25
Upaya Uni Eropa dalam membangun perdamaian di Aceh SepviaAnesa 1210852003 Ines Riva Yulia 1210852011 VannyMayang Sari 1210853008 IlmuHubunganInternasional FakultasIlmuSosialdanIlmuPolitik UniversitasAndalas Email: [email protected] [email protected] [email protected] Abstract The European Union is a form of international organizations in the European region. The European Union is a regional organization that became a model for other regional organizations in creating economic integration in Europe. Currently the European Union has expanded its cooperation, not only with other European countries, but also reach out to countries in other regions both in the issues of security, political, economic, humanitarian and environmental issues. When Indonesia faced domestic political exclusion problems with GAM, the EU is present as an organization that facilitates peace Indonesia and GAM. The establishment of the Aceh Monitoring Mission as peace building by the European Union in accordance with the memorandum of understanding that was signed in Helsinki serves to monitor the peace in Aceh.

Mid Jurnal Essay

Embed Size (px)

Citation preview

Upaya Uni Eropa dalam membangun perdamaian di AcehSepviaAnesa 1210852003Ines Riva Yulia 1210852011VannyMayang Sari 1210853008

IlmuHubunganInternasionalFakultasIlmuSosialdanIlmuPolitikUniversitasAndalas

Email: [email protected]@[email protected]

Abstract The European Union is a form of international organizations in the European region. The European Union is a regional organization that became a model for other regional organizations in creating economic integration in Europe. Currently the European Union has expanded its cooperation, not only with other European countries, but also reach out to countries in other regions both in the issues of security, political, economic, humanitarian and environmental issues. When Indonesia faced domestic political exclusion problems with GAM, the EU is present as an organization that facilitates peace Indonesia and GAM. The establishment of the Aceh Monitoring Mission as peace building by the European Union in accordance with the memorandum of understanding that was signed in Helsinki serves to monitor the peace in Aceh.Key wordsEuropean Union, GAM, Memorandum of Understanding, Aceh Monitoring Mission, Peace building.Metodologi PenelitianPendekatan dan jenis penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan data-data yang didapat berupa tulisan ilmiah dan pemaparan pelaporan serta tindakan yang tergambar di dalam tulisan-tulisan tersebut[footnoteRef:1]. Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis dimana analsis dilakukan dengan mengkaji fenomena yang diangkat menjadi lebih rinci[footnoteRef:2]. [1: Iskandar,2008,Metodologi penelitian pendidikan dan sosial (Kualitatif dan kuantitatif),Jakarta:Gaung Persamda Press, 186] [2: ibid]

Batasan MasalahBatasan yang digunakan dalam tulisan ini ialah proses resolusi konflik GAM dan Pemerintah Republik Indonesia yang dibantu oleh Uni Eropa yang diawali dengan penandatanganan Nota Kesepahaman di Helsinski hingga pembentukan Aceh Monitoring Mission sebagai pemantau jalannya perdamaian di Aceh.Unit dan Level Analisis Unit analisis merupakan objek yang perilakunya akan dianalisis serta tingkat analisis merupakan unit yang menjadi landasan terhadap keberlakukan pengetahuan yang digunakan[footnoteRef:3]. Pada tulisan ini unit analisisnya adalah Uni Eropa dan Indonesia dan level analisisnya adalah pada level internasional. [3: Joshua S.Goldstein,Jon C. Pavehouse, Level of analysis. Pearson International Edition, International Relation, eight edition. ]

Teknik Pengumpulan Penelitian ini merupakan penelitian yang didasarkan pada studi literatur.Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data-data sekunder berupa data-data yang telah ada yang membahas penjabaran mengenai Uni Eropa dan Aceh Monitoring Mission yang dibentuk untuk memantau terjadinya perdamaian di Aceh.

