tidak disukainya atau bahkan tidak dikenalnya jika orang tua sudah menentukan.

Beban ganda. Selain bekerja

diladang, perem-puan kampung

lokal juga melakukan ke-

wajibn mengurus anaknya dengan membawaa ke-

ladang.

Page 88: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

64

Sedangkan pertimbangan utama orang tua untuk melepaskan anak perempuannya ada-lah mahar yang dibayarkan oleh pihak laki-laki. Walaupun si anak belum menginjak usia pernikahan, tetapi jika ada seorang laki-laki yang mampu membayar besaran mahar yang ditentukan, pernikahan dapat dilangsungkan.

Posisi perempuan dapat dikatakan seperti sebuah barang yang diperjualbelikan. Implikasi dari adat seperti ini adalah pada pola hubungan suami-istri. Laki-laki menempatkan posisi perempuan di bawah dan bisa melakukan perlakuan apapun pada istri karena suami merasa ia sudah membelinya dari keluarga perempuan. Hal ini yang menyebabkan mengapa perempuan harus bekerja ekstra keras untuk laki-laki yang sudah membelinya dari keluarganya. Pengambi-lan keputusan di dalam keluarga sepenuhnya di tangan suami dan istri harus mengikuti sepenuh-nya perintah suami. Jika perempuan melakukan suatu kesalahan, laki-laki dapat memberikan huku-man dan tidak ada seorangpun termasuk orang tua dapat melarang. Hukuman yang diberikan biasanya berupa pukulan. Walaupun perempuan akan merasa sakit seca-ra fisik maupun psikis, tetapi perempuan tidak dapat melawan karena dirinya dalam kuasa penuh laki-laki.

Mempunyai banyak anak perempuan merupakan sua-tu keuntungan bagi sebuah keluarga. Semakin banyak mempu-nyai anak perempuan, maka harta mahar yang diperoleh akan semakin besar. Sebaliknya sebuah keluarga akan kesusahan jika mempunyai banyak anak lelaki karena keluarga ini akan

Aktivitas perem-puan diladang

Page 89: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

65

mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk melamar calon istri bagi anak-anaknya.

Kendati ma-har memerlukan bi-aya besar, ada satu hal implikasi positif dari adat ini khususnya dalam hal memper-erat tali persau-daraan antar warga sesuku. Pemenu-han mahar untuk menikah biasanya ditanggung oleh orang tua pihak laki-laki, dibantu oleh saudara dan te tangga. Saling

bantu membantu dalam pemenuhan mahar secara tidak langsung akan mempererat hubungan

antar keluarga. Saudara dan tetangga menjadi semakin dekat karena keluarga yang mendapat bantuan merasa berhutang budi dan suatu saat jika saudara atau tetangga membutuhkan bantuan mahar, ia akan berusaha membantu sesuai kemampuan.

Dalam hukum adat yang dimiliki Suku Sougb, rasa kasih yang diikat dalam hubungan pernikahan diukur dengan menggunakan materi. Jika seorang laki-laki menginginkan seorang perempuan, maka ia akan berusaha memenuhi mahar yang diajukan orang tua si perempuan. Usaha dari laki-laki ini merupakan wujud per-juangan untuk mendapatkan perempuan yang diinginkannya. Dengan biaya yang sangat mahal, laki-laki akan merasa cukup untuk memiliki satu istri. Perempuan akan

Page 90: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

66

mengabdi secara penuh pada sang suami karena sang suami telah membayar mahal untuk dirinya.

Dalam bidang pendidikan, laki-laki menjadi prioritas untuk mengenyam bangku pendidikan. Begitupun dalam urusan hak waris, laki-laki memperoleh bagian paling besar dengan pertimbangan perempuan nantinya yang akan dilamar, dipinang ke rumah suami. Dalam kehidupan politik, aturan adat membatasi perempuan untuk menduduki posisi penting dalam kehidupan masyarakat. Untuk jabatan kepala kam-pung dan kepala suku sampai saat ini selalu dijabat oleh laki-laki yang telah dipilih atas kesepakatan masyarakat.

Adat yang mengikat tentang sistem pembagian peran antara laki-laki dan pe-rempuan telah ada ketika Suku Sougb masih berada di pegunungan. Dari pengakuan sejumlah ibu-ibu di suku mereka mengaku bahwa tidak semua perempuan merasa nyaman dengan sistem ini. Namun ada juga yang menerima dan menganggap sistem ini merupakan aturan adat yang sakral sehingga perempuan harus mematuhi.

Porsi pembagian peran antara laki-laki dan perempuan pada Suku Sougb merupakan hasil kesepakatan dari nenek moyangnya terdahulu yang dilestarikan hingga saat ini. Jika dilihat, terjadi ketimpangan pembagian peran yang menjurus pada eksploitasi kaum perempuan. Kaum perempuan mempunyai beban kerja yang lebih berat, tidak hanya dalam ranah domestik, perempuan juga bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga.

Dapat dikatakan perempuan merupakan komoditas yang diperjualbelikan dengan mahar perkawinan. Mahalnya mahar yang harus dibayarkan pihak laki-laki berdampak pada beratnya peran yang harus ditanggung perempuan dalam keluarga. Perempuan dituntut untuk menjalankan peran gandanya. Di satu sisi ia harus men-jalankan kodratnya sebagai isteri dan ibu. Sebagai isteri, perempuan harus dapat me-layani suami dengan baik, dan sebagai ibu, perempuan harus dapat mengurusi rumah tangga dan anak-anak. Peran lain yang tidak kalah beratnya adalah sebagai penopang ekonomi rumah tangga karena harus bekerja di ladang dan menjual hasilnya ke pa-sar. Peran ganda ini menyebabkan pekerjaan perempuan harus dimulai semenjak matahari terbit hingga malam menjelang tidur.

Page 91: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

67

Mamah iguriji pulang menuju rumahnya setelah seharian bekerja di ladang.

Page 92: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 93: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

”Penanaman nilai-nilai sosial sejak dini ke-pada anak-anak seperti etos kerja yang

tinggi, bekerja sama, dan gotong royong langsung dicontohkan oleh para orang tua di kampung. Begitu juga mama-mama yang se-

dang hamil, mereka masih jarang memprio-ritaskan untuk memeriksakan kandungannya

ke dokter, dengan alasan masih harus bekerja di ladang dan jarak tempuh untuk berobat di

puskesmas yang cukup jauh.”

TULISAN 5“Perempuan dan Pola Asuh Anak

di Kampung Lokal”

Oleh: Norombini Rumawas dan Mutia Yuli Pratiwi

Page 94: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

70

Masyarakat dan Berladang

Keseharian masyarakat di kampung- kampung yang terletak di sudut Kabu-paten Bintuni, dipenuhi dengan kerja keras tanpa mengenal lelah. Bekerja menurut peran masing-masing, Mama-mama Papua telah terjaga sebelum matahari pagi ter-bit. Membuat masakan untuk keluarganya dan untuk mereka bawa pagi itu, kemudi-an bersama perempuan-perempuan muda, mereka berangkat menuju ladang dengan membawa noken kosong dan perkakas sederhana yang mereka miliki. Tak jarang pula Mama- mama Papua membawa serta anak laki-laki dan perempuan mereka ke ladang yang mereka olah.

Perempuan dalam Epos tradisional Papua digambarkan sebagai sosok yang kuat dan tangguh, juga memiliki peran yang besar dalam masyarakat. Secara kultural, peran perempuan mungkin secara kategoris hanya diletakkan di wilayah domestik, terkait urusan rumah tangga, dan hanya bertugas membantu laki-laki (suami) untuk urusan produktif dan publik, serta bukan dalam posisi pemimpin. Namun memiliki peran nyata para perempuan yang sangat besar dalam kehidupan rumah tangga dan

Mamah iguriji pulang menuju rumahnya setelah seharian bekerja di ladang.

Page 95: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

71

dalam ”mem bantu sua mi”. Meskipun hanya de-ngan semangat ”membantu suami” demi pemenuhan hidup rumah tangga, namun tidak jarang justru peran terbe-sar dalam kegiatan produktif itu justru dijalankan perempuan daripada laki-laki.1

Dalam kehidupan mereka penaman nilai- nilai sosial seperti gotong royong, kerja sama, bekerja keras antar warga masyarakat Kampung Iguriji dan sekitarnya telah diinstitusion-alisasikan sejak masa kanak- kanak, misalnya pada kegiatan yang memerlukan banyak sumber daya manusia seperti keg-iatan berladang. Kegiatan berladang sangat jarang dikerjakan sendirian, karena untuk memperoleh areal tanam diawali den-gan pembukaan hutan secara komunal untuk dijadikan lahan pertanian. Kegiatan tersebut tidak memerlukan waktu yang cukup lama, yaitu selama kurang lebih lima hari. Kemudian di-lanjutkan dengan penenaman tanaman yang menjadi makanan

1 Tim Peneliti, Action-Research on Cultural Revitalization of Sebyar and Sumuri in Teluk Bintuni, Kerjasama BP Berau Ltd. & FISIP Universitas Airlangga, 2010, hlm. 102-103.

Suasana PAUD di kampung Iguriji

Page 96: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

72

pokok masyarakat seperti ubi jalar (petatas), singkong (kasbi), talas (keladi), kacang tanah (kancu), jagung (tramp), dan tana-man lain seperti pepaya, daun gedi, cabai (rica), dan melinjo (genemon). Kebanyakan masyarakat telah mempersiapkan bibit yang dipilih dari tanaman mereka sebelumnya untuk di tanam kembali di lahan yang baru.

Taman Bermain

Seperti pagi itu, ladang yang hanya berjarak sepuluh menit dengan berjalan kaki dari Pusat Kajian dan Pengemban-gan Agribisnis (PKPA) tempat kami, mahasiswa KKN-PPM UGM tinggal sudah ramai sejak pukul tujuh pagi. Warga kam-pung di sekitar PKPA biasa memulai aktivitas rutin mereka di ladang dari jam tujuh pagi. Begitu juga pagi itu, di salah satu ladang yang jaraknya dekat dengan PKPA sudah ramai oleh warga. Pagi ini mereka akan melakukan tanam bersama di

Makanan instan yang dikonsumsi

secara instan (tan-pa pengolahan)

sudah menjadi ke-biasaan anak-anak Iguriji. Kurangnya kepedulian pada

kesehatan dari orang tua lah yang

menjadikannya sebuah kebiasaan.

Page 97: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

73

ladang milik salah satu warga, yaitu Mama Paulina. Kebanyakan yang ikut menanam pagi itu adalah ibu-ibu, hanya sedikit bapak-bapak yang terlihat berada di sana. Ke-luarga-keluarga terikat oleh suatu perasaan saling membutuhkan dan kewajiban sal-ing tolong-menolong, terutama dalam penyediaan dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yakni pangan.2 Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan.3

Saat kami bersama-sama dengan warga menanam di ladang pagi itu, ada beberapa hal menarik yang kami jumpai. Bukan hanya dari prosentase jumlah wanita yang lebih banyak dari pada laki-laki, namun ada juga hal menarik lain yaitu beberapa ibu yang pagi itu berladang ternyata juga turut serta membawa anak-anak mereka. Kebanyakan memang anak-anak usia sekolah dasar, tetapi ada juga beberapa mama- mama yang membawa anak-anak mereka yang masih balita.

Berbekal beberapa perbekalan kecil berupa mie instant kemasan, biskuit dan snack lainnya, anak-anak itu terlihat sangat menikmati keberadaan mereka di ladang pagi itu. Beberapa anak yang berusia dibawah lima tahun memang hanya duduk-duduk mengamati kegiatan yang dilakukan orang tua mereka atau pun bemain-main bersama teman-teman mereka diantara kayu-kayu besar yang mulai melapuk dari pepohonan tumbang yang dahulu ditebang untuk membuka ladang. Udara terasa dingin dan segar, disekeliling pepohonan hijau khas hutan hujan tropis, ladang tam-pak ramai dengan aktivitas pertanian sederhana, orang-orang saling bersahutan riang membicarakan suasana pagi itu dalam bahasa mereka, bahasa Suku Sougb. Semen-tara selain hanya bermain-main, tak jarang anak-anak yang berusia sedikit lebih besar telah ikut membantu mengerjakan pekerjaan orang dewasa menanam bibit jagung dan kacang tanah di ladang pagi itu.

Mereka biasanya menghabiskan banyak waktu mereka di ladang, dari pukul tujuh hingga sore hari dengan jeda (istirahat) pada tengah hari sekitar pukul dua belas, dari hari senin sampai jum’at. Hari sabtu dan minggu mereka gunakan untuk kegiatan keagamaan dan istirahat. Hari senin mereka menjual barang hasil produksi pertanian mereka ke pasar Sentral Kabupaten Teluk Bintuni yang berjarak lebih dari 12 km dari kampung Iguriji, Missin dan Teluhwer.

2 Ibid., hlm.87.3 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990, hlm. 27.

Page 98: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

74

Pembelajaran Sosial

Penanaman nilai-nilai sosial se-jak dini seperti etos kerja yang tinggi, bekerja sama, dan gotong royong den-gan aplikasi langsung yang dicontohkan oleh orang tua mereka secara langsung seperti ini juga kami jumpai di kesem-patan-kesempatan lain. Seperti pada saat diadakannya kegiatan pembuatan jem-batan kampung, karena jembatan lama kampung mereka yang terbuat dari kayu besi telah mengalami kerusakan.

Serta pada saat bapak-bapak mencari kayu di hutan—sebagai kerang-

ka bangunan tenda dari kain terpal untuk berteduh ketika membuat bata—dan ketika pembuatan bata dari campuran pasir dan semen sebagai bahan bangunan untuk merenovasi gereja. Tidak sedikit anak-anak yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan itu. Meskipun berpartisipasi di sini bukan selayaknya partisipasi seperti yang orang tua mereka laku-kan, partisipasi di sini mereka ikut berada di tempat itu dan membantu sedikit-sedikit pekerjaan yang bisa jadi itu adalah sebuah permainan yang menyenangkan bagi mereka. Seperti saat membentuk batu bata atau pun membantu mama-mama mereka mengantarkan makanan dan minuman untuk bapak-bapak yang sedang bekerja.

Pada saat itu beberapa anak-anak berusia balita dan sekolah dasar yang kebetulan membawa tempat makanan, juga mengambil dan memakan makanan kiriman tersebut. ”Jangan. Makanan untuk bapak-bapak. Jangan ko makan.” (Katrin, anak warga Kampung Iguriji)

Terkadang per-lakuan yang tegas dari orang tua jus-tru menggambar-

kan kasih saying yang mendalam

dari mama-mama di Kampung lokal

Iguriji

Page 99: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

75

Hasil penanaman nilai-nilai itu bisa langsung kami ra-sakan saat kami mengadakan acara perpisahan dengan warga. Anak-anak itu sangat antusias dalam membantu kami mem-persiapkan acara perpisahan itu. Mulai dari ikut membantu mengambil umbi-umbian berupa talas, ubi jalar dan singkong di ladang sebagai bahan makanan yang kami olah sebagai snack, sampai mempersiakan tempat acara di balai kampung. Fero, seorang anak perempuan yang kebetulan merupakan cucu Ke-pala Kampung Iguriji, bapak Frans Iba, perempuan kecil yang duduk di kelas satu sekolah dasar itu, dengan serius bersedia membantu kami menyapu rumah kosong berdebu tebal yang kami pinjam sebagai ruang untuk mengolah makanan. Pada saat itu, kami yang berjumlah lima orang sedang mempersiap-kan kompor minyak dan mengupas umbi-umbian. Beberapa anak lain yang juga berada di dalam rumah tersebut, bersama Fero, dengan cekatan membantu kami pula mengupas umbi-umbian. Beberapa saat setelahnya, seorang anak perempuan

Ace, dan anak-anak harapan ma-syarakat kampung lokal Papua

Page 100: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

76

bernama Ace, terlihat menyesal sekali tidak bisa ikut membantu kami memasak –dari awal– karena dia baru pulang dari sekolah. Ace membantu kami memasak dan mengedarkan makanan hingga malam hari, hingga acara yang kami adakan usai. Disini terlihat, etos kerja yang tinggi telah tertanam dalam diri anak-anak.

Selain penanaman nilai-nilai itu, kegiatan yang mengikutsertakan anak-anak di dalamnya itu dilatarbelakangi oleh beberapa hal, diantaranya dalam rangka efisiensi SDM untuk merawat anak, karena di sini mengasuh seorang anak masih menjadi tanggung jawab utama seorang ibu (istri), di samping tanggung jawabnya yang lain untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga dengan cara berladang. Budaya pa-triaki masih mendominasi di sini sehingga seorang ayah masih memiliki keengganan untuk ikut bertanggungjawab dalam hal pengasuhan anak, meskipun hal ini tidak niscaya. Tidak heran meskipun baru satu bulan melahirkan anaknya, seorang ibu sudah harus kembali lagi bekerja mengolah ladangnya.

Selain itu anak-anak sendiri yang mempunyai kecenderungan untuk “men-empel pada orang tua mereka”, sehingga ke mana pun orang tua mereka pergi beber-apa anak itu masih mengikutinya. Termasuk saat ada pilihan untuk bersekolah atau ikut orang tua mereka pergi ke kota. Anak-anak itu akan cenderung memilih untuk mengikuti orang tua mereka pergi ke kota meski pun guru-guru mereka menjemput ke rumah mereka untuk bersekolah.

Faktor yang lain adalah terbatasnya fasilitas bermain yang dimiliki oleh satu keluarga atau pun yang disediakan oleh masyarakat. Sehingga anak-anak ini cender-ung memanfaatkan apa saja yang ada di sekitar mereka untuk bermain.

Beberapa hal menarik lain yang kami lihat tentang anak-anak di tempat kami KKN menjadikan kami ingin mengetahui secara lebih dalam bagaimana pola pengasuhan anak yang dilakukan orang tua di sini. Mulai dari perawatan dan perlakuan saat mereka masih di kandungan baik itu sang anak atau pun perlakuan terhadap sang ibu, saat balita, menginjak usia sekolah dasar, kemudian memasuki usia remaja, dewasa, dan saatnya mereka menikah. Pengaruh lingkungan, peran keluarga dalam membentuk karakter anak, pemenuhan kebutuhan dari alat bermain, kesehatan, hingga pendidikan.

Page 101: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

77

Bayi dan Ibu hamil

Hari-hari pertama kami di sana, kami menemukan hal menarik yang ada di dekat rumah mereka, yaitu semacam bangunan mirip rumah tetapi dalam bentuk yang lebih kecil, bangunan tersebut memiliki atap, pintu, dan jendela. Dari penjela-san warga kami mendapat keterangan bahwa itu adalah kuburan keluarga mereka yang sudah meninggal agar arwah mereka tidak bergentayangan dan mengganggu orang-orang yang masih hidup. Maka dibuatkanlah kuburan dengan bentuk seperti itu. Lebih lanjut kami mendapat informasi dari beberapa rumah yang memiliki ban-gunan seperti itu, ternyata banyak yang meninggal itu adalah anak-anak mereka yang masih kecil. Cukup tingginya angka kematian bayi di sini bisa jadi terkait dengan

Penuh kasih dalam kehangatan

Page 102: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

78

beberapa hal salah satunya adalah bagaiman perawatan dan perlakuan terhadap ibu hamil dan kandungannya.

Beberapa ibu yang pernah kami temui menceritakan kisah ketika mereka hamil. Mereka masih melakukan aktivitas seperti biasa seperti mengurus rumah tangga dan bekerja di ladang. Aktivitas tersebut masih berlangsung sampai beberapa hari menjelang kelahiran bayi mereka, barulah mereka menghentikan aktivitas tersebut (karena harus melahirkan). Ibu-ibu hamil di sini pun masih jarang yang memprioritaskan untuk memeriksakan kandungannya ke dokter, dengan alasan masih harus bekerja dan jarak tempuh untuk berobat di puskesmas yang cukup jauh. Kebetulan terdapat program dari dinas kesehatan setempat untuk mengadakan kegiatan posyandu setiap akhir bulan, sehingga ibu-ibu itu tetap bisa memeriksakan kandungannya. Proses melahirkan dahulu secara adat biasanya dilakukan di luar rumah yaitu di tempat semacam gubuk yang dibuatkan di hutan, dan tidak sedikit yang hanya mengandalkan bantuan dari sanak saudara tanpa bantuan dari tenaga medis. Namun belakangan, terdapat keringanan adat, sehingga perempuan dapat melahirkan di dalam rumah mereka. Satu bulan setelah melahirkan, mereka akan kembali lagi ke ladang untuk bekerja seperti biasa, sambil membawa anaknya yang baru berusia satu bulan itu.

Sebelum boleh untuk dibawa ke mana-mana bayi yang berusia satu bulan tersebut akan di bawa ke gereja untuk di doakan, barulah setelah itu, si bayi sudah bisa dibawa kemana pun. Hampir semua ibu di sini memberikan ASI eksklusif ke-pada anak-anak mereka, hal ini banyak kami temui saat kami melakukan beberapa program di kampung. Banyak ibu-ibu yang sedang menyusui anaknya sambil tetap melakukan aktivitas. Ibu-ibu itu akan memberikan ASI sampai sang anak berusia dua tahun. Masalah pemenuhan gizi baik saat hamil maupun setelah bayi dilahirkan juga masih terlihat seadanya. Belum ada prioritas untuk itu. Keterangan dari ahli ke-sehatan setempat menginformasikan masih rendahnya kesadaran masyarakan untuk memprioritaskan pemenuhan gizi terhadap anak. Makanan tambahan seperti bubur dan pisang juga diberikan sebagai pendamping ASI, namun tidak sedikit mama-ma-ma yang sudah memberikan makanan itu kepada bayi yang secara usia seharusnya belum boleh diberi makanan tambahan selain ASI.

Page 103: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

79

Hal yang sangat menarik adalah saat anak-anak memasuki usia satu tahun. Pada hari ulang tahun si anak akan dilakukan pesta ulang tahun. Pesta ini tidak hanya dilangsungkan saat sang anak berusia satu tahun. Tetapi para orang tua akan men-gadakan pesta seperti ini setiap tahunnya dan ini berlangsung sampai sang anak me-nikah atau sudah mempunyai keluarga sendiri. Berapa pun dana yang dimiliki oleh orang tua, mereka akan tetap melakukan acara itu. Hal itu merupakan salah satu bentuk pengungkapan rasa cinta dan kasih sayang mereka kepada anak-anak mereka. Hal unik di sini adalah saat ulang tahun pertama itu merupakan waktu untuk mene-tapkan nama bagi si anak, jadi anak yang tadinya sudah memiliki nama panggilan barulah akan ditetapkan nama yang akan dia dipakai seterusnya. Seperti contoh, seorang anak yang bernama Agustina. Saat ulang tahun pertamanya ada penetapan untuk namanya, apakah tetap Agustina ataukah menjadi seperti pilihan nama yang lain yaitu Agustince. Dua usulan nama itu deberikan oleh kedua kakek dan neneknya yang selanjutnya akan diserahkan kepada forum untuk memilih. Akhirnya ditetap-kanlah nama anak itu Agustince. Menurut mereka kedua nama itu sebenarnya sama, dan mereka lebih memilih Agustince untuk nama anak itu.

Selain pemberian nama itu, pesta ini juga tempat untuk bertemu para sauda-ra dan waga kampung. Karena tidak hanya anak-anak yang diundang ke pesta ini, tetapi orang tua juga diundang. Tidak seperti pesta ulang tahun biasanya para tamu membawa kado dalam bentuk barang untuk yang ulang tahun, di sini berbeda para tamu memberikan hadiah berupa uang tunai yang diberikan kepada orang tua si anak. Semakin besar pesta ulang tahun yang diadakan, akan semakin membuktikan besarnya kasih sayang orang tua kepada sang anak.

Mama-mama mem-bawa anak-anaknya menuju pesta ulang tahun.

Page 104: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 105: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

”Setiap masyarakat berhak atas kebudayaannya karena pada dasarnya ia telah memiliki

unifikasinya sendiri”

TULISAN 6“Kebahagiaan dalam Balutan Keadatan”

Oleh: Nella A.P. dan Ruseha Achmad

Page 106: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

82

“Kalau anak suka bermain gitar, maka belikanlah gitar. Apabila anak suka main bola, maka belikanlah bola. Itu semua bentuk dukungan pendidikan orang tua pada anak,” secuil ungkapan dalam nada khotbah malam di dalam ruang 4x6.

Rumah berdinding kayu itu riuh oleh tetawa canda anak-anak. Bergu-lingan di lantai dengan sesekali menyedot dan menjilat ingus masing-masing. Sepuluhan orang tua di sekitar mereka seolah tak mau peduli dengan keriuhan anak-anak di tengah khotbah, pun dengan naik tu-

runnya ingus-ingus anak berambut keriting itu. Kegembiraan terus nampak mengalir hingga di ujung acara ketika pendeta mencoba mengondisikan suasana. Ia segera memimpin hadirin untuk melaksanakan tradisi yang telah sejak lama berlangsung, pemberian nama untuk anak yang terbalut dalam sebuah acara bernama perayaan ulang tahun.

Tak seriuh perayaan satu tahun lahirnya Agustince, perayaan kebahagiaan yang lain, pernikahan, tetap memiliki ‘kedirian’nya. Kebahagiaan dalam kesakralan yang hening. Mengikat dua orang melalui prosesi adat yang cukup rumit. Atau, bisa jadi, hanya mengikat si wanita dalam ikatan hierarkis. Pelayan sang pria. Dengan ma-har seharga 200 juta, membawa dua manusia asli kampung ini berada dalam ikatan pernikahan. Dengan mahar seharga 200 juta pula membawa mereka pada sistem tatanan adat yang berikutnya. Pada suatu titik, perayaan pernikahan ini menemui dikotomi pemaknaannya sendiri. Hukum adat yang sangat menghargai sakralnya ika-tan pernikahan. Atau, hukum adat yang menghargai manusia dalam nilai yang lain. Nilai yang kasat mata. Materi.

Keceriaan anak-anak selalu mengiringi dalam setiap pera-yaan kebahagiaan.

Page 107: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

83

Dualisme Perayaan Kebahagiaan

Perayaan. Upacara. Seremonial. Bentuk apresiasi dari sebuah kejadian yang dianggap penting dan berharga. Atau dianggap terjadi sekali setahun, bahkan seu-mur hidup. Memiliki nilai karena setiap detik prosesinya mengandung kenangan nan momental bagi setiap orang yang mengalaminya. Tak terkecuali, prosesi dalam atau menuju kebahagiaan. Seolah tak ingin kehilangan momentum itu, dibentuklah se-remonial, perayaan sebagai peringatan. Mengingatkan akan hal penting, sakral, dan berpengaruh dalam hidup seseorang.

Perayaan kebahagiaan merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan. Selalu beriringan dengan perjalanan hidup seseorang. Perayaan kebahagiaan ini juga merupakan simbol dari kebudayaaan yang dimiliki oleh masy-arakat. Barang tentu, setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan yang ber-beda. Termasuk di sini kebudayaan yang dimiliki oleh Suku Sougb yang menempati Kampung Iguriji, Missin dan Teluhwer. Salah satu dari tujuh suku besar yang ada bintuni. Masyarakat asli Papua yang masih kental dengan nuansa kesukuan. Layaknya suku yang memiliki identitasnya masing-masing, Sougb pun demikian. Melalui ber-bagai perayaan, menjadikan suatu prosesi upacara sebagai identitas kebudayaan. Tak terkecuali perayaan kebahagiaan, turut dikemas sebagai acara adat. Merayakan, mem-peringati suatu peristiwa dalam siklus hidup manusia, supaya selalu diingat, melalui sebuah upacara adat. Mencipta kenangan melalui kebiasaan yang dilembagakan. yang pada akhirnya mengultur. Saling melegkapi dengan kebiasaan yang muncul karena memang telah terdapat adat sejak zaman nenek moyangnya.

Ulang tahun dan pernikahan. Keduanya merupakan suatu momen bahagia yang selalu dirayakan oleh masyarakat Suku Sougb walaupun keduanya berbeda da-lam nilai. Ulang tahun yang merupakan perayaan kebahagian untuk memperingati hari kelahiran seseorang, telah menjadi sebuah kebiasaan. Dalam pelaksanaannya sel-alu ramai dan terkesan memang perayaan ulang tahun ini sangat penting bagi masy-arakat Suku Sougb. Sedangkan pernikahan yang memang menjadi momentum sakral mempunyai keriuhannya sendiri. Dilihat dari penyelenggaraannya, sangat kontras sekali antara keduanya. Ulang tahun yang merupakan acara perayaan kebahagiaan bisa dibilang hanya sebagai kebiasaan baru yang tidak berakar budaya sehingga tidak

Page 108: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

84

begitu sakral, namun acaranya terkesan ra-mai dan secara kasat mata lebih me-wah dibandingkan pernikahan yang merupakan acara yang lebih sakral.

Pemberian sebuah nama da-lam perayaan ulang tahun, adalah pe-nentu insan tersebut hendak disapa. Pun tak luput bahwa nama, medium untuk menyebut atau membuat orang merasa dipanggil adalah sebuah doa akan dirinya. Begitu juga dengan pa-sangan hidup. Ditentukan dalam sebuah prosesi sakral nan singkat. Meskipun tak jarang bahwa yang diikat kala itu bukanlah pasangan seumur hidupnya.

Nilai Keriuhan dalam Peraya-an Ulang Tahun

Masyarakat yang mengalami relokasi dari pegunungan menuju pesisir praktis akan mengalami berbagai perubahan dalam adat-is- tiadat mereka, termasuk tercipta-nya kebiasaan baru yang kemudian membudaya. Tak terkecuali kebiasaan merayakan hari kelahiran. Kebiasaan merayakan hari ulang tahun dimulai sejak mereka datang ke kampung dan mulai membaur dengan modernitas. Kehidupan bergereja ikut melembagakan kebiasaan ini saat mereka mulai disadarkan oleh pendeta mengenai pentingnya perayaan ulang tahun.

Pada mulanya ketika masyarakat Sougb masih tinggal di pegunungan, mereka belum mengenal perayaan ulang tahun. Perayaan ulang tahun ini baru masuk dalam kehidupan mereka setelah agama Kristen masuk dalam kehidupan mereka. Para pen-deta yang mengawali adanya perayaan ulang tahun ini. Karena pada waktu itu pende-

Page 109: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

85

ta adalah orang yang dapat mengingat tanggal kelahiran anaknya. Sementara masyarakat lain belum mengenal apa itu hari kelahiran. Karena tak menge-nal apa itu hari kelahiran, pada akhir-nya mereka tidak menganggap pen-ting untuk mengingatnya. Hingga muncul penyadaran baru mengenai pentinganya mengingat tanggal dan bulan kelahiran. Untuk lebih bisa mengingatnya, maka dibuat-lah sebuah perayaan tahunan un-tuk mengingatkan bahwa si empu pada tanggal dan bulan ini lahir di beberapa tahun silam.

Setelah turun dan di-relokasi di kampung, secara geografis mereka lebih dekat dengan perkotaan dan ma-

syarakat urban. Secara tak langsung, kebiasaan masyarakat urban terserap dan tercecap begitu saja oleh masayrakat rural yang tengah bertransisi menjadi masyarakat sub urban ini. Sa-lah satu kebiasaan masyarakat urban yang diikuti adalah me-rayakan hari ulang tahun untuk memperingati bahwa mereka dilahirkan pada tanggal dan bulan tertentu. Hal itu mendapat dukungan dari pendeta setempat yang mengajarkan penting-nya mengingat hari kelahiran yang diimplementasikan melalui perayaan hari jadi.

Tercecapnya rasa modernitas dalam lidah masyarakat Suku Sougb yang di relokasi membawa mereka pada membia-sakan diri untuk melakukan perayaan ulang tahun. Tak hanya itu, pernak pernik dan aksesoris perayaan ini mulai dibentuk.

Pemotongan kue dalam perayaan

ulang tahun agustince, salah

seorang anak warga kampung

Iguriji.

Page 110: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

86

Lokasi geografis masyarakat ini yang dekat dengan perkotaan dan secara sosiografis mendekati masyarakat urban, membuat mereka mengadopsi pula kebiasaan peng-gunaan aksesoris tertentu dalam perayaan ulang tahun. Mulai dari kue tart dengan berbagai hiasan, yang artinya mereka telah mengenal estetika dan bukan nilai semata dalam melakukan suatu perayaan, hingga pernik khas perayaan ulang tahun anak-anak, balon. Tak terkecuali adopsi iringan musik serta lagu selamat ulang tahun yang sudah tidak asing lagi terdengar menjadi pertanda bahwa dalam hal perayaan ulang tahun ini juga ada pergeseran budaya setelah modernisasi masuk dalam kehidupan mereka.

Akan tetapi, perayaan ini tak semata adopsi dari modernitas. Ada nilai-nilai religiusitas juga yang dibawanya. Khotbah dan berdoa bersama. Mengingat waktu kelahiran untuk kemudian dirayakan tak semata huru hara bahagia saja. Terdapat satu maksud dan makna lain dari perayaan ini. Mendekat pada Tuhan dalam doa dan khotbah. Mengenal Tuhan melalui cara lain.

“Pendeta mengajarkan bahwa penting untuk mengingat tanggal kelahiran,” ungkap mama Yustus, salah satu warga Iguriji. Mereka melaksanakan perayaan ulang tahun tidak semata karena ingin memeringati suatu hari. Akan tetapi karena terdapat peng-ajaran dari ‘agama’ mengenai arti pentingnya mengenang tanggal lahir. Meskipun secara lebih lanjut tidak ada penjelasan dari sang pendeta terkait alasan pentingnya dari sebuah acara perayaan ulang tahun.

Masyarakat Suku Sougb di ketiga kampung ini sebelumnya tidak menge-nal tradisi ulang tahun sewaktu mereka masih tinggal di gunung, kemudian menjadi mengenal setelah mereka direlokasi ke daerah pesisir dekat kota. Ada pengaruh bu-daya yang masuk dalam kehidupan mereka. Budaya merayakan ulang tahun yang sebenarnya merupakan budaya yang dibawa dari luar kebudayaan mereka, kemudian menjadi membudaya dan menjadi kebiasaan dan bahkan wajib diselenggarakan oleh masyarakat yang baru direlokasi ini.

Biasanya perayaan ulang tahun ini hanya sekedar untuk merayakan hari kelahiran seseorang. Bagi sekelompok orang, pesta, iringan nyanyian dan mungkin minuman, barangkali memang merupakan hal yang lumrah. Menjadikannya seba-

Page 111: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

87

gai pemandangan yang selayaknya menjadi bagian dari perayaan ulang tahun. Akan tetapi ada hal yang mungkin tidak ditemui pada acara perayaan ulang tahun biasanya, dan hanya ada di tanah Papua ini, didalam budaya masyarakat Suku Sougb yang menempati Kampung Iguriji, Missin dan Teluhwer. Seperti yang ada pada keluarga bapak Toni Iba, ketika keluarga tersebut merayakan ulang tahun anaknya. Hal yang berbeda adalah pada perayaan itu ada prosesi pemberian nama untuk anak yang se-dang berulang tahun tadi. Pemberian nama ini dilakukan ketika anak sudah berumur satu tahun dan dilakukan berdasarkan kesepakatan keluarga dan orang-orang yang hadir dalam perayaan ulang tahun itu.

Untuk perayaan pesta ulang tahun, tempat menjadi salah satu media bagi terciptanya suasana pesta yang meriah dan penuh suka cita. Sudah barang pasti kalau pesta akan dibilang sukses apabila acaanya terselenggara dengan meriah dan penuh dengan canda tawa keriuhan, apalagi kalau pesta ulang tahun buat anak-anak. Akan tetapi lebih dalam dari itu apabila berbicara tentang makna dibalik perayaan dan pesta. Bisa dibilang sebagai wujud rasa syukur kepada sang pencipta atas umur yang diberikan, bisa juga anggapan sebagai rasa sayang orang tua terhadap anaknya.

Dalam tradisi masyarakat Suku Sougb di tiga kampung ini yaitu, orang yang akan melakukan perayaan ulang tahun akan menentukan tempat perayaan dengan mempertimbangkan faktor ekonomi, artinya ini menunjukan kesiapan atau seberapa banyak uang yang dimiliki untuk menyelenggarakan pesta ulang tahun. Pilihannya adalah di rumah atau di gereja. Apabila kesiapan keuangan mencukupi maka pesta ulang tahun akan dilakukan di rumah dengan berbagai macam pesta dan keriuhan suasana yang tercipta, tapi tidak lupa dengan hal terpenting yaitu tetap ada pemba-caan doa dan khotbah dari pendeta. Atau ulang tahun akan diselenggarakan secara sederhana saja di sebuah gereja dengan khotbah dan doa bersama yang dipimpin oleh pendeta tanpa ada pesta yang meriah yang mengiringinya.

Dalam setiap perayaan pesta, ada pihak yang menyelenggarakanya dan ada pihak yang datang dalam acara tesebut. Seperti yang terlihat pada pesta perayaan ulang tahun pertam Agustince. Tamu yang hadir dalam acara bukan semuanya meru-pakan tamu undangan. Berbeda dengan yang ada di Jawa yang pada acara pesta, termasuk ulang tahun, orang-orang yang datang adalah orang-orang yang diundang

Page 112: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

88

oleh pihak yang menyelenggarakan acara, tidak terbatas pada hubungan kekerabatan. Undangan dalam perayaan ulang ta-hun seorang anak Papua ini, bisa dari kerabat, saudara dan me-reka yang masih mempunyai ikatan keluarga.

