Upload
inferrar-heavoir
View
237
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
1/34
MAKALAH USHUL FIQH
SUMBER HUKUM ISLAM YANG TIDAKDISEPAKATI: ISTIHSAN, ISTISHAB,
MASHLAHAH MURSALAH
Dosen Pengampu : H. Sudirman, S.Ag, M.Ag
Disusun oleh :
Dewi Afifah (13110133)
Aji Bagus Khoiri (13110139)
KELAS PAI-D
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
JAWA TIMUR
MARET 2016
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
2/34
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
3/34
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah serta inayah-Nya
kepada kita, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat
waktu, sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada nabi Muhammad SAW
yang telah membimbing kita pada addinul Islam yang di ridhoi Allah.
Dalam makalah yang berjudul “SUMBER HUKUM ISLAM YANG
TIDAK DISEPAKATI: ISTIHSAN, ISTISHAB, MASHLAHAH MURSALAH”
ini, kami membahas tentang Istihsan, Istishab, serta Mashlahah Mursalah dalam
kedudukannya di Ilmu Ushul Fiqh, agar kita mampu memahami tentang ketidak
sepakatan ulama mengenai sumber pengistinbatan hukum yang tidak disepakati ini.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan, maka dari itu saran dan kritik yang membangun sangat kami butuhkan,
agar dalam pembuatan makalah selanjutnya kami bisa menjadi lebih baik lagi.
Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya,
dan bagi penyusun pada khususnya.
Malang, Maret 2016
Penyusun
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
4/34
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar belakang masalah ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
C. Tujuan .................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3
A. Istihsan ................................................................................................................... 3
B. Istishab ................................................................................................................. 17
C. Mashlahah Mursalah .......................................................................................... 23
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 28
Kesimpulan .................................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 30
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
5/34
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu intsrumen penting yang harus
dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan
istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria
seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu
syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap
berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta
yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqh tidaklah serta
merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid.
Disamping faktor eksternal Ushul Fiqh itu sendiri, seperti penentuan
keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqh sendiri pada sebagian
masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin.
Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul
menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang
diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan
hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati
ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-
Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang
dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur
fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh
ahli ijtihad sendiri yaitu: Istihsan, istishab, Mashlahah mursalah, Urf,
Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang beberapa sumber hukum
Islam yang tidak deisepakati meliputi Istihsan, Istishab, dan Mashlahah
mursalah yang mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya,
kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh produk hukumnya.
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
6/34
2
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud Istihsan dalam Ushul Fiqh?
b. Apa yang dimaksud Istishab dalam Ushul Fiqh?
c. Apa yang dimaksud Mashlahah Mursalah dalam Ushul Fiqh?
d. Bagaimana kehujanan ketiganya dalam Ushul Fiqh?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui Istihsan dalam Ushul Fiqh
b. Untuk mengetahui Istishab dalam Ushul Fiqh
c. Untuk mengetahui Mashlahah Mursalah dalam Ushul Fiqh
d. Untuk memahami kehujanan ketiganya dalam Ushul Fiqh
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
7/34
3
BAB II PEMBAHASAN
A.
Istihsan
Definisi Istihsan
Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya
sesuatu” tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam
mempergunakan lafal istihsan.1 Adapun pengertian istihsan menurut istilah,
sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf 2
كلى
حكم
عن
خفى و
قياس
مقتصنى
جلى لى
قياس
عن
عدول لمجتهد
هو
لى حكم ستسنائي نقدع فى قله رجع لديه هذ لعدول
“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan
qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau
ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i
(pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil
(alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.
Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai
berikut:
1. Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut
ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-
Qur’an berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut qiyas.
• Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub
dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid haram membaca Al-Qur’an.
• Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh
karena itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an,
1 Al-Syarahsi, Ushul al-Syarahsi, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Juz: II, 1993, hlm. 2002
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-fikih, Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII, 1991,hlm.79
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
8/34
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
9/34
5
hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih
menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya,
persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas,
tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus
berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau
ketentuan yang sudah jelas.
Dasar Hukum Istihsan
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-
Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif
(lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-
Zumar: 185
يٱ نعلقٱح ٱ�ٮٱي و ك عن
وا ك و وب ٱ
18. yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baikdi antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan
mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal
Hadits Nabi saw:
ه س
َّ
لل هو عند ا فِّ
و س ه حسن وما ر
َّ
لل هو عند ا ف ى لمسلمون حس ئفما رِّ
.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu
yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang
sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum
muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini
menunjukkan kehujjahan Istihsan.
Salah satu contohnya adalah mengenai sisa minuman burung buas,
seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal
5 Muhammad Ma’shum Zain, Ilmu Ushul Fiqh, Jombang: Darul Hikmah, 2008, hlm. 106
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
10/34
6
diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman
binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum
karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu
diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan
mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas
khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas.
Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut
burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan
tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung
buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara
oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu
yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas.
Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas
khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan kedua: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan
atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya,
pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan
perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara’ memberikan rukhshah
(keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan
dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan
pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk
memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah
kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan
menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan
adat kebiasaan dalam masyarakat.
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut
mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi
atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa
atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan
khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka
jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
11/34
7
mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya
adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi,
golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan
sebagian Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah
ialah Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum
syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang
berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’
berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum
syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau,
dinyatakan: “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang
yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan
bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat
syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.”
