Upload
buiminh
View
234
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
METODOLOGI STUDI ISLAMDisusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Islam
Dosen Pembimbing : Muhlisin, S.Ag
DEPARTEMEN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2006
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
BAB II KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA...........................2
A. Pengertian Agama............................................................................2
B. Latar Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama......................6
BAB II I BERBAGAI PENDEKATAN DI DALAM MEMAHAMI
AGAMA........................................................12
A. Pendekatan Teologis Normatif......................................................13
B. Pendekatan Antropologis...............................................................14
C. Pendekatan Sosiologis...................................................................14
D. Pendekatan Filosofis......................................................................16
E. Pendekatan Historis.......................................................................16
F. Pendekatan Kebudayaan................................................................17
G. Pendekatan Psikologi.....................................................................17
BAB IV HUBUNGAN AGAMA DENGAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL.......................................................................................................................19
A. Pandangan Ajaran Islam Tentang Ilmu Sosial..............................19
B. Ilmu Sosial yang Bernuansa Islam................................................19
C. Peran Ilmu Sosial Profetik Pada Era Globalisasi...........................21
BAB V PENGERTIAN DAN SUMBER AJARAN ISLAM..........................23
A. Pengertian Agama Islam................................................................23
B. Sumber Ajaran Islam.....................................................................23
BAB VI KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM..............................................27
A. Dalam Bidang Agama...................................................................27
B. Dalam Bidang Ibadah....................................................................28
C. Bidang Akidah...............................................................................28
D. Bidang Ilmu dan Kebudayaan.......................................................28
E. Bidang Pendidikan.........................................................................29
F. Bidang Sosial.................................................................................29
G. Dalam Bidang Kehidupan Ekonomi..............................................29
H. Dalam Bidang Kesehatan..............................................................30
I. Dalam Bidang Politik....................................................................30
J. Dalam Bidang Pekerjaan...............................................................31
K. Islam Sebagai Disiplin Ilmu..........................................................31
BAB I
PENDAHULUAN
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.
Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana
terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung.
Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran
melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam
memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian
sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas,
egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan,
berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
Menurut Fazlur Rahman secara eksplisit dasar ajaran Alquran adalah moral yang
memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial. Tesis ini dapat dilihat
misalnya pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan,
ketaqwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia.
BAB II
KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA
A. Pengertian Agama
Secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan
(etimologis) dan sudut istilah (terminologis). Mengartikan agama dari sudut istilah
kebahasaan akan terasa lebih mudah daripada mengartikan agama dari sudut istilah
karena pengertian agama dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subyektivitas
dari orang yang mengartikannya. Atas dasar ini, maka tidak mengherankan jika muncul
beberapa ahli yang tidak tertarik mendefinisikan agama. James H. Leuba, misalnya,
berusaha mengumpulkan semua definisi yang pernah dibuat orang tentang agama, tidak
kurang dari 48 teori. Namun, akhirnya ia berkesimpulan bahwa usaha untuk membuat
defenisi agama itu tak ada gunanya karena hanya merupakan kepandaian bersilat lidah.
Selanjutnya Mukti Ali pernah mengatakan, barangkali tidak ada kata yang paling sulit
diberi pengertian dan defenisi selain dari kata agama. Pernyataan ini didasarkan kepada
tiga alasan. Pertama, bahwa pengalaman agama adalah soal batin, subyektif dan sangat
individualis sifatnya. Kedua barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan
emosional daripada orang yang membicarakan agama. Karena itu, setiap pembahasan
tentang arti agama selalu ada emosi yang melekat erat sehingga kata agama itu sulit
didefinisikan. Ketiga, kosepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang
memberikan definisi tersebut.
Senada dengan Mukti Ali, M. Sastrapratedja mengatakan bahwa salah satu
kesulitan untuk berbicara mengenai agama secara umum adalah adanya perbedaan-
perbedaan dalam memahami arti agama dan disamping adanya perbedaan juga dalam
cara memahmi serta penerimaan setiap agama terhadap suatu usaha memahami agama.
Setiap agama memiliki interpretasi diri yang berbeda dan keluasan interpretasi diri itu
juga berbeda-beda..
Sampai sekarang perdebatan tentang definisi agama masih belum selesai, sehingga
W.H. Clark, seorang ahli Ilmu Jiwa Agama, sebagaimana dikutip Zakiah Daradjat
mengatakan, bahwa tidak ada yang lebih sukar daripada mencari kata-kata yang dapat
digunakan untuk membuat definisi agama karena pengalaman agama adalah subyektif,
intern dan individual, dimana setiap orang akan merasakan pengalaman agama yang
berbeda dari orang lain.
