1
u Berarti buat Mereka Upaya Perlindungan Setengah Hati JUMAT, 1 APRIL 2011 19 N IORA DALAM Undang-Undang No 22 Tahun 2002 tentang Per- lindungan Anak (UUPA) kata ’eksploitasi’ disebut sepuluh kali. Kesemuanya mengarah pada pencegahan dan peng- hukuman tindakan eksploitasi terhadap anak. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual merupakan salah satu jenis yang mempe- roleh perlindungan khusus di dalam UU. Salah satunya, pada Pasal 13 disebutkan setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, ke- kerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya. Dalam pasal yang sama dite- gaskan jika orang tua, wali, atau pengasuh anak melaku- kan segala bentuk perlakuan sebagaimana di atas, pelaku dikenakan pemberatan hu- kuman. Hukuman itu tercantum secara eksplisit pada Pasal 88 yang menyebutkan, setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak de- ngan maksud untuk mengun- tungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepu- luh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta. Sanksi pidana bukan hanya dikenakan pada para pelaku. Masyarakat yang tahu, na- mun membiarkan perilaku eksploitasi anak juga terancam hukuman pidana. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 78, setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak-anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual padahal anak tersebut memerlukan perto- longan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana pen- jara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta. Sementara itu, dalam Pasal 59 disebutkan bahwa pemerin- tah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab memberi perlindungan khusus kepada anak yang berada dalam kondisi-kondisi tertentu termasuk anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau sosial. Pasal 66 bahkan menegaskan bahwa perlin- dungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual merupakan kewajiban serta tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Macan kertas Pasal-pasal tersebut begitu gamblang menjelaskan sanksi bagi pelaku eksploitasi anak dan kewajiban pemerintah un- tuk melindungi anak. Sayang- nya, UU itu tidak lebih dari macan kertas, upaya perlin- dungan anak pun terkesan setengah hati. “Faktanya, sanksi-sanksi ini jarang diterapkan aparatur hukum,” sesal Sri Haryatie, Deputi Penanganan Kekerasan terhadap Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan dan Perlindungan Anak. Menurutnya, ketidakefek- tifan UU tersebut lantaran sosialisasinya belum sampai ke masyarakat hingga level ter- bawah, termasuk pada aparat pemerintah daerah. Di samping itu, komitmen para pemangku kepentingan juga belum solid. Belum ada- nya perda di banyak kabu- paten/kota membuat UUPA belum dapat menjadi payung hukum bagi anak-anak. Hal senada juga disam- paikan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Asrorun Niam. “Peran koordi- nasi lintas bidang perlu sekali dilakukan. Mengingat, masa- lah eksploitasi anak sangatlah kompleks dan sebaran tang- gung jawabnya ada di berbagai kementerian,” ujar Niam. Niam menyebut, tidak kurang dari 10 lembaga pe- merintah dan kementerian bertangung jawab terhadap upaya perlindungan anak. Antara lain, Kemendiknas, Ke- menag, Kemenkes, Kemensos, Kementerian PP-PA, kepoli- sian, kejaksaan, bahkan juga Kemenpera, Kementerian PU, dan juga Kemendag. Tanpa koordinasi yang bagus di antara lembaga dan kemen- terian tersebut, perlindung- an anak akan selalu bersifat parsial. Untuk itu, Niam me- nekankan perlunya turun ta- ngan presiden secara langsung. “Direksi presiden diperlukan agar UUPA berjalan efektif.” (Bay/Tlc/S-3) enanggung Beban Susilo Bambang Yudhoyono pada Kabinet Indonesia Bersatu II pun telah memosisikan masa- lah anak secara khusus dalam sebuah kementerian. Seharusnya, dengan keleng- kapan institusi, kebijakan, dan penganggaran perlindungan anak di Indonesia, persoalan eksploitasi anak bisa selesai. Namun, mengapa yang terjadi justru sebaliknya? Aset keluarga Ada beberapa faktor jadi penyebabnya. Salah satunya paradigma keliru orang tua terhadap anak. Masih banyak orang tua yang menganggap anak adalah hak milik mereka yang bisa diperlakukan secara bebas. “Banyak orang tua yang cen- derung lupa bahwa anak adalah titipan Tuhan dan sebagai ma- nusia seutuhnya mereka punya hak asasi. Karena pandangan keliru itu, anak dimanfaatkan secara ekonomi,” kata