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu
serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa
istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut
pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam
qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu,
sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak,
kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu
diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati,
tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam
kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: “orang yang menetapkan hukum
berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata,
akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai
dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-
kaidah syara’ yang umum”.
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
12/34
8
Pembagian Istihsan dan Contohnya
Dilihat dari sisi hubungan antara Qiyas dengan Istihsan, dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:6
a. Qiiyas jali. Qiyas ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Qiyas bi al-Ta’tsir/efek penetapan hukum, yaitu qiyas dengan efek
penetapan hukum yang lemah jika dibandingkan dengan istihsan
sebagai pembandingnya.
2. Qiyas yang secara lahiriyah lemah dan batal, tetapi jika dilakukan
penilitian secara cermat, ditemukan adanya keabsahan atau
ditemukan ditemukan ada efek penetapan hukum, lantaran adanya
hal-hal yang tersembunyi yang menjadikannya sebagai landasan
dari penetapan hukum tersebut.
b. Istihsan. Hal ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Istihsan bi al-Ta’stir/efek penetapan hukum, yaitu istihsan dengan
efek penetapan hukum yang lebih kuat, sekalipun tersembunyi.
2.
Istihsan yang secara lahiriyyah terlihat efek penetapan hukumnya,
sekalipun jika dicermati ditemukan sisi ketidak absahan yang
tersembunyi.
Sedang unntuk menyelesaikan persoalan tersebut, yang menjadi fokus
persoalannya hanya terdapat pada efek penetapan hukunya (ta’stir), bukan pada
aspek lahir dan tersembunyinya, artinya jika efek penetapan hukum qiyasnya
itu sangat kuat, maka yang harus diprioritaskan adalah istihsan, yaitu:
Bagian pertama dari istihsan itu, harus diprioritaskan atas bagian
pertama dari qiyas
Contoh:
“Kasus Air Sisa Minumam burung buas (seperti Elang, Rajawali).
Dalam menentukan status kesucian air tersebut, ditemukan adanya
kotradiksi antara qiyas dan istihsan, yaitu:
6 Ibid , hlm. 109-111
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
13/34
9
• Qiyas, air tersebut najis
Analoginya pada air sisa minuman binatang buas, seperti serigala atau
semacamnya, sebab fokus penetapan suatu kesucian air tersbut adalah daging
tubuhnya, sedang daging burung buas dan binatang buas adalah haram. Karena
itu, sisa air minumnya berstatus najis, sebab bercampurnya air liur yang keluar
dari tubuh yang najis.
Illatnya adalah keharaman mengkonsumsi keduanya.
• Istishan, air tersebut suci
Analoginya pada sisa air minuman manusia, karena keduanya tidak
boleh dimakan daginnya
Illatnya adalah minumnya burung melalui peruhnya dan paruh adalah
tulang yang sifatnya kering dan suci, sedang binatang buas menggunakan lidah
yang basah dan bercampur dengan air liur yang keluar dari tubuh yang najis,
sehingga air sisa minumannya berstatus najis.
Bagian kedua dari qiyas harus diprioritaskan atas bagian kedua dari istihsan.
Contoh:
“Kasus Sujud Tilawah ditengah-tenga bacaan Al-Qur’an dalam
Sholat”
Dalam menentukann status boleh tidaknya sujud tilawah bacaan al-
Qur’an di dalam sholat dilaksanakan dengan ruku’, ditemukan adanya
kontradiksi antara qiyas dan istihsan, yaitu:
• Qiyas, sujud tilawah dilaksanakan dengan ruku’ dengan niat sujud, sebab
tujuan utama sujud adalah mengekspresikan pengagungan, sebagaimana
petunjuk al-Qur’an, yaitu:
ركعا و ناب. وظن د ود نما فتناه فاستغفر ربه وخر
Dan Dawud mengetahui bahwa Kami mengujinya, maka ia meminta ampun
kepada Tuhannya, lalu menyungkur sujud dan bertaubat.
• Istihsan. Harus dilaksanakan dengan sujud.
Analoginya pada sujud dalam sholat yang tidak dapat diganti dengan ruku’
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
14/34
10
Hal ini secara lahiriyyah benar, tetapi dalam sisi penerapannya
ditemukan adanya pengertian yang tersembunyi, sebab dalam penerapan
metode ini sama halnya dengan menyamakan dua hal yang ternyata terdapat
faktor perbedaan (qiyas ma’a al-Fariq), yaitu ruku’ dan sujud dalam sholat,
sebab Allah berfirman, al-haj:77 yaitu:
يٱاا اعرٱو
77. Hai orang-orang yang beriman, ruku´lah kamu, sujudlah kamu,
Padahal, tujuan utama diperintahkan sujud tilawah dalam sholat adalahekspresi pengagungan sebagai suatu bentuk peribadatan dalam wujud ruku’
dalam sholat, sedang diluar sholat tetap harus dilakukan sebagaimana biasa,
yaitu dengan cara sujud.
Dengan demikian, sujud tilawah seperti ini, merupakan penerapan qiyas
harus diprioritaskan atas penerapan istihsan.