Diskusi dan Analisis Uni Eropa merupakan organisasi kawasan yang bisa dikatakan menjadi acuan bagi organisasi kawasan lainnya. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana usaha integrasi dari Uni Eropa dengan terciptanya common market[footnoteRef:4] dan mata uang tunggal bagi Zona Eropa. Uni Eropa telah memperluas kerjasamanya tidak hanya dengan sesama negara Eropa, namun juga telah menjangkau negara-negara di kawasan lain baik dalam isu keamanan, politik, ekonomi, kemanusiaan dan isu-isu lingkungan. Gempa dan Tsunami Aceh pada 26 desember 2004 merupakan salah satu bencana besar yang menelan ribuan korban jiwa yang menarik perhatian dunia internasional yang menyebabkan sekitar 230.000 jiwa meninggal dunia, 36.786 jiwa hilang, dan 174.000 jiwa tinggal di tenda pengungsian karena rumah-rumah hancur diguncang gempa dan digulung ombak. Sekitar 120.000 rumah hancur, 800 km jalan dan 260 jembatan rusak, 639 fasilitas kesehatan hancur dan 2.224 sekolah hancur[footnoteRef:5]. Melihat kondisi tersebut, berbagai organisasi internasional masuk ke Aceh untuk memberikan berbagai bantuan terhadap korban gempa dan Tsunami.Uni Eropa merupakan salah satu organisasi yang memberikan bantuan kemanusiaan, namun bantuan kemanusiaan tersebut berkembang pada arah bantuan politik setelah Uni eropa melihat kondisi politik di Aceh yang pada saat itu terjadi konflik antara Pemerintah Pusat dengan gerakan separatis di Aceh. Pada tahun 2004 tersebut, pemerintah Indonesia sedang menghadapi gerakan separatis di Aceh yang dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik antara sebagian rakyat Aceh dengan pemerintah Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya pemberontakan oleh Daud Beureuh dan Hasan Tiro. [4: Common market/pasar bersama adalah salah satu bentuk integrasi perdagangan antara sejumlah negarauntuk menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan (tarif dan non-tarif) .common market membarikan kebebasan perpindahan tenaga kerja dan modal antar negara anggota. Tujuannya untuk menjamin keuntungan sehingga meningkatkan standar hidup dari negara-negara anggota] [5: Harry Kawilarang, Aceh Dari sultan Iskandar Muda ke Helsinki, 2007. Hal 117]

Didirikannya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 21 september tahun 1953 yang diproklamirkan oleh Tengku Daud Beureueh[footnoteRef:6] yang menyatakan bahwa Aceh ingin menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII). Hal ini berawal dari kekecewaan masyarakat Acehterhadap janji Presien Soekarno yang akan memberikan keistimewaan kepada rakyat Aceh untuk menjalankan Syariat Islam namun tidak ditepati, Presiden Soekarno menegaskan bahwa Indonesia tidak mungkin menggunakan Islam sebagai dasar negara, karena Indonesia berdasarkan atas asas Pancasila, bukan Islam. Ketika Indonesia berada dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) setelah berakhirnya agresi militer oleh Belanda, dalam pertemuan Dewan Menteri RIS pada 8 Agustus 1950 disepakati bahwa Indonesia hanya terdiri atas sepuluh provinsi dan Pemerintah Pusat berencana akan melebur Provinsi Aceh kedalam Provinsi Sumatera Utara. Keputusan ini mengecewakan rakyat Aceh karena pusat pemerintahan Aceh bahkan peralatan kantor dan mobil dinas pemerintahan Aceh dibawa ke Medan. [6: Rani A. Usman,Sejarah Peradaban Aceh, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2003. Hal 124.]

Pemberontakan Daud Beureueh tidak berhenti meski Pemerintah Pusat mengembalikan Aceh sebagai provinsi yang terpisah dari Sumatera Utara dengan UU No. 24 tahun 1956. Dalam UU tersebut sama sekali tidak menyebutkan mengenai pemberian otonomi Aceh dalam pemberlakuan syariat Islam. Tiga tahun setelah itu, status sebagai daerah istimewa diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Aceh. Pada 26 Mei 1959 melalui Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959, yang berisi bahwa daerah Istimewa Aceh dapat melaksanakan otonomi daerah yang seluas-luasnya terutama dalam bidang agama, pendidikan dan peribadatan. Pemberontakan Daud Beureueh berakhir pada 9 Mei 1962 ketika Kolonel M.Jasin Panglima Kodam Iskandar Muda meminta Daud Beureueh untuk berhenti[footnoteRef:7]. [7: M Nur El Ibrahirny. 2001, Peranan Teungku M Daud Beureueh dalam Pergolakan Di Aceh, Aceh: Media Dakwah.Hal 32]

Pemberontakan Hasan Tiro bertujuan untuk memisahkan diri secara utuh dari pemerintahan Indonesia. Pada orde baru, Indonesia menjalankan model politik sentralisme[footnoteRef:8], melalui UU No.5 tahun 1974 mengenai pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 mengenai Pokok-Pokok Pemerintahan Desa, yang membuat penyeragaman disemua daerah tanpa memperhatikan nilai-nilai lokal[footnoteRef:9]. Artinya, keistimewaan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat pada masa pemerintahan Soekarno tidak diberikan lagi pada masa pemerintahan Soeharto. Hal ini kembali menyulut pemberontakan oleh rakyat Aceh. [8: Sentralisasi adalah pemusatan semua kewenangan pemerintah (politik dan administrasi) pada pemerintah pusat] [9: Ibid hal 36]

