41
Laporan kasus FER MIOMA UTERI PENDAHULUAN Mioma uteri, dikenal juga dengan leiomioma, fibroid atau fibromioma, merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus. Mioma uteri merupakan tumor pelvik yang paling sering dijumpai dan merupakan tumor yang sering dijumpai pada wanita. Diperkirakan sekitar 20-25% wanita usia reproduksi mempunyai fibroid. Prevalensi tertinggi terjadi selama dekade ke lima dari kehidupan wanita, dimana 40-50% ditemukan pada usia 40 tahun. Berdasarkan studi populasi di daerah Washington DC, dengan menggunakan sonografi transvaginal, menemukan mioma pada lebih 80% wanita Afrika-Amerika, dan lebih dari 70% wanita kulit putih, pada usia 50 tahun. Di Indonesia mioma uteri ditemukan 2,39-11,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat. 1,2,3,4,5 Mioma tidak terdeteksi sebelum pubertas dan bersifat responsif terhadap hormon, yang secara normal tumbuh selama usia reproduksi. Walaupun biasanya asimtomatik, mioma dapat menimbulkan masalah dalam spektrum luas, termasuk menoragia dan metroragia, nyeri dan infertilitas. 3,4 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS 1

Mioma Uteri

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Mioma Uteri

Laporan kasus FER

MIOMA UTERI

PENDAHULUAN

Mioma uteri, dikenal juga dengan leiomioma, fibroid atau fibromioma, merupakan

neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus. Mioma uteri merupakan tumor pelvik

yang paling sering dijumpai dan merupakan tumor yang sering dijumpai pada wanita.

Diperkirakan sekitar 20-25% wanita usia reproduksi mempunyai fibroid. Prevalensi

tertinggi terjadi selama dekade ke lima dari kehidupan wanita, dimana 40-50%

ditemukan pada usia 40 tahun. Berdasarkan studi populasi di daerah Washington DC,

dengan menggunakan sonografi transvaginal, menemukan mioma pada lebih 80%

wanita Afrika-Amerika, dan lebih dari 70% wanita kulit putih, pada usia 50 tahun. Di

Indonesia mioma uteri ditemukan 2,39-11,7% pada semua penderita ginekologi yang

dirawat.1,2,3,4,5

Mioma tidak terdeteksi sebelum pubertas dan bersifat responsif terhadap hormon,

yang secara normal tumbuh selama usia reproduksi. Walaupun biasanya

asimtomatik, mioma dapat menimbulkan masalah dalam spektrum luas, termasuk

menoragia dan metroragia, nyeri dan infertilitas.3,4

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Penyebab mioma uteri belum diketahui secara pasti. Beberapa peneliti menyatakan

bahwa mioma uteri tumbuh dari sel tunggal (monoclonal). Walaupun belum ada bukti

yang menunjukkan bahwa estrogen menyebabkan mioma, tetapi kadar estrogen

mempengaruhi peningkatan pertumbuhan fibroid.1,4 Leiomioma mengandung

reseptor estrogen dalam jumlah besar dibandingkan dengan miometrium tetapi lebih

rendah bila dibandingkan endometrium.4

Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell nest atau teori genitoblast. Menurut Meyer

asal mioma adalah sel imatur, bukan dari selaput otot yang matur. Lipschutz

melakukan percobaan dengan memberikan estrogen pada kelinci percobaan dan 1

Page 2: Mioma Uteri

menemukan terjadi pertumbuhan fibromatosa. Puukka dan kawan-kawan

menyatakan bahwa reseptor estrogen pada mioma lebih banyak dari pada

miometrium normal.3

Akan tetapi dengan teori-teori tersebut sukar diterangkan mengapa pada seorang

wanita, estrogen dapat menyebabkan mioma, sedangkan pada wanita lain tidak.

PATOLOGI

Mioma uteri biasanya multipel, diskret, dan berbentuk sferis dengan permukaan yang

tidak rata. Pseudokapsul memisahkan mioma dengan miometrium di sekitarnya.

Mioma dapat dengan mudah dienukleasi dengan bersih dari jaringan miometrium di

sekelilingnya. Mioma biasanya berwarna pucat, berbentuk bulat, licin, dengan

konsistensi keras. Umumnya mioma berwarna lebih pucat daripada miometrium.

Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri atas berkas otot polos dan

jaringan ikat yang tersusun seperti konde/pusaran air (whorl like pattern), dengan

pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena

pertumbuhan sarang mioma ini.3,4

BERDASARKAN LETAKNYA MIOMA UTERI DIBAGI ATAS:3,6

Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uterus (1-3%), sisanya adalah dari

korpus uterus.

1. Mioma submukosum (6,1%)

Mioma uterus yang ditemukan tepat di bawah endometrium dan menonjol ke

dalam rongga uterus. Mioma ini dapat tumbuh bertangkai sehingga menjadi polip,

apabila tangkainya panjang dapat keluar melalui kanalis servikalis dan disebut

mioma geburt.

2. Mioma intramural

2

Page 3: Mioma Uteri

Mioma ini terdapat di dinding uterus diantara serabut miometrium dan

merupakan jenis mioma tersering (54%).

3. Mioma subserosum (48,2%)

Mioma ini tumbuh keluar dinding uterus, sehingga menonjol pada permukaan

luar uterus. Jenis ini dapat juga tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum

sehingga menjadi mioma intraligamenter.

Mioma subserosum dapat pula tumbuh dan menempel pada jaringan lain.

Misalnya ke ligamentum atau omentum lalu memisahkan diri dari uterus yang

disebut wandering/parasitic fibroid.

PERUBAHAN DEGENERATIF PADA MIOMA UTERI TERDIRI DARI:3,4

1. Degenerasi benigna

a. Degenerasi atropik

Gejala dan tanda akan berkurang atau menghilang sesuai dengan mengecilnya

ukuran mioma pada saat menopause atau setelah melahirkan.

b. Degenerasi hialin

Perubahan ini sering terjadi pada penderita usia lanjut. Tumor kehilangan

struktur aslinya menjadi homogen, dapat terjadi pada sebagian kecil atau

sebagian besar dari massa mioma.

c. Degenerasi kistik

Pencairan daerah yang mengalami hialinisasi, sehingga terbentuk ruangan-

ruangan yang tidak teratur dan berisi cairan seperti agar-agar dan dapat juga

terjadi pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai

limfangioma.

d. Degenerasi membatu (calcireous degeneration)

3

Page 4: Mioma Uteri

Terutama terjadi pada mioma subserosa oleh karena adanya gangguan dalam

sirkulasi, terjadi pengendapan garam kapur pada sarang mioma sehingga

menjadi keras.

e. Degenerasi merah (carneous degeneration)

Merupakan akibat dari terganggunya sirkulasi darah ke jaringan mioma

sehingga terjadi penumpukan pigmen hemosiderin dan hemofusin. Degenerasi

merah ini sering menimbulkan gejala pada wanita hamil yaitu demam dan rasa

nyeri, dimana tumor pada uterus membesar dan nyeri pada perabaan.

f. Degenerasi Septik

Bila sirkulasi darah tidak adekuat dapat terjadi nekrosis bagian tengah dari

mioma yang diikuti dengan terjadinya infeksi dan akan menimbulkan gejala

berupa nyeri akut dan demam.

g. Degenerasi Lemak

Jarang ditemukan dan tanpa gejala terjadi setelah degenerasi hialin dan

degenerasi kistik sehingga dikenal dengan sebutan fibrolipoma.