Nilai kasih yang kental antar warga kampung, mem-buat mereka saling membantu. Termasuk dalam proses pelaks-anaan perayaan ulang tahun. Meskipun tetangga tidak secara khusu diundang sebagai tamu, mereka terundang sebagai pi-hak yang membantu terlaksananya perayaan ini. Hanya anak-anak yang wajib diundang dalam perayaan tersebut. Barangkali karena yang dirayakan adalah seorang anak.

Perayaan ulang tahun di Kampung Iguriji ini tak sese-derhana seperti yang ada di kebanyakan daerah dipulau Jawa. Di kampung ini, ulang tahun tidak semata hanya pengulangan hari dan bulan yang sama dalam rentang waktu satu tahun. Lebih dari itu, perayaan ulang tahun di kampung ini telah men-jadi keharusan untuk dilakukan. Bagaimanapun kondisi kelu-arga yang ada anggotanya sedang berulang tahun, tak terke-cuali kondisi ekonomi. Serumit apapun kondisi ekonomi yang

Kepulan asap menemani empat orang mama saat

memasak untuk mempersiapkan hidangan pesta.

Page 113: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

89

sedang dihadapi, perayaan ulang tahun tetap diadakan. Walaupun memang bentuk acaranya fleksibel sesuai dengan kemampuan orang yang akan merayakannya. Sese-derhana apapun acaranya akan ada alternatif tempat berikut juga banyaknya hadirin yang diundang.

Pesta ulang tahun yang diadakan di keluarga bapak Toni Iba, untuk me-rayakan ulang tahun Agustince anaknya yang pertama, penuh dengan keriuhan dan canda tawa anak-anak. Keramaian acara sudah terlihat sejak sebelum acara dimulai yaitu saat persiapan, saat memasak untuk keperluan acara. Sudah menjadi tradisi di kampung ini memasak untuk acara dilakukan bersama-sama dengan keluarga besar dan warga sekitar kediaman yang punya hajat. Keluarga bapak Toni Iba yang punya acara menyediakan tempat di belakang rumahnya sebagai tempat memasak bersa-ma. Memasak dilakukan saat siang hari sebelum malam pelaksanaan acara. Saat itu mama-mama datang untuk membantu, tidak ketinggalan ada juga bapak-bapak yang turut nimbrung ikut meramaikan. Tentu saja anak-anak yang berseliweran dengan canda-tawa yang selalu menyertai.

Banyak menu yang dimasak pada hari itu. Mulai dari sayur-sayuran, tahu tempe, ikan sampai daging sebagai lauknya. Ada daging rusa, daging ayam dan babi. Mayoritas masyarakat di kampung itu beragama Kristen jadi tidak ada masalah dalam mengonsumsi daging babi. Dan juga yang pasti makanan pokoknya, nasi. Hal meng-

indikasikan bahwa masyarakat di kampung ini

Para Mama memasak ber-sama berbagai bahan makan-

an. Daging rusa, babi, tahu, berbagai macam

sayur, dan nasi terhidang dalam perayaaan ulang

tahun.

Page 114: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

90

makanan pokok sehari-harinya adalah nasi, bukan sagu yang bagi kebanyakan orang di luar Papua dianggap sebagai makanan pokok masyarakat Papua.

Acara masak memasak selesai pada sore hari saat semua bahan makanan telah beres diolah menjadi makanan yang siap untuk disajikan. Setelah selesai me-masak kemudian orang-orang membereskan tempat yang habis mereka pakai untuk memasak. Sebagian orang dari pihak keluarga masuk kedalam rumah untuk menyi-apkan dekorasi ruangan dan menghiasanya dengan berbagi macam pernak-pernik khas pesta ulang tahun. Ada balon dan pita-pita warna warni menghiasi ruangan yang dipersiapkan untuk acara malam itu. Yang terpenting adalah menyiapkan kue tart lengkap dengan lilin berangka satu sebagai tanda bahwa anak yang akan meraya-kan ulang tahun berumur satu tahun.

Menjelang malam tiba menandakan acara perayaan ulang tahun anak ba-pak Toni akan dimulai. Orang-orang berdatangan ke rumah itu, anak-anak tetangga dengan keceriaannya berlarian merapatkan diri untuk menyatu dalam keriuhan pe-rayaan. Dengan dandanan seperti kebanyakan anak yang mendatangi pesta ulang tahun temannya, mereka meriuhkan sSuasana dengan teriakan khas anak-anak itu untuk menyambut acara yang akan dilaksanakan. Pihak keluarga dengan senang hati dan penuh suka cita menyambut kedatangan mereka. Begitu juga dengan si kecil yang sedang berulang tahun, dengan senyum manisnya karena memang belum fasih berbicara, menyambut kedatangan teman-temannya.

Semua orang dan anak-anak merapatkan diri berkumpul dalam sebuah ru-angan yang dijadikan tempat untuk pesta. Kemudian untuk pertama kalinya seba-gai pembuka acara bapak Filemon selaku orang yang diberi wewenang oleh bapak Toni Iba untuk membuka acara, berbicara dengan bahasa Indonesia khas Papua untuk menyambut yang datang. Keriuhan acara semakin terasa sampai pada waktu-nya seorang pendeta dari kampung itu berceramah. Ini merupakan bagian awal dari perayaan ulang tahun di kampung ini. Bapak Simeon sang pendeta menyampaikan khotbahnya dengan sangat lantang. Orang dalam ruangan itu khusuk mendengarkan isi khotbah yang disampaikan, kecuali anak-anak yang masih asik dengan tingkah usilnya, tetap bercanda tawa riuh tanpa menghiraukan suara khotbah.

Page 115: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

91

Seusai pendeta membawakan khotbah, acara diambila-lih lagi oleh bapak Filemon. Suasana hening seketika ketika ia lantang berbicara. Anak-anak pun sekan terbius dalam suasana waktu itu. Saat itulah waktu untuk pemberian atau pengesahan nama untuk anak yang sedang berulang tahun. Dengan suara lantangnya bapak Filemon menyebutkan dua nama untuk di-berikan pada anak itu yang kemudian akan menjadi panggilan untuk selamanya: Agustina dan Agustince. Sepintas hampir sama saja dua nama itu, cuma berbeda satu dua huruf di ba-gian belakang. Agustina adalah nama yang dipakai oleh anak itu sampai sebelum pesta ulang tahun ini dan Agustince ada-lah nama baru yang diusulkan untuk disepakati. Nama-nama tersebut diusulkan oleh pihak keluarga. “Agustina atau Agus-tince?” Suara lantang bapak Filemon memecah keheningan. Kemudian serempak orang-orang yang datang termasuk juga anak-anak membalas pertanyaan itu dengan suara yang tak ka-lah lantang “Aguntince”. Sampai tiga kali bapak Filemon me-lontarkan pertanyaan yang sama dan jawaban yang sama juga keluar dari orang-orang dalam ruangan itu. Seperti ketok palu dalam sebuah persidangan, melalui kesepakatan dari orang-

Toni iba dan istinya serta anak mereka yang baru merayakan ulang tahu-nya yg pertama. Nama Agustince disematkan pada anak itu setelah ada kesepakatan dari pihak kelu-arga dan orang-orang yang datang dalam pesta perayaan.

Page 116: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

92

orang yang datang dalam perayaan dan juga pihak keluarga, nama Agustince pun diberikan ke anak itu. Ritual pemberian nama inilah yang menjadi pembeda dalam pesta ulang tahun di kampung ini dibandingkan di daerah lain. Tidak hanya dihiasi oleh pesta hura-hura dan canda tawa, melainkan aspek inilah yang penting dalam acara perayaan ulang tahun sehingga perayaan ulang tahun itu harus diselenggara-kan, apapun kondisinya, apalagi perayaan ulang tahun yang pertama.

Setelah penetapan nama, suasana kembali riuh oleh anak-anak. Kue tart di-keluarkan oleh istri bapak Toni Iba seperti prasyarat untuk acara selanjutnya. Semua yang ada dalam ruangan itu sangat merdu menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Agustince sampai pada akhir Agustince meniup lilin yang berlambang usianya diatas kue itu. Pemotongan kue dilakukan setelahnya, sembari bapak Simeon menga-jak beberapa orang untuk mendendangkan lagu-lagu gereja dan khas Papua dalam iringan gitar. Anak-anak kebagian untuk melahap kue tart dan orang-orang dewasa dipersilakan untuk menyantap makanan yang dimasak diwaktu siang. Acara riuh dan canda tawa terus menghiasi rumah keluarga bapak Toni Iba sampai penghujung aca-ra. Dan sebagian orang serta keluarga terus berdendang sampai fajar menjelang.

Nilai Kesakralan Dalam Upaca-ra Pernikahan

Persiapan acara yang cukup lama dan rumit tak sesederhana pe-rayaan untuk anak-anak, terjadi dalam perayaan kebahagiaan yang lain: perni-kahan. Pernikahan merupakan kegiatan adat yang sakral karena menyatukan dua insan manusia. Dalam.pernikahan juga terdapat serangkaian prosesi pernikahan yang biasanya sesuai dengan adat kebu-dayaan masyarakat yang bersangkutan.

Page 117: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

93

Bagi masyarakat Suku Sougb, pernikahan merupakan suatu yang dianggap sakral. Banyak hal dibalik sebuah upacara pernikahan yang sangat kompleks. Dari mulai persiapan terkait mahar, sampai kedua belah pihak dinyatakan sah menjadi pasangan suami istri sesuai adat dan agama. Belum lagi pembayaran mahar yang dilaksanakan secara berkelanjutan dan dengan penuh perhitungan sosial materiil.

“Kami itu mahal,” ungkap seorang mama Papua yang telah melewati masa pernikahan disertai sejenak gelak. Begitu banyak hal yang harus dipersiapkan se-hingga para perempuan Papua dikenal mahal. Dibutukan persiapan tabungan yang tidak sedikit untuk melamar seorang perempuan Papua. Setidaknya sebesar 200 juta rupiah. Nilai 200 juta tersebut diberikan dalam bentuk benda lain, seperangkat kain yang merupakan mahar wajib dan harus dipenuhi. Selain itu juga dalam bentuk lem-baran uang sebagai ganti uang susu dan pendidikan. Sekotak jenis mahar tersebut merupakan persyaratan utama sehingga mereka dinyatakan syah sebagai suami istri

dan istri dinyatakan sepenuhya milik suami.

Berbagai jenis kain dengan harga yang tidak semu-rah seperangkat alat sholat merupakan seperangkat benda mahar yang wajib dipenuhi dalam acara lamaran pada ga-dis Papua. Untuk melamar seorang gadis papua, seorang laki-laki harus membawakan minimal dua buah kain ti-mur asli yang harga satuannya sekitar 30 bahkan hingga 60 juta rupiah. Berdasarkan penuturan warga setempat, awalnya kain timur merupakan barang yang berasal dari daerah di luar Papua, yaitu Pulau Timor. namun kain timur yang merupakan benda mahar saat ini tidak bisa didapatkan dari tempat asalnya itu. Kain timur ini sekarang hanya bisa diperoleh secara turun temurun

Henok dan istrinya, menikah pada usia 16 tahun. Keban-yakan masyarakat Papua di kampung Iguriji, Missin, dan

Teluhwer menikah dalam usia muda.

Page 118: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

94

dari nenek moyang mereka. Hanya kain timur turun temurun inilah yang dimaksud-kan sebagai kain timur asli, sebagai benda mahar pernikahan. Karena merupakan warisan itulah yang membuat kain timur tersebut menjadi langka dan sangat mahal. Sedangkan kain timur yang sekarang ini masih diperjualbelikan di pasaran, yang har-ganya relatif lebih murah, menurut masyarakat setempat bukanlah kain timur asli. Entah bagaimana persepsi itu ada, tapi menurut mereka memang seperti itu adanya. Jenis kain lain yang juga merupakan seperangkat mahar adalah kain toko atau yang sering disebut Kain Cita. Kain ini merupakan kain korden yang biasa dibeli di toko.

Selain seperangkat kain, masih terdapat aksesoris yang juga merupakan ba-gian dari mahar dalam sesi peminangan gadis Sougb. Aksesoris tersebut berupa ge-lang yang terbuat dari kerang, yang disebut Paseda. Gelang ini pun turun temurun dari nenek moyang yang dapat dibeli dengan harga sekitar satu jutaan. Aksesoris lain adalah piring keramik dan manik manik dalam ukuran besar yang digunakan sebagai kalung. Aksesoris ini bersifat tidak wajib pada dasarnya. Hanya saja, ketika pihak laki-laki mampu memenuhinya, maka selayaknya diberikan.Seperangkat kain merupakan mahar yang wajib dipenuhi dalam prosesi peminangan gadis Sougb. Sekotak akseso-ris merupakan mahar yang sebisa mungkin dipenuhi oleh pihak laki-laki. Akan tetapi, sejumlah uang merupakan mahar yang layaknya dipenuhi oleh peminang sebagai wujud bayar nyawa orang yang hendak dipinang. Sejumlah uang dengan perhitungan yang rumit. Hidup. Sejumlah detik hidup yang diuangkan. Sejumlah keping uang yang dikeluarkan untuk si nyawa yang sedang ditawar.

Perhitungan yang tidak sederhana ketika mahar berupa uang dihitung sesuai dengan pengeluaran yang telah dilakukan untuk hidup sebuah nyawa yang hendak dibeli. Berapa lama gadis itu menyusu ibu hingga berapa lama gadis itu menem-puh pendidikan. Hingga, keperawanan si gadis, diperhitungkan dalam uang sebagai pertimbangan jumlah mahar yang harus dibayarkan. Semua masuk dalam hitungan uang. Materi. Seperti alih tangan. Alih kepemilikan nyawa atas diri seorang gadis. “Orang tua perempuan biasa melihat laki-laki yang hendak meminang. Jika dia menawar dengan harga tinggi, maka dikasihlah anak perempuannya,” cerita mama Yustus.

Tuntutan berupa mahar dalam beberapa kasus tidak hanya dilakukan oleh orang tua pihak perempuan saja. Dalam beberapa hal, terdapat juga saudara dari pi-hak perempuan menuntut ‘mahar yang lain’ kepada pengantin laki-laki. Tenaga yang

Page 119: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

95

dikeluarkan oleh pihak perempuan untuk sekadar mengantar pengantin perempuan pun tak luput dari perhitungan material. “Biasanya perempuan punya saudara meminta pada pengantin laki-laki untuk sebagai ganti rugi atau uang lelah dalam bentuk perhiasan atau barang lain,” mama Yustus menambahkan dengan sunggingan senyum bibir merah pinangnya.

Mahar. Dalam beberapa ajaran merupakan pemberian dari mempelai laki-laki kepada pengantin perempuan1, begitu juga pengertiannya secara harfiah. Akan tetapi, dalam masyarakat Sougb mahar diperuntukkan pada pihak-pihak yang telah berperan dalam hidup pengantin perempuan. “Seperti mas kawin berupa uang susu di-berikan kepada perempuan punya mama. Perempuan punya bapak tidak boleh. Karena mama adalah yang paling menderita,” cerita mama Yustus. Menderita disini maksudnya bahwa mama lah yang berperan penting dalam memelihara anak, jadi mama yang pantas mendapatkannya. Jumlah mahar berupa uang susu pun tergantung dari permintaan ibu pengantin perempuan. Rata-rata mahar berupa uang susu berkisar 50 hingga 100 juta. Permintaan itu pun harus dipenuhi dan disepakati oleh pihak laki-laki. Ke-mudian, untuk mahar berupa uang sekolah yang telah dikeluarkan oleh orang tua pengantin perempuan, diberikan kepada kedua orang tua mempelai perempuan. Sama halnya dengan penentuan jumlah mahar uang susu, mahar uang sekolah juga ditentukan oleh orang tua mempelai perempuan.

Secara adat, perempuan papua memang mahal. Mas kawin atau mahar akan selalu ditentukan oleh orang tua pihak perempuan. Orang-orang dahulu berpikiran bahwa mahar harus selalu dibayarkan sesuai dengan ketentuan yang ada, dan me-reka akan meminta dalam jumlah besar, karena hal ini telah berlangsung lama secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Sekarang, pemikiran masyarakat mulai bergeser. Orang tua perempuan tidak melulu mementingkan sebuah mahar yang besar. Ada orang tua pihak perempuan telah berpikiran bahwa mas kawin tidak harus selalu semahal itu. Mereka tidak hanya menilai bagaimana kemampuan pihak laki-laki dalam melakukan lamaran dan memberi mahar. Asalkan calon pengantin laki-laki dan perempuan cocok dan sudah saling suka, mahar akan dibayarkan sesuai dengan kemampuan pihak laki-laki tentu saja dengan persetujuan dari orang tua pi-hak perempuan.

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Page 120: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

96

Pembayaran mahar yang disesuaikan dengan jumlah penguangan jasa dan materi yang telah dikeluarkan oleh orang tua mempelai perempuan selaku pemilik awal, membuat pro-ses pelamaran layaknya tawar menawar suatu barang, dan pro-sesinya adalah jual beli. Ketika paradigma itu yang dipakai oleh mempelai laki-laki, maka hal ini sama halnya dengan pihak laki-laki membeli perempuan tersebut.

Setelah proses pembayaran mahar tersebut, kemudian selanjutnya pihak laki-laki datang ke pihak perempuan dengan membawa pendeta sebagai orang yang menyatukan keduanya. Prosesi demikian merupakan cara adat sebelum adanya pende-ta tetapi pendeta mengindikasikan bahwa agama telah masuk dalam kehidupan masyarakat. Dengan membawa pendeta ke pihak perempuan dan kemudian pendeta tersebut membaca-kan doa serta menyatukan keduanya dalam prosesi pernika-han, kemudian keduanya resmi menjaadi pasangan suami istri. Setelah itu tidak ada perayaan mewah dan keramaian seperti suasana yang ada pada perayaan ulang tahun. Pernikahan yang merupakan momen sangat berharga dalam perjalanan hidup

Seorang laki-laki Iguriji memperli-

hatkan kain timur yang merupakan salah satu mahar

yang harus dibayarkan oleh

pihak laki-laki ke-pada perempuan.

Page 121: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

97

manusia yang biasanya diabadikan dengan mengadakan perayaan besar, tapi tidak disini.

Pernikahan disini tidak selalu identik dengan pesta dan perayaan besar. Se-buah prosesi secara adat sederhana pun cukup menjadikan dua insan manusia ber-satu dalam ikatan yang sah. Setelah agama masuk dalam kehidupan mereka, hukum adat berjalan berdampingan dengan ajaran agama, termasuk dalam pernikahan, tidak hanya hukum adat yang menjadi ukuran tapi juga disahkan secara agama. Tanpa pesta dan perayaan, hanya serangkaian prosesi penyatuan dua anak manusia sehingga tidak juga banyak yang terlibat dalam kesakralan itu. Pihak lelaki datang bersama pendeta diiringi orang tuanya serta beberapa kerabat sebagai wakil dari pihak laki laki menemui pihak perempuan yang juga didampingi oleh keluarganya. Hanya beberapa keluarga dan kerabat dekat yang akan mengiringi prosesi sakral ini. Prosesi sakral ini secara sederhana dilakukan dirumah pihak perempuan. Alternatif lain adalah, dengan persiapan yang matang dan dengan persetujuan dua belah pihak prosesi per-nikahan akan dilakukan di gereja. Gereja sebagai tempat peribadatan dianggap akan membawa nuansa yang lebih khusuk dalam pengesahan sepasang pengantin dalam satu ikatan pernikahan. Pun juga ikatan itu akan mendapat pengakuan yang sah oleh negara dengan proses penerbitan surat nikah yang sah. Pengurusan akan mudah apabila pernikahan dilakukan di gereja.

Menikah merupakan suatu hal yang sangat istimewa dalam perjalanan hidup manusia. Menikah juga merupakan sebuah keputusan yang harus diambil ketika seo-rang manusia siap untuk melepas masa lajangnya. Akan tetapi ada juga manusia yang menikah tidak berdasarkan keputusan dari dalam dirinya. Bisa dijodohkan, bisa juga diakibatkan karena kecerobohan dengan melakukan hubungan seks pra nikah sam-pai si perempuan hamil dan terpaksa harus menikah untuk menutupi aibnya. Masy-arakat kampung memiliki alasan tersendiri untuk menentukan saat masa menikah seseorang. Terlebih lagi untuk anak perempuan. Orang tua si perempuan akan sangat berpengaruh terhadap penentuan saat menikah sang anak. Ini dilandasi oleh faktor material. Yang menjadi pertimbangan utama dalam tradisi pernikahan atau menikah-kan gadis Sougb adalah seberapa besar jumlah mahar yang mungkin dibayarkan oleh pengantin laki-laki. Termasuk pertimbangan menikah pada usia muda dan semuda-

Page 122: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

98

mudanya. “Memang rata-rata orang tua menikahkan anak perempuannya sebelum mereka lulus SMP karena supaya menghindari anak perempuannya hamil duluan. Karena kalau sampai hamil, maka jumlah maharnya akan berkurang.” Yustus men-coba mencontohkannya.

Orang tua si perempuan akan sangat menunggu kapan anaknya dilamar. Tidak peduli sang anak berusia berapa, masih SD kah SMP kah, tidak menjadi uku-ran pemikiran orang tua dalam menikahkan anaknya. Asal anak perempuan itu su-dah pantas untuk menikah, “sesuai dengan ukuran mereka” si perempuan akan di-nikahkan apabila ada yang melamar. Karena dengan dilamarnya anak perempuan itu, pihak orang tua perempuan akan mendapatkan mahar dari pihak laki-laki yang melamar anaknya. Apalagi jika pihak laki-laki menawarkan akan membawa mahar banyak, pihak orang tua si perempuan akan sangat setuju dan langsung mengiyakan anaknya dinikahi oleh seorang laki-laki.

Dengan besaran mahar yang ditawarkan oleh seorang laki-laki ketika me-lamar perempuan, hal ini akan sangat disambut baik oleh orang tua si perempuan. Dengan menyetujui lamaran terhadap anaknya itu, orang tua akan menerima mahar dengan jumlah banyak sesuai yang ditawarkan. Ketika dilamar oleh seorang laki-laki, sang perempuan sendiri juga seakan setuju saja karena menurut adat budaya mereka, apabila perempuan dilamar dengan mahar tinggi itu merupakan wujud cinta kasih sayang laki-laki terhadap perempuan. Orang tua perempuan jarang memikirkan pe-rasaan anaknya, lebih-lebih memikirkan nasib hidup anaknya setelah dia dinikahi kelak. Sesuai ketentuan adat, setelah menikah seorang perempuan akan sah menjadi hak sepenuhnya laki-laki yang menikahinya.

Walaupun jarang tetapi ada juga anak perempuan yang sebenarnya menolak untuk dinikahkan pada saat tertentu. Mereka seakan setuju saja dengan keputusan orang tuanya. Hal ini juga didasari oleh perbedaan perlakuan orang tua terhadap anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Anak laki-laki cenderung akan didukung untuk berpendidikan tapi anak perempuan akan dikondisikan untuk cepat-cepat saja menikah. Menjadikan tidak ada pilihan lain bagi sang anak kecuali setuju dengan rencana orang tuanya. Dengan begitu banyak sekali perempuan-perempuan yang menikah pada usia dini yang sebenarnya belum pantas bagi mereka untuk menikah.

Page 123: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

99

Adat istiadat yang membedakan peran dan status perempuan dalam rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat menjadi akar persoalan pernikahan usia dini ini.

Bisa dikatakan bahwa saat anak perempuan dilamar, orang tua sudah sang-at terbuai dengan iming-iming mahar yang akan diterimannya. Sehingga menutup mata hatinya untuk sejenak memikirkan masa depan anaknya. Anak perempuannya yang masih belia akan rela dinikahi oleh laki-laki yang tak jarang usianyanya terpaut jauh. Anak perempuan yang masih polos, masih butuh belaian kasih sayang orang tua, harus menjalani kehidupan yang baru dalam ikatan pernikahan. Seorang anak yang sebenarnya belum siap untuk itu, harus rela melepas masa lajangnya demi me-menuhi keputusan orang tuanya. Ya, keputusan orang tua yang hanya memikirkan materi padahal mereka tahu bahwa dengan diterimanya mahar tersebut sang anak akan sah sepenuhnya menjadi hak laki-laki dan bebas diperlakukan dengan cara apa-pun oleh suaminya. Tidak ada lagi wewenang bagi orang tua si perempuan untuk membela atau melarang tindakan laki-laki yang telah menjadi suami anaknya itu ter-hadap anaknya. Sekalipun tidakan dan perlakuan sang suami diluar batas kewajaran, kekerasan. Anak perempuan telah “dibeli” dengan mahar yang telah disepakati di awal. Inilah kondisi kebanyakan perempuan Papua, termasuk di kampung ini, hidup mereka ada di tangan laki-laki.

Sebagai bukti yang demikian ini dapat terlihat dari kehidupan sehari hari mereka, dalam urusan mencari nafkah. Ketiga kampung tersebut telah mengenal pertanian sebagai salah satu bentuk kegiatan sehari hari mereka dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Setiap kampung juga menerima dana otonomi khusus dari pe-merintah yang turun setiap tahun sekali. Dana tersebut seharusnya dipakai secara kolektif untuk pembangunan infrastruktur akan tetapi disini ternyata dana tersebut dibagikan merata kepada warga masyarakat. Namun perempuan tidak banyak mem-peroleh keuntungan dari pembagian dan tersebut karena lebih banyak dibelanjakan oleh laki-laki untuk kepentingannya sendiri. Ketidakpeduian laki-laki dalam hal hal mencari nafkah dapat terlihat dari kegiatan pertanian yang mereka kerjaka, semua hal yang berhubungan dengan pertanian dikerjakan wanita dan laki-laki hanyak bersan-tai dirumah. Hal inilah yang terjadi karena pihak laki-laki telah membeli perempuan sehingga mereka memperlakukan perempuan seenaknya. Laki-laki cenderung ma-

Page 124: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

100

las untuk bekerja di pertanian dan lebih menyuruh perem-puan untuk melakukannya.

Perempuan yang bekerja dan suami santai di-rumah. Suatu pemandangan yang banyak dijumpai di kampung ini. Sudah menja-di tradisi lama atau juga di-karenakan persepsi perem-puan “dibeli” itu tadi. Tidak jarang keluhan keluar dari mulut perempuan-perem-puan Papua ini. Walau de-mikian, kebahagiaan tetap terpancar dari raut muka mereka. Bagaimanapun kondisi ini dianggap wajar dalam kehidupan di masy-arakat kampung ini. Ba-gaimanapun kondisinya, apapun yang dialaminya, dan bagaimanapun beratnya memerankan pekerjaan yang seha-rusnya dilakukan bersama laki-laki, perempuan-perempuan Papua ini tetap bertahan hidup bersama suaminya yang terikat dalam pernikahan yang sakral.

Kontradiksi dalam Dualitas Keadatan

Masyarakat Soughb pada hakikatnya memiliki berbagai kebiasaan dalam merayakan setiap perasaan yang dialami, baik perayaan untuk perasaan bahagia mau-pun kesedihan. Masing-masing jenis perasaan direalisasikan dalam balutan keadatan

Page 125: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

101

yang beragam. Sesuai dengan emosi yang terhenyak dalam se-tiap hal yang diraya-kan. Tak terkecuali dalam perayaan keba-hagian.

M a s y a r a k a t yang telah mengalami relokasi sebanyak em-pat kali ini, memiliki upacara keadatan yang salah satunya bermula dari hentakan emosi bahagia. Sama-sama merayakan hadirnya se-buah kehidupan baru duniawi. Untuk kehadi-ran makhluk baru dise-but kelahiran, dan untuk kehadiran pasangan baru disebut pernikahan. Ke-dua ungkapan perasaan bahagia dibalutkan dalam

sebuah upacara adat. Emosi bahagia yang memiliki karakter yang berbeda, perlakuan yang berbeda pun menjadi sebuah keniscayaan untuknya.

Emosi bahagia untuk sebuah kesakralan menjadikan peray-aan pernikahan sebagai sesuatu yang membutuhkan persiapan pan-jang nan kompleks. Meski tak serumit persiapannya, prosesi per-nikahan memang cenderung sederhana dan simple. Sebagai suatu

Terlepas dari beban berat

yang diemban oleh perempuan-perempuan lokal

Papua, senyum bahagia tetap ter-

pancar dari raut muka mereka.

Page 126: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

102

kegiatan yang bersifat sakral, kekhusyukan merupakan ciri khas dalam pelaksanaan pernikaha. Khusyu bukan berarti harus serba hening sebab keheningan yang ada selalu terpecah oleh dengung-dengung doa. Seusai itu, untuk menjaga sebuah kek-husyukan, tak ada lagi riuh gemuruh pesta layaknya sebuah pesta perayaan dengan ribuan pendendang lagu dan tumpukan kue.

Terasa berbeda ketika usai menghadiri merayakan pernikahan kemudian bergabung dalam prosesi ulang tahun kelahiran seorang anak. Tepukan dan nyanyian merupakan hal yang lumrah sebagai wujud syukur kehadiran makhluk baru atau pun kehadiran umur baru. Kegiatan ini dimaknai sebagai sesuatu yang memang benar-benar harus dirayakan dan dimerihakan, lengkap dengan kue dan puluhan balon dan lilin. Tidak sebanding dengan relatif singkatnya proses persiapan acara ulang tahun, dibentuklah acara syukuran yang semeriahnya, sebuah pesta. Perwujudan dan hen-takan perasaan bahagia yang mengalir dalam nyanyian selamat ulang tahun merupa-kan atribut perayaan bahagia yang harus dipenuhi dalam seremonial ulang tahun ini. Kuncinya memang terletak pada kebersyukuran dan kebahagiaan, dan tidak mening-galkan unsur religiusitas tentunya. Tetap terdapat doa di dalam tepuk-tepuk tangan dan nyanyian mereka.

Perbedaan perlakuan atas perayaan kebahagiaan tidak semata didasarkan pada apa yang tengah dirayakan, akan tetapi pada apa yang seharusnya disiapkan dan untuk apa perayaan itu dilakukan. Pada dasarnya, masing-masing perayaan memiliki keunikannya sendiri. Dan itulah nilainya. Masing-masing perayaan memiliki mak-nanya tersendiri. Makna yang bermula dari adanya prioritas nilai terhadap sebuah penyelenggaraan upacara adat atau pun sekadar perayaan yang sudah membiasa.

Ada perlakukan tersendiri untuk setiap perayaan. Perbedaan perlakuan yang kadang terlihat kontradiktif, senyatanya tidak dapat dimaknai secara sederhana. Se-perti perayaan ulang tahun dan pernikahan yang merupakan perayaan kebahagiaan, tidak dapat kemudian diartikan sesederhana dari apa yang bisa dilihat mata dan di-runut logika manusia dari luar lingkup budaya tertentu. Ada pemaknaan lain dari kompleksitas alur pikir setiap kebudayaan, tak terkecuali milik Suku Sougb. Oleh ka-renanya, setiap apa yang melekat pada mereka tidak dapat dimaknai secara sederhana

Page 127: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

103

dan permukaan saja. Justru perlu melihat secara jauh ke dalam, maksud setiap apa yang menjadi kebiasaan yang pada suatu titik menjelma menjadi kebudayaan mereka. Yang bagi manusia pada umumnya adalah aneh, bisa jadi adalah nilai dari sebuah masyarakat karena ia telah menemukan unifikasi dari dirinya melalui kebudayaan yang dibentuknya.

Page 128: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 129: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

”Pemanfaatan babi tidak terbatas pada bahan makanan dan hidangan dalam pemenyambutan

tamu maupun perayaan acara adat. Di Iguriji, dikenal adanya “Penyakit Adat” dan babi

adalah obat satu-satunya.”

TULISAN 7“Babi dalam Tradisi Kampung Iguriji”

Oleh: Banu Hernawa

Page 130: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

106

Selama ini orang mengetahui babi terbatas sebagai hewan ternak yang dimanfaatkan daging dan darah-nya untuk dikonsumsi. Namun seringkali kita lupa bahwa manusia hidup tidak bisa terlepas dari tradisi

yang secara turun terurun diwariskan oleh generasi sebelum-nya. Bagi masyarakat Papua khususnya warga Kampung Igu-riji, Distrik Bintuni, Kabupaten Teluk Bintuni hewan babi atau huweij dalam bahasa Sougb sangat erat dengan seluruh aspek kehidupan mereka.

Babi menjadi menarik untuk ditelisik dalam kehidu-pan masyarakat Papua di Kampung Iguriji karena babi tidak hanya menjadi salah satu sumber makanan bagi mereka namun juga fungsinya dalam adat dan tradisi mereka. Dalam tulisan pendek ini penulis ingin menyajikan beberapa hal menarik ter-kait pemanfaatan babi dalam tradisi masyarakat Papua yang tinggal di Kampung Iguriji.

Babi yang dipelihara oleh

masyarakat lokal untuk dikonsumsi dan dimanfaatkan dalam kehidupan

sehari hari.

Page 131: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

107

Beberapa tema yang akan penulis paparkan meliputi bagaimana pola be-ternak babi warga Kampung Iguriji, bagaimana pola dalam menjaga harta berupa hewan babi, dalam upacara apa saja babi itu dimanfaatkan, dan peran babi dalam hal mistik lainnya. Dalam upaya memaparkan fenomena-fenomna diatas penulis men-cari data dengan melakukan pengamatan dan wawancara terhadap beberapa nara-sumber yang memahami kebudayaan warga Kampung Iguriji.

Pola Beternak Babi

Kebiasaan lama warga Kampung Iguriji dalam hal beternak babi adalah dengan cara melepas babi di pekarangan sekitar kampung. Babi dilepas supaya men-cari makan sendiri dan sesekali babi dipaggil untuk diberi pakan tambahan. Pakan tambahan yang diberikan biasanya kasbi atau singkong dan petatas atau ubi jalar. Pe-milik babi memanggil babi dan memberinya pakan tambahan biasanya diwaktu senja menjelang malam. Pangilan khas ketika memanggil babi yakni dengan cara mengu-capkan kata “Nah” secara berulang-ulang sambil berjalan-jalan disekitar pekarangan dan memukul-mukul kaleng. Babi yang telah mengenali suara majikannya akan men-dekat. Dan sesuai kebiasaan dan nalurinya babi menghampiri pakan tambahan yang diberikan oleh pemiliknya.

Begitu banyaknya warga yang memiliki babi dan untuk membedakan babi yang satu dan yang lainya dibelakang kata “Nah” biasanya pemilik babi menambah-kan kata-kata lain misalnya “Nah Bankdes atau pun Nah Otsus”. Panggilan-panggilan semacam itu menandakan bahwa babi tersebut dibeli dengan menggunakan uang pinjaman dari Bank Desa maupun dibeli dengan menggunakan dana Otsus (Otono-mi Khusus). Panggilan yang lebih spesifik pada babi terkadang juga menambahkan kata lain dibelakang kata “Nah”, misalnya “Nah Motoufu” dipakai untuk memanggil babi yang memiliki tanda warna putih di kepala.

Namun seiring perkembangan pengetahuan warga akan kebersihan dan keamanan ternak babi mereka, pola beternak dengan cara melepas babi ini mulai ditinggalkan. Babi yang dilepas sering membuang kotoran di sembarang tempat se-hingga menimbulkan bau tidak sedap dan menimbulkan berbagai penyakit. Selain

Page 132: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

108

itu disekitar pekarangan warga terdapat kebun yang ditanami ubi jalar, singkong, maupun jagung,

dan kacang tanah dimana babi suka memakan jenis tanaman ini dan tidak jarang babi yang dilepas merusak kebun warga. Selain itu ada ketakutan dari warga kalau babi mereka sampai memakan tanaman di kebun orang lain, karena setiap kerusa-kan pada kebun yang disebabkan hewan ternak akan diminta ganti rugi yang sangat mahal dimana besarnya ganti rugi di-tentukan sepihak oleh pemilik kebun. Atas beberapa dampak buruk yang ditimbulkan dari pola beternak babi dengan cara melepas bebas, warga kemudian mulai merubah pola beternak mereka yakni dengan membuatkan kandang panggung seder-hana untuk memelihara babi. Babi dikandangkan dan diberi pakan secara berkala dua kali sehari yakni diwaktu pagi dan sore hari.

Pemanfaatan Babi dalam Tradisi

Ternak utama sebagai sumber protein warga Kam-pung Iguriji adalah babi. Babi menjadi bahan makanan yang

Babi merupakan hewan ternak

yang lekat dengan masyarakat Papua. Babi dilepas untuk

mencari pakan sendiri, menjelang

malam babi-babi dikandangkan.

Sesekali babi-babi ini diberi pakan

tambahan berupa sisa makanan, ubi,

dan singkong.

Page 133: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

109

umum dikonsumsi sehari-hari sebagai sumber protein dan lemak, meskipun kini warga Kampung Iguriji mulai beternak ayam untuk memenuhi kebutuhan akan kon-sumsi daging mereka. Meskipun harga daging babi cukup mahal namun setiap ada penjual daging babi, baik itu babi peliharaan maupun babi hutan datang ke Kam-pung Iguriji selalu laris dibeli oleh mama-mama Kampung Iguriji.