Dilihat dari pengambilan dalilnya, Ulama Hanafiah membagi Istihsan
kepada enam macam. Sebagaimana di jelaskan oleh al-Syatibi7, yaitu:
1. Istihsan bil an-Nash (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits). Yaitu
penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada
ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan
nash al-kitab dan sunnah. Contoh: dalam masalah wasiat. Menurut
ketentuan umum wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik
kepada orang yang berwasiat ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi,
yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umum ini di dikecualikan melalui
firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa ayat 11 yang artinya: “setelah
mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang”. Contoh istihsan dengan
sunnah Rasulullah adalah dalam kasus orang yang makan dan
minum karena lupa pada waktu ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum
(qiyas), puasa orang ini batal karena telah memasukan sesuatu kedalam
7
Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah, Beirut : Dar al-Makrifah, jilid IV, 1975,hlm. 206-208
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
15/34
11
tenggorokannya dan tidak menahan puasanya sampai pada waktu berbuka.
Akan tetapi hukum ini dikecualikan oleh hadits Nabi Saw yang
mengatakan: “Siapa yang makan atau minum karena lupa ia tidak batal
puasanya, karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah
kepadanya” (HR. At.Tirmidzi).
2. Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma).yaitu
meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena
ada ijma. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang
berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para
mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia,
yang sebetulnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang telah
ditetapkan.8 Misalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah
umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu harus berapa lama
seseorang harus mandi dan berapa liter air yang dipakai. Akan tetapi,
apabila hal itu dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh
sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa
pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lamanya
waktu yang dipakai.
3. Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang
tersembunyi). Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum
qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya
lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan.9 Misalnya, dalam wakaf lahan
pertanian. Menurut qiyas jali, wakaf ini sama dengan jual beli
karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindah
tangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati
tanah tersebut atau mengalirkan air ke lahan pertanian melalui tanah
tersebut tidak termasuk ke dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan
dalam akad. Dan menurut qiyas al-khafi wakaf itu sama dengan akad sewa
8 Muhammad al-Said Ali Abdul Rabuh, Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha inda al-Ushuliyin,
Mesir: Matba’ al-Sa-adah, 1980, hlm.729 Ibid, hlm. 74
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
16/34
12
menyewa, karena maksud dari wakaf itu adalah memanfaatkan lahan
pertanian yang diwakafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak melewati
tanah pertanian itu atau hak mengalirkan air diatas lahan pertanian tersebut
termasuk kedalam akad wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad.
4. Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya
kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut
kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam
keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa
penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatanorang itu, maka menurut kaidah
istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat
kepadanya.
5. Istihsan bi al-Urf ( Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku
umum). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan
qiyas, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam
kehidupan masyarakat. Contohnya seperti menyewa wanita untuk
menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan
pakaiannya.
6. Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah). Yaitu seorang
mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu
masalah karena berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid
berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat
atau menolak terjadinya kemudharatan. Misalnya dalam kasus sumur yang
kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur tersebut sulit dibersihkan
dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena sumur yang
sumbernya dari mata air sulit dikeringkan. Akan tetapi ulama Hanafiah
mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini untuk menghilangkan najis
tersebut cukup dengan memasukan beberapa galon air kedalam sumur itu,
karena keadaan dharurat menghendaki agar orangtidak mendapatkan
kesulitan untuk mendapatkan air untuk ibadah.
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
17/34
13
Ikhtilaf Para Ulama Tentang Istihsan
Menyikapi penggunaan Istihsan kemudian menjadi masalah yang
diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan
besar yang berbeda dalam menyikapi Istihsan sebagai salah satu bagian metode
ijtihad. Imam Abu Hanifah sebagai seorang yang menampilkan istihsan sebagai
salah satu dalil dalam istinbath hukum, mendapat serangan dan kritikan yang
hebat dari lawan-lawan yang menolak istihsan.10 Berikut ini adalah penjelasan
tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.
a. Kelompok Yang Menerima Istihsan sebagai Dalil Hukum
Istihsan dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah.
Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Adapun yang
menjadikan alasan bagi kelompok ini, bahwa istihsan sebagai salah satu dalil
hukum syara dan merupakan hujjah dalam istinbath hukum adalah:
1. Berdasarkan penelitian terhadap berbagai kasus dan penetapan hukumnya
ternyata berlawanan dengan ketentuan qiyas atau ketentuan umum, dimana
kadang-kadang dalam penerapannya terhadap sebagian kasus tersebut justru
bisa menghilangkan kemaslahatan yang dibutuhkan oleh manusia, karena
kemaslahatan itu merupakan peristiwa khusus. Maka, sangat tepat jika
membuka jalan seseorang mujtahid untuk memalingkan suatu kasus yang
seharusnya berdasarkan qiyas atau ketentuan kulli kepada ketentuan hukum
yang lain agar dapat merealisir maslahat dan menolak mafsadat.11
2. Kelompok ini menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an dalam mempertahankan
istihsan sebagai hujjah, yang mana ayat-ayat tersebut mengacu kepada
mengangkat kesulitan dan kesempitan dari umat manusia. Menggunakan
dalil sunnah sebagai berikut:
.رو ه حمد بن حن حسما ر ه لمسلمون حسنا فهو عند هللا
10 Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-pokok pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam Membina Hukum Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, jilid I, cet 1, 1997, hlm. 16111
Abdul Wahab Khallaf, “Mashadir al-Tasyri’ al-Islami Fima La Nassafih” , Dar al-Qalam, cet. III,1972, hlm.77
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
18/34
14
Artinya: “Apa saja yang dipandang baik oleh umat Islam baik juga di
sisi Allah “.(HR. Ahmad Ibn Hanbal)
Menurut Madzhab Maliki, istihsan adalah salah satu metode istinbat
(menyimpulkan) hukum yang diakui diambil secara induktif (istiqro’i) dari
sejumlah dalil secara keseluruhan (jumlah). Dengan demikian orang yang
menggunakan istihsan tidak berarti semata-mata mengunakan perasaannya dan
keinginannya yang subjektif, tetapi berdasarkan tujuan (maqosid) syara’. Karena
apabila kias yang diamalkan maka tujuan syarak dalam menurunkan hukum tidak
akan tercapai. Misalnya, membuka aurat untuk keperluan pengobatan dalam rangka
mencari penyembuhan suatu penyakit, apabila kias yang diamalkan maka aurat
tidak boleh dibuka untuk keperluan pengobatan, maka upaya pengobatan tidak bisa
dilakukan, dan ini berarti menimbulkan kesulitan.