2. Degenerasi Maligna

Perubahan menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32 – 0,6% dari seluruh

mioma, serta merupakan 50-75% dari semua sarcoma uterus. Keganasan

umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histology uterus yang telah

diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar

dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma saat menopause.

GEJALA KLINIK

Sekitar 50% kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan yaitu saat pemeriksaan

ginekologi, karena tumor ini umumnya tidak menimbulkan keluhan. Mioma uteri

hanya ditemukan pada usia reproduksi, belum pernah ditemukan sebelum menarche,

sedangkan pada wanita menopause, mioma ini sering mengecil dengan sendirinya

4

Page 5: Mioma Uteri

dan hanya 10% yang terus tumbuh. Gejala klinik hanya ditemukan pada 35-50% dari

seluruh kasus mioma uteri. Gejala yang dikeluhkan sangat tergantung pada lokasi

sarang mioma, besarnya tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Keluhan

penderita umumnya adalah:3,4

1. Perdarahan abnormal (menoragia/metroragia)1,2,3,4

Terjadi pada sekitar 35-50% pasien dengan mioma. Faktor-faktor yang menjadi

perdarahan antara lain :

- Pengaruh ovarium yang mengakibatkan hiperplasia endometrium sampai

adenokarsinoma endometrium.

- Permukaan endometrium menjadi lebih luas.

- Gangguan kontraktilitas uterus

- Peningkatan vaskularisasi pada uterus.

2. Rasa nyeri3,4

Dismenorea, nyeri perut bawah serta nyeri pinggang ditemukan pada sekitar 65%

wanita.7

Gejala ini tidak khas untuk mioma, dapat timbul akibat gangguan sirkulasi sarang

mioma yang disertai peradangan dan nekrosis. Pada mioma geburt nyeri timbul

akibat degenerasi sehubungan dengan oklusi pembuluh darah, infeksi, putaran

dari mioma bertangkai ataupun akibat kontraksi uterus dalam upaya

mengeluarkan mioma dari kavum uteri.3,4

3. Gejala dan tanda penekanan3,4,7

Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri. Gejala dapat berupa

poliuri, retensi urin, hidroureter dan hidronefrosis serta obstipasi. Pada penelitian

multisenter yang pernah dilakukan menemukan 14% dengan keluhan disuri dan

13% dengan keluhan obstipasi.

4. Infertilitas dan abortus3,4

5

Page 6: Mioma Uteri

Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars

interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosum dapat menyebabkan terjadinya

abortus karena distorsi rongga uterus. Mioma uteri dapat menyebabkan

infertilitas pada 27-40% wanita.

DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:3,4

1. Anamnesis

Terasa adanya benjolan baik di perut bagian bawah atau berdasarkan gejala yang

timbul, antara lain:

- Perdarahan uterus yang abnormal

- Pembesaran pada uterus

- Rasa nyeri

- Infertilitas

- Gejala penekanan mioma terhadap organ sekitar

2. Pemeriksaan Fisik

Dilakukan dengan pemeriksaan bimanual dan palpasi. Pada mioma yang besar

dapat teraba perabdominal sedangkan pada mioma yang kecil ditemukan

pembesaran uterus yang irreguler pada pemeriksaan pelvik. Dengan

menggunakan spekulum, mioma geburt yang kecil dapat diketahui dengan mudah.

Pada pemeriksaan dalam dapat diperiksa dengan jelas adanya suatu tumor,

konsistensi dan tangkai mioma.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium: anemia, merupakan temuan laboratoris yang sering ditemui

karena adanya perdarahan uterus yang abnormal.

b. USG

6

Page 7: Mioma Uteri

Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal bermanfaat dalam

menetapkan adanya mioma uteri. Mioma uteri secara khas menghasilkan

gambaran kontur irregular maupun pembesaran uterus. Adanya kalsifikasi

ditandai oleh fokus-fokus hiperechoik dengan bayangan akustik. Degenerasi

kistik ditandai dengan adanya daerah hipoechoik.

c. CT Scan / MRI

d. Histerosalfingografi (HSG)

e. Histeroskopi

f. Laparoskopi

4. Pemeriksaan Khusus

Perlu dilakukan papsmear dan biopsi endometrium dengan kuretase untuk

menyingkirkan adanya karsinoma serviks dan karsinoma endometrium.

DIAGNOSA BANDING

Mioma uteri sulit dibedakan dengan adenomioma apabila belum terlihat adanya

kapsul pada enukleasi, tetapi secara umum adenomioma lebih keras dan dijumpai

adanya dismenorea yang berat.8

Tumor ovarium harus selalu dipertimbangkan dalam diagnosa banding mioma

uteri. Secara umum uterus dapat dideteksi secara terpisah dari massa tumor.

Tetapi bila tumor ovarium melengket ke uterus maka sangat sulit

membedakannya dengan mioma dan diagnosa yang benar hanya dapat diketahui

saat laparatomi.4

PENATALAKSANAAN 3,4

1. Observasi

7

Page 8: Mioma Uteri

Lebih kurang 55% mioma uteri tidak memerlukan pengobatan. Pada mioma uteri

yang kecil dan tanpa gejala terutama pada pasien perimenopause tidak diperlukan

pengobatan dan pasien dievaluasi rutin setiap 3-6 bulan.

2. Medikamentosa

Belum ada terapi medis definitif untuk mioma uteri. Pemberian GnRH analog

terbukti bermanfaat mengurangi pertumbuhan mioma uteri atau memperkecil

ukuran tumor untuk sementara. GnRH analog menyebabkan hipogonadism

melalui desensitisasi hipofise, menekan reseptor (downregulation) dan

menginhibisi gonadotropin. Pemberian GnRH analog selama 3 bulan dapat

memperkecil ukuran tumor hingga 35-60% volumenya dan amenorea yang

terlihat pada parameter hematologis.