Dalam setiap perayaan daging babi selalu dihidangkan. Perayaan yang sering diadakan di Kampung Iguriji adalah ulang tahun. Selain untuk sajian pesta ulang tahun, babi juga menjadi salah satu mahar wajib untuk diserahkan ke pihak calon mempelai perempuan. Dalam upacara kematian, penyambutan tamu besar baik itu pejabat maupun tokoh masyarakat, pelantikan kepala kampung selalu dihidangkan daging babi.

Masyarakat Papua khususnya warga Kampung Iguriji memiliki teknik khu-sus dalam menjagal babi. Berbeda dengan wilayah lain di Indonesia yang menjagal hewan berkaki empat dengan cara menyembelih (memotong saluran pernafasan di leher), warga Kampung Iguriji memiliki dua cara khas dalam menjagal babi. Yang pertama adalah dengan cara memanah dada babi. Babi yang terpanah pada paru-paru dan jantungnya akan cepat mati. Sebelum menjagal babi si pemilik hajat men-gundang warga lainya dengan panggilan khusus dalam bahasa Sougb, yakni: “Yeno...yeno... Yin mas huweij…” yang artinya: “Kamu...kamu… mari panah babi…”. Ajakan ini diteriakkan berulang-ulang sampai semua warga khususnya laki-laki di kampung keluar dan menyaksikan proses panah babi hingga membersihkan bulu dan memo-tong-motong daging babi.

Kaum laki-laki meng-gunakan panah untuk berburu babi-babi liar yang populasinya masih sangat tinggi di hutan Papua.

Page 134: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

110

Panah warga Kampung Iguriji terdiri dari dua bagian utama yakni busur panah atau inyomus dan anak panah. Dimana inyomus terbuat dari bambu dan bertali-kan tali rotan yang sangat kuat. Sedangkan anak panahnya setidaknya ada tiga macam sesuai fungsi masing-masing. Yang pertama adalah anak panah yang digunakan un-tuk berburu atau melumpuhkan binatang, nama anak panah ini adalah hugetemey yang merupakan mata panah berbentuk oval meruncing terbuat dari logam yang terikan pada sebuah bilah rotan sebagai badan anak panah. Yang kedua adalah anak panah yang digunakan untuk berperang atau membela diri dari ancaman musuh, terbuat dari logam memiliki gerigi tajam seperti duri ikan namun tidak beraturan atau sanggi-sanggi dan terikat pada sebuah bilah rotan sebagai badan dari anak panah. Bila ter-tancap anak panah ini, sangat sulit untuk dicabut sehingga untuk melepasnya harus didorong menembus daging, nama anak panah ini adalah karawai. Dan yang ketiga juga anak panah yang digunakan untuk berperang atau membela diri dari ancaman musuh, namun panah ini merupakan anak panah yang paling berbeda diantara anak panah yang lainnya. Hugaha adalah namanya, anak panah terbuat dari kayu berben-tuk runcing memanjang dan bergerigi kebelakang. Sama dengan karawai, hugaha bila menancap ke daging sulit untuk dicabut.

HUGEHA, salah satu bentuk anak panah untuk berburu babi

Page 135: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

111

Cara menjagal babi yang kedua adalah dengan memukul kepala babi dan belakang daun telinga dengan menggunakan punggung mata kapak. Warga Kam-pung Iguriji menyebutnya keita medggo. Seperti halnya cara menjagal babi dengan memanahnya, dalam melakukan keita medggo diundang pula warga kampung untuk berkumpul menyaksikan proses tersebut.

Pemanfaatan babi tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok sebagai bahan makanan dan sebagai hidangan untuk menyambut tamu dan perayaan acara adat semata. Di Kampung Iguriji dikenal adanya “Penyakit Adat”. Penyakit adat adalah penyakit misterius yang menyerang bayi, anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Warga Kampung Iguriji meyakini penderita penyakit ini dapat sem-buh ketika makan babi. Dalam hal ini babi dimanfaatkan sebagai media penyembuh atau obat penyakit adat. Tanda ketika seseorang terkena penyakit adat yang menimpa seorang anak balita ditandai dengan sakitnya balita tersebut dan dia meminta makan daging babi, atau orang tua sang anak yang sakit bermimpi diberi babi maka wajib se-segera mungkin memotong babi, dan tanda bagi orang dewasa yang terkena penyakit adat ketika orang dewasa sakit dan tidak sembuh-sembuh.

Suatu hari seorang warga Kampung Iguriji bernama Mama Helena mende-rita sakit selama beberapa hari, menurut penuturan warga beliau menderita penyakit adat. Kemudian anggota keluarganya membeli babi hidup dan memotongnya. Tidak

Selain untuk dikonsumsi, dalam kepercayaan masyarakat Papua babi juga digunakan untuk metode penyembuhan penyakit yang disebut “penyakit adat”.

Page 136: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

112

ada perlakuan khusus dalam mengolah babi untuk obat penyakit adat, pengolahan sama seperti mengolah babi pada umumnya. Yakni setelah babi dijagal mengguna-kan panah atau menggunakan kapak, babi dibakar di atas api menyala. Cara ini di-sebut merapen yang gunanya untuk membersihkan bulu-bulu dan kotoran yang ada di kulit babi. Setelah itu bulu yang telah hangus di kulit babi dikerok menggunakan parang dan alat kerok lainnya seperti kayu. Setelah babi bersih lalu babi dimasak. Ke-tika proses memasak ini Mama Helena diminta duduk di dekat api dan daging babi yang dimasak ini. Biasanya daging babi dimasak dalam wadah yang disebut belanga. Dari panas api dan lemak babi yang terbakar ini menjadikan tubuh Mama Helena hangat sehingga beliau berkeringat. Setelah Mama Helena berkeringat dan menyan-tap daging babi Mama Helena berangsur sembuh dan kembali sehat.

Denda Tabrak Babi

Sesuatu yang sering kali terdengar diluar Pulau Papua adalah cerita tentang denda tabrak babi yang tidak jarang menjadi momok bagi orang-orang awam ketika pertama kali menginjakkan kaki ke bumi Papua. Denda tabrak babi terdengar sangat menakutkan, karena cerita yang beredar diluar Papua adalah denda itu bisa bernilai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Harga untuk seekor babi yang terdengar sangat tidak rasional bagi orang-orang Non-Papua. Namun pernahkan kita mendengar pen-jelasan dari masyarakat asli Papua tentang rasionalitas denda tabrak babi tersebut? Denda tabrak babi adalah suatu mekanisme yang secara turun temurun dari generasi ke generasi digunakan untuk menjaga asset mereka. Sebenarnya bukan hanya denda tabrak babi yang ada di Papua, denda tabrak anjing atau denda atas ketidaksengajaan membunuh anjing milik warga, denda karena merusak kebun warga, dan masih ba-nyak lagi denda-denda lain yang sebenarnya adalah mekanisme adat untuk menjaga aset masyarakat Papua.

Denda atas kelalaian orang menyakiti bahkan sampai membunuh babi milik warga bisa sangat malah dikarenakan kalkulasi kasar dari modal awal beternak babi misal harga beli babi, biaya transportasi untuk membawa babi dari pasar ke rumah, biaya pakan, biaya perawatan, dan proyeksi keuntungan yang mungkin bisa diperoleh

Page 137: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

113

pemilik babi jika babi tersebut hidaup dan beranak-pinak. Sebagai ilustrasi yakni keti-ka seorang warga membeli anak babi betina seharga Rp 500.000,00 kemudian dipeli-hara selama enam bulan. Biaya transportasi untuk membawa babi pulang sebesar Rp 100.000,00, biaya pembuatan kandang Rp 1.000.000,00. Dimana setiap hari pemilik babi memberi makan babi dengan betatas dan kasbi, biaya perawatan dan pakan men-capai Rp 300.000,00 per bulan. Tiba-tiba babi tersebut lepas ke jalan dan ditabrak mobil kemudian babi tersebut mati. Dari kondisi ini saja bila ganti rugi ditetapkan sudah sangat mahal yakni mencapai Rp 3.400.000,00. Belum lagi ditambah pengam-bilan keuntungan dari babi tersebut, dan proyeksi keuntungan yang mungkin babi betina itu beranak beberapa kali dimana sekali beranak dapat melahirkan beberapa anakan babi. Maka bagi masyarakat Papua denda yang diminta seandainya mencapai belasan juta rupiah itu sangat wajar dan rasional. Inilah salah satu mekanisme untuk menjaga aset mereka berupa babi. Babi bukan hanya hewan ternak bagi masyarakat Papua, babi sangat berharga dilihat dari kegunaannya baik dari segi ekonomi, sosial, dan budaya bahkan politik.

Inilah sepotong fenomena tentang babi dalam tradisi masyarakat Papua. Masih banyak lagi fenomena tentang babi yang tidak dapat dipaparkan dalam tulisan ini. Setidaknya dari sepotong cerita babi dari Kampung Iguriji ini kita bisa bersikap lebih bijak dalam melihat suatu fenomena sosial dan budaya saudara-saudara kita yang ada dibelahan lain dari Indonesia yang kita cintai ini. Mengutip sebuah ungka-

pan: “Tidak ada kebudayaan di dunia ini yang dapat disebut lebih tinggi atau lebih rendah dibanding kebudayaan yang lain-nya”.

Babi mati tertabrak. Karena peraturan adat, orang yang nabrak babi tersebut

dikenakan denda yang secara normal tidak lazim.

Page 138: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 139: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

”Memiliki kain Timur merupakan suatu gengsi tersendiri, terlebih jika kain Timur yang dimiliki

merupakan kain Timur yang memiliki nilai tinggi dan langka. Nilai kain Timur yang sesungguhnya

bukan hanya terletak pada nilai-nilai yang nampak seperti bentuk, warna dan motif. Nilai

kain Timur lebih sesungguhnya terletak dari nilai historis dan perasaan bangga mereka

terhadap alam.”

TULISAN 8“Mengeja Makna Untuk Menghargai”

Oleh: Agus Setiawan

Page 140: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

116

Kicauan burung menjadi penghias alam di kala siang itu. Menemani langkah kami untuk bergegas menuju perkampungan Iguriji, Missin dan Teluhwer tempat kami berusaha mengabdi dan menerapkan se-mua ilmu dan teori yang kami peroleh saat di bangku kuliah, kemu-

dian berusaha memangkas idealisme yang merekat erat pada setiap diri mahasiswa. Di sini kami belajar tentang banyak hal yang tidak kami dapat di bangku kuliah.

Perasaan bangga, takjub dan takut bercampur menjadi satu. Bangga karena telapak kaki kami akhirnya dapat menginjak tanah Papua, suatu pulau di ujung Timur Indonesia yang menjadi pulau seribu mimpi. Mimpi bagi anak-anak kecil yang sangat bersemangat untuk meraih cita-cita namun terbendung oleh buruknya sarana dan prasarana yang ada. Perasaan takut dan takjub datang ketika pertama kali kami ber-temu masyarakat lokal Papua di Kampung Iguriji. Mungkin awalnya mereka bingung ketika ada 20 orang yang tak pernah bertemu sebelumnya tiba-tiba masuk ke per-kampungan mereka. Maka wajar jika ada beberapa orang yang curiga dengan kami dan seolah-olah menjaga jarak dengan kami, namun setelah kami memperkenalkan diri semua keraguan yang ada pada mereka terkait dengan kehadiran kami mulai terkikis.

Sepasang burung memadu kasih ditengah indahnya langit papua

Page 141: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

117

Banyak orang beranggapan bahwa orang-orang Papua adalah orang-orang yang berwatak keras, serta beberapa stereotipe negatif lainnya. Anggapan-anggapan bodoh tersebut telah berhasil mempengaruhi banyak orang, dan tak terkecuali dengan kami semua. Satu hikmah yang dapat saya bagi adalah jangan pernah mudah percaya terhadap omongan-omongan orang ataupun kabar-kabar dari media masa sebelum kita benar-benar menjadi bagian dan merasakannya. Itulah untaian kata-kata yang selalu menjadi pedoman hidup hingga hari ini.

Stereotipe negatif yang selama ini tersimpan di benak kami ternyata menjadi terbalik dari kenyataan yang ada. Pengalaman hidup bersama mereka dalam waktu yang relatif singkat telah memberikan pemahaman baru bagi kami tentang bagai-mana orang Papua. Masyarakat Papua adalah masyarakat cerminan masyarakat tra-disional. Ikatan-ikatan kekeluargaan yang ada masih sangat kuat, Emile Durkheim menggambarkan keadaan ini dengan Solidaritas Mekanik. Yaitu suatu kehidupan yang komunal dimana semua beban yang ada akan ”dipikul” dan dirasakan bersama oleh masyarakat. Itulah gambaran masyarakat Papua, masyarakat yang memiliki se-mangat tinggi untuk gotong-royong, masyarakat yang sangat murah senyum, ramah dan sangat terbuka. Bahkan keramahan orang-orang Papua telah mampu meruntu-hkan tembok-tembok stereotipe negatif yang selama ini melengkapi dan memenuhi pikiran kami. Belajar dari Papua, satu hal yang terbesit dalam otak saya adalah orang-orang Indonesia yang tersebar luas dari Sabang hingga Merauke semuanya adalah orang-orang yang sangat ramah dan memiliki ciri khas masing-masing. Sehingga kita tak perlu takut, karena kita adalah sama yaitu Indonesia.

Salah satu benda yang disakralkan masyarakat Papua. Biasa digunakan sebagai pembayaran mahar pernikahan, acara kematian, dan pembayaran denda.

Page 142: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

118

Begitu banyak kenangan indah yang melekat erat sewaktu kami menjelajahi tanah Papua dan mencoba untuk menyelami kehidupan sosial orang-orang Papua. Semua kenangan tersebut terikat erat dalam setiap butir-butir pengalaman indah yang tersimpan rapi di dalam otak dan tak akan pernah dapat terhapus.

Indonesia adalah negara yang beranekaagam (multiculture), hampir setiap daerah memiliki tradisinya sendiri-sendiri, sebagai contoh ialah kain. Hampir setiap pelosok negeri ini memiliki kerajinan kain yang beraneka ragam mulai dari kain batik yang banyak berkembang di Pulau Jawa, kain Songket yang berasal dari Sumatera Se-latan, terdapat juga kain tenun dari Tana Toraja, Nusa Tenggara serta banyak daerah lainnya. Pulau Papua sendiri juga memiliki kain khas yang memiliki keunikan tersen-diri, masyarakat biasanya menyebutnya dengan kain Timur. Yang menjadi unik disini ialah diyakini kain ini bukan berasal dari Papua melainkan berasal dari daerah Timur, yang menurut beberapa sumber lain menyebutkan bahwa kain ini berasal dari NTT.

Warga iguriji memamerkan kain timur miliknya.

Page 143: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

119

Kain Timur ini juga hanya merupakan kain tenun biasa, namun yang menjadikannya bernilai lebih adalah pemaknaan yang terdapat dalam kain Timur serta nilai historis yang sangat panjang yang terkandung di dalamnya. Kain ini bukan hanya dijadikan sebagai komoditas perdagangan belaka layaknya kain-kain kerajinan tradisional lain di Indonesia, namun kain ini lebih disakralkan dan memiliki nilai tersendiri. Semakin tua usia kain Timur ini maka akan semakin tinggi pula nilai ekonomi yang terkandung di dalamnya. Karena sangat disakralkan kain ini tidak dipakai sembarangan, kain ini sendiri hanya dipakai dalam beberapa upacara adat di pulau Papua yang diantaranya ialah pernikahan, kematian serta sebagai ganti denda adat. Kain timur juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari kegiatan ritual masyarakat di perkampungan Iguriji, Missin dan Teluhwer.

Menurut Koentjaraningrat (1994), kain Timur pada awalnya adalah kain-kain yang dibawa oleh orang-orang Sulawesi dan orang-orang Maluku yang datang ke Papua untuk mencari burung Cendrawasih. Pada awalnya kain ini digunakan alat tukar dengan burung Cendrawasih, kemudian kain ini juga mulai digunakan sebagai bentuk seserahan dalam upacara perkawinan orang-orang Papua. Pada zaman penja-jahan Belanda perdagangan burung Cendrawasih ini dilarang oleh Belanda, sehingga aliran kain Timur yang masuk ke tanah Papua menjadi terhenti dan jumlahnya men-jadi terbatas. Keadaan ini membuat harga kain Timur melonjak dan menjadi semakin

Berbagai motif kain timur.

Page 144: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

120

mahal. Karena di tanah Papua kain Timur sudah menjadi barang tradisional yang sering dipergunakan sebagai mahar.

Kain Timur pada akhirnya merupakan salah satu media pertukaran bagi masyarakat Papua. Media pertukaran tersebut dapat diartikan secara ekonomi da-lam bentuk perdagangan atau perekonomian, namun dapat pula diartikan sebagai pertukaran sosial untuk saling meningkatkan solidaritas antar kelompok yang dapat menunjukan dan meningkatkan gengsi masing-masing. Media pertukaran untuk me-ningkatkan solidaritas ini biasanya terdapat dalam upacara perkawinan yang sering disebut sebagai mahar.

Memiliki kain Timur merupakan suatu gengsi tersendiri, terlebih jika kain Timur yang dimiliki merupakan kain Timur yang memiliki nilai tinggi dan langka. Sudah dapat dipastikan apabila orang yang memiliki kain Timur seperti iti merupa-kan orang-orang kaya yang memiliki status sosial tinggi pula. Orang-orang Papua membagi kain Timur menjadi 12 jenis yang semuanya memiliki nilai berbeda dan fungsi yang berbeda-beda, dari kedua belas kain timur yang ada kain timur Toba ialah kain timur yang memiliki derajat serta nilai ekonomi yang paling tinggi, ke 12 jenis itu antara lain adalah :

Page 145: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

121

Page 146: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

122

Page 147: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

123

Sumber : Koentjoroningrat. Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Hlm 163-165.

Belanda datang ke tanah Papua sekitar tahun 1900, menurut penelitian Be-landa pertukaran kain Timur yang waktu itu dilakukan oleh masyarakat Papua justru dapat menghambat pembangunan dan juga justru menyengsarakan masyarakat itu sendiri. Salah satu tradisi yang ingin dihilangkan Belanda ialah tradisi pengayauan. Ini adalah suatu tradisi yang intinya ialah berupa perampasan kain Timur dari kelom-pok lain. Dalam tradisi ini banyak menimbulkan kerugian, sehingga hanya akan me-nyengsarakan masyarakat saja. Sehingga Belanda melakukan sebuah rencana untuk menghilangkan peredaran kain Timur sehingga manusia dapat terbebas dari adat yang sangat memberatkan. Belanda sadar bahwa upaya yang dilakukan untuk men-ghilangkan peredaran kain Timur ini sangat berat, upaya menghilangkan peredaran kain Timur ini tidak dapat dilakukan dengan upaya kekerasan. Upaya-upaya dengan jalur kekerasan hanya akan menimbulkan konflik dan masalah baru. Sehingga Be-landa melakukan penelitian untuk dapat menemukan solusi yang tepat. Yaitu sebuah solusi yang dapat membuat masyarakat Papua mau menyerahkan secara sukarela kain Timur yang mereka miliki kepada Belanda, kemudian tradisi-tradisi adat yang merugikan masyarakat dapat hilang dan ditinggalkan. Usaha yang dilakukan oleh Be-

Page 148: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

124

landa ialah dengan cara memanfaatkan cerita keramat yang sudah beredar luas pada masyarakat. Cerita itu adalah

Suatu zaman bahagia yang sesungguhnya akan segera tiba, apabila mereka mampu mengundang nenek moyang mereka yang dahulu pergi untuk merantau ke barat kembali ke tanah Papua. Nenek moyang itu sendiri akan kembali jika manusia mampu dari segala godaan nafsu, keserakahan, sifat menang sendiri dan tindakan yang merugikan orang lain. Maka untuk memudahkan kembalinya nenek moyang yang akan menghan-tarkan pada kebahagiaan sebaiknya benda-benda yang bernilai dibuang dan dimusna-hkan baik dalam realitas maupun pikiran.

(Koentjoroningrat. Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk. Hlm 170-171)

Cerita-cerita yang digunakan Belanda sebagai kampanye untuk menghilang-kan peredaran kain Timur ini berjalan dengan suskes. Orang-orang yang terpengaruh umumnya ialah orang-orang muda yang memiliki pemikiran terbuka, dengan senang hati mereka menyerahkan kain Timurnya kepada Belanda. Bahkan orang-orang ini juga berusaha merayu orang-orang tua yang memiliki pemikiran kolot agar mau me-nyerahkan benda berharganya yaitu kain Timur. Ribuan kain Timur yang berhasil dikumpulkan oleh Belanda tersebut kemudian dibakar. Sejak saat itu pada sekitar tahun 1962 peredaran kain Timur seakan-akan menghilang. Kain Timur memang tak sepenuhnya hilang, tetap saja ada beberapa orang yang tetap menggunakan kain Timur sebagai salah satu benda suci dan keramat yang memiliki nilai tinggi, peng-gunaan kain Timur ini hanya berlaku dalam upacara pernikahan dan kematian. Masih adanya peredaran kain Timur ini karena nampaknya tidak semua orang terutama orang-orang tua menyerahkan kain Timur yang dimiliki semuanya kepada Belanda. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk melestarikan budaya. Penggunaan kain Timur ini nampaknya mendapatkan izin dari Belanda asalkan kain Timur yang dimi-likinya tersebut didaftarkan dan kemudian mendapatkan cap dari Belanda.

Hingga pada awal pemerintahan Indonesia kain Timur yang sebelumnya sempat hilang, kembali marak diperdagangkan. Banyak orang yang mencoba un-tuk meraup keuntungan dengan menjual kain Timur ke Papua, sehingga inilah yang membedakan adanya kain Timur yang asli dan bukan. Kain Timur yang asli adalah

Page 149: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

125

kain Timur yang memiliki nilai historis serta memeiliki usia yang relatif tua. Sedang-kan kain Timur yang bukan asli adalah kain Timur yang baru-baru ini masuk ke tanah Papua dan menjadi sebuah komoditas dagang.

Saat ini penggunaan kain Timur yang paling banyak digunakan dalam upa-cara pernikahan orang Papua. Dalam upacara ini kain Timur berfungsi sebagai ma-har yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Menurut catatan yang ditulis oleh Koentjaraningrat penggunaan kain Timur sebagai mahar ini diyakini baru mulai dipakai saat sebelum perang Pasifik melanda. Sebelumnya inti dari mahar atau mas kawin dalam pernikahan adalah barang-barang perhiasan tradisional yang terbuat dari tulang dan kerang. Karena benda-benda tersebut ada-lah benda yang sangat langka sehingga memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, maka sebelum perang Pasifik digunakan satu unsur baru yaitu kain Timur sebagai pengganti benda-benda perhiasan tradisional yang semakin sulit untuk ditemukan. Sehingga mulai saat itulah mulai banyak digunakan helai kain Timur sebagai salah satu aspek pokok dari mahar yang masih berlaku hingga kini.

Yustus memamerkan kain timur maskawin pernikahannya

Page 150: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

126

Sebagaimana terjadi di masyarakat Papua yang lain, masyarakat perkam-pungan Iguriji, Missin dan Teluhwer juga menggunakan kain timur sebagai mahar pernikahan. Penentuan jumlah helai kain Timur yang digunakan sebagai mahar ini ditentukan oleh keluarga perempuan, biasanya nilainya sesuai dengan jumlah kain Ti-mur yang digunakan ayah dari mempelai perempuan saat melamar ibu dari mempelai perempuan. Jika status sosial mempelai perempuan ini tinggi (kepala suku) maka kain Timur yang diminta ialah kain Timur yang langka dan bernilai tinggi, atau jika dirasa kesulitan maka jumlah kain Timur yang akan semakin banyak. Permintaan dari keluarga mempelai wanita ini jarang sekali mengalami penolakan, hal ini karena ter-kait dengan harga diri dan juga gengsi. Apabila suatu keluarga laki-laki menolak ma-har yang diminta karena tidak sanggup untuk memenuhinya maka keluarga tersebut akan dianggap sebagai keluarga rendahan. Apabila keluarga laki-la-ki tidak mampu untuk memenuhi mahar yang diminta, maka mereka akan me-minta bantuan dari kelu-arga-keluarga dekatnya. Disini peran dari relasi-relasi sosial mulai terpakai untuk memudahkan menda-patkan benda-benda langka tersebut. Adanya hal ini jusru semakin menunjukan kelas sosial dari keluarga mempelai laki-laki, serta kuatnya jaringan atau relasi keluarga mereka.

Sebaliknya keluarga mempelai perempuan juga tidak akan tinggal diam setelah memu-tuskan lembar-lembar helai kain Timur yang harus dibayar sebagai mahar pernikahan anaknya. Me-

Page 151: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

127

reka juga akan mengusahakan mencari hadiah-hadiah serta jamuan yang layak yang digunakan sebagai balasan. Inilah yang membuat pertukaran kain Timur ini sebagai simbol dari solidaritas, semakin tinggi nilai dari kain Timur yang diminta maka bu-kan hanya penghargaan atas struktur sosialnya saja yang naik, namun ikatan-ikatan dan rasa solidaritasnya juga akan meningkat pula. kain Timur merupakan salah satu penghubung dan kontrak tak tertulis antara kedua keluarga yang menikah ini. Selain sebagai mahar dalam perkawinan, dahulu kain Timur juga biasa digunakan dalam acara kematian, sebagai alat untuk membayar denda adat selain itu juga digunakan untuk media-media pertukaran yang lain.

Dikatakan oleh Julian Steward (1964) bahwa alam atau lingkungan bisa mempengaruhi pola kebudayaan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Alam Papua yang cenderung keras namun memiliki kekayaan yang bernilai tinggi telah membuat orang-orang Papua sangat menghargai alam. Hidup mereka sangat bergantung kepada alam, semua peng-etahuan yang mereka miliki

Salah satu keleng-kapan pakaian adat

suku sougb yang dipakai dikepala ter-

buat dari bulu burung cendrawasih.

Page 152: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

128

saat ini ialah proses panjang yang dilalui oleh masyarakat ka-rena tinggal hidup berdampingan secara selaras dengan alam. Alam adalah guru yang paling berharga, dari alam inilah mere-ka belajar tentang kehidupan, pengetahuan, nilai-norma serta kebudayaan. itulah yang membuat orang-orang Papua sangat menghargai alam melebihi segalanya. Sehingga pantas jika barang-barang kerajinan yang terbuat dari tulang atau kerang memiliki nilai tinggi, begitu pula dengan kain Timur. Nilai kain Timur yang sesungguhnya bukan hanya terletak pada nilai-nilai yang nampak seperti bentuk, warna dan motif. Nilai kain Ti-mur lebih sesungguhnya terletak dari nilai historis dan pera-saan bangga mereka terhadap alam.

Keragaman kebudayaan dan kesenian yang ada di Indonesia ini harusnya membuat kita bersyukur dan bangga. Bersyukur karena memiliki kekayaan budaya yang sangat me-limpah dan bangga karena kita menjadi dalah satu bagian yang ada di dalamnya. Bukan perkara mudah untuk melestarikan dan membuatnya tetap ada di bumi pertiwi ini. Tengok saja pada kesenian Reog Ponorogo yang di klaim oleh Malaysia se-bagai salah satu kebudayaannya. Seharusnya generasi kita dapat menjaga serta melestarikan, caranya ialah dengan menghargai kebudayaan bangsa ini. Indah jika semua orang di negeri mau menghargai segala seni yang dimiliki. Menghargai bukan hanya dalam hal nilai ekonomi, namun menghargai dengan sepenuh hati hingga ke jauh lubuk hati yang paling mendalam. Karena jika kamu menghargai Indonesia, maka kelak seluruh Indone-sia akan menghargaimu.

Salah satu kelengkapan pakaian adat suku sougb yang dipakai dikepala terbuat dari bulu burung cendrawasih.

Page 153: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

129

Page 154: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 155: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 156: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 157: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

“Kekayaan ragam ekosistem hutan Papua menyimpan sejuta manfaat dalam dunia

pengobatan”

TULISAN 9“Identifikasi Tanaman Obat Tradisional

Iguriji: Kajian Bioetnografi”

Oleh: Wildan Sayidi

Page 158: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

134

Papua, sebagai tempat yang kaya akan ragam dan jenis ekosistem hu-tan, memiliki biodiversitas tumbuhan penyusun komponen hutan yang sangat beragam. Untuk mengeksplorasi keanekaragaman botani terse-but, konservasi pada tingkat spesies perlu dilakukan sebagai upaya pe-

lestarian habitat asli dari tumbuhan tersebut, terutama ekosistem mangrove yang menjadi ciri khas utama hutan Papua Barat. Selain itu, hasil konservasi diharapkan dapat memberikan informasi seputar manfaat tumbuhan bagi kehidupan manusia, misalnya informasi tentang manfaat tumbuhan sebagai obat tradisional, bahan kon-sumsi, produk olahan makanan, pangan dan produk olahan lainnya.

KKN, sebagai ajang pengabdian mahasiswa kepada masyarakat, saat ini telah berkembang dengan beragam konsep pelaksanaannya di berbagai kampus di Indo-nesia. KKN-PPM UGM Teluk Bintuni 2011 adalah salah satu dari 3 tim/kelompok KKN-PPM UGM yang melaksanakan kegiatan KKN-nya di Pulau Papua. Dalam tim ini, terdapat program kegiatan yang menghasilkan produk berupa informasi je-nis-jenis tanaman lokal yang diduga berkhasiat dalam penyembuhan penyakit ringan. Program kegiatan tersebut bernama: “Identifikasi Tanaman Lokal Sebagai Khasiat Penyembuhan Penyakit Ringan Dalam Kajian Bioetnografi”. Prosedur pelaksanaan dari program ini meliputi 3 tahap utama, yaitu:

1. Survey informasi dari masyarakat sekitar terkait penyakit ringan yang dide-rita dan upaya penanggulangannya

2. Eksplorasi dan sampling tanaman yang diduga dapat menyembuhkan penyakit

3. Identifikasi tanaman sampling berdasarkan taksonomi tumbuhan dan te-laah manfaat dari tumbuhan tersebut

Program ini merupakan langkah pengembangan dari program Penanaman Tanaman Obat Tradisional di Kebun PKK Kampung Iguriji. Kami berinisiatif un-tuk membuat suatu katalog atau buku kecil yang berisi tentang rangkuman dari tana-man obat ditanam di kebun tersebut. Tujuannya adalah untuk memberikan penga-jaran kepada masyarakat umum agar mau membaca dan menulis, dengan harapan buku ini dapat bermanfaat setidaknya bagi warga sekitar Iguriji, khususnya Bintuni.

Page 159: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

135

Berdasarkan hasil identifikasi dan studi pustaka, diperoleh informasi seba-nyak 15 (lima belas) jenis tanaman obat, sesuai dengan data tanaman obat CODATA (Committee on Data for Science and Technology) ICSU Indonesia tahun 2002 yang kami tanam di kebun PKK Kampung Iguriji. Berikut ini adalah kelima belas tanaman obat tersebut.

Tabel 1. Daftar Tanaman Obat yang ditanam di kebun PKK Kampung Iguriji.

Dari kelima belas tanaman tersebut, kami hanya menjelaskan 5 jenis khasiat medis dan informasi ilmiah lainnya. Keliam jenis tersebut adalah.

Page 160: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

136

1. Korkuohek

Korkuohek merupakan nama lokal dari tumbuhan Kumis Kucing. Masyara-kat menyebutnya demikian karena istilah tersebut dalam pelafalannya menunjukkan arti sebagai ekspresi dari seseorang yang perutnya terasa mual-mual karena kesakitan ketika mereka buang air kecil. Secara ilmiah, Kumis Kucing merupakan salah satu jenis tanaman obat yang memiliki khasiat efektif dalam menyembuhkan berbagai jenis penyakit ginjal, terutama diabetes melitus. Di beberapa daerah di Indonesia, tanaman ini dikenal dengan nama remujung, sesalaseyan dan soengot koceng Nama ilmiah dari spesies ini adalah Orthosiphon stamineus dengan varietas yang beragam, termasuk dalam famili Lamiaceae. Berikut ini adalah klasifikasi Kumis Kucing dalam Taksonomi Tumbuhan.

Hampir semua bagian dari tumbuhan ini dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk dikonsumsi. Tumbuhan ini kaya dengan berbagai kandungan senyawa kimia dengan efek farmakologis sebagai anti radang dan peluruh air seni, disebut bersifat diuretic. Masyarakat Iguriji belum sepenuhnya mengetahui dengan baik khasiat dari

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Bangsa : Lamiales

Suku : Lamiaceae

Marga : Orthosiphon

Jenis : Orthosiphon stamineus

Gambar 1. Tanaman Kumis Kucing di Kebun PKK Iguriji

Page 161: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

137

Korkuohek, namun mereka telah memanfaatkannya sebagai penangkal dari sakit perut berupa mual-mual akibat nyeri yang terasa disaat buang air kecil. Masyarakat memanfaatkannya dengan cara merebus beberapa helaian daun kumis kucing hingga warna air rebusan berubah kehijauan. Kemudian mereka meminumnya secara continue setiap hari hingga mereka merasa lega (tidak sakit lagi) disaat buang air kecil.

Berbagai penelitian ilmiah telah banyak membuktikan khasiat kumis kucing dalam menangani berbagai penyakit. Berikut ini beberapa cara sederhana pengolahan kumis kucing yang dapat dipakai untuk pengobatan.

• Infeksi kandung kemih

Sebanyak 5 - 10 helai daun kumis kucing direbus dengan setengah gelas air

dan diminum 2 kali sehari.

• Sakit kencing batu

Sebanyak 4 - 7 helai daun kumis kucing dan 7 buah tanaman meniran direbus

dengan dua gelas air hingga volume tersisa setengahnya. Kemudian diminum 3

kali sehari.

• Encok dan asam urat

Sebanyak 4 - 5 helai daun kumis kucing dan 4 - 5 buah tanaman meniran

direbus dengan air bersih hingga volumenya tinggal setengah bagian. Lalu

diminum beberapa kali sehari sampai pegal-pegal terasa berkurang atau hilang.

2. Hinohukwak

Adalah sebutan yang ditujukan untuk pohon pinang oleh warga Iguriji. Habit unik dan khas dari warga 3 kampung ini salah satunya adalah mengunyah dan mengunyam biji pinang sebagai cara alternatif dalam membersihkan gigi. Areca catechu, nama ilmiah dari tanaman ini, merupakan salah satu diantara ratusan jenis famili Palmae, yang daerah penyebarannya cukup luas di Indonesia.

Secara Taksonomi, klasifikasi pinang dalam hierarki Kingdom Plantae dapat dilihat berikut ini,

Page 162: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

138

Pinang merupakan tanaman serba guna, khasiatnya telah terbukti secara il-miah, seperti bermanfaat sebagai ramuan obat, bahan baku industri, bahan bangu-nan, dan tanaman pagar yang sangat prospektif dan banyak diminati untuk dikem-bangkan menjadi ladang bisnis. Biji pinang berkhasiat sebagai obat cacing, obat luka paru, peluruh haid dan pelangsing tubuh karena mengandung senyawa kimia alka-loid dan flavonoid. Namun sejauh ini masyarakat belum bisa memanfaatkannya se-cara penuh untuk keperluan farmasi. Masyarakat menggunakan pinang masih seba-tas sebagai ”jajanan” dan ”cemilan” rutin sehari-hari. Jika mereka tidak mengunyah pinang walaupun hanya sekali dalam sehari, mereka akan merasa tidak nafsu makan.

Bagian pohon pinang yang bermanfaat dalam peranan kesehatan adalah.

1) Air rebusan dari biji pinang digunakan untuk mengatasi penyakit seperti: haid dengan darah berlebihan; hidung berdarah (mimisan); koreng; borok; bisul; ek-sim; kudis; difteri; cacingan (kremi, gelang, pita, tambang); mencret dan disentri oleh masyarakat desa Semayang Kutai-Kalimatan Timur Selain itu digunakan juga untuk mengatasi bengkak karena retensi cairan (edema), rasa penuh di dada, luka, batuk berdahak, diare, terlambat haid, keputihan, beri-beri, malaria, memeperkecil pupil mata.

2) Biji dan kulit biji bagian dalam dapat juga digunakan untuk menguatkan gigi

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Monocotyledoneae

Bangsa : Arecales

Suku : Palmae

Marga : Areca

Spesies : Areca catechu

Gambar 2. Pohon Pinang yang telah berbuah di hutan sekitar Kampung Iguriji

Page 163: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

139

goyah, bersama-sama dengan sirih. Hal ini telah ditunjukkan sebagaimana hal-nya dengan yang dilakukan oleh warga Bintuni dan masyarakat Papua pada umumnya.

3) Selain sebagai obat penguat gigi, masyarakat pesisir pantai desa Assai dan Yoon-noni, yang didiami oleh suku Menyah, Arfak, Biak dan Serui, menggunakan biji pinang muda sebagai obat untuk mengecilkan rahim setelah melahirkan oleh kaum wanita dengan cara memasak buah pinang muda tersebut dan airnya diminum selama satu minggu.