Selain itu Ia juga berpendapat bahwa al-istihsan adalah mengambil
maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh)
dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas
bahwa al-istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu
dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering
dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang
dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan
selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak
merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun
bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata,
melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya
berbeda. Dalil kedua ini dapat berwujud ijma’, ‘urf atau al-maslahah al-mursalah
b. Kelompok Yang Menolak Istihsan Sebagai Dalil Hukum
Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat
ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.Para pendukung pendapat ini
melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1. Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’an, al-Sunnah atau apa yang
dilandaskan pada keduanya. Sementara Istihsan bukan salah dari hal
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
19/34
15
tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan
sebuah hukum.
2. Firman Allah:
يٱاعط ٱو وٱسلو طعاٱ� اا
فدوه ز ت ن �ن تؤن ٱسلوٱ�ف
و
ٱ
خ
ٱ
خ
ك
ح و
تأو
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya
Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya
dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara Istihsan tidak termasuk dalam
upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat
diterima.
1. Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan
akalnya atas dasar Istihsan dalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka
tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi
lebih cerdas dari pada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh
siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan Istihsan
dengan logikanya sendiri.
2. Istihsan adalah menetapkan hukum berdasar maslahah. Jika maslahah itu
sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman
dalam istihsan adalan maslahah menurut para ulama’.
3. Rosulullah SAW ketika menghukumi persoalan yang belum ada dalam al
Qur’an tidak menggunakan istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu.
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
20/34
16
4. Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah berijma’ untuk tidak
menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-
Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu!
Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah…’ ….”
Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah
Istihsan dalam Fiqih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka
masing-masing. Lalu manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut?
Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita
akan menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan Istihsan sebagai salah
satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal
dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas.
Setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi dalam proses Istihsan: ketiadaan nash
yang sharih dalam masalah dan adanya sandaran yang kuat atas Istihsan
tersebut (sebagaimana akan dijelaskan dalam “Jenis-jenis Istihsan).
Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama
yang menolak Istihsan, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka
menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang
mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil
olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan
penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa Istihsan sendiri mempunyai batasan yang
harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya
hanya menolak Istihsan yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa
dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
21/34
17
B. Istishab
Definisi Istishab
Istishab menurut etimologi berasal dari kata istishaba dalam sighat istif’al
فعال ) س ) yang bermakna: ه حَّ
لص ر مر س . Kalau kata ه حَّ
لص diartikan
dengan sahabat atau teman dan ر مر س diartikan selalu atau terus menerus,
maka istishab secara lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai.
Atau diartikan dengan minta bersahabat , atau membandingkan sesuatu dan
mendekatkannya, atau pengakuan adanya perhubungan atau mencari sesuatu
yang ada hubungannya11F12. Dan disebutkan juga bahwa istishab berasal dari kata
shuhbah artinya “menemani atau menyerta”, dalam artian menurut kebersamaan
atau “terus menerusnya bersama”sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli
bahasa dengan mengatakan:
ه صح س ا فقد زم ش شي
ُّ
كل
Artinya: “Segala sesuatu yang menetapi pada sesuatu, maka ia menemani atau
menyertainya”.
Dari pengertian yang lain, menurut bahasa perkataan Istishab diambil
dari perkataan “Istishhabtu maa kaana fil maadhi,” artinya “saya membawa
serta apa yang telah ada waktu yang lampau sampai sekarang.
Menurut Istilah Usul, Istishhab ialah melanjutkan berlakunya hukum
yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil
lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain;
Istishhab ialah menganggap hukum sesuatu soal yang telah ada menyertai tetap
soal tersebut, sampai ada dalil yang memutuskan adanya penyertaan tersebut.
Kalau sesuatu dalil syara` menetapkan adanya sesuatu hukum pada sesuatu
waktu yang telah lewat dan menetapkan pula berlakunya untuk seterusnya,
maka hukum tersebut tetap berlaku, tanpa diragukan lagi. Seperti firman Allah:
12
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Amzah, 2005. hlm.142
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
22/34
18
“Jangan kamu terima persaksian mereka selamanya.”. Akan tetapi kalau dalil
tersebut hanya menetapkan adanya hukum saja, pada waktu yang telah lampau,
tanpa menyinggung-nyinggung tetap berlakunya, maka apakah hukum tersebut
dianggap telah berlaku atau tidak?Sedang menurut istilah ditemukan beberapa
redaksi dari para ahli yang mendefinisikannya, diantaranya adalah:
Imam al- Asnawy:
ع
ا
ا
َّ
ل مان
َّ
ل ىف
م
ون ت ي
حلكم
عن
ارة ع
صحاب س
َّ
ىفن
وته ب ث
ى
ُّريغَّت ل ل
ِ
ح مايص
وجود
عد
ألوَّل لَّمان
“Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan
sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan
dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut
Istishab diartikan Hasby Ash-Shiddiqy dengan:
“Mengekalkan apa yang telah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak ada
yang mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum diyakini.