Keuntungan pengobatan medikamentosa preoperatif dengan analog GnRH adalah

untuk mengurangi jumlah perdarahan pada tindakan operatif, memudahkan

perlepasan perlekatan dengan jaringan sekitarnya dan pada pascaoperasi lebih

jarang ditemukan perlekatan.

3. Operatif

Indikasi operasi pada mioma uteri:

1. perdarahan uterus abnormal

2. gejala penekanan terhadap organ pelvis

3. nyeri akut/kronik

4. kecurigaan keganasan

5. pertumbuhan besar mioma setelah menopause

6. infertilitas terutama bila terdapat distorsi kavum uteri dan obstruksi tuba

yang diperkirakan oleh mioma tersebut

7. abortus habitualis

8. anemia karena perdarahan kronik

a. Miomektomi

8

Page 9: Mioma Uteri

Miomektomi terutama diindikasikan bila uterus masih ingin dipertahankan.

Selain itu prosedur ini juga lebih dipilih pada wanita dengan mioma soliter dan

bertangkai, indikasi dari miomektomi adalah gangguan massa mioma terhadap

fungsi reproduktif wanita, terjadinya abortus habitualis, yang terutama terjadi

bila massa mioma mendistorsi cavum endometrium atau menekan tuba falopi.

Kehilangan darah akibat miomektomi tergantung pada ukuran uterus dan

massa mioma, serta lamanya waktu operasi. Prinsip umum miomektomi

abdominal adalah eksposur massa jelas terlihat, hemostasis dan penanganan

hati-hati terhadap jaringan reproduksi serta mencegah terjadinya

perlengketan. Miomektomi multiple sering kali lebih sulit secara tehnis dan

menghabiskan waktu lebih lama dibandingkan histerektomi, namun Iverson

dkk dan penelitian lainnya mengemukakan lebih rendahnya angka komplikasi

khususnya mengenai angka cedera saluran kemih dan saluran cerna pada

miomektomi dibandingkan prosedur histerektomi. Miomektomi bukan

tindakan definitif bagi pasien karena kekambuhan dapat terjadi.

b. Histerektomi

Histerektomi diindikasikan terutama untuk pasien dengan mioma uteri yang

tidak ingin mempunyai anak lagi, mioma berukuran besar, multipel,

kemungkinan kesulitan teknik untuk melakukan miomektomi dan bila ada

malignansi, selain itu histerektomi juga diindikasikan bila ditemui kelainan

sitologi endometrium atau serviks dan ketidakmampuan untuk mentoleransi

pengobatan hormonal. Histerektomi merupakan terapi definitif untuk mioma

uteri. Beberapa keberatan untuk histerektomi antara lain adalah kekuatiran

kehilangan fungsi seksual. Dalam beberapa penelitian, fungsi seksual tidak

terganggu dengan histerektomi.

c. Laparaskopi

Miomektomi dengan bantuan laparoskopi terutama dilakukan untuk mioma

subserous atau mioma bertangkai. Mioma ini dapat dimorcelasi dan kemudian

dibuang melalui canula laparosopi, malalui incise di kavum Douglas atau

dengan insisi kolpotomi.

9

Page 10: Mioma Uteri

Miolisis adalah tindakan laparoskopi koagulasi termal dengan menggunakan

laser, yaitu dengan prinsip denaturasi protein dan perusakan vaskularisasi

mioma.

4. Embolisasi arteri uterina

Prinsip dari embolisasi adalah membatasi suplai darah ke mioma, sehingga terjadi

infark jaringan kemudian pengecilan volume mioma. Material yang biasanya

dipakai polyvinyl alkohol yang dimasukkan dengan bantuan kateter yang dipandu

fluoroskopi melalui arteri femoralis ke pembuluh darah yang spesifik mendarahi

massa mioma.

Prosedur ini merupakan tindakan radiologi invasif dibawah sedasi ringan dan

pasien dapat pulang setelah satu hari rawatan. Prosedur ini diindikasikan pada

pasien dengan massa mioma besar yang tidak ingin dioperasi atau kondisinya

tidak memungkinkan menjalani operasi. Embolisasi arteri uterina mempunyai

beberapa kemungkinan efek samping antara lain endometritis, piometra, nekrosis

uterus, demam, sepsis.9,10

KOMPLIKASI OPERATIF

1. Perdarahan

2. Infeksi

3. Cedera

Kandung kemih

Ureter

Usus

Fistula vesikovaginal

10

Page 11: Mioma Uteri

DAFTAR PUSTAKA

1. Pitkin J, Peattie AB, Magowan BA. Uterine Fibroids in: Obstetrics and Gynecology

an Illustrated Colour Text. Toronto: Churchill Livingstone, 2003, p. 180-120.

2. Katz VL. Benign Gynecologic Lesions in: Comprehensive Gynecology 5th ed.

Philadelphia: Mosby Year Book Inc, 2007.

3. Sapoetra JMS. Tumor Jinak Alat Genital dalam: Ilmu Kandungan edisi 11. Jakarta:

Yayasan Bina Pustaka, 1992, hal. 271-312.

4. Wexler AS, Pernoll ML. Benign Disorders of the Uterine Corpus in: Current

Obstetrics and Gynaecology: Diagnosis and Treatment 8th ed. Connecticut:

Appleton and Lange, 2005, p. 731-736.

5. Berek, Jonathan S. Benign Diseases of Female Reproductive Tract in: Berek &

Novak’s Gynecology 14th ed. California: Lippincott Williams & Wilkins, 2007, p.

469-470.

6. Hudono ST, Moeloek FA. Penyakit dan Kelainan Kandungan dalam: Ilmu

Kebidanan edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Prawiraharjo, 1992, hal. 421-

423.

7. Baziad A. Mioma Uteri dalam: Endokrinologi Ginekologi edisi 2. Jakarta: Media

Aesculapius FK UI, 2003, hal. 131-2.

8. Mutu MG, Friedman AJ. The Uterine Corpus in: Kistner’s Gynecology 7th ed.

Philadelphia: Mosby Year Book Inc, 1995, p. 147-150.

9. Pernoll ML. Diseases Of Uterus in: Benson & Pernoll’s, Handbook of Obstetrics

Gynecology. New York: McGraw Hill, 2001, p. 619-625.

10. Speroff L, Fritz MA. The uterus in: Clinical Gynecologic Endocrinology & Infertility

7th ed. California: Lippincott Williams & Wilkins, 2005, p. 134-140.