Pengertian agama dari segi bahasa dapat kita ikuti antara lain uraian yang diberikan
Harun Nasution. Menurutnya, dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama,
dikenan pula kata din (Ïين ) dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa.
Menurutnya, agama berasal dari kata sanskrit. Menurut satu pendapat, demikian Harun
Nasution mengatakan, kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi
agama artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi secara turun-temurun. Hal demikian
menunjukkan pada salah satu sifat agama, yaitu diwarisi secara turun-temurun dari satu
generasi ke generasi lainnya. Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa
agama berarti teks atau kitab suci, dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab
suci.
Selanjutnya din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam
bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan
dan kebiasaan
Sementara itu Elizabeth K Nottingham yang pendapatnya tersebut tampak lebih
menunjukkan pada realitas objektif, yaitu bahwa ia melihat pada dasaranya agama itu
bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia dengan cara memberikan suasana
batin yang nyaman dan menyejukkan, tapi juga agama terkadang disalah-gunakan oleh
penganutnya untuk tujuan-tujuan yang merugikan orang lain.
Substansi agama bersifat transenden tetapi juga sekaligus imanen. Ia transenden,
karena substansi agama sulit didefinisikan dan tidak terjangkau kecuali melalui predikat
atau bentuk formalnya yang lahiriah. Namun begitu, agama juga imanen karena
sesungguhnya hubungan antara predikat dan substansi tidak mungkin dipisahkan. Kalau
saja substansi agama bisa dibuat hierarki, maka substansi agama yang paling primordial
hanyalah satu. Ia bersifat parennial, tidak terbatas karena ia merupakan pancaran dari
yang mutlak. Ketika substansi agama hadir dalam bentuk yang terbatas, maka
sesungguhnya agama pada waktu yang sama bersifat universal sekaligus partikular.
Karena banyaknya definisi tentang agama yang dikemukakan para ahli, Harun
Nasution mengatakan bahwa dapat diberi definisi sebagai berikut :
1). Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus
dipatuhi;
2). Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia;
3). Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu
sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan
manusia;
4). Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu;
5). Suatu sistem tingkah laku (code of condut) yang berasal dari kekuatan gaib;
6). Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu
kekuatan gaib;
7). Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia;
8). Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul (utusan Allah).
Selanjutnya, Taib Thahir Abdul Mu’in mengemukakan definisi agama sebagai
suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk
dengan kehendak dan pilihannya sendiri mengikuti peraturan tersebut, guna mencapai
kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.
Dari beberapa definisi di atas, kita dapat menjumpai 4 unsur yang menjadi
karakteristik agama sebagai berikut :
a). Pertama, unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib.
b). Kedua, unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan
akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan yang
dimaksud.
c). Ketiga, unsur respon yang bersifat emosional dari manusia
d). Keempat, unsur paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, dalam bentuk kekuatan
gaib, dalam bentuk kitab suci yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan,
tempat-tempat tertentu, peralatan untuk menyelenggarakan upacara dan sebagainya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa
agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang
terkandung dalam kitab suci yang turun menurun diwariskan oleh suatu generasi ke
generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dari kesimpulan tersebut dapat dijumpai adanya lima aspek yang terkandung dalam
agama. Pertama, aspek asal-usulnya, yaitu ada yang berasal dari Tuhan seperti agama
samawi, dan ada yang berasal dari pemikiran manusia seperti agama ardli atau agama
kebudayaan. Kedua, aspek tujuannya yaitu untuk memberikan tuntunan hidup agar
bahagia di dunia dan akhirat. Ketiga, aspek ruang lingkupnya, yaitu keyakinan akan
adanya kekuatan gaib, keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan
hidupnya di akhirat tergantung pada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib, respon
yang bersifat emosional, dan adanya yang dianggap suci. Keempat, aspek
pemasyarakatannya, yaitu disampaikan secara turun temurun dan diwariskan dari
generasi ke generasi lain. Kelima, aspek sumbernya, yaitu kitab suci.
B. Latar Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama
Sekurang-kurangnya ada empat alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia
terhadap agama. Keempat alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai
berikut :
1. Latar Belakang Fitrah Manusia
Dalam bukunya yang berjudul Perspektif Manusia dan Agama, Murthada
Muthahhari mengatakan, bahwa di saat berbicara tentang para nabi, Imam Ali as.
menyebutkan bahwa mereka diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang
telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya.
Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah, melainkan
terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, dan di
atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.
(ã٣٠الرو) جهكللدينحنيفافطرةاهللافطرالناسعليهاæفأقم
Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetapkanlah atas fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu (QS. Al-Rum, 30:30).
Berdasarkan informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri
merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan
dengan petunjuk nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bahwa setiap anak
yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Bukti manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat
melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti historis dan antropologis kita
mengetahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi
mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguh pun Tuhan yang
mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya.
Sebagian hipotesis mengatakan bahwa agama adalah produk rasa takut. Seperti
rasa takut manusia dari alam, dari gelegar suara guruh yang menggetarkan, dari luasnya
lautan, dan dari deburnya ombak yang menggulung serta gejala-gejala alamiah lainnya.
Sebagai akibat dari rasa takut ini, terlintaslah agama dalam benak manusia. Lucterius,
seorang filosof Yunani yang pendapatnya dikutip Murthada Muthahhari mengatakan
bahwa nenek moyang pertama para dewa adalah dewa ketakutan. Hipotesis lainnya
mengatakan bahwa agama adalah produk kebodohan. Sebagian orang percaya bahwa
faktor yang mewujudkan agama adalah kebodohan manusia, sebab manusia, sebab
dengan wataknya selalu cenderung untuk mengetahui sebab-sebab dan hukum-hukum
yang berlaku atas alam ini serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya.
Beberapa hipotesis tersebut telah banyak dibuktikan kegagalannya oleh para ahli
karena dasar hipotesis tersebut adalah pemikiran manusia yang terbatas, sedangkan
agama yang benar mesti datang dari yang Maha Tidak Terbatas, yaitu Tuhan. Hipotesis
tersebut sekedar menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama, namun
potensi tersebut jka tidak diarahkan akan keliru hasilnya sebagaimana terlihat pada
beberapa hipotesis tersebut. Namun demikian, hal ini tidak berarti akal manusia tidak ada
manfaatnya, melainkan menunjukkan bahwa dalam hal beragama akal saja tidaklah
cukup.
Informasi lainnya yang menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi beragama
dikemukakan oleh Carld Gustave Jung. Jung percaya, bahwa agama termasuk hal-hal
yang memang sudah ada di dalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya
William James, seorang filosof dan ilmuan terkemuka dari Amerika mengatakan,
”Kendatipun benar pernyataan bahwa hal-hal fisis dan meterial merupakan sumber
tumbuhnya berbagai keinginan batin, namun banyak pula keinginan yang tumbuh dari
alam di balik alam material ini”. Buktinya, banyak perbuatan manusia tidak bersesuaian
dengan perhitungan-perhitungan material. Sementara itu, Alexis Carell, salah seorang
pemenang hadiah Nobel berpendapat bahwa doa merupakan gejala keagamaan yang
paling agung bagi manusia, karena pada keadaan itu jiwa manusia terbang melayang
kepada Tuhan. Pada bagian lain dari bukunya yang berjudul Doa, Carell mengatakan
bahwa pada batin manusia ada seberkas sinar yang menunjukkan kepada manusia
kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang kadang-kadang
dilakukannya. Sinar inilah yang mencegah manusia dari terjerumus ke dalam perbuatan
dosa dan penyimpangan.
Adanya naluri beragama (bertuhan) tersebut lebih lanjut dapat semakin diperjelas
jika kita mengkaji bidang tasawuf. Ketika kita mengkaji paham hulul dari Al-Hallaj (858
– 933 M) misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri manusia terdapat sifat dasar
ke-Tuhanan yang disebut lahut, dan sifat dasar kemanusiaan yang disebut nasut.
Demikian pula pada diri Tuhan pun terdapat sifat lahut dan nasut. Sifat lahut Tuhan
mengacu pada zat-Nya, sedangkan sifat nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya. Sementara
itu sifat nasut manusia mengacu pada unsur lahiriah dan fisik manusi, sedangkan sifat
lahut manusia mangacu kepada unsur batiniah dan Ilahiah. Jika manusia mampu merdam
sifat nasutnya maka akan tampak adalah sifat lahutnya. Dalam keadaan demikian
terjadilah pertemuan antara nasut Tuhan dengan lahut manusia, dan inilah yang
dinamakan hulul.