3. Merimuncumohok

Sebelum dilakukan pengolahan kebun, tumbuhan asli yang terdapat di ke-bun PKK Iguriji adalah sereh. Sereh merupakan tumbuhan sejenis rumput-rumpu-tan yang memiliki banyak khasiat dalam pengobatan yang telah dikenal sejak lama oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat di sekitar Iguriji menyebut sereh dengan is-tilah lokal Merimuncumohok. Orang Papua memang dikenal dengan orang yang paling mudah memberikan istilah atau sebutan terhadap sesuatu agar memudahkan mereka dalam mengingatnya. Merimuncumohok telah digunakan oleh warga Iguriji untuk ba-han keperluan dapur. yakni sebagai bumbu dapur dan penyedap rasa karena wangi-nya yang harum. Secara ilmiah, fungsi sereh sebagai khasiat penyembuhan penyakit adalah anti inflamasi, diaforetik, antipiretik (penurun panas) dan analgesik. Namun warga masih belum mengetahui khasiat ilmiah tersebut. Teknik sederhana dalam memanfaatkan sereh untuk pengobatan menghangatkan badan adalah dengan cara: Sebanyak 5 gram akar segar Merimuncumohok, dicuci dan direbus dengan 1 gelas air selama 15 menit. Kemudian diminum 2 kali sehari masing-masing setiap harinya sebanyak 1/2 gelas di waktu pagi dan sore.

Selain sebagai bumbu dapur, sereh juga dapat dibuat minyak (minyak sereh) dan sebagai obat gosok atau pewangi pada sabun mandi. Untuk menghasilkan mi-nyak sereh murni, daunnya diproses secara ekstraksi untuk mendapatkan campuran alkohol dan minyak sereh. Selanjutnya tahap distilasi untuk memisahkan campu-ran diantara keduanya. Sifat khas aroma dan rasa yang dimiliki adalah tajam dan menghangatkan Awalnya kami berencana untuk melaksanakan ide tersebut sebagai

Page 164: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

140

program, namun karena kendala waktu kami mengurungkan ide tersebut untuk di-realisasikan namun setidaknya kami menuliskannya dalam artikel ini.

Nama ilmiah sereh adalah Cymbopogon nardus. Secara Taksonomi, klasifikasi sereh dalam hierarki Kingdom Plantae dapat dilihat berikut ini,

Berikut ini adalah langkah-langkah mudah memanfaatkan sereh untuk

1) Badan terasa pegalSebanyak 600 gr batang sereh segar beserta akarnya direbus dengan air. Air re-busan tersebut digunakan untuk mandi dan gunakanlah disaat air masih hangat.

2) Obat batukSebanyak 600 gr sereh segar dikeringkan lalu direbus dengan air secukupnya dan diminum.

3) Nyeri atau ngiluTanaman sereh yang telah disuling diambil minyak atsirinya. Minyak sereh ini di-

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Bangsa : Cyperales

Suku : Poaceae

Marga : Cymbopogon

Spesies : Cymbopogon nardus

Gambar 3. Sereh, tumbuhan asli yang terdapat di kebun PKK Iguriji

Page 165: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

141

gosokkan pada bagian yang sakit. Selain itu, bisa juga batang sereh segar direbus dengan sedikit air dan dioleskan pada sendi yang ngilu.

4. Nyetkunfok

Istilah ini sangat terdengar aneh dan asing ditelinga kami saat Bapak Dominggus, seorang warga Iguriji yang mengerti tanaman-tanaman liar di hutan, menyebutnya pada suatu tanaman rempah yang sudah kami kenal, yaitu tanaman kunyit. Nyetkunfok, jika kami tidak salah dengar dan menuliskannya, adalah sebu-tan warga Iguriji yang ditujukan pada tanaman yang biasa mereka gunakan untuk pewarna makanan dan bumbu masakan. Secara ilmiah, kunyit telah banyak terbukti memberikan khasiat dalam mencegah berkembangnya berbagai penyakit tubuh sep-erti tifus, disentri, tidak lancar haid dan sebagainya.

Karena warga belum mendapatkan pengetahuan tentang hal tersebut, warga masih memanfaatkan kunyit hanya sebatas ruang lingkup dapur, yakni untuk keper-luan memasak. Namun saat kami mencoba ‘masuk’ ke permasalahan masyarakat, kami memperoleh informasi bahwa Nyetkunfok pun dapat mengobati luka fisik atau kulit yang terluka koyak sebagai penghenti darah. Dalam menanggapi fenomena unik ini, kami benar-benar ingin mengangkat permasalahan tersebut menjadi suatu program kegiatan KKN berupa Sosialisasi atau Penyuluhan dan kegiatan sejenisnya yang berisi pengajaran kepada masyarakat tentang cara penyembuhan berbagai pe-nyakit sederhana dengan memanfaatkan tanaman obat di kebun kampung. Namun ide tersebut masih sebatas konsep karena waktu kerja kami di lapangan sangat terba-tas, sehingga rencana yang kami anggap cukup matang tersebut belum juga tereali-sasikan. Walaupun demikian, setidaknya kami mampu mewujudkannya dengan cara lain, salah satunya adalah dengan membuat buku mini foto-herbarium ini.

Di berbagai buku Taksonomi Tumbuhan, istilah nasional Kunyit dalam ba-hasa latin dikenal dengan sebutan Curcuma longa. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam ilmu Sistematika makhluk hidup, secara umum nama ilmiah terdiri dari dua kata dengan kata pertama adalah nama genus/marga dan kata terakhir merupakan penunjuk spesies (epiteton spesificum). Setiap individu makhluk hidup mempunyai nama

Page 166: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

142

ilmiahnya masing-masing. Tujuan dari penamaan tumbuhan secara internasional ini adalah untuk menyatakan bahwa sustu jenis tumbuhan yang sudah teridentifikasi dapat dikenal secara sama dan sepakat di seluruh dunia. Lembaga yang menangani ilmu ini adalah Konferensi Internasional Tatanama Tumbuhan.

Letak kunyit dalam kategori takson tatanama tumbuhan dapat dilihat dalam format klasifikasi berikut.

Kunyit mempunyai efek farmakologis berupa melancarkan darah dan vital energi, menghilangkan penyumbatan, memudahkan buang angin, menstabilkan haid, sebagai anti radang (anti-inflamasi), mempermudah persalinan, antibakteri, memper-lancar pengeluaran empedu (kolagogum), sebagai stimulus semangat, mengurangi rasa lelah, antikejang, serta antioksidan. Berikut ini adalah beberapa cara sederhana dalam mengolah kunyit untuk dikonsumsi sebagai penyembuh penyakit.

• DemamRimpang kunyit seberat 20 gr dicuci dan dibersihkan. Kemudian diparut dan

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Curcuma

Spesies : Curcuma longa

Gambar 4. Nyetkunfok dewasa di kebun PKK Iguriji

Page 167: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

143

ditambahkan air matang sebanyak 100 ml. Selanjutnya diperas dengan saringan kain dan air perasan tersebut diminum 2 kali sehari, pagi dan sore.

• DiareSebanyak 10 gram rimpang kunyit direbus dengan 200 ml air sampai volume air tersisa 70 ml. Lalu tambahkan satu sendok teh air kapur sirih dan aduklah sampai rata. Setelah rebusan mendingin, saring airnya dan minumlah sehari 3 kali.

• Eksim dan borok (obat luar)Parut rimpang kunyit tua sebesar ibu jari, tambahkan satu sendok teh air kapur sirih, dan perasan 1 buah air jeruk nipis, lalu aduk sampai rata. Oleskan campuran tersebut pada tubuh yang sakit.

• Gatal cacar air (obat luar)Cuci bersih segenggam daun asam dan sepotong bonggol kunyit, lalu giling (blender) halus sampai menjadi adonan seperti bubur. Oleskan adonan pada bagian tubuh yang terasa gatal.

5. Aurkwes

Istilah nasional Jahe (merah) merupakan maksud dari ucapan Bapak Dominggus dalam menyebut tanaman Aurkwes. Begitu beliau melafalkannya, seketika itu kami simak baik-baik dan mencatatnya dengan hasil kata Aurkwes (semoga kami tidak keliru). Kita semua tahu tentang tanaman Jahe dan kita juga memahami fungsi serta manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari. Peranan Jahe bagi masyarakat Kampung Iguriji dan sekitarnya masih setara atau sederajat dengan Kunyit, yakni sebatas untuk keperluan dapur. Namun informasi khasiat medis Jahe telah dikenal oleh warga secara coba-coba atau otodidak. Berbagai penelitian menerangkan bahwa Jahe merah telah digunakan secara luas dalam pengobatan tradisional di China. Dikatakan bahwa Jahe merupakan pengobatan Yang dan sangat membantu peran limpa kecil, perut/lambung dan ginjal (terutama bagi pria). Jahe juga diklasifikasikan sebagai aphrodisiac (zat perangsang) dan pengobatan yang baik untuk impotensi, migrain, pusing-pusing, melancarkan peredaran darah, memperbaiki pencernaan, perut kembung, memecah gas dalam perut, encok & pegal linu, masuk angin, influenza dan kemungkinan lain efek antihistamin pada jahe yang menyebabkan asma mereda.

Page 168: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

144

Nama ilmiah Aurkwes adalah Zingiber officinale. Secara Taksonomi, klasifikasinya dalam hierarki Kingdom Plantae dapat dilihat seperti berikut

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Zingiber

Spesies : Zingiber officinale

Berikut ini adalah penjelasan sederhana pengolahan jahe untuk pengobatan penyakit ringan.

Page 169: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

145

6. TemulawakCukup banyak ragam tanaman obat yang kami tanam di kebun PKK Iguriji.

Salah satunya adalah Temulawak. Saat kami bertanya kepada Bapak Dominggus perihal nama lokal dari temulawak, beliau menjawab tidak tahu, temulawak tidak bernama, mereka menganggapnya sama dengan jahe dan kunyit. Namun warga juga percaya temulawak memiliki khasiat pengobatan yang tak kalah dengan jahe, kunyit dan sereh. Warga belum membuktikannya secara jelas, sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa setiap tanaman yang tidak membahayakan yang ada di hutan pasti memiliki khasiat dalam pengobatan.

Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu (tidak nyata seperti pohon kayu besar). Di daerah penulis (Jawa Barat), temulawak disebut dengan istilah koneng gede, di Madura disebut sebagai temu lobak dan juga di daerah lain dengan istilah yang Bergama. Kawasan Indo-Malaysia merupakan tempat dari mana temulawak ini menyebar ke seluruh dunia. Tidak sedikit penelitian yang telah terpublikasikan menjelaskan manfaat medis dari temulawak. Bagian temulawak yang biasa dimanfaatkan adalah rimpangnya. Sebagian besar pedagang jamu keliling pasti menyediakan jamu temulawak atau jamu godog. Rimpang ini mengandung 48-

Page 170: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

146

59,64 % zat tepung, 1,6-2,2 % kurkumin dan 1,48-1,63 % minyak asiri. Komposisi ini dipercaya dapat meningkatkan kerja ginjal serta berperan sebagai anti inflamasi. Manfaat lain dari rimpang tanaman ini adalah sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, anti inflamasi, anemia, anti oksidan, pencegah kanker dan anti mikroba. Jadi, giat-giatlah minum jamu temulawak demi kesehatan kita.

Kajian taksonomi tumbuhan menerangkan bahwa informasi klasifikasi dari temulawak adalah sebagai berikut.

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Curcuma

Spesies : Curcuma xanthorrhiza

Gambar 6. Tanaman temulawak dan rimpangnya di kebun PKK Iguriji

Program Tanaman Obat Kampung Iguriji dan Rangkuman Mini Foto-Her-barium ini merupakan kegiatan yang masih dianggap bernilai kecil jika ditilik dari segi kualitas atau bobot produk secara komersil. Namun tujuan dari penulisan se-derhana ini adalah tidak lain dan tidak bukan untuk memenuhi tanggung jawab kami sebagai mahasiswa dalam mengabdi kepada masyarakat atas pengetahuan dan ilmu yang sedikit telah kami pelajari di bangku kuliah. Dasar tri darma perguruan tinggi harus dijunjung penuh oleh semua pihak dan elemen masyarakat demi terwujudnya kehidupan bangsa yang sejahtera. Kegiatan KKN-PPM UGM ini merupakan sa-lah satu contoh kecil dari apresiasi kami dalam mengabdi kepada masyarakat Indo-nesia, khususnya Papua dan terutama produk KKN kami menjadi suatu masterpiece

Page 171: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

147

yang bisa men-suistanable-kan kegiatan KKN ini oleh adik-adik kelas kami. Prinsip berkesinambungan, sukarela, pendidikan dan norma mulia lainnya akan tetap kami pegang teguh dalam melaksanakan kegiatan KKN demi tujuan baik yang istiqomah.

Akhir kata, semoga semua hasil dari KKN ini benar-benar bermanfaat bagi masyarakat Bintuni dan siapapun yang membutuhkan. Banyaknya kesalahan yang terdapat didalamnya bukanlah menjadi tolak ukur atau level nilai yang harus disan-dang oleh tulisan ini. Namun sedikit faktor kebaikan dalam tulisan inilah yang harus diperhatikan dan diambil hikmahnya untuk kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Tekno-logi. Terima kasih, semoga semua harapan kebaikan atas kita dapat terwujud bersama demi Indonesia tercinta.

Page 172: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 173: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

”Masa transisi yang sedang dialami oleh masyarakat lokal di Teluk Bintuni turut

menyentuh dalam tataran pengolahan dan konsumsi pangan keseharian”

TULISAN 10Transisi Pengolahan Makanan Tradisional

Teluk Bintuni

Oleh: Aprilia dan Maria Septiyana

Page 174: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

150

Minimnya sumber informasi dan etnografi seputar Kabupaten Teluk Bintuni mengakibatkan ketidaktahuan masyarakat terhadap wilayah geografis maupun

masyarakat Teluk Bintuni merupakan sebuah wilayah pemekaran dari kabupaten Manokwari. Wilayah ini memiliki potensi sumber daya alam, kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat yang sangat besar. Oleh karena itu diperlukan informasi yang memadai tentang Teluk Bintuni. Melalui tulisan ini diharapkan kabupaten Teluk Bintuni akan lebih dikenal masyarakat Indonesia secara luas. Aspek khusus yang dipaparkan dalam tulisan ini adalah makanan khas warga asli Teluk Bintuni.

Wilayah Teluk Bintuni memiliki vegetasi hutan yang luas yang menjadi sumber kehidupan masyarakat. Disamping kekayaan lautnya yang juga sangat luas. Hal ini tergambarkan dalam lambang kabupaten Teluk Bintuni yaitu daratan dan gunung melambangkan kekayaan hasil hutan dan mineral. Kehidupan mereka yang sederhana, teramat mencintai tanah

Dua orang perem-puan Papua duduk

dipinggir sungai mencari ikan

untuk pemenuhan makanan.

Page 175: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

151

dan alam sekitar dengan cara mereka sendiri merupakan kearifan lokal yang tak ternilai. Hasil hutan dan ladang yang meliputi air, flora dan fauna merupakan sumber pangan mereka. Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pegunungan, sistem

perladangan yang digunakan hingga kini masih sistem ladang berpindah dan tebang pilih tanaman. Ladang mereka hanya memiliki varian tanaman yang sedikit sebagai pendukung dalam keberlangsungan hidup mereka. Mereka hanya menanam umbi-umbian, jagung, kacang dan sayuran. Minimnya varian tanaman yang mereka tanam di ladang sebagai sumber kehidupan mereka yang masih tradisional dan sederhana menyebabkan variasi makanan lokal yang menjadi makanan tradisional terbatas pada ubi jalar (petatas), singkong (kasbi), talas (keladi), daun melinjo (genemon), daun gedi, dan papeda (terbuat dari sagu termasuk makanan tradisional dari Bintuni) sebagai makanan sehari-hari mereka.

Kehidupan mereka yang sederhana dan tradisional masih tetap bertahan walaupun mereka juga telah menjadi tarjet pasar bagi produk-produk industri modern, tidak terkecuali dalam hal pengolahan makanan. Melalui sosialisasi dan pembauran masyarakat asli dengan warga pendatang yang banyak membawa perubahan, masyarakat kampung sudah semakin maju namun masyarakat tidak juga melupakan kehidupan tradisional warisan nenek moyang mereka. Teknik memasak merekapun masih sangat sederhana dengan tidak menggunakan bahan-bahan kimia termasuk penggunaan kecap, saos dan meminimalisir penggunaan minyak goreng, sehingga banyak makanan yang hanya direbus. Pengolahan ikan dan daging seperti ayam, rusa dan babi pun hanya dengan direbus. Walaupun mereka cukup mengenal

Jagung sebagai salah satu hasil ladang masyarakat kampung lokal di Bintuni

Page 176: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

152

makanan instan namun yang menjadi makanan pokok adalah umbi-umbian dan pengolahan buah merah menjadi minyak buah merah.

Pola kehidupan masyarakat Teluk Bintuni dipengaruhi oleh faktor geografis dimana mereka dulu berasal dan kini bertempat tinggal. Relokasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni menjadikan warga kampung berada dalam kehidupan transisi di setiap aspek kehidupan. Mereka kemudian bersosialisasi dan beradaptasi dengan warga pendatang dan lingkungan sekitar yang baru. Pola kehidupan masyarakat asli yang mengandalkan hasil hutan dengan cara berburu di hutan, sedikit meramu dan bercocoktanam, kini mengalami peruahan. Pengolahan bahan pangan berbahan baku lokal semakin bervariasi dan berkembang. Kini mereka mampu menghasilkan produk olahan seperti dendeng rusa, dendeng babi dan sagu lempeng yang terbuat dari papeda. Produk-produk olahan ini banyak dijumpai di pasar. Olahan tersebut menjadi makanan khas Bintuni.

Pada dasarnya makanan khas Teluk Bintuni tidak jauh berbeda dengan makanan tradisional masyarakat Indonesia bagian timur lainnya. Misalnya, olahan dari bahan sagu berupa papeda yang dapat ditemukan di daerah Maluku dan sebagian besar wilayah Papua. Papeda juga merupakan makanan khas terutama bagi mereka yang tinggal di pesisir pantai teluk Bintuni. Papeda merupakan produk

Keladi sebagai salah satu makanan pokok masyarakat lokal

Page 177: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

153

olahan lokal yang unik. Bagi tiga juta rakyat Papua, papeda merupakan makanan pokok seperti halnya nasi bagi masyakarat Jawa, Sumatra dan Kalimantan.1 Bentuknya seperti bubur halus dan kenyal. Sajian papeda biasanya dilengkapi dengan kuah, sayuran maupun lauk pauk. Biasanya digunakan sayur kangkung dan lauk ikan merah atau daging. Papeda biasanya dimakan dengan kuah ikan kuning dan paling enak dinikmati panas-panas. Kuah kuning sendiri merupakan kekayaan kuliner Indonesia yang lain dari Indonesia bagian Timur. Terbuat dari ikan tongkol yang dibumbui dengan rempah kunyit, jeruk nipis dan cabe rawit, kuah kuning terlihat sangat segar.2

Papeda adalah sumber karbohidrat yang bernilai sama dengan nasi yang berbahan baku beras. Sebagaimana halnya dengan nasi, papeda dimakan lengkap bersama lauk-pauk yang lain. Cara mengambil Papeda menggunakan sumpit yang dipegang oleh kedua tangan, diputar dengan cepat sehingga menyerupai gulungan, terputus dari gumpalan papeda yang ada dimangkok, kemudian dituang dalam piring, serta diberi kuah ikan kuning. Bagi orang yang sudah terbiasa, cara memakannya sebagaimana orang memakan bubur ayam, bisa langsung ditelan karena sangat kenyal seperti lem. Namun bagi orang luar Papua yang baru belajar makan papeda, disarankan agar mengambil Papeda sedikit saja, langsung diberi kuah ikan kuning, didorong ke mulut dan langsung ditelan tanpa dikunyah.

Papeda terbuat dari sagu dengan proses pembutan tidak cukup mudah. Dimulai dengan menebang pohon sagu, membelah batang pohon sagu, mengerok bagian dalam batang sagu, mengaduk dan menyaring hasil kerokan tersebut untuk

1 http://longjournal.wordpress.com/2011/10/22/kitorang-makan-papeda/2 http://papua.site11.com/tugas/news.php?readmore=2

Warga kampung dengan buah merah. Buah merah, tanaman endemik tanah timur.

Page 178: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

154

menghasilkan cairan dan endapan tepung sagu. Tepung sagu ini kemudian dimasak menjadi papeda atau menjadi makanan lain. Inilah yang bisa dijadikan komoditas yang cukup bernilai jual tinggi, selain untuk konsumen lokal papeda juga dicari oleh orang-orang yang berasal dari luar Papua. Wilyah Papua diyakini memiliki hamparan tanaman sagu yang luas di Indonesia dengan bibit yang cukup baik. Disamping kehidupan masyarakat yang masih tradisional dan bergantung dengan alam, pengolahan bahan makanan pun masih sederhana pula tanpa bantuan mesin-mesin industri.

Makanan khas lainnya yang ada yaitu biskuit sagu. Orang-orang Papua asli lebih sering menyebut biskuit sagu itu sebagai sagu lempeng karena bentuknya seperti lempengan. Sagu lempeng tersebut bisa bertahan lebih dari satu minggu karena teksturnya yang keras. Cara pembuatan sagu lempeng ini menggunakan tepung sagu melalui proses pembakaran di dalam cetakan yang terbuat dari batu atau tanah liat yang disebut dengan forna sehingga menghasilkan lempengan sagu berwarna kecokelatan. Seiring perkembangan jaman kini sagu lempeng tidak hanya berwarna kecokelatan saja, ada juga yang berwarna merah muda agar tampilannya lebih menarik. Sagu lempeng biasanya dimakan sebagai camilan ringan, penyajian sagu lempeng akan lebih nikmat dengan dicelupkan ke dalam secangkir teh atau kopi panas agar lebih kenyal dan memudahkan saat mengunyahnya.

Papeda, makanan khas Papua, terbuat dari sagu dan kuah ikan.

Page 179: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

155

Hal lain yang juga menarik dari kehidupan masyarakat asli Teluk Bintuni adalah kebiasaan sehari-hari mereka mengonsumsi buah pinang, dimana kebiasaaan ini dilakukan baik oleh kaum laki-laki maupun perempuan dewasa dimanapun dan kapanpun sebagai sebuah tradisi. Mengonsumsi buah pinang sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh warga Papua saja karena kebiasaan ini juga terdapat di wilayah Indonesia lain. Kebiasaan ini banyak dilakukan pada masyarakat yang pola hidup penduduknya masih tradisional yang saat ini sudh semakin berkurang sehingga kebiasaan tersebut sudah banyak ditinggalkan masyarakat Indonesia.

Bagi masyarakat Papua umumnya, pinang muda digunakan bersama dengan buah sirih untuk menguatkan gigi. Selain sebagai obat penguat gigi, masyarakat pesisir pantai desa Assai dan Yononi, yang didiami oleh suku Menyah, Arfak, Biak dan Serui (Papua), biji pinang muda digunakan sebagai obat untuk mengecilkan rahim setelah melahirkan oleh kaum wanita dengan cara memasak buah pinang muda tersebut dan airnya diminum selama satu minggu (Kristina dan Syahid, 2007).3

Mengkonsumi buah pinang bukan berarti memakan buah pinang namun hanya dengan mengunyah untuk mendapatkan rasa asam dan pahit dari sari pinang. Cara mengonsumsi buah pinang tersebut biasanya bersama dipadukan dengan buah sirih dan kapur. Hasil dari pengunyahan campuran tiga bahan tersebut dan air ludah akan menghasilkan warna merah. Warna merah tersebut bertahan lama dan menempel di bibir orang yang sering makan pinang. Konon menurut orang Papua, dengan mengkonsumsi pinang 2-3 kali sehari, dapat menyebabkan gigi dan gusi menjadi kuat, dan mereka menyakini bahwa pinang tersebut lebih ampuh daripada

3 https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:VfUdRC0kvFMJ:repository.usu.ac.id/bit-stream/123456789/18853/4/Chapter%2520II.pdf+buah+pinang+papua&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid-=ADGEEShjxYpB1LategHGvrdadApd-VKmtuCAA2Gc-pcrb0dvTE3rf8nDG7WzqDEcgASzBYZgDvNL4fT6s4Y-FkG26fq74gvmIbaFgcy7NNr68fQwxFFI0WnRzgV2JYu7GhqVzMXK8TUIJ&sig=AHIEtbRWYfejUukciYCZLWlctYy9S-GHyw

Roti yang terbuat dari sagu.

Page 180: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

156

segala jenis pasta gigi apapun. Terbukti, seseorang disana yang sudah lanjut usia saja tetap memiliki gigi dan gusi yang kuat.4 unsur daun sirih selain bermanfaat untuk menguatkan gigi juga dapat memberikan efek nafas yang segar.

Kebiasaan mengunyah biji buah pinang merupakan salah satu cara dalam tatanan pergaulan dan interaksi sosial antara masyarakat, orang yang gemar mengunyah biji buah pinang dianggap sebagai orang yang hangat dalam bergaul. Kebiasaan ini merupakan suatu keunikan tersendiri. Namun kebiasaan makan pinang tersebut juga menimbulkan efek buruk pada lingkungan, karena kebiasaan ini juga diikuti dengan kebiasaan warga membuang ludah disembarang tempat sehingga menimbulkan bercak merah dimana-mana termasuk tempat-tempat umum, jalan bahkan dinding rumah mereka sendiri. Karena memakan buah pinang telah menjadi sebuah tradisi tersendiri bagi masyarakat lokal di kampung-kampung, maka memang agak sulit untuk menerapkan larangan memakan buah pinang. Hal yang dapat dilakukan adalah memberi anjuran agar membiasakan diri tidak membuang ludah secara sembarangan.

4 http://beritadaerah.com/budaya/papua/12077/24

Pinang merupakan buah yang bijinya sering dikunyah masyarakat papua.

Page 181: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

157

Page 182: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 183: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

“Ketika sarana seremonial ‘spirit’ menjadi sebuah gaya hidup. Dan ketika hampir setiap

waktu senggang saat pemuda dan bapak-bapak berkumpul siang atau sore hari di kampung,

CT (Cap Tikus) atau minuman kaleng Beer akan selalu ada menemani canda tawa mereka”

TULISAN 11“Perkara Pesta Pora, Minuman Keras, dan

Konsumerisme”

Oleh: Angger Tondo Asmoro

Page 184: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

160

Aku nggak butuh uang ribuan, yang aku mau uang merah cepe-an

Aku nggak butuh kedudukan, yang penting masih ada lahan tuk makan

Asal ada babi untuk dipanggang, asal banyak ubi untuk ku makan

Aku cukup senang, aku cukup senang dan akupun tenang…1

Dengan syair lagu yang khas SLANK telah memberikan kita sebuah gambaran mengenai situasi dan kondisi masyarakat Lembah Baliem di Papua dan khususnya menggambarkan bagaimana cara pandang orang-orang Papua terhadap irama kehidupan keseharian mereka.

Jika dimaknai secara lebih dalam, syair dalam lagu itu sekaligus menggambarkan pandangan masyarakat Indonesia secara keseluruhan terhadap orang-orang Papua dengan berbagai stigma yang melekat terhadap mereka. Ciri yang sangat khas yakni keterikatannya yang sangat kuat terhadap alam telah terpatri dalam jiwa mereka dan tidak akan pernah lepas, selama alam masih ada maka mereka akan tetap hidup ber-dampingan dengan alam dengan kearifan lokal yang mereka miliki.

Pikiran dan pemahaman masyarakat Papua terhadap alam menghasil-kan produk kebudayaan yang secara turun-temurun diturunkan kepada generasi penerusnya, berbagai ritus dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari atau sik-lus kehidupan mereka, mulai dari kelahiran, menginjak dewasa, pernikahan, pembu-kaan lahan, penanaman ladang, hingga kematian. Misalnya, pesta ulang tahun yang menurut mereka harus diadakan setiap tahun dengan biaya yang tidak sedikit, walau-pun pada dasarnya mereka hidup dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan, menurut pendapat mereka pesta tersebut merupakan ucapan rasa syukur terhadap Tuhan atas kesehatan yang telah diberikan dalam satu tahun tersebut. Namun dalam ritus-ritus tersebut tidak jarang hanya bersifat pesta pora dan tentunya didalamnya disertai mi-num minuman keras tradisional (arak) tetapi tetap terdapat nilai yang terkandung didalamnya.

Misalnya jika kita bandingkan dengan pada masyarakat Bali, arak Bali dikenal sebagai media dalam menjalankan upacara-upacara adat. Dalam upa-

1 Dikutip dari lagu milik SLANK berjudul Lembah Baliem dalam Album Virus tahun 2001

Page 185: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

161

cara menghormati para dewata arak akan dituangkan ke daun pisang yang sudah dibentuk seperti tangkup dan kemudian arak akan dicpiratkan tangan kanan dengan bantuan sebuah bunga, dalam upacara persembahan setiap hari arak juga dise-diakan bersama dengan aneka sesaji yang diletakkan didalam pura. Namun arak-arak untuk upacara adat biasanya dipilih yang memiliki mutu rendah karena arak terbaik akan dimi-num. Pada sejarahnya memang minuman keras dipakai oleh masyarakat Mesir kuno untuk “berdialog” dengan lehuhur, ini menunjukkan bahwa minuman menjadi “spirit” untuk mende-katkan diri terhadap leluhur. Lalu bagaimana halnya dengan masyarakat Papua dalam memaknai minuman keras? Dengan kata lain pertanyaan yang menarik untuk dikembangkan ada-lah apa sesungguhnya alasan mereka sehingga banyak di antara mereka menyukai minuman keras? Berikut hasil pengamatan penulis selama KKN di Kabupaten Teluk Bintuni, khususnya ketika berinteraksi dengan masyarakat di Kampung Iguriji.

Suasana keriuhan dan kehangatan dalam pesta diiringi music dan lagu.

Page 186: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

162

Jenis Minuman Keras dan Gaya Hidup

Pada dasarnya setiap daerah di Nusantara memiliki sebuah kekhasan dalam menghasilkan minuman tradisional yang bersifat memabukkan, misalnya Bali mengenal arak Bali, Yogyakarta mengenal Pajeksan atau Lapen, Surakarta menge-nal Bekonang, Magelang dan sekitarnya mengenal CIU, Sema-rang mengenal Chongyang, perbedaan minuman tradisional ini hanya pada bahan baku yang digunakan. Proses produksi minuman keras secara tradisional menggunakan bahan air be-ras yang disuling kemudian dicampur dengan kulit kayu nipah sebagai penguat fermentasi, proses selanjutnya didiamkan se-lama 3 atau 4 hari sehingga menghasilkan minuman fermen-tasi yang bersifat memabukkan, kemudian dikemas dan diberi dengan label tertentu, masyarakat Papua sering menyebutnya dengan CT (Cap Tikus) yang mudah ditemukan dengan harga kurang-lebih Rp. 50.000. Cap Tikus merupakan minuman keras dari Manado hasil penyulingan Sagoer. Sagoer sendiri adalah cairan yang disadap dari pohon enau dan mengandung sedikit kadar alkohol sekitar 5%. Setelah disuling dengan cara

Minuman keras bi-asanya tersaji saat warga berkumpul

di para-para (tem-pat duduk papan

yang berada di halaman rumah).

Page 187: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

163

tradisional, minuman khas Minahasa pada awalnya berfungsi sebagai pendorong ker-ja untuk kalangan petani. Sejak dulu pula dikenal pameo di masyarakat menyangkut Cap Tikus, minum satu seloki Cap Tikus, cukup untuk menambah darah, dua seloki bisa masuk penjara, dan minum tiga seloki bakal ke neraka.

Minuman keras lokal lain yang cukup terkenal di Kabupaten Teluk Bintuni adalah Sopi, Sopi merupakan minuman keras asal Maluku, minuman ini diperoleh dari hasil fermentasi air pohon aren dan memiliki kadar alkohol diatas 50%. Pem-buatan Sopi yang menghasilkan rasa khasnya adalah penambahan bubuk akar Hu-sor dan penggunaan bambu untuk penyulingan. Disamping minuman keras lokal, Bintuni juga terdapat beberapa merk minuman keras berkaleng seperti Beer Bintang dan Anker Beer yang harganya cukup mahal dari warung-warung kecil pengecer, satu kaleng bisa mencapai Rp. 35.000, hal ini disebabkan oleh tingginya pajak minuman beralkohol serta proses distribusi yang sulit dan tentunya tingginya tingkat permin-taan akan barang tersebut.

Peredaran minuman keras branded ataupun minuman lokal (Milo) di Kabu-paten Teluk Bintuni ini biasanya dibawa oleh para anak buah kapal yang masuk ke wilayah Kabupaten Teluk Bintuni bersama pasokan bahan makanan serta barang-barang dagangan, jadwal masuknya kapal menjadi jadwal rutin masuknya minuman keras ke wilayah Kabupaten Teluk Bintuni. Pelabuhan tempat sandarnya kapal putih atau penduduk setempat menyebutnya dengan Jeti menjadi tempat favorit untuk transaksi dan mengkonsumsi minuman keras, kita dengan mudah mendapatkan para kumpulan orang atau para kuli angkut barang setengah sadar dalam menjalankan pekerjaan dan tentunya dengan mulut beraroma khas minuman keras lokal.

Ketika sarana seremonial “spirit” ini menjadi sebuah gaya hidup, tentu gaya hidup adalah salah satu bentuk budaya konsumen. karena memang, gaya hidup sese-orang hanya dilihat dari apa-apa yang dikonsumsinya, baik konsumsi barang atau jasa. Secara literal, konsumsi berarti pemakaian komoditas untuk memuaskan kebutuhan dan hasrat. Konsumsi tidak hanya mencakup kegiatan membeli sejumlah barang (materi), dari televisi hingga mobil, tetapi juga mengkonsumsi jasa, seperti pergi ke tempat hiburan dan berbagai pengalaman sosial. Secara tradisional, konsumsi meru-pakan proses materi yang berakar pada kebutuhan biologis manusia. Namun kon-

Page 188: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

164

sumsi juga diang-gap sebagai proses ideal yang berakar dalam simbol-sim-bol, tanda-tanda dan kode-kode yang berhubungan dengan nilai mo-ral. Ketika kebu-tuhan akan minu-man keras menjadi kebutuhan primer. Hal ini tentunya menjadikan minu-man keras sebagai minuman yang wajib dikonsumsi. Hampir pada setiap waktu senggang ketika pemuda dan bapak-bapak Kampung Iguriji berkumpul, bercengke-rama siang atau sore hari CT atau minuman kaleng Beer ada menemani mereka. Ke-biasaan ini menimbulkan efek buruk terhadap kesehatan fisik dan psikologis mereka, yang jelas terlihat pada fisik mereka secara rata-rata laki-laki dewasa memiliki perut yang membuncit. Minuman keras ini secara langsung mengambil andil cukup besar terhadap sikap temperamental yang dimiliki oleh sebagian besar orang-orang Papua.

Fenomena orang mabuk di Papua menurut Mansoben (2005) pada dasarnya kebanyakan dikarenakan oleh stress, tekanan batin oleh kondisi sosial dan ekonomi yang buruk, dan kurangnya kemampuan dan ketrampilan berusaha sehingga tidak dapat bersaing dengan para pendatang (Amber) terutama pendatang yang berasal dari Bugis, Buton, dan Makassar.2 Disamping itu juga program pemerintah yang

2 Akhmad, Amber dan Komin: Studi Perubahan Ekonomi di Papua, (Bigraf Publishing: Yogya-karta, 2005) hlm. 58

Sosok bapak kam-pung Missin

Page 189: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

165

tidak tetap sasaran seperti pemberian dana langsung untuk pembangungan kam-pung, program ini memang bertujuan baik, namun pada kenyataannya aparat-aparat kampung belum mampu mengelola secara baik dan benar, sehingga terjadi penyele-wengan-penyelewengan salah satunya digunakan untuk berpesta. Selain adanya modernisasi ekonomi yang mengakibatkan perilaku konsumsi berlebih pada orang Papua yang terjadi adalah sebuah konsumerisme, dimana masyarakat hanya sebatas sebagai pengguna produk yang tidak dilibatkan dalam proses produksi.

Secara berlahan masyarakat Papua dengan adanya modernisasi ekonomi berubah dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Salah satu ciri khas ma-syarakat modern adalah pola konsumsinya yang sangat kuat. Masyarakat konsumsi, menurut Baudrillard (2004) merupakan masyarakat yang melewati metafisika kebu-tuhan dan pertumbuhan, memiliki analisis sebenarnya mengenai logika sosial kon-sumsi bukan logika penyesuaian individual terhadap nilai guna barang.3 Dalan hal ini konsumsi minuman keras bukan lagi berdasarkan sebuah fungsi tetapi berubah berdasarkan nilainya, ada sebuah penghargaan tersendiri jika seseorang yang paling banyak minum dan kuat tidak cepat mabuk. Disini terdapat sebuah citra dan sim-bol yaitu peminum kuat, memang simbol dan citra mengalahkan kenyataan. Citra mampu mengubah objek yang fungsinya sama menjadi berbeda. Citra membedakan satu objek bisa bernilai tinggi dibanding yang lainnya. Citra juga yang membuat orang rela berkorban lebih besar untuk konsumsi sebuah benda yang tidak signifikan fungsinya.

3 Jean Baudrillard, Masyarakat Konsumsi, (Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2004) hlm. 60

Page 190: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 191: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

“Upaya membudayakan pola hidup sehat bagi masyarakat Teluk Bintuni, dibutuhkan program

yang komprehensif meliputi peningkatan kapasitas pengetahuan, penyediaan fasilitas yang memadai dan memberikan lingkungan

yang kondusif.”