11

Page 12: Mioma Uteri

ABSES TUBO OVARIAL

Penyakit radang panggul (pelvic inflammatory disease/PID) merupakan

spektrum penyakit infeksi yang mengenai serviks, uterus dan tuba fallopi. Radang

panggul akut adalah radang akut yang terjadi sebagai akibat penyebaran

mikroorganisme patogen dari vagina dan serviks sampai ke endometrium, tuba

fallopi dan jaringan sekitarnya. Komplikasi akut dari penyakit radang panggul

panggul termasuk kompleks tubo ovarian dan abses (TOA), piosalfing, dan peritonitis.

Radang panggul yang tidak diterapi atau mendapat terapi yang tidak adekuat dapat

menyebabkan nyeri pelvis kronik, infertilitas kehamilan dan ektopik.1,2,3,4,5

Sebagian besar kasus radang panggul akut disebabkan oleh bermacam-macam

bakteri yang berasal dari vagina dan serviks dan menginfeksi endometrium dan tuba

fallopi. Sekitar 85% kasus radang panggul terjadi murni akibat infeksi pada wanita

usia reproduksi yang aktif secara seksual. Lima belas persen lainnya terjadi akibat

prosedur yang merusak penghalang mukosa serviks seperti pada pemasangan IUD,

biopsi endometrium, kuretase yang memungkinkan kolonisasi flora vagina pada

saluran genital bagian atas. Kuman-kuman yang sering ditemukan pada saat kultur

adalah Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, bakteri aerob dan anaerob

endogen seperti Prevotella, Bacteroides, Peptococcus, dan Peptostreptococcus dan

Mycoplasma seperti Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum.1,2,3,4

Faktor risiko terjadinya radang panggul adalah: (1) usia saat pertama kali

coitus, (2) frekuensi coitus, (3) jumlah pasangan, (4) usia, (5) prosedur yang

menyebabkan terbukanya penghalang mukosa serviks seperti: pemasangan IUD,

histeroskopi, biopsi endometrium, kuretase, dan HSG, (6) riwayat radang panggul

sebelumnya.1,2,3,4

Kantong yang berisi pus yang terbentuk karena adanya infeksi tuba fallopi dan

ovarium disebut abses tubo ovarial (tubo ovarian abscess/TOA). Abses tubo ovarial

sering terjadi pada wanita usia reproduksi. Pasien dengan abses tubo ovarial

biasanya adalah wanita muda dengan paritas rendah. Abses tubo ovarial adalah

komplikasi yang terjadi pada 15 – 30% kasus infeksi radang panggul. Beberapa

12

Page 13: Mioma Uteri

penelitian menunjukkan TOA berkembang hingga 34% pada pasien yang dirawat

dengan PID. Abses dapat terjadi unilateral (pada 60% kasus) atau bilateral.1,5

Abses tubo ovarial dapat terbentuk setelah episode salfingitis akut atau

setelah infeksi berulang pada jaringan adneksa. Tuba fallopi yang mengalami nekrosis

dan kerusakan pada epitel akibat bakteri patogen merupakan media yang baik bagi

pertumbuhan bakteri anaerob. Pada awalnya akan terjadi salfingitis tanpa

keterlibatan ovarium. Proses inflamasi akan membaik secara spontan atau karena

pemberian terapi. Proses penyembuhan dari proses inflamasi sebelumnya akan

menyebabkan perubahan struktur anatomi dari tuba dan perlengketan dengan

jaringan sekitarnya akibat pembentukan fibrin. Keterlibatan ovarium terutama pada

tempat ovulasi akan menjadi tempat masuknya kuman dan akan terbentuk abses.

Tekanan oleh eksudat dapat menyebabkan pecahnya abses dan terjadinya peritonitis

umum yang memerlukan laparatomi segera. Apabila pecahnya abses terjadi perlahan-

lahan akan terbentuk abses di dalam cul de sac.1,2,3,4

PID may causes sequlae that  was caused of PID: adhesion, tuboovarian abscess, ectopic

pregnancy, and inflammation of fallopian tubes

Abses tubo ovarial berhubungan dengan pemakaian IUD dan adanya infeksi

granulomatosa (oleh tuberculosis atau actinomycosis). Penyebab abses biasanya

polimikrobial dengan kecenderungan keterlibatan kuman anaerob. Actinomyces

israelii adalah kuman komensal pada saluran gastrointestinal dan kuman ini

diidentifikasi pada 8 – 20% wanita yang menggunakan IUD. Infeksi Actinomyces

bersifat asimtomatik pada sebagian besar kasus tetapi pada 25% kasus akan

menimbulkan gejala radang panggul. Drainase diperlukan pada abses tuboovarial

13

Page 14: Mioma Uteri

yang disebabkan oleh Actinomyces yang terjadi akibat appendisitis atau penggunaan

IUD.2

Patofisiologi TOA:

Infeksi bakteri asenden yang berasal dari uterus

Meluas ke tuba fallopii dan ligamentum latum

Salpingitis akut, salpingo-ooforitis, piosalfing

Kompleks tubo ovarial atau abses tubo ovarial

Tipikal pasien dengan TOA biasanya usia muda dan paritas rendah, dengan

riwayat infeksi pelvik sebelumnya, tetapi tidak ada batasan kelompok umur.

Spektrum klinis bervariasi dari tanpa gejala, yang pada pemeriksaan pelvik rutin,

ditemukan massa adneksa hingga akut abdomen dan syok septik. Gejala khas abses

tubo ovarial adalah nyeri perut bawah yang menetap dan bertambah dengan aktivitas

fisik atau coitus, leukorea, demam, mual, muntah dan takikardia. Menorrhagia dan

perdarahan bercak terjadi pada 40% kasus. Seluruh abdomen akan teraba tegang dan

pemeriksaan abdomen biasanya tidak memungkinkan oleh karena ketegangan

dinding abdomen tetapi dapat teraba adanya massa adneksa. Serviks akan terasa

nyeri bila digerakkan. Dibandingkan dengan laparoskopi, nilai praduga positif

diagnosis klinis adalah 65 – 90%.1,2,5

Pemeriksaan laboratorium darah rutin hanya sedikit membantu. Angka

leukosit dapat bervariasi dari leukopenia sampai leukositosis. Urinalisis dapat

menunjukkan adanya pyuria tanpa bakteriuria. Laju endap darah (LED) rata-rata 64

mm/jam dan C-reactive protein (CRP) mencapai 20 mg/L.1

Ultrasonografi merupakan alat penunjang diagnostik yang bermanfaat untuk

menegakkan diagnosis TOA, walaupun standar baku emas adalah laparoskopi.