Dari pengertian yang lain juga disebutkan, istishab berasal dari bahasa
Arab ialah: pengakuan adanya perhubungan. Sedangkan dari kalangan ulama`
(ahli) ushul fiqih Istishab menurut istilah adalah menetapkan hukum atas
sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang
menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum yang
telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga
ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya Adapun definisi Istishab
menurut Al Ghazali adalah berpegang pada dalil akal atau syara`, bukan
didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan
pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah
hukum yang telah ada. Atau tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari
suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut,
atau menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang
mengubah ketetapan hukum itu.
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
23/34
19
Menurut Ibnu Qayyim, istishab adalah menyatakan tetap berlakunya
hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya
hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Menurut Asy
Syatibi, istishab adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang
lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik sebuah ikhtisar
bahwa istishab adalah:
1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan tetap
berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
Contohnya adalah sebagai berikut: Seseorang yang mulanya ada wudhu,
kemudian datang was-was dalam hatinya, bahwa boleh jadi dia telah
mengeluarkan angin yang membatalkan wudhunya. Dalam kondisi begini,
hendaklah ia menetapkan hukum semula, yaitu ada wudhu. Dan was-was
yang datang belakangan itu, tidak boleh mengubah hukum yang semula.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada
masa yang lalu
Contohnya adalah sebagai berikut: Telah terjadi perkawinan antara
laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di
tempat berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu, maka B
ingin kawin dengan laki-laki C. Karena dalam hal ini B belum dapat kawin
dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada
perubahan hukum tali perkawinan walaupun mereka telah lama berpisah.13
Macam-Macam Istishab
Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima
macam.14 Yaitu:
1. Istishab hukm al- ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum
sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil
yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang
13 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, loc.cit. 14
Al-Banani, Hasyiyah al-Banani ala Syarh al-Mahalli ala matn Jam’i al-Jawami . Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II, 1983, hlm. 284
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
24/34
20
ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak
menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada
bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.
2. Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan
berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i.
Maksudnya memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya
peniadaan yang dibuat oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang
menjelaskannya. Dalam objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi
kepada hukum akal dalam hukum ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian
menurut aslinya). Akal menetapkan bahwa dasar hukum pada segala yang
diwajibkan adalah dapat diwajibkan sesuatu, kecuali apabila datang dalil
yang tegas mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu seseorang dianggap
berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.
3. Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum
datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama
tidak ada dalil yang naskh (yang membatal-kannya). Suatu nash yang
umum mencakup segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu
nash lain yang menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalan
takhsish. Atau sesuatu hukum yang umum, tidaklah dikecualikan
sesuatupun daripadanya, melainkan dengan ada suatu dalil yang khusus.
Contohnya: kewajiban puasa di Bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat
sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183)
selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.
4.
Istishab An-Nashshi ( Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada
kondisi sekarang dalam menentukan status hukum pada masa lampau, sebab
istishab pada bentuk-bentuk sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu
pada masa kedua berdasarkan ketetapannya pada masa pertama lantaran
tidak ditemukannya dalil secara spesifik. Urgensinya, dalam suatu dalil
(nash) terus-menerus berlaku sehingga di-nasakh-kan oleh sesuatu nash,
yang lain. Contoh: kasus adanya seseorang yang sedang dihadapkan
pertanyaan, apakah Muhammad kemarin berada di tempat ini?, padahal
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
25/34
21
kemarin ia benar-benar melihat Muhammad disini. Maka ia jawab, benar ia
berada disini kemarin.
5. Istishab Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau
tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum demikian sehingga
diyakini ada perubahannya. Disebut pula dengan istishabul madhi bilhali
yakni menetapkan hukum yang telah lalu sampai kepada masa sekarang.
Yaitu istishab terhadap hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang
dalam perkembangannya memicu terjadinya perselisihan pendapat. Contoh:
Kasus orang yang bertayamum, dalam pertengahan shalat melihat air.
Menurut ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal, keabsahan shalat itu
ditentukan sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula pada
keberlanjutan ketetapan hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang
menunjukkan batalnya penetapan tersebut.
Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Hukum Islam
Para Ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishab
ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi.15
Pertama, menurut mayoritas mutakallimin (ahli kalam), istishab tidak
bisa dijadikan dalil. Karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau
menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama
pada masa sekarang dan yang akan datang. Istishab bukanlah dalil, karenanya
menetapkan hukum yang ada pada masa lampau berlangsung terus untuk masa
yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini sama
sekali tidak dibolehkan dalam syara’.
Kedua, menurut mayoritas ulama Hanafiah, khususnya mutaakhirin,
istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada
sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan
datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada. Alasan mereka
seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah yang sudah ada,
mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah di batalkan.
15 Wahbah al-Zuhaili, “Ushul al-Fiqh al-Islami” , Beirut: Dar al-Fikr, Juz II, 1986, hlm.862-863
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
26/34
22
Akan tetapi ia tidak mengetahui atau tidak menemukan dalil yang menyatakan
bahwa hukum itu sudah dibatalkan. Dalam kaitan ini, mujtahid tersebut harus
berpegang kepada hukum yang sudah ada, karena ia tidak mengetahui adanya
dalil yang membatalkan hukum itu. Namun penetapan ini hanya berlaku pada
kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku bagi kasus yang akan
ditetapkan hukumnya. Artinya, stishab hanya bisa dijadikan hujjah untuk
mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak ada dalil yang
membatalkan hukum itu, tetapi tidak berlaku untuk menetapkan hak yang baru
muncul.