Usaha Pemerintah Pusat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan memberikan hak pengelolaan sumber daya alam Aceh kepada perusahaan-perusahaan besar semakin memperburuk suasana antara rakyat Aceh dengan Pemerintah Pusat. Masyarakat Aceh berasumsi bahwa eksploitasi kekayaan alam Aceh tidak memberikan hasil yang adil bagi rakyat Aceh. Hal tersebut membuat rakyat Aceh sadar bahwa yang seharusnya menikmati hasil sumber daya alam Aceh adalah rakyat Aceh sendiri bukan Pemerintah Pusat. Rakyat Aceh bereaksi dengan melahirkan sebuah gerakan untuk memisahkan diri dari Pemerintahan Indonesia dibawah bendera Acheh Sumatra National Liberation Front (ASNLF) atau yang lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dimana GAM memperoleh kekuatan setelah industri gas dan minyak di Aceh Utara berdiri pada tahun 1970[footnoteRef:10]. [10: M.Adli Abdullah, Membedah Sejarah Aceh, Aceh. 2011. Hal 34 ]

Pemerintah Pusat menganggap GAM sebagai sebuah gerakan separatis yang hendak memisahkan diri dengan membentuk negara di dalam wilayah Republik Indonesia, dalam menanggapi hal tersebut Pemerintah Indonesia merespon dengan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menumpas GAM, termasuk melakukan berbagai operasi militer. Pemerintah melakukan Operasi Jaring Merah (OJM) yang menjadikan sebagian wilayah Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Penerapan DOM ini merupakan respon Pemerintah Pusat atas gangguan keamanan yang semakin meningkat. Meskipun demikian, perlawanan GAM tidak pernah sepenuhnya berhasil ditumpas.Berbagai tindakan yang diambil oleh pemerintah sejak masa B.J Habibie, Abdurahman Wahid hingga Megawati Soekarnoputri pada akhirnya mengalami jalan buntu, sehingga penyelesaian masalah separatisme di Aceh puntak kunjung berakhir. Namun satu hal yang penting untuk dicatat dari upaya penyelesaian konflik pada masa transisi ini adalah disertakannya aspek diplomasi, meskipun dalam tataran operasional masih kental dengan penggunaan kekuatan bersenjata. Pada masa Presiden Abdurahman Wahid, upaya dialog damai dengan nama Jeda Kemanusiaan[footnoteRef:11] (Joint Understanding on Humanitarian Pause) pada 12 Mei tahun 2000 telah dilakukan dengan meminta bantuan Henry Dunant Centre (HDC) sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berkedudukan di Jenewa, Swiss. HDC merupakan organisasi swasta yang didirikan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, ketidakberpihakan dan kemerdekaan. Misi HDC adalah membantu mencegah, mengurangi dan menyelesaikan konflik bersenjata melalui dialog dan mediasi[footnoteRef:12]. [11: berisi kesepakatan antara kedua belah pihak untuk menghentikan tindakan kekerasan di Aceh.] [12: www.hdcenter.org/en.about-us/who-we-are/ diakses pada 3 Mei 2015]

Jeda Kemanusiaan membawa perkembangan baru bagi Aceh baik bagi pihak Indonesia maupun pihak GAM sendiri. Semenjak berlangsungnya konflik selama 23 tahun, ini merupakan perundingan pertama bagi pemerintah Indonesia dalam menghadapi GAM, karena sebelumnya Indonesia lebih memilih menggunakan jalan militer dalam menghadapi GAM. Dari sisi GAM, Jeda Kemanusiaan membawa angin segar bagi mereka karena dalam kenyataannya, GAM duduk satu meja dengan pemerintah Indonesia yang berarti eksistensi GAM diakui sebagai sebuah entitas politik. Selain itu, GAM berharap bahwa Jeda Kemanusiaan bisa membangun citra GAM diseluruh dunia dan GAM berharap masyarakat dunia member dukunangannya kepada GAM. Jeda Kemanusiaan juga digunakan oleh GAM untuk memperluas pengaruhnya di Aceh. Dengan diberhentikannya pemakaian senjata, GAM yang secara militer jauh lebih lemah dari TNI justru mendapat kesempatan untuk memperluas basis dukungan dikalangan penduduk lokal dan memperkuat militer[footnoteRef:13]. [13: Aguswandi dan Large Judith, Rekonfigurasi Politik: Proses Damai Aceh, 2008. Hal 17 ]