Bagaimanapun jika pasien tidak dapat mentoleransi pemeriksaan dengan palpasi

adneksa karena nyeri, sonografi pelvik mungkin diperlukan. Hasil pemeriksaan dapat

normal pada fase awal atau pada kondisi tidak terjadi komplikasi. Pada tahap yang

lebih lanjut dapat dijumpai penebalan endometrium dengan atau tidak adanya cairan

dan gas endometrial, pembesaran ovarium dengan batas yang tidak jelas, pembesaran

uterus dengan kontur yang tidak jelas dan adanya cairan bebas intraperitoneal.5

14

Page 15: Mioma Uteri

A, Sagittal endovaginal sonogram reveals complex free fluid (FF). U = uterus.

B, Coronal image of left adnexa reveals dilated fallopian tube (T) with echogenic

fluid. Findings are consistent with those of pyosalpinx.

Laparoscopy umage and close-up image of same patient shoe sausage-shape dilated right fallopian

tube (arrow)

Foto polos abdomen akan menunjukkan adanya ileus paralitik dan kecurigaan

adanya massa adneksa. Udara bebas dapat terlihat di bawah diafragma pada ruptur

abses tuboovarial. Pemeriksaan CT scan bersifat superior dibandingkan

ultrasonografi untuk deteksi abses abdominal (sensitivitas 78 – 100% dibandingkan

75 – 82%). Timo et al., melaporkan pemeriksaan MRI untuk diagnosis PID dengan

sensitivitas 95% dan spesifisitas 89% dan secara keseluruhan dengan akurasi 93%

dari penelitian terhadap 21 pasien yang terdiagnosis melalui laparoskopi.5

Pemeriksaan khusus, kuldosentesis, dapat dilakukan pada wanita dengan

abses tubo ovarial yang belum ruptur, hasil yang didapat seperti pada salpingitis akut

cloudy “reaction fluid”. Pada ruptur abses tubo ovarial didapatkan material purulen.5 15

Page 16: Mioma Uteri

Diagnosis banding dari abses tuboovarial adalah kistoma ovarii dengan atau

tanpa torsi, kehamilan ektopik, abses periappendiks, myoma uteri, hidrosalfing,

perforasi appendiks, perforasi divertikulum atau abses divertikulum, perforasi dari

ulkus peptikum, dan penyakit sistemik dengan gejala abdomen akut (ketoasidosis

diabetik, porfiria).1,5

Komplikasi dari abses tuboovarial adalah ruptur abses disertai sepsis,

reinfeksi, obstruksi usus, infertilitas dan kehamilan ektopik. Ruptur abses tuboovarial

adalah kasus emerjensi dan sering disertai dengan syok septik, abses intraabdominal

(abses subphrenicus), emboli septik, abses renal, abses paru dan abses otak.1,3

Manajemen abses tuboovarial dapat dibagi menjadi dua : (1) abses tuboovarial

yang belum ruptur dan (2) ruptur abses tuboovarial.1, 2

1. Abses tuboovarial

Pada abses tuboovarial yang belum ruptur dilakukan terapi seperti salpingitis

kronik dengan pemberian antibiotika jangka panjang dan pemantauan yang ketat.

Jika massa tidak mengecil dalam 15 – 21 hari atau bertambah besar, dapat

dilakukan drainase. Saat eksplorasi, biasanya dilakukan histerektomi total dan

adnesektomi bilateral, pada kasus tertentu, salfingo-ooforektomi unilateral atau

salfingostomi linier serta dipertimbangkan irigasi dan drainase.3

Penatalaksanaan termasuk rawat inap, istirahat dalam posisi semi-Fowler,

monitor ketat tanda-tanda vital, pemberian cairan intravena dan produksi urin,

pemeriksaan abdominal. Bila diperlukan dapat dilakukan pemasangan NGT. Jika

terapi inisial berhasil, antibiotik tetap diberikan selama minimal 10 hari dan harus

dilakukan monitoring. Jika abses menetap mungkin diperlukan laparotomi.1,2,3

Segera setelah material produk infeksi diambil untuk kultur diberikan antibiotika.

Terapi antibiotika empirik harus mampu mengeradikasi N. gonorrhoeae, C.

trachomatis, kuman anaerob batang dan kokus, kuman aerob gram positif, dan

mikoplasma.1,2,3

CDC mengeluarkan pedoman pemberian antibiotika parenteral pada kasus PID

dan abses tuboovarial pada khususnya.6

16

Page 17: Mioma Uteri

Tabel 1 : Rekomendasi CDC thn 2002 untuk terapi antibiotika parenteral

pada kasus PID (rawat inap)

Regimen A :

Cefotetan (Cefotan) 2 g i.v. tiap 12 jam

Atau

Cefoxitin (Mefoxin) 2 g i.v. tiap 6 jam

Ditambah

Doksisiklin (Vibramycin) 100 mg per oral atau i.v. tiap 12 jam.

Regimen B :

Clindamycin 900 mg i.v. tiap 8 jam

Ditambah

Gentamicin i.v. atau i.m. dengan loading dose 2 mg/kg BB diikuti dengan dosis

pemeliharaan sebesar 1,5 mg/kg BB tiap 8 jam

Regimen Alternatif :

Ofloxacin 400 mg i.v. tiap 12 jam atau levofloxacin 500 mg i.v. satu kali sehari

Dengan atau tanpa

Metronidazole 500 mg iv tiap 8 jam

Atau

Ampicillin/sulbactam (Unasyn) 3 gr i.v. tiap 6 jam ditambah doksisiklin

(Vibramycin, Doryx) 100 mg i.v. atau peroral tiap 12 jam

Catatan : regimen harus dilanjutkan minnimal sampai 24 jam setelah terjadi

perbaikan dan dilanjutkan dengan Doksisiklin 2 x 100 mg selama 14 hari.

Khusus pada kasus abses tuboovarial ditambahkan Metronidazole 2x 500 mg

selama 14 hari atau Clindamycin (Cleocin) 3x300 mg selama 14 hari untuk

terapi bagi kuman anaerob.