Ketiga, ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, zhahiriyah dan syiah
berpendapat bahwa istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk
menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang
mengubahnya. Alasannya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu,
selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qath’i maupun zhanni,
maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena di duga
keras belum ada perubahan. Alasan yang menunjukkan berlakunya berlakunya
syari’at di zaman Rasulullah Saw sampai hari kiamat adalah menduga keras
berlakunya syariat itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang menasakh-kannya.
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
27/34
23
C. Mashlahah Mursalah
Definisi Mashlahah Mursalah
Mashlahah adalah kalimat isim yang berbentuk masdar dan Martina
sama dengan kata al-shulhu16 yang artinya sinonim dengan kata manfa’at, yaitu
kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan.
Sedangkan menurut istilah, para ahli usul berbeda-beda redaksi dalam
mendefinisikannya, diantarnya adalah:
Menurut Imam al-Ghazali: Pada dasarnya mashlahah adalah meraih
kemanfaatan dan menolak kemadlaratan17
Menurut al-Raziy: Mashlahah adalah bentuk perbuatan yang
bermanfaat yang telah diperintahkan oleh syar’i (Allah) kepada hamba-Nya
untuk memelihara agama, jiwa akal, keturunan, dan harta benda mereka18
Menurut Wahbah Az-Zuhaili:
Mashlahah adalah memelihara tujuan syara’ dengan cara menolak
segala sesuatu yang dapat merusakkan makhluk 19
Dari ketiga definisi tersebut dapat difahami bahwa ketiganya memiliki
tujuan yang sama, yaitu memelihara tercapainya tujuan syara’, yaitu menolak
mudlharat dan meraih Mashlahah.
Jadi, dapat dikatakan bahwa Mashlahah Mursalah adalah suatu
kemaslahatan yang tidak memiliki dasar sebagai dalilnya dan juga tidak ada
dasar sebagai dalil yang membenarkannya.20 Oleh sebab itu, jika ditemukan
suatu kasus yang ketentuan hukumnya tidak ada dan tidak ada pula ‘illat yang
dapat dikeluarkan dari syara’ yang menentukan kepastian hukum dari kasus
tersebut, lalu ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, dalam artian
suatu hukum yang berdasarkan pada pemeliharaan kemadlorotan atau
16 Louis Ma'luf al-Yassu'i, Kamus al-Munjid, hlm. 43217 Al-Ghazaliy, al-Mustashfa min ‘Ilmil Ushul , Juz I, Beirut: Mu’assisah Ar-Risalah, 1997, hlm. 13918 Al-Raziy, al-Mahshul , Juz: II, Mesir: Maktabah Mushtafa al-Babiy al-Halibiy, hlm. 43419 Wahbah bin Musthafa al-Zuhaili, Ushul . . ., Op.cit , hlm. 75720
Al-Syathibiy, Abu Ishaq, al-Muwafaqat fi Ushil al-Syari’ah, Juz: II, Beirut: Maktabah Dar al-Kutubal-‘Ilmiyah, hlm. 39
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
28/34
24
menyatakan bahwa sesuatu itu bermanfaat, maka kasus seperti itu dikenal
dengan Mashlahah mursalah.
Syarat-Syarat Mashlahah Mursalah
(a) Mashlahah al-mursalah harus mengandung kemaslahatan yang
hakiki (sejati), bukan hanya berdasarkan wahamiyah (perkiraan),
kemaslahatan yang hakiki adalah kemaslahatan yang dapat
membawa manfaat dan dapat menolak kemudharatan.
(b) Mashlahah al-Mursalah harus mengandung kemaslahatan umum.
(c) Mashlahah al-Mursalah harus mengandung kemaslahatan yang tidak
bertentangan dengan dasar yang telah ditetapkan.
Klasifikasi Mashlahah
Para ahli ushul bersepakat untuk mengatakan bahwa “mashlahah” dapat
dibagi menjadi beberapa bagian menurut sudut pandang masing masing, baik
dari sisi eksistensinya maupun substansinya, yaitu:
Dari segi eksistensinya, Mahlahah terbagi menjadi tiga, yaitu:
a.
Mashlahah Mu’tabarahYaitu mashlahah yang keberadaannya diperhitungkan oleh syara’,
seperti mashlahah yang terkandung dalam pensyariatan hukum
Qisas bagi pembunuhan dengan sengaja, sebagai simbol
pemeliharaan jiwa manusia21 Bentuk mashlahah ini oleh sebagian
‘ulama dimasukkan dalam kategori analogis (Qiyas), misalnya
hukum keharaman semua bentuk minuman yang memabukkan
dengan dianalogikan pada khamar yang keharamannya telah dinash
oleh al-Qur’an.22
b.