laki-laki yang akrab disapa Kak Seto itu di Jakarta, Selasa (29/3). Ketua Dewan Pembina Komi- si Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) itu mencontoh- kan kalangan menengah atas yang memperlakukan anak mereka sebagai aset ekonomi bernilai tinggi. Ketika anak berbakat akting, misalnya, anak didorong untuk menerima berbagai tawaran kontrak sinetron atau film bukan demi kebaikan anak, melainkan untuk menunjang ekonomi keluarga. Di kalangan bawah, eks- ploitasi anak sebagian besar dilandasi faktor kemiskinan dalam rumah tangga. Bagi ke- luarga miskin, memberi pendi- dikan dan gizi layak bagi anak menjadi urusan yang tidak masuk daftar prioritas. Hal tersebut bisa dilihat dari Data BPS 2010 tentang komoditas yang paling penting bagi penduduk atau keluarga miskin. Urutannya adalah beras, kemudian rokok, baru selan- jutnya gula pasir, telur, mi instan, dan lainnya. Dalam situasi terjepit kebutuhan pe- rut, anak-anak pun dikerahkan mencari tambahan pemasukan. Parahnya, banyak orang sekitar tidak peduli. “Masih banyak lingkungan yang tidak peduli ketika terjadi eksploitasi pada anak. Hal itu dianggap sebagai urusan ke- luarga,” tutur Asisten Deputi Penanganan Kekerasan terha- dap Anak Kementerian PP-PA Sri Haryatie. Faktor penghambat upaya perlindungan anak lainnya adalah ketidakefektifan UUPA. UU tersebut tidak bisa berjalan karena banyak daerah belum memiliki peraturan daerah turunan. Selain itu, menurut Wakil Ketua KPAI Asrorun Niam, kesadaran perlindungan anak dari seluruh pemegang kebi- jakan dan pemangku kepen- tingan masih rendah. Di level pemerintah, tang- gung jawab penyelenggaraan perlindungan anak berada di lintas sektor. Itu meliputi Ke- mendiknas, Kemenag, Kemen- kes, Kemensos, Kementerian PP-PA, kepolisian, kejaksaan, dan bahkan juga Kemenpera, Kementerian PU, serta Ke- mendag. “Peran koordinasi lintas bi- dang perlu sekali. Butuh ara- han presiden langsung agar upaya melindungi anak dari eksploitasi berjalan efektif,” pungkas Niam. (Tlc/S-3) [email protected] Dede, 17, remaja asal Purwakarta, Jawa Barat, pun bernasib serupa. Kala bapaknya menganggur dan ibunya yang hanya berjualan makanan kecil, Dede lantas memutuskan ke Jakarta tiga tahun lalu, atau tepatnya ketika usia 14 tahun. Sekolah di kelas 2 SMP di Purwakarta ia tinggalkan, karena kondisi yang tertekan dan ajakan teman sebaya untuk merantau ke Jakarta. Tidak lain, motifnya adalah mengejar uang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. “Mau bagaimana lagi, orang nggak ada duit. Minta ke orang tua, sudah nggak mungkin. Ya ngikut aja ke sini, ngamen sambil jualan kerupuk palembang,” ujar Ade sambil sesekali memainkan sebuah lagu cinta sendu dengan gitar ukulelenya di pinggir trotoar Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan. Arif, Ian, dan juga Dede, hanyalah segelintiran anak- anak yang terpaksa bekerja demi sesuap nasi. Mereka adalah anak-anak yang tidak beruntung, di saat anak-anak lain menikmati masa-masa kanaknya dengan menyenangkan dan bisa bergaul dengan teman sebaya. Mereka juga dipastikan tidak mendapatkan hak-hak yang semestinya mereka dapatkan di masa anak-anak. Sebut saja seperti, hak untuk belajar, bermain, beristirahat, kesehatan, hak atas upah, dan juga perlindungan. “Sudah saatnya pemerintah memikirkan mereka yang harus terjun mengejar uang, untuk kehidupan mereka sehari-hari,” papar pengamat perlindungan anak Giwo Rubianto Wiyogo, beberapa waktu lalu, di Jakarta. Sebab, bila tidak ada tindakan pemerintah yang peduli atas perlindungan anak-anak, lambat laun mereka dikhawatirkan juga bisa menjadi anak-anak yang rentan mengeksploitasi anak- anak lain, dan dapat menjadi anak-anak yang dieksploitasi pihak lain yang tidak bertanggung jawab. (*/H-2) aran pendukung sudah tersedia, upaya ari eksploitasi belum berhasil. KEWAJIBAN NEGARA: Gadis belia menjadi buruh pembersih kerang di Perkampungan Nelayan Muara Angke, Jakarta Utara, kemarin. Sesuai dengan UU Perlindungan Anak, negara berkewajiban memberi perlindungan khusus terhadap anak-anak yang tereksploitasi secara ekonomi. MELANGGAR UNDANG-UNDANG: Seorang anak terpaksa mencari nafkah dengan menjadi penjaga sepatu di pelataran sebuah masjid di Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. Sejatinya, memaksa anak untuk bekerja tergolong perbuatan yang melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak. MI/ADAM DWI MI/GINO F HADI