17

Page 18: Mioma Uteri

Tabel 2 : Rekomendasi CDC thn 2002 untuk terapi antibiotika parenteral

pada kasus PID (rawat jalan)

Regimen A:

Ofloxacin (Floxin) 400 mg per oral dua kali sehari selama 14 hari

Atau

Levofloxacin 500 mg satu kali sehari selama 14 hari

Dengan atau tanpa

Metronidazole (Flagyl) 500 mg per oral dua kali sehari selama 14 hari

Regimen B:

Ceftriaxone (Rocephin) 250 mg i.m. satu kali sehari

Atau

Cefoxitin (Mefoxin) 2 g i.m. ditambah probenecid 1 g per oral dosis tunggal

Atau

Golongan sefalosporin generasi ke tiga (cth: ceftizoxime atau cefotaxime)

Ditambah

Doksisiklin (Vibramycin, Doryx) 100 mg per oral dua kali sehari selama 14 hari

Dengan atau tanpa

Metronidazole (Flagyl) 500 mg per oral dua kali sehari selama 14 hari

Keberhasilan pemberian antibiotika parenteral pada kasus abses tuboovarial

ditentukan dalam waktu 48 – 72 jam. Jika dengan antibiotika sistemik tidak

membaik, terdapat tanda-tanda peritonitis, ukuran abses bertambah besar harus

segera dilakukan laparatomi. Kriteria keberhasilan terapi antibiotika adalah nyeri

abdomen berkurang, penurunan angka leukosit dan hilangnya demam selama

minimal 36 jam.3

Jika terapi antibiotika sistemik berhasil, segera diteruskan dengan antibiotika oral

dengan tetrasiklin 4x500 mg atau doksisiklin 2x100 mg selama 10 –14 hari

disertai pengawasan. Jika selama pengawasan abses tidak mengecil maka harus

tetap dilakukan laparatomi.3

18

Page 19: Mioma Uteri

Pada umumnya abses tuboovarial berespon terhadap antibiotika, tetapi tindakan

operatif harus dilakukan bila antibiotika gagal. Pendekatan operatif tradisional

untuk abses tuboovarial adalah kolpotomi posterior, laparatomi dan TAH-BSO.

Walaupun tindakan operatif efektif, tetapi biasanya memerlukan waktu

perawatan yang lebih lama. Selama 1 dekade terakhir, drainase perkutan dengan

panduan imaging seperti USG dan CT scan telah dilakukan untuk drainase abses,

termasuk diantaranya dilakukan per abdominal, pergluteal, per rektal dan per

vaginal.3

2. Ruptur abses tuboovarial

Tanda dan gejala klinis ruptur abses tuboovarial bersifat akut, berupa nyeri pelvis

progresif; riwayat PID berulang sebelumnya; dehidrasi; pernapasan cepat dan

dangkal; distensi abdomen; ileus paralitik; tanda-tanda peritonitis umum: rebound

tenderness, nyeri tekan seluruh abdomen, perut kaku, dan pekak beralih;

leukositosis; demam; takikardia dan syok. Kondisi ini memerlukan laparatomi

segera.1,3

Terapi untuk pasien dengan ruptur abses tuboovarial terbagi dalam 3 fase yaitu

fase preoperatif, fase operatif dan fase pasca operasi.1

Pada fase preoperatif perlu pengawasan terhadap: (1) tanda vital, (2) central

venous pressure (CVP), (3) produksi urin tiap jam (minimal 30 mL/jam), (4)

pemberian O2 dengan masker, dan (5) resusitasi cairan dan darah bila diperlukan

(6) pemberian antiobiotika parenteral.1,3

Pada fase operatif perlu dilakukan keputusan yang tepat mengenai tindakan

operatif yang akan dilakukan. Pengambilan pus intraabdominal, pengambilan

abses diikuti dengan TAH dan BSO adalah terapi definitif untuk ruptur abses

tuboovarial. Tetapi bila salah satu tuba dan ovarium masih dalam kondisi baik

cukup dilakukan salfingoooforektomi, terutama pada pasien yang masih muda.

Risiko terulangnya pembentukan abses tetap ada bila uterus tetap ditinggalkan.

Untuk mempersingkat waktu, dapat dilakukan histerektomi supraservikal.3

19

Page 20: Mioma Uteri

Pada perawatan pasca operasi, perlu diperhatikan tanda-tanda syok, infeksi, ileus,

dan keseimbangan cairan. Komplikasi lambat pasca operasi termasuk

pembentukan kembali abses tuboovarial dan abses pelvis, obstruksi usus, fistula

usus, dehisiensi, emboli pulmo, sepsis yang berlanjut, dan DIC.1

Secara umum, pasien dengan ruptur abses mempunyai prognosis yang bagus.

Terapi medis disertai dengan penatalaksanaan bedah yang tepat, menghasilkan

luaran yang baik. Abses yang belum ruptur dan terlokalisir yang tidak respon

terhadap manajemen medis yang agresif (tidak ada perbaikan gejala dan tanda dan

ukuran mengecil) lebih baik dilakukan drainase atau dilakukan pembedahan jika sulit

dilakukan drainase perkutaneus atau transvaginal. Fertilitas berkurang dengan

kisaran 5 – 15% dari analisis retrospektif. Ada peningkatan risiko terjadinya

kehamilan ektopik. Risiko terjadinya reinfeksi harus dipertimbangkan jika tidak

dilakukan tindakan definitif pembedahan, insidensi reinfeksi pada penelitian

prospektif kurang dari 10%.

Pada abses yang ruptur, sebelum dilakukan intervensi bedah, angka mortalitas

bervariasi 80 – 90%. Dengan adanya terapeutik modern, medis dan pembedahan,

angka mortalitas berkurang hingga 2%.

DAFTAR PUSTAKA

20

Page 21: Mioma Uteri

1. Martens, M.G. Pelvic Inflammatory Disease in John A. Rock and Howard W. Jones

III (ed): Te Linde’s Operative Gynecology 9th ed., Lippincott Williams & Wilkins,

2003.

2. Pernoll ML. sexually Transmitted Diseases in: Benson & Pernoll’s, Handbook of

Obstetrics Gynecology. New York: McGraw Hill, 2001, p. 696-705.

3. Wexler AS, Pernoll ML. Benign Disorders of the Uterine Corpus in: Current

Obstetrics and Gynaecology: Diagnosis and Treatment 8th ed. Connecticut:

Appleton and Lange, 2006.

4. Edmonds DK. Pelvic Infection in Dewhurst’s Textbook of Obstetrics and

Gynecology 7th ed. London: Blackwell Publishing, 2007, p. 429-437.

5. Chandra S. Role of Laparoscopy in the Management of Pelvic Inflammation

Disease/Tubo-Ovarian Abscess Compare to Other Modalities. Downloaded from:

http://www.worldlaparoscopyhospital.com.

6. Curtis MG, Overholt S, Hopkins MP. Sexually Transmitted Disease in: Glass’ Ofiice

Gynecology 6th ed. Texas: Lippincott Williams & Wilkins, 2006.

LAPORAN KASUS

21

Page 22: Mioma Uteri

Ny R, 41 thn, P1A0, APK: 8 thn, Haid terakhir: 10-07-2010, menikah 1x: usia 24 thn,

pekerjaan suami: wiraswasta, datang ke RSUP H. Adam Malik Medan tanggal 16-07-

2010 dengan:

KU : Benjolan di perut

T : hal ini dialami os + 1 tahun ini, semakin lama semakin membesar.