Mashlahah Mulghah
Yaitu mashlahah yang dibunag lantaran bertentangan dengan syara’
atau berarti mashlahah yang lemah dan bertentangan dengan
mashlahah yang lebih utama. Bentuk ini lazimnya berhadapan
21 Al-Syathibiy, Abu Ishaq, al-I’tisham, Juz: II, Beirut: Maktabah Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, hlm. 11122
Musa bin Ibrahim al-Ibrahimy, al-Madkhal Ila Ushil al-Fiqh, Beirut: Maktabah Dar al-Fikr al-Islami,1992, hlm. 70
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
29/34
25
secara kontradiktif dengan bunyi Nash, baik al-Qur’an maupun
hadis, seperti:
• Status mashlahah yang terkandung dalam hak seorang istri
menjatuhkan talak kepada suami, tetapi hal ini tidak diakui
oleh syra’, sebab hak menjatuhkan tala hanya dimiliki oleh
seorang suami dan putusan ini dimungkinkan karena
pertimbangan psikologis kemanusiaan.
• Putusan seorang Raja tentang “denda kafarah” berpuasa dua
bulan berturut-turut sebagai ganti dari denda dari denda
memerdekakan budak bagi mereka yang melakukan
hubungan seksual dengan istrinya di siang hari bulan
Ramadhan. Bentuk mashlahah di sini, seorang raja akan
dengan mudah dapat membayarnya, sehingga membuat ia
berpindah pada denda berikutnya, yaitu berpuasa dua bulan
berturut-turut.23
c. Mashlahah Musrsalah
Yaitu mashlahah yang didiamkan oleh syara’ dalam wujud tidak
adanya pengakuan maupun pembatalan secara eksplisit24 atau
kemaslahatan yang keberadaannya tidak disinggung-singgung oleh
syara’ atau didiamkan, seperti pembukuan al-Qur’an menjadi satu
mushaf , sistem penjara bagi pelaku tindak pidana, dsb.25
Dari sisi muatan substansinya, mashlahah dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Mashlahah Dlaluriyyah (kepentingan primer)
Definisi dari Ad-Daruriyat secara terminologi ialah segala
sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia baik
secara duniawi maupun secara diniyah, dalam arti apabila Ad-
Daruriyat itu tidak berdiri maka rusaklah kehidupan manusia di
23 Al-Syathibi, hal-I’tisham . . ., Op.cit, hlm. 11324
Khalaf, Ushul . . . , Op.Cit, hlm. 8425 Al-Raisunni, Nadhariyyah al-Maqashid, Kairo: Mathba’ah al-Babiy al-Halabiy, hlm. 268
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
30/34
26
dunia ini dan hilanglah kenikmatan serta atas manusia akan
ditimpa azab yang pedih di akhirat nanti.26
b. Mashlahah Hajiyah (kepentingan sekunder)
Secara bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila
kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai mengancam
keselamatan, namun akan mengalami kesulitan.Untuk
menghilangkan kesulitan tersebut, dalam Islam terdapat hukum
rukhsa (keringanan) yaitu hukum yang dibutuhkan untuk
meringankan beban, sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa
rasa tertekan dan terkekang.27 Ini merupakan penyangga dan
penyempurna kepentingan primer.28
c. Mashlahah Tahsiniyah (kepentingan tersier)
Secara bahasa berarti hal-hal penyempurna(tersier). Tingkat
kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap. Apabila kebutuhan
ini tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam dan tidak pula
menimbulkan kesulitan.29 Yaitu mengambil apa apa yang sesuai
dengan apa yang terbaik dari kebiasaan dan menghindari cara-
cara yang tidak disenangi oleh orang baik dan bijak. Ini
merupakan salah satu penopang dari Hajiyah.
Akan tetapi, jika dilihat dari segi akomodasinya dengan komunitas lingkungan,
mashlahah terbagi menjadi dua, yaitu:
a.
Mashlahah yang dapat beradaptasi dengan perubahan ruang,
waktu, dan lingkungan sosial, sebab objek utaanya adalah
mua’amalah dan hukum hukum kebiasaan.
26 M. Hasbi Ash-Shiddiqiey, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 18727 Yusuf Al – Qaraddhawi, op.cit , hlm.79.28
Wahbah, Ushul . . ., Op.cit, Juz:II, hlm. 755.29 Yusuf Al – Qaraddhawi, op.cit , hlm.80
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
31/34
27
b. Mashlahah yang berwatak Kosta. Hal ini tidak dapat dirubah
hanya karena perubahan lingkungan, sebab hanya berkaitan
dengan persoaan-persoalan ibadah mahdlah.
Kehujjahan Mashlahah Mursalah
Dalam menyikapi persoalan kehujanan teori Mashlahah Mursalah, para
aji hukum Islam berbeda pendapat sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu
masing-masing, yaitu:
• Kelompok Syafi’iyyah, Hanafiyyah, sebagian Malikiyyah dan
kelompok ad-Dhahiriy berpendapat bahwa mashlahah mursalah tidakdapat dijadikan sebagai hujjah untuk beristinbath hukum syar’i
• Sebagian kelompok Malikiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa
Mahlahah Mursalah dapat dijadikan sebagai hujjah dengan syarat harus
memiliki semua persyaratan yang sudah ditentukan oleh para ahli
hukum Islam, seperti Imam Malik sendiri, dengan alasan tujuan Allah
mengutus seorang Rasul itu adalah untuk membimbing umat kepada
kemaslahatan.
30
Dari kedua pandangan tersebut, al-Qarafiy berpendapat bahwa pada
dasarnya semua mazhab telah berhujjah dengan menggunakan teori Mashlahah
Mursalah, sebab mereka sudah mengaplikasikan teori Qiyas, bahkan mereka
sudah melakukan pembedaan antara satu dengan yang lain lantaran adanya
ketentuan-ketntuan hukum yang mengikat.