Hal tersebut memicu kembali kekerasan antara TNI/POLRI dan GAM, karena disaat TNI/POLRI diminta untuk tidak ofensif, pihak GAM memamfaatkan hal tersebut untuk meningkatkan militernya. Jeda Kemanusiaan berakhir pada Januari 2001, dapat dikatakan bahwa Jeda Kemanusiaan mengalami kegagalan karena tidak adanya rasa saling percaya antara kedua belah pihak dan tidak adanya komitmen para aparat dilapangan terhadap kesepakatan penghentian kekerasan. Setelah dilantiknya Megawati menjadi Presiden Indonesia, Megawati menekan GAM untuk mau menerima otonomi yang luas seperti yang ditawarkan oleh pusat[footnoteRef:14]. GAM akhirnya berunding dengan pusat untuk kedua kalinya pada Desember 2002 dan tercapai kesepakatan Cessation of Hostilities Agreement (COHA), yang pada dasarnya memiliki empat fokus, yaitu aspek keamanan, yang mencakup penghentian kontak senjata. Kedua aspek kemanusiaan, yang mencakup penyaluran bantuan kepada pengungsi. Ketiga aspek rekonstruksi, yang mencakup rahabilitasi dan rekonstruksi sarana yang rusak akibat konflik, terakhir aspek reformasi sipil, yang mencakup penyelenggaraan dialog untuk memperkuat proses demokratisasi di Aceh[footnoteRef:15]. [14: Edward Aspinall and Harold Crouch, The Aceh Peace Process: Why it Failed. East-West Center, 2003. Pages 26] [15: ELSAM-Lembaga studi dan advokasi. Aceh: Mengapa Kesepakatan Penghentian Permusuhan Sulit Dipertahankan. Hal 11 ]

Namun kesepakatan ini kembali tidak berjalan dengan baik hingga kedua belah pihak kembali melakukan tindak kekerasan. Presiden Megawati akhirnya menandatangani darurat militer di Aceh pada 19 Mei 2003 yang ditandai dengan Kepres No 28 /2003 yang memiliki dua keputusan penting, yakni menetapkan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam sebagai daerah bahaya dalam tingkatan Darurat Militer selama enam bulan, kemudian menunjuk Panglima Komando daerah Militer (Kodam) Iskandar Muda sebagai Penguasa Darurat Militer daerah. Bentuk implementasi Darurat Militer di Aceh adalah penggelaran Operasi Terpadu. Operasi ini terdiri atas empat operasi antara lain: Operasi Pemulihan Keamanan, Operasi Kemanusiaan, Operasi Penegak Hukum dan Operasi Penetapan Jalannya Pemerintahan[footnoteRef:16]. Sekalipun kebijakan tersebut mendapatkan reaksi yang cukup keras dari dalam dan luar negeri, pemerintah bersikeras untuk menggelar Operasi Militer di Aceh. Alasannya bahwa GAM tidak mau menyelesaikan konflik Aceh secara damai, sehingga pemerintah perlu mengambil langkah-langkah militer guna menjaga kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diamanatkan dalam konstitusi RI[footnoteRef:17]. [16: ELSAM-Lembaga studi dan advokasi.Mengembalikan Penyelesaian Konflik Aceh Melalui Jalan Damai: Sebuah Evaluasi Pelaksanaan Darurat Militer di Aceh. Hal 7 diakses melalui www.Elsam.or.id pad Mei 2015] [17: Lih, Pemahanan Status Darurat Militer: Memahami Penetapan Bahaya Dalam Status Darurat Militer di Propinsi NAD, Hal 3]

Terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla membawa perubahan yang besar dalam resolusi konflik antara pemerintah dengan GAM. Bencana Tsunami juga memberikan pengaruh tak langsung dalam resolusi konflik dengan GAM, karena Tsunami Aceh telah menarik perhatian dunia, salah satunya adalah organisasi kawasan Uni Eropa. Uni Eropa berkontribusi sejak terjadinya bencana Tsunami. Kantor Komisi Uni Eropa untuk Koordinasi Kemanusiaan (The European Commission Humanitarian Co-ordination Office-ECHO) telah menyalurkan 40 juta Euro untuk pemulihan bagi korban-korban Tsunami serta menyediakan dana sebanyak 200 juta Euro untuk kebutuhan rahabilitasi dan rekonstruksi bagi Indonesia selama tahun 2005-2006[footnoteRef:18]. [18: Javier Solana, Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Kebijakan Keamanan Luar Negeri bertemu dengan Wakil Presiden Republik Indonesia Yusuf Kalla, Brussels, Januari 2006. Hal 6]