Riwayat haid banyak dan lama (+) 4 bulan ini, vol. 4-5 x ganti

doek/hari. Riwayat keluar darah dari kemaluan di luar siklus haid (-).

Nyeri perut (+) dialami os hilang timbul. Riwayat campur berdarah (-).

Keluhan nyeri perut bagian bawah tidak dijumpai. Keputihan (+). BAK

dan BAB normal. Os merupakan kiriman dari Poli Ginekologi yang

direncanakan laparotomi.

RPT : DM (-), Hipertensi (-), Asma (-)

RPO : -

Riw. : Menarch 17 tahun, siklus 28-30 hari, teratur, lama: 4-5 hari, volume: 2-

3 x ganti doek/hari, nyeri (-).

Riwayat KB : -

Riw. Operasi: Laparotomi a/i Mioma Uteri tahun 1997, laparotomi a/i kista ovarium

tahun 2007.

STATUS PRESENS

KU/ KG/ KP : Sedang/ Baik/ Sedang

Sensorium : Compos Mentis Anemis : (+)

Tekanan darah : 120/ 80 mmHg Ikterik : (-)

Frek. Nadi : 88 x / menit Sianosis : (-)

Frek. Nafas : 20 x/ menit Dispnu : (-)

Temperature : 36,5 Celcius Edema : (-)

PEMERIKSAAN FISIK :22

Page 23: Mioma Uteri

Kepala : dbn, conjuntiva pucat

Leher : dbn

Thorax : cor/ pulmo dbn

Abdomen : Soepel, tampak bekas operasi lama, teraba massa padat pole

sebesar kehamilan 22-24 minggu, dengan permukaan tidak rata,

immobile, nyeri (-)

PEMERIKSAAN GINEKOLOGIS

Genitalia eksterna : dbn.

Inspekulo : Portio licin, erosi (-), darah(-), F/A (+)

VT : UT AF > BB, teraba massa padat dengan pole atas 1 jari bawah

pusat, dan pole bawah setentang sympisis, dengan permukaan

tidak rata, immobile, nyeri (-)

Parametrium kanan dan kiri : lemas, ttb massa.

Cavum Douglas : tidak menonjol.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

USG 29-6-2010

Kandung kemih terisi baik

Uterus membesar dengan ukuran 12,5 x 7,4 cm.

Tampak gambaran hypoechoic seperti kumparan, multipel, intra uterine dengan

terbesar 5,8 x 4,4 cm.

Tidak tampak gambaran anechoic di adneksa kanan dan kiri

Kesan : Mioma uteri multipel.

DIAGNOSA BANDING :

23

Page 24: Mioma Uteri

Mioma Uteri

Adenomiosis

Diagnosis Kerja : Mioma Uteri

Rencana : Laparatomi

Lapor supv. Ruangan Dr. MOP, Sp.OG à ACC

Lapor supv. Kamar Bedah Dr. BIN, Sp.OG.K à ACC

PERSIAPAN OPERASI :

Laboratorium

Hb : 9,2 gr %

Ht : 31,9 %

Leukosit : 11.080/ mm3

Trombosit : 394.000/ mm3

Tes Fungsi Hati : dbn

Tes Fungsi Ginjal : dbn

Urine rutin : dbn

KGD puasa : dbn

KGD 2 jam pp : dbn

HST : dbn

Foto thorax : dbn

EKG : dbn/ tidak ada kontra indikasi operasi

Pap’s smear : Pap gr. I, normal smear

Kuretase bertingkat : endometrium dan endoserviks dalam batas normal

BNO/IVP : massa pelvis yang mengindentasi buli-buli. Fungsi

kedua ginjal baik, tidak tampak tanda-tanda

pembendungan.

24

Page 25: Mioma Uteri

LAPORAN OPERASI TANGGAL 19 JULI 2010

LAPORAN TOTAL ABDOMINAL HISTEREKTOMI + SALFINGO-OOFOREKTOMI

DEKTRA A/I MIOMA UTERI + TUBO-OVARIAN ABCESS

Ibu dibaringkan di meja operasi dengan infus dan kateter terpasang baik

Di lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada lapangan operasi dan ditutup

dengan doek steril kecuali lapangan operasi

Di bawah general anasthesi di lakukan insisi kutis secara midline di bawah

pusat di lanjutkan subkutis, fasia, otot dikuakkan secara tumpul dan

peritoneum di potong ke atas dan ke bawah kemudian dilakukan identifikasi

uterus tampak uterus membesar dengan mioma multipel, intramural dan

subserosum, sebesar kepala bayi. Evaluasi tuba dan ovarium kanan: tampak

abses sebesar tinju dewasa, dengan perlengketan ke uterus dan daerah

retroperitoneal. Dilakukan pembebasan perlengketan, abses pecah keluar pus

berwarna kehijauan, dilakukan aspirasi pus, perlengketan berhasil

dibebaskan. Evaluasi tuba dan ovarium kiri; tuba dalam batas normal, ovarium

kiri tidak ada. Kemudian diputuskan untuk dilakukan total abdominal

histerektomi dan salfingo-ooforektomi dekstra.

Ligamentum rotundum kiri dan kanan diklem, gunting dan ikat.

Ligamentum kiri dan kanan ditembus dan dibuat window.

Ligamentum infundibulopelvikum kiri dan kanan diklem, gunting ikat.

Uterus disusuri ke bawah hingga mencapai arteri uterina. Identifikasi arteri

uterina, klem gunting dan ikat.

Identifikasi portio, kemudian uterus dipancung setinggi portio, puncak vagina

di jahit secara kontinyu

Kontrol perdarahan à taa.

Cavum abdomen dibersihkan dengan NaCl 0,9% sampai bersih.

Luka operasi ditutup lapis demi lapis.

Keadaan ibu paska operasi stabil.

25

Page 26: Mioma Uteri

INSTRUKSI:

* Awasi VS dan tanda pendarahan

* Periksa Hb post operasi jika < 8gr% à tranfusi

* Mobilisasi bertahap

TERAPI:

Kateter menetap

IVFD RL/D5% à 30 gtt/i

Ceftazidime 1 gr/12 jam i.v.

Metronidazole drips/8 jam i.v.