MI/ADAM DWI enanggung Beban - ftp.unpad.ac.id fileterhadap anak. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual merupakan ... dan perlakuan salah lainnya. Dalam pasal yang

  • Upload
    buithuy

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

u Berarti buat Mereka

Upaya Perlindungan Setengah Hati

JUMAT, 1 APRIL 2011 19NIORA

DALAM Undang-Undang No 22 Tahun 2002 tentang Per-lindungan Anak (UUPA) kata ’eksploitasi’ disebut sepuluh kali. Kesemuanya mengarah pada pencegahan dan peng-hukuman tindakan eksploitasi terhadap anak. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual merupakan salah satu jenis yang mempe-roleh perlindungan khusus di dalam UU.

Salah satunya, pada Pasal 13 disebutkan setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, ke-kerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.

Dalam pasal yang sama dite-gaskan jika orang tua, wali, atau pengasuh anak melaku-kan segala bentuk perlakuan sebagaimana di atas, pelaku dikenakan pemberatan hu-kuman.

Hukuman itu tercantum secara eksplisit pada Pasal 88 yang menyebutkan, setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak de-ngan maksud untuk mengun-tungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepu-luh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta.

Sanksi pidana bukan hanya dikenakan pada para pelaku. Masyarakat yang tahu, na-mun membiarkan perilaku eksploitasi anak juga terancam hukuman pidana.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 78, setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak-anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual padahal anak tersebut memerlukan perto-longan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana pen-jara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.

Sementara itu, dalam Pasal 59 disebutkan bahwa pemerin-tah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab memberi perlindungan khusus kepada anak yang berada dalam kondisi-kondisi tertentu termasuk anak yang

tereksploitasi secara ekonomi dan atau sosial. Pasal 66 bahkan menegaskan bahwa perlin-dungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual merupakan kewajiban serta tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

Macan kertasPasal-pasal tersebut begitu

gamblang menjelaskan sanksi bagi pelaku eksploitasi anak dan kewajiban pemerintah un-tuk melindungi anak. Sayang-nya, UU itu tidak lebih dari macan kertas, upaya perlin-dungan anak pun terkesan setengah hati.