Program bantuan kemanusiaan ini dilanjutkan dengan komitmen Komisi dan anggota Uni Eropa lainnya untuk mendukung terciptanya perdamaian dan pembangunan Aceh setelah konflik yang berlangsung bertahun-tahun. Pembicaraan informal telah dilakukan sejak Mei 2005 dengan bantuan dari Crisis ManagementInitiative (CMI)[footnoteRef:19], yang memfasilitasi perundingan perdamaian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005, dengan tujuan mengakhiri konflik bersenjata di Aceh yang telah berlangsung hampir selama 30 tahun[footnoteRef:20]. Rangkaian pembicaraan yang berlangsung antara delegasi Pemerintah RI dan GAM ini akhirnya menghasilkan sebuah Nota Kesepakatan atau Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005[footnoteRef:21]. [19: Crisis Management Initiative (CMI) adalah sebuah organisasi nirlaba independen Finlandia yang bekerja untuk penyelesaian konflik dan pembangunan perdamaian yang berkelanjutan.CMI didirikan pada tahun 2000 olehPimpinannya, President Martti Ahtisaari. Markas organisasi ini berada di Helsinki, Finlandia.] [20: Crisis Management Initiative, Proyek Tindak Lanjut Proses Perdamaian Aceh: Laporan Akhir Uni Eropa. 2012. Hal 5] [21: International Crisis Group, Aceh: So Far, So Good. Jakarta/Bussels.Desember 2005. Hal 1]

Aceh Monitoring Mission (AMM) merupakan misi yang keanggotaanya terdiri dari para perwakilan pemantau dari negara negara Eropa dan negara negara ASEAN ditambah Norwegia dan Swiss. Sesuai nota kesepahaman Helsinki, anggota anggota yang tergabung dalam misi perdamaian ini tidak diberikan persenjataan dan masing masing anggota dianggap memiliki keahlian dan kemampuan yang beragam dalam menjalankan tugas pada misi tersebut. Meski sebelumnya telah pernah dibentuk misi serupa oleh Henry Dunant Centre (HDC) namun ada beberapa perbedaan antara keduanya, HDC menamai misi damai untuk Aceh dengan Joint Security Committee (JSC) yang memiliki lima tugas yakni untuk memformulasikan proses implementasi kesepakatan, memonitor situasi keamanan di Aceh, melakukan investigasi secara penuh terhadap kekerasan keamanan, memperbaiki situasi keamanan dan penegakkan sanksi, meyakinkan tidak adanya kekuatan para militer baru, serta mendesain dan mengiplementasikan proses demiliterisasi di Aceh.Perbedaan juga terdapat dalam keanggotaan JSC dan AMM, dimana anggota JSC terdiri dari pejabat pejabat senior yang ditunjuk sebagai wakil Pemerintah dan wakil GAM yang kemudian ditengahi oleh seorang pihak ketiga dari HDC dengan persetujuan dari pihak GAM dan Pemerintah. Untuk memutuskan perselisihan yang muncul dibentuklah Joint Council (JC) yang melibatkan wakil wakil senior pihak Pemerintah dan GAM berikut dengan pihak ketiga dari HDC.Mandat bagi AMM terdapat dalam MoU Helsinki pasal 5 ayat 2 yang menyatakan[footnoteRef:22] : [22: MoU Helsinki 2005, http://www.aceh-mm.org/download/english/Helsinki%20MoU.pdf]

a. Memantau demobilisasi GAM dan decomissioning persenjataannyab. Memantau relokasi tentara dan polisi non-organikc. Memantau reintegrasi anggota GAM yang aktir kedalam masyarakatd. Memantau situasi hak asasi manusia dan memberikan bantuan dalam bidang HAMe. Memantau proses perubahan peraturan perundang undanganf. Memutuskan kasus kasus amnesti yang disengketakang. Menyelidiki dan memutuskan kasus kasus amnesti yang disengketakanh. Menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelanggaran terhadap MoU Helsinkii. Membentuk dan memelihara hubungan dan kerjasama yang baik dengan kedua pihak.AMM mendarat di Aceh pada tanggal 15 September 2005, yang seharusnya tiba tepat satu hari pasca diberlakukannya MoU Helsinki yakni 16 Agustus 2005. Dan pada awal penugasannya misi ini ditargetkan selesai pada tanggal 15 Juni 2006, namun dikemudian hari diperpanjang oleh Uni Eropa sampai pada selesainyapelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di Aceh, 15 Desember 2006.

B. Struktur dan Tugas AMM[footnoteRef:23] [23: Aceh Monitoring Mission, AMM Organization http://www.aceh-mm.org/english/amm_menu/organisations.htm (accessed on May 2nd, 2015)]

AMM diketuai oleh Pieter Feith, seorang yang berkebangsaan Belanda dengan keanggotaan yang terdiri atas 220 orang anggota. 120 orang diantaranya berasal dari perwakilan Eropa dan sisanya dari negara negara ASEAN (Brunei Darussalam, Malaysia, Phipina, Singapura dan Thailand). Markas AMM terletak di Banda Aceh dengan kapabilitas pemantauan geografis di 11 kantor wilayah diberbagai penjuru Aceh yakni: Sigli, Bireun, Lhoksumawe, Langsa, Tapak Tuan, Blang Pidie, Meulaboh, Lamno, Banda Aceh Kutacane dan Takengon.