Movicox supp/8 jam/rektal

FOLLOW UP PASKA OPERASI TAH + SOD A/I MIOMA UTERI + TOA

21/7/2010 22/7/2010 23/7/2010 24/7/2010

Sensorium CM CM CM CM

26

Page 27: Mioma Uteri

Tekanan darah 110/70 110/80 120/80 120/80

Frek nadi 80 x/i 82x/i 80x/i 80x/i

Frek nafas 20 x/i 20x/i 20x/i 20x/i

Temperatur 37’c 37’c 37’c 37’c

Luka operasi Tertutup

verban

Tertutup

verban

Tertutup

verban

Kering

P/V - - - -

Volume urine Cukup Cukup Cukup Cukup

Terapi Kateter

menetap

IVFD RL/D5%

à 30 gtt/i

Ceftazidime

1gr/12jam i.v.

Metronidazole

drips /8 jam

Movicox supp/

8 jam

Transamin

amp/8jam

Aff kateter

IVFD RL/D5%

à 20 gtt/i

Ceftazidime

1gr/12jam i.v.

Metronidazole

drips /8 jam

Movicox supp/

8 jam

Aff Infus

Ceftazidine 1gr

/12jam

Metronidazole

drips /8 jam

Asam

mefenamat 3 x

500

Vit B complex 3

x 1

Klindamisin 3 x

300 mg

Asam

mefenamat 3 x

500

Vit B complex 3

x 1

PBJ

Laboratorium Post Operasi

Hb : 6,7 gr %

27

Page 28: Mioma Uteri

Ht : 23,1 %

Leukosit : 11.850/ mm3

Trombosit : 549.000/ mm3

Dilakukan transfusi PRC 2 kantong.

Laboratorium Post Operasi

Hb : 9,9 gr %

Ht : 26 %

Leukosit : 11.950/ mm3

Trombosit : 373.000/ mm3

Os dirawat selama 4 hari setelah operasi dan PBJ.

ANALISIS KASUS

28

Page 29: Mioma Uteri

Telah dilaporkan kasus Ny R, 41 thn, P1A0, APK: 8 thn, Haid terakhir: 10-07-2010,

menikah 1x: usia 24 thn, pekerjaan suami: wiraswasta, yang datang ke RSUP H. Adam

Malik Medan tanggal 16-07-2010 dengan diagnosis preoperatif Mioma Uteri.

Dari anamnesis didapatkan keluhan utama benjolan diperut, + 1 tahun ini, disertai

riwayat haid banyak dan lama (+) 4 bulan ini, vol. 4-5 x ganti doek/hari. Riwayat

keluar darah dari kemaluan di luar siklus haid (-). Nyeri perut (+).

Pemeriksaan fisik didapatkan dari abdomen: soepel, teraba massa padat pole sebesar

kehamilan 22-24 minggu, permukaan tidak rata, immobile. Pemeriksaan ginekologi

dijumpai, inspekulo: tidak dijumpai kelainan. VT: UT AF > BB, teraba massa padat

dengan pole atas 1 jari bawah pusat, dan pole bawah setentang sympisis, dengan

permukaan tidak rata, immobile, nyeri (-). Parametrium kanan dan kiri : lemas, ttb

massa. Cavum Douglas : tidak menonjol.

Pemeriksaan USG didapatkan uterus membesar dengan ukuran 12,5 x 7,4 cm, tampak

gambaran hypoechoic seperti kumparan, multipel, intra uterine dengan terbesar 5,8 x

4,4 cm, kesan mioma uteri multipel.

Dari anamnesis didapatkan usia pasien 41 tahun dimana 40-50% mioma ditemukan

pada usia 40 tahun, walaupun sebelumnya sudah ditemukan mioma saat pasien

berusia 28 tahun. Didapatkan perdarahan abnormal berupa menoragia dan dan

riwayat infertilitas (ditemukan pada 27-40% pasien mioma). Mioma sebagai

penyebab tunggal dari infertilitas jarang dijumpai (3%) dan sering dijumpai

penyebab lain infertilitas pada pasien mioma. Sebelumnya pada tahun 1997 os

pernah operasi atas indikasi mioma uteri dan dilakukan miomektomi. Dari

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan ginekologi didapatkan massa padat dengan pole

atas 1 jari bawah pusat, dan pole bawah setentang sympisis, permukaan tidak rata,

immobile, nyeri (-). Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditetapkan diagnosis

banding yaitu mioma uteri dan adenomiosis. Dilakukan pemeriksaan ultrasonografi

dan didapatkan kesan mioma uteri multipel. Laboratorium menunjukkan Hb 9,2 gr %.

Ditetapkan diagnosis kerja yaitu mioma uteri dan os direncanakan laparotomi untuk

dilakukan histerektomi.

Indikasi operasi pada pasien ini adalah adanya perdarahan abnormal (terjadi pada

35-50% pasien mioma) dan nyeri kronik nyeri perut (terjadi pada 65% pasien

29

Page 30: Mioma Uteri

mioma) dan anemia akibat perdarahan kronik. Tindakan operatif yang dipilih adalah

histerektomi karena didapatkan mioma uteri yang multipel berdasarkan hasil

pemeriksaan. Pasien sebelumnya sudah pernah operasi dan dilakukan miomektomi

dengan tujuan mempertahankan fertilitas, dimana miomektomi bukanlah terapi

definitif. Usia pasien 41 tahun dan pasien tidak membutuhkan lagi fungsi reproduksi.

Durante operasi ditemukan adanya abses tubo ovarial sebesar tinju dewasa. Pada

pasien ini diagnosis abses tubo ovarial tidak bisa ditegakkan sebelum operasi. Dari

anamnesis tidak didapatkan adanya keluhan berupa nyeri perut yang menetap, yang

bertambah dengan aktivitas fisik atau coitus, riwayat keputihan yang banyak, dan

riwayat demam. Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan palpasi abdomen yang

tegang dan nyeri serta tidak ada nyeri pada pemeriksaan ginekologi. Dari

laboratorium didapatkan lekosit 11.080/mm3 yang sedikit meningkat dari nilai

normal. Pemeriksaan USG tidak menunjukkan adanya massa di adneksa. Dilakukan

aspirasi pus dari abses dan dilakukan kultur dan tes sensitivitas. Pada pasien ini tidak

didapatkan diagnosis abses tubo ovarial. Menurut literatur, spektrum gejala dan

tanda klinis abses tuboovarial sangat bervariasi dari tanpa gejala pada wanita dengan

massa adneksa hingga gejala abdomen akut dan syok septik. Pada pasien ini

diberikan terapi regimen B dengan pemberian Ceftazidime 1 g/12 jam i.v. dan

Klindamisin 3 x 300 mg. Setelah pasien pulang diberikan terapi Metronidazole 2 x

500 mg dan Klindamisin 3 x 300 mg selama 14 hari.

30