2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia
Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena
di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini
antara laian diungkapkan oleh kata Al-Nafs. Menurut Qurash Shihab, bahwa dalam
pandangan Alquran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi
menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu
sisi dalam manusia inilah yang oleh Alquran dianjurkan untuk diberi perhatian lebih
besar. Kita misalnya ayat yang berbunyi :
)الثمس(فالهمهافجورهاوتقوها٧ونفسوماسوها
Demi nafs serta penyempurnaa ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan
ketakutan. (QS. Al-Syams) 91 : 7 – 8).
Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar manusia
melalui nafs menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk
melakukan kebaikan dan keburukan. Di sini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata
ini menurut Alquran dengan terminologi kaum Sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam
risalahnya dinyatakan bahwa nafs dalam pengertian sufi adalah sesuatu yang melahirkan
sifat tercela dan perilaku buruk. Pengertian kaum Sufi tentang nafs ini sama dengan yang
terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang antara lain menjelaskan bahwa nafs
adalah dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik.
Kaum Mu’tazilah mewajibkan pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan
tujuan agar kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang
datang dari wahyu (agama). Dengan demikian, Mu’tazilah secara tidak langsung
memandang bahwa manusia memerlukan wahyu.
3. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena
manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang
datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa
nafsu dan bisikan setan (Lihat QS. 12:5; 17:53). Sedangkan tantangan dari luar dapat
berupa rekayasa dan uapaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja
berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan.
BAB III
BERBAGAI PENDEKATAN di DALAM MEMAHAMI AGAMA
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di
dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh
hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampikan dalam
kotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkkan cara-cara yang paling efektif
dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman
agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis dilengkapi dengan
pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional
konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu
dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat
dirasakan oleh penganutnya.
Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis normatif,
antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis.
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma
yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti
dengan menggunakan berbagai paradigma.
Untuk lebih jelasnya berbagai pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut :
A. Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat
diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu
Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu
keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Amin
Abdullah mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti
mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan
dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa
sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada
bentuk pemikiran teologis.
Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer ini ada 4
prototipe pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis,
modernis, mesianis dan tradisionalis. Keempat prototipe pemikiran keagamaan tersebut
sudah barang tentu tidak mudah disatukan dengan begitu saja. Masing-masing
mempunyai ”keyakinan” teologi yang seringkali sulit untuk didamaikan.
Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam
pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau
simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol
keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan lainnya
sebagai salah.
Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat
memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini.
Berkenaan dengan hal di atas, saat ini muncullah apa yang disebut dengan istilah
teolgi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan imannya atau
penghayatan agamanya, suatu penafsiranm atas sumber-sumber aslinya dan tradisinya
dalam konteks permasalahan masa kini, yaitu teologi yang bergerak antara dua kutub :
teks dan situasi; masa lampau dan masa kini.
B. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu
upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan
dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya.
C. Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan
menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Soerjono
Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri
terhadap persoalan penilaian.
Dari dua definisi terlihat bahwa sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan
tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial
lainnya yang saling berkaitan.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam
memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama
yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa
bantuan dan ilmu sosiologi.
Jalaluddin Rahmat dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, menunjukkan
betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial,
dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut :
1). Pertama, dalam Alquran atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum
Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khomaeni dalam
bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip Jalaluddin Rahmat, dikemukakan bahwa
perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial
adalah satu berbanding seratus – untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah
(masalah sosial).
2). Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya
kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang
penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan),
melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
3). Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar
daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara
berjemaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dikerjakan sendirian
(munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
4). Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna
atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tembusannya) adalah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
5). Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.
D. Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada
kebenaran, ilmu dan hikmah. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat
sesuatu, berusaha manutkan sebab dan akibat serta berusaha manafsirkan pengalaman-
pengalaman manusia. Dalam Kamus Umum Bahsa Indonesia, Poerwadarminta
mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai
sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta
ataupun mengenai kebenaran dan arti ”adanya” sesuatu. Pengertian filsafat yang
umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya
filsafat adalah berpikir secara mendalam, sitemik, radikal dan universal dalam rangka
mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik yang
bersifat lahiriah.
E. Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa
dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari
peristiwa tersebut.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam
yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di
alam empiris dan historis.
F. Pendekatan Kebudayaan
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil
kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat
istiadat; dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan
sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan. Sementara itu, Sutan Takdir Alisjahbana
mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari
unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat
istiadat dan segala kacakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan
menggunakan dan mengarahkan segenap potensi batin yang dimilikinya.
G. Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah jiwa yang mempelajari jiwa seseorang melalui
gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang
yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Ilmu
jiwa agama sebagaimana yang dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan
benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah
bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang
dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk
memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan uasianya. Dengan
ilmu agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
BAB IV
HUBUNGAN AGAMA
DENGAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Dunia saat ini tengah memasuki era globalisasi dengan dampak negatif dan
positifnya. Di antara dampak negatif tersebut misalnya terjadi dislokasi, dehumanisasi,
sekuralisasi dan sebagainya; sedangkan dampak positifnya antara lain terbukanya
berbagai kemudahan dan kenyamanan, baik dalam lingkungan ekonomi (ekonosfer),
informasi (infosfer), teknologi (teknosfer), sosial (sisosfer) maupun psikolgi (psikosfer).
A. Pandangan Ajaran Islam Tentang Ilmu Sosial
Sejak kelahirannya belasan abad yang lalu, Islam telah tampil sebagai agama yang
memberi perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat; antara hubungan
manusia dengan Tuhan; antara hubungan manusia dengan manusia; dan antara urusan
ibadah dengan urusan muamalah.
Dalam keadaan demikian, kita saat ini nampaknya sudah mendesak untuk
mememiliki ilmu pengetahuan sosial yang mampu membebaskan manusia dari berbagai
problema tersebut. Ilmu pengetahuan sosial yang dimaksudkan adalah ilmu pengetahuan
yang digali dari nilai-nilai agama. Kuntowijoyo menyebutnya sebagai ilmu sosial
profetik.
B. Ilmu Sosial Yang Bernuansa Islam
Menurut Kuntowijoyo, kita butuh ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak
hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah
mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dana oleh siapa. Yaitu ilmu sosial yang
mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu; perubahan
tersebut didasarkan pada tiga hal. Pertama, cita-cita kemanusiaan, kedua, liberasi dan
ketiga, transendensi. Cita-cita profetik tersebut dapat diderivasikan dari misi historis
Islam sebagaimana terkandung dalam ayat 110 surat Ali Imron sebagai berikut :
( ١١٠العمران )
كنتمخيرامةأخرجتللناستأمرونبالمعروفوتنهونعنالمنكرKamu sekalian adalah sebaik-baiknya umat yang ditugaskan kepada manusia menyuruh
berbuat baik, mencegah berbuat munkar dan beriman kepada Allah. (QS. Al-Imron,
110).
Nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi), liberasi dan transendensi yang dapat digali
dari ayat tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
Pertama, bahwa tujuan humanisasai adalah memanusiakan manusia dari proses
dehumanisasi.
Sementara itu tujuan liberasi adalah pembebasan manusia dari lingkungan
teknologi, pemerasan kehidupan, menyatu dengan orang miskin yang tregusur oleh
kekuatan ekonomi raksasa dan berusaha membebaskan manusia dari belenggu yang kita
buat sendiri.
Selanjutnya, tujuan dari transendensi adalah menumbuhkan dimensi transendental
dalam kebudayaan.
Dalam ilmu sosial profetik, kita ingin melakukan reorientasi terhadap epistemologi,
orientasi terhadap mode of thought dan mode of inquirity, yaitu suatu pandangan bahwa
sumber ilmu bukan hanya berasal dari rasio dan empiri sebagaimana yang dianut dalam
masyarakat barat, tetapi juga dari wahyu.
C. Peran Ilmu Sosial Profetik Pada Era Globalisasi
Dengan ilmu sosial profetik yang kita bangun dari ajaran Islam sebagaimana
tersebut di atas, kita tidak perlu takut atau khawatir terhadap dominasi sains Barat dan
arus globalisasi yang terjadi saat ini. Islam perlu membuka diri terhadap seluruh warisan
peradaban. Islam adalah sebuah paradigma terbuka.
Sejak beberapa abad yang lalu Islam mewarisi tradisi sejarah dari seluruh warisan
peradaban manusia. Kita tidak membangun dari ruang yang hampa. Hal demikian dapat
dipahami dari kandungan Surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya : Pada hari ini telah aku
sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah aku cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Kata telah Ku-sempurnakan agama-Ku
mengandung arti bukan membuat yang baru atau membangun dari ruang yang hampa
melainkan dari bahan-bahan yang sudah ada.
Islam mewarisi peradaban Yunani dan Romawi di Barat, peradaban Persia, India
dan cina di Timur. Ketika abad VIII – XV peradaban Barat dan Timur tenggelam dan
menjalani kemerosotan, Islam bertindak sebagai pewaris utamanya untuk kemudian
diambil-alih oleh Barat sekarang melalui renaissans.