Sources :http://www.aceh-mm.org/images/amm10.jpg

AMM memainkan peran sebagai pembangun rasa percaya antara pihak pihak yang terlibat konflik di Aceh, sebagai sebuah lembaga dengan otoritas tinggi untuk menjaga konsistensi pihak pihak yang bertikai agar tetap berkomitmen pada kesepakatan yang telah dibentuk sebelumnya. Keberadaan AMM dirasa sangat penting karena di Aceh saat itu tengah mengalami transisi atau perubahan situasi konflik yang berbalik menjadi situasi damai yang rentan akan resiko[footnoteRef:24]. [24: DedySaputra ZN. Asiah.HendraFadli, PerdamaianBerkeadilan, KontraS Aceh, Januari 2007, hal 25-29]

Tugas utama AMM yang tercantum dalam MoU Helsinki meliputi demobilisasi dan decommissioning GAM, relokasi aparat keamanan non-organik, reintegrasi mantan anggota GAM ke dalam masyarakat, pemantauan HAM, memantau transisi sosial politik yang diakibatkan oleh adanya kesepakatan damai dan penyelesaian sengketa. Namun, AMM tidak berperan dalam hal negosiasi kedua belah pihak, tetapi apabila hal tersebut diperlukan selama berlangsungnya misi AMM hal tersebut akan menjadi tanggung jawab kedua belah pihak.a. Demobilization dan Decommisioning GAM[footnoteRef:25] [25: International Crisis Group, Aceh: So Far So Good, Jakarta/Bruessel, Desember 2005. Hal 7 - 9]

Berdasarkan MoU Helsinki, GAM diwajibkan melaksanakan demobilisasi 3000 orang pasukannya yang telah berhasil dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 2005. GAM secara resmi melakukan pembubaran atas sayap sayap militernya (Tentara Nangroe Aceh/TNA). Dengan landasan MoU pula, GAM diwajibkan menyerahkan 840 senjata milik TNA yang mulai dilaksanakan pada 15 September 2005 bertepatan dengan satu bulan pasca penanda tanganan MoU Helsinki hingga 31 Desember 2005.[footnoteRef:26] Penyerahan senjata anggota TNA ditangani oleh empat tim khusus dari AMM yang bertugas mengumpulkan senjata di titik tertentu yang kemudian dikumpulkan dan dilakukan dokumentasi dan verifikasi oleh wakil Pemerintah RI dan kemudian dimusnahkan. [26: MoU Helsinki, Pasal 4 ayat 2 dan 3]

Tahap pertama penyerahan senjata disebar dalam tiga hari yakni 15, 16 dan 17 September 2005 ditiga titik yang berbeda pula, diantaranya: Aceh Besar, Bireun dan Pidie. Tahap penyerahan senjata dilakukan seiringan dengan penarikan TNI non organik dari wilayah Aceh. Pada tahap ini, anggota GAM ditargetkan akan menyerahkan sebanyak 210 senjata, sekitar 25% dari total keseluruhan 840 senjata yang desepakati. Tetapi, pada kenyataannya GAM berhasil menyerahkan 279 senjata dimana 53 senjata diantaranya dianggap tidak memenuhi standar sehingga yang dihitung hanya 226 pucuk senjata saja. Jumlah senjata yang diserahkan telah melebihi 16 unit dari yang ditargetkan pada tahap pertama[footnoteRef:27]. [27: DedySaputra ZN. Asiah.HendraFadli, PerdamaianBerkeadilan, KontraS Aceh, Januari 2007, hal 12.]

Senjata senjata yang dinilai tidak dapat dihitung tersebut adalah hasil verifikasi anggota AMM, diamana senjata yang dianggap tidak lolos merupakan senjata yang dianggap merupakan senjata rakitan ataupun senjata yang sudah tidak berfungsi. Senjata yang dikumpulkan dan lolos verifikasi, selanjutnya akan dimusnahkan oleh AMM, akan tetapi terdapat perdebatan antara TNI dan GAM atas proses dan persyaratan senjata yang dinilai dapat dihitung dan tidak. Bagi TNI senjata rakitan dianggap tidak dapat diverifikasi, sementara pihak GAM berdalih bahwa MoU hanya mewajibkan GAM menyerahkan senjata tanpa mengatur atau membatasi senjata rakitan atau tidaknya. AMM terlibat menjembatani perbedaan penafsiran antara TNI dan GAM dengan putusan akhir, senjata yang harus diserahkan oleh anggota GAM adalah senjata buatan pabrik bukan rakitan.b. Penarikan TNI dan POLRI dari Aceh[footnoteRef:28] [28: Aceh Monitoring Mission,Tahap kedua perlucutan senjata GAM dan penarikan pasukan non organik TNI dan Polri telah diselesaikan, Banda Aceh, Oktober 2005. Hal 1-2]