“Faktanya, sanksi-sanksi ini jarang diterapkan aparatur hukum,” sesal Sri Haryatie, Deputi Penanganan Kekerasan terhadap Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan dan Perlindungan Anak.

Menurutnya, ketidakefek-tifan UU tersebut lantaran sosialisasinya belum sampai ke masyarakat hingga level ter-bawah, termasuk pada aparat pemerintah daerah.

Di samping itu, komitmen para pemangku kepentingan juga belum solid. Belum ada-nya perda di banyak kabu-paten/kota membuat UUPA belum dapat menjadi payung hukum bagi anak-anak.

Hal senada juga disam-paikan Wakil Ketua Komisi Perlindung an Anak Indonesia Asrorun Niam. “Peran koordi-nasi lintas bidang perlu sekali dilakukan. Mengingat, masa-lah eksploitasi anak sangatlah kompleks dan sebaran tang-gung jawabnya ada di berbagai kementerian,” ujar Niam.

Niam menyebut , t idak kurang dari 10 lembaga pe-merintah dan kementerian bertangung jawab terhadap upaya perlindungan anak. Antara lain, Kemendiknas, Ke-menag, Kemenkes, Kemensos, Kementerian PP-PA, kepoli-sian, kejaksaan, bahkan juga Kemenpera, Kementerian PU, dan juga Kemendag.

Tanpa koordinasi yang bagus di antara lembaga dan kemen-terian tersebut, perlindung-an anak akan selalu bersifat parsial. Untuk itu, Niam me-nekankan perlunya turun ta-ngan presiden secara langsung. “Direksi presiden diperlukan agar UUPA berjalan efektif.” (Bay/Tlc/S-3)

enanggung BebanSusilo Bambang Yudhoyono pada Kabinet Indonesia Bersatu II pun telah memosisikan masa-lah anak secara khusus dalam sebuah kementerian.

Seharusnya, dengan keleng-kapan institusi, kebijakan, dan penganggaran perlindungan

anak di Indonesia, persoalan eksploitasi anak bisa selesai. Namun, mengapa yang terjadi justru sebaliknya?

Aset keluargaAda beberapa faktor jadi

penyebabnya. Salah satunya

paradigma keliru orang tua terhadap anak. Masih banyak orang tua yang menganggap anak adalah hak milik mereka yang bisa diperlakukan secara bebas.

“Banyak orang tua yang cen-derung lupa bahwa anak adalah titipan Tuhan dan sebagai ma-nusia seutuhnya mereka punya hak asasi. Karena pandangan keliru itu, anak dimanfaatkan secara ekonomi,” kata laki-laki yang akrab disapa Kak Seto itu di Jakarta, Selasa (29/3).

Ketua Dewan Pembina Komi-si Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) itu mencontoh-kan kalangan menengah atas yang memperlakukan anak mereka sebagai aset ekonomi bernilai tinggi.

Ketika anak berbakat akting, misalnya, anak didorong untuk menerima berbagai tawaran kontrak sinetron atau film bukan demi kebaikan anak, melainkan untuk menunjang ekonomi keluarga.

Di kalangan bawah, eks-ploitasi anak sebagian besar dilandasi faktor kemiskinan dalam rumah tangga. Bagi ke-luarga miskin, memberi pendi-dikan dan gizi layak bagi anak menjadi urusan yang tidak masuk daftar prioritas.

Hal tersebut bisa dilihat dari Data BPS 2010 tentang

komoditas yang paling penting bagi penduduk atau keluarga miskin.

Urutannya adalah beras, kemudian rokok, baru selan-jutnya gula pasir, telur, mi instan, dan lainnya. Dalam situasi terjepit kebutuhan pe-rut, anak-anak pun dikerahkan mencari tambahan pemasukan. Parahnya, banyak orang sekitar tidak peduli.

“Masih banyak lingkungan yang tidak peduli ketika terjadi eksploitasi pada anak. Hal itu dianggap sebagai urusan ke-luarga,” tutur Asisten Deputi Penanganan Kekerasan terha-dap Anak Kementerian PP-PA Sri Haryatie.