TULISAN 12“Kesadaran Pola Hidup Sehat Masyarakat

Kabupaten Teluk Bintuni”

Oleh: Zaenal Abidin

Page 192: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

168

Pendahuluan

Kesadaran pola hidup sehat menuju pada perilaku hidup sehat dalam kampanye promosi kesehatan oleh Ke-menterian Kesehatan meliputi 10 aspek yaitu: (1) Persalinan ditolong tenaga kesehatan, (2) Beri bayi ASI eksklusif, (3) Me-nimbang Bayi, (4) Gunakan Air Bersih, (5) Cuci tangan dengan air dan sabun, (6) Gunakan jamban sehat, (7) Berantas jentik di rumah, (8) Makan sayur dan buah, (9) Beraktivitas fisik setiap hari, dan (10) Tidak merokok di dalam rumah. Apabila perila-ku hidup sehat mampu dipraktekkan dan menjadi bagian dari kebiasaan hidup masyarakat maka akan meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas sumberdaya manusianya.

Penduduk yang berkualitas merupakan modal dasar pembangunan. Penduduk yang berkualitas menjadi motor penggerak pembangunan. Sejarah membuktikan bahwa Ne-gara maju seperti Jepang mampu melaksanakan pembangu-nan berkelanjutan meskipun tidak ditopang oleh sumber daya

Salah satu pro-gram KKN PPM

Teluk Bintuni 2011 adalah belajar mengeluarkan

ingus. Mengeluar-kan ingus memang

belum menjadi kebiasaan bagi

anak-anak Iguriji, karena sebelum-

nya mereka tak merasakan adanya

ingus di bawah hidung mereka.

Page 193: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

169

alam. Sebaliknya, meskipun kaya sumberdaya alam namun karena tidak didukung oleh penduduk yang berkualitas, Indonesia masih tergolong sebagai Negara dunia ketiga. Hal serupa terjadi di Tanah Papua, khususnya Kabupaten Teluk Bintuni.

Sumber daya alam Kabupaten Teluk Bintuni begitu melimpah antara lain: potensi minyak dengan produksi tahun 2006-2010 (2.209,71 Ribu Barel), gas alam dengan cadangan terbesar di dunia dengan produksi tahun 2009-2010 (250.274,62 Ribu MMBTU) , mineral emas di eksplorasi oleh satu perusahaan (luas 99.410 Ha), mineral batu bara dengan luas eksplorasi penambangan aktif oleh 24 perusahaan seluas 540.631 Ha (Sumber: Kantor ESDM Kabupaten Teluk Bintuni, 2011). Po-tensi perikanan laut (udang, kepiting, kakap dll), kayu hasil hutan, perkebunan kelapa sawit, pertanian sawah, peternakan dan lain sebagainya. Namun, karena belum didu-kung oleh penduduk yang berkualitas, Masyarakat Kabupaten Teluk Bintuni masih terbelenggu oleh kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, keterbelakangan, kete-risoliran, derajat kesehatan yang masih rendah, ketidakberdayaan, dan lain-lain.

Tulisan ini mencoba mengangkat fakta-fakta di lapangan terkait masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat Kabupaten Teluk Bintuni dan perubahan pola hidup sehat yang terjadi di masyarakat. Pada dasarnya masalah kesehatan masyarakat di teluk bintuni dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut antara lain tingkat pengeta-huan, kepercayaan-adat-istiadat dan budaya, layanan dan dukungan (tenaga keseha-tan, alat-alat kesehatan, aksesibilitas dll), serta payung hukum dan lingkungan kon-dusif termasuk komitmen kebijakan pimpinan daerahnya.

Situasi Problematis

Pada masyarakat Kabupaten Teluk Bintuni, masalah Kesehatan Ibu dan Anak perlu mendapat perhatian yang serius, karena angka kematian Ibu dan bayi masih sangat tinggi. Selama ini umur harapan hidup (UHH) di sektor kesehatan digunakan sebagai salah satu standar untuk mengukur Human Development Index (HDI/IPM) selain Pendidikan dan Ekonomi. Indikator UHH seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh UHH dari ibu dan anak, tetapi juga faktor sanitasi dan kerentanan karena infeksi HIV-AIDS.

Page 194: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

170

Selain indikator UHH terdapat indikator-indikator lain yang biasa dip-ergunakan untuk mengetahui perkembangan kesehatan masyarakat di suatu daerah adalah. Indikator-indikator tersebut antara lain Angka Kelangsungan Hidup Bayi (AKHB), Angka Harapan Hidup (AHH) dan persentase balita gizi buruk.

Pada tahun 2010 AKB Kabupaten Teluk Bintuni adalah 67 jiwa, berarti AKHB per 1.000 kelahiran adalah 933 jiwa masih di bawah capaian Propinsi Pa-pua yakni 959 jiwa dan Nasional sebanyak 966 jiwa di tahun 2009. Adapun Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup mengalami penurunan dari tahun ke tahun, pada tahun 2006 sebanyak 109 jiwa, tahun 2007 sebanyak 105 jiwa, tahun 2008 sebanyak 83 jiwa dan tahun 2009 sebanyak 66 jiwa dan tahun 2010 sedikit men-galami kenaikan menjadi 67 jiwa.

AKB Teluk Bintuni tahun 2010 masih jauh di atas rata-rata AKB Papua Ba-rat yang mencapai 41 jiwa dan AKB Nasional yang mencapai 34 jiwa di tahun 2009. Untuk bisa menurunkan AKB agar sama dengan rata-rata AKB Propinsi Papua ma-sih sangat berat, jika selama ini rata-rata penurunan AKB per tahun adalah 11 jiwa maka membutuhkan waktu 2,5 tahun. Jika ingin mengejar target Nasional dengan AKB sebanyak 24 jiwa di tahun 2014, maka rata-rata penurunan AKB harus tetap dipertahankan pada angka 11 jiwa per tahun.

Adapun Angka Harapan Hidup (AHH) di Kabupaten Teluk Bintuni menunjukkan trend peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 AHH sebe-sar 66,9, tahun 2007 sebesar 67,26, tahun 2008 AHH sebesar 67,55, pada tahun 2009 AHH sebesar 67,88. Angka ini masih berada sedikit di bawah angka rata-rata Papua Barat yang pada tahun 2009 AHHnya mencapai 67,90. Angka ini juga masih berada di bawah rata-rata Nasional yang mencapai 70,7.

Disisi lain, berdasarkan kategori WHO, presentase balita gizi buruk di Ka-bupaten Teluk Bintuni tahun 2010 sebesar 3,59% masuk dalam kelompok rendah (di bawah 10%). Pada dasarnya bagi perempuan menjadi ibu hamil itu adalah suatu hal yang alamiah, tetapi yang sering menjadi masalah adalah terjadinya komplikasi yang tidak diduga-duga sebelumnya. Penyebab umum kematian ibu hamil adalah perdarahan neonatal, keracunan, infeksi dan abortus (keguguran) serta anemia. Be-

Page 195: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

171

rikut adalah hasil wawancara dengan salah satu dokter yang bertugas di Distrik Babo Kabupaten Teluk Bintuni:

“Masyarakat papua di wilayah pesisir sebagian besar masih peramu, terkait dengan masalah gizi banyak ibu hamil asupan gizinya kurang, mereka kalau lapar baru makan, bukan makan rutin 3 kali sehari, tetapi saat lapar makan sekenyang-kenyangnya. Pada bayi saat berat badannya kurang, bagi mereka itu hal biasa, mereka tidak tahu pengetahuan gizi. Perlu integrasi dengan Dinas pertanian untuk pemanfaatan tanaman pekarangan, atau Dinas Perikanan agar bisa mengajari menggunakan jaring untuk menangkap ikan. Masyarakat justru merasa malu kalau dirinya hamil, mereka selalu menghindar dari petugas kesehatan, bila tidak ditolong tenaga kesehatan dan dukun bayi juga tidak masalah. Pengalaman di Moskona (pedalaman), Ibu-ibu melahirkan tidak dirumah, mereka melahirkan di hutan yang jauh dari rumah, lalu menggali lubang dan melahirkan sendiri. Laki-laki tidak boleh melihat darah perempuan yang melahirkan, karena itu tabu”.

Perilaku hidup bersih dan sehat yang masih jauh dari memadai itu juga ter-cermin dari penggunaan air bersih yang masih sangat rendah. Kondisi yang jauh dari ideal tersebut turut didorong oleh jarak tempuh dari rumah tangga ke sumber air yang jauh. Kabupaten Teluk Bintuni sendiri merupakan kabupaten dengan proporsi jarak ke sumber air lebih dari 1 km (43%).

Bayi dan balita pada kondisi lingkungan yang kurang sehat terutama yang berada di perkampungan distrik Kabupaten Teluk Bintuni sering kena diare. Hal ini karena kebiasaan masyarakat yang sering buang air besar tidak pada tempatnya, meminum air yang tidak dimasak terlebih dahulu dan tidak mencuci tangan sebelum makan. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa diare karena kutukan atau rumahnya tidak aman lagi karena kena suanggi (guna-guna), maka harus cepat-cepat di pindahkan ke rumah lain yang banyak penghuninya yang justru berisiko menular-kan ke orang lain.

Persepsi dan cara pandang masyarakat bisa berubah apabila masyarakat di-berikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Masyarakat perlu terus-menerus diberikan wawasan dan pengetahuan serta diberikan alternatif-alternatif pilihan agar tidak merasa dipaksakan. Perubahan perilaku dimulai dari hal-hal yang sederhana

Page 196: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

172

dan masyarakat sendirilah yang menyadari akan manfaat atas pilihannya, tentu lam-bat laun akan menjadi kebiasaan dalam perilaku sehari-hari. Sebagai contoh kasus, di Kampung Otoweri, ada seorang Bapak pergi menimbangkan anak balitanya ke Po-syandu. Hal ini adalah sesuatu hal yang pertama terjadi karena selama ini masyarakat menganggap hal tersebut tabu dilakukan oleh laki-laki. Apabila keberhasilan dalam program Posyandu ini bisa dilakukan melalui partisipasi laki-laki tentu hal yang sama juga bisa dilakukan agar Bapak-bapak juga pergi untuk menimba air bersih yang se-lama ini hanya dilakukan oleh kaum perempuan.

Pada sector lain, kasus HIV di Teluk Bintuni juga telah menginfeksi dari berbagai profesi dan ternyata kasus HIV dan AIDS lebih banyak pada masyarakat umum dibandingkan pada Wanita Pekerja Seks (WPS). Pada masyarakat, kasus HIV dan AIDS terbanyak diderita oleh Ibu Rumah Tangga sebagai pasangan tetap dari para suami yang dikategorikan berisiko. Suami atau laki-laki berisiko untuk tertular atau menularkan HIV terutama mereka yang diindikasikan mempunyai ciri 4 M (man, mobile, with money and macho). Ibu rumah tangga yang baik-baik di kampung terinfeksi HIV karena tertular dari suaminya yang berhubungan seks dengan perempuan lain tanpa pelindung dan dalam pengaruh minuman keras/ alkohol.

Grafik 6: Distribusi Odha Menurut Jenis Pekerjaan

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Teluk Bintuni, 2011

Page 197: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

173

Menghadapi situasi problematis tersebut, maka peningkatan akses layanan kesehatan kepada masyarakat menjadi suatu kebutuhan yang tidak terelakkan. Upaya untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas serta mendekatkan akses layanan pada masyarakat sebetulnya sudah dilakukan pemerintah dengan menerbitkan Perda Kabupaten Teluk Bintuni No.3 tahun 2007 tentang Pembentukan Distrik yang semula 10 distrik, 95 kampung dan 2 kelurahan menjadi 24 distrik, 113 kampung dan 2 kelurahan.

Namun demikian, meskipun distrik-distrik telah dimekarkan sarana-prasarana kesehatan di Kabupaten Teluk Bintuni belum dapat melayani kesehatan penduduk secara maksimal dan belum dapat diakses secara mudah. Layanan kesehatan berupa Puskesmas dan Puskesmas Pembantu tersebar hanya di 15 distrik sehingga penduduk yang berada di distrik yang belum memiliki Puskesmas harus pergi ke distrik yang telah memiliki fasilitas kesehatan dengan kendala akses transportasi yang tidak memadai.

Grafik: Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Teluk Bintuni 2009

Sumber: BPS 2010, Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Teluk Bintuni.

Page 198: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

174

Berkaitan dengan belum memadainya fasilitas kesehatan dan tidak adanya dokter spesialis yang bertugas di Kabupaten Teluk Bintuni maka kasus-kasus yang membutuhkan tindakan lanjut harus dirujuk ke Rumah Sakit di Kabupaten Manokwari atau ke Kota Sorong. Padahal akses Bintuni ke Kabupaten Manokwari harus ditempuh dalam 6 hingga 7 tujuh jam perjalanan darat atau 45 menit apabila ditempuh dengan pesawat udara. Sedangkan akses Bintuni ke Sorong hanya bisa ditempuh melalui pesawat udara dan angkutan laut.

Disisi lain kasus rujukan pasien ke luar Kabupaten Teluk Bintuni cenderung stabil tinggi yaitu pada tahun 2007 sebanyak 325 orang ; tahun 2008 sebanyak 472 orang ; tahun 2009 sebanyak 421 orang ; dan tahun 2010 sebanyak 455 orang pasien (Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Teluk Bintuni 2010).

Tingginya kasus rujukan ini sering menimbulkan potensi konflik terutama oleh dokter dan bidan dalam menentukan kelayakan dan prosedur rujukan dengan pertimbangan keselamatan pasien. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Teluk Bintuni pun terpaksa harus ikut campur dalam mengurus pasien rujukan sebagaimana yang diungkapkan berikut ini:

“Di Bintuni hampir setiap hari ada ibu yang akan melahirkan dan harus di rujuk ke Manokwari dan saya sebagai Kadinkes terpaksa harus berurusan dengan pihak perusahaan penerbangan swasta Susi Air agar pasien diberikan seat. Hal ini menandakan bahwa masalah kesehatan ibu dan anak masih menjadi problem bersama. Juga masalah yang berkaitan dengan air bersih, karena setiap tahun dimulai dari bulan Juli hingga Oktober terjadi kasus muntaber di beberapa distrik karena air tadah hujan habis dan ma-syarakat terpaksa harus meminum air sungai yang kotor” (dr. Andreas Ciokan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Teluk Bintuni).1

Meskipun dana besar untuk bidang kesehatan, tetapi porsi anggaran terba-nyak terserap untuk biaya perawatan dan pengobatan, terutama pengobatan gratis bagi masyarakat. Salah satu kepala seksi yang membidangi rujukan menyatakan�2:

1 Laporan disampaikan pada saat pidato Pembukaan Workshop Rencana Aksi Dinas Kesehatan Kabupaten Teluk Bintuni di Hotel Steen Kool, 11-13 Oktober 2011.

2 Komentar dan usulan disampaikan pada saat Workshop Konsultasi Publik Dinas Kesehatan Kabupaten Teluk Bintuni yang dilaksanakan pada tanggal 15 Maret 2011 di hotel Steen Kool, Bintuni.

Page 199: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

175

”Anggaran rujukan tiap tahun harus ada dan harus ada selama kita belum mampu menangani masalah fasilitas kesehatan. Bantuan pengobatan rujukan harus ada, selain sebagai kebijakan nasional yang ditetapkan oleh kementerian kesehatan, juga sebagai bentuk implementasi otonomi khusus bagi orang Papua asli. Hanya tidak bisa kami pungkiri, anggaran dinas tidak mampu menanggung lebih banyak lagi karena setiap tahun masyarakat yang mengajukan permohonan rujukan terus meningkat. Kami berharap rumah sakit yang baru dibangun sudah bisa dibuka untuk umum. Sistem rujukan tetap jalan karena rumah sakit juga punya keterbatasan. Harapannya, pelayanan kesehatan dasar, seperti persalinan dan pelayanan obstetrik, bisa dilakukan di rumah sakit kita sehingga tidak perlu lagi dirujuk. Ibu hamil berisiko tinggi dan komplikasi bisa ditangani, sehingga AKI dan AKB bisa dikurangi dengan fasilitas RS yang ada. Namun fasilitas rujukan masih dianggarkan tahun ini dan tetap akan dianggarkan sebagai wujud implementasi kebijakan nasional dan implikasi otonomi khusus kepada orang Papua asli.”

Pernyataan senada diberikan oleh seorang Manager Kasus Klinik VCT Mangga-Bintuni yang berharap agar rumah sakit dan puskesmas ditingkatkan kuali-tas pelayanannya untuk menghemat ongkos yang harus dikeluarkan masyarakat un-tuk memperoleh layanan kesehatan:

“Biaya pasien rujukan ke Rumah sakit di luar Bintuni yaitu ke Sorong dan Manokwari cukup besar yang harus dikeluarkan. Apabila sumber daya tenaga kesehatan di tingkatkan dan peralatan Rumah sakit / Puskesmas dilengkapi sesuai standar pelayanan minimal, maka dana bisa dihemat karena pasien cukup ditangani di Bintuni saja”.

Kelemahan pada aksesibilitas pelayanan kesehatan juga disebabkan kurangnya sarana kesehatan termasuk posyandu. Berikut pendapat kepala puskesmas Bintuni

”Kami di Puskesmas Bintuni sendiri sampai sekarang belum memiliki bangunan yang tetap untuk penyelenggaraan posyandu. Pihak gereja sempat menyediakan fasilitas un-tuk posyandu, namun itu bersifat sementara, padahal Posyandu menjadi tolok ukur Usaha Kesehatan Bersama Masyarakat (UKBM)”.

Page 200: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

176

Belum efektifnya posyandu juga dirasakan oleh salah seorang pegawai di puskesmas Tofoi:

”Kami juga dibantu oleh pihak BP Tangguh dalam pem-bangunan fasilitas air bersih sehingga makin banyak persentase rumah tangga yang memanfaatkan air bersih. Mereka juga ikut membantu membangunkan jamban untuk masyarakat di kam-pung. Kemudian menyangkut kesehata Ibu & Anak (KIA), kami masih ada kekurangan dalam hal kunjungan neonatus. Ini dise-babkan masih terbatasnya cakupan promosi kesehatan di wilayah kerja PKM dan masih belum jalannya posyandu.”

Oleh karena itu, untuk meningkatkan layanan kesehatan pada masyarakat terutama dalam penyediaan air bersih, mengurangi perilaku buang air besar sembarangan (BABS), peningkatan gizi keluarga, dan pengurangan risiko untuk terinfeksi HIV. Maka program kerjasama dan koordinasi antar bidang, sektor/dinas dan lintas program serta wilayah perlu ditingkatkan. Untuk mengubah kebiasaan masyarakat melakukan BABS maka Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum (PU), Pemberdayaan perempuan dan tokoh-tokoh

Kegiatan Posyan-du yang diadakan setiap akhir bulan

di Iguriji hendak mengajarkan kon-

sumsi makanan sehat seperti

bubur menjadi kebiasaan.

Page 201: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

177

agama harus bekeja sama dan berkoordinasi secara sinergis. Dinas PU membangun jamban-jamban dan saluran perpipaan hingga ke pemukiman-pemukiman penduduk, sementara itu tokoh-tokoh agama dalam waktu yang bersamaan memberikan ceramah berkaitan dengan pola hidup sehat dan bersih sesuai keyakinan yang dianutnya.

Pada masalah HIV dan AIDS persoalan utamanya terletak pada tidak berfungsinya peran Komisi Penanggulan AIDS Daerah (KPAD). KPAD yang dibentuk berdasarkan Keputusan Bupati Teluk Bintuni Nomor 32 tahun 2009, perannya selama ini sebagai fungsi pelaksana upaya pencegahan melalui penyuluhan pada saat-saat event hari-hari besar AIDS saja, seperti Malam Renungan AIDS Nasional (MRAN) atau Hari AIDS Se-dunia (HAS) dan belum memiliki strategi yang terencana. Fungsi KPAD sebagai lembaga koordinasi Penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat Pemerintah Kabupaten sebagai mana amanat PerPres No.75/2006 belum dilaksanakan. Komitmen pemerintah daerah dalam penanggulangan HIV dan AIDS dari segi anggaran juga belum tampak, kantor sekretariat KPAD belum ada dan anggaran yang disediakan terlalu minim apabila dibandingkan besaran masalah yang ada. Pernyataan berikut dikemukakan oleh seorang mantri kesehatan di Tuhiba:

”Berkaitan dengan fenomena HIV yang ikut menjangkiti ibu hamil, saya cemas jika akibatnya berakhir pada kematian ibu melahirkan atau bahkan kematian bayi. Saya mengusulkan agar penanganan pencegahan dan penanggulangan IMS, HIV dan AIDS dimasukkan dalam anggaran program dan kegiatan”.

Dari usulan tersebut mengindikasikan bahwa program pencegahan HIV dari Ibu kepada bayinya (PMTCT) belum diimplementasikan. Sementara kasus HIV dan AIDS semakin tinggi pada Masyarakat umum terutama pada Ibu Rumah Tangga.

Sebagai upaya menginternalisasi dan membudayakan kesadaran pola hidup sehat bagi seluruh masyarakat Teluk Bintuni, maka dibutuhkan program yang kom-prehensif meliputi peningkatan kapasitas pengetahuan, penyediaan fasilitas yang memadai dan memberikan lingkungan yang kondusif untuk terjadinya suatu pe-rubahan perilaku yang sehat. Karena kondisi sehat merupakan modal untuk men-ciptakan SDM masyarakat Teluk Bintuni yang berkualitas untuk mampu mengelola SDA yang ada demi kesejahteraan bersama.

Page 202: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

178

Membuang air besar bisa dimana saja bagi anak-anak Iguriji. Tak terkecuali di ladang. Dan yang demikian belum menjadi persoalan bagi sebagian orang tua.

Page 203: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

179

Page 204: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 205: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

“Peran kepala suku dalam struktur sosial kemasyarakatan dan pergeseran cara

penentuan pemimpin membuktikan mulai terbukanya pemikiran masyarakat Iguriji

yang tidak meninggalkan sepenuhnya budaya keadatan.”

TULISAN 13“Realitas Politik Lokal”

Oleh: Nicko Alfiansa

Page 206: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

182

Kabupaten Teluk Bintuni merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Papua Barat. Daerah ini merupakan pemekaran yang dibentuk ber-dasarkan UU Nomor 26 Tahun 2002 dengan

ibukota di Bintuni. Kabupaten Teluk Bintuni terdiri dari 11 distrik yang meliputi 95 kampung dan 2 kelurahan di area seluas 18.658 km2. Jumlah penduduk sebanyak 53.564 jiwa (www.papuabaratprov.go.id). Masyarakat di kabupaten teluk bintuni terdiri dari tujuh suku besar lokal1 serta masyarakat transmigrasi yang berasal dari luar Papua Barat diantaranya Sumatra, Jawa, Sulawesi, Maluku dan lain sebagainya2. Masy-arakat Teluk Bintuni rata-rata bermata pencaharian berkebun menghasilkan petatas (ubi), kasbi (singkong), keladi, jagung, sayur gedi yang hasilnya dijual dipasar sedangkan masyarakat

1 Ketujuh suku besar tersebut adalah Sebyar, Sumuri, Wamesa, Irarutu, Sougb, Moskona, Kuri

2 Masyarakat pendatang ini selanjutnya menyebut dirinya sebagai suku Nusantara

Bangunan pemer-intahan kampung

yang menjadi pusat kegiatan

musyawarah warga di kampung

Iguriji

Page 207: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

183

pendatang juga bertani namun lebih bervariasi yaitu cabe, kangkung, kubis dan jenis tanaman perkebunan lainnya.

Dari sisi kesehatan masyarakat Teluk Bintuni memiliki akses gratis yang di-sediakan oleh pemerintah daerah. Masyarakat bisa berobat gratis tanpa biaya seper-senpun bahkan saat ini kabupaten telah membangun rumah sakit bertaraf interna-sional dan terbesar di Papua Barat pemerintah berharap dengan adanya rimah sakit ini mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakatnya. Dari sisi pendi-dikan kabupaten Teluk Bintuni saat ini telah berkonsentrasi penuh untuk berupaya memberikan akses pendidikan gratis bagi masyarakatnya dengan cara membebaskan biaya seluruh pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA bahkan sampai perguruan tinggi sehingga perkembangan pendidikan di kabupaten ini cukup pesat dari sisi kualitas-nya.

Kabupaten Teluk Bintuni sebagai kabupaten baru bisa dikatakan telah men-jelma menjadi kabupaten yang mandiri tanpa tergantung pada kabupaten induk. Dengan kekayaan alam yang luar biasa Bintuni seharusnya mampu memanfaatkan-nya dengan baik untuk kesejahteraan masyarakatnya. Kekayaan alam yang paling menonjol saat ini adalah gas alam (LNG).

Memilih Pemimpin

Perkembangan politik kabupaten ini pun menarik untuk dikaji karena me-miliki kharateristik lokal tersendiri khususnya dalam pemilihan kepala daerahnya baik pada level bupati maupun kepala kampung. Seperti yang telah dijelaskan diatas kabupaten Teluk Bintuni merupakan kabupaten yang baru terbentuk. Pada awal ber-dirinya kabupaten ini dipimpin oleh pejabat bupati yakni Decky Kawab yang diang-kat menjadi pejabat bupati Teluk Bintuni berdasarkan keputusan presiden Nmomor 131.81-295 tanggal 6 juni 2003. Tugas menjadi bupati hanya satu tahun. Tugas yang harus dilaksanakan oleh bupati diantaranya memfasilitasi jalanya pemilihan bupati dan wakil bupati. Sebagai realisasi dari tugas tersebut pada tahun 2005 diadakanlah pesta demokrasi dikabupaten Teluk Bintuni untuk memilih bupati dan wakil bupati definitif yang akan menentukan nasib dan masa depan kabupaten baru yang jaya seperti yang dicita-citakan.

Page 208: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

184

Dalam pesta demokrasi tersebut pada tahun 2005 di ikuti oleh empat pa-sangan bupati dan wakil bupati pasangan-pasangan tersebut adalah pasangan Decky Kawab, pasangan Drs. Frans W.W.Fimbay, pasangan Drs. Ajumat Fimbay dan pa-sangan Drg. Alfons Manibui. Dari keempat kandidat calon tersebut dimenangkan oleh pasangan Drg. Alfons Manibui yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sebagai bupati baru Alfons Manibui memiliki visi “ terwujud-nya kabupaten kabupaten Teluk Bintuni yang damai, maju, sejahtera, demokratis dan tangguh serta berdaya saing diatas landasan cinta kasih, kejujuran, keadilan dan kerja keras “. Setelah lima tahun berjalanya pemerintahan Drg Alfons dari tahun 2005 – 2010, genderang pesta demokrasi kembali dibunyikan. Sebagai bupati yang akan berakhir masa jabatannya Drg Alfons kembali mencalonkan diri menjadi bupati kabupaten Teluk Bintuni untuk tahun 2010-2015. Pada akhirnya sebagai calon in-cumben Drg Alfons kembali memenangkan pesta demokrasi tersebut untuk periode berikutnya.

Menarik tentunya melihat pesta demokrasi yang terjadi dikabupaten Teluk Bintuni ditingkat daerah. Namun dalam hal ini kita melihat yang lebih bawah lagi yaitu politik lokal di tingkat kampung dalam hal ini yang menjadi contoh adalah

Frans iba, Kepala Kampung Iguriji

Page 209: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

185

proses pemilihan kepala Kampung Iguriji. Kampung Iguriji merupakan salah satu kampung di kabupaten teluk bintuni di distrik bintuni salah satu lokasi tempat yang menjadi obyek KKN UGM 2011. Kampung Iguriji berbatasan dengan dua kampung lainya yaitu kampung Imrij dan kampung Teleguer. Kampung Iguriji bermata penca-harian berkebun dengan jumlah penduduk sekitar 80an jiwa. Kampung iguruji saat ini dipimpin oleh Frans Iba selaku kepala kampung. Proses pemilihan kepala kam-pung/desa tidak sama dengan di Jawa, di Kampung Iguriji dari informasi yang kami dapatkan dari salah seorang tokoh masyarakat setempat yakni Simeon menjelaskan:

“Proses pemilihan kepala kampung ditempat kami melalui proses penunjukan jadi kami sebagai masyarakat berkumpul kemudian kami berembuk atau ber-musyawarah untuk menunjuk salah satu orang di kampung yang menurut kami layak menjadi kepala kampung, namun dalam proses penunjukan peran dari kepala suku, pendeta dan mahasiswa sangat menentukan dari proses pemilihan ini. Saya dapat mencontohkan jika kepala suku memilih A, pendeta memilih B dan mahasiswa memilih C maka masyarakat yang ada memilih mau ikut siapa pilihan kepala suku, pendeta atau mahasiswa “.

Itulah proses demokrasi pemilihan kepala kampung di Kampung Iguriji. Melihat hal tersebut tentunya kita sadar bahwa sangat berbeda dengan di Jawa di-mana orang-orang berlomba-lomba untuk mencalonlkan diri, bukan dicalonkan.

Simeon pun menceritakan bahwa proses pemilihan seperti yang dia cerita-kan diatas baru terjadi sekitar tahun 2000-an. Pada periode sebelumnya pemilihan kepala kampung berdasarkan ucapan atau petunjuk dari kepala suku. Titah kepala

Salah satu suasana kegiatan musya-warah kampung.

Page 210: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

186

suku adalah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Kedua model kepemimpinan ganda di tingkat kampung sesungguhnya memiliki perbedaan peran. Kepala kam-pung ini dibentuk sebagai kepala administrasinya kampung yang bertugas untuk menjadi wakil pemerintah kabupaten di tingkat desa sehingga roda administrasi pe-merintahan formal dapat berjalan dengan baik. Sedangkan kepala suku mewakili kepentingan adat dan nilai-nilai tradisional yang harus dijaga. Dari observasi dan wawancara yang telah dilakukan kita dapat membagi 2 proses penting dalam proses pemilihan kepala kampung.

Gambar diatas menjelaskan bahwa proses pemilihan kepala kampung be-rada dalam kendali kepala suku. Dalam hal ini kepala suku berkuasa penuh atas ter-pilihnya kepala kampung dan masyarakat tidak bisa menggugat pilihan dari kepala suku tersebut.

Gambar diatas menjelaskan bahwa proses pemilihan kepala kampung mulai bergeser dari awalnya hanya kepala suku yang menentukan dan saat ini mulai meny-

Page 211: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

187

ebar ke peran tokoh lain misalnya tokoh agama (pendeta). Masuknya kaum misiona-ris kristen telah menyadarkan mereka untuk hidup dijalan Tuhan. Masyarakat sangat menghormati seorang pendeta karena dinilai sebagai orang suci sehingga masyara-kat sangat percaya dengan apa yang diajarkan maupun yang ditunjuk oleh pendeta, termasuk dalam pemilihan kepala kampung. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kaum muda yang diwakili oleh mahasiswa mulai ikut menentukan dalam pe-milihan kepala kampung. Pergeseran tersebut terjadi karena meningkatnya kecerda-san masyarakat yakni banyaknya anak mereka yang bersekolah sehingga memiliki pengetahuan yang lebih dari yang lainya.

Pergeseran politik lokal yang awalnya sangat otokratik mulai menuju kearah demokratik walaupun belum sepenuhnya. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat mulai terbuka pikirannya khususnya dalam menentukan siapa pemimpin mereka. Kendati demikian masyarakat tidak bisa meninggalkan sepenuhnya budaya dan adat istiadat yang telah ada selama ini. Terbukti hingga saat ini peran kepala suku dalam struktur sosial kemasyarakatan mereka masih tetap berada di atas dan kemudian diikuti oleh tokoh agama dan terakhir kepala kampung. Peran mahasiswa dalam ka-sus ini adalah sebagai penyeimbang yang didengar oleh kepala suku karena mereka

dinilai sebagai bagian kelompok masyarakat yang terdidik dan tercerahkan.

Masyarakat kampung

lokal Iguriji dan pemim-

pinnya

Page 212: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

188

Lain tempat, lain cerita. Lain daerah, lain lakon. Sebuah cerita akan tetap menjadi

cerita, meskipun banyak pengurangan dan penambahan disana sini, cerita tetaplah

cerita.

Indonesia memilki kekayaan budaya yang sangat beragam. Adat, tata upacara,

pakaian daerah, lagu-lagu daerah, bentuk rumah, demikian juga dengan cerita rakyat.

Dari ujung barat, hingga ke ujung timur, semuanya memilki ceritanya masing-masing.

Jawa dengan cerita seram Genderuwo, Bali dengan cerita Leak, begitupun Papua,

memilki sebuah cerita, tentang Suanggi.

Pada awalnya, istilah Suanggi sebenarnya dipakai oleh Masyarakat Papua

sebagai sebutan untuk Setan (umum=Roh Jahat). Suanggi merupakan perwujudan setan

yang selalu mengganggu manusia. Namun, istilah Suanggi tersebut kemudian meluas

dan ditafsirkan secara berbeda. Berdasar cerita dari beberapa warga Kampung Iguriji,

menurut mereka, ada seorang pemuda yang gagah mempunyai ilmu gaib (ilmu hitam)

yang tinggi, ilmu pemuda tersebutlah yang sering disebut Suanggi. Sehingga, masyarakat

setempat sering menyebut pemuda tersebut dengan sebutan Pemuda Suanggi atau

cukup hanya dengan sebutan Suanggi.

Suanggi, kalau di tempat lain, bisa juga dikatakan sebagai pembunuh bayaran.

Mengapa bisa demikian? Hal ini dikarenakan pekerjaan Suanggi adalah membunuh

orang (korban) yang telah ditentukan oleh Si Pesuruh dengan imbalan uang cukup besar

yang merupakan upaya balas dendam. Suanggi bekerja seorang diri, sehingga hanya Si

Pesuruh saja lah yang tahu identitas Suanggi tersebut.

Suanggi akan menyerang korbannya apabila korban sedang berada seorang diri.

Yang menarik, adalah pada perjumpaan tersebut, tidak akan ada pembunuhan, namun

yang ada hanyalah sebuah duel, sebagai upaya Suanggi untuk membuat korbannya

pingsan. Setelah berhasil membuat korbannya pingsan, maka Suanggi akan memasukan

semacam ramuan beracun kedalam tubuh korban. Pada saat itu korban belum mati,

“Suanggi dan Bayang-bayang Tersembunyi”

Page 213: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

189

hanya pingsan. Sebelum meninggalkan korbannya, Suanggi akan mengucapkan jumlah

hari kepada korban. (2 hari, 4 hari, 1 minggu, 2 bulan, atau lainnya). Setelah itu, korban

akan sadar kembali, tanpa mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Bekas-bekas

luka tadi pun akan menghilang, dia tidak merasakan sakit sedikitpun, dan tetap kembali

melakukan aktivitas kesehariannya dengan normal.

Setelah dia melewati jumlah hari yang telah dikatakan oleh Suanggi sebelumnya,

maka secara “normal” ia akan mati. Bisa dengan sakit, kecelakaan, jatuh dari pohon,

tergigit ular, atau pun penyebab yang lainnya, sehingga orang-orang tidak akan curiga

terhadap kematiannya.

Meskipun seakan itu merupakan sebuah kematian normal, namun ada sebuah

tanda yang membedakannya dengan kematian yang benar-benar normal (wajar). Akan

ada bekas-bekas luka muncul di beberapa bagian tubuh korban tidak lama berselang dari

waktu kematiannya. Bekas luka tersebut, adalah bekas luka yang diakibatkan oleh duel

saat bertemu dengan Suanggi sebelumnya. Tanda inilah yang bisa memberi tahu warga,

bahwa dia mati karena Suanggi. Namun, untuk mengetahui siapa pelaku sebenarnya

(yakni orang yang menyuruh Suanggi), akan sangat sulit, karena tidak ada petunjuk sama

sekali. Yang bisa dilakukan, hanyalah mengira-ngira siapa orang yang selama ini dianggap

menjadi musuh atau memiliki hubungan tidak baik dengan korban tersebut.

Setelah kejadian seperti itu, biasanya warga kampung akan menjadi lebih

waspada. Setiap orang dilarang keluar seorang diri, harus ada orang lain yang

menemaninya, apalagi dimalam hari. Suasana kampung untuk beberapa waktu menjadi

mencekam dan tidak nyaman. Setiap orang mengalami ketakutan. Karena tidak ada satu

pun yang tahu, siapa Suanggi sebenarnya. Berikut pengakuan seorang warga:

“Suanggi bagai bayangan yang menyata, datang tiba-tiba, mengajakmu untuk

dibunuh. Bisa jadi ia tak jauh dari kampungmu, di belakang rumahmu, atau justru dia

ada di dekatmu”.

Page 214: Meretas Harapan Di Kampung Petatas
Page 215: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

“Kitong (kita orang) juga ingin sejahtera, kitong juga tidak ingin hidup susah,

membawa anak-anak ke ladang dan hanya makan dari hasil ladang…..” ungkap mama

Berzerina dengan tatapan mata penuh harap.

TULISAN 14“Dong Juga Ingin Sejahtera”

Oleh: Media Wahyudi Askar

Page 216: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

192

Matahari sore menyongsong Kampung Iguriji. Tiga orang wanita paruh baya dengan beberapa tumpukan ubi masih duduk dengan pandangan kosong menanti seorang pengepul sayur langganan yang selalu datang setiap sorenya. Ketika sinar matahari mulai hi-

lang dari wajah mereka, seorang diantaranya kemudian terbangun limbung seiring datangnya pengepul sayur.