Seiringan dengan penyerahan senjata oleh GAM, pemerintah RI diharuskan menarik semua tentara dan polisi non- organik dari kawasan Aceh yang akan dilaksanakan per-satu bulan pasca penandatanganan MoU, 15 September 2005. Penarikan pasukan bersenjata pemerintah ini dilaksanakan secara bertahap melalui empat tahapan seiring dengan tahapan penyerahan senjata oleh TNA kepada AMM.c. Amnesti[footnoteRef:29] [29: Aceh Monitoring Mission, Headquarter: Amnesti, Reintegrasi dan Asasi Manusia, http://www.aceh-mm.org/indo/headquarter_menu/amnesty.htm (accesed on May 3rd, 2015]

Dalam 15 hari pasca penanda tanganan MoU, pihak pemerintah diwajibkan mengeluarkan amnesti kepada anggota GAM. Sehubungan dengan hal tersebut, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2005 mengenai Amnesti dan Abolisi bagi GAM tanggal 30 Agustus 2005. Dimana anggota anggota GAM yang dipidana diberikan amnesti. Semenjak ditanda tanganinya MoU Helsinki, sebanyak 1.789 tahanan GAM telah dibebaskan, amnesti yang diberikan pemerintah terbatas hanya bagi mereka yang terlibat dalam aktivitas politik namun tidak diberikan kepada anggota GAM yang ditangkap atas kasus pidana atau kasus kriminal.Dalam menjelaskan beberapa kasus lainnya AMM kembali berperan sebagai fasilitator dalam proses pembahasan terkait perbedaan persepsi antara pemerintah RI dan GAM mengenai status tahanan dengan jalan mendatangkan seorang mantan Hakim dari Swedia yang secara Internasional telah berpengalaman pada persoalan persoalan amnesti.d. Reintegrasi GAMReintegrasi adalah proses dimana mantan kelompok bersenjata mengubah identitasnya dari militer ke sipil dan memastikan terhadap kemungkinan kembali ke konflik bersenjata[footnoteRef:30].Pasca mendapat amnesti dan dibebaskan dari penjara, para tahanan GAM kemudian diberi dana dan dipulangkan kembali. Setelah kembali dari tahanan para mantan anggota GAM ini diharapkan dapat berbaur dengan masyarakat dan hidup selayaknya masyarakat biasa. Sebagaimana yang tertulis dalam MoU pasal 3.2.3 hingga 3.2.5, pemerintah diwajibkan memberikan bantuan dana dan kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan, pemerintah juga turut memberikan bantuan lahan seluas dua hektar bagi masing masing anggota GAM. Anggota GAM berhenti memungut pajak naggroe yang dalam proses kembalinya anggota GAM kemasyarakat tetap jadi pamatauan dari AMM dan setiap tindakan mantan anggota GAM yang berbau GAM dilaporkan dan ditindak oleh AMM[footnoteRef:31]. [30: PemerintahRepublik Indonesia, Perlucutan, Demobilisasi dan Reintegrasi di Aceh Reintegrasi Ekonomi Berkelanjutan, Jakarta.Desember 2005.Hal 11.] [31: International Crisis Group, Aceh: So Far So Good, Jakarta/Bruessel, Desember 2005. Hal 4 -6.]

e. Undang undang Pemerintah Aceh[footnoteRef:32] [32: DedySaputra ZN. Asiah.HendraFadli, PerdamaianBerkeadilan, hal 29-34.]

AMM diberikan wewenang untuk memantau proses perubahan undang undang dan menungkinkan keduabelah pihak untuk mengimplementasikan hasil kesepakatan Helsinki. Undang undang ini kemudian diperuntukan sebagai landasan pemerintahan di Aceh. Setelah menjalani proses pembahasan maka lahirlah Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang kemudian disahkan oleh Presiden.

f. Pengaturan Keamanan dan Hak Asasi ManusiaPada pasca disetujuinya nota kesepahaman Helsinki memunculkan harapan baru di Aceh. AMM diberikan mandat untuk memonitor situasi Hak Asasi Manusia dan memberikan bantuan dalam hal hal terkait bidang tersebut tidak terkecuali bagi mereka bekas anggota GAM yang kembali berbaur dengan masyarakat. AMM menjebatani, sekaligus menangani kasus kasus terkait bidang ini. Beberapa insiden terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kemanan sempat mengusik Crisis group mencatat Sembilan insiden baku tembak antara TNI dan GAM, insiden tersebut terjadi pada 12 Oktober 2006. Namun sesuai bukti dilapangan AMM menilai kasus tersebut sebagai kasus kriminal murni.[footnoteRef:33] [33: Ibid, hal35-37.]