Alquran sebagai sumber utama ajaran Islam diturunkan bukan dalam ruang hampa,
melainkan dalam setting sosial aktual.
Bukti sejarah tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa dari segi sejak
kelahirannya lima belas abad yang lalu Islam telah tampil sebagai agama terbuka,
akomodatif serta berdampingan dengan agama, kebudayaan dan peradaban lainnya.
Tetapi dalam waktu bersamaan Islam juga tampil memberikan kritik, perbaikan, bahkan
penolakan dengan cara-cara yang amat simpatik dan tidak menimbulkan gejolak sosial
yang membawa korban yang tidak diharapkan.
Dengan mengikuti uraian di atas, kiranya menjadi jelas bahwa Islam memiliki
perhatian dan kepedulian yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial. Karena itu,
kehadiran ilmu sosial yang banyak membicarakan tentang manusia tersebut dapat diakui
oleh Islam. Namun Islam memiliki pandangan yang khas tentang ilmu sosial yang harus
dikembangkan, yaitu ilmu sosial profetik yang dibangun dari ajaran Islam dan diarahkan
untuk humanisasi, liberasi dan transendensi. Ilmu pengetahuan sosial demikian yang
dibutuhkan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya pada era globalisasi di abad
XXI mendatang.
BAB V
PENGERTIAN DAN SUMBER AJARAN ISLAM
Sebagai agama terakhir, Islam diketahui memiliki karakteristik yang khas
dibandingkan dengan agama-agama yang datang sebelumnya.
A. Pengertian Agama Islam
Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama Islam,
yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang Islam ini dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang
mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Dan kata salima selanjutnya diubah
menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.
Senada dengan pendapat di atas, sumber lain mengatakan Islam berasal dari bahasa
Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk
kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa dan berarti pula
menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat.
Dari pengertian itu, kata Islam dekat arti kata agama yang berarti menguasai,
menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan.
B. Sumber Ajaran Islam
Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama
adalah Alquran dan Al-Sunnah; sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk
memahami Alquran dan Al-Sunnah .
1. Alquran
Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian
Alquran baik dari segi bahasa maupun istilah. Asy-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa
Alquran bukan berasal dari akar kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan memakai
kata hamzah. Lafal tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah (firman
Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara itu Al-Farra
berpendapat bahwa lafal Alquran berasal dari kata qarain jamak dari kata qarinah yang
berarti kaitan; karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat Alquran itu
satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya, Al-Asy’ari dan para pengikutnya
mengatakan bahwa lafal Alquran diambil dari akar kata qarn yang berarti
menggabungkan suatu atas yang lain; karena surat-surat dan ayat-ayat Alquran satu dan
lainnya saling bergabung dan berkaitan.
Manna’ al-Qathhthan, secara ringkas mengutip pendapat para ulama pada
umumnya yang menyatakan bahwa Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw, dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian yang
demikian senada dengan yang diberikan Al-Zarqani.
2. Al-Sunnah
Kedudukan Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada
keterangan ayat-ayat Alquran dan hadis juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan
para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti
hadis, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Menurut bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan
tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Al-Sunnah seperti ini sejalan
dengan makna hadis Nabi yang artinya : ”Barang siapa yang membuat sunnah
(kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi
orang yang mengerjakanny; dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka
dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang
mengerjakannya.
Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan
Al-Sunnah, Al-Hadis, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan
maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah
sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan
persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Al-Sunnah memiliki fungsi
yang pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan
dari adanya sebagian ayat Alquran :
1). Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;
2). Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;
3). Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula
4). Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang menghendaki
penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu
yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya
diserahkan kepada hadis nabi.
BAB VI
KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM
Selama ini kita sudah mengenal Islam, tetapi Islam dalam potret yang
bagaimanakah yang kita kenal itu, tampaknya masih merupakan suatu persoalan yang
perlu didiskusikan lebih lanjut. Misalnya mengenal Islam dalam potret yang ditampilkan
Iqbal dengan nuansa filosofis dan sufistiknya. Islam yang ditampilkan Fazlur Rahman
bernuansa historis dan filosofis. Demikian juga, Islam yang ditampilkan pemikir-pemikir
dari iran seperti Ali Syari’ati, Sayyed Hussein Nasr, Murthada Munthahhari.
Pemikiran para ilmuan Muslim dengan mempergunakan berbagai pendekatan
tersebut di atas kiranya dapat digunakan sebagai bahan untuk mengenal karakteristik
ajaran Islam, tidak mencoba memperdebatkannya antara satu dan lainnya, melainkan
lebih mencari sisi-sisi persamaannya untuk kemaslahatan umat umumnya dan untuk
keperluan studi Islam pada khususnya.