Mas, hari ini ada dua karung petatas (ubi) dan sekantong sayur gedi. Tidak berapa lama, pengepul yang merupakan pemuda pendatang itu mengeluarkan dua lembaran uang Rp. 10.000 dan bergegas pergi memutar kendaraannya menuju kam-pung lokal lainnya. Hari itu, Berzerina hanya mampu memanen sedikit ubi, ”kitorang hari ini menebang kayu dan buka hutan, ubi belum bisa diambil (dipanen)” kata Berzerina, yang tidak sempat menamatkan pendidikannya dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini.

Dalam perjalanan pulang, tangannya membawa beberapa potong ubi dan sekantong sayur gedi,sayur khas papua yang sudah menjadi sayuran rutinnya setiap

Sore hari di kampung lokal, perempuan-perempuan pulang dari ladang dengan hasil panennya.

Page 217: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

193

hari. Yang pasti, ketika orang yang belum pernah ke Papua melihat jalannya yang timpang, memasrahkan tubuhnya dihimpit dua noken besar yang masing-masing berisi ubi dan anak sulungnya, hatinya pasti akan ngilu. Di tengah hidupnya yang terpinggirkan, Berzerina sepertinya tetap membanting tulang belulang, berpeluh ke-ringat dan bekerja keras.

Berzerina adalah seorang perempuan dari Kampung Iguriji, Kabupaten Te-luk Bintuni, Papua Barat. Berladang petatas (ubi) dan memetik hasil hutan sudah menjadi aktifitas rutinnya setiap hari. Kehidupan yang dialami oleh Berzerina sudah berlangsung lama, atau sejak dulu. Membuka lahan, menanam ubi dan sayur-sayuran, untuk sesekali dijual di pasar dan selebihnya dikonsumsi untuk makanan sehari hari.

Potret kehidupan yang dijalani Berzerina dirasakan hampir sebagian besar penduduk kampung lokal lainnya di Kabupaten Teluk Bintuni. Pagi hari mereka berangkat menuju ladang-ladang mereka, sore hari beristirahat dan memasak hasil panen dari ladang-ladang mereka. Menjelang malam hari mereka makan sambil me-nonton tv. Bila malam telah mulai larut mereka kemudian tidur. Aktifitas itu sudah menjadi kebiasaan yang rutin setiap hari.

Sosok Berzerina benar-benar menjadi jembatan bagi kami untuk mengenal Kampung Iguriji, ia juga yang membawa kami hanyut dalam kehidupan masyarakat kampung. Suatu waktu, Berzerina pernah bercerita kepada kami, “kalian tidak perlu takut, meskipun orang Iguriji hidup susah tapi kami tetap tentram dan saling membantu. Mama-mama di sini baik-baik, memang terlihat malu-malu tetapi tidak.”.

Setahu kami, Berzerina memiliki karisma yang besar, Dia bercerita banyak tentang kesejahteraan masyarakat Kampung Iguriji. Kegetiran pun diungkapkan Berzerina, “dulu kami tinggal di gunung, baru dipindah oleh pemerintah ke sini dan dikasi buat rumah tapi kita masih saja susah, anak sekolah jauh, banyak mama tak mampu berbuat apa-apa selain ke ladang”.

Pertanian dan Penyangga Ekonomi Warga

Satu hal yang tidak bisa kami lupakan dari sosok Berzerina adalah dia punya cita-cita besar agar semua mama-mama di Iguriji punya keahlian khusus dan bisa da-

Page 218: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

194

pat penghasilan, tidak hanya dibidang pertanian. Tetapi kemudian dia mengungkap-kan itu sangat sulit terjadi meski sudah diberikan pelatihan khusus oleh pemerintah. Hal itu disebabkan karena bagi kebanyakan masyarakat Kampung Iguriji khususnya mama-mama sudah menganggap kegiatan berladang sebagai aktifitas rutin yang ha-rus mereka lakukan sehari-hari. Bagi mereka plihan itu bukanlah tanpa alasan. Itulah pilihan terbaik yang bisa mereka lakukan, karena hanya dengan pertanian itu me-reka bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Di samping mereka tidak punya keahlian lain diluar bidang pertanian.

Di sela-sela kehidupan kami bersama warga, dalam beberapa kali kesempa-tan kami pernah diajak ikut berladang bersama mama-mama dan anak-anaknya. Pola pertanian yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Kampung Iguriji terbilang sederhana. Yaitu dengan membuat lubang diladang dengan menggunakan linggis ke-mudian ditanami bibit sayuran dan petatas. Pola seperti itu mereka lakukan secara terus menerus, berpindah dari ladang yang satu ke ladang yang lainnya.

Mama Berzerina, yang kami temui dalam perjalanan pulang dari ladang men-gungkapkan, terkondisikannya mereka dalam aktifitas seperti itu berkaitan dengan budaya mereka yang sudah sejak lama identik dengan pola pertanian subsistance dan

Mama-mama dan nokennya

Page 219: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

195

hidup dengan berburu. Alasan mereka mempertahankan pola seperti itu sebenarnya sederhana, mereka ingin tetap bisa makan. Pola pertanian subsistance memungkinkan mereka untuk panen setiap harinya. Pada kenyataannya, mereka memang tidak per-nah kelaparan.

Dengan kondisi seperti itu, mereka hanya memperoleh kebutuhan hidup dalam batas minimal karena hanya sebatas untuk memenuhi kehidupan makan me-reka sehari-hari. Dengan pola pertanian subsistance, praktis tidak ada penghasilan yang mereka dapatkan. Pendapatan yang mereka peroleh dari hasil pertanian mereka umumnya sangat terbatas, tidak bisa dipastikan, dan hanya berkutat pada kebutuhan primer. Masyarakat di Kampung Iguriji umumnya sedikit sekali memiliki penyangga ekonomi yang kuat untuk menjamin kehidupan mereka. Ketika ditelusuri apakah ada diantara mereka yang bisa menabung, hampir semua menjawab tidak pernah, tidak ada satupun yang menjawab bahwa mereka sudah mulai menabung untuk hari depan mereka.

Mama Berzerina juga bercerita tentang masyarakat yang berpenghasilan mi-nim. “kalau ada buah pisang atau pinang yang sudah masak, mama-mama akan membawanya ke pasar bintuni dan menjualnya, tetapi kalau tidak ada, berarti juga tidak ada uang, terpaksa anaknya tidak berangkat sekolah”

Fenomena ini menjadi satu fakta umum yang dialami oleh sebagian masy-arakat di Kampung Iguriji. Masyarakat kampung lokal memiliki tingkat kerentanan yang relatif tinggi. Sehingga jika terjadi perubahan (sekecil apapun) dalam kehidu-pan mereka, hal itu akan cukup membuat kehidupan mereka sehari-hari terguncang. Faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut, bukan karena persolan nasib atau karena sudah takdirnya, tetapi diakibatkan oleh akumulasi faktor sosial yang sangat kompleks. Lemahnya sumber daya manusia, tingkat pendidikan yang rendah mau-pun pengaruh negative dari kebiasan mereka yang kurang produktif, semuanya men-jadi faktor-faktor yang pilin memilin membentuk jaring kusut yang sulit diurai dan menyebabkan masyarakat di Kampung Iguriji sulit berkembang.

Ironisnya lagi, di kalangan warga masyarakat Kampung Iguriji, sudah lazim terjadi pendapatan yang mereka dapatkan, bila tidak habis untuk kebutuhan sehari-

Page 220: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

196

hari mereka, biasanya habis untuk “minum mabuk”. Jarang sekali masyarakat Kam-pung Iguriji yang bisa menabung pendapatan mereka, terutama dalam bentuk uang. Mengenai apa yang dapat diberikan terhadap keluarga mereka, tergantung apa yang dimiliki saat itu dan hari ini.

Intervensi Pemerintah

Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kampung lokal, Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni telah berulang kali melakukan intervensi kebijakan bagi masyarakat kampung, baik pada sektor ekonomi, pemerintahan dan infrastruktur. Pada sektor ekonomi, Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni telah mengembangkan program pertanian dan agribisnis. Masyarakat kampung dilatih untuk menerapkan pertanian modern, diajarkan teknik pengolahan pangan dan peternakan, dan pe-ningkatan produksi pertanian. Pada bidang pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni juga telah mendukung pengembangan pemerintahan di tingkat distrik dan kampong seperti penataan administrasi kependudukan. Di bidang infrastruktur fisik, pemerintah juga telah melengkapi kampung dengan balai kampung, posyandu, taman kanak-kanak, dan fasilitas publik lainnya seperti tong sampah dan tandon air.

Secara empirik, pemerintah telah mengukir “cerita sukses” dalam pembangu-nan Kampung Iguriji. Tevirus, salah satu warga Kampung Iguriji mengungkapkan, selama dua tahun terakhir wajah Kampung Iguriji sudah banyak berubah. mama-ma-ma di Kampung Iguriji sudah bisa membuat kue, dan ada yang beternak. Kampung

Bangunan sentral di kampung Iguriji.

Sering digunakan untuk kegiatan-

kegiatan seperti rapat warga, penyuluhan dan pelatihan oleh

pemerintah daerah.

Page 221: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

197

Iguriji juga jauh lebih terbuka, dengan jalan yang lumayan mulus, fasilitas MCK yang semakin memadai, serta tersedianya sarana pendidikan dan kesehatan, Dengan kon-disi fisik yang semakin baik, mobilitas masyarakat semakin meningkat dan transaksi ekonomi antar kampung dan kota Bintuni juga semakin lancar.

Akan tetapi pembangunan kampung ini masih menyisakan masalah. Kese-jahteraan warga belum bisa meningkat secara signifikan, Intervensi kebijakan yang dilakukan pemerintah belum sepenuhnya menjamin terjadinya transfer of knowledge kepada penduduk kampung lokal Iguriji, aktifitas ekonomi warga juga masih terjebak pada pola pertanian subsisten, perhatian orang tua terhadap kesehatan anak-anaknya masih sangat minim. Belum lagi soal pendidikan, contoh paling nyata sekolah Taman Kanak-kanak (TK) yang ada di Kampung Iguriji hanya diisi tidak lebih dari 10 orang siswa setiap harinya dari puluhan orang yang terdaftar di sekolah tersebut.

Terkait dengan hal ini, kami pernah mewawancarai masyarakat Kampung Iguriji tentang apa yang sebetulnya menjadi kebutuhan bagi mereka saat ini. Berda-sarkan hasil wawancara tersebut, prioritas kebutuhan masyarakat di Kampung Igu-riji sangat beragam. Hal ini erat kaitannya dengan lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat Kampung Iguriji tersebut. Berdasarkan hasil pengelompokan kebutuhan masyarakat Kampung Iguriji, ditemukan fakta bahwa setidaknya mereka mengingin-kan empat kebutuhan dasar yaitu ekonomi, sarana dan prasarana, pelatihan kerja dan bantuan pendidikan bagi anak-anak mereka. Pada bidang ekonomi kebanyakan ma-syarakat menginginkan mereka bisa mendapatkan pendapatan lain selain berladang, serta lapangan pekerjaan bagi anak-anak mereka, masyarakat kampung juga meng-inginkan bantuan untuk membangun rumah mereka serta adanya bantuan beasiswa bagi sekolah anak-anak mereka.

Dari beberapa kebutuhan yang mereka sampaikan tersebut, sebenarnya ti-dak jauh berbeda dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat diluar Papua lain-nya. Bahkan kami sampai pada satu kesimpulan bahwa masyarakat Kampung Igu-riji tidaklah hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Jika ukuran ketersediaan makanan pokok untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari dijadikan sebagai indikator untuk mengukur kesejahteraan hidup mereka, dengan cepat dapat disim-pulkan sebenarnya masyarakat Kampung Iguriji adalah masyarakat sejahtera. Ka-

Page 222: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

198

rena pada umumnya mereka tidak pernah kelaparan, alam menyediakan protein, dan karbohidrat bagi kebutuhan mereka sehari-hari. Faktor ketersediaan sumber daya dari alam yang sangat besar memang menguntungkan, tetapi di sisi yang lain juga sekaligus “meninabobokkan” masyarakatnya. Ada sebuah persoalan besar yang di-hadapi kalangan masyarakat Kampung Iguriji, yakni persoalan minimnya kesadaran masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Minus Kesadaran Masyarakat

Sejak masyarakat Kampung Iguriji dikenalkan dengan modernisasi berta-hun-tahun yang lalu, harus diakui bahwa wawasan dan pengetahuan mereka telah meningkat dengan pesat. Masyarakat sudah mulai mengenal cara bercocok tanam yang baik, teknik beternak ayam dan sapi, pengenalan PKK maupun keahlian khusus seperti memasak dan membuat noken. Akan tetapi banyak masyarakat yang justru tidak memanfaatkan keahlian yang sudah dimilikinya untuk meningkatkan pereko-nomian keluarga mereka.

Aswandi ketua RT 01 di Kampung Iguriji, mengungkapkan meski pemerin-tah sudah memberikan pelatihan dan bantuan modal tetapi tetap saja gagal, misalnya dulu pernah pemerintah membelikan sapi untuk dijadikan modal awal beternak sapi,

Waktu luang sering dimanfaatkan para Mama untuk merajut noken.

Page 223: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

199

tapi justru banyak yang dijual oleh warga bahkan dimakan sendiri. Aswandi ke-mudian berkomentar lain lagi, menurut dia masyarakat Kampung Iguriji tidak akan pernah mau mengikuti keinginan pemerintah karena mereka masih merasa nyaman dengan kehidupannya sekarang, ke ladang untuk makan sehari-hari, ke pasar dan bersantai di rumah sambil minum mabuk.

Fenomena seperti ini sudah bukan menjadi suatu yang aneh lagi di Kam-pung Iguriji, bisa dibilang pembangunan yang terjadi selama ini menemui batu ka-rang yang sulit dipecahkan karena berhadapan dengan kondisi sosiologis masyara-kat yang sulit berkembang. Wajar jika keberhasilan pembangunan yang dilakukan di Kampung Iguriji lebih banyak pembangunan fisik seperti balai kampung, pengadaan tandon air maupun perbaikan jalan kampung tetapi bukan pembangunan di bidang lain sebagaimana yang dimaksudkan dalam otonomi khusus yakini pendidikan, kese-hatan dan perekonomian rakyat. Karena pembangunan fisiklah yang dianggap paling realistis dan tampak secara kasat mata

Salah seorang pejabat pemerintah yang ditemui penulis di Bintuni juga men-gungkapkan bagaimana faktor sumber daya manusia (SDM) masyarakat setempat sangat mempengaruhi implementasi program pembangunan masyarakat kampung lokal. Minimnya kesadaran masyarakat membuat banyak program tidak berjalan dengan baik. Orang Papua, lanjut pejabat tersebut, juga memiliki karakter yang ber-

Werem Iba dan perlengkapan berladangnya.

Page 224: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

200

beda, nilai-nilai positif yang diinginkan dari proses pembangunan yang dilakukan pemerintah, bisa jadi tidak memiliki nilai dan makna apa-apa bagi mereka. Secara umum, sikap-sikap tradisional mereka sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Se-bagian besar masih beranggapan bahwa alam masih cukup mampu memenuhi kebu-tuhan hidup mereka. Beliau berpendapat: “kemampuan masyarakat lokal untuk melaku-kan perencanaan ekonomi masih rendah, bahkan mereka masih banyak yang belum memahami nilai uang”, paparnya. Hal ini menyebabkan kebijakan pemerintah masih terkendala, karena masyarakat tidak menganggap kebijakan pemerintah tersebut penting bagi peningkatan hidup mereka.

Kendala Struktural

Salah satu faktor lain yang turut menghambat pembangunan kampung adalah kendala structural pemerintahan kampung. Kampung Iguriji memang memiliki wajah baru setelah Kabupaten Teluk Bintuni memekarkan diri dari Kabupaten Manokwari di tahun 2004. Bersamaan dengan itu pula terjadi restrukturisasi pemerintahan kampung dengan struktur pemerintahan yang baru, diikuti dengan pembangunan infrastruktur penunjang pemerintahan kampung. Namun, sulit dipungkiri pembangunan sistim pemerintahan belum diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur kampung.

Kapasitas aparatur kampung sebenarnya belum memadai untuk dijadikan fasilitator, inisiator dan penggerak kemajuan kampung. Hal ini diakui oleh salah seorang ketua RW di Kampung Iguriji, “Dana untuk

Generasi muda Iguriji

Page 225: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

201

kampung mencapai 100 juta rupiah lebih setiap tahunnya, tetapi dana itu tidak digunakan untuk membangun kampung melainkan untuk dibagikan kepada warga kampung”. Hal itu juga bukan sepenuhnya kesalahan aparat kampung tetapi juga karena desakan masyarakat yang tidak memahami dana itu dialokasikan untuk apa. Salah satu program yang masih saya ingat itu pembangunan gerbang kampung yang menelan dana mencapai seratur juta lebih”, tutur ketua RW tersebut sambil menunjukkan tangannya ke arah gerbang kampung.

Ketua RW itu mengatakan, sebelum memberikan dana apalagi dalam jumlah besar, kemampuan aparatur kampung harus ditingkatkan dahulu. Jika kondisi seperti itu dibiarkan berapapun besar dana yang dikucurkan tentu akan sia-sia. Pemerintahan kampung menjadi tidak ada gunanya. Termasuk balai kampung yang sudah dibangun pemerintah di Kampung Iguriji. Apabila kondisi semacam ini masih terus terjadi Kampung Iguriji akan tetap tertinggal dari waktu ke waktu.

Meretas Harapan

Kompleksnya persoalan yang dialami masyarakat di Kampung Iguriji dan Pemerintah Kabupaten Bintuni bukan berarti tanpa solusi. Pasti ada emas di antara timah, pasti ada mutiara di sela-sela lumpur. Pasti ada banyak jalan keluar yang bisa ditempuh oleh pengambil kebijakan di Bintuni. Meski demikian, butuh loncatan be-sar yang jauh ke depan (the great leap forward) untuk membangun Kampung Iguriji.

Yang pasti, tawa sesekali dari anak-anak Kampung Iguriji telah membawa kami dalam keriuhan dan kehangatan hidup bersama mereka, kehidupan dua bulan bersama masyarakat Kampung Iguriji memberi kami pengalaman yang sangat berar-ti tentang kehidupan. Bahwa ternyata banyak diantara kita selama ini hanya menyan-dingkan pembangunan dengan uang, uang ternyata hanya materil, uang belum bisa menjamin sepenuhnya kehidupan hakiki seorang manusia. Fenomena yang terjadi di Kampung Iguriji lebih dari sekedar masalah otonomi khusus, kemiskinan ataupun minuman keras yang selama ini sering didengungkan orang-orang. Ada kompleksi-tas sosial yang tidak sederhana dibalik semua permasalahan yang ada disana. Satu hal yang cukup membuat kami sedih adalah ternyata keinginan mereka untuk maju sebenarnya ada.

Page 226: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

202

Mama Berzerina juga pernah bercerita, “Kitong (kita orang) juga ingin sejahtera, kitong juga tidak ingin hidup susah, membawa anak-anak ke ladang dan hanya makan dari hasil ladang mereka. Kitong juga ingin punya motor bahkan mobil, juga punya rumah yang bagus seperti masyarakat pendatang, tetapi.. mungkin bukan hari ini.”

Kami menyalaminya, ingin sekali menyemangati hari-harinya, tapi lidah te-rasa kelu, tak sanggup berkata apa-apa lagi. Kehidupan Berzerina dan Kampung Iguriji mengintimidasi kami, menuntut dedikasi kami sebagai kompensasi privilege belajar di universitas yang melegenda selama ini. Tapi tidak banyak yang bisa kami lakukan. Meski demikian kehidupan Berzerina dan Kampung Iguriji adalah metafora kehidupan berharga bagi kami. Meletupkan rasa patriotisme. Perasaan yang sebelum-nya tidak pernah tumbuh selama hidup di belahan lain di bumi ibu pertiwi.

Paling tidak semuanya membuat kami sadar, bahwa tidak semua penduduk Indonesia itu berada pada tingkat kehidupan yang sama. Ketika sebagian besar pen-duduk bangsa ini mengejar materi dan bergelut dengan teknologi moderen, ternyata masih ada sekelompok masyarakat yang baru berkembang dan suci dari roda zaman. Yang paling absurd, mereka terperangkap puluhan tahun lamanya, tepatnya 66 tahun pasca Indonesia merdeka.

Suku sougb dalam balutan keadatan.

Page 227: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

203

Page 228: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

204

Segenap cerita yang terekam dalam KKN-PPM UGM ini, kami maknai dengan sederhana, layaknya memaknai keindahan hujan. Begitulah kecintaan kami akan keluhuran budaya yang terbungkus rapi dalam balutan kearifan lokal masyara-kat kampung di Teluk Bintuni. Namun layaknya seseorang yang sangat mencintai hujan, keinginannya untuk merasakan hujan itu tidak dapat begitu saja hadir ber-samaan dalam guyuran air yang turun membasahi tubuhnya. Saat angin mulai ber-semilir menurunkan temperatur, ia yang mencintai hujan itu, pasti akan langsung menghentikan pekerjaannya sejenak. Menghirup dalam-dalam aroma yang ditimbul-kannya. Ketika tetes-tetesnya mulai menimbulkan rinai, ia akan menutup mata seje-nak, membayangkan tarian tetesan air itu meliuk-liuk indah untuk jatuh ke bumi. Ya, sama seperti orang itu, kami pun demikian. Bahkan kami mencintai hujan sampai ke pecahan-pecahan terkecilnya.

Namun ada satu hal pelajaran pahit yang harus kami telan. Sekuat-kuat apa-pun kami mencintai hujan, setergila-gila apapun kami menghayati suaranya, aroma-nya, indahnya, tetap saja jika hujan menyentuh-nyentuh tubuh ini, meskipun tidak langsung, penyakit berbagai jenis akan menerjang kiri-kanan tanpa sungkan-sung-kan. Hal ini yang membuat kami tersadar, bahwa kami hanya bisa mencintai hujan dari luar hujan, tanpa bisa masuk ke sana, ke derainya. Namun, namanya cinta, me-nyerah tak ada tentu di kamusnya. Kami terus berusaha mencari bagaimana masuk, merasuk ke dalam hujan itu. Sampai suatu ketika kami mencoba keluar setelah hujan. Suasana masih basah. Kami berjalan di bawah rimbun pepohonan. Dan rasa itu tiba-tiba menyeruak saat daun-daun itu memercik-gemericik dengan sisa-sisa air hujan di permukaannya.

Kami terdiam, seperti bingung baru terbangun dari kealpaan, bahwa se-benarnya ke-basah-an itu, jugalah merupakan air hujan, tetapi ia hadir dengan rasa yang berbeda. Tidak ada pusing saat air itu mengenai kepala, yang biasanya menjadi

Epilog

Page 229: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

205

gejala awalan bagi penyakit lain untuk muncul. Tampaknya daun-daun yang meng-gantung di pohon-pohon itu ingin berkata, ”Aku tahu kau sungguh mencintai hujan, tapi ia terlalu keras untukmu, kemarilah kenaunganku, berlari-lari kecil di bawahku, kupercik-percikkan cintamu itu sedikit-sedikit, dan tak akan membuatmu sakit, ha-nya untukmu, hanya untukmu.”

Kami kira seperti itulah mencinta dan memahami sebenar-benarnya irama kehidupan masyarakat lokal di kampung-kampung itu. Butuh sedikit jeda untuk mengerti bahasanya. Butuh sedikit hela untuk tahu apa yang terjadi sebenarnya. Bisa jadi ia tidak benar-benar menolakmu untuk memberi tahu. Bisa jadi ia benar-benar menolakmu untuk jujur berkata. Bisa jadi kau punya kesempatan. Bisa jadi kau tak punya kesempatan. Namun semuanya itu pasti bisa kau dapatkan, jika tidak terburu-buru. Kita hanya butuh sedikit ruang, agar indah itu mampu dipandang. Kita harus memberinya sedikit jarak, agar cinta itu terus memberontak. Karena untuk dapat menikmati keindahan itu kita butuh beberapa hasta, dan untuk hangatkan cinta itu kita butuh sedikit rindu.

Sama halnya dengan proses KKN-PPM UGM yang telah selesai kami ja-lankan lima bulan silam, segenap makna pembelajaran itu baru akan mampu teretas jika kami kembali berkaca. Ya, buku ini memang mengajak kita (yang membacanya) untuk berkaca, hadir sebagai refleksi dan inspirasi bagi kita semua untuk memahami mereka (masyarakat lokal di kampung-kampung itu), namun bukan sekedar soal tau, tetapi ‘melihat’ Indonesia sebagai Papua. Namun buku ini bukan ingin memotret seluruh realitas di Papua. Karena tidak mungkin hanya dengan buku ini kita mampu melihat Papua secara utuh dan menyeluruh. Dengan atau tanpa membaca tulisan demi tulisan dalam buku ini, sejatinya kita memang harus hadir dalam kenyataan em-piris tanah Papua, dibutuhkan keluhuran dan kerendahan hati untuk melebur dalam kultur masyarakat di sana, bersamaan dengan keseluruhan interaksi dan prosesnya.

Harmoni Kehidupan dalam Balutan Kearifan Lokal

Jika ke-empat belas tulisan dalam buku ini disarikan, satu kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa masyarakat lokal di kampung-kampung lokal itu seja-

Page 230: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

206

tinya memiliki kekuatan budaya dalam bentuk pengetahuan lokal yang kaya. Bagi masyarakat di ketiga kampung (Iguriji, Missin dan Teluhwer) itu, kebudayaan dipa-hami sebagai kata kerja (berproses) yang menekankan pada sifat manfaat dan praktis. Penghormatan terhadap alam tidak terlepas dari begitu tingginya pengaruh relasi dan rasa hormat, tenggang rasa dan solidaritas antarmanusia itu sendiri. Cara pandang itu mempengaruhi berbagai perilaku, termasuk dalam proses memenuhi kebutuhan es-tetika mereka. Seperti dalam kesenian tradisional, folklor, baik folklor lisan (lantunan lisan, prosa, peribahasa dan pepatah, dll), sebagian lisan (kepercayaan masyarakat, dll), maupun folklor bukan lisan (makanan, arsitektur tradisional, perhiasan tradisio-nal, dll). Kebutuhan dan keberadaan simbol-simbol budaya tersebut merefleksikan kekayaan budaya dan kearifan lokal yang menjadi identitas budaya dan perekat har-moni kehidupan masyarakat kampung.

Sebagai sebentuk learning community, pengetahuan lokal itu tidak tertutup bagi evaluasi dan nyatanya adaptif terhadap pelbagai persoalan. Ia terbangun dari hasil pembelajaran yang evaluatif, dialogis, dan reflektif. Dirawat dan dijaga oleh kekerabatan sosial yang erat, balutan adat yang adaptif terhadap arus modernisasi, budaya gotong royong dan saling tolong menolong, dan prinsip harmoni kebersa-tuan sesama manusia dan alam. Pengetahuan lokal itu merupakan hasil kesepaka-tan komunitas menanggapi pelbagai persoalan dalam kesalingterhubungan mereka dengan lingkungan. Masyarakat adat Dayak penganut agama kaharingan, misalnya, menyelesaikan persoalan lingkungan dengan sistem perladangan bergilir yang sudah dipraktikkan selama ratusan tahun. Hutan yang diolah hanya digunakan dalam dua sampai tiga masa panen lalu dibiarkan agar tumbuh kembali setelah sepuluh sampai lima belas tahun. Masyarakat petani Banjar memiliki varietas padi yang berdaya hasil di atas tiga ton per hektar tanpa pupuk. Bahkan, ada varietas padi yang berdaya hasil di atas enam ton per hektar yang oleh masyarakat setempat disebut “Padi Panjang”.

Maka, dalam konteks pemberdayaan masyarakat lokal di Teluk Bintuni, yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam mengimplementasikan visi pembangunan-nya, jangan sampai memisahkan masyarakat-masyarakat kampung itu dengan ling-kungannya. Seperti banyak kesalahan-kesalahan yang telah dibuat dalam catatan buruk pembangunan. Demi menggenjot pendapatan asli daerah, hak ulayat diabai-

Page 231: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

207

kan dan hutan adat pun diubah menjadi hutan negara untuk dibagi-bagikan dalam bentuk HPH. Alhasil masyarakat adat pun tersingkir dari lingkungan praksis keseha-riannya dan dipaksa melihat lingkungan bukan lagi sesama subyek melainkan barang ekonomi yang tak bernyawa. Pengetahuan lokal dikalahkan oleh ekonomi modern dengan perhitungan utilitariannya. Keuntungan dari HPH lebih besar ketimbang biaya yang dikeluarkan untuk konservasi hak-hak budaya masyarakat adat.

Datangnya korporat-korporat multinasional memaksa sebagian masyarakat adat pun berurbanisasi ke kota-kota besar sehingga semakin tercerabut dari akar tradisinya. Pengetahuan lokal sebagai learning community mati sebab ia hidup sela-ma ini dari interaksi antara masyarakat dan lingkungan. Absennya lingkungan dari praksis keseharian msayarakat berarti terhentinya denyut nadi pengetahuan lokal. Kesenjangan antargenerasi pun semakin lebar. Semakin sedikit generasi muda yang memahami warisan pengetahuan dari leluhurnya1. Sebagian tergantikan oleh budaya populer dan sebagian lainnya oleh pengetahuan modern yang salah kaprah.

Ya, pengetahuan modern itu seringkali salah kaprah diajarkan, khususnya di sekolah-sekolah, yang sungguh membuat pengetahuan lokal tak berdaya. Ling-kungan yang tadinya menjadi obyek interaksi aktif antara subyek dan obyek sekarang terabstraksi dalam teorema-teorema kering fisika, kimia, dan biologi. Konversi air menjadi dua molekul hydrogen dan satu molekul oksigen, nyatanya tidak menjawab persoalan irigasi. Masyarakat sebagai komunitas pembelajar (community of learners) kehilangan lingkungan sebagai teman dialog dalam praktik keseharian. Lingkungan menjelma menjadi belukar teori dalam buku ajar di sekolah dan barang ekonomi yang nilai utamannya semata keuntungan.

“Kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang

mereka tahu.” (Jean Marais, 55, Anak Semua Bangsa; Pramoedya Ananta Toer)

Sebaliknya, dengan pengetahuan lokal itu, hakikatnya mereka sanggup memandang lebih jauh dan mendalam. Hingga akhirnya mereka meyakini, bahwa hanya ilmu pengetahuanlah satu-satunya jalan pencerahan, dan pendidikanlah yang menjadi perahu untuk membawa mereka mengarungi samudera kehidupan di masa

1 Donny Gahral Adian, Pertanian dan Pengetahuan Lokal (Jakarta: Kompas 2006), hlm.606

Page 232: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

208

depan. Tanpa jargon-jargon yang riuh didengungkan, tanpa janji-janji politik yang manis disuarakan, pengetahuan lokal yang sunyi senyap itu ternyata mampu menjadi pengetuk pintu gerbang kesadaran berpengetahuan.

Mencipta Energi Pengharapan Tak Berbatas

Pada akhirnya, pendidikanlah yang akan membawa jalan pencerahan bagi mereka, masyarakat di kampung-kampung lokal Papua. Seperti Fritjof Capra (1996) katakan, “Dengan terus mempelajari ilmu pengetahuan, kita bisa memperbaiki diri sendiri, memajukan peradaban dan bersatu dengan alam semesta”. Gaston Berger (1951), seorang futurolog dari Prancis juga pernah berujar, semakin cepat laju sebuah mobil, maka harus semakin jauh daya jangkau lampunya agar mampu menghindari kesalahan dan hambatan yang mungkin akan muncul secara tidak terduga. Artinya apa, pendidikan adalah jalan utama bagi mereka yang ingin melesat maju ke depan. Pendidikan akan membuat langkah kita dijiwai oleh keberanian untuk merancang masa depan dan mengambil yang terbaik dari hari ini dan masa lalu.

“Semua orang hidup di bawah langit yang sama, tapi ternyata tidak semua orang memiliki cakrawala yang sama” (Konrad Adenaur)

Tak satupun peradaban manusia bisa tegak kecuali di dalamnya terdapat kekuatan ilmu pengetahuan. Sejarah telah menjadi saksi, keberadaan dan ketiadaan ilmu menjadi pembenar bagi kejayaan dan kejatuhan bangsa-bangsa terdahulu. Ilmu adalah cahaya bagi manusia. Ia menjadi penerang akal, pembangkit peradaban, pem-bawa kebahagiaan. Namun ilmu tidak datang dengan sendirinya. Ia mesti dicari, dite-kuni dan dihayati sekaligus dipertanggungjawabkan sebenar-benarnya.

Hari ini, memang hanya empat lapak dan delapan petak yang mereka punya di pasar. Tapi seperti irama lagu, senandung kehidupan ini akan terus berjalan. Irama kemajuan baru saja dinyanyikan. Perlahan, mereka akan menjadi manusia-manusia lokal pengisi sejarah baru yang maju di atas kemandirian. Karena sejarah telah lahir dengan segala kekurangannya. Maka generasi setelah sejarah wajib mengamandemen sejarah itu sendiri agar poros perubahan itu dapat abadi dikenang oleh zaman. Kare-

Page 233: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

209

na manusia tidak dilahirkan mulia atau hina, kaya atau miskin, tetapi dilahirkan sama dengan yang lain. Siapa gigih belajar dan menguasai ilmu dengan baik, akan menjadi mulia dan kaya, tetapi mereka yang bodoh akan menjadi papa dan hina.

Mereka kini sedang belajar. Hari ini memang hanya petatas, kasbi, keladi, pisang, cabe, pinang dan sereh yang dijual. Tapi dalam hari-hari pembelajaran itu, jika mereka tekun menginvestasikan waktunya dalam proses pembelajaran, perlahan mereka akan bergerak maju dan berkembang. Sebab pendidikan bukan saja akan melahirkan generasi yang berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga merupakan jalan menuju kemandirian dan penca-paian kesejahteraan suatu bangsa. Karena pembangunan manusia suatu bangsa pasti sejalan dengan kemandirian ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya. Bangsa maju adalah bangsa yang terdiri dari masyarakat mandiri yang mampu menciptakan kese-jahteraannya sendiri. Seperti yang termaktub dalam kata-kata milik Sun Tzu ini, “If you plan for a year, saw a rice. If you plan for a decade, plant a tree. If you plan for a lifetime, educate the people.”

Prof. Zuhal dalam bukunya “Membangun Masyarakat Berpengetahuan” mencip-takan lima model untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang handal. Modal pertama sebagai fondasi bangunan masyarakat adalah, modal alam dan ling-kungan – kemampuan menjaga kualitas lingkungan dam sumberdaya alam untuk pembangunan berkelanjutan. Tingkat kedua ialah modal budaya – kemampuan un-tuk mengembangkan budaya sendiri, serta menyaring dan menglokalisasikan budaya global. Selanjutnya, tingkat ketiga ialah modal sosial – kemampuan membangun ke-percayaan, solidaritas sosial, infrastruktur pendidikan, kesehatan dan perekonomian rakyat. Tingkat keempat ialah modal manusia – individu yang mampu berinisiatif dan berkreasi melakukan hal-hal baru dengan semangat kewirausahaan (entrepreneur-ship). Keempat modal tadi kemudian akan mampu menjadi pijakan yang kuat untuk modal tertinggi dalam bangunan kemajuan masyarakat, yaitu modal pengetahuan (knowledge) – menggunakan pengetahuan untuk mencari terobosan teknologi bagi pembangunan ekonomi yang berdaya saing.

Mari kita saksikan, orang-orang di timur jauh itu, di dagu kepala burung itu, mereka hidup di atas tanah subur dan kaya akan keluhuran adat, sebuah tanah yang

Page 234: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

210

berjuluk surga di teluk cenderawasih. Mereka punya ketiga modal awal itu, sangat kaya, amat melimpah. Maka mereka hanya membutuhkan kemauan untuk mereng-kuh dua modal lainnya, kualitas sumber daya manusia dan keran aliran pengetahuan. Karena Teluk Bintuni hanya akan maju dan berkembang sepenuhnya, di tangan ge-nerasi yang menjadikan keandalan manusia dan terang pengetahuan sebagai jalan transformasi masyarakatnya.

Kami saudara-saudaramu satu Indonesia, hanya bisa berharap dan berdoa, semoga masyarakat di Iguriji, Missin dan Teluhwer dapat terus melangkah menatap masa depan. Menyambut tantangan jaman dengan penuh keyakinan. Semua bergan-tung pada dirimu sendiri. Mario Teguh memberi pesan, “Jangan mengkhayalkan dirimu melangkah gagah dalam langkah raksasa. Yang disebut sebagai langkah raksasa yang menghebat-kan cerita kehidupan anak manusia, adalah sesungguhnya ribuan langkah kecil yang dengan setia diurutkan oleh impian dan kerja keras. Maka bebaskanlah dirimu untuk memimpikan kejayaan pribadi dan kehidupan yang berukuran raksasa, tapi pastikanlah bahwa engkau tulus bekerja dalam langkah-langkah kecil yang rendah hati, tapi menuju keindahan impianmu, dan yang kau tenagai dengan doa, kejujuran, dan kerja keras. Itulah yang akan menjadikanmu raksasa dalam sejarah kehidupan diri dan keluargamu. Engkau harus memulai dari sesuatu, dan sesuatu itu adalah dirimu.”

Maka, melalui catatan ini, kami hanya ingin berkirim pesan, dari segenap rutinitas yang berulang dan sibuk dalam keseharian hidup di kampungmu itu, be-rikanlah satu waktu untuk memanggil jeda, agar tercipta, energi yang mendukung, menggerakkan, dan menopang segala yang ada. Dimulai dari memahami satu lang-kah, perlahan-lahan kau akan memahami seribu langkah. Seribu langkah ke depan itu, dimulai dari satu langkah pertama. Maknailah pesan yang disampaikan Taufiq Ismail ini, “Kalau kau tak mampu menjadi jalan raya, jadilah saja jalan yang kecil, tetapi jalan setapak yang membawa orang ke mata air.” Maka terangilah jalamu dan jalan orang lain dalam bingkai mata air harapan itu dengan semangat kemandirian, kesadaran berpengetahuan, dan kebersamaan untuk terus bergerak maju.

Kita semua percaya bahwa detik paling hitam di malam hari, adalah pert-anda pagi akan menjelang. Because every sunrise gives one more chance to hope. Tuhan pasti

Page 235: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

211

lebih tahu seberapa kuat bahu-bahu tanganmu itu untuk memanggul beban, demi menyambut impian masa depan. Kini, matahari telah terbit di ufuk timur Bumi Cen-derawasih, indah sekali, memberi energi pengharapan tak terbatas!

Page 236: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

212

Pasti ada emas di antara timah, pasti ada mutiara di sela-sela lumpur..

“Kau tahu, banyak orang pu (punya) kata kalau orang Papua itu miskin”, celoteh Pak Simeon–adik ipar dari Pak Pilemun. Mereka tinggal bersama-sama dalam satu rumah di barisan pojok Kampung Iguriji–memulai pembicaraan sembari menyeruput kopi panas di sore hari, “Waktu melihat kami pu rumah yang kecil, kami pu pakaian seadanya, pasti mereka berpikir seperti itu sudah. Sebenarnya, seperti saya, bisa pu rumah besar kalau sa mau”. Pak Cie (sebutan untuk Bapa) melanjutnya ceritanya, “Tapi saya tidak begitu. Sa tak pu uang banyak, tak pu rumah besar, tidak apa-apa. Yang penting waktu sa dapat honor (gaji), sa bisa kasih itu untuk bantu adik, atau kakakkah, mamakah, iparkah, saudara, juga sa pu keponakan pun bisa.”

Melalui catatan ini, aku pantas mengatakan, bahwa sebenarnya mereka sangatlah kaya raya. Ya, orang-orang lokal di ketiga kampung itu, Iguriji, Missin dan Teluhwer. Kaya dari apa yang telah diberikannya bagi orang lain, bukan dari apa yang saat ini dimiliki. Karena masa depan mereka, adalah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk memiliki segalanya…

Page 237: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

213

Page 238: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

214

Page 239: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

215

ANAK-ANAK TERANG / Lagu dari: SUARA PERSAUDARAAN

Dari waktu ke waktu, yang tak henti berputarTerlintas peristiwa dan kejadianManusia terus maju, melangkah ke depanTerkadang nurani, jauh tertinggalDi tengah cepatnya pacuan kehidupanDidera bencana didera nikmat dunia dalam gelap jiwanya

Jadilah anak-anak terangYang selalu tegar di setiap cobaan, godaan, hari kini dan nantiJadilah anak-anak terangYang senantiasa berjalan dalam terang Tuhan

Masih adakala terasa sangat jauh tergapaiKarena hati manusia tertutup kabut dalam hitam jiwanyaJadilah anak-anak terangYang selalu tegar di setiap cobaan, godaan, hari kini dan nantiJadilah anak-anak terangYang senantiasa berbagi beban di dalam terang Tuhan

Page 240: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

216

Daftar Pustaka

Literatur Buku

Abdullah, Irwan. dkk. 2006. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.Akhmad. 2005. Amber dan Komon: Studi Perubahan Ekonomi di Papua, Yogyakarta:

Bigraf Publishong.Anderson, Benedict. 2008. Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang,

Yogyakarta: Insist Press.Baudrillard, Jean. 2004. Masyarakat Konsumsi, Yogyakarta: Kreasi Wacana.Beilharz, Peter. 2005.Teori-Teori Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.BPS, 2009. Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Teluk Bintuni 2008, Badan Pusat

Statistik Kabupaten Teluk Bintuni.BPS, 2010. Teluk Bintuni dalam Angka 2009, Badan Pusat Statistik Kabupaten Teluk

Bintuni. Budi Febriarsih, Happy. dkk. 2008. Gender dan Demokrasi. Malang : Program Sekolah

Demokrasi PLaCID’s dan Averroes Press.Daeng, Hans J. 2008. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Yo-

gyakarta : Pustaka Pelajar.Depkes RI, 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Papua Barat, Badan Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI.Donas Kesehatan, 2011. Laporan Evaluasi Akhir Program Kesehatan Ibu dan Anak BP

Tangguh, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat.Donas Kesehatan, 2011. Laporan Workshop Konsultasi Publik Dinas Kesehatan Kabupaten

Bintuni, Maret 2011.Donas Kesehatan, 2011. Laporan Workshop Perumusan Rencana Strategis Bidang Kesehatan

Ibu dan Anak, HIV/TB dan Air Bersih – Sanitasi, Bintuni 11-13 Oktober 2011.

Erari, Dr. Karel Phil, Tanah Kita, Hidup Kita”, tentang Hubungan Manusia Dan Tanah di Irian Jaya Sebagai Persoalan Teologis.

Giay, Benny.2000 Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran Sekitar Emansipasi Orang Papua, Papua: Deiya.

Page 241: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

217

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidi-kan Nasional.

Kantor ESDM Kabupaten Teluk Bintuni, 2011. Laporan lifting dan izin usaha pertambangan di Kabupaten Teluk Bintuni.

Koentjaranongrat.1970, Keseragaman dan Aneka Warna Masyarakat Irian Barat, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan ilmiah.

Koentjoroningrat. 1994. Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk. Djambatan : Ja-karta.

Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta:Tiara Wacana.Ollenburger, Jane C. Moore, Helen A. 1996. Sosiologi Wanita. Jakarta: PT Roneka

Cipta.PSKK-UGM, 2009. Kondisi Sosial Ekonomi dan Kependudukan Kawasan Teluk

Bintuni, Survey Rumah Tangga pada Distrik di wilayah DAV BP Tangguh.Rasuanto, Bur. 2005. Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas Dua

Teori Filsafat Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Yogyakarta :

Kreasi Wacana.Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.Theo van den Broek, et.al. 2003. Memoria PassiInis di Papua: Kondisi Sosial Politik dan

Hak Asasi Manusia 2001. Jayapura: SKP Keuskupan Jayapura.Tim Peneliti. 2010. Action-Research on Cultural Revitalization of Sebyar and Sumuri on

Teluk Bintuni, Kerjasama BP Berau Ltd. & FISIP Universitas Airlangga,

Literatur Internet

http://aci.detik.travel/read/2011/12/03/122155/1781760/1274/pinang-tak-ha-nya-menguatkan-tapi-juga-mengakrabkan/2http://www.facebook.com/note.php?note_id=422042640981http://goorme.com/article/khas-papua-papedahttp://longjournal.wordpress.com/2011/10/22/kitorang-makan-papeda/http://papua.site11.com/tugas/news.php?readmore=2http://tabloidjubi.com/artikel/kuloner/10344-makanan-khas-papua-bukan-hanya-papeda.htmlhttp://www.jalanjalanyuk.com/buah-ponang-pembuat-merah-mulut-masyarakat-papua/

Page 242: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

218

HUMOR MOB:”Canda Tawa Khas Tanah Papua”

LIMA PEMUDA PEMEBERANI

Suatu hari Pace Yaklep ko dekati 4 orang anak muda yang sedang duduk-duduk pinggir jalan, dan meminta uang secara paksa.Saat minta uang pace Yaklep angkat bicara dengan nada menggertak, ”Siapa Berani Di Sini??”Satu dari pemuda berdiri dan berkata, ”Sa Berani!”Yaklep menggertak sekali lagi, ”Ayo! Siapa Lagi yang Berani??!”Pemuda berikutnya berdiri dan berkata, ”Sa Juga Berani!!”Yaklep itu mulai gentar, tapi dia terus menggertak, ”Siapa Lagi??!”Dua pemuda berikutnya berdiri dan berkata, ”Kami Berani, Kenapa!”Yaklep pu nyali becek dan berkata, ”Kalau Begitu Kitorang Lima Pemuda Pembe-rani!!”

DISURUH BELI BENSIN

Yakop ni de ada main kelereng deng de pu teman-teman di halaman samping rumah.Karena masih kecil dan pas saat itu musim permainan kelereng. Sewaktu sedang rame-ramenya, tiba-tiba de pu Bapa panggil dia:Yaklep : ”Yakop ....Yakop...Yakop....!!!”Yakop : ”Ya...Bapa”Yaklep : ”Yakop...ko tolong beli Bapa bensin kha, untuk Bapa pu motor.”Yakop : ”Adoh.....Bapa ni...sa ada main baru...suru yang lain

Lampiran

Page 243: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

219

YAKLEP dapat undang dari mantan presiden Amerika Serikat (AS). Untuk itu dia pi blajar bahasa Ingris sama Obed.

”How Are You?””Me Too..”Dua kalimat itu dia afal mati. Karna kata Obed,“Tra mungkin ko diajak diskusi. Jadi tra perlu ko kuasai bahasa Inggris. How Are You?, itu ko pakai ketika jabat tangan pertama kali. Pasti dia jawab I’m Fine, And You?. Langsung ko balas Me too..”Setelah di AS pas tiba giliran salaman Yaklep grogi tra sadar dia buang suara bukan How Are You? Tapi Who Are You?Lalu mantan presiden AS itu menjawab ”I’m Hillaryas Husband.”Yaklep ganti balas, ”Me Too...”Yaklep : “Anak ...ko tolong Bapa dulu, nanti Sa kase ko seribu....”Yakop : “Bapa, bagemana kalo sa kase Bapa 2000 sudah baru Bapa ko yang beli e......”

TIPU MATI SUAPAYA DAPAT ISTIRAHAT

YAKLEP deng maitua baru saja pulang dari pesta, kaget melihat dia pu pembantu terbaring lemas di lantai kamar tamu.”Ya, ala,” jerit Yaklep. ”Ada apa? kamu sakit ka? Apa yang terjadi?,” tanyanya lagi.”Tra da pak, sa baik-baik saja kok,” kata sang pembantu sambil menunjuk kepada cucu Yaklep sedang berdiri di sudut ruang, sambil memegang pistol mainan.”Sa puru-pura mati. Inilah jalan satu-satunya bagi saya, supaya sa dapat istirahat sebentar saja,” tegasnya.

TETA NONTON TVAda tete 1 nich dia duduk nonton TV. tete putar Chanel 1 film pocong, chanel 2 film drakula, chanel 3 film sunggi-sunggi.......

Tete bilang ”Bah....semua film setan-setan....”tete pusing.... tete panggil de pu cucu suruh cek antena,....Trus cucu cek, cucu bilang bah tete antena menghadap ke kuburan. langsung tet boooo......pantasan dapat film-film Neraka”

Page 244: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

220

Cucu coba ko kasi menghadap ke malanu (tempat prostitusi) pasti kita dapat film perang????

PACE NOGE BARU NAIK TEMBOK

Suatu hari pace noge pergi mau mencuri di rumah pace Jawa malam hari. Ternyata rumah pace Jawa sudah dikasih pagar tinggi, dan dorang kasih tembok sekeliling rumah.Pace noge pikir: ”Ko kira sa tra bisa mencuri kah, biar ko kasih tembok sa tetap bisa panjat ko pu tembok. Ko liat saja.”Lalu pace noge dia panjat pace Jawa pu tembok yang tinggi. Pace Jawa dia liat ada orang yang mau mencuri dia berteriak keras: ”Heeyy...!! Pencuri kah..! Ko cepat turunnn...!”Pace noge dia kaget dan hampir jatuh, tapi dong balik marah ke pace Jawa : ” Hey bapa.... coba ko pu cara tegur itu yang baek kah ?! memang sa pencuri, tapi kalo ko berteriak, sa kaget, truss sa jatuh.... siapa yang bayar ongkos rumah sakit ?. Sa pu anak siapa yang kasih makan..? Saya toh belum mencuri, saya baru lewat ko pagar baru ko su teriak...!”

HAPAL NOMOR PIN ATM

Obed dan dia pu teman rencana curi uang di Mesin ATM.Obed pu teman suruh Obed yang intip nomor PIN orang yang masuk di Kamar mesin ATM.Setelah intip cukup lama, Obed datang ke dia pu teman sambil senyum-senyum.Obed pu teman:” Bagemana Obed, berhasil hapal dong pu nomor PIN kah?”Obed:” Gampang skali, sa satu kali lihat langsung tau moo,”Teman:” ah, yang betul, ko hebat skali… brapa nomor PIN nya?”Obed:” Smua nomor PIN sama, pas ada orang masuk, sa perhatikan di Monitor, nomor PIN nya yang muncul tuh tanda Bintang 4 kali,”Teman:” Goblok!!! Tanda Bintang di monitor tuh memang sudah begitu, yang ha-rus ko lihat tuh nomor berapa yang dong tekan. Adooo Obed, ko parah sekali,”

SARJANA

Laki-laki Kalimantan ni ada mo pi Sentani jadi dia tanya orang setempat buat jalan

Page 245: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

221

ke Sentani lewat mana. De tanya orang pertama: “Permisi numpang tanya, jalan ke Sentani lewat sini kah?”Orang pertama : “He’eh”Karena de rasa ragu jadi de tanya orang kedua : “Permisi , jalan ke Sentani lewat sini kah?”orang kedua : “Yoi”Karena dua jawaban berbeda jadi de tanya orang ketiga sudah biar makin jelas: “Permisi , jalan ke Sentani lewat sini kah?”Orang ketiga : “Yombex”Tiga jawaban beda jadi de tanya ke bapak-bapak yg ada duduk:”Permisi bapak, jalan ke Sentani lewat sini kah?”Bapak : “Iya anak, lewat sini”A : “Tapi kenapa tadi tanya orang dong pu jawaban “he’eh”, “yoi”, sama “yombex”?”Bapak : “Kalo he’eh = cuma lulus SD. yoi = lulus SMP. yombex = lulus SMA”A: “Lalu kalo bapak pu jawaban?”Bapak : “Jelas SARJANA dong”A : “Berarti bapak ni sarjana sudah e?”Bapak : “HE’EH!”

Page 246: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

222

CERITA ROMAN PENGABDIAN DI TANAH PAPUA“Doscendo Discimus: Kita Belajar, dengan Mengajar”

Kurang lebih seminggu perjalanan mengarungi samudra. Begitu membo-sankan. Yang kulihat hanya dataran biru yang tak ada habis-habisnya. Kapal seakan tak bergerak, tak bergeser sedikitpun. Garis datar di ujung penglihatan tak pernah tercapai. Selalu ada ujung setelah ujung.

Isi perutku sempat terkuras habis ketika kapal mengarungi ganasnya Laut Banda. Orang-orang yang tidak tahan termasuk diriku segera merapat ke pagar-pa-gar geladak. Di sampingku ada seorang pria Melanesia dengan dandanan perlente. Entah berapa buah kalung dan gelang yang tersemat di tubuhnya. Mukanya begitu pucat. Sebentar-sebentar dari mulutnya menyembur makanan yang telah dilahapnya. Aku dan pria itu berduel menyemburkan seluruh isi perut, hingga hanya cairan ku-ning getir yang keluar.

Aku tidak habis pikir, orang-orang seperti Cornelis de Houtman nekat ber-layar sampai ke nusantara. Kepentingan perut memang luar biasa. Aku kagum pa-damu komodor! Tapi ingin kupotong lehermu karena kau telah membuat bangsaku menderita!

Aku sudah sangat kepayahan membawa diriku kembali ke kamar. Aku tidak peduli berapa kali aku menginjak muntahan di geladak. Aku mengumpati diriku yang kepayahan. Jangan dekat-dekat diriku dalam keadaan seperti ini kawan, karena aku sangat emosional.

Akhirnya kaki-kakiku menginjak tanah. Lunas sudah penderitaan di atas kapal. Efek goncangan kapal masih kurasakan, tubuhku limbung. Kepalaku makin pusing mendengar orang-orang Melanesia berbicara begitu cepat dan keras dengan bahasa yang sama sekali tidak kupahami. Sambil menunggu jemputan dari Pemerin-tah Daerah, kusempatkan untuk berkeliling pelabuhan Manokwari.

Page 247: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

223

Terik sekali, langit begitu cerah, biru. Dalam fantasiku, gumpalan-gumpalan awan terlihat seperti semangkuk soto karena pada saat itu aku sangat lapar. Beberapa anak kecil berenang di sekitaran garis pantai. Mereka menaiki kapal kecil yang ber-sandar, kemudian terjun dengan berkoprol. Terlihat keceriaan tersungging di bibir mereka. Pantas saja kulit kalian legam! terik seperti ini malah berenang. Tapi angga-pan itu terbantahkan ketika celana salah seorang anak kecil melorot. Ternyata kulit yang tertutup celana juga legam, seragam dengan kulit yang terpapar terik matahari.

Hei bocah! Aku ingin seperti kalian, bermain dan tertawa seharian. Ah aku merindukan saat-saat itu, tapi perut ini tak bisa terisi jika hanya bermain seperti kalian.

Pukul 15.13, jemputan yang dijanjikan datang. Seorang lelaki tinggi besar berambut gondrong dan berkacamata hitam keluar dari mobil. Penampakannya mengingatkanku pada pemain nasional Belanda, Edgar Davids.

“Hei, Doni kah?” sapa ramahnya. Dia mengenaliku lewat ciri-ciri yang kusampaikan lewat sms. Kutuliskan “Saya sudah sampai di pelabuhan Manokwari dengan selamat. Saya memakai kemeja merah hati, celana jeans biru, berkacamata, kulit putih untuk ukuran orang Papua.” Dia membalas, “Sebentar lagi saya sampai. Tunggu saja, saya akan cari kamu”.

Dia memperkenalkan dirinya sebagai Samuel, orangnya ramah dan humo-ris. Melihat dari perawakannya yang kekar mungkin dulu dia seorang tukang pukul, mungkin preman pelabuhan, mungkin pembunuh bayaran, atau mungkin jadi kuli di pasar rakyat.

“Capaikah?” tanyanya ramah.

“Lumayan, cukup menguras tenaga, dan sekarang saya sangat lapar.” Ja-wabku sambil tersenyum.

“Baiklah kita cari makan dahulu, ada rumah makan yang enak di dekat sini”.

Kurang lebih 20 menit mobil sampai pada sebuah rumah makan. Pada plangnya tertulis “Rumah Makan Sudi Mampir”. Dugaanku terbukti ketika mema-

Page 248: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

224

suki rumah makan. Rumah makan ini milik seorang Jawa. Rumah makan ini menjual beberapa macam makanan yang biasa ada di warung-warung di Jawa. Tapi jangan tanya soal harga kawan, harga bajak laut!

“Bagaimana perjalananmu?” tanya Samuel membuka obrolan.

“Cukup melelahkan. Saya mabuk waktu kapal berada di Laut Banda. Isi perut terkuras habis sampai hanya muntah cairan kuning.” Jawabku sambil menyen-doki nasi rames paling mahal yang pernah kubeli.

“Hahaha… Memang saat kapal melintasi Laut Banda goncangan akan sang-at terasa, karena di sana adalah laut yang dalam. Kau akan merasakan goncangan itu lagi dalam perjalanan Manokwari-Bintuni” Jawabnya sambil tertawa terbahak.

Makananku tercekat di tenggorokan. Sakit sekali. Segera kusambar teh hangat. Tubuhku makin lemas setelah Samuel memberitahu hal itu. Aku sudah membayangkan nasi rames termahal dalam perut akan terbuang sia-sia belaka dalam perjalanan Manokwari-Bintuni.

Benar saja, aku muntah habis-habisan. Perjalanan 10 jam off-road Manokwa-ri-Bintuni. Keindahan gunung botak beserta pantai-pantainya tak dapat menghibur diriku yang sedang kepayahan. Samuel hanya menggeleng kepala dan sesekali terse-nyum sambil menawarkan minyak angin.

Sampai juga di Bintuni, sebuah kabupaten hasil pemekaran beberapa ta-hun yang lalu. Jalanan masih berupa tanah, belum ada lampu-lampu jalan menuju perkampungan. Listrik hanya pada malam hari, tak ada sinyal. Di sekeliling selalu hutan dengan pohon-pohon besar yang berdiri angkuh pada tanah-tanah Bintuni yang ditinggal zaman.

Aku diantar sampai pada sebuah rumah yang telah disediakan oleh Pemerin-tah Daerah. Sebuah rumah panggung. Seluruh bagian rumah terbuat dari kayu. Se-tiap langkahku menghasilkan deritan pada lantai-lantainya.

“Baiklah saya harus pulang. Beristirahatlah karena besok kau harus mulai mengajar”. kata Samuel mohon diri.

Page 249: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

225

“Terimakasih telah mengantar saya.” Jawabku tersenyum.

Samuel segera menaiki mobilnya dan beberapa saat mobilnya telah hilang ditelan malam. Tinggallah aku sendiri di rumah kayu berukuran 5x7 meter ini. Ru-mah beratap seng, sangat sederhana, ruang tengah, satu kamar tidur, dan dapur. Di dapur telah tersedia 2 karung beras, sayur, bumbu, minyak, beberapa galon air dan beberapa lusin telur. Kucari-cari satu bagian rumah yang penting. Astaga! Tidak ada kamar mandi!

Tidak ada perabot elektronik. Yang ada hanya 2 kursi plastik tua, teronggok berhadapan. Segera kurebahkan tubuhku pada dipan sambil memandangi lampu. Pi-kiranku menerawang pada hal yang membuatku sampai pada tempat ini. Aku sedikit memaki – sedikit saja memaki – keadaan ini.

Aku adalah sarjana yang baru lulus dari universitas negeri di Yogyakarta. Aku mengambil PGSD, lulus 3,6 tahun dengan IPK 3,73. Hebat bukan?

Hari-hari yang kulalui semasa kuliah adalah hari-hari yang biasa seperti ma-hasiswa lainnya. Kuliah, berorganisasi, dan main. Sesekali menipu orang tua untuk mengirimkan uang lebih dengan alasan yang mengada-ada. Aku tahu kau juga seperti itu kawan! Aku juga pernah menjalin hubungan dengan beberapa gadis, tapi selalu kandas. Barangkali mereka tak tahan dengan sikapku yang tak acuh.

Sebelum wisuda aku pernah berbincang dengan seorang dosen. Namanya Pak Agus, seorang yang bersahaja, cerdas dan bijaksana. Usianya belum genap se-tengah abad. Dan yang paling menonjol dari penampakannya adalah, maaf, kening-nya lebar dan mengkilat. Aku teringat buku biografi Adam Malik bahwa orang pandai dapat dilihat dari keningnya yang lebar. Sejak saat itu kusisir rambutku ke belakang agar keningku selalu nampak.

“Kemana kau setelah lulus kuliah? Sudah ada rencana?” Tanyanya memulai perbincangan.

“Saya belum tahu pasti Pak, mungkin saya akan melamar ke beberapa seko-lahan di kampung halaman”.

Page 250: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

226

“Hal itu harus direncanakan dari sekarang lho, tidak mau kan jika harus men-jadi pengangguran setelah lulus? Saya ada tawaran untukmu karena kamu adalah salah satu mahasiswa terbaik saya”. Tukasnya sambil mengeluarkan beberapa kertas dari map.

Pak Agus menawarkan pekerjaan untuk mengabdi di tanah timur, tepatnya di Kabupaten Teluk Bintuni. Beliau membujuk, bercerita tentang pengalamannya, tentang masa muda yang harus mencari banyak pengalaman, tentang idealisme, dan beberapa kali memuji diriku sebagai salah satu mahasiswa terbaiknya.

Cara berbicara beliau mengingatkanku pada sales magic jar yang menyatroni rumahku. Karena dipuji habis-habisan Ibuku jadi juga membeli magic jar walaupun sudah punya. Dan sekarang aku kena juga sales Cosmos di kampus!

Aku mengingat kembali masa-masa sebelum keberangkatan. Ibu dan Aya-hku berpesan agar selalu ingat terus pada Yang Maha Kuasa. Teman-temanku ber-pesan agar selalu berhati-hati. Beberapa teman juga titip salam pada Boaz Salossa.

Ibuku menitikkan air mata ketika akan melepasku di pelabuhan Tanjung Perak. Saat itu hatiku mengharu biru. Belum pernah kutinggalkan kampung halaman sampai sejauh ini. Mata Ayahku berkaca-kaca. Air matanya berkumpul di lingkar mata, tapi tak sampai jatuh. Aku tahu pada saat itu Ayahku berusaha tidak berkedip agar air matanya tidak sampai jatuh. Ayahku tetap melotot hingga aku masuk ke dalam peron.

Ini adalah pengalaman baru saat aku menginjak babak baru kehidupan. Pen-galaman yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Pengalaman yang mungkin bisa menjadi suatu kebanggaan kelak saat kuceritakan pada orang-orang.

Aku percaya selalu ada kemudahan di balik kesulitan, selalu ada hal yang baik di balik kejadian yang buruk, dan semua ini akan indah pada saatnya. Kupasrah-kan diriku pada-Mu Tuhanku, dengan kerendahan hati kumohon bimbinglah hamba agar menjadi seorang yang ahli bersyukur dengan segala keterbatasan ini.

Kantuk mulai hinggap di pelupuk mata, perlahan mataku mulai tertutup. Kupanjatkan doa pada Illahi, semoga kedamaian memelukku saat aku terlelap.

Page 251: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

227

Pukul 04.30. Langit masih begitu gelap. Dengan membawa senter kubim-bing langkahku menuju belakang rumah, pada sebuah kali kecil yang selalu mengalir. Entah di mana kali ini bermuara. Airnya jernih dan dangkal. Dasarnya adalah pasir bercampur lumpur. Di kali inilah kegiatan mandi dan mencuci kulakukan.

Setelah selesai mandi aku bergegas menuju rumah untuk menyiapkan sara-pan. Menu hari ini dan mungkin hari berikut-berikutnya adalah nasi kecap lauk telur dadar, karena aku hanya bisa memasak seperti itu.

Ketika sedang menikmati sarapanku, seseorang mengetuk pintu depan ru-mah.

“Selamat pagi”.

Seorang lelaki kurus, pendek berdiri di muka pintu. Dari perwakan dan ben-tuk muka terlihat lelaki ini bukan orang asli Papua, mungkin dia seorang Jawa atau Melayu. Pakaiannya terlihat usang, tapi masih pantas untuk dikenakan.

“Selamat pagi”. Tanpa menunggu lama segera kusambut tangannya untuk bersalaman dan kupersilakan masuk. Kami berdua duduk berhadapan di kursi plas-tik tua yang keropos di sana sini.

“Perkenalkan, saya Pak Jarwo kepala sekolah SD tempat Mas Doni akan mengajar. Saya asli Banjarnegara, sudah mengajar di SD Bintuni sejak tahun 2008.” Saya mendengar kedatangan Mas Doni dari Pemda setempat”. Dengan logat ngapak yang masih kentara Pak Jarwo mulai mengacarai.

Kami berbasa-basi mengenai keadaan di Jawa, perjalanan panjang yang melelahkan, masa-masa kuliah, tentang keluarga di tanah Jawa yang selalu meminta waktu untuk dirindukan.

“Hari ini adalah hari pertama siswa masuk sekolah dan sekaligus hari per-tama Mas Doni mengajar. Sejak tahun 2008 SD Bintuni hanya ada satu kelas dan sekarang siswa saya sudah berada di kelas 4. Tetapi tahun ini nampaknya ada pene-rimaan siswa baru karena Pemda berusaha keras membujuk masyarakat untuk mau bersekolah”.

Page 252: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

228

“Pelajaran apa saja yang harus saya ajarkan Pak?”

Kemudian Pak Jarwo mengeluarkan beberapa kertas dan buku. “Ini kuri-kulum sebagai panduan, dan beberapa buku ini sebagai bahan pembelajaran siswa.”

Kubacai satu persatu kertas dan buku itu. Astaga! Kurikulum yang dipakai masih kurikulum lama, dan buku-buku paket edisi lama.

“Sudah siap Mas? Sudah jam 05.45, sebaiknya kita berangkat”.

“Masih sepagi ini berangkat Pak?”

“Nanti kau akan tahu sendiri”. Jawabnya sambil tersenyum.

Segera kumasukkan kertas-kertas dan buku tersebut ke dalam tas. Dalam perjalanan kami masih berbasa-basi, berbincang mengenai keadaan di Jawa, perja-lanan panjang yang melelahkan, masa-masa kuliah, tentang keluarga di tanah Jawa yang selalu meminta waktu untuk dirindukan.

Ternyata jarak ke sekolah cukup jauh, hampir satu jam kami berjalan kaki melewati tanah-tanah merekah yang menjadi liat dan menjengkelkan jika hujan tu-run. Dan di sekeliling selalu hutan, hutan dengan pohon-pohon besar yang berdiri angkuh pada tanah Bintuni yang ditinggal zaman.

Bangunan sekolah adalah papan-papan kayu besi, coklat liat, beratap seng dan berlantai tanah. Membelakangi hutan lembab dan gelap. Hembusan angin mem-buat daun-daun bergesekan, menghasilkan desiran ngilu.

Pukul 07.00, siswa Pak Jarwo yang berjumlah 12 orang mulai memasuki kelas, duduk pada meja dan bangku dari kayu besi pula. Awalnya mereka berjumlah 15 orang, 3 orang diantaranya belum datang ke sekolah. Waktu Pak Jarwo meminta penjelasan, teman-temannya mengatakan 3 anak tadi sedang membantu Papa Mama-nya mengerjakan ladang.

Sambil duduk di bangku kelasku kupersiapkan kata-kata sambutan, mo-tivasi, dan hal yang akan kuajarkan, tetapi siswa-siswa yang kunantikan belum juga datang. Kusempatkan untuk melihat Pak Jarwo mengajar. Mula-mula aku bingung

Page 253: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

229

dengan kata-kata yang yang diucapkan Pak Jarwo. Aku berpikir yang diajarkan adalah pelajaran bahasa daerah, bahasa asli Suku Sougb. Tetapi setelah aku melihat papan tulis baru kuketahui yang diajarkan Pak Jarwo adalah Bahasa Inggris. Serta merta aku menahan tawa sampai mukaku memerah. Logat ngapak masih saja kentara dalam pengucapannya.

Dari kejauhan terlihat beberapa anak didampingi orang tuanya berjalan ke arah sekolahan. Dadaku berdebar, mereka bakal murid-muridku! Murid-murid per-tamaku menjadi seorang guru! Segera kusambut mereka di depan sekolahan.

“Selamat pagi”

“Pagi”. Jawab mereka serentak. Beberapa anak terlihat malu-malu.

“Ayo masuk ke kelas, silahkan pilih kursi kalian.”

Anak-anak segera berlarian menuju ke kelas. Sejauh ini baru ada 12 calon murid yang datang didampingi beberapa orang tua. Aku berkenalan dan sedikit ber-bincang dengan beberapa orang tua.

“Anak Papa dan Mama akan diajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Percayakan pada saya, saya akan memberikan pengajaran yang terbaik.”

Terlihat raut wajah puas dan lega pada orang tua siswa. Aku semakin per-caya diri untuk memulai hari ini. Hari yang bersejarah dalam hidupku. Hari pertama-ku menjalankan tugas yang mulia, demi mencerdaskan anak bangsa.

“Baiklah, Mama, Papa saya mohon diri untuk masuk ke kelas.”

Setelah mohon diri aku bersegera untuk menyusul murid-muridku ke kelas. Jantungku berdebar-debar, ada rasa bahagia bercampur cemas. Pintu itu! Pintu ke-lasku! Pintu yang mengantarkanku ke babak baru kehidupan!

Kupandangi wajah mereka satu persatu, selusin wajah murid-muridku. Aku merasa sangat mengenal mereka. Mereka adalah cermin yang memantulkan bayang-anku di masa lalu. Kutentang mata mereka. Mata-mata yang masih bening, mata-

Page 254: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

230

mata yang meenggambarkan keluguan, mata-mata yang memancarkan pengharapan hari depan, mata-mata yang menimbulkan rasa kasih.

“Selamat pagi anak-anak, perkenalkan nama saya Doni guru sekaligus wali kelas kalian. Sekarang silahkan satu persatu berdiri memperkenalkan diri kalian ma-sing-masing, dan sebutkan cita-cita kalian. Silahkan dari yang duduk depan paling kiri.”

Sambil tersenyum malu-malu seorang anak perempuan yang duduk paling kiri memperkenalkan diri.

“Nama saya Susanche Iba. Emmm… cita-cita saya ingin jadi pegawai”.

“Salam kenal Susanche. Dengan bersekolah kau bisa mengejar cita-citamu. Baiklah selanjutnya.”

“Nama saya Vicky Iba, saya bercita-cita ingin jadi polisi.”

Selanjutnya ada satu muridku yang berbeda dari teman-temannya. Dari ben-tuk wajah, kulit dan rambut jelas dia bukan dari ras Melanesia. Dengan malu-malu dia memperkenalkan diri.

“Nama saya Catherine, cita-cita saya jadi perawat”.

“Kau berasal dari mana Catherine?”. Tanyaku ingin tahu.

“Saya dari pulau Kesui, Maluku”.

“Kenapa kau pindah ke Bintuni? Bapak dapat kerja di sinikah?”

“Ah tidak, keluarga saya pindah karena dulu di Kesui ada perang.”

Baru kuketahui keluarga Catherine sampai di Bintuni untuk mengungsi. Su-dah sekitar 2 tahun keluarganya menetap di Bintuni. Rasa haru muncul melihat ling-kungan menerima keberadaan Catherine dengan baik. Tidak peduli Catherine dari ras dan agama yang berbeda.

Page 255: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

231

Satu persatu murid-muridku telah memperkenalkan diri. Susanche Iba, Vicky Iba, Catherine, Sony Iba, Marinche Iba, Agustinus Iba, Dorinche Iba, Bomoi Iba, Yenike Iba, Domingus Iba, Yustus Iba, dan Yusuf Iba.

“Baiklah anak-anak kita mulai pelajaran yang pertama. Kita akan belajar membaca dan menulis. Silahkan ambil buku dan pensil kalian untuk mencatat.”

Kugoreskan kapur tulis pada papan, membentuk lima huruf pertama al-phabet.

“Anak-anak, ini adalah lima huruf pertama yang harus kalian hafalkan. Mari kita ucapkan bersama-sama. Ini huruf A! B! C! D! E!” Satu-persatu aku mengucap-kan sambil menunjuk huruf di papan tulis, diikuti suara serentak anak-anak.

“Baiklah sekarang satu-persatu dari kalian coba ucapkan, mulai dari Susan-che.”

Susanche terlihat kaget, disusul oleh tawa teman-temannya.

“Ini huruf apa Susanche?”

“A”. Jawab Susanche malu-malu.

“Bagus sekali Susanche. Ini huruf apa?”

“B” Jawabnya masih malu-malu. Susanche menandaskan semua pertanyaan dengan baik, tetapi aku masih ingin mengujinya.

“Bagus sekali Susanche, mari kita ulangi. Ini huruf apa?”

“A.”

“Benar Susanche. Terus yang ini huruf apa?” Aku sengaja beranjak ke hu-ruf keempat untuk menguji hafalannya.

“Hmm… enggghh…” Susanche hanya tersenyum dan menggelengkan ke-pala. Teman-temannya sontak tertawa riuh, dan aku ikut tertawa bersama mereka.

Page 256: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

232

Dugaanku tidak meleset, Susanche masih menghafal huruf dalam urutan. Saat per-tanyaan acak seperti ini, dia masih kebingungan.

“Ini huruf D Susanche”. Kataku sambil tersenyum. “Vicky, kau selanjut-nya.” Vicky tidak kalah kagetnya, persis yang dialami Susanche.

“Ini huruf apa Vicky?”

Belum sempat Vicky menjawab, terdengar suara ketukan pada pintu. Terlihat seorang lelaki setengah baya, bertelanjang dada membawa serta busur dan panahnya berdiri di samping pintu masuk kelas. Ini pasti orang tua yang ingin bertanya sebelum mendaftarkan anaknya sekolah, pikirku.

“Kita tunda sebentar, nanti kita lanjutkan Vicky.” Terlihat sedikit kelegaan pada wajah Vicky. Dan sekarang dia mulai sibuk bertanya pada teman-temannya mengenai huruf yang ada di papan tulis.

“Selamat pagi Papa.” Sapaku ramah sambil menyorongkan tanganku untuk berjabat tangan.

“Pagi.” Jawabnya datar sambil meraih tanganku.

“Adakah yang bisa saya bantu Papa?”

“Apa yang kau ajarkan di sini?” Tanyanya datar. Sudah kuduga, pria ini ingin bertanya tentang sekolah sebelum mendaftarkan anaknya. Kujelaskan semua pelaja-ran yang ada di sekolah secara meyakinkan. Bahwa dengan bisa membaca, menulis, berhitung, anaknya akan memiliki masa depan yang lebih baik.

“Apa pelajaran matematika, membaca, dan menulis bisa bikin kenyang kau punya perut?!?” Jawabnya setengah membentak. Aku terperanjat mendapati tangga-pan pria itu. Aku berusaha menjelaskan lagi dengan santun, bahwa jenjang yang akan diikuti masih panjang. Dengan pendidikan para murid akan mendapat kemampuan untuk memperoleh pekerjaan.

Page 257: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

233

Pria itu nampaknya masih belum puas dengan penjelasan yang kuberikan.

“Ah omong kosong! Didikan sekolahmu bikin anak saya tra bisa apa-apa! Tra bisa bantu saya ke ladang, tra bisa pakai kapal, tra bisa tangkap ikan di rawa, tra bisa berburu! Kau bilang masa depan lebih baik?!? Omong kosong!” Jawabnya emosi. Aku hanya terpaku menatap mulutnya yang sibuk dengan pinang.

“Sekarang anak saya tak lagi sekolah. Saya mau didik dia sendiri cari makan!”

Aku mahfum, murid Pak Jarwo yang tidak masuk sekolah hari ini adalah anaknya. Dengan muka kesal dan mulut yang masih sibuk dengan pinang pria itu masih menunggu jawabanku. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku kebingungan mencari jawaban apalagi yang harus kuberikan.

Dengan wajah muak pria itu berpaling, berjalan cepat meninggalkan seko-lah, dan sebentar saja hilang dalam rimbunan pepohonan hutan yang lembab.

Aku berusaha mengembalikan lagi kesadaran dan rasa percaya diriku untuk masuk ke kelas. Kupasang muka yang paling manis seakan tidak ada yang terjadi. Tiba-tiba Domingus Iba berseru.

“Itu kepala kampung, dia pu nama Frans Iba”.

“Kau kenal dia Domingus?”

“Dia Pak Tua sa pu kampung.”

Ternyata pria itu adalah seorang kepala kampung. Pembicaraan tadi masih terngiang-ngiang dipikiranku. Aku tidak ingin pikiran itu mengganggu tugasku di hari pertama ini.

“Sudahlah, mari kita lanjutkan pelajaran. Ayo mulai Vicky.”

Tidak ada lagi raut gelisah pada wajah Vicky. Kejadian tadi ternyata diman-faatkan untuk menghafal huruf-huruf dengan baik. Dia tersenyum bangga setelah menuntaskan semua pertanyaan dariku.

Page 258: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

234

Sekolah hari ini kututup dengan perasaan puas, hari yang sempurna. Tapi tak dapat dipungkiri, kejadian dilabrak pria yang ternyata kepala kampung terasa mengganjal. Aku ceritakan kejadian itu pada Pak Jarwo. Beliau kaget, dan berpesan agar selalu siap terhadap sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya.

Aku mahfum nasihat Pak Jarwo. Tapi mengapa tidak Pak Jarwo saja yang kena labrak? Ah mungkin posisi kelasku yang berada paling dekat dengan jalan seta-pak. Ingin sekali mengadu, tapi aku hanya sebatang kara di rumah ini. Hanya kasur ini menjadi peraduanku, tempat memasrahkan hidup pada malam yang panjang.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Bangun pagi, mandi di kali, me-masak sarapan nasi kecap dengan lauk telur, dan bergegas menempuh perjalanan kaki hampir satu jam untuk sampai ke sekolahan.

Hari ini Vicky Iba tidak masuk, entah dengan alasan apa. Kutanyakan, tetapi tidak satupun murid-muridku tahu. Ah mungkin Vicky sakit pikirku.

Keesokan harinya empat orang anak termasuk Vicky tidak masuk sekolah.

“Kalian tahu mengapa Vicky, Yustus, Yusuf, dan Agustinus tidak masuk?”

“Mereka sedang belajar di rumah Pak Tua, Pak Guru.” Jawab Domingus sambil mengeluarkan bukunya.

Aku agak kaget mendengar jawaban Domingus.

“Apa yang diajarkan Pak Tua di rumahnya Domingus?” Tanyaku penasaran.

“Belajar cari makan Pak Guru.”

“Bagaimana cara cari makan Domingus?” Tanyaku semakin penasaran.

“Sa tidak tahu Pak Guru.” Jawab Domingus polos.

“Baiklah, setelah pulang sekolah antarkan saya pergi ke rumah Pak tua.”

Domingus mengangguk memberikan jawaban.

Page 259: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

235

Sekolah selesai tepat jam 11 siang. Sesuai rencana, dengan bimbingan Do-mingus, aku mendatangi rumah kepala kampung. Perjalanan ternyata cukup jauh, memasuki hutan yang lembab. Tanah-tanah tertutup daun-daun yang mulai mem-busuk. Siang ternyata tetap saja gelap. Sinar matahari sulit menembusi rimbunan daun pepohonan hutan yang rapat. Terlihat beberapa burung nuri dan kakak tua masih liar beterbangan.

Kami beristirahat di kali kecil yang membelah hutan.

“Masih jauh Domingus?” Tanyaku sambil merapikan nafas.

“Ah tidak, dekat saja. Di depan kita su sampai.” Jawabnya sambil sibuk membersihkan kakinya yang berlumpur.

Dua tiga teguk air kali melewati tenggorokan, kemudian kami bergegas bangkit untuk meneruskan perjalanan.

Sampai juga di kampung. Tidak ada aktivitas yang berarti. Aku diantar sam-pai di depan rumah dengan papan-papan kayu besi yang menancap pada tanah seba-gai dindingnya. Ada jaring benang yang teronggok di samping rumah. Bentuk rumah di kampung seragam, seukuran. Sekitar duapuluhan rumah berdiri saling berhadap-hadapan.

Setelah Domingus pamit, kubimbing kaki-kakiku memasuki pekarangan ru-mah yang tidak seberapa besar. Ada perasaan ragu, takut kena semprot seperti tempo hari.

“Selamat sore.” Sapaku. Beberapa anak duduk-duduk di lantai, empat orang di antaranya adalah muridku. Pria itu sedang sibuk dengan papan dan balok kayu ke-cil. Kuperhatikan papan itu. Balok-balok kayu kecil tersebut diletakkan di atas papan, membentuk suatu formasi.

“Sore, ada perlu apa kau kemari?” Tanyanya ketus.

“Saya ke sini menanyakan murid-murid saya yang tidak masuk kelas hari ini. Kata Domingus mereka ada di sini.” Jawabku gugup.

Page 260: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

236

“Ya mereka ada di sini. Mereka tak seharusnya sekolah! Mereka seharusnya belajar cari makan!” Jawabnya setengah membentak.

“Kau lihat papan itu? Itu untuk baca musim, tidak diajarkan di sekolahmu!” Katanya menerangkan.

Aku baru faham, balok-balok kecil kayu itu membentuk formasi bintang untuk membaca musim.

“Kau tahu mengapa saya marah pada kau di sekolah?”

Aku masih terdiam, hanya menggeleng. Kemudian pria itu meneruskan.

“Karena kau orang baru! Tahu apa tentang Papua?!? Sebaiknya kau pulang, bawa ilmumu! Tak butuh anak-anak ini ilmu yang kau ajarkan!”

“Tapi dengan ilmu di sekolah anak-anak bisa mencapai cita-cita. Mereka katakan ingin menjadi dokter, perawat, guru. Hanya sekolah yang bisa mengantarkan pada cita-cita mereka.” Jawabku membela.

“Mereka tak butuh itu! Mereka butuh cari makan sekarang! Sudah kau pu-lang, pergi dari sini!”

Anak-anak dalam rumah itu hanya bisa memandang dua orang lelaki yang sedang berbicara keras-keras. Aku tidak mau mereka melihat percekcokan ini lebih jauh. Pria itu terlihat sangat emosi, dan mulai meraih busur dan anak panah.

“Pulang sekarang sudah!” Pintanya kasar.

Aku memutuskan untuk pulang, menghindari hal buruk yang mungkin ter-jadi. Kubimbing kaki-kakiku menyusuri kali hingga sampai belakang rumah. Dalam perjalanan aku memaki-maki, mengapa kejadian seperti ini menimpa diriku. Rasa putus asa mulai merasuk, melemahkan langkah yang sudah sejauh ini.

Keesokan harinya aku berangkat dengan tubuh yang lemas. Hanya tersisa sedikit semangat dalam tubuhku. Pak Jarwo yang mengetahui segera menanyakan keadaanku.

Page 261: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

237

“Kenapa kau? Sakitkah?”

Segera kuceritakan kejadian sore kemarin.

“Langkahmu sudah sejauh ini, tidak ada pilihan lain, lanjutkanlah. Ambil pelajaran dari semua kejadian itu. Kau akan jadi seorang yang matang. Tidak semua orang yang mendapat kesempatan seperti ini.” Katanya menasehati sambil mene-puk-nepuk pundakku.

“Kau tahu cerita novel yang bagus seperti apa?” Tanyanya sambil terse-nyum.

Aku tetap bisu, sibuk dengan pikiranku sendiri.

“Novel yang bagus menceritakan perjalanan yang unik dan menarik, be-gitupun hidup Don. Hiasilah hidupmu dengan perjalanan yang unik dan menarik. Hidup hanya sekali, jika perjalanan hidupmu adalah biasa saja, percuma!” Katanya melanjutkan.

Aku terperangah. Tak kusangka kata-kata itu keluar dari seorang guru di pedalaman. Aku seperti tersengat. Begitu kaya pengalaman hidup yang telah dijalani Pak Jarwo. Aku menoleh, menatap muka beliau yang telah dirambati keriput, dan beliau membalas dengan senyum.

Mulai kubangkitkan semangat, kuurai kembali pikiranku yang centang-pe-renang seperti benang kusut. Aku telah dapatkan kembali iramaku, kembali menga-jar dengan penuh ketulusan pada murid-muridku yang tersisa. Untuk permulaan, mengajar delapan orang murid merupakan prestasi gilang gemilang bagiku!

Ada saja tingkah murid-muridku yang membuatku tertawa. Keluguan, ke-lucuan mereka membuatku selalu semangat menjalani hari-hariku menjadi seorang guru. Bomoy pernah kuminta untuk bernyanyi lagu Bintang Kecil. Suaranya begitu melengking, tak karuan nadanya, seperti orang yang kesakitan karena kakinya ter-lindas ban angkot. Aku gemas sekali, kupeluk dan kuangkat tinggi-tinggi tubuhnya, kuusap-usap rambutnya yang meranggas. Dia adalah Mariah Carey-ku.

Page 262: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

238

Sony Iba kutunjuk sebagai ketua kelas karena dia paling disiplin. Tak pernah telat datang ke sekolah, selalu memperhatikan pelajaran dengan baik. Suaranya yang tegas dan lantang meyibak kantuk di mataku, memompa semangat mengawali pela-jaran pagi hari. Semua muridku begitu istimewa, dan aku sangat bersyukur menjadi guru mereka, mengukir lembaran-lembaran yang masih kosong.

Suatu hari pria itu datang kembali ke sekolah. Masih tetap bertelanjang dada, membawa serta busur dan anak panahnya, dengan mulut komat-kamit mengganyang pinang.

“Ada apalagi Papa?” Tanyaku mencoba tetap sopan.

Dia mengeluarkan sekaleng sosis.

“Kau tahu cara membuat daging seperti ini? Daging ini tidak basi di kaleng ini. Tanyanya sambil menyerahkan sekaleng sosis.

“Kalau kau tahu, ajari kami. Semua muridmu akan kembali, dan anak-anak-ku akan kembali ke sekolah.” Katanya meneruskan.

“Ini namanya sosis Papa. Pabriknya ada di Jawa. Di sana daging masuk ke pabrik, diolah menjadi seperti ini.” Jawabku singkat.

“Kau bisa ajarkan tidak?!” Tanyanya dengan nada agak tinggi.

“Dengan sekolah murid-murid bisa pandai mengolah daging menjadi seper-ti ini Papa. Sewaktu kuliah masukkan anak-anak Papa ke jurusan Teknik Mesin agar bisa membuat mesin untuk mengolah daging jadi seperti ini.” Jawabku menjelaskan.

Pria itu terdiam, meminta kembali kaleng sosis, dan beranjak pergi.

Aku tidak mempedulikan kepergiannya, dan kembali meneruskan mengajar murid-muridku di kelas.

Keesokan harinya aku terkejut melihat murid-muridku lengkap seperti se-mula. Pak Jarwo juga mengatakan murid-muridnya telah lengkap kembali. Aku sam-but mereka dengan haru.

Page 263: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

239

“Selamat pagi anak-anak! Selamat datang Vicky, Yusuf, Yustus, dan Agusti-nus yang telah kembali ke sekolah.” Sambutku semangat.

“Selamat pagi Pak Guru!” Jawab murid-murid tak kalah semangat.

“Mari! kemari kalian semua murid-muridku! Maju ke depan, peluk Bapak!”

Murid-muridku berhamburan ke depan kelas. Kupeluk mereka satu-persatu. Hatiku mengharu biru, dadaku terasa sesak. Aku tidak tahan lagi. Mataku sembab.

Doscendo discimus: kita belajar, dengan mengajar..

Page 264: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

240

Profil Penulis dan Anggota Tim KKN-PPM UGM Teluk Bintuni 2011

Agus Setiawan, mahasiswa jurusan Sosio-logi Fisipol UGM ini memiliki cita-cita sebagai pengamat sosial. Bagi laki-laki kelahiran Sleman, 25 Agustus 1990, KKN dan Bintuni memiliki ke-san tersendiri. Baginya, Bintuni merupakan dae-rah yang teramat indah dan eksotis. Rimbunan pohon dan sahut-sahutan kicau burung menjadi penyemarak. Senyum sapa warga masyarakat terasa begitu hangat dan dekat. Keramahtama-han mereka telah meruntuhkan tembok-tembok

stereotipe yang selama ini terbangun di kepalaku tentang papua. Sungguh pengalaman yang luar bisa menginjakkan kaki di Teluk Bintuni, Papua Barat. Melihat dan merasakan keberagaman suku, bahasa, dan adat istiadat dalam naungan Indonesia. Agus atau Gusti ini memiliki harapan tersendiri untuk Bintuni, masyarakat semakin sadar akan penting-nya pendidikan, karena pendidikan adalah secercah cahaya yang mampu mengantarkan kepada dunia yang lebih terang.

Iyeng adalah panggilan bagi mahasiswa yang me-miliki hobi skateboard dan billiard ini, Angger Tondo Asmara. Lahir di Magelang pada 1 Mei 1990 dan menuntut ilmu sebagai mahasiswa ilmu sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM membuatnya memiliki kesan tersendiri terhadap KKN yang di-jalani selama 56 hari. Baginya, melalui KKN, ia mendapatkan sebuah pengalaman yang tak ternilai dari masyarakat Papua Barat terutama Suku Sougb, dengan berbagai kearifan lokal dan budaya yang di-miliki. Merasakan sebuah keakraban, keharmonisan sebagai sebuah keluarga dalam masyarakat atau pun di dalam Team KKN. Baginya, menjadi sebuah di-

Page 265: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

241

strik yang memiliki ketahanan saing terhadap tantangan zaman di mana tetap menjaga nilai-nilai kearifan lokal sehingga dapat dikenal luas adalah penting utuk dicapai oleh Bintuni.

Aprilia Dewi atau yang sering disapa Lia adalah mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM yang lahir di Wonosobo pada 5 April 1990. Baginya, KKN Bintuni mengajarkan Ia banyak hal, tentang hidup, keluarga, cinta persahabatan, keluarga, kesederhanaan, kesabaran, perjuangan, tang-gung jawab yang tak pernah didapat di kesem-patan lain. Bintuni yang jauh tak lagi terasa jauh karena akan selalu dekat di hati. Ia berjanji sua-tu saat akan kembali ke Bintuni. Semoga cerita indah tentang Bintuni akan terus tersambung. Harapan Lia terhadap Bintuni adalah menjadi

wilayah pemekaran sebagai sentral peradaban di Tanah Papua dan kawasan Indonesia Timur. Bintuni go for it!

Azmy Basyarahil yang enggan disapa ‘Mas’ ini memiliki ketertarikan sendiri di dunia riset dan pe-nulisan. Ketertarikan itu lah yang membawanya pada cita-cita untuk menjadi dosen, peneliti dan penyuluh masyarakat lokal di pelosok-pelosok Indonesia. Ma-hasiswa Manajemen FEB ini lahir di Jakarta pada 18 Mei 1989. Baginya, terlalu banyak kearifan dan pembelajaran hidup yang didapatkan selama proses KKN-PPM UGM di Teluk Bintuni. Eksotisme dan keindahan Bumi Papua, keramahan dan keteruste-rangan masyarakatnya, dan kebersamaan serta kerja hebat bersama 19 sahabat terbaik satu tim. Ia me-milih pergi mengabdi ke tanah Papua untuk meng-genapkan narasi persaudaraan dan makna ke-Bhin-

Page 266: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

242

neka-an satu Indonesia. Walau hanya 2 bulan, tapi setelahnya ia berjanji, pelosok-pelosok lain di negeri ini akan disambangi! Menginjak tanahnya, menyentuh udaranya, mencium baunya, dan berbuat suatu kebajikan untuknya. Dengan ilmu, ia bertekad mewakafkan ruang dan waktu hidupnya untuk menghidupi orang lain. Dari langit, turunlah ke bumi, ciptakanlah karya, kirimkanlah cahaya, dan teruslah belajar tanpa batasan usia. Karena masa depan kita, adalah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk memiliki se-galanya. Kepeduliannya pada lokalitas, membawanya pada harapan untuk mencerdas-kan dan mencerahkan rakyat Papua dengan kekuatan pendidikan, kemurnian agama dan kearifan budaya. Baginya, itulah yang akan menjadi jalan panjang menuju kemerdekaan hakiki. Kesadaran itulah yang akan menjadi penyuluh bagi keberpengetahuan mereka sebagai seorang manusia pembelajar. Mereka yang memahami keberadaan dirinya sen-diri, sehingga tau dari mana mereka berasal, sedang di mana mereka berjalan, dan mau kemana mereka melangkah menuju tujuan. Semua itu butuh ketulusan dan kesabaran. Maju terus Papua-ku, selamanya kalian akan menjadi saudaraku..

Banu Hernawa. Lahir di Klaten pada 13 Mei 1990 dan menjalankan aktifitas sebagai mahasiswa Politik dan Pemerintahan UGM membuatnya ingin menjadi Pembuat Kebijakan. Dalam petualangan-nya ke berbagai pelosok di Indonesia, orang Papua adalah orang teramah yang pernah Ia temui. Banu berharap Kabupaten Teluk Bintuni yang menyim-pan potensi luar biasa, baik kekayaan alam maupun sumber daya manusia. Namun, semua potensi itu belum digarap secara maksimal, sebagai kabupa-ten baru hasil dari pemekaran daerah Manokwari berpotensi menjadi kabupaten yang memiliki tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) karena Teluk Bintuni tidak mewarisi carut marut

birokrasi masa lalu. Untuk menjadi good governance, Teluk Bintuni perlu melakukan penguatan kapasitas baik di level mikro (masyarakat), meso (birokrasi), dan makro (sis-tem atau peraturan daerah). Ketika penguatan kapasitas di semua level ini telah berjalan dengan baik, Ia yakin good governance di Kabupaten Teluk Bintuni akan terwujud. Amin.

Page 267: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

243

Lahir di Kudus pada 20 Februari 1990 dan menuntut ilmu di jurusan Ilmu Administrasi Negara merupakan secuil cerita tentang Doni Bagus. Baginya, KKN memiliki kesan tersendiri. Dia merasa lebih hidup di Papua. Ber-sama teman-teman yang menyenangkan dan masyarakat kampung yang sangat ramah. Semua yang Ia dapatkan di sini adalah bekal hidup untuk menjadi pribadi yang le-bih matang. Hanya satu kata harapan darinya, yaitu ke-bermanfaatan nyata atas pun yang telah tim KKN laku-kan bagi masyarakat Bintuni.

Iko Saptinus adalah mahasiswa Program studi Geo-fisiska UGM yang lahir di Jepara pada 7 Juli 1990. Ba-ginya pengalaman KKN adalah ‘amazing’. Iko berha-rap semoga proses pembangunan yang terjadi bukan hanya berfokus pada fisik dan bersifat sarana prasana, namun pembangunan SDM yang terpadu dan runtut juga perlu dilaksanakan.

Maria Septiyana Puspitaningrum, bersapaan Septy dan lahir di Sleman pada 6 September 1990. Mahasiswa Ilmu Sejarah UGM ini memiliki kesan ter-sendiri terhadap Bintuni. Baginya, Bintuni merupakan daerah yang cukup bagus dengan penduduk yang sang-at ramah serta lingkungan yang bagus. Di sana jadi bisa mengerti bagaimana kehidupan di sana sehari-harinya dan juga bisa melihat suasana yang begitu kontras an-tara Jogja dan Bintuni. Udara di sana masih belum ba-nyak polusi sehingga memberikan kesan dan suasana yang cukup berbeda. Harapannya terhadap Bintuni adalah bisa lebih maju dan berkembang menjadi suatu distrik yang baik sehingga bisa menjadi panutan distrik lainnya.

Page 268: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

244

Media Wahyudi Askar lahir di Batusangkar pada 22 September 1989 merupakan mahasiswa Manajemen Kebijakan Publik FISIPOL UGM. Baginya, yang dibayangkan selama ini tentang Papua tidak lah sama dengan apa yang sebenar-nya. Warga Kampung Iguriji begitu terbuka ke-pada tim KKN ini. Kami disambut sedemikian hangatnya. Harapannya pada Bintuni adalah spesifik pada kebijaknnya. Kebijakan yang ada di Bintuni adalah menyangkut seluruh masyarakat

Bintuni. Apa pun itu, semoga berimplikasi positif ke depan bagi masyarakat Bintuni secara luas dan massif.

Jipeng adalah sapaan bagi seorang fotografer terhan-dal di Tim KKN Bintuni, Michael Aji Pradipta. Lahir di Klaten pada 14 Desember 1988 dan memiliki cita-cita sebagai jurnalis foto adalah sepenggal cerita tentang mahasiswa Sosiologi Fisipol UGM ini. Men-urutnya, masyarakat Bintuni sangat bersahabat dan tulus dalam membantu. Harapannya untuk Bintuni adalah supaya Teluk Bintuni bisa terus mencerdaskan masyarakat dan selalu memegang teguh kearifan lokal masyarakat di zaman yang semakin global.

Muhammmad Zamzam Qomaruzzaman yang bersapaan Zamzam ini lahir di Pontianak pada 6 Juli 1989. Menjalani aktifitas sebagai mahasiswa jurusan Sastra Asia Barat FIB UGM membuatnya memiliki kegemaran mengkaji karya sastra. Baginya, melalui KKN Bintuni, serasa menemukan dunia baru, keluarga baru bahkan kehidupan yang baru. Harapan Zamzam untuk Bintuni supaya selalu me-natap ke depan untuk sebuah harapan demi harapan.

Page 269: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

245

Mutia Yuli Pratiwi yang sering dipanggil Mia adalah mahasiswa jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM. Gadis pecinta ku-cing ini lahir di Yogyakarta dengan cita-cita sebagai Mentri perhubungan. Baginya, KKN di Bintuni mer-upakan pengalaman yang sangat bermakna, refleksi diri dan petualangan bersama tim, dalam pembela-jaran pemberdayaan masyarakat. Sesuatu yang tidak bisa didapatkan di tempat lain, bersama orang-orang lain. Pembangunan yang terus digalangkan di Bin-tuni, harapnya semoga selalu dilakukan beriringan dengan pengembangan kapasitas masyarakat lokal, agar masyarakat dapat memahami, dan menjadi bagian dari pembangunan karena proses adalah sama pentingnya dengan hasil akhir.

Nella A. P., lahir di Yogyakarta pada 8 April 1990. Mahasiswa jurusan Ilmu Komu-nikasi UGM ini memiliki kebiasaan bergerak cepat, mulai dari berbicara, makan, bekerja hingga berfikir. Kegemarannya pada dunia akademis dan keilmuan, membawanya pada cita-cita untuk menjadi peneliti. Baginya, melalui penelitian, orang akan terus belajar karena hakikat manusia adalah sebagai pem-belajar. Kepeduliannya terhadap isu-isu pe-rempuan membuatnya ingin menjadi Menteri

Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Bagi Nella, dari KKN Bintuni, telah dia temui makna baru tentang hidup dan menjalani hidup, termasuk keluarga baru yang masing-masingnya memiliki warnanya sendiri. Dia juga merasakan berbagai rasa per-men, Hexos, Nano-nano, Kopiko, Tamarin bahkan Brotowali dalam kemerekaan dan kekamian bersama Tim KKN. Hingga akhirnya, Nella tidak mengenal lagi sekadar kata ke-aku-an dalam segala tanggang jawab. “Berdayalah perempuan-perempuan Bintuni, di tengah seksisnya hukum adat,” merupakan harapannya terhadap Bintuni.

Page 270: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

246

Berparas Cina, membuat Nicko Alfiansa disapa Ocin. Lahir di Muaro Bungo, 23 De-sember 1990 dengan hobi bermain game ‘Zombie vs Plants’, makan kepiting asli Bin-tuni yang berukuran sangat besar adalah secuil pengalaman tak terlupakan bagi mahasiswa Manajemen Kebijakan Publik ini. Kecintaan-nya pada tanah kelahiran membuatnya ingin menjadi Bupati Lahat. Baginya, menginjak-kan kaki di Tanah Papua salah satu dari tujuan hidup dari awal kuliah. KKN di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat selama dua bulan merupakan pengalaman yang tak akan terlupa-kan. Bertemu, bercerita dan tertawa bersama dengan masyarakat di kampung-kampung lo-kal, banyak hal-hal baru yang didapatkan yang tidak didapatkan di Jawa dan Sumatera. Harapannya untuk Bintuni, “Rubalah kehidupan dengan pendidikan, sekolahkan adik-adik setinggi mungkin mama-mama/pace-pace sehingga mendapatkan kehidupan yang maju.”

Norombini Rumawas adalah nama len-gkap dari gadis kelahiran Purbalingga, 28 Juni 1989 bersapaan Noni. Kecintaan Mahasiswa Sastra Asia Barat terhadap dunia pendidikan membuatnya ingin memiliki sekolah. Baginya, KKN Bintuni merupakan tempat belajar me-nikmati hidup dari sisi yang lain, melihat Indo-nesia dari sisi yang lain, langitnya manis, hujan-nya cantik. Harapannya, Bintuni menjadi lebih baik, lebih keren, lebih bersih, lebih banyak cinta, lebih progresif, lebih ceria.

Page 271: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

247

Ratnakanya Nitya Hadyani yang sering disapa Kanya lahir di De-pok pada 22 September 1990. Ga-dis yang memiliki hobi travelling ini bercita-cita untuk keliling dunia. Se-bagai mahasiswa Ilmu Sejarah UGM, Kanya memiliki kesan tersendiri ter-hadap KKN Bintuni, pengalaman hidup yang indah dan tidak terlupakan saat dia berjuang bersama tim dalam perjalanan ke Surga Timur, di Teluk Bintuni, Papua Barat. Harapannya bagi tim KKN dan juga masyarakat lokal di Teluk Bintini, “Berkembanglah, tumbuhlah, Teluk Bintuni, menjadi sesuatu hal yang besar dan dilihat dunia, bermula dari sebuah kata harapan yang semoga tertanam kuat di dalam hati kecil kalian.”

Regia Suistiarsy adalah nama lengkap dari gadis bersapaan Egi. Lahir di Jakarta pada 9 De-sember 1990 dan menyandang status sebagai ma-hasiswa Sastra Asia Barat membuatnya bercita-cita sebagai Diplomat Muda. Kesannya terhadap KKN Bintuni, merasakan betapa pentingnya komunikasi dan musyawarah untuk mendapat-kan sebuah kesepakatan dalam kumpulan orang banyak dengan mengedepankan kebaikan bukan ego, banyak hal menarik dalam hal memahami karakter setiap orang agar dapat melahirkan sikap toleransi dalam diri saat menghadapi kondisi yang

sulit. Dari KKN ini, ia belajar bagaimana mempelajari sesuatu untuk menjadi motivasi dalam berproses, dan ternyata berproses itu indah. Harapannya untuk masyarakat Bin-tuni, supaya mereka lebih pintar dalam mengelola kehidupan ekonomi secara cerdas, ma-syarakat memiliki impian yang tinggi sehingga tidak cepat puas dengan kehidupan yang diperoleh saat ini. Untuk pemerintah daerah saya berharap bisa lebih memperhatikan Masyarakat akan kesadaran pendidikan pada mereka, sehingga masyarakat bisa menjadi bibit unggul untuk mendukung Indonesia menjadi negara yang maju. Amiiin.

Page 272: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

248

Ruseha Achmad atau yang sering disapa Seha adalah mahasiswa Manajemen Kebijakan Publik ke-lahiran Temanggung 30 November 1989. Baginya KKN adalah pengalaman yang sangat berharga ka-rena akhirnya ia bisa menginjakkan kaki di Papua. Hidup selama kurang lebih 2 bulan bersama teman-teman yang top banget, Ia merasa mendapatkan ba-nyak sekali pembelajaran. Sebuah pengalaman yang tak akan terlupakan sampai mati. Harapannya, se-moga Kabupaten Bintuni bisa lebih maju untuk ke depannya, lebih tertata masyarakatnya, lebih lancar transportasinya, dan semoga Bintuni bisa memiliki sumber air bersih dan jernih.

Teguh Krisma Aji, lahir di Surabaya 26 Februari 1989. Mahasiswa jurusan Administrasi Negara Fisipol UGM memiliki kesan yang mendalam dan tak terlupa-kan akan keunikan, keramahan, dan keragaman budaya masyarakat lokal setempat, dirangkumnya dalam satu kata, “Amazing Bintuni”. Distrik Bintuni menurutnya mempunyai potensi besar untuk maju dan berkembang lebih baik. Harapan itu pasti akan tercapai jika dilakukan peningkatan SDM masyarakat Bintuni itu sendiri, secara selaras antara masyarakat asli maupun pendatang.

Wildan Sayidi adalah mahasiswa Biologi UGM yang sering disapa Kyai Buta. Ketertarikannya pada dunia religi membawanya ingin menjadi cendikia-wan muslim. Lahir di Cirebon 22 September 1989. Baginya sangat berat hati bila harus mengingkari bahwa keluarga harmonis selain keluarga pribadi di rumah adalah Tim KKN-PPM UGM Teluk Bin-tuni 2011. Ia tidak temukan keragaman karakter pemikiran yang menyatu dalam kekuatan watak ego

Page 273: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

249

remaja namun friendship semacam itu, kecuali di unit KKN 119 ini. “Keep our silaturahim saudara-saudaraku!” begitu pesannya. Harapan Wildan untuk Teluk Bintuni ke depan, adalah menjadi Kabupaten yang “mandiri” (mampu untuk berdiri sendiri) dan “beriba-dat” (bersih, indah, bagus, aman, terkendali, dan tertib).

Zaenal Abidin mengawali karier di Papua sejak tahun 1997 sebagai Advisor Community Develop-ment di Pegunungan Tengah dalam proyek Kaji Tindak Partisipatif Masyarakat Desa Tertinggal ker-jasama P3R-YAE-Bappenas-UNDP. Sebelumnya pria kelahiran Pemalang, 17 Juli 1965 ini berprofesi sebagai Trainer pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan BINA SWADAYA di Cimanggis Bogor sejak 1995. Perhatian dan keprihatinan akan kondisi kesehatan masyarakat di Tanah Papua terutama dari ancaman HIV dan AIDS maka sejak 2001 hingga 2010 ber-gabung dengan Family Health International (FHI)-

USAID dalam proyek Aksi Stop AIDS (ASA) sebagai Program Manager. Menyadari ba-hwa implementasi program di lapangan bagi masyarakat Papua membutuhkan kebijakan yang memihak akan eksistensi bagi orang asli Papua maka sejak pertengahan 2010 dia melanjutkan studi pada Magister Studi Kebijakan (MSK) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lagi-lagi perhatian dan “cintanya” terhadap masyarakat di Tanah Papua mendorongnya untuk bergabung dalam Tim Integrated Sosial Program (ISP) dalam as-pek Governance kerjasama PSKK-UGM dengan BP Tangguh untuk wilayah Kabupaten Teluk Bintuni Papua Barat sejak Mei 2011.

Page 274: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

250

Biodata Dosen Pembimbing Lapangan (DPL)

Agus Heruanto Hadna, staf peneliti Pu-

sat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK)

UGM mengawali karirnya sebagai dosen Manaje-

men Kebijakan Publik Fisipol UGM pada 1995.

Sebelumnya, mendapat gelar sarjana dari jurusan

Administrasi Publik Fisipol UGM pada 1993 ke-

mudian melanjutkan pendidikan dan mendapati

gelar Master Administrasi Publik yang diberikan

oleh UGM pada 1998. Di sela-sela karirnya se-

bagai staf peneliti PSKK UGM yang dimulai

pada 2000, laki-laki asal Purwokerto ini mela-

njutkan studi di Institut fuer Politikwissenschaft,

Fachbereich Gesellschaftswissenschaften, Uni-

versitaet Duisburg-Essen, Germany, dan mendapatkan gelar Ph.D Administrasi Publik pada

2007. Kemudian kembali ke Indonesia sebagai dosen Administrasi Publik UGM. Selain itu,

Hadna juga merupakan Vice Director dari program Master Studi Kebijakan UGM. Kepala

Koalisi untuk Populasi dan Pembangunan Provinsi Yogyakarta periode 2011-2014 ini juga

pernah menjadi Ketua Jurusan Administrasi Publik Fisipol UGM pada 2009-2011. Beberapa

karyanya yang dipublikasikan adalah atas kerja sama dengan PSKK UGM dan beberapa pi-

hak lain adalah: Citizens’ Charter Evaluation in Blitar Municipality; Lokal Governance Assessment in

Teluk Bintuni, West Papua, Situation and Analysis of Children in Indonesia, Capacity building program

for Lokal Government of Teluk Bintuni Regency, West Papua; Policy for Children in Decentralization

Era, a chapter in book title “Dinamika Kependudukan dan Penguatan Governance”; dan Cus-

tomer Satisfaction Survey for Public Facilities and Public Services in Jogjakarta Municipality.

Page 275: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

251

Anna Marie Wattie, dosen Fakultas

Ilmu Budaya UGM yang tertarik dan fokus

pada studi isu gender, kekerasan dan konflik,

kesehatan, migrasi, kelompok marjinal dan

kebijakan sosial. Lulusan doktoral Universi-

tas Amsterdam ini juga merupakan peneliti

di Pusat Studi Kebijakan dan Kependudu-

kan (PSKK) UGM. Mendapat gelar Sarjana

pada 1987 dari Jurusan Antropologi UGM

dan Master dari Manila University dengan

konsentrasi Antropologi, turut membawa-

nya pada pengalaman lain, yakni sebagai

dosen Studi Populasi program Master di

Fakultas Geografi UGM. Selain mengampu

sebagai dosen Jurusan Antropologi dan Geografi, anggota Asosiasi Antropologi Indonesia

ini juga menjadi dosen Master Manajemen dan Master Akutansi di Fakultas Ekonomika dan

Bisnis UGM. Beberapa penelitiannya seperti The Condition of Sosial Economy and Cultural of

the Elderly in “Human Resources, Challenge of the Future” diterbitkan oleh Pustaka Pelajar dengan

kerjasama dengan PSKK UGM. Beberapa karya lainnya seperti “Trafficking and Sexuality in

Indonesia-Malaysia Cross-Border Migration”, in Living on the Edges, Cross-border Mobility and

Sexual Exploitation in the Greater South-east Asia sub-Region , dalam Introduction di A New Face in

A Far Away Place, Sexual Network Across Borders Within Greater Southeast Asia Nations dan masih

banyak lagi karyanya diterbitkan oleh PSKK UGM kerjasama dengan Rockefeller Founda-

tion. Karirnya sebagai editor juga Nampak pada beberapa buku yang menjadikannya sebagai

‘gate keeper’, seperti; Customs Restrictions and Violence Against Women dan Seeking a Safe Place for

Women; the Case of North Sumatra, The Wall of Traditions and The Acts of Violence Against Women.

Page 276: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

252

Potret Rekam Jejak

Page 277: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

253

Page 278: Meretas Harapan Di Kampung Petatas

254

”Kitong Pu Harapan”

“Roda kehidupan masyarakat Bintuni pun bergulir. Kampung Iguriji merupakan salah satu elemen peradaban yang ikut berputar di

dalamnya.”

Pendidikan dan agama // kedua instrumen yang telah turut membawa masyarakat Iguriji pada perubahan // kehidupan baru // pun harapan baru // namun / tidak begitu saja menggerus nilai-nilai keadatan dan kebudayaan yang telah tertanam dalam kehidupan mereka // meskipun kini mereka tonggal di pesisir / mereka masih melestarikan tari tumbuk tanah yang dibawanya dari pegunungan // mereka masih bangga menarikannya kapan pun // bahkan di waktu-waktu senggangnya//

Pengaruh agama dan pendidikan menjadikan manusia menjadi lebih arif // perenungan yang dalam tentang makna hidup manusia akan membawa manusia lebih bijak mengikuti perubahan waktu // karena kebijaksanaan adalah tentang keberanian melangkah menatap masa depan // bukan tentang perubahan yang kita tunggu dalam berubahnya waktu // menyambut harapan baru // meraih identitas baru // selamat datang masa depan //

Sinopsis Film