KesimpulanHubungan kerjasama antara Uni Eropa dan Indonesia terjadi diberbagai bidang. Ketika Indonesia mengalami bencana Tsunami di Aceh pada tahun 2004, Uni Eropa datang memberikan bantuan kepada Indonesia. Pada saat itu sedang terjadi konflik antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang mana GAM ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika Uni Eropa melihat kondisi politik dan keamanan yang tidak stabil di Indonesia, Uni Eropa menawarkan diri untuk menjadi fasilitator demi terciptanya perdamaian di Aceh. Hal ini dimulai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman atau MoU di Helsinski dan dibentuknya Aceh Monitoring Mission (AMM) untuk memantau terjadinya perdamaian di Aceh. AMM dikontrol oleh beberapa anggota Uni Eropa dan anggota ASEAN.AMM dengan program-programnya berhasil melaksanakan peacemaking, peacebuilding dan peacekeeping di Aceh ditandai dengan berlangsungnya Pemilihan Kepala Daerah di Aceh dan terbentuknya pemerintahan yang baru. Setelah dibentuk pemerintahan yang baru di Aceh, maka misi AMM dinyatakan selesai dan AMM secara resmi dibubarkan pada tanggal 15 Desember 2006.

Referensi :

Saputra ZN, Dedy. PerdamaianBerkeadilan, KontraS Aceh, Januari 2007.

International Crisis Group, Aceh: So Far So Good, Jakarta/Bruessel, Desember 2005.

Aceh Monitoring Mission,Tahap kedua perlucutan senjata GAM dan penarikan pasukan non organik TNI dan POLRI telah diselesaikan, Banda Aceh, Oktober 2005.

Pemerintah Republik Indonesia, Perlucutan, Demobilisasi dan Reintegrasi di Aceh Reintegrasi Ekonomi Berkelanjutan, Jakarta.Desember 2005.

International Crisis Group, Aceh: So Far So Good, Jakarta/Bruessel, Desember 2005.

A.Rani, Usman, SejarahPeradaban Aceh, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 2003

Ibrahirny, M Nur El. 2001, Peranan Teungku M Daud Beureueh dalam Pergolakan Di Aceh, Aceh: Media Dakwah.

Abdullah, M.Adli.Membedah Sejarah Aceh, Aceh. 2011Kawilarang, Harry, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, 2007

Aguswandidan Judith, Large, Rekonfigurasi Politik: Proses Damai Aceh, 2008.

Aspinall, Edward and Crouch, Harold. The Aceh Peace Process: Why it Failed. East-West Center. 2003.

Crisis Management Initiative, Proyek Tindak Lanjut Proses Perdamaian Aceh: Laporan Akhir Uni Eropa. 2012.

Javier Solana,Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Kebijakan Keamanan Luar Negeri bertemu dengan Wakil Presiden Republik Indonesia Yusuf Kalla, Brussels, Januari 2006.

ELSAM-Lembaga studi dan advokasi. Aceh: Mengapa Kesepakatan Penghentian Permusuhan Sulit Dipertahankan.

ELSAM-Lembaga studi dan advokasi. Mengembalikan Penyelesaian Konflik Aceh Melalui Jalan Damai: Sebuah Evaluasi Pelaksanaan Darurat Militer di Aceh.

Lih,Pemahanan Status Darurat Militer: Memahami Penetapan Bahaya Dalam Status Darurat Militer di Provinsi NAD

Iskandar, 2008, Metodologi penelitian pendidikan dan sosial (Kualitatif dan kuantitatif), Jakarta: Gaung Persamda Press

Joshua S.Goldstein, Jon C. Pavehouse, Level of analysis. Pearson International Edition, International Relation, eight edition

WEBSITE MoU Helsinki 2005, http://www.aceh-mm.org/download/english/Helsinki%20MoU.pdfAceh Monitoring Mission, Headquarter: Amnesti, Reintegrasi dan Asasi Manusia, http://www.aceh-mm.org/indo/headquarter_menu/amnesty.htmAceh Monitoring Mission, AMM Organization http://www.aceh-mm.org/english/amm_menu/organisations.htmwww.hdcenter.org/en.about-us/who-we-are/