5
Anda Sebagai Saksi Hubungan Dokter-Pasien Oleh Riva Ambardina Pradita Pengalaman ini saya dapatkan ketika saya berada di stase neurologi. Dalam stase neurologi, kami diwajibkan untuk memeriksa dan mem-follow up 4 pasien dari bangsal. Saya kemudian memeriksa salah seorang bapak yang terkena stroke hemoragik. Seperti kita ketahui bahwa bagi seorang pasien stroke khususnya hemoragik, tidak diperkenankan untuk "mengejan" untuk itu ia diberikan Laxadine. Baru sehari saya memeriksa beliau, ternyata bapak tersebut sudah direncanakan untuk pulang hari itu. Namun saya kemudian cukup terkejut mendengar berita bahwa sore hari nya pasien tersebut meninggal. Dan lebih terkejut lagi saya ketika mengetahui bahwa beliau ternyata "mengejan" untuk buang air besar dan terjadi perdarahan kembali. Cerita lain saya dapatkan di Rumah Sakit Tangerang. Saat itu saya sedang berada di stase kulit. Tanpa bermaksud menjelekkan salah seorang dokter, tetapi memang cukup terkenal perilaku dokter tersebut. Hingga akhirnya saya menyaksikan sendiri. Datang seorang pasien wanita muda ke dalam ruang periksa nya. Pasien terebut duduk di samping nya dan saya mengamati dari hadapannya. Saat di anamnesis, handphone pasien tersebut berdering. Pasien tersebut kemudian mengangkat telfon nya, baru saja pasien berkata "halo", dokter tersebut kemudian memotong dan berkata "ibu kalau mau telfon jangan diruangan saya ya, di luar saja kalau tidak mau saya periksa!". Saya cukup terkejut, kemudian pasien tersebut mematikan telfonnya dan meminta maaf kepada dokter. Cerita lain dari dokter tersebut adalah ketika salah seorang pasien pengidap HIV datang memeriksakan dirinya. Saat di ruang periksa, baru satu kalimat pasien itu lontarkan, dokter tersebut memotong dan berkata "ibu jangan banyak bicara, nanti menular". Mungkin ini adalah contoh ekstrim dan saya pikir hanya ada di dalam pemicu pada Modul Empati yang lalu, ternyata mata saya dapat menyaksikan nya sendiri contoh ekstrim seperti itu dalam kehidupan nyata. Komunikasi Efektif

mmm

Embed Size (px)

DESCRIPTION

m

Citation preview

Page 1: mmm

Anda Sebagai Saksi Hubungan Dokter-PasienOleh

Riva Ambardina Pradita

Pengalaman ini saya dapatkan ketika saya berada di stase neurologi. Dalam stase neurologi, kami diwajibkan untuk memeriksa dan mem-follow up 4 pasien dari bangsal. Saya kemudian memeriksa salah seorang bapak yang terkena stroke hemoragik. Seperti kita ketahui bahwa bagi seorang pasien stroke khususnya hemoragik, tidak diperkenankan untuk "mengejan" untuk itu ia diberikan Laxadine. Baru sehari saya memeriksa beliau, ternyata bapak tersebut sudah direncanakan untuk pulang hari itu. Namun saya kemudian cukup terkejut mendengar berita bahwa sore hari nya pasien tersebut meninggal. Dan lebih terkejut lagi saya ketika mengetahui bahwa beliau ternyata "mengejan" untuk buang air besar dan terjadi perdarahan kembali.

Cerita lain saya dapatkan di Rumah Sakit Tangerang. Saat itu saya sedang berada di stase kulit. Tanpa bermaksud menjelekkan salah seorang dokter, tetapi memang cukup terkenal perilaku dokter tersebut. Hingga akhirnya saya menyaksikan sendiri. Datang seorang pasien wanita muda ke dalam ruang periksa nya. Pasien terebut duduk di samping nya dan saya mengamati dari hadapannya. Saat di anamnesis, handphone pasien tersebut berdering. Pasien tersebut kemudian mengangkat telfon nya, baru saja pasien berkata "halo", dokter tersebut kemudian memotong dan berkata "ibu kalau mau telfon jangan diruangan saya ya, di luar saja kalau tidak mau saya periksa!". Saya cukup terkejut, kemudian pasien tersebut mematikan telfonnya dan meminta maaf kepada dokter. Cerita lain dari dokter tersebut adalah ketika salah seorang pasien pengidap HIV datang memeriksakan dirinya. Saat di ruang periksa, baru satu kalimat pasien itu lontarkan, dokter tersebut memotong dan berkata "ibu jangan banyak bicara, nanti menular". Mungkin ini adalah contoh ekstrim dan saya pikir hanya ada di dalam pemicu pada Modul Empati yang lalu, ternyata mata saya dapat menyaksikan nya sendiri contoh ekstrim seperti itu dalam kehidupan nyata.

Komunikasi Efektif

Definisi komunikasi adalah sebuah proses penyampaian pikiran-pikiran atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga orang lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud oleh penyampai pikiran-pikiran atau informasi. (Komaruddin, 1994; Schermerhorn, Hunt & Osborn, 1994; Koontz & Weihrich, 1988)

Pada praktiknya, penerapan definisi komunikasi tersebut dalam interaksi antara dokter dan pasien diartikan dengan tercapainya pengertian dan kesepakatan yang dibangun dokter bersama pasien pada setiap langkah penyelesaian masalah pasien.