A. Dalam Bidang Agama
Melalui karyanya berjudul Islam Doktrin dan Peradaban, Nurcholis Madjid banyak
berbicara karakteristik ajaran Islam dalam bidang agama. Menurutnya, bahwa dalam
bidang agama Islam mengakui adanya pluralisme. Pluralisme menurut Nurcholis Madjid
adalah aturan Tuhan (Sunnah Allah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak
mungkin dilawan atau diingkari.
Karakteristik agama Islam dalam visi keagamaannya bersifat toleran, pemaaf, tidak
memaksakan dan saling menghargai karena dalam pluralitas agama tersebut terdapat
unsur kesamaan yaitu pengabdian pada Tuhan.
B. Dalam Bidang Ibadah
Karakteristik ajaran Islam selanjutnya dapat dikenal melalui konsepsinya dalam
bidang ibadah. Secara harfiah ibadah berarti bakti manusia kepada Allah Swt, karena
didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid.
Visi Islam tentang ibadah merupakan sifat, jiwa, dan misi ajaran Islam itu sendiri
yang sejalan dengan tugas penciptaan manusia, sebagai makhluk yang hanya
diperintahkan agar beribadah kepada-Nya.
C. Bidang Akidah
Dalam Kitab Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengartikan akidah menurut bahasa
adalah menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh.
Ikatan tersebut berbeda dengan terjemahan kata ribath yang artinya juga ikatan tetapi
ikatan yang mudah dibuka, karena akan mengandung unsur yang membahayakan.
Karakteristik Islam yang dapat diketahui melalui bidang akidah ini adalah bahwa
akidah Islam bersifat murni baik dalam isinya maupun prosesnya.
D. Bidang Ilmu dan Kebudayaan
Karakteristik Islam dalam bidang ilmu dan kebudayaan bersikap terbuka,
akomodatif, tetapi juga selektif. Islam adalah paradigma terbuka. Ia merupakan mata
rantai peradaban duni. Dalam sejarah kita melihat Islam mewarisi peradaban Yunani-
Romawi di Barat dan peradaban-peradaban Persia, Indi dan Cina di Timur.
Karakteristik Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan dapat dilihat
dari 5 ayat pertama surat Al-Alaq yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw.
Pada ayat tersebut terdapat kata iqra’ yang diulang sebanyak dua kali. Kata tersebut
menurut A.Baiquni, selain berarti membaca dalam arti biasa, juga berarti menelaah,
mengobservasi, membandingkan, mengukur, mendiskripsikan, menganalisis dan
penyimpulan secara induktif.
E. Bidang Pendidikan
Islam memaandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang (education for
all), laki-laki atau perempuan dan berlangsung sepanjang hayat (long life education).
F. Bidang Sosial
Ajaran Islam dalam bidang sosial ini termasuk yang paling menonjol karena seluruh
bidang ajaran Islam sebagaimana telah disebutkan di atas pada akhirnya ditujukan untuk
kesejahteraan manusia.
Menurut penelitian yang dilakukan Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata agama yang
menekankan urusan muamalah lebih besar daripada urusan ibadah. Islam ternyata banyak
memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual.
G. Dalam Bidang Kehidupan Ekonomi
Karakteristik ajaran Islam selanjutnya dapat dipahami dari konsepsinya dalam
bidang kehidupan. Islam memandang bahwa kehidupan yang harus dilakukan manusia
adalah hidup yang seimbang dan tidak terpisahkan antara urusan dunia dan akhirat.
Urusan dunia dikejar dalam rangka mengejar kehidupan akhirat dan kehidupan akhirat
dicapai dengan dunia. Kita membaca hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Mubarak
yang artinya : Bukanlah termasuk orang yang baik di antara kamu adalah orang yang
meninggalkan dunia karena mengejar kehidupan akhirat, dan orang yang meninggalkan
akhirat karena mengejar kehidupan dunia. Orang yang baik adalah orang yang meraih
keduanya secara seimbang, karena dunia adalah alat menuju akhirat, dan jangan dibalik
yakni akhirat dikorbankan untuk urusan dunia.