Faktor penghambat upaya perlindungan anak lainnya adalah ketidakefektifan UUPA. UU tersebut tidak bisa berjalan karena banyak daerah belum memiliki peraturan daerah turunan.

Selain itu, menurut Wakil Ketua KPAI Asrorun Niam, kesadaran perlindungan anak dari seluruh pemegang kebi-jakan dan pemangku kepen-tingan masih rendah.

Di level pemerintah, tang-gung jawab penyelenggaraan perlindungan anak berada di lintas sektor. Itu meliputi Ke-mendiknas, Kemenag, Kemen-kes, Kemensos, Kementerian

PP-PA, kepolisian, kejaksaan, dan bahkan juga Kemenpera, Kementerian PU, serta Ke-mendag.

“Peran koordinasi lintas bi-dang perlu sekali. Butuh ara-han presiden langsung agar upaya melindungi anak dari eksploitasi berjalan efektif,” pungkas Niam. (Tlc/S-3)

[email protected]

Dede, 17, remaja asal Purwakarta, Jawa Barat, pun bernasib serupa. Kala bapaknya menganggur dan ibunya yang hanya berjualan makanan kecil, Dede lantas memutuskan ke Jakarta tiga tahun lalu, atau tepatnya ketika usia 14 tahun.

Sekolah di kelas 2 SMP di Purwakarta ia tinggalkan, karena kondisi yang tertekan dan ajakan teman sebaya untuk merantau ke Jakarta. Tidak lain, motifnya adalah mengejar uang untuk memenuhi

kehidupan sehari-hari.“Mau bagaimana lagi,

orang nggak ada duit. Minta ke orang tua, sudah nggak mungkin. Ya ngikut aja ke sini, ngamen sambil jualan kerupuk palembang,” ujar Ade sambil sesekali memainkan sebuah lagu cinta sendu dengan gitar ukulelenya di pinggir trotoar Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan.

Arif, Ian, dan juga Dede, hanyalah segelintiran anak-anak yang terpaksa bekerja demi sesuap nasi. Mereka adalah anak-anak yang

tidak beruntung, di saat anak-anak lain menikmati masa-masa kanaknya dengan menyenangkan dan bisa bergaul dengan teman sebaya.

Mereka juga dipastikan tidak mendapatkan hak-hak yang semestinya mereka dapatkan di masa anak-anak. Sebut saja seperti, hak untuk belajar, bermain, beristirahat, kesehatan, hak atas upah, dan juga perlindungan.

“Sudah saatnya pemerintah memikirkan mereka yang harus terjun mengejar uang,

untuk kehidupan mereka sehari-hari,” papar pengamat perlindungan anak Giwo Rubianto Wiyogo, beberapa waktu lalu, di Jakarta.

Sebab, bila tidak ada tindakan pemerintah yang peduli atas perlindungan anak-anak, lambat laun mereka dikhawatirkan juga bisa menjadi anak-anak yang rentan mengeksploitasi anak-anak lain, dan dapat menjadi anak-anak yang dieksploitasi pihak lain yang tidak bertanggung jawab. (*/H-2)

aran pendukung sudah tersedia, upaya ari eksploitasi belum berhasil.

KEWAJIBAN NEGARA: Gadis belia menjadi buruh pembersih kerang di Perkampungan Nelayan Muara Angke, Jakarta Utara, kemarin. Sesuai dengan UU Perlindungan Anak, negara berkewajiban memberi perlindungan khusus terhadap anak-anak yang tereksploitasi secara ekonomi.

MELANGGAR UNDANG-UNDANG: Seorang anak terpaksa mencari nafkah dengan menjadi penjaga sepatu di pelataran sebuah masjid di Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu. Sejatinya, memaksa anak untuk bekerja tergolong perbuatan yang melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak.

MI/ADAM DWI

MI/GINO F HADI