Untuk sampai pada tahap tersebut, diperlukan berbagai pemahaman seperti pemanfaatan jenis komunikasi (lisan, tulisan/verbal, non-verbal), menjadi pendengar yang baik (active listener), adanya penghambat proses komunikasi (noise), pemilihan alat penyampai pikiran atau informasi yang tepat (channel), dan mengenal mengekspresikan perasaan dan emosi.

Komunikasi dapat efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan oleh penerima pesan dan tidak ada hambatan untuk hal itu (Hardjana, 2003).

Page 2: mmm

Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya adalah untuk mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih memberikan dukungan pada pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya (Kurtz, 1998).

Aplikasi Komunikasi Efektif Dokter-PasienSikap Profesional DokterSikap profesional seorang dokter ditunjukkan ketika dokter berhadapan

dengan tugasnya (dealing with task), yang berarti mampu menyelesaikan tugas-tugasnya sesuai peran dan fungsinya; mampu mengatur diri sendiri seperti ketepatan waktu, pembagian tugas profesi dengan tugas-tugas pribadi yang lain (dealing with one-self); dan mampu menghadapi berbagai macam tipe pasien serta mampu bekerja sama dengan profesi kesehatan yang lain (dealing with others). Di dalam proses komunikasi dokter-pasien, sikap profesional ini penting untuk membangun rasa nyaman, aman, dan percaya pada dokter, yang merupakan landasan bagi berlangsungnya komunikasi secara efektif (Silverman, 1998). Sikap profesional ini hendaknya dijalin terus-menerus sejak awal konsultasi, selama proses konsultasi berlangsung, dan di akhir konsultasi.

Sesi Pengumpulan Informasi Di dalam komunikasi dokter-pasien, ada dua sesi yang penting, yaitu sesi

pengumpulan informasi yang di dalamnya terdapat proses anamnesis, dan sesi penyampaian informasi. Tanpa penggalian informasi yang akurat, dokter dapat terjerumus ke dalam sesi penyampaian informasi (termasuk nasihat, sugesti atau motivasi dan konseling) secara prematur. Akibatnya pasien tidak melakukan sesuai anjuran dokter. Pengumpulan informasi sendiri terdiri dari “Mengenali alasan kedatangan pasien” dan “Penggalian riwayat penyakit”.

Sesi Penyampaian Informasi Setelah sesi sebelumnya dilakukan dengan akurat, maka dokter dapat sampai

kepada sesi memberikan penjelasan. Tanpa informasi yang akurat di sesi sebelumnya, dokter dapat terjebak kedalam kecurigaan yang tidak beralasan

4 SAJI, Langkah-langkah Komunikasi Ada empat langkah yang terangkum dalam satu kata untuk melakukan

komunikasi, yaitu SAJI (Poernomo, Ieda SS, Program Family Health Nutrition, Depkes RI, 1999).

S = Salam A = Ajak Bicara J = Jelaskan I = Ingatkan

Melalui cerita pertama, saya dapat mengambil banyak pelajaran terkait komunikasi dokter-pasien. Apabila kita sebagai dokter benar-benar menjalankan komunikasi dengan benar – yang berarti informasi yang ingin disampaikan benar diterima dan dimengerti pasien – maka seharusnya tidak perlu terjadi kejadian yang demikian.

Pasien seharusnya bukan hanya diingatkan untuk tidak mengejan namun juga diberikan penjelasan mengapa ia tidak diperkenankan mengejan. Langkah lain yang dapat diambil oleh dokter adalah mencoba menyampaikan informasi kepada keluarga pasien, sebagai media komunikasi tidak langsung lain terhadap pasien. Banyak alasan

Page 3: mmm

yang mungkin dokter miliki untuk tidak menyampaikan hal-hal detail dan terkesan sepele, mungkin salah satu nya adalah waktu.

Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatannya.

Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Dalam pemberian pelayanan medis, adanya komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang diharapkan sehingga dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien, berdasarkan kebutuhan pasien.

Cerita kedua menggambarkan seorang dokter yang kurang bersikap profesional terutama dalam penerimaannya dalam menghadapi berbagai macam tipe pasien. Pasien dengan HIV tentu tidak menular melalui udara, walaupun mungkin yang dokter tersebut takutkan adalah kemungkinan adanya co-infeksi seperti TB yang dapat menular melalui droplet. Namun hal tersebut akan menyakiti hati pasien dan juga tentu akan merugikan sang dokter juga pasien karena tidak dapat mengumpulkan informasi lebih banyak mengenai penyakit pasien. Tentunya informasi yang kemudian diberikan kepada pasien hanya berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan Lab.

Dahulu semasa saya berada di tingkat I, ketika saya belajar dalam modul Empati, sempat saya berpikir apakah pelajaran seperti ini penting? Apakah tidak sebaiknya langsung dipelajari di klinik saja tanpa perlu bermain acting-acting –n? Teryata pemikiran prematur saya tersebut adalah salah besar. Saya selalu berkata pada teman saya “I believe that the longer we pretend, the more likely we are to become whatever we are pretending to be.” Saya baru sadar bahwa kalimat yang sering kali saya sebut-sebut tersebut ternyata memang benar, memang benar kami sering memperagakan menjadi seorang dokter dengan tutur kata lemah lembut layaknya di sinetron, dan memang benar ketika saya di klinik menemui pasien, secara otomatis demikianlah kami lakukan terhadap pasien.

Daftar Pustaka

Ali MM, Sidi IS, Zahir H. 2006. Komunikasi efektif dokter-pasien. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.