H. Dalam Bidang Kesehatan
Ajaran Islam tentang kesehatan berpedoman pada prinsip pencegahan lebih
diutamakan daripada penyembuhan. Berkenaan dengan konteks kesehatan ini ditemukan
banyak petunjuk kitab suci dan sunnah Nabi Muhammad Saw. yang pada dasarnya
mengerah pada upaya pencegahan diantaranya. Surat Al-Baqarah , 2:222) yang artinya :
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan senang kepada orang-
orang yang membersihkan diri. Selain itu Surat Al-Mudatsir 74:4-5) yang artinya : Dan
bersihkanlah pakaianmu dan tinggalkanlah segala macam kekotoran.
I. Dalam Bidang Politik
Dalam Alquran Surat An-Nisa’ ayat 156 terdapat perintah menaati ulil amri yang
terjemahannya termasuk penguasa di bidang politik, pemerintahan dan negara. Islam
menghendaki suatu ketaatan kritis yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolak ukur
kebenaran dari Tuhan. Jika pemimpin tersebut berpegang teguh pada tuntutan Allah dan
rasul-Nya maka wajib ditaati. Sebaliknya, jika pemimpin tersebut bertentangan dengan
kehendak Allah dan rasul-Nya, boleh dikritik atau diberi saran agar kembali ke jalan yang
benar dengan cara-cara yang persuasif. Dan jika cara tersebut juga tidak dihiraukan oleh
pemimpin tersebut, boleh saja untuk tidak dipatuhi.
J. Dalam Bidang Pekerjaan
Islam memandang bahwa kerja sebagai ibadah kepada Allah Swt. Atas dasar ini
maka kerja yang dikehendaki Islam adalah kerja yang bermutu, terarah pada pengabdian
terhadap Allah Swt, dan kerja yang bermanfaat bagi orang lain.
Untuk menghasilkan produk pekerjaan yang bermutu, Islam memandang kerja yang
dilakukan adalah kerja profesional, yaitu kerja yang didukung ilmu pengetahuan,
keahlian, pengalaman, kesungguhan dan sebagainya.
K. Islam Sebagai Disiplin Ilmu
Islam juga telah tampil sebagai sebuah disiplin ilmu yaitu ilmu keislaman. Menurut
peratutan Menteri Agama Republik Indonesia Tahun 1985, bahwa yang termasuk disiplin
ilmu keislaman adalah Alquran/Tafsir, Hadis/Ilmu Hadis, Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf,
Hukum Islam (Fiqih), Sejarah dan Kebudayaan Islam serat Pendidikan Islam.
Islam sebenarnya mempunyai aspek teologi, aspek ibadah, aspek moral, aspek
mistisisme, aspek filsafat, aspek sejarah, aspek kebudayaan dan sebagainya.
METODOLOGI STUDI ISLAMDisusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Islam
Dosen Pembimbing : Muhlisin, S.Ag
Disusun Oleh :
NURUL ANISYANIM : D31206018
DEPARTEMEN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2006
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
BAB II KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA...........................2
C. Pengertian Agama............................................................................2
D. Latar Belakang Perlunya Manusia Terhadap Agama......................6
BAB II I BERBAGAI PENDEKATAN DI DALAM MEMAHAMI
AGAMA.....................................................................................................................12
H. Pendekatan Teologis Normatif......................................................13
I. Pendekatan Antropologis...............................................................14
J. Pendekatan Sosiologis...................................................................14
K. Pendekatan Filosofis......................................................................16
L. Pendekatan Historis.......................................................................16
M. Pendekatan Kebudayaan................................................................17
N. Pendekatan Psikologi.....................................................................17
BAB IV HUBUNGAN AGAMA DENGAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL.......................................................................................................................19
D. Pandangan Ajaran Islam Tentang Ilmu Sosial..............................19
E. Ilmu Sosial yang Bernuansa Islam................................................19
F. Peran Ilmu Sosial Profetik Pada Era Globalisasi...........................21
BAB V PENGERTIAN DAN SUMBER AJARAN ISLAM..........................23
C. Pengertian Agama Islam................................................................23
D. Sumber Ajaran Islam.....................................................................23
BAB VI KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM..............................................27
L. Dalam Bidang Agama...................................................................27
M. Dalam Bidang Ibadah....................................................................28
N. Bidang Akidah...............................................................................28
O. Bidang Ilmu dan Kebudayaan.......................................................28
P. Bidang Pendidikan.........................................................................29
Q. Bidang Sosial.................................................................................29
R. Dalam Bidang Kehidupan Ekonomi..............................................29
S. Dalam Bidang Kesehatan..............................................................30
T. Dalam Bidang Politik....................................................................30
U. Dalam Bidang Pekerjaan...............................................................31
V. Islam Sebagai Disiplin Ilmu..........................................................31