Contoh kasus Mashlahah Mursalah
a. Mensyaratkan adanya surat kawin,untuk syahnya gugatan dalam soal
perkawinan.
b. Menulis huruf al-qur’an kepada huruf latin.
c. Membuang barang yang ada di atas kapal laut tanpa izin yang punya
barang,karena ada gelombang besar yang menjadikan kapal oleng. Demi
kemaslahatan penumpang dan menolak bahaya.
30 Wahbah, Ushul . . ., Op.cit, Juz:II, hlm. 762
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
32/34
28
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
• Istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam
dalil yang bersifat kully(menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal
al-mursal daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa al-istihsan
lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu
dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata
lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke
qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at
diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu
ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi
harus mendatangkan maslahah atau menghindari madarat, namun bukan
berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata,
melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang
kandungannya berbeda.
• Berbagai pendefinisian yang disebutkan di kalangan para ahli dan
beberapa pendapat yang terjadi di kalangan para ulama’ terhadap
istishab, kontradiksi terhadap polemik kehujjaannya atas paradigma
dalil hukumnya maka istishab itu tetap memberlakukan ketetapan
hukum yang telah ditetapkan sesuatu yang telah ada sejak awal, sampai
ditemukan adanya ketetapan hukum lain yang merubahnya, sebab
istishab merupakan jalan keluar terakhir dalam berfatwa, sebabseseorang mufti jika ditanya tentang sesuatu khusus yang sedang terjadi
maka ia diharuskan untuk memberikan putusan dengan menggunakan
al-Qur’an, lalu al-Hadist, ijma’ dan qiyas.
• akar perbedaan pendapat mengenai maslahah muraslah sebagai hujjah
syar’iyah terletak pada sisi pandangan mereka terhadap maslahah
mursalah. Golongan yang dimotori Imam Malik serta Imam Ahmad Bin
Hambal berpendapat bahwa maslahat yang mereka pakai berpijak pada
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
33/34
29
syarat-syarat yang dibenarkan oleh syara’ bukan berdasarkan hawa
nafsu atau menyimpang dari kebenaran sebagaimana pandangan
kelompok yang menentang kehujjahan maslahah mursalah. Sedangkan
golongan yang diwakili madzhab Hanafi, Syafi’i dan Madzhab Zahiri
menekankan kehati-hatian dengan berbagai persyaratan maslahah yang
sesuai dengan tujuan syari’at. Banyak persoalan baru bisa dikategorikan
Maslahah Mursalah. Artinya persoalan baru itu memang mengandung
maslahat dan dibutuhkan manusia dalam membangun kehidupan
mereka, tetapi tidak ditemukan dalil yang mengakui ataupun
menolaknya. Seiring dengan perjalanan waktu, hal ini akan terus
berlangsung sepanjang masa dengan berbagi perbedaan latar belakang
sosial budaya. Dengan demikian, untuk mengatasinya persoalan ini
tidak lain tentulah pendekatan yang digunakan hanyalah dengan
pendekatan maslahah mursalah.
8/18/2019 Metode Pengistinbathan Hukum Islam yang Tidak Disepakati
34/34
DAFTAR PUSTAKA
al-Banani. (1983). Hasyiyah al-Banani ala Syarh al-Mahalli ala atn Jam'i al-
Jawami (Vol. II). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
al-Ghazaliy. (1997). al-Mustashfa min 'Ilmil Ushul (Vol. I). Beirut: Mu'assisah ar-
Risalah.
al-Ibrahimiy, M. b. (1992). Al-Maskhal Ila Ushil al-Fiqh. Beirut: Maktabah Dar
al-Fikr al-Islami.
al-Raisunni. (t.thn.). Nadhariyyah al-Maqashid. Kairo: Mathba'ah al-Babiy al-
Halabiy.
al-Raziy. (t.thn.). al-Mashlul (Vol. II). Mesir: Maktabah Musthafa al-Babiy al-Halibiy.
Al-Syarahsi. (1993). Ushul al-Syarahsi (Vol. II). Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah.
al-Syathibiy. (t.thn.). al-I'tisham. Beirut: Maktabah Dar al-Kutub al-'Ilmiyah.
al-Syatibi, A. I. (1975). al-Muwaffaqat fi ushul al-Syariah (Vol. IV). Beirut: Dar
al-Makrifah.
al-Yassu, L. M. (t.thn.). Kamus al-Munjid.
al-Zuhaili, W. (1986). Ushul al-Fiqh al-Islami (Vol. II). Beirut: Dar al-Fikr.
as-Shiddiqiey, H. (1997). Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam
Membina Hukum Islam (I ed., Vol. I). Jakarta: Bulan Bintang.
As-Shiddiqiey, M. H. (1975). Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Jumantoro, T., & Amin, S. M. (2005). Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah.
Khalaf, A. W. (1991). Ilmu Ushul al-Fiqh (VIII ed.). Maktabah al-Dakwah al-
Islamiyyah.
Khallaf, A. W. (1972). Mashadir al-Tasyri' al-Islami Fima La Nassafih (III ed.).(D. al-Qalam, Penyunt.) Dar al-Qalam.
Rabuh, M. a.-S. (1980). Buhust fi al-adillah al-Mukhtalaf fiha inda al-Ushuliyyin.
Mesir: Matba' al-Sa'adah.
Zahrah, M. A. (1999). Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Zain, M. M. (2008). Ilmu Ushul Fiqh. Jombang: Darul